Anda di halaman 1dari 14

MAKNA FRASA PEMBERIAN JASA HUKUM SECARA CUMA-CUMA OLEH

NOTARIS PADA ORANG TIDAK MAMPU

Filsafat Hukum kelas A


Dosen Pengampu:
Prof. Dr. I Nyoman Nurjaya, S.H., M.S
Dr. Istislam, S.H., M.Hum.

Oleh:
Abdus Salam Fathoni
196010200111019

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI


MAGISTER KENOTARIATAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
FAKULTAS HUKUM
MALANG
2019

1
MAKNA FRASA PEMBERIAN JASA HUKUM SECARA CUMA-CUMA
OLEH NOTARIS PADA ORANG TIDAK MAMPU

A. Latar Belakang
Negara memberikan wewenang kepada notaris untuk memberikan pelayanan
kepada masyarakat. Kewenangan Notaris berdasarkan Pasal 15 ayat (1) Undang-
Undang Republik Indonesia No 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang No 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris selanjutnya disebut UUJN yakni
berwenang membuat akta autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan
penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau dikehendaki
oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta autentik, menjamin kepastian
tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan
akta, sepanjang pembuatan akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada
pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.
Penyandang jabatan Notaris sangat bermartabat, mengingat peranan notaris
penting bagi masyarakat. Perilaku dan perbuatan notaris dalam menjalankan jabatan
profesinya harus sesuai dengan kode etik yang ditentukan oleh Ikatan Notaris
Indonesia (I.N.I). Notaris memiliki etika profesi, dimana etika profesi merupakan
etika moral yang khusus diciptakan untuk kebaikan jalannya profesi yang
bersangkutan.1 Notaris sebagai pejabat umum diangkat oleh negara, tidak menerima
gaji dari negara akan tetapi menerima honorarium atas jasa hukum yang diberikan
sesuai dengan kewenangannya. Besarnya nilai honorairum yang diterima oleh Notaris
pada UUJN tidak diatur secara mutlak, melainkan disesuaikan dengan keadaan daerah
masing-masing. Tidak menutup kemungkinan adanya kesepakatan menentukan
honorarium antara Notaris dengan klien, sehingga tidak adanya kesamaan honorarium
sesama Notaris.
Jasa hukum di bidang kenotariatan dibutuhkan oleh setiap golongan
masyarakat. Penggunaan jasa kenotariatan oleh masyarakat yang mampu dapat

1
Sidharta, Moralitas Profesi Hukum Suatu Tawaran Kerangka Berpikir, (Bandung: Refika Aditama,
2006), hlm. 9.

2
dilakukan dengan memberikan honorarium kepada notaris. Hal ini sebaliknya dengan
golongan masyarakat tidak mampu, yakni tidak dapat memberikan honorarium
kepada notaris. Perbedaan kemampuan ekonomi mengakibatkan dampak pada
penggunaan jasa notaris. Pada dasarnya notaris tidak boleh menolak setiap klien yang
datang untuk melakukan perbuatan hukum di bidang kenotariatan sesuai pasal 37 ayat
(1) UUJN “Notaris wajib memberikan jasa hukum di bidang kenotariatan secara
cuma-cuma kepada orang yang tidak mampu”. Pasal tersebut menunjukkan bahwa
orang tidak mampu dapat diberikan jasa kenotariatan secara cuma-cuma.
Adanya pasal 37 ayat (1) UUJN Negara menjamin semua hak warga negaranya
tanpa terkecuali selama berada di Wilayah NKRI. Pernyataan tersebut secara tegas
telah dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Indonesia sebagai negara hukum memiliki ciri khas.2Setiap
orang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh Negara, sehingga
memberikan rasa keadilan ketika seseorang melakukan perbuatan hukum.
Permasalahan honorarium merupakan hal yang pelik, karena Notaris
membutuhkan material dalam menjalankan kegiatannya. Pasal 37 ayat (1) UUJN
harus dapat dilaksanakan oleh Notaris untuk memberikan hak atas orang tidak
mampu. Makna yang terkadung dalam pasal 37 (1) UUJN perlu diperjelas, meskipun
adanya lampiran “penjelasan umum” dan dinyatakan jelas. Standar kualifikasi orang
tidak mampu diperlukan penjelasan, agar dapat diimplementasikan. Norma hukum
seharusnya berisi kenyataan normatif yang seharusnya dilakukan, sehingga dapat
dilakukan tanpa menimbulkan multi persepsi pada Pasal 37 ayat (1) UUJN.
Mengenai kewajiban notaris dalam pemberian jasa hukum secara Cuma-cuma
kepada orang yang tidak mampu, tentu jika tidak dijalankan terdapat konsekuensi
atau sanksi yang diberikan undang-undang (UUJN) terhadap notaris, dimana sanksi
disebutkan pada pasal 37ayat (2) UUJN, yang berbunyi sebagai berikut:

2
Ciri negara hukum antara lain 1) Pengakuan dan perlidungan hak-hak asasi yang mengandung
persamaan dalam bidang politik, hukum, sosial, ekonomi, dan kebudayaan; 2) Peradilan yang bebas
dari suatu pengaruh kekuasaan atau kekuatan lain yang tidak memihak; dan 3) Jaminan kepastian
hukum, yaitu jaminan bahwa kentetuan hukumnya dapat dipahami dapat dilaksanakan dan aman dalam
melaksanakannya. Kaelan, Achmad Zuabaidi., Pendidikan Kewarganegaraan, (Yogyakarta:
Paradigma, 2007), hlm. 92.

3
“Notaris yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat dikenai sanksi berupa: a. Peringatan lisan; b. Peringatan tertulis; c.
Pemberhentian sementara; d. Pemberhentian dengan hormat; atau e.
Pemberhentian tidak hormat”.3

Mengenai frasa pemberian jasa secara Cuma-Cuma dalam bagian penjelasan


pasal 37 ayat (1) UUJN tidak menjelaskan mengenai bagaimana bentuk pemberian
jasa hukum secara Cuma-Cuma kepada orang yang tidak mampu, sehingga setiap
notaris memiliki pemahaman yang berbeda-beda terkait pasal 37 ayat (1), bisa saja
notaris satu dengan lainnya beranggapan berbeda bahwa pemberian jasa Cuma-Cuma
dipahami dengan penyuluhan hukum, konsultasi hukum, pembuatan akta secara
gratis, dan karena pemahaman yang berbeda-beda tersebut dapat berakibat pada
pemberian sanksi karena tidak menjalankan ketentuan pasal 37 ayat (1).

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan Latar belakang diatas, dapat ditarik permasalahan sebagai berikut:
Apa makna frasa pemberian jasa hukum secara cuma-cuma oleh notaris pada orang
tidak mampu?

C. Pembahasan
Notaris dalam menjalankan jabatannya wajib memberikan pelayanan hukum
kepada masyarakat yang membutuhkan jasanya, dalam hal ini pelayanan jangan
diartikan sempit seperti hanya membuat akta, melakukan legalisasi terhadap akta
dibawah tangan, memberikan konsultasi/penyuluhan hukum yang menyangkut
bidang kenotariatan melainkan juga menyangkut beberapa aspek mulai dari
kemudahan masyarakat mendapatkan informasi tentang persyaratan untuk
pembuatan akta otentik dan keramahan notaris beserta karyawannya dalam melayani
klien yang smua itu merupakan sebagian dari aktivitas dalam menjalankan profesi
notaris.

3
Pasal 37 ayat (2) UUJN

4
Pelayanan hukum dalam dunia kenotariatan harus tetap mengacu dan patuh
pada UUJN serta kode etik notaris dengan tujuan agar dalam melaksanakan profesi
notaris dilingkungan masyarakat tidak menurunkan harkat dan martabat serta
keluhan profesi notaris.
Menurut Franz Magnis Suseno ada 5 (lima) parameter yang bisa dijadikan alat
ukur kualitas pelayanan bila dikaitkan dengan profesi notaris yaitu :4
1. Keandalan (reliability) adalah kemampuan yang dimiliki notaris dalam
menciptakan segala sesuatu sesuai janji
2. Kepastian (assorance) adalah kemampuan yang dimiliki notaris dalam
menciptakan keyakinan kepada klien
3. Penampilan (tangible) adalah tampilan diri, kantor, peralatan dan segala
sesuatu yang bersifat kebendaan yang dapat meningkatkan kepercayaan
klien
4. Empati (emphaty) adalah kemampuan notaris dalam memahami dan
merasakan masalah yang dihadapi klien
5. Daya tanggap (responsineness) adalah kemampuan notaris dalam
memberikan solusi secepat mungkin pada klien
Berdasarkan uraian diatas tentunya dapat memberikan pemahaman tentang apa
yang disebut pelayanan dan bagaimana proses pelayanan dalam menunjang
kesuksesan kerja proses seorang notaris. Kedudukan profesi notaris sebagai pejabat
umum dalam memberikan pelayanan hukum dibidang kenotariatan dapat juga
diberikan secara cuma-cuma khususny kepada klien yang tergolong masyarakat
kurang mampu. Adapun penjelasan mengenai persyaratan untuk mendapatkan
pelayanan secara cuma-cuma dari seorang notaris tidak diatur secara rinci dalam
UUJN.
Menurut Teori Kepastian Hukum Hans Kelsen, hukum adalah sebuah sistem
norma. Norma adalah pernyataan yang menekankan aspek “seharusnya” atau das
sollen, dengan menyertakan beberapa peraturan tentang apa yang harus dilakukan.
Norma-norma adalah produk dan aksi manusia yang deliberatif. Undang-Undang

