Anda di halaman 1dari 4

Faktor – Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Asma :

1. Imunitas dasar Mekanisme imunitas terhadap kejadian inflamasi pada asma kemungkinan
terjadi ekspresi sel Th2 yang berlebihan (NHLBI, 2007). Menurut Moffatt, dkk (2007), gen
ORMDL3 mempunyai hubungan kuat sebagai faktor predisposisi asma.

2. Umur Insidensi tertinggi asma biasanya mengenai anak-anak (7-10%), yaitu umur 5 – 14
tahun. Sedangkan pada orang dewasa, angka kejadian asma lebih kecil yaitu sekitar 3-5%
(Asthma and Allergy Foundation of America, 2010). Menurut studi yang dilakukan oleh
Australian Institute of Health and Welfare (2007), kejadian asma pada kelompok umur 18 – 34
tahun adalah 14% sedangkan >65 tahun menurun menjadi 8.8%. Di Jakarta, sebuah studi pada
RSUP Persahabatan menyimpulkan rerata angka kejadian asma adalah umur 46 tahun
(Pratama dkk, 2009).

3. Jenis Kelamin Menurut GINA (2009) dan NHLBI (2007), jenis kelamin laki-laki merupakan
sebuah faktor resiko terjadinya asma pada anak-anak. Akan tetapi, pada masa pubertas, rasio
prevalensi bergeser dan menjadi lebih sering terjadi pada perempuan (NHLBI, 2007). Pada
manusia dewasa tidak didapati perbedaan angka kejadian asma di antara kedua jenis kelamin
(Maryono, 2009).

4. Faktor pencetus Paparan terhadap alergen merupakan faktor pencetus asma yang paling
penting. Alergen – allergen ini dapat berupa kutu debu, kecoak, binatang, dan polen/tepung
sari. Kutu debu umumnya ditemukan pada lantai rumah, karpet dan tempat tidur yang kotor.
Kecoak telah dibuktikan menyebabkan sensitisasi alergi, terutama pada rumah di perkotaan
(NHLBI, 2007). Menurut Ownby dkk (2002) dalam GINA (2009), paparan terhadap binatang,
khususnya bulu anjing dan kucing dapat meningkatkan sensitisasi alergi asma. Konsentrasi
polen di udara bervariasi pada setiap daerah dan biasanya dibawa oleh angin dalam bentuk
partikel – partikel besar. Iritan – iritan berupa paparan terhadap rokok dan bahan kimia juga
telah dikaitkan dengan kejadian asma. Dimana rokok diasosiasikan dengan penurunan fungsi
paru pada penderita asma, meningkatkan derajat keparahan asma, dan mengurangi
responsivitas terhadap pengobatan asma dan pengontrolan asma. Menurut Dezateux dkk
(1999), balita dari ibu yang merokok mempunyai resiko 4 kali lebih tinggi menderita kelainan
seperti mengi dalam tahun pertama kehidupannya. Kegiatan fisik yang berat tanpa diselingi
istirahat yang adekuat juga dapat memicu terjadinya serangan asma (Nurafiatin dkk, 2007).
Riwayat penyakit infeksi saluran pernapasan juga telah dihubungkan dengan kejadian asma.
Menurut sebuat studi prospektif oleh Sigurs dkk (2000), sekitar 40% anak penderita asma
dengan riwayat infeksi saluran pernapasan (Respiratory syncytial virus) akan terus menderita
mengi atau menderita asma dalam kehidupannya.

5. Status sosioekonomik Mielck dkk (1996) menemukan hubungan antara status sosioekonomik
/ pendapatan dengan prevalensi derajat asma berat. Dimana, prevalensi derajat asma berat
paling banyak terjadi pada penderita dengan status sosioekonomi yang rendah, yaitu sekitar
40%.

