Anda di halaman 1dari 24

PENDAHULUAN

Analgetik adalah suatu senyawa atau obat yang dipergunakan untuk


mengurangi rasa sakit atau nyeri. Nyeri timbul akibat oleh berbagai rangsangan
pada tubuh misalnya rangsangan mekanis, kimiawi dan fisis sehingga
menimbulkan kerusakan pada jaringan yang memicu pelepasan mediator nyeri
seperti bradikinin dan prostaglandin yang akhirnya mengaktivasi reseptor nyeri di
saraf perifer dan diteruskan ke otak. Secara umum analgetik dibagi dalam dua
golongan, yaitu analgetik non narkotik dan analgetik narkotik (opioid).4
Analgetik narkotik (opioid) merupakan kelompok obat yang memiliki sifat
seperti opium. Meskipun mempelihatkan berbagai efek farmakologik yang lain,
golongan obat ini digunakan terutama untuk meredakan atau menghilangkan rasa
nyeri. Opioum yang berasal dari getah Papaver somniferum mengandung sekitar 20
jenis alkaloid diantaranya morfin, kodein, tebain, papaverin. Analgetik opioid
terutama digunakan untuk meredakan atau menghilangkan nyeri meskipun
juga memperlihatkan berbagai efek farmakodinamik yang lain. Opiat atau yang
dikenal sebagai narkotik adalah bahan yang digunakan untuk menidurkan atau
melegakan rasa sakit, tetapi mempunyai potensi yang tinggi untuk menyebabkan
ketagihan.3
Sebagian dari opiat ,seperti candu,morfin,heroin dan kodein diperoleh dari
getah buah popi yang terdapat atau berasal dari negara-negara Timur Tengah dan
Asia. Pengaruh dari berbagai obat golongan opioid sering dibandingkan dengan
morfin, dan tidak semua obat golongan opioid dipasarkan di Indonesia.
Akan tetapi dengan sediaan yang sudah ada kiranya penangganan nyeri
yang membutuhkan obat opioid dapat dilakukan. Terbatasnya peredaran obat
tersebut tidak terlepas pada kekhawatiran terjadinya penyalahgunaan obat.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Nyeri4
Menurut International Association for the Study of Pain (IASP), nyeri
merupakan pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan
akibat kerusakan jaringan, baik aktual maupun potensial yang digambarkan
dalam bentuk urusan tersebut. Definisi nyeri tersebut menjelaskan konsep
bahwa nyeri adalah produk kerusakan struktural, bukan saja respon sensorik
dari suatu proses nosisepsi, harus dipercaya seperti yang dinyatakan pendertita,
tetapi juga merupakan respon emosional yang disadari atas pengalaman
termasuk pengalaman nyeri sebelumnya.
Persepsi nyeri menjadi sangat subjektif tergantung kondisi emosi dan
pengalaman emosional sebelumnya. Toleransi terhadap nyeri meningkat
bersama pengertian, simpati, persaudaraan, alih pengertian, pemberiian
analgesi, ansiolitik, antidepresan, dan pengurangan gejala. Sedangkan toleransi
menurun pada keadaan marah, cemas, kebosanan, kelelahan, depresi,
penolakan sosial, isolasi mental, dan keadaan yang tidak menyenangkan.
Plastisitas saraf sentral maupun perifer menjadi dasar pengetahuan nyeri
patologik atau yang diidentikan sebagai nyeri kronik. Nyeri pasca operasi
memicu respon stress yaitu respon neuro endokrin yang berpengaruh pada
mortalitas dan berbagai morbiditas pascaoperasi. Nyeri operasi bersifat self
limiting (tidak lebih dari 7 hari).

2
Nyeri hebat memicu kejadian nyeri kronik di kemudian hari, penyebab
penting respon stress dan alasan humanitas maka nyeri operasi harus
ditanggulangi berbeda dengan nyeri kronik berdasarkan three step analgetic
ladder WHO. Nyeri operasi umumnya berlangsung 24 jam. Prinsip terapi nyeri
akut adalah descending the ladder.

Gambar 1. Three Step Analgetic Ladder

Besarnya persepsi nyeri dan sensasi lain bergantung pada stimulasi dari
reseptor perifer yang diikuti dengan transmisi impuls oleh saraf sensorik
melalui medula spinalis dan otak, kemudian menuju thalamus dan korteks.
Persepsi nyeri dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya aktivitas saraf dan
perubahan intensitas stimulus. Sebagai contoh pada tangan yang di rendam
pada air hangat, respon nyeri akan dipersepsikan dalam jangka waktu yang
lebih lama jika dibandingkan dengan memasukkan tangan secara langsung

3
pada air panas. Hal ini merefleksikan besarnya frekuensi impuls yang melalui
saraf sensorik.

