Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

Gangguan obsesif – kompulsif merupakan suatu kondisi yang ditandai dengan


adanya pengulangan pikiran obsesif atau kompulsif, dimana membutuhkan banyak
waktu (lebih dari satu jam perhari) dan dapat menyebabkan penderitaan. Gangguan ini
prevalensinya diperkirakan 2 – 3% dari populasi.
Gangguan obsesif – kompulsif menduduki peringkat keempat dari gangguan jiwa
setelah fobia, gangguan penyalahgunaan zat dan gangguan depresi berat. Kebanyakan
pasien dengan gangguan obsesif – kompulsif datang ke beberapa dokter sebelum
mereka ke psikiater dan umumnya 5-10 tahun mendapat terapi, baru kemudian
mendapat diagnosis yang benar. Hal ini menunjukkan bahwa dokter selain psikiater
penting untuk mendapat diagnosis yang benar.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Istilah obsesi menunjuk pada suatu idea yang mendesak ke dalam pikiran. Istilah
kompulsi menunjuk pada dorongan atau impuls yang tidak dapat ditahan untuk
melakukan sesuatu (Maramis, W.F., 2005). Suatu obsesi adalah pikiran, perasaan,
gagasan atau sensasi yang berulang dan mengganggu. Suatu kompulsi adalah pikiran
atau perilaku yang disadari, standar, dan berulang, seperti menghitung, memeriksa atau
menghindar (Sadock B.J. and Virginia, A.S., 2010). Menurut Maramis (2005) terdapat
beberapa persamaan antara obsesi dan kompulsi, yaitu :
1. Suatu pikiran atau dorongan mendesak ke alam sadar secara gigih dan terus
menerus.
2. Timbul perasaan takut yang hebat dan penderita berusaha untuk menghilangkan
pikiran atau dorongan itu.
3. Obsesi dan kompulsi itu dirasakan sebagai asing, tidak disukai, tidak dapat diterima
dan tidak dapat ditekan.
4. Penderita tetap sadar akan gangguan ini, ia tetap mengenal bahwa hal ini tidak wajar
dan tidak rasional, biarpun obsesi atau kompulsi itu sangat hebat.
5. Penderita merasakan suatu kebutuhan yang besar untuk melawan obsesi dan
kompulsi itu.

2.2 Epidemiologi

Prevalensi seumur hidup gangguan obsesif kompulsif pada populasi umum


diperkirakan adalah 2 sampai 3 persen. Sejumlah peneliti memperkirakan bahwa
gangguan ini ditemukan pada sebanyak 10 persen pasien rawat jalan di klinik psikiatri.
Gambaran ini membuat gangguan obsesif-kompulsif menjadi diagnosis psikiatri keempat
terbanyak setelah fobia, gangguan terkait zat, dan gangguan depresif berat (Sadock B.J.
and Virginia, A.S., 2010). Prevalensi gangguan obsesif kompulsif di Amerika Serikat
sebesar 2,5 % dan berada di rentang 1,7 – 4% (Greenberg, W.M. and David, B., 2015).
Lebih dari 2% populasi di Amerika Serikat sekurangnya 1 dari 40 orang didiagnosis
mengalami gangguan obsesif kompulsif selama kehidupannya (NAMI, 2015).
Di antara orang dewasa, laki-laki dan perempuan sama-sama cenderung terkena, tetapi
di antara remaja, laki-laki lebih sering terkena gangguan obsesif-kompulsif dibandingkan
perempuan. Usia rerata awitan sekitar 20 tahun, walaupun laki-laki memiliki usia awitan
sedikit lebih awal (laki-laki sekitar 19 tahun) daripada perempuan (rerata sekitar 22
tahun). Secara keseluruhan, gejala pada sekitar dua pertiga orang yang terkena
memiliki awitan sebelum usia 25 tahun, dan gejala pada kurang dari 15 persen pasien
memiliki awitan setelah usia 35 tahun (Sadock B.J. and Virginia, A.S., 2010).
Awitan gangguan dapat terjadi pada remaja atau masa kanak-kanak, pada sejumlah
kasus, awitannya sedini usia 2 tahun. Orang lajang lebih sering mengalami gangguan
obsesif-kompulsif dibandingkan orang yang menikah walaupun temuan ini mungkin
mencerminkan kesulitan yang dimiliki orang dengan gangguan ini untuk
mempertahankan suatu hubungan. Gangguan obsesif-kompulsif lebih jarang terjadi pada
orang kulit hitam dibandingkan kulit putih (Sadock B.J. and Virginia, A.S., 2010).
Orang dengan gangguan obsesif-kompulsif lazim terkena gangguan jiwa lain.
Prevalensi seumur hidup gangguan depresif mayor pada orang dengan gangguan
obsesif-kompulsif sekitar 67 persen dan untuk fobia sosial sekitar 25 persen. Diagnosis
psikiatrik komorbid yang lazim lainnya pada pasien dengan gangguan obsesif-kompulsif
adalah gangguan penggunaan alkohol, gangguan ansietas menyeluruh, fobia spesifik,
gangguan panik, dan gangguan makan, dan gangguan kepribadian. Insiden gangguan
Tourette pada pasien dengan gangguan obsesif –kompulsif adalah 5-7%, dan 20-30%
pasien dengan gangguan obsesif-kompulsif memiliki riwayat tik (Sadock B.J. and
Virginia, A.S., 2010).