4
Franz Magnis Suseno, Etika Sosial, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1989), hlm. 69.

5
yang berisi aturan-aturan yang bersifat umum menjadi pedoman bagi individu
bertingkah laku dalam bermasyarakat, baik dalam hubungan dengan sesama individu
maupun dalam hubungannya dengan masyarakat. Aturan-aturan itu menjadi batasan
bagi masyarakat dalam membebani atau melakukan tindakan terhadap individu.
Adanya aturan itu dan pelaksanaan aturan tersebut menimbulkan kepastian hukum.5
Menurut Gustav Radbruch, hukum memiliki tujuan yang berorientasi pada 3
hal yaitu adanya kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan. Kepastian Hukum,
menyatakan bahwa Hukum yang berlaku pada dasarnya tidak dibolehkan
menyimpang. Kepastian hukum merupakan perlindungan terhadap tindakan
sewenang-wenang, yang berarti bahwa seseorang akan dapat memperoleh sesuatu
yang diharapkan dalam keadaan tertentu.6
Kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu peraturan dibuat dan
diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan logis. Jelas dalam artian
tidak menimbulkan keragu-raguan (multi tafsir) dan logis. Jelas dalam artian ia
menjadi suatu sistem norma dengan norma lain sehingga tidak berbenturan atau
menimbulkan konflik norma. Kepastian hukum menunjuk kepada pemberlakuan
hukum yang jelas, tetap, konsisten dan konsekuen yang pelaksanaannya tidak dapat
dipengaruhi oleh keadaan-keadaan yang sifatnya subjektif. Kepastian dan keadilan
bukanlah sekedar tuntutan moral, melainkan secara factual mencirikan hukum. Suatu
hukum yang tidak pasti dan tidak mau adil bukan sekedar hukum yang buruk.7
Jika melihat pasal 37 ayat (1) UUJN berdasarkan teori kepastian hukum,
menunjukkan ketidakjelasan atau kekaburan norma yang diatur, karena Pasal 37 (1)
UUJN yang berbunyi ”notaris wajib memberikan jasa hukum di bidang kenotariatan
secara cuma-cuma pada orang tidak mampu”, tidak menjelaskan terkait bentuk jasa
hukum hukum dibidang kenotariatan yang dapat dilakukan secara Cuma-Cuma itu
meliputi apa saja, sehingga penerapan pasal tersebut dalam menjalankan profesinya

5
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana, Jakarta, 2008, hlm.158.
6
Achmad Ali, 2012, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) & Teori Peradilan
(Judicialprudence), Kencana Prenanda Media Group, Jakarta. Hal. 287
7
Cst Kansil, Christine , S.T Kansil, Engelien R, Palandeng dan Godlieb N Mamahit, Kamus Istilah
Hukum, Jakarta, 2009, Hlm. 385.