Patogenesis Asma
Asma merupakan penyakit inflamasi kronis yang melibatkan beberapa sel. Inflamasi kronis
mengakibatkan dilepaskannya beberapa macam mediator yang dapat mengaktivasi sel target di
saluran nafas dan mengakibatkan bronkokonstriksi, kebocoran mikrovaskuler dan edema,
hipersekresi mukus, dan stimulasi refleks saraf . Pada asma terjadi mekanisme hiperresponsif
bronkus dan inflamasi, kerusakan sel epitel, kebocoran mikrovaskuler, dan mekanisme saraf.(2)
Hiperresponsif bronkus adalah respon bronkus yang berlebihan akibat berbagai
rangsangan dan menyebabkan penyempitan bronkus. Peningkatan respons bronkus biasanya
mengikuti paparan alergen, infeksi virus pada saluran nafas atas, atau paparan bahan kimia.
Hiperesponsif bronkus dihubungkan dengan proses inflamasi saluran napas. Pemeriksaan
histopatologi pada penderita asma didapatkan infiltrasi sel radang, kerusakan epitel bronkus,
dan produksi sekret yang sangat kental. Meskipun ada beberapa bentuk rangsangan, untuk
terjadinya respon inflamasi pada asma mempunyai ciri khas yaitu infiltrasi sel eosinofil dan
limfosit T disertai pelepasan epitel bronkus .

Pada saluran napas banyak didapatkan sel mast, terutama di epitel bronkus dan dinding
alveolus, sel mast mengandung neutral triptase. Triptase mempunyai bermacam aktivitas
proteolitik antara lain aktivasi komplemen, pemecahan fibrinogen dan pembentukan kinin. Sel
mast mengeluarkan berbagai mediator seperti histamin, prostaglandin-D2 (PGD2), dan
Leukotrien-C4 (LTC4) yang berperan pada bronkokonstriksi. Sel mast juga mengeluarkan
enzim tripase yang dapat memecah peptida yang disebut vasoactive intestinal peptide (VIP)
dan heparin. VIP bersifat sebagai bronkodilator . Heparin berperan dalam mekanisme anti
inflamasi , heparin mengubah basic protein yang dikeluarkan oleh eosinofil menjadi tidak aktif.
Makrofag terdapat pada lumen saluran nafas dalam jumlah banyak, diaktivasi oleh Ig E
dependent mechanism sehingga makrofag berperan dalam proses inflamasi pada penderita
asma. Makrofag melepaskan mediator seperti tromboksan A2, prostaglandin, platelet activating
factor, leukotrien-B4 (LTB4), tumor necrosis factor (TNF), interleukin-1 (IL-1), reaksi
komplemen dan radikal bebas oksigen. Berbeda dengan sel mast, pelepasan mediator oleh
makrofag dapat dihambat dengan pemberian steroid tetapi tidak oleh golongan agonis beta-2.
Infiltrasi eosinofil di saluran napas, merupakan gambaran khas untuk penderita asma.
Inhalasi alergen menyebabkan peningkatan eosinofil pada cairan bilasan bronkoalveolar pada
saat itu dan beberapa saat sesudahnya (reaksi lambat). Terdapat hubungan langsung antara
jumlah eosinofil pada darah perifer dan pada bilasan bronkoalveolar dengan hiperresponsif
bronkus. Eosinofil melepaskan mediator seperti LTC4, platelet activating factor (PAF), radikal
bebas oksigen, mayor basic protein (MBP), dan eosinofil derived neurotoxin (EDN) yang
bersifat sangat toksik untuk saluran napas.

Neutrofil banyak dijumpai pada asma yang diakibatkan oleh kerja. Neutrofil diduga
menyebabkan kerusakan epitel oleh karena pelepasan metabolit oksigen, protease dan bahan
kationik. Neutrofil merupakan sumber mediator seperti prostaglandin, tromboxan, leukotrien-B4
(LTB4), dan PAF.

Limfosit T diduga mempunyai peranan penting dalam respon inflamasi asma, karena
masuknya antigen ke dalam tubuh melalui antigen reseptor complemen-D3 (CD3). Secara
fungsional CD3 dibagi menjadi 2 yaitu CD4 dan CD8. Limfosit T CD4 setelah diaktivasi oleh
antigen, akan melepaskan mediator protein yang disebut limfokin. Limfokin dapat
mengumpulkan dan mengaktifkan sel granulosit. Limfosit T CD4 merupakan sumber terbesar
dari IL-5. Zat IL-5 dapat merangsang maturasi dan produksi sel granulosit dari sel prekursor,
memperpanjang kehidupan sel granulosit dari beberapa hari sampai beberapa minggu, bersifat
kemotaksis untuk sel eosinofil, merangsang eosinofil untuk meningkatkan aktivitas respon
efektor, mengaktivasi limfosit B untuk membuat antibodi yang dapat menimbulkan respon imun.
(1,3)