2.2. Patofisiologi Nyeri1,2


Tahap terjadinya nyeri adalah sebagai berikut :
a. Transduksi
Proses inflamasi akan menyebabkan teraktifasinya reseptor nyeri
akibat proses kimiawi. Sensitisasi perifer dapat mengakibatkan keadaan
meningkatnya ambang nyeri pada seseorang. Apabila pada rangsangan yang
lemah terasa nyeri maka keadaan ini disebut dengan Allodinia. Sedangkan
apabila pada rangsangan yang kuat terasa sangat nyeri, maka disebut dengan
hiperalgesia.
b. Transmisi
Proses penyaluran impuls saraf sensorik dilakukan oleh serabut A delta
bermielin dan serabut C tak bermielin. Impuls ini akan dilanjutkan menuju
traktus spinothalamikus, sebelum akhirnya disalurkan menuju area somatik
primer di korteks serebri. Proses transmisi dapat dihambat oleh anestetik
lokal di perifer maupun sentral.
c. Modulasi
Pada tahap ini impuls akan mengalami fase penyaringan intensitas
di medula spinalis sebelum dilanjutkan ke korteks serebri. Modulator
penghambat nyeri di medula spinalis terdiri dari analgetik endogen seperti
endorfin, sistem inhibisi sentral seretonin dan noradrenalin, dan aktifitas
serabut A beta.
d. Persepsi
Proses ini merupakan tahap akhir dari semua proses yang sudah
disebutkan diatas. Pada tahap ini akan dihasilkan suatu persepsi nyeri secara
subjektif.8

4
Gambar 2. Jalur Modulasi Nyeri

2.3. Reaksi Inflamasi


Respon Inflamasi merupakan tahap pertama penyembuhan luka, sebelum
melalui tahap proliferasi dan remodelling. Pada tahap ini terjadi respon baik berupa
respon vaskular maupun selular yang diperantarai oleh mediator kimia. Luka yang
mengenai hingga kedalaman subkutis akan menyebabkan respon inflamasi pada
jaringan ikat bervaskularisasi. Jaringan yang mengalami inflamasi memiliki ciri-
ciri seperi kemerahan (rubor), suhu meningkat (calor), nyeri (dolor) dan mampu
mengakibatkan disfungsi organ yang bersangkutan (functio laesa). Reaksi
inflamasi berlangsung selama 2-5 hari dan terdiri dari proses hemostasis dan

5
inflamasi. Pada proses hemostasis akan terjadi vasokontriksi pembuluh darah,
pelepasan platelet, dan pembetukan sumbatan oleh trombloplastin. Sedangkan pada
proses inflamasi akan terjadi vasodilatasi dan pelepasan makrofag yang memicu
terjadinya fagositosis.
Pada jaringan tubuh yang luka, pembuluh darah akan segera mengalami
vasokontriksi, untuk menghentikan perdarahan. Kemudian platelet akan teragregasi
dan membentuk suatu sumbatan untuk mempertahankan kondisi homeostatik.
Faktor koagulasi dan komplemen kaskade kan terinisiasi. Faktor intrinsik dan
ekstrinsik akan mengaktifasi prothrombin dan thrombin, dimana akan terjadi
konversi fibrinogen menjadi benang fibrin yang kemudian akan terpolimerisasi
menjadi sumbatan yang stabil.
Saat thrombus terbentuk, hemostasis pada luka akan tercapai. Platelet yang
telah teragregasi akan mengalami degranulasi, mengeluarkan kemotraktan untuk
sel inflamasi, mengaktifasi faktor faktor untuk fibroblas lokal dan sel endotel, serta
mengakibatkan vasokontriksi. Adesi dari platelet dipengaruhi oleh reseptor
integrin, seperti GPIIb/IIIa.
Dalam beberapa menit, proses penyembuhan luka akan terinisisasi. Setelah
pembuluh darah mengalami vasokontriksi, pembuluh darah lokal akan mengalami
dilatasi sekunder yang diakibatkan oleh efek dari proses koagulasi dan kaskade
komplemen. Bradikinin merupakan vasodilatator poten dan salah satu faktor
permeabilitas vaskuler yang dibentuk oleh aktivasi faktor hageman pada kaskade
koagulasi.
Sel darah putih akan dilepaskan dan protein plasma akan memasuki jaringan
yang luka. Neutrofil akan menginfiltrasi debris, bakteri, dan jaringan lain. Aktivasi
komplemen pada pembunuhan bakteri melalui proses opsonisasi. Neutrofil ini
memegang peranan untuk mensterilisasi jaringan yang luka. Hasil akhir terbaik
yang diharapkan dari proses inflamasi akut adalah resolusi total dengan regenerasi
sel-sel asli dan pemulihan ke keadaan normal. Resolusi ditandai dengan adanya
netralisasi dari mediator kimiawi, permeabilitas vaskular normal, dan diakhirinya

6
hilangnya cairan dan protein di daerah edema, leukosit, partikel asing dan jaringan
nekrosis di daerah inflamasi.

2.4. Opioid3,4,5

2.4.1. Mekanisme Kerja

Opioid berikatan dengan reseptor spesifik yang terletak pada sistem


saraf pusat dan jaringan lainnya. Terdapat empat reseptor mayor opioid
yang sudah teridentifikasi. Seluruhnya berpasangan dengan protein G,
ketika berikatan dengan agonis dari reseptor opioid akan menyebabkan
hiperpolarisasi membran.