6
tergantung penafsiran notaris yang bersangkutan yang dipengaruhi oleh faktor
kemanusiaan, keterusterangan klien dan keyakinan notaris sendiri. Sehingga dengan
penafsiran yang berbeda setiap notaris mengakibatkan tidak terpenuhinya unsur
kepastian hukum.
Mengenai Hukum dan Moral dalam metafisika kesusilaan kant (1979)
ditemukan perbedaan antara legalitas dan moralitas. Legalitas menurut Kant
dipahami sebagai kesesuaian atau ketidak sesuaian semata-mata suatu tindakan
dengan hukum atau norma lahiriah belaka.8 Kesesuaian dan ketidak sesuaian
belumlah dianggap memiliki nilai-nilai moral, sebab nilai-nilai baru dapat ditemukan
dalam moralitas. Moralitas dalam pandangan Kant selanjutnya dipahami dengan
kesesuaian sikap dan perbuatan kita dengan norma atau hukum batiniah kita, yakni
apa yang dipandang sebagai kewajiban kita. Moralitas barulah dapat diukur ketika
seseoeang menaati hukum secara lahirilah karena kesadaran bahwa hukum itu adalah
kewajiban dan bukan lantaran takut pada kuasa sang pemberi hukum.
Pada dasarnya, kewajiban dibagi menjadi dua bagian, yaitu kewajiban yang
bersifat yuridis dan kewajiban yang bersifat etika. Kewajiban yang bersifat yuridis
bersumber oada instansi yang berwenang, sementara kewajiban yang dikategoreikan
sebagai etika bersumber pada bagian dalam batin (internal) seseorang. Tentunya,
perintah-perintah hukum berbeda dengan perintah-perintah etika.9 Kewajiban bersifat
dalam hal ini adalah Kewajiban Notaris yang diatur dalam pasal 37 ayat (1) dimana
notaris wajib memberikan pelayanan atau memberikan jasa hukum terhadap orang
yang tidak mampu, dan selain karena kewajiban yuridis, notaris dalam melakukan
ketentuan tersebut didasarkan juga pada kewajiban etika sebagai bentuk menjalankan
jabatan atau profesi.
Selanjutnya mengenai pembahasan terkait permasalahan yang penulis angkat,
terlebih dahulu dilakukan penjabaran untuk mengemukakan apa-apa saja konsep
hukum yang terdapat dalam isu hukum diatas. Konsep hukum tersebut meliputi:
a. Subjek dan Objek Hukum
8
S.P Lili Tjahjadi, Hukum dan moral: Ajaran Immanuel Kant tentang Etika dan Imperatif Kategoris,
Yogyakarta: BPK Gunung Mulia-Kansius, Hlm.47
9
Sukarno Aburaera, dkk. Filsafat Hukum, Jakarta: Prenada Media Grup, hlm.154

7
Subjek hukum adalah sesuatu yang menurut hukum berhak atau berwenang
untuk melakukan perbuatan hukum untuk bertindak dalam hukum, jadi pada
dasarnya yang menjadi subjek hukum adalah manusia.10 Dalam pasal 37 ayat 1,
yang menjadi subjek hukum adalah Notaris dengan orang yang dikategorikan tidak
mampu.
Objek hukum adalah sesuatu yang berguna bagi subjek hukum dan yang dapat
menjadi pokok permasalahan dan kepentingan bagi para subjek hukum, yag dalam
hal ini objek hukumnya pelayanan hukum/jasa hukum.
b. Perbuatan Hukum
Perbuatan hukum adalah setiap perbuatan yang akibatnya diatur oleh hukum,
karena akibat tersebut dapat dianggap menjadi kehendak dari yang melakukan
perbuatan itu. Dalam hal ini perbuatan hukum yang terjadi yaitu adanya kewajiban
notaris untuk memberikan pelayanan/jasa hukum.
c. Hubungan Hukum
Hubungan hukum adalah hubungan antara dua orang atau lebih, kedua belah
pihak mempunyai hak dan kewajibannya masing-masing. Dalam hal ini hubungan
hukumnya yaitu Kewajiban notaris memberikan pelayanan hukum atau jasa hukum
secara Cuma-Cuma kepada orang yang tidak mampu, dan mendapatkan
jasa/pelayanan hukum secara Cuma-Cuma adalah hak dari orang yang tidak mampu
berdasarkan ketentuan pasal 37(1) UUJN dan pasal 1 angka 3 UUDNRI 1945
sebagai ciri negara hukum terkait hak-hak yang dijamin negara. Jadi hubungan
hukum mempunyai dua segi yaitu kewenangan atau hak dengan kewajiban.
Untuk memahami hakikat hukum secara mendalam yaitu dengan kajian filsafat
hukum, yang dimaksud bukan mengartikan hukum sesuai dengan definisinya, tetapi
lebih mendalami hukum secara filosofinya dan hakikatnya. Kajian filsafat hukum
menghendaki suatu penelitian mengenai unsur-unsur apa saja yang terkandung dalam