2.3 Etiologi
a. Faktor Biologis
Neurotransmiter serotonin. Banyak uji coba kinis yang telah dilakukan
menyokong hipotesis bahwa suatu disregulasi serotonin terlibat di dalam pembentukan
gejala obsesi dan kompulsi pada gangguan ini. Data menunjukkan bahwa obat
serotonergik lebih efektif dibandingkan obat yang mempengaruhi sistem neurotransmiter
lain. Tetapi tidak jelas apakah serotonin terlibat sebagai penyebab gangguan obsesif-
kompulsif (Sadock B.J. and Virginia, A.S., 2010).
Neurotransmitter noradrenergik. Baru-baru ini, lebih sedikit bukti yang ada untuk
disfungsi sistem noradrenergik pada gangguan obsesif kompulsif. Laporan tidak resmi
menunjukkan sejumlah perbaikan gejala gangguan obsesif-kompulsif dengan klonidin
oral (Sadock B.J. and Virginia, A.S., 2010).
Neuroimunologi. Terdapat hubungan positif antara infeksi streptokokkus dengan
gangguan obsesif kompulsif. Infeksi streptokokkus grup A beta hemolitik dapat
menyebabkan demam reumatik dan sekitar 10-30% pasien mengalami chorea
sydenham dan menunjukkan gejala obsesif kompulsif. Awitan infeksi biasanya terjadi
pada usia sekitar 8 tahun untuk menimbulkan gejala sisa itu. Keadaan ini disebut
pediatric autoimmune neuropsychiatric disorder associated with streptococcal infection
(PANDAS) (Sadock B.J. and Virginia, A.S., 2010). Beberapa penelitian melaporkan
kejadian gangguan obsesif-kompulsif dengan atau tanpa gejala tik pada anak dan
dewasa muda mengikuti infeksi streptokokkus grup A. Sedikit laporan yang
menyampaikan bahwa virus herpes simpleks menjadi penyebab timbulnya gangguan
obsesif kompulsif (Greenberg, W.M. and David, B., 2015).
Penelitian pencitraan otak. Berbagai penelitian pencitraan otak fungsional, sebagai
contoh PET ( positron emission tomography), telah menunjukkan peningkatan aktifitas
(contohnya, metabolisme dan aliran darah) di lobus frontalis, ganglia basalis (terutama
kaudatus), dan cingulum pada pasien dengan gangguan obsesif kompulsif. Terapi
farmakologis dan perilaku dilaporkan dapat membalikkan abnormalitas ini. Baik
tomografi komputer (CT scan) dan pencitraan resonansi magnetik (MRI) telah
menemukan berkurangnya ukuran kaudatus bilateral pada pasien dengan gangguan
obsesif-kompulsif. Prosedur neurologis yang melibatkan singulum kadang-kadang efektif
dalam pengobatan pasien dengan gangguan obsesif-kompulsif (Sadock B.J. and Virginia,
A.S., 2010). Temuan ini menunjukkan hipotesis bahwa gejala OCD didorong oleh
gangguan penghambatan intracortical dari sirkuit orbitofrontal-subkortikal spesifik yang
menengahi emosi yang kuat dan respon otonom untuk emosi (Greenberg, W.M. and
David, B., 2015).
Genetik. Data genetik yang tersedia mengenai gangguan obsesif kompulsif
menyokong hipotesis bahwa gangguan ini memiliki komponen genetik yang signifikan.
Meskipun demikian, data ini belum membedakan pengaruh budaya dan efek perilaku
terhadap transmisi gangguan ini. Studi kembar untuk gangguan ini secara konsisten
menemukan angka kejadian bersama yang lebih tinggi bermakna untuk kembar
monozigot dibandingkan kembar dizigot. Penelitian keluarga pada pasien gangguan
obsesif kompulsif telah menemukan bahwa 35 persen kerabat derajat pertama pasien
gangguan obsesif-kompulsif juga mengalami gangguan ini (Sadock B.J. and Virginia,
A.S., 2010).

b. Faktor Perilaku
Menurut ahli teori pembelajaran, obsesi adalah stimulus yang dipelajari. Stimulus
yang relatif netral menjadi dikaitkan dengan rasa takut atau kecemasan melalui proses
pembelajaran responden yaitu dengan memasangkannya dengan peristiwa yang
berbahaya sifatnya atau menimbulkan kecemasan. Dengan demikian objek dan pikiran
yang sebelumnya netral menjadi stimulus yang dipelajari yang mampu mencetuskan
kecemasan atau ketidaknyamanan (Sadock B.J. and Virginia, A.S., 2010).
Kompulsi dibentuk dengan cara yang berbeda. Ketika seseorang menemukan
bahwa suatu tindakan tertentu mengurangi kecemasan yang melekat dengan pikiran
obsesional, ia akan mengembangkan strategi menghindar yang aktif dalam bentuk
perilaku kompulsif atau ritualistik untuk mengendalikan kecemasannya. Secara
bertahap, karena efisiensinya dalam mengurangi dorongan sekunder yang menyakitkan
(kecemasan), strategi penghindaran menjadi terfiksasi seperti pola perilaku kompulsif
yang dipelajari (Sadock B.J. and Virginia, A.S., 2010).