Efek dari opioid bervariasi tergantung durasi paparan, toleransi dari


individu, serta sifat dari opioid tersebut. Agonis-antagonis seperti
nalbuphine, nalorphine, butorphanol, dan pentazocine memiliki efikasi yang
lebih rendah dibandingkan dengan agonis murni seperti fentanyl.

Aktivasi dari reseptor opioid menginhibisi presynaptic release dan


respon posinaptik untuk excitatory neurotransmitters (acetylcholine) dari

7
neuron nociceptive. Transmisi impuls nyeri dapat dimodifikasi secara
selektif pada cornu dorsalis spinal cord dengan administrasi opioid
intratechal atau epidural. Reseptor opioid juga berespon terhadap pemberian
sistemik. Modulasi melalui descending inhibitory pathway dari
periaqueductal gray matter menuju cornu dorsalis spinal cord. Reseptor
opioid juga bekerja pada saraf somatik dan simpatik, menyebabkan depresi
motilitas GIT.

2.4.2 Efek Pada Sistem Organ

A. Cardiovascular

Meperidine cenderung meningkatkan laju jantung (karena


strukturnya yang menyerupai atropine), namun opioid lai seperti
morfin, fentanyl, sufentanil, remifentanil, dan alfentanil dapat

8
menyebabkan bradikardi yang dimediasi oleh nervus vagus. Tekanan
dapat menurun sebagai akibat dari bradikardi, dilatasi vena, dan
penurunan reflex simpatis. Beberapa opioid seperti meperidine,
hydromorphone, dan morphine bila diberikan secara bolus dapat
menyebabkan pelepasan histamine yang dapat menyebabkan
penurunan resistensi vascular dan tekanan darah arteri.

B. Respirasi

Opioid mendepresi pernapasan, khususnya laju napas. Opioid


meningkatkan tekanan parsial karbondioksida (PaCo2) dan
menumpulkan respon terhadap CO2. Morfin dan meperidine dapat
menyebabkan bronkospasme yang diinduksi oleh histamine release
pada pasien yang rentan. Pemberian cepat dan dosis besar opioid
khususnya fentanyl, sufentanil, remifentanil, dan alfentanil dapat
menginduksi kekakuan dinding dada. Kontraksi dinding dada ini dapat
ditangani dengan pemberian neuromuscular blocking agents.

C. Cerebral

Secara umum, opioid menurunkan konsumsi oxygen otak,


aliran darah otak, volume darah otak, dan tekanan intracranial, naum
efeknya lebih kecil dibandingkan barbitrurat, propofol, atau
benzodiazepines. Stimulasi dari medullary chemoreceptor trigger
zone menyebabkan mual muntah yang diinduksi oleh opioid.

2.4.3. Obat-obat Analgetik Golongan Opioid

A. Morfin

Pada manusia, morfin mengasilkan efek analgesia, euphoria,


sedasi, dan penurunan konsentrasi. Morfin meningkatkan threshold
nyeri dan memodifikasi persepsi dari stimulasi noxious sehingga tidak
9
lagi dipersepsikan sebagai rasa nyeri. Onset kerja 15-30 menit dengan
efek puncak 45-90 menit. Durasi kerja kurang lebih 4 jam. Dapat
digunakan per oral untuk nyeri kronik. Mengingat administrasi secara
oral melewati first pass metabolism di hati, bioavailability morfin
hanya 25% ( 1 mg IV setara 4 mg oral morfin). Morfin diberikan saat
general anesthesia dengan dosis 5-15 mg. Morfin dapat menyebabkan
bradikardia dan pelepasan histamine.

B. Meperidine

Sering juga disebut sebagai pethidine, merupakan opioid


sintetis agonis reseptor 𝜇 dan κ. Merupakan turunan dari
phenylepiperidine. Beberapa analog dari meperidine yaitu fentanyl,
sufentanil, alfentanil, dan remifentanil. Durasi kerja meperidine antara
2 hingga 4 jam. Seperti morfin, meperidine menghasilkan efek sedasi,
euphoria, mual, muntah, dan depresi nafas. Meperidine tidak dapat
diberikan per oral karena first pass hepatic metabolism yang besar
(80%). Elimination half time meperidine adalah 3-5 jam, metabolisme
sebagian besar di hati. Meperidine satu-satunya opioid yang adekuat
untuk operasi dengan administrasi intratechal dengan memblock
sodium channels. Meperidine dapat berfungsi sebagai antishivering.
Meperidine jarang menimbulkan bradikardi dan mungkin
menyebabkan peningkatan heart rate. Dosis besar dapat menurnkan
kemampuan kontraksi otot jantung. Akumulasi dari nomeperidine
(pada pasien dengan gagal ginjal) dapat menyebabkan delirium dan
kejang.

C. Fentanyl

Fentanyl merupakan opioid sintetis turunan phenylpiperidine.


