Anda di halaman 1dari 8

Kewajiban Penggunaan Bahasa Indonesia dalam Kontrak

Internasional

A. Latar Belakang
Bahasa Indonesia pertama kali diikrarkan sebagai bahasa nasional dalam
Kongres Pemuda 28 Oktober 1928. Alasan yang mendukung pengikraran itu di
antaranya adalah bahasa Indonesia telah dipakai sebagai lingua franca selama berabad-
abad sebelumnya di seluruh kawasan Nusantara. Kedudukannya makin kuat manakala
bahasa Indonesia dijadikan bahasa negara dan bahasa resmi negara Indonesia di dalam
Pasal 36 UUD 1945.1 Dalam kontrak bisnis internasional, kedudukan klausul choice of
language sama pentingnya dengan kedudukan klausul choice of law dan choice of
jurisdiction. Ketiga klausul ini saling berhubungan satu sama lain.
Tujuan penyusunan klausul choice of language ini adalah untuk memberikan
kepastian bagi para pihak tentang bahasa tertentu yang menjadi bahasa yang digunakan
oleh para pihak dalam menginterpretasikan isi kontrak apabila terjadi perbedaan
penafsiran diantara mereka makna kalimat-kalimat dalam kontrak. Kepastian mengenai
tentang bahasa yang menjadi dasar para pihak dan juga lembaga pengadilan atau
penyelesaian sengketa dalam menafsirkan isi kontrak adalah vital dalam kontrak bisnis
internasional para pihaknya berasal dari negara-negara yang berbeda dengan bahasa
nasional yang berbeda. Dengan kata lain klausul choice of language menghindarkan
munculnya sengketa yang diakibatkan perbedaan penafsiran atas isi atau kalimat-
kalimat kontrak bisnis internasional. 2
Para pihak yang akan membuat kontrak Internasional harus memastikan negara
mana yang memiliki hukum yang mengatur tentang kewajiban menggunakan bahasa
nasional dalam dokumen-dokumen hukum tertentu. Contohnya, hukum negara perancis
memwajibkan beberapa jenis kontrak seperti kontrak-kontrak bisnis di bidang pasar
modal harus dituliskan dengan bahasa perancis. Demikian pula hukum di Indonesia
mensyaratkan penggunaan bahasa Indonesia dalam semua perjanjian atau kontrak yang
seluruh atau sebagian pihaknya warga negara Indonesia. Di samping itu, praktik hukum

1
Sri Hapsari Wijayanti, Bahasa Hukum Indonesia Di Dalam Surat Perjanjian,
https://www.atmajaya.ac.id/web/KontenUnit.aspx?gid=artikel-hki&ou=hki&cid=artikel-hki-bahasa-hukum-
indonesia, diakses pada tanggal 26 November 2019, Pukul 20.00 WIB
2
Roger E. Meiners di dalam Afifah Kusumadara, Kontrak Bisnis Internasional Elemen-Elemen
Penting Penyusunannya, Sinar Grafika, Jakarta, 2013
di banyak negara juga mensyaratkan penggunaan bahasa nasional dari negara tempat
kontrak kerja dilakukan, sedangkan untuk kontak jual beli benda tidak bergerak, banyak
negara mensyaratkan penggunaan dari bahasa nasional dari negara tempat benda tidak
bergerak itu berada. Pada pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2019
tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan) menyebutkan
bahwa:
“Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam nota kesepahaman atau perjanjian
yang melibatkan lembaga Negara, instansi pemerintahan Republik Indonesia,
lembaga swasta Indonesia atau perseorangan warga negara Indonesia”
Ketentuan wajib berarti harus mengikat kepada siapapun, tentu hal ini bertolak
belakang dengan asas kebebasan berkontrak pada pasal 1338 KuhPerdata. Berdasarkan
hal tersebut penulis tertarik mengkaji terkait “kewajiban pengunaan bahasa Indonesia
dalam kontrak internasional”

B. Rumusan Masalah
Apa makna dari Kewajiban Penggunaan Bahasa Indonesia dalam Kontrak ?
pengaturan keliru, tidak sesuai dengan ketentuan kebebasan berkontrak sehingga
implikasi dapat menghambat investasi.