c. Faktor Psikososial
Faktor kepribadian. Gangguan obsesif-kompulsif berbeda dengan gangguan
kepribadian obsesif-kompulsif. Sebagian besar orang dengan gangguan obsesif-
kompulsif tidak memiliki gejala kompulsif pramorbid dan ciri kepribadian seperti itu tidak
perlu atau tidak cukup untuk menimbulkan gangguan obsesif-kompulsif. Hanya kira-kira
15 sampai 35 persen pasien gangguan obsesif-kompulsif memiliki ciri obsesional
pramorbid (Sadock B.J. and Virginia, A.S., 2010).
Faktor psikodinamik. Sigmund Freud asalnya mengonsepkan keadaan yang
sekarang kita sebut gangguan obsesif kompulsif sebagai neurosis obsesif kompulsif. Ia
menganggap terdapat kemunduran defensif dalam menghadapi dorongan oedipus yang
mencetuskan kecemasan. Ia mendalilkan bahwa pasien dengan neurosis obsesif
kompulsif mengalami regresi perkembangan psikoseksual ke fase anal.
Walaupun terapi psikoanalitik tidak akan mengubah obsesi atau kompulsi yang
berkaitan dengan penyakit secara langsung, tilikan psikodinamik dapat memberikan
banyak bantuan dalam memahami masalah dengan kepatuhan terapi, kesulitan
interpersonal, dan masalah kepribadian yang menyertai gangguan aksis I.
Meskipun gejala gangguan obsesif kompulsif dapat didorong secara biologis, pasien
dapat menjadi tertarik untuk mempertahankan simtomatologi karena adanya
keuntungan sekunder. Contohnya, pasien laki-laki yang ibunya tinggal di rumah untuk
merawatnya, secara tidak sadar dapat ingin bertahan pada gejala gangguan obsesif
kompulsifnya karena gejala tersebut berarti ibunya tetap memperhatikannya.
Kontribusi pemahaman psikodinamik lannya melibatkan dimensi interpersonal.
Sejumlah studi menunjukkan bahwa kerabat akan mengakomodasi pasien melalui
partisipasi aktif di dalam ritual atau modifikasi kegiatan rutin sehari-hari yang signifikan.
Bentuk akomodasi keluarga ini berhubungan dengan tekanan di dalam keluarga, sikap
penolakan terhadap pasien, dan fungsi keluarga yang buruk. Seringkali anggota
keluarga terlibat dalam upaya mengurangi kecemasan pasien atau mengendalikan
ekspresi kemarahan pasien. pola keterkaitan ini dapat terinternalisasi dan dimunculkan
ketika pasien memasuki lingkungan terapi (Sadock B.J. and Virginia, A.S., 2010).
Akhirnya satu kontribusi pemikiran psikodinamik lainnya adalah mengenali presipitan
yang memulai atau memperberat gejala. Seringkali kesulitan interpersonal
meningkatkan kecemasan pasien sehingga juga meningkatkan simtomatologi pasien.
Riset mengesankan bahwa gangguan obsesif kompulsif dapat dicetuskan oleh sejumlah
stressor lingkungan khususnya yang melibatkan kehamilan, kelahiran anak, atau
perawatan anak oleh orang tua. Pengertian akan stresor tersebut membantu klinisi
dalam rencan terapi keseluruhan yang membuat stres itu sendiri atau maknanya bagi
pasien (Sadock B.J. and Virginia, A.S., 2010).
Faktor psikodinamik lainnya. Pada teori psikoanalitik klasik, gangguan obsesif-
kompulsif dianggap sebagai regresi dari fase oedipus ke fase perkembangan
psikoseksual anal. Ketika pasien dengan gangguan obsesif-kompulsif merasa terancam
oleh kecemasan, mereka akan mengalami regresi ke tahap yang berhubungan dengan
fase anal.
Salah satu ciri yang menonjol pada pasien dengan gangguan obsesif kompulsif adalah
derajat preokupasi yang mereka alami terhadap agresi atau kebersihan baik secara
nyata dalam gejala maupun hubungan yang terletak dibaliknya. Dengan demikian
psikogenesis gangguan obsesif kompulsif dapat terletak pada gangguan pertumbuhan
dan perkembangan normal terkait fase perkembangan anal-sadistik (Sadock B.J. and
Virginia, A.S., 2010).
Ambivalensi. Ambivalensi adalah hasil langsung perubahan ciri kehidupan impuls.
Ambivalensi merupakan ciri penting pada anak normal selama fase perkembangan anal-
sadistik; yaitu anak merasakan cinta dan kebencian yang kejam pada objek yang sama,
kadang-kadang bersamaan. Pasien dengan gangguan obsesif kompulsif sering secara
sadar mengalami cinta dan benci pada suatu objek. Konflik emosi yang berlawanan ini
terlihat pada pola perilaku melakukan dan tidak melakukan pola perilaku dan di dalam
keraguan yang melumpuhkan dalam menghadapi pilihan (Sadock B.J. and Virginia, A.S.,
2010).
Pikiran magis. Di dalam pikiran magis, regresi membuka cara berpikir awal
bukannya impuls; yaitu fungsi ego, dan juga fungsi id, dipengaruhi oleh regresi.
Kelekatan terhadap pikiran magis merupakan omnipotensi pikiran. Banyak pasien
dengan gangguan obsesif kompulsif yakin bahwa hanya dengan memikirkan suatu
peristiwa di dunia eksternal, mereka dapat menyebabkan suatu peristiwa terjadi tanpa
tindakan fisik perantara. Perasaan ini menyebabkan mereka takut memiliki pikiran
agresif (Sadock B.J. and Virginia, A.S., 2010).

2.4 Gambaran Klinis


Gangguan obsesif kompulsif merupakan lingkaran setan. Sebagai pikiran obsesif
menyebabkan kecemasan seseorang meningkat, dan membuatnya menjadi dikepung
oleh pikiran obsesif. Bahkan kata 'obsesi' berasal dari bahasa Latin 'obsidere' yang
berarti 'mengepung'. Tentu penderita tidak ingin atau menyambut pikiran obsesif dan
akan berusaha keras untuk memblokir dan melawannya (OCD-UK, 2015).
Orang dengan gangguan obsesif kompulsif menyadari bahwa pikiran obsesif mereka
tidak rasional, tetapi mereka percaya satu-satunya cara untuk meringankan kecemasan
yang disebabkan oleh obsesi adalah untuk melakukan perilaku kompulsif, sering untuk
mencegah bahaya yang dirasakan terjadi pada diri mereka sendiri atau lebih sering
daripada tidak. Sayangnya, kelegaan apapun akibat perilaku kompulsif hanya bersifat
sementara dan sering memperkuat obsesi asli, menciptakan siklus yang memburuk
secara bertahap (OCD-UK, 2015).
Gambar 2.1. Siklus gangguan obsesif kompulsif