Sebagai analgetik, fentanyl 75-125 kali lebih poten dari morfin.
Fentanyl memiliki onset kerja lebih cepat serta durasi lebih pendek

10
dibandingkan dengan morfin. Hal ini menunjukkan kelarutan fentanyl
dalam lipid lebih besar dari morfin, sehingga lebih mudah melewati
blood brain barrier. Durasi kerja yang singkat merupakan hasil dari
redistribusi fentanyl ke jaringan seperti lemak dan otot rangka yang
cepat, sehingga menurunkan konsentrasi fentayl di plasma. Sebanyak
75% dari dosis awal fentanyl akan melalui first pass pulmonary
uptake. Ketika dosis IV fentanyl diberikan berulang atau dengan infus
berkelanjutan, akan terjadi saturasi berkelanjutan di jaringan, sehingga
konsentrasi plasma fentanyl tidak akan menurun dengan cepat, durasi
kerja serta efek depresi pernafasan dapat memanjang. Setelah
dimasukkan melalui bolus IV, fentanyl didistribusikan dan plasma ke
jaringan yang kaya akan vaskularisasi (otak, paru, jantung). Lebih dari
80% dosis yang disuntikkan meninggalkan plasma kurang dari 5
menit. Konsentrasi plasma dipertahankan dengan re-uptake secara
perlahan dari jaringan seperti lemak dan otot, hal ini dapat
menyebabkan efek obat berkepanjangan.

Dosis rendah fentanyl ( 1-2 mcg/kg IV) berfungsi sebagai


analgetik. Dosis fentanyl 2-20 jmcg/kg IV dapat ditambahkan sebagai
adjuvant anestesi inhalasi untuk menumpulkan respon sirkulasi saat
dilakukan laringoskopi untuk intubasi trakea atau perubahan tiba pada
level stimulasi operasi. Menambahkan fentanyl 1,5 atau 3 mcg/kg IV
5 menit sebelum induksi dapat menurunkan kebutuhan isoflurane dan
desflurane dengan 60% N2O yang diperlukan untuk memblok respon
saraf simpatis terhadap stimulasi operasi. Fentanyl dosis tinggi ( 50-
150 mcg/kg IV) saja dapat menghasilkan anesthesia untuk operasi.
Keuntungan fentanyl yaitu: tidak banyak menimbulkan efek depresi
myocardial secara langsung, tidak menyebabkan pelepasan histamine,
serta menurunkan respon stress saat operasi. Kerugian fentanyl: Tidak
dapat mencegah respon saraf simpatis terhadap stimulasi nyeri operasi

11
terutama pada pasien dengan fungsi jantung yang baik,efek amnesia
yang tidak teduga, dan depresi pernapasan post op. Fentanyl
intrathecal (keuntungan maksimal denga 25 mcg) dapat menghasilkan
analgetik yang cepat pada awal persalinan dengan efek samping yang
minim. Efek samping fentanyl meliputi depresi pernapasan yang
persistent atau berulang, mual dan muntah post operasi.

Fentanyl berinteraksi baik dengan benzodiazepine dan


propofol, meningkatkan potensi dan menurunkan kebutuhan dosis dari
kedua obat tersebut.

D. Hydromorphone

Hydromorphone merupakan turunan morfin yang 5 kali lebih


poten dibandingkan dengan morfin namun dengan durasi kerja yang
lebih singkat. Dibandingkan dengan morfin, hydromorphone lebih
tidak hipofilik menyebabkan onset analgetik lebih cepat.
Hydromorphone lebih menghasilkan efek sedasi namun kurang efek
euphoria dibandingkan dengan morfin. Karena eliminasi dan
redistribusi, dosis oral perlu diulang setiap 4 jam untuk
mempertahankan konsentrasi plasma yang adekuat untuk analgesi.
Kegunaan dan efek samping sama dengan morfin namun pelepasan
histamine dari hydromorphone lebih sedikit dibandingkan dengan
morfin.

2.5. Centrally Acting Non-Opioid Analgesic


2.5.1. a2-Adrenergic Agonists
Pemberian agonis a2-adrenergik dengan epidural atau intratekal akan
memberikan analgesia dengan mengaktifkan reseptor a2-adrenergik

12
(reseptor penghambat yang mengandung protein G) pada neuron
preganglionik simpatik yang memediasi pengurangan pelepasan
norepinephrine (melalui mekanisme umpan balik negatif). Melalui jalur
noradrenergik, nukleus A5 dan A7 yang berada di pons dan midbrain
tampaknya memainkan peran penghambatan utama pada aktivitas neuron
preganglionik simpatik. Efek keseluruhannya adalah simpatolitik yang
menghasilkan analgesia, hipotensi, bradikardia, dan sedasi.