10
Muhammad Syukri; Zul Pahmi; Iwan SHI; Ahmad Faury, 2016, Hukum Dalam Pendekatan Filsafat,
Prenadamedia Group, Jakarta, hlm. 58

8
pengetahuan hukum, atau dengan kata lain adanya suatu pernyataan mengenai apa
yang diketahui oleh semmua orang mengenai hukum itu.11

Menurut aliran Utilitarianisme di filsafat hukum, dalam pasal 37 ayat (1)


UUJN menunjukkan ketidakjelasan atau kekaburan norma yang diatur, karena Pasal
37 (1) UUJN yang berbunyi ”notaris wajib memberikan jasa hukum di bidang
kenotariatan secara cuma-cuma pada orang tidak mampu”, tidak menjelaskan terkait
bentuk jasa hukum hukum dibidang kenotariatan yang dapat dilakukan secara Cuma-
Cuma itu meliputi apa saja, sehingga penerapan pasal tersebut dalam menjalankan
profesinya tergantung penafsiran notaris yang bersangkutan yang dipengaruhi oleh
faktor kemanusiaan, keterusterangan klien dan keyakinan notaris sendiri. Sehingga
dengan penafsiran yang berbeda setiap notaris mengakibatkan tidak terpenuhinya
unsur kepastian hukum. Oleh karena inilah tugas hukum untuk mengantarkan
manusia menuju the ultimate good atau kebaikan yang paling utama. Sehingga
daripada itu, maka esensi hukum harus bermanfaat. Artinya, hukum yang dapat
membahagiakan sebagian terbesar masyarakat (the great happiness for the greatest
number of people).12 Menurut kaum Utilitarianisme, tujuan perbuatan sekurang-
kurangnya menghindari atau mengurangi kerugian yang diakibatkan oleh perbuatan
yang dilakukan, baik bagi diri sendiri maupun untuk orang lain. Di aliran ini, dapat
disimpulkan bahwa tujuan hukum yaitu memberikan manfaat yang sebesar-besarnya
kepada orang-orang yang banyak.
Bila dikaitkan antara aspek ontologis yang merupakan suatu pendekatan yang
membahas tentang hakekat dengan konsep fundamental dalam hukum mengenai
pada ketentuan frasa pemberian jasa hukum secara Cuma-Cuma pada orang yang
tidak mampu. Lauorens Bagus memperkenalkan tiga tingkatan abstraksi dalam
ontologi, yaitu abstraksi fisik, abstraksi bentuk, dan abstraksi metaphisik. Abstraksi
fisik menampilkan keseluruhan sifat khas sesuatu obyek; sedangkan abstraksi bentuk
mendiskripsikan sifat umum yang menjadi ciri semua sesuatu yang sejenis. Abstraksi

11
H.M. Agus Santoso, 2014, Hukum, Moral, & Keadilan Sebuah Kajian Filsafat Hukum, Kencana
Prenada Media Group, Jakarta. Hal. 123
12
Muhammad Syukri Albani Nasution., Zul Pahmi Lubis., Iwan., Ahmad Faury, 2016, Hukum dalam
Pendekatan Filsafat, PT. Kharisma Putra Utama, Jakarta. Hal. 160