Obsesif dan kompulsi memiliki ciri tertentu yang sama secara umum:
• Suatu gagasan atau impuls masuk ke dalam kesadaran seseorang secara menetap dan
paksa.
• Suatu perasaan takut dan cemas yang menyertai manifestasi utama dan sering
menyebabkan orang mengambil tindakan balasan terhadap gagasan atau impuls awal.
• Obsesi atau kompulsi merupakan ego-alien, yaitu dirasakan sebagai sesuatu yang
asing bagi pengalaman diri sebagai makhluk psikologis.
• Tidak peduli sedemikian kuat dan memaksanya obsesi atau kompulsi, orang tersebut
biasanya mengenalinya sebagai sesuatu yang aneh dan tidak rasional.
• Orang yang menderita akibat obsesi dan kompulsi biasanya merasakan keinginan yang
kuat untuk menahannya

Meskipun demikian, sekitar separuh dari semua pasien memberikan sedikit tahanan
yang terhadap kompulsi walaupun sekitar 80 persen pasien yakin bahwa kompulsi itu
tidak rasional. Kadang-kadang pasien terlalu menilai lebih obsesi dan kompulsi.
Contohnya, seorang pasien dapat memaksa bahwa kebersihan kompulsif secara moral
adalah benar walaupun ia dapat kehilangan pekerjaan karena waktu yang dihabiskan
untuk membersihkan (Sadock B.J. and Virginia, A.S., 2010).
Tampilan obsesi dan kompulsi heterogen pada orang dewasa, pada anak-anak dan
remaja. Gejala seorang pasien dapat bertumpang tindih dan berubah seiring waktu,
tetapi gangguan obsesif-kompulsif memiliki empat pola gejala yang utama. Pola yang
paling sering ditemukan adalah suatu obsesi tentang kontaminasi, diikuti kegiatan
mencuci atau disertai penghindaran kompulsif objek yang diduga terkontaminasi. Objek
yang ditakuti sering sulit dihindari (contoh feses, urin, debu atau kuman). Pasien
mungkin mengelupas kulit tangan dengan mencuci tangan secara berlebihan atau
mungkin tidak mampu meninggalkan rumah karena takut kuman. Walaupun kecemasan
adalah respon utama yang lazim terhadap objek yang ditakuti, rasa malu dan rasa jijik
yang obsesif juga lazim. Pasien dengan obsesi kontaminasi biasanya yakin bahwa
kontaminasi disebarkan dari objek ke objek atau orang ke orang bahkan melalui kontak
terkecil (Sadock B.J. and Virginia, A.S., 2010).
Pola kedua yang sering adalah obsesi keraguan, diikuti kompulsi memeriksa. Obsesi
ini sering melibatkan suatu bahaya kekerasan (seperti lupa mematikan kompor atau
tidak mengunci pintu). Sebagai contoh, pemeriksaan ini dapat berupa bolak-balik ke
rumah untuk memeriksa kompor. Pasien memiliki obsesi keraguan terhadap diri sendiri
dan selalu merasa bersalah karena lupa atau melakukan sesuatu (Sadock B.J. and
Virginia, A.S., 2010).
Pola ketiga yang tersering adalah pikiran obsesif yang mengganggu tanpa suatu
kompulsi. Obsesi seperti itu biasanya merupakan pikiran berulang mengenai tindakan
seksual atau agresif yang tercela bagi pasien. Pasien yang terobsesi dengan pikiran
tindakan agresif atau seksual dapat melaporkan dirinya sendiri ke polisi atau mengaku
pada pendeta (Sadock B.J. and Virginia, A.S., 2010).
Pola keempat yang tersering adalah kebutuhan akan simetris atau ketepatan yang
dapat menyebabkan kompulsi mengenai kelambatan. Pasien dapat memakan waktu
berjam-jam untuk makan atau mencukur wajahnya (Sadock B.J. and Virginia, A.S.,
2010).
Pola gejala lainnya yaitu obsesi religius dan kompulsi menumpuk suatu lazim
ditemukan pada pasien dengan gangguan obsesif kompulsif. Trikotilomania (kompulsi
menarik-narik rambut) dan menggigit-gigit kuku dapat merupakan kompulsi yang
berhubungan dengan gangguan obsesif-kompulsif (Sadock B.J. and Virginia, A.S., 2010).
Berdasarkan Greenberg, W.M. and David, B (2015) gambaran klinis pada kulit
penderita dengan gangguan obsesif kompulsif yaitu (1) dermatitis erupsi yang berkaitan
dengan mencuci tangan secara berlebihan, (2) rambut rontok yang berkaitan dengan
trikotilomania, (3) ekskoriasi berkaitan dengan neurodermatitis.
2.5 Diagnosis
Kriteria diagnostik untuk gangguan obsesif-kompulsif menurut DSM IV-TR:
1. Baik obsesi atau kompulsi
Obsesi seperti yang dijelaskan sebagai berikut:
• Pikiran, impuls, atau bayangan yang berulang dan menetap yang dialami pada suatu
waktu selama terjad gangguan, sebagai sesuatu yang mengganggu dan tidak sesuai,
serta dapat menimbulkan kecemasan atau distres yang nyata.
• Pikiran, impuls, atau bayangan bukanlah kekhawatiran yang berlebihan tentang
masalah kehidupan yang nyata.
• Orang tersebut berupaya untuk mengabaikan atau menekan pikiran, impuls, atau
bayangan tersebut, atau menghilangkannya dengan pikiran atau tindakan lain.
• Orang tersebut menyadari bahwa pikiran, impuls, atau bayangan obsesional itu adalah
hasil pikirannya sendiri (tidak disebabkan dari luar seperti penyisipan pikiran).
Kompulsi seperti yang dijelaskan sebagai berikut:
• Perilaku berulang (misalnya, mencuci tangan, melakukan urutan, memeriksa) atau
tindakan mental (misalnya berdoa, menghitung, mengulangi kata-kata dalam hati) yang
membuat orang tersebut terdorong untuk melakukannya sebagai respon terhadap suatu
obsesi, atau menurut dengan aturan yang harus diterapkan secara kaku.
• Perilaku atau tindakan mental tersebut ditujukan untuk mencegah atau mengurangi
penderitaan atau mencegah peristiwa atau situasi yang menakutkan, meskipun demikian
perilaku atau tindakan mental tersebut tidak berkaitan secara realistik dengan apa yang
awalnya hendak dihilangkan atau dicegah.