a. Clonidine
Clonidine bertindak sebagai agonis reseptor a2 selektif. Clonidine yang
diberikan secara intrathekal telah terbukti menjadi analgesik yang
efektif untuk kanker kronis dan nyeri non kanker, dan juga untuk nyeri
pasca operasi. Clonidine memiliki efek antihipertensi dan telah
memiliki potensi sebagai analgesia pasca operasi yang diinduksi oleh
anestesi lokal. Clonidine secara spinal menyebabkan perpanjangan
durasi blok sensorik dan motorik sebanyak 30% dari anestesi lokal.
Clonidine umumnya diberikan secara epidural dalam dosis mulai dari
75 sampai 150 mcg. Dosis yang digunakan untuk analgesia intratekal
berkisar antara 10 sampai 50 mcg. Untuk analgesia kaudal, dosis
clonidine diberikan 1 mcg / kg. Pemberian klonidin intratekal 37,5
sampai 150 mcg dengan bupivakain meningkatkan dosis blokade
sensorik dan interval nyeri pascaoperasi.
Dengan anestesi spinal / epidural gabungan, dosis clonidine
intratekal sebesar 15 mcg menghasilkan durasi anestesi, analgesia, dan
blokade motor yang meningkat. Epidural clonidine pada periode
pascaoperasi mengurangi skor Visual Analogue Scale (VAS) dan juga
menurunkan konsumsi morfin. Penambahan clonidine intrathecal dan
epidural dikaitkan dengan penurunan detak jantung dan tekanan darah
yang signifikan. Epidural clonidine 1 mg / mL bila ditambahkan dengan

13
morfin 0,1 mg / mL pada 0,2% ropivacaine secara signifikan
mengurangi skor nyeri pasca operasi pasien artroplasti lutut.
Opioid dan agonis a2 yang diberikan secara neuroaxial menunjukkan
efek yang sinergis. Penambahan clonidine dan opioid untuk analgesia
pasca operasi sebagai infus epidural mengurangi kebutuhan opioid
hingga 20% - 60% . Penambahan 75 mcg clonidine pada ropivacaine
menghasilkan analgesia lebih lama dan lebih efektif untuk kelahiran
sesar. Clonidine adalah tambahan yang berguna untuk analgesia
epidural pada persalinan dan telah menunjukkan dapat mengurangi
kebutuhan anestesi lokal dan memperbaiki skala nyeri saat
dikombinasikan dengan bupivakain 0,125% dengan atau tanpa fentanil
2 mg / mL. Bila digunakan dalam konsentrasi 1 sampai 2 mcg / mL,
clonidine tidak memiliki efek signifikan pada detak jantung janin, nilai
Apgar, atau pertukaran gas pada tali pusat. Clonidine mungkin juga
memiliki efek menguntungkan tambahan pada wanita dengan
preeklampsia. Namun, FDA telah mengeluarkan peringatan kotak
hitam mengenai penggunaan klonidin neuraksial pada anestesi
obstetrik karena terkait pada ketidakstabilan hemodinamik ibu.
Peringatan tersebut menyatakan, "Obstetrical, Postpartum, atau
Perioperative Use: mempertimbangkan risiko / keuntungan; Clonidine
epidural umumnya tidak dianjurkan untuk penanganan nyeri obstetris,
postpartum, atau perioperatif karena risiko ketidakstabilan
hemodinamik, terutama. hipotensi dan bradikardia. " Dengan demikian,
manfaat analgesia adjuvan dan efek hemodinamik harus
dipertimbangkan terhadap risiko setiap pasien.

b. Neostigmine
Neostigmin bertindak dengan menghambat asetilkolinesterase dan
mencegah kerusakan asetilkolin. Naguib dan Yaksh menunjukkan bahwa
14
pemberian inhibitor cholinesterase intratekal (neostigmine atau
edrophonium) menghasilkan aktivitas antinociceptive dosis-dependent
pada tikus. Efek antinociceptive ini tidak tergantung pada sistem opioid dan
a2-reseptor dan terutama karena stimulasi muskarinik (tapi tidak nikotinik)
reseptor kolinergik. Neostigmin adalah molekul hidrofilik, seperti morfin,
dan bila diberikan pada ruang epidural, dibutuhkan waktu untuk difusi
melalui dura mater ke dalam ruang subarachnoid. Intrathecal neostigmine
telah digunakan sebagai tambahan anestesi lokal atau opioid intratekal
untuk memperpanjang durasi analgesia regional dan memperbaiki stabilitas
hemodinamik dengan hasil yang bervariasi. Meningkatnya dosis
neostigmin intratekal (10 sampai 100 mcg) diikuti oleh 2% epidural
lidocaine menghasilkan peningkatan analgesia pada persalinan sesar.
Penurunan kebutuhan morfin berlangsung hingga 10 jam tanpa efek buruk
pada janin, namun insidensi mual bervariasi dari 50% sampai 100% pada
pasien. Dalam penelitian lain, neostigmin intratekal (10 mcg) saja tidak
efektif untuk menghilangkan nyeri persalinan, namun bila dikombinasikan
dengan sufentanil intratekal dapat mengurai ED50 sufentanil sekitar 25%.
Kombinasi neostigmin epidural dengan anestetik lokal, opioid, atau
klonidin untuk analgesia persalinan menunjukkan efisiensi analgesik yang
baik. Epidural neostigmin tidak mempengaruhi blokade motor. Dosis yang
lebih tinggi dari neostigmin intratekal dapat menyebabkan sedasi ringan.
Neostigmin merangsang reseptor muskarinik pada otot polos bronkus dan
menyebabkan bronkospasme. Dalam studi neostigmin intratekal, kecuali
pada dosis sangat tinggi (misalnya 750 mcg), tidak ada perubahan yang
terdeteksi pada saturasi oxyhemoglobin dan pada tingkat karbon dioksida.
Neostigmin intratekal dengan dosis 1 mcg / kg telah digunakan pada
operasi abdomen dan urologi pediatrik yang dapat meningkatkan analgesia.
Efek gastrointestinal yang merugikan telah membuat neostigmine sebagai
pilihan yang tidak populer untuk terapi adjuvant neuraxial. Tidak seperti
neostigmin intratekal, epidural neostigmin tidak dikaitkan dengan
15
peningkatan risiko mual dan muntah, tidak menyebabkan depresi
pernapasan atau pruritus baik sendiri atau dikombinasikan dengan opioid
neuraksial, namun dosis yang lebih besar dari 100 mcg telah dikaitkan
dengan efek sedasi.