C. Pembahasan
Pada pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2019 tentang Bendera,
Bahasa dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan) menyebutkan bahwa:
“Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam nota kesepahaman atau perjanjian
yang melibatkan lembaga Negara, instansi pemerintahan Republik Indonesia,
lembaga swasta Indonesia atau perseorangan warga negara Indonesia”

Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang No. 24 Tahun 2009 bersifat bermandat


(mandatory) karena dengan jelas dinyatakan secara eksplisit kata “wajib” dalam
konteks pengaturan hukum lain. Misalnya, syarat sah perjanjian adalah “sebab yang
halal”. Pasal 1320 juncto 1337 Kuh Perdata menyatakan bahwa “suatu sebab adalah
terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang” ..” dengan kata lain jika hal tersebut
bertentangan dengan undang-undang, perjanjian yang tidak menggunakan bahasa
Indonesia menjadi batal demi hukum karena salah satu syarat sahnya perjanjian tidak
terpebuhi. Kecuali, jika pihak-pihak yang terlibat sepakat menggunakan bahasa selain
bahasa Indonesia dalam perjanjian tersebut. Hal ini dimungkinkan berdasarkan pasal
1339 KUH Perdata jo. Undang-Undang No. 24/2009 dikatakan bahwa nota
kesepahaman atau perjanjian yang melibatkan pihak asing ditulis juga dalam bahasa
Inggris. Kata-kata ditulis juga dapat diartikan bahwa pengunaan bahasa asing/ bahasa
inggris tersebut bersifat modalitasnya “tidak wajib” atau “boleh”. 3
Filsafat hukum dapat memberi jawaban mengapa kontrak berlaku mengikat.
Bahkan Rosqoe Pound menyatakan filsafat tidak saja memberi penjelasan mengapa
aturan-aturan hukum (kontrak) itu mengikat dan dasar-dasar yang menjadi pengikat
kontrak, tetapi filsafat hukum juga dapat “menghidupkan” kembali aturan-aturan yang
telah lama ada.4 Filsafat hukum dapat pula menjelaskan mengapa subjek-subjek hukum
terikat pada hukum. Filsafat hukum, seperti telah digambarkan oleh Hans Kelsen,
menerangkan mengapa individu terikat pada hak dan kewajiban yang tertuang di dalam
kontrak yang mereka buat.5
Ketentuan “wajib” merupakan suatu keharusan maka para pihak yang akan
membuat kontrak internasional harus menggunakan bahasa Indonesia. Dasar
mengikatnya suatu kontrak pada pasal 1338 KUH Perdata menyebutkan bahwa suatu
kesepakatan berupa perjanjian atau kontrak pada hakikatnya adalah mengikat. Bahkan,
kesepakatan itu memiliki kekuatan mengikat bagaikan undang-undang bagi para pihak
yang membuatnya.6 Dengan adanya kewajiban pengunaan bahasa Indonesia dalam
kontrak internasional betolak belakang dengan asas kebebasan berkontrak yang mana
para pihak yang diberikan kebebasan oleh undang-undang untuk menentukan bentuk
suatu perjanjian.
Mazhab hukum alam berupaya menjelaskan hakikat mengikatnya dari
hubungan hubungan perdata (privat) berupa kontrak ini adalah teori hukum alam.
Pufendorf berpendapat bahwa kontrak melahirkan hak dan kewajiban pada kedua belah
pihak. Berdasarkan hal ini maka keadilan menuntut bahwa kedua belah pihak itu
melaksanakan kontrak itu. Bila terdapat pelanggaran hukuman menyusul.7 Sesuai