2. Pada suatu titik selama perjalanan gangguan, penderita telah menyadari bahwa
obsesi atau kompulsi mereka berlebihan atau tidak beralasan. Catatan: hal ini tidak
berlaku bagi anak-anak
3. Obsesi atau kompulsi menyebabkan distres yang nyata, menghabiskan waktu
(menghabiskan lebih dari satu jam sehari), atau secara bermakna mengganggu rutinitas
normal, fungsi pekerjaan (atau akademik), atau aktifitas maupun hubungan sosial
secara signifikan.

4. Jika terdapat gangguan aksis I lainnya, isi obsesi atau kompulsi tidak terbatas pada
hal tersebut (misalnya preokupasi terhadap makanan dengan adanya gangguan makan,
menarik-narik rambut dengan adanya trikotilomania, peduli dengan penampilan dengan
adanya gangguan dismorfik tubuh, preokupasi memiliki penyakit berat dengan adanya
hipokondriasis, preokupasi terhadap dorongan atau fantasi seksual dengan adanya
parafilia, atau berpikir mendalam akan rasa bersalah dengan adanya gangguan depresif
berat).

5. Gangguan ini tidak disebabkan efek fisiologis langsung suatu zat (misalnya
penyalahgunaan obat, pengobatan) atau kondisi medis umum.
Tentukan jika:
Dengan tilikan buruk : jika untuk sebagian besar waktu selama episode saat ini, orang
tersebut tidak menyadari bahwa obsesi dan kompulsinya berlebihan atau tidak beralasan
(Sadock B.J. and Virginia, A.S., 2010).
Pedoman diagnosis menurut PPDGJ III:
• Untuk menegakkan diagnosis pasti, gejala-gejala obsesif atau tindakan kompulsif, atau
kedua-duanya, harus ada hampir setiap hari selama sedikitnya dua minggu berturut-
turut.
• Hal tersebut merupakan sumber penderitaan (distress) atau mengganggu aktivitas
penderita.
• Gejala-gejala obsesif harus mencakup hal-hal berikut:
o Harus disadari sebagai pikiran atau impuls diri sendiri.
o Sedikitnya ada satu pikiran atau tindakan yang tidak berhasil dilawan, meskipun ada
lainnya yang tidak lagi dilawan oleh penderita.
o Pikiran untuk melakukan tindakan tersebut di atas bukan merupakan hal yang
memberi kepuasan atau kesenangan (sekedar perasaan lega dari ketegangan atau
anxietas, tidak dianggap sebagai kesenangan seperti dimaksud di atas.
o Gagasan, bayangan pikiran, atau impuls tersebut harus merupakan pengulangan yang
tidak menyenangkan (unpleasantly repetitive)
• Ada kaitan erat antara gejala obsesif, terutama pikiran obsesif, dengan depresi.
penderita gangguan obsesif kompulsif seringkali juga menunjukkan gejala depresif, dan
sebaliknya penderita gangguan depresi berulang (F33,-) dapat menunjukkan pikiran-
pikiran obsesif selama episode depresif-nya.
Dalam berbagai situasi dari kedua hal tersebut, meningkat atau menurunnya gejala
depresif umumnya dibarengi secara paralel dengan perubahan gejala obsesif.
Bila terjadi episode akut dari gangguan tersebut, maka diagnosis diutamakan dari
gejala-gejala yang timbul lebih dahulu.
Diagnosis gangguan obsesif kompulsif ditegakkan hanya bila tidak ada gangguan
depresif pada saat gejala obsesif kompulsif tersebut timbul.
Bila dari keduanya tidak adayang menonjol, maka baik menganggap depresi sebagai
diagnosis yang primer. Pada gangguan menahun, maka prioritas diberikan pada gejala
yang paling bertahan saat gejala yang lain menghilang.
• Gejala obsesif ”sekunder” yang terjadi pada gangguan skizofrenia, sindrom Tourette,
atau gangguan mental organk, harus dianggap sebagai bagian dari kondisi tersebut
(Maslim, R., 2001).
F42.0 Predominan Pikiran Obsesif atau Pengulangan
Pedoman Diagnostik
• Keadaan ini dapat berupa gagasan, bayangan pikiran, atau impuls (dorongan
perbuatan), yang sifatnya mengganggu (ego alien);
• Meskipun isi pikiran tersebut berbeda-beda, umumnya hampir selalu menyebabkan
penderitaan (distress) (Maslim, R., 2001).
F42.1 Predominan Tindakan Kompulsif ( Obssesional Rituals)
Pedoman Diagnostik
• Umumnya tindakan kompulsif berkaitan dengan: kebersihan (khususnya mencuci
tangan), memeriksa berulang untuk meyakinkan bahwa suatu situasi yang dianggap
berpotensi bahaya tidak terjadi, atau masalah kerapian dan keteraturan.
Hal tersebut dilatar-belakangi perasaan takut terhadap bahaya yang mengancam dirinya
atau bersumber dari dirinya, dan tindakan ritual tersebut merupakan ikhtiar simbolik dan
tidak efektif untuk menghindari bahaya tersebut.
• Tindakan ritual kompulsif tersebut menyita banyak waktu sampai beberapa jam dalam
sehari dan kadang-kadang berkaitan dengan ketidakmampuan mengambil keputusan
dan kelambanan (Maslim, R., 2001).
F42.2 Campuran Pikiran dan Tindakan Obsesif
Pedoman Diagnostik
• Kebanyakan dari penderita obsesif-kompulsif memperlihatkan pikiran obsesif serta
tindakan kompulsif.
Diagnosis ini digunakan bilamana kedua hal tersebut sama-sama menonjol, yang
umumnya memang demikian.
• Apabila salah satu memang jelas lebih dominan, sebaiknya dinyatakan dalam diagnosis
F42.0 atau F42.1. hal ini berkaitan dengan respon yang berbeda terhadap pengobatan.
Tindakan kompulsif lebih responsif terhadap terapi perilaku (Maslim, R., 2001)
F42.8 Gangguan Obsesif Kompulsif Lainnya
F42.9 Gangguan Obsesif Kompulsif YTT
2.6 Diagnosis Banding