c. Ketamine
Dosis ketamin sebagai anestetik dan subanestetik memiliki sifat analgesik
sebagai akibat dari aktivitas reseptor N-metil-d-aspartat (NMDA). Dengan
stimulasi nociceptive yang berulang, reseptor NMDA diaktifkan,
merangsang pelepasan neurotransmiter glutamat, aspartat, dan neurokinin.
Efek analgesik utamanya dimediasi oleh antagonis reseptor NMDA yang
terletak pada neuron aferen sekunder di dorsal horn dari tulang belakang
sehingga mencegah peningkatan neurotransmisi.
Naguib dkk. mempelajari dosis epidural 10 mg dan 30 mg pada ketamine,
ditemukan bahwa dosis 30 mg menghasilkan pereda nyeri pascaoperasi
yang sangat baik. Dosis rendah ketamin sebesar 4, 6, dan 8 mg yang
diberikan secara epidural ternyata tidak efektif untuk analgesic pasca
operasi. Keuntungan ketamin intratekal adalah efek kardiovaskular dan
depresi pernapasan yang jarang. Kelemahan utama ketamin intratekal
adalah potensi reaksi psikomimetik, blokade motor yang tidak adekuat, dan
durasi tindakan yang pendek.

2.6. Peripherally Acting Analgesics


2.6.1. Nonsteroidal Antiinflammatory Drugs (NSAIDs)
Obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID) adalah obat yang paling sering
diresepkan di dunia. Kelas obat yang beragam ini mencakup aspirin dan
beberapa penghambat siklooksigenase selektif dan nonselektif lainnya
dengan analgesik umum, antiinflamasi, dan sifat antipiretik. NSAID
menghambat biosintesis prostaglandin dengan mencegah substrat asam
arakidonat agar tidak mengikat enzim COX. Enzim COX terdiri dari dua
16
isoenzim isoforms, yaitu COX-1 dan COX-2. COX-1 secara konstitutif
diekspresikan dan mengkatalisis produksi prostaglandin yang terlibat dalam
banyak fungsi fisiologis, termasuk pemeliharaan fungsi ginjal, melindungi
mukosa di saluran cerna, dan produksi proaggregatory thromboxane A2 di
platelet.
Ekspresi COX-2 diinduksi oleh mediator inflamasi di banyak jaringan dan
berperan dalam mediasi nyeri, radang, dan demam. COX-2 selective
inhibitor (dikenal sebagai coxibs) memiliki toksisitas terhadap
gastrointestinal yang lebih rendah daripada NSAID non selektif. Namun,
peningkatan risiko kardiovaskular dikaitkan dengan penggunaan kelas obat
ini. Saat ini, celecoxib adalah satu-satunya inhibitor selektif COX-2 yang
tersedia untuk penggunaan klinis. Penghambat selektif COX-2 harus
digunakan dengan hati-hati pada pasien dengan penyakit kardiovaskular
yang mendasarinya.