3
Jurnal Hlm. 6
4
Rosqoe Pound, di dalam Huala Adolf, Dasar-Dasar Hukum Kontrak Internasional, Refika Aditama, Bandung,
2007, hlm. 14
5
Hans Kelsen, di dalam Huala Adolf, Dasar-Dasar Hukum Kontrak Internasional, Refika Aditama, Bandung,
2007, hlm. 15
6
Lihat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
7
Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, Kanisius Cet. 15, Yogyakarta, 2006. Hlm. 73
dengan mazhab hukum alam seharusnya kontrak internasional dituntut untuk
mengakomodasi keadilan bagi semua pihak, dengan mewajibkan penggunaan bahasa
Indonesia tentu salah satu pihak (asing) dapat dirugikan. Disamping itu teori hukum
kesetaraan (the equivalent theory) berupaya menjelaskan hakikat mengikatnya kontrak
yang menyatakan bahwa para pihak dalam kesepakatan tersebut telah memberikan
kesetaraan (kesamaan) bagi para pihak.
Di dalam UU kebahasaan ini memang tidak ada kata “sanksi” atau “larangan”
dan yang muncul hanya kata “wajib”. Kata kerja “wajib” yang disertai kata kerja
“digunakan” muncul di dalam Pasal 31 ayat (1) yang memuat hal penggunaan bahasa.
Kata “wajib” dan “digunakan” dipakai untuk menyebutkan bahwa penggunaan bahasa
Indonesia “wajib digunakan” dalam nota kesepahaman/perjanjian.
Kata “wajib” yang disertai kata kerja pasif “digunakan” merupakan modalitas
relasional yang menyatakan makna “keharusan”. Modalitas ini berkenaan dengan
persoalan otoritas satu partisipan dalam hubungannya dengan partisipan lainnya.
Modalitas “wajib” ini menyatakan bahwa apa yang dikemukakan dalam UU itu
merupakan sesuatu yang sangat penting sehingga “harus” dilaksanakan. Kata “wajib”
juga mengandung implikasi imperatif sekaligus direktif bagi pihak-pihak yang terikat
UU itu. Meskipun tidak ada kata “sanksi” atau “larangan”, bukan berarti “tidak ada
peraturan yang berlaku”. Masalah ini bisa dikiaskan dengan substansi UUD 1945. Di
dalam UUD sama sekali tidak dimuat masalah sanksi, tetapi isinya tetap dianggap
mengikat dan menjadi dasar bagi semua peraturan di Indonesia
Pasal tersebut secara tegas mewajibkan penggunaan bahasa Indonesia dalam
perjanjian dan bila perjanjian tersebut melibatkan pihak asing maka perjanjian
tersebut juga ditulis dalam bahasa nasional pihak asing tersebut dan/atau bahasa
Inggris. UU No. 24/2009 memang tidak menyebutkan sanksi terhadap pelanggaran
kewajiban penggunaan bahasa Indonesia dalam perjanjian. Akan tetapi, banyak
kekhawatiran muncul terutama terkait dengan ancaman pembatalan terhadap kontrak-
kontrak yang dibuat dengan tidak menggunakan bahasa Indonesia yang melibatkan
pihak asing dan menggunakan hukum Indonesia sebagai pilihan hukumnya pada saat
UU No. 24/2009 ini berlaku.
Jika membaca secara seksama bunyi ketentuan pasal tersebut, secara tersirat
menyebutkan bahwa terhadap perjanjian yang melibatkan pihak asing, pembentuk
undang-undang memberikan kedudukan yang equal terhadap kewajiban penggunaan
bahasa. Bukan hanya mewajibkan penggunaan bahasa Indonesia, tetapi juga bisa ditulis
dalam bahasa nasional pihak asing dan/atau bahasa Inggris. Akan tetapi jika kita amati
lebih lanjut, pihak pembuat Undang-Undang menggunakan frasa bahasa
Indonesia wajib digunakan dalam perjanjian sehingga harus diinterpretasikan lebih
luas dari frasa ditulis juga sehingga kata wajib digunakan harus diartikan bukan hanya
ditulis tetapi juga ditafsirkan sehingga jelas bahwa tidak dapat dilakukan pemilihan
bahasa mana yang berlaku selain bahasa Indonesia.
Konsep huku dalam pasal 31 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2009 yaitu:
1. Hak dan kewajiban
Menurut salmond hak ialah suatu kemerdekaan, kekuasaan dan
imunitas. Adapun kewajiban adalah suatu ketidakadaannyahak di dalamnya.
Kehadiran hukum dalam suatu masyarakat diantaranya untuk mengintegrasikan
dan mengkordinasikan adanya kepentingan-kepentingan yang bisa bertubrukan
satu sama lain itu oleh hukum diintegrasikan sedemikian rupa sehingga
tubrukan-tubrukan itu bisa ditekan sedemikian rupa.8
Pasal 31 ayat (1) UU Bahasa, tidak memberikan hak bagi para pihak
untuk memilih bahasa yang digunakan di dalam kontrak, dikarenakan frasa
“wajib” bersifat keharusan ditaati oleh para pihak. Menurut penulis pasal
tersebut harus mengakomodasi hak bagi pihak lain (asing) untuk menuntukan
bahasa yang akan digunakan dalam kontrak sehingga kesataraan antara para
pihak dapat terpenuhi. Kewajiban para pihak (asing) yang akan membuat
kontrak harus mematuhi kewajiban penggunaan bahasa Indonesia di dalam
kontrak internasional.