9
metaphisik mengetengahkan prinsip umum yang menjadi dasar dari semua realitas.
Sehingga berkaitan dengan hal tersebut berdasarkan hubungan hukum dan moral,
notaris dalam melaksanakan pemberian jasa hukum secara Cuma-Cuma terhadap
orang yang tidak mampu sebagai pejabat yang bermoral tentunya berfikir dan ringan
tagan dalam memberikan jasa hukum secara Cuma-Cuma terhadap orang yang tidak
mampu sepanjang pemberian jasa hukum tersebut sesuai kewenangan notaris.
Berdasarkan uraian diatas tentunya dapat memberikan pemahaman tentang apa
yang disebut pelayanan dan bagaimana proses pelayanan dalam menunjang
kesuksesan kerja proses seorang notaris. Kedudukan profesi notaris sebagai pejabat
umum dalam memberikan pelayanan hukum dibidang kenotariatan dapat juga
diberikan secara cuma-cuma khususnya kepada klien yang tergolong masyarakat
kurang mampu. Adapun penjelasan mengenai persyaratan untuk mendapatkan
pelayanan secara cuma-cuma dari seorang notaris tidak diatur secara rinci dalam
UUJN.13
Pemberian jasa hukum dibidang kenotariatan secara cuma-cuma oleh seorang
notaris yang didasari faktor keyakinan karena adanya anggapan yang awalnya
muncul berdasarkan penilaian notaris menyangkut penampilan serta jasa hukum yang
dibutuhkan oleh klien yang datang menghadap kepadanya, sehingga dari penilaian
tersebut notaris dapat mengambil keputusan untuk memberikan pelayanan jasa
hukum secara cuma-cuma.14
Meskipun notaris adalah pejabat yang diakui Undang-undang dan di-angkat
oleh Kementerian Hukum dan Ham, Notaris dalam menjalankan jabatannya tidak
digaji oleh negara, namun mendapat honorarium dari klientnya, sehingga menurut
pendapat saya kemudian jika ada penghadap tidak mampu yang datang dan meminta
bantuan kepada notaris, maka jasa hukumcuma-Cuma yang wajib diberikan oleh
notaris hanyalah jasa pembuatan akta, kecuali jika notaris berkeinginan memberikan
bantuan lebih dari itu maka dibolehkan, bahwasanya notaris selain sebagai makhluk
sosial, juga merupakan makhluk ekonomi. Notaris juga membutuhkan materi untuk

13
http://www.rudyct.com/PPS702-ipb/04212/nurul_huda.htm, diakses tanggal 10 oktober 2016.
14
Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia, (Bandung: Rafika, 2008), hlm.79

10
memenuhi kehidupan dan aktifitas kantornya. Sehingga kemudian Notaris tidak bisa
sering memberikan jasanya tersebut secara cuma-cuma.

D. Kesimpulan
Berdasarkan tujuan hukum oleh Gustav Radbruch, hukum memiliki tujuan
yang berorientasi pada 3 hal yaitu adanya kepastian hukum, keadilan dan
kemanfaatan. Kepastian Hukum, menyatakan bahwa Hukum yang berlaku pada
dasarnya tidak dibolehkan menyimpang. Kepastian hukum merupakan perlindungan
terhadap tindakan sewenang-wenang, yang berarti bahwa seseorang akan dapat
memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu.
Menurut aliran Utilitarianisme di filsafat hukum, dalam pasal 37 ayat (1)
UUJN menunjukkan ketidakjelasan atau kekaburan norma yang diatur, karena Pasal
37 (1) UUJN yang berbunyi ”notaris wajib memberikan jasa hukum di bidang
kenotariatan secara cuma-cuma pada orang tidak mampu”, tidak menjelaskan terkait
bentuk jasa hukum hukum dibidang kenotariatan yang dapat dilakukan secara Cuma-
Cuma itu meliputi apa saja, sehingga penerapan pasal tersebut dalam menjalankan
profesinya tergantung penafsiran notaris yang bersangkutan yang dipengaruhi oleh
faktor kemanusiaan, keterusterangan klien dan keyakinan notaris sendiri. Sehingga
dengan penafsiran yang berbeda setiap notaris mengakibatkan tidak terpenuhinya
unsur kepastian hukum. Oleh karena inilah tugas hukum untuk mengantarkan
manusia menuju the ultimate good atau kebaikan yang paling utama. Sehingga
daripada itu, maka esensi hukum harus bermanfaat. Artinya, hukum yang dapat
membahagiakan sebagian terbesar masyarakat (the great happiness for the greatest
number of people).15 Menurut kaum Utilitarianisme, tujuan perbuatan sekurang-
kurangnya menghindari atau mengurangi kerugian yang diakibatkan oleh perbuatan
yang dilakukan, baik bagi diri sendiri maupun untuk orang lain. Di aliran ini, dapat
disimpulkan bahwa tujuan hukum yaitu memberikan manfaat yang sebesar-besarnya
kepada orang-orang yang banyak.