Kerusakan sel epitel saluran napas dapat disebabkan oleh karena basic protein yang
dilepaskan oleh eosinofil atau pelepasan radikal bebas oksigen dari bermacam-macam sel
inflamasi dan mengakibatkan edema mukosa . Sel epitel sendiri juga mengeluarkan mediator.
Kerusakan pada epitel bronkus merupakan kunci terjadinya hiperresponsif bronkus, ini
mungkin dapat menerangkan berbagai mekanisme hiperresponsif bronkus oleh karena paparan
ozon, infeksi virus, dan alergen. Pada manusia, epitel bronkus dan trakea dapat membentuk
PGE2 dan PGF2 alfa serta 12 dan 15 hydroxyicosotetraenoic (12HETE dan 15-HETE). 15-
HETE bersifat kemotaksis terhadap eosinofil. Kerusakan epitel mempunyai peranan terhadap
terjadinya hiperresponsif bronkus melalui cara pelepasan epitel yang menyebabkan hilangnya
pertahanan, sehingga bila terinhalasi, bahan iritan akan langsung mengenai submukosa yang
seharusnya terlindungi. Pelepasan epitel bronkus meningkatkan kepekaan otot polos bronkus
terhadap bahan spasmogen. Kerusakan epitel bronkus menyebabkan ujung saraf perifer
langsung terkena paparan atau teraktivasi oleh mediator inflamasi sehingga mengakibatkan
terjadinya inflamasi melalui mekanisme akson refleks. Sel epitel mungkin dapat memproduksi
enzim yang merusak mediator, yaitu neutral actoenzym endopeptidase yang dapat merusak
bradikinin dan substan-P. (2,4)

Mekanisme kebocoran mikrovaskuler terjadi pada pembuluh darah venula akhir kapiler.
Beberapa mediator seperti histamin, bradikinin, dan leukotrin dapat menyebabkan kontraksi sel
endotel sehingga terjadi ekstravasasi makromolekul. Kebocoran mikrovaskuler mengakibatkan
edema saluran napas sehingga terjadi pelepasan epitel, diikuti penebalan submukosa.
Keadaan ini menyebabkan peningkatan tahanan saluran napas dan merangsang konstraksi otot
polos bronkus. Adrenalin dan kortikosteroid dapat mengurangi kebocoran mikrovaskuler pada
saluran napas. Penurunan adrenalin dan kortikosteroid pada malam hari mengakibatkan
terjadinya pelepasan mediator dan peningkatan kebocoran mikrovaskuler , hal ini berperan
dalam terjadinya asma pada malam hari.

Pengaruh mekanisme saraf otonom pada hiperresponsif bronkus dan patogenesis asma
masih belum jelas, hal ini dikarenakan perubahan pada tonus bronkus terjadi sangat cepat.
Peranan saraf otonom kolinergik, adrenergik, dan nonadrenergik terhadap saluran napas telah
diidentifikasi. Beberapa mediator inflamasi mempunyai efek pada pelepasan neurotransmiter
dan mengakibatkan terjadinya reaksi reseptor saraf otonom . Saraf otonom mengatur fungsi
saluran nafas melalui berbagai aspek seperti tonus otot polos saluran napas, sekresi mukosa,
aliran darah, permeabilitas mikrovaskuler, migrasi, dan pelepasan sel inflamasi. Peran saraf
kolinergik paling dominan sebagai penyebab bronkokonstriksi pada saluran napas. Beberapa
peneliti melaporkan bahwa rangsangan yang disebabkan oleh sulfur dioksida, prostaglandin,
histamin dan bradikinin akan merangsang saraf aferen dan menyebabkan bronkokonstriksi .
Bronkokonstriksi lebih sering disebabkan karena rangsangan reseptor sensorik pada saluran
napas (reseptor iritan, C-fibre) oleh mediator inflamasi. (2,4)

Mekanisme adrenergik meliputi saraf simpatis, katekolamin yang beredar dalam darah,
reseptor alfa adrenergik, dan reseptor beta adrenergik. Pemberian obat agonis adrenergik
memperlihatkan perbaikan gejala pada penderita asma, hal ini menunjukkan adanya defek
mekanisme adrenergik pada penderita asma. Saraf adrenergik tidak mengendalikan otot polos
saluran napas secara langsung, tetapi melalui katekolamin yang beredar dalam darah

Anda mungkin juga menyukai