Berdasarkan Sadock B.J. and Virginia, A.S. (2010) diagnosis banding untuk penderita
dengan gangguan obsesif kompulsif yaitu:
• Kondisi medis
Gangguan neurologis utama yang dipertimbangkan dalam diagnosis banding adalah
gangguan Tourette, gangguan “tic” lainnya, epilepsi lobus temporalis, dan kadang-
kadang trauma serta komplikasi pascaensefalitis.
Gejala khas gangguan Tourette adalah tik motorik dan vokal yang sering terjadi bahkan
setiap hari. Gangguan Tourette dan gangguan obsesif kompulsif memiliki awitan dan
gejala yang serupa. Sekitar 90 persen orang dengan gangguan Tourette memiliki gejala
kompulsif dan sebanyak dua pertiga memenuhi kriteria diagnostik gangguan obsesif
kompulsif.
• Kondisi Psikiatri Lain
Pertimbangan psikiatrik utama di dalam diagnosis banding gangguan obsesif-kompulsif
adalah skizofrenia, gangguan kepribadian obsesif-kompulsif, fobia, dan gangguan
depresif. Gangguan obsesif kompulsif biasanya dapat dibedakan dengan skizofrenia yaitu
tidak adanya gejala skizofrenik lain, sifat gejala yang kurang bizar, dan tilikan pasien
terhadap gangguannya. Gangguan kepribadian obsesif-kompulsif tidak memiliki derajat
hendaya fungsional yang berhubungan dengan gangguan obsesif-kompulsif. Fobia
dibedakan yaitu tidak adanya hubungan antara pikiran obsesif dan kompulsi. Gangguan
depresif berat kadang-kadang dapat disertai gagasan obsesif, tetapi pasien yang hanya
dengan gangguan obsesif-kompulsif gagal memenuhi kriteria diagnostik untuk gangguan
depresif berat.
Kondisi psikiatrik lain yang dapat berhubungan erat dengan gangguan obsesif-
kompulsif adalah hipokondriasis, gangguan dismorfik tubuh, dan kemungkinan gangguan
pengendalian impuls lainnya, seperti kleptomania dan judi patologis. Pada semua
gangguan ini, pasien memiliki pikiran yang berulang (contoh kepedulian akan tubuh)
atau perilaku berulang (contohnya mencuri).
Berdasarkan Maramis (2005) diagnosis banding orang dengan gangguan obsesif
kompulsif yaitu:
• Nerosa fobik : Pada nerosa obsesif kompulsif dan pada nerosa fobik terdapat
kecemasan. Pada umumnya penderita dengan nerosa fobik takut akan bahaya yang
datang dari obyek atau keadaan luar dan mengawasi ketakutannya dengan menghindari
obyek atau keadaan itu. Pada nerosa obsesif kompulsif, pikiran dan dorongan yang
menimbulkan rasa takut itu timbul dari dalam penderita dan ia menghilangkan
ketakutannya dengan menuruti pikiran dan dorongan itu. Kadang-kadang memang sukar
untuk membedakan dengan jelas antara nerosa fobik dan nerosa obsesif kompulsif.
• Depresi : pada penderita obsesi dan kompulsi kadang-kadang timbul juga depresi,
tetapi penderita dengan depresi telah menyerah dan tidak mempunyai harapan lagi,
penderita dengan obsesi dan kompulsi masih melawan dan masih mempunyai harapan.
Penderita dengan depresi cenderung menarik diri dari pergaulan. Pada penderita obsesi
dan kompulsi hubungan emosional dengan orang lain masih tetap, hanya ia ambivalent.
• Skizofrenia : penderita tidak sadar akan gangguannya, ia yakin akan kebenaran
pikiran dan tindakannya. Isi pikiran seseorang dengan obsesi kompulsi kadang-kadang
bizar (aneh), tetapi ia tetap ada hubungan dengan kenyataan, tidak menarik diri dari
pergaulan dan afeknya tetap wajar. Penderita dengan nerosa obsesif kompulsif yang
keras kadang-kadang memang sepintas lalu mirip skizofrenia.
2.7 Terapi
Terapi yang dapat diberikan pada orang dengan gangguan obsesif kompulsif
berdasarkan Maramis (2005) yaitu dapat dipakai psikoterapi suportif, penerangan dan
pendidikan. Obat psikotropik berguna untuk mengurangi ketakutan secara simptomatik
(misalnya kombinasi medazepam dan perfenazin; dan antidepresant bila perlu). Terapi
perilaku juga dapat diusahakan dengan berbagai macam teknik.
Terapi yang dapat diberikan pada orang dengan gangguan obsesif kompulsif menurut
Sadock B.J. and Virginia, A.S. (2010) yaitu:
• Farmakoterapi
Data yang tersedia menyatakan bahwa semua obat yang digunakan untuk mengobati
gangguan depresif atau gangguan mental lain, dapat digunakan dalam rentang dosis
yang biasanya. Efek awal biasanya terlihat setelah 4 sampai 6 minggu pengobatan,
walaupun biasanya diperlukan waktu 8 sampai 16 minggu untuk memperoleh
keuntungan terapeutik yang maksimal. Terapi dengan obat antidepresan masih
kontroversial, dan suatu proporsi signifikan pasien dengan gangguan obsesif-kompulsif
yang berespon terhadap pengobatan dengan antidepresan cenderung kambuh jika terapi
obat dihentikan.
Pendekatan standarnya adalah memulai dengan obat selective serotonin reuptake
inhibitor (SSRI) atau clomipramine (Anafranil) dan kemudian berpindah ke farmakologis
lain jika obat spesifik serotonin tidak efektif. Obat serotonergik meningkatkan
persentase pasien dengan gangguan obsesif kompulsif yang cenderung memberikan
respon terhadap terapi hingga kisaran 50-70 persen.
Selective Serotonin Reuptake Inhibitors (SSRI). Fluoxetin (Prozac), sitalopram
(celexa), escitalopram (Lexapro), fluvoksamin (Luvox), paroksetin (Paxil), sertralin
(Zoloft) – telah disetujui U.S Food and Drug Administration (FDA) untuk terapi gangguan
obsesif kompulsif. Dosis yang lebih tinggi lebih sering diperlukan untuk memberikan efek
yang menguntungkan, seperti fluoxetin 80 mg per hari. Walaupun SSRI dapat
menyebabkan gangguan tidur, mual, dan diare, sakit kepala, ansietas, dan kegelisahan,
efek samping ini sering sementara dan umumnya tidak terlalu menyulitkan daripada
efek samping obat trisiklik, seperti clomipramine (anafranil). Hasil klinis terbaik
didapatkan ketika SSRI dikombinasikan dengan terapi perilaku.
Clomipramine. Dari semua obat trisiklik dan tetrasiklik, clomipramine adalah yang
paling selektif untuk ambilan kembali serotonin versus ambilan kembali norepinefrin,
dan dalam hal ini hanya dilebihi oleh SSRI. Potensi ambilan kembali serotonin oleh