15
Muhammad Syukri Albani Nasution., Zul Pahmi Lubis., Iwan., Ahmad Faury, 2016, Hukum dalam
Pendekatan Filsafat, PT. Kharisma Putra Utama, Jakarta. Hal. 160

11
Bila dikaitkan antara aspek ontologis yang merupakan suatu pendekatan yang
membahas tentang hakekat dengan konsep fundamental dalam hukum mengenai
pada ketentuan frasa pemberian jasa hukum secara Cuma-Cuma pada orang yang
tidak mampu. Lauorens Bagus memperkenalkan tiga tingkatan abstraksi dalam
ontologi, yaitu abstraksi fisik, abstraksi bentuk, dan abstraksi metaphisik. Abstraksi
fisik menampilkan keseluruhan sifat khas sesuatu obyek; sedangkan abstraksi bentuk
mendiskripsikan sifat umum yang menjadi ciri semua sesuatu yang sejenis. Abstraksi
metaphisik mengetengahkan prinsip umum yang menjadi dasar dari semua realitas.
Sehingga berkaitan dengan hal tersebut berdasarkan hubungan hukum dan moral,
notaris dalam melaksanakan pemberian jasa hukum secara Cuma-Cuma terhadap
orang yang tidak mampu sebagai pejabat yang bermoral tentunya ringan tagan dalam
memberikan jasa hukum secara Cuma-Cuma terhadap orang yang tidak mampu
sepanjang pemberian jasa hukum tersebut sesuai kewenangan notaris.
Menurut penulis dalam memberikan jasa hukum secara cuma-cuma tersebut,
belum ada aturan yang mengatur baik itu dari organisasi Notaris maupun dari
pemerintah. Ketiadaan aturan ini menjadikan Pasal 37 ayat (1) UUJN ini tidak bisa
ditegakkan dan tidak efektif. Pasal ini didefinisikan sendiri oleh masing masing
notaris sehingga dalam pelaksanaannya juga berbeda-beda. Untuk itu penulis
menyarankan dibuat aturan lebih lanjut mengenai siapa yang termasuk dan dimaksud
dengan orang yang tidak mampu bisa melihat kepada Undang-undang Bantuan
Hukum, karena dalam undang-undang tersebut terdapat kriteria orang yang tidak
mampu seperti apa dan syarat-syarat mendapat bantuan hukum (dalam bidang
pembelaan/advokasi). Sehingga untuk selanjutnya bagi penghadap yang tidak
mampu yang ingin meminta jasa hukum Cuma-Cuma notaris harus membawa berkas
permohonan, identitas diri dan surat keterangan miskin dari pihak yang berwenang.
walaupun demikian, tolak ukur paling essensial dikembalikan kepada penilaian
notaries sebagai seorang profesi yang mulia. Sedangkan mengenai perbuatan
pemberian jasa hukum secara Cuma-Cuma yang dapat diberikan notaris terhadap
orang yang tidak mampu adalah tidak terbatas hanya pada pembuatan akta, namun
kewenangan lainnya sebagaimana diatur didalam Pasal 15 UUJN seperti memberikan

12
konsultasi hukum, mengesahkan akta dibawah tangan, dan kewenangan lainnya
berdasarkan moralitas notaris sebagai pejabat umum.

13
DAFTAR PUSTAKA

Buku:
Sidharta, Moralitas Profesi Hukum Suatu Tawaran Kerangka Berpikir, (Bandung:
Refika Aditama, 2006)
Kaelan, Achmad Zuabaidi., Pendidikan Kewarganegaraan, (Yogyakarta:
Paradigma, 2007),
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana, Jakarta, 2008
Cst Kansil, Christine , S.T Kansil, Engelien R, Palandeng dan Godlieb N Mamahit,
Kamus Istilah Hukum, Jakarta, 2009
Franz Magnis Suseno, Etika Sosial, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1989)
S.P Lili Tjahjadi, Hukum dan moral: Ajaran Immanuel Kant tentang Etika dan
Imperatif Kategoris, Yogyakarta: BPK Gunung Mulia-Kansius
Sukarno Aburaera, dkk. Filsafat Hukum, Jakarta: Prenada Media Grup
Muhammad Syukri; Zul Pahmi; Iwan SHI; Ahmad Faury, 2016, Hukum Dalam
Pendekatan Filsafat, Prenadamedia Group, Jakarta
Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia, (Bandung: Rafika, 2008)

Jurnal online:
Inthizam Jamil, Peran dan Fungsi Kanwil Kementerian Hukum dan Hak
AsasiManusia dalam Pengawasan Peraturan Daerah, Jurnal Yustisia Universitas
Andalas, Vol. 21 No. 1 Edisi Januari-Juni 2014

Internet:
Nuru Huda, http://www.rudyct.com/PPS702-ipb/04212/nurul_huda.htm

Anda mungkin juga menyukai