2. Subjek dan Objek Hukum


Subjek hukum adalah sesuatu yang menurut hukum berhak atau
berwenang melakukan perbuatan hukum atau siapa mempunyai dan cakap
untuk bertindak dalam hukum, jadi pada dasarnya yang menjadi subjek hukum
adalah manusia.
Subjek pada pasal 31 ayat (1) UU Bahasa yaitu lembaga Negara, instansi
pemerintahan Republik Indonesia, lembaga swasta Indonesia atau
perseorangan warga negara Indonesia. Subjek yang diatur tersebut terlalu luas
sampai mengatur ranah perdata lembaga swasta di Indonesia, menurut penulis

8
Satjipto raharjo, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hlm. 51
lebih tepat membatasi subjek, yaitu kontrak yang melibatkan lembaga negara
atau intansi pemerintah dengan pihak lain (asing) saja yang wajib menggunakan
bahasa Indonesia dan subjek hukum lembaga swasta Indonesia dengan pihak
lain (asing) tidak wajib menggunakan bahasa Indonesia.
Pasal 31 ayat (1) UU Bahasa dalam hal objek tidak ditentukan secaa
eksplisit, jadi harus dimaknai semua objek yang diperjanjiakan wajib
menggunakan bahasa indonesia dalam kontrak internasional. Hal ini tentu tidak
memberi kepastian hukum kepada para pihak. Menurut penulis objek apapun
yang diperjanjikan sepanjang tidak melanggar ketentuan UU, Kesusilaan dan
Ketertiban umum yang melibatkan lembaga negara atau intansi pemerintah
dengan pihak lain (asing) saja yang wajib menggunakan bahasa Indonesia,
sedangkan objek apapun yang diperjanjikan sepanjang tidak melanggar
ketentuan UU, Kesusilaan dan Ketertiban umum yang melibatkan lembaga
swasta Indonesia dengan pihak lain (asing) tidak wajib menggunakan bahasa
Indonesia.

3. Perbuatan hukum.
Perbuatan hukum adalah setiap perbuatan yang akibatnya diatur oleh
hukum karena akibat tersebut dapat dianggap menjadi kehendak dari yang
melakukan perbuatan itu.
Pasal 31 ayat (1) UU Bahasa dalam hal perbuatan hukum tidak ditentukan
secara eksplisit mengenai jenis perbuatan hukum yang wajib menggunakan
bahasa indonesia dalam kontrak. Perbuatan hukum apapun baik itu perjanjian
yang melibatkan yang melibatkan lembaga negara atau intansi pemerintah
dengan pihak lain (asing) saja yang wajib menggunakan bahasa Indonesia,
sedangkan perbuatan hukum yang melibatkan lembaga swasta Indonesia
dengan pihak lain (asing) dibatasi di bidang pasar modal dan penanaman modal
saja yang wajib menggunakan bahasa Indonesia dalam kontrak.

4. Hubungan hukum
Hubungan hukum adalah hubungan antara dua orang atau lebih kedua
belah pihak mempunyai hak dan kewajibannya masing-masing.
Pasal 31 ayat (1) UU Bahasa dalam hal hubungan hukum diatur mengenai pihak
satu (Indonesia) dengan pihak lain (asing) wajib menggunakan bahasa
Indonesia dalam kontrak internasional. Menurut penulis hubungan hukum
melibatkan lembaga negara atau intansi pemerintah dengan pihak lain (asing)
saja yang wajib menggunakan bahasa Indonesia, sedangkan hubungan hukum
yang melibatkan lembaga swasta Indonesia dengan pihak lain (asing) tidak
wajib.
5. Akibat hukum
Suatu akibat hukum yang disimbolkan oleh adanya suatu hubungan hukum
yang memberikan hak dan kewajiban yang telah ditentukan oleh undang-
undang sehingga kalau dilanggar akan berakibat bahwa orang yang melanggar
itu dapat dituntut dimuka pengadilan.
Pasal 31 ayat (1) jika para pihak tidak menggunakan bahasa Indonesia dalam
kontrak internasional dapat berakibatnya kontrak batal demi hukum. Hal ini
tentu dapat menghambat pihak lain (asing) untuk mengadakan kontrak dengan
pihak Indonesia dikarenakan takut kontrak tersebut dapat batal demi hukum.
Menurut penulis kontrak yang melibatkan lembaga swasta Indonesia dengan
pihak lain (asing) tidak wajib sehingga tidak berakibat batal demi hukum.

6. Lembaga hukum
Lembaga hukum dalam hal iniadalah lembaga structural yang dibentuk
oleh pemerintah dengan lewenangan yudikatif untuk menangani semua
permasalahan hukum secara formal, baik pidana perdata, tata negara dan
lainnya.
Kewajiban menggunakan bahasa Indonesia dalam kontrak internasional dapat
memberikan perlindungan bagi pihak Indonesia dalam hal terjadi sengketa
karena penafsiran terkait kontrak tersebut dapat dipahami hakim di Indonesia.
D. Daftar Pustaka
Peraturan Presiden Nomor 63 tahun 2019 tentang Penggunaan Bahasa Indonesia

Anda mungkin juga menyukai