clomipramine dilampaui hanya oleh sertralin dan paroksetin. Clomipramine adalah obat
pertama yang disetujui U.S FDA untuk terapi gangguan obsesif kompulsif. Penggunaan
dosisnya harus dititrasi meningkat selama 2 hingga 3 minggu untuk menghindari efek
samping gastrointestinal dan hipotensi ortostatik serta seperti obat trisiklik lainnya, obat
ini menimbulkan sedasi dan efek antikolinergik yang bermakna, termasuk mulut kering
dan konstipasi. Seperti SSRI, hasil terbaik berasal dari kombinasi obat dengan terapi
perilaku.
Obat lain. Jika terapi dengan clomipramine atau SSRI tidak berhasil, banyak terapis
memperkuat obat pertama dengan penambahan valproat (Depakene), litium (Eskalith),
atau karbamazepin (Tegretol). Obat lain yang dapat dicoba dalam terapi gangguan
obsesif kompulsif adalah venlafaksin (Effexor), pindolol (Visken), dan MAOI, khususnya
fenelzin (Nardil). Agen farmakologis lain untuk terapi pasien yang tidak responsif
mencakup buspiron (BuSpar), 5-hidroksitriptamin (5-HT), L-triptofan, dan klonazepam
(Klonopin). Agen antipsikotik dapat membantu ketika juga terdapat gangguan”tic” atau
sindrom Tourette.
• Terapi Perilaku
Walaupun baru sedikit perbandingan satu per satu yang telah dilakukan, terapi
perilaku sama efektifnya dengan farmakoterapi pada gangguan obsesif-kompulsif, dan
sejumlah data menunjukkan bahwa efek menguntungkan bertahan lama dengan adanya
terapi perilaku. Dengan demikian, banyak klinisi mempertimbangkan terapi perilaku
sebagai terapi pilihan untuk gangguan obsesif-kompulsif. Terapi perilaku dapat dilakukan
di lingkungan rawat inap maupun rawat jalan. Pendekatan perilaku yang penting pada
gangguan obsesif-kompulsif adalah pajanan dan pencegahan respon. Desensitisasi,
penghentian pikiran, pembanjiran, terapi implosi, dan aversive conditioning juga telah
digunakan pada pasien gangguan obsesif kompulsif. Dalam terapi perilaku pasien harus
benar-benar berkomitmen terhadap perbaikan.
• Psikoterapi
Psikoterapi suportif secara pasti memiliki tempat, khususnya untuk pasien gangguan
obsesif-kompulsif, walaupun gejalanya memiliki berbagai keparahan yang beragam,
mampu bekerja dan melakukan penyesuaian sosial. Dengan kontak yang reguler dan
terus-menerus dengan orang yang profesional, tertarik, simpatik, dan memberi
semangat, pasien mungkin mampu berfungsi dengan bantuan ini, yang tanpanya, gejala
tersebut dapat menjadikan mereka lemah. Kadang-kadang ketika ritual obsesional dan
kecemasan mencapai intensitas yang tidak dapat ditoleransi, pasien perlu dirawat inap
sampai tempat singgah di institusi dan penjauhan dari stres lingkungan mengurangi
gejala sampai tingkat yang dapat ditoleransi.
Anggota keluarga pasien sering didorong ke ambang keputusasaan karena perilaku
pasien. Setiap upaya keras psikoterapi harus mencakup perhatian anggota keluarga
melalui pemberian dukungan emosional, penenangan, penjelasan dan saran untuk
mengatur berespons terhadap pasien.
• Terapi lain
Terapi keluarga sering berguna dalam mendukung keluarga, membantu mengurangi
perpecahan perkawinan akibat gangguan ini, dan membangun hubungan kerjasama
terapi dengan anggota keluarga untuk kebaikan pasien. Terapi kelompok berguna
sebagai sistem dukungan untuk sejumlah pasien.
Untuk kasus ekstrim pada pasien yang sangat resisten terhadap pengobatan, terapi
elektrokonvulsif (ECT) dan bedah psiko (psychosurgery) harus dipertimbangkan. ECT
tidak seefektif bedah psiko tetapi kemungkinan harus dicoba sebelum pembedahan.
Prosedur psychosurgery yang paling sering dilakukan untuk gangguan obsesif kompulsif
adalah eingulotomi, yang berhasil dalam mengobati 25 sampai 30 persen pasien yang
tidak responsif terhadap pengobatan lain. Komplikasi yang paling sering dari
psychosurgery adalah timbulnya kejang, yang hampir selalu dikendalikan dengan
pengobatan Phenytoin (Dilantin). Sejumlah pasien yang tidak berespon dengan
psychosurgery saja dan tidak berespon terhadap farmakoterapi atau terapi perilaku
sebelum operasi, berespon terhadap farmakoterapi atau terapi perilaku setelah
psychosurgery.
2.8 Perjalanan Gangguan dan Prognosis
Lebih dari separuh pasien dengan gangguan obsesif kompulsif memiliki onset gejala
yang tiba-tiba. Kira-kira 50 sampai 70 persen pasien terjadi setelah suatu peristiwa yang
penuh tekanan, seperti kehamilan, masalah seksual, dan kematian kerabat. Karena
banyak orang tetap merahasiakan gejalanya, sering terdapat penundaan 5 sampai 10
tahun sebelum pasien datang untuk mendapatkan perhatian psikiatri, walaupun
penundaan mungkin memendek dengan meningkatnya kewaspadaan terhadap
gangguan ini. Perjalanan gangguan biasanya lama tetapi bervariasi. Beberapa pasien
mengalami perjalanan gangguan yang berfluktuasi, sedangkan pasien lain mengalami
perjalanan gangguan yang konstan.
Kira-kira 20 sampai 30 persen pasien memiliki perbaikan gejala yang signifikan dan
40-50 persen mengalami perbaikan sedang, sisa 20-40 persen tetap sakit atau
mengalami perburukan gejala. Sekitar sepertiga hingga separuh pasien dengan
gangguan obsesif kompulsif memiliki gangguan depresif berat dan bunuh diri merupakan
risiko untuk semua pasien dengan gangguan obsesif kompulsif. Prognosis buruk
ditunjukkan dengan menyerah (bukan menahan) kompulsi, onset pada masa kanak,
kompulsi yang aneh (bizzare), kebutuhan akan perawatan di rumah sakit, gangguan
depresif berat yang juga timbul bersamaan, keyakinan waham, adanya penilaian
berlebihan terhadap gagasan (yaitu penerimaan obsesi dan kompulsi), dan adanya
gangguan kepribadian (terutama gangguan kepribadian skizotipal). Prognosis yang baik
ditunjukkan dengan adanya penyesuaian sosial dan pekerjaan yang baik, adanya
peristiwa yang mencetuskan, dan sifat episodik gejala. Isi obsesional tampaknya tidak
berhubungan dengan prognosis (Sadock B.J. and Virginia, A.S., 2010).