17
Gambar 3. Jalur Cyclooxygenase
2.6.1.1 Efek Samping Nonsteroidal Antiinflammatory Drugs (NSAIDs)

18
2.6.1.2. Acetaminophen
Acetaminophen (Tylenol, juga dikenal sebagai parasetamol, N-asetil-p-
aminofenol, dan nAPAP) adalah antipiretik dan analgesik yang populer yang
ditemukan di banyak produk bebas resep dan resep. Acetaminophen bersifat
antipiretik dan analgesik namun hanya sedikit. Acetaminophen adalah penyebab
utama penyakit hati di Amerika Serikat, dan hampir separuh kasus terkait
asetaminofen disebabkan oleh overdosis yang tidak disengaja. Asetaminofen
memiliki efek analgesik sentral yang dimediasi melalui aktivasi jalur serotonergik.
Asetaminofen oral memiliki bioavailabilitas yang sangat baik.
Acetaminophen cocok untuk penggunaan analgesik atau antipiretik; Ini adalah
analgesik lini pertama pada osteoartritis dan sangat bermanfaat untuk pasien yang
memiliki kontraindikasi terhadap aspirin (misalnya, mereka dengan penyakit ulkus
peptik, hipersensitivitas aspirin, dan anak-anak dengan penyakit demam). Dosis
oral acetaminophen konvensional adalah 325 sampai 650 mg setiap 4 sampai 6 jam;
dosis harian total tidak boleh melebihi 4.000 mg (2.000 mg per hari untuk alkoholik
kronis). Dalam upaya mengurangi kejadian hepatotoksisitas, FDA pada tahun 2009
dosis acetaminophen maksimum maksimum harian 2.600 mg dan penurunan dosis
tunggal maksimum dari 1.000 mg sampai 650 mg.
Analgesia optimal untuk nyeri postoperatif sedang sampai parah tidak dapat dicapai
dengan menggunakan agen tunggal saja. Parasetamol IV memberikan efektivitas
sekitar 4 jam analgesia untuk sekitar 37% pasien dengan nyeri pascaoperasi akut.
Bukti saat ini menunjukkan bahwa kombinasi parasetamol dan NSAID dapat
memberikan efektivitas yang lebih baik dibandingkan dengan satu agen obat saja.
Asetaminofen dapat ditoleransi dengan baik dan memiliki efek samping
gastrointestinal yang rendah. Namun, overdosis akut dapat menyebabkan kerusakan
hati yang parah, dan jumlah keracunan baik yang disengaja atau disengaja dengan
acetaminophen terus meningkat. Penggunaan kronis, 2 g per hari biasanya tidak
dikaitkan dengan disfungsi hati, namun terlalu banyak menggunakan produk
kombinasi narkotika dan acetaminophen yang dipasarkan di Amerika Serikat telah
menyebabkan kesadaran akan kemungkinan toksisitas meningkat.
19
Farmakologi overdosis acetaminophen, termasuk waktu dan pengobatannya sangat
menarik dan penting untuk dipahami. Kerusakan hati akibat salah satu metabolit
asetaminofen, N-asetil-p-benzoquinoneimin (NAPQI). NAPQI menyebabkan
kegagalan hati dengan menghabiskan glutathione antioksidan alami hati dan secara
langsung merusak sel hati, yang menyebabkan gagal hati.
Pengobatan ditujukan untuk menghilangkan parasetamol dari tubuh dan mengganti
glutathione. Karbon aktif dapat digunakan untuk mengurangi penyerapan
asetaminofen pada mereka yang hadir, segera setelah konsumsi, overdosis.
Asetilkistin diberikan sebagai penangkal dan bertindak sebagai pendahulu untuk
glutathione dan dapat menetralkan NAPQI secara langsung. Pasien yang diobati
dini setelah konsumsi acetaminophen memiliki prognosis yang baik.

2.6.1.3. Acetylsalicylic Acid (Aspirin)


Aspirin adalah senyawa obat tertua dan paling banyak digunakan di dunia.
Hal ini dianggap terpisah dari NSAID karena penggunaannya yang dominan dalam
pengobatan penyakit kardiovaskular dan serebrovaskular. Aspirin adalah turunan
dari asam salisilat. Aspirin dan salisilat dimetabolisme dengan cepat di plasma
(misalnya, melalui esterase plasma), eritrosit, dan hati, menuju salisilat in vivo.
Aspirin memiliki beberapa kegunaan yang berbeda. Aspirin bertindak sebagai
analgesik umum dengan menghalangi enzim COX dan dengan demikian mencegah
produksi prostaglandin. Aspirin efektif mengobati sakit kepala, nyeri punggung dan
otot, dan nyeri umum lainnya. Aspirin secara ireversibel menginaktifkan COX,
yang menyebabkan penghambatan agregasi platelet berkepanjangan.

2.6.1.4. Ketorolac
Ketorolak merupakan salah satu obat analgetik dari golongan NSAID
yang merupakan suatu grup yang terdiri dari berbagai struktur kima yang
memiliki potensi sebagai antiinflamasi, antipiretik dan analgetik. Obat
dengan golongan jenis ini bekerja melalui jalur siklooksigenase yang

20
berdampak pada terjadinya pencegahan sensitisasi nosiseptor perifer
karena terjadinya hambatan biosintesis prostaglandin.
Ketorolak dapat diberikan secara oral, intramuskular atau intravena.
Pemberian secara intratekal dan epidural tidak dianjurkan karena dapat
menyebabkan hyperalgesia dan allodynia. Ketorolac intratekal 0,25 - 2,0
mg dapat ditoleransi dengan baik, dengan satu-satunya efek buruk adalah
sedikit penurunan denyut jantung 15 sampai 60 menit setelah injeksi.
Ketorolac intratekal tidak mengurangi rasa sakit kronis atau
memperpanjang anestesi atau analgesia dari bupivakain intratekal yang
diberikan pada awal pembedahan. Obat ini memiliki potensi yang besar
dalam menanggulangi nyeri berat akut, namun memiliki aktifitas anti
inflamasi yang sedang bila diberikan secara intra muscular dan intra vena.
Ketorolak dapat diberikan sebagai analgesik pasca operatif atau sebagai
kombinasi bersama opioid. Cara kerja ketorolak adalah dengan cara
menghambat sintesis prostaglandin secara reversibel di perifer tanpa
mengganggu reseptor opioid pada sistem pusat. Ketorolak akan
menghambat nyeri dan reaksi inflamasi, sehingga akan mempercepat
proses penyembuhan luka. Obat ini juga memiliki potensi untuk
menghambat produksi tromboksan platelet dan agregasi platelet. Ketorolak
secara kompetitif menghambat kedua isoenzim COX, COX-1 dan COX-2
dengan potensi yang berbeda, untuk menghasilkan efek farmakologis
antiinflamasi, analgesi, dan antipiretik. Sama seperti NSAID lain, obat ini
tidak dianjurkan diberikan untuk wanita hamil, menghilangkan nyeri
persalinan wanita sedang menyusui, usia lanjut, anak usia kurang dari 4
tahun, gangguan perdarahan dan bedah tosilektomi.
Keuntungan dari penggunaan analgesik ketorolak adalah obat ini tidak
menyebabkan depresi ventilasi atau kardiovascular. Selain itu, ketorolak
hanya memiliki sedikit atau tidak ada efek pada dinamika saluran empedu,
menjadikan obat ini lebih berguna sebagai analgesik pada pasien spasme
gangguan empedu.
21
Sifat analgetik ketorolak setara dengan opioid, yaitu 30 mg ketorolak
yang sama dengan 12 mg morfin atau 100 mg petidin. Sifat antipiretik pada
ketorolak tergolong rendah. Penggunaan secara oral tidak terlalu
bermanfaat pada nyeri akut pasca operasi terutama dengan dosis maksimal
sebesar 30 mg/hari.26 Waktu paruh pada orang yang masih muda sekitar
3,5 – 9,2 jam, dengan ekskresi lewat ginjal sekitar 91,4% sedangkan lewat
empedu 6,1%. Pemberian dosis ketorolak yang dianjurkan adalah 3-4
kali/hari dengan dosis maksimal im/iv tidak lebih dari 120 mg/hari

22
BAB III

KESIMPULAN

Analgesik adalah suatu senyawa atau obat yang dipergunakan untuk


mengurangi rasa sakit atau nyeri. Obat-obat analgesik dibagi menjadi 2 yaitu, non-
opioid (non-narkotik), bekerja di perifer, sifatnya ringan, dan antipiretik dan opioid
(narkotik), bekerja di sentral, dan analgetik yang kuat. Secara umum,
penatalaksanaan awal pada nyeri dengan analgesic non-opioid walaupun kurang
efektif dibandingkan dengan opiod untuk mengatasi nyeri.3
Tatalaksana nyeri terutama pada keadaan akut dapat diberikan melalui oral,
transdermal, intravena, dan intramuskular. Analgesik non opioid dibedakan
menjadi 2 golongan, 1) non asam, antipiretik analgesik seperti pirazolon
(metamizol) dan derivat aniline (paracetamol), 2) non steroidal antiinflammatory
drugs (NSAID). 2
Mekanisme kerja analgesik non-opioid dengan menghambat enzim
siklooksigenase (COX). Terdapat 2 jenis enzim ini, yaitu, COX-1 dan COX-2.
Mekanisme tersebut melibatkan blokade dari produksi prostaglandin dengan
menghambat enzim siklooksigenase pada jaringan yang terluka di perifer. Sehingga
menurunkan mediator-mediator nyeri di sistem saraf perifer. Enzim COX
mengkatalisis produksi prostaglandin dari asam arakhidonat. Efek samping yang
paling sering terjadi adalah gangguan gastrointestinal, perdarahan, dan kerusakan
pada hepar dan ginjal.5

23
Daftar Pustaka

1. Guyton, A. Kompartemen Cairan Tubuh: Cairan Ekstraseluler dan


Intraseluler. Dalam: Buku ajar fisiolohi kedokteran edisi 9. Jakarta: EGC;
1997. Hal 375 – 7.
2. Latief AS, dkk. Petunjuk Praktis Anestesiologi: Terapi Cairan pada
pembedahan. Edisi Kedua. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif, FKUI.
2009.
3. Stoelting, Robert K and Ronald D. Miller. Basics of Anesthesia. Six edition.
California: Churchill Livingstone. 2011.
4. Morgan GE, et al. Clinical Anesthesiology: Fluid Management and
Tranfusion. Fifth Edition. New York: Lange Medical Books/ McGraw- Hill.
2013.
5. Paul G, Barash. Handbook of Clinical Anesthesia, ed 6. Lippincott Williams
& Wilkins. 2009.

24

Anda mungkin juga menyukai