BAB III

KESIMPULAN

Gangguan obsesif – kompulsif merupakan suatu kondisi yang ditandai dengan


adanya pengulangan pikiran obsesif atau kompulsif, dimana membutuhkan banyak
waktu (lebih dari satu jam perhari) dan dapat menyebabkan penderitaan (distress).
Untuk menegakkan diagnosis pasti, gejala – gejala obsesif atau tindakan kompulsif, atau
kedua – duanya, harus ada hampir setiap hari selama sedikitnya 2 minggu berturut –
turut.
Beberapa faktor berperan dalam terbentuknya gangguan obsesif-kompulsif diantaranya
adalah faktor biologi seperti neurotransmiter, pencitraan otak, genetika, faktor perilaku
dan faktor psikososial, yaitu faktor kepribadian dan faktor psikodinamika. Ada beberapa
terapi yang bisa dilakukan untuk penatalaksanaan gangguan obsesif – kompulsif antara
lain terapi farmakologi (farmakoterapi) dan terapi perilaku. Prognosis pasien dinyatakan
baik apabila kehidupan sosial dan pekerjaan baik, adanya stressor dan gejala yang
bersifat periodik

DAFTAR PUSTAKA

1. Greenberg, W.M. and David, B., 2015. Medscape. Obssesive-Compulsive Disorder.


Available at: http://emedicine.medscape.com/article/1934139-overview#a5 [Accessed
24th September 2015].
2. Maramis, W.F., 2005. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Airlangga University Press:
Surabaya.
3. Maslim, R., 2001. Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas dari PPDGJ – III. PT
Nuh Jaya: Jakarta
4. National Alliance on Mental Illness (NAMI), 2015. Obsessive-Compulsive Disorder.
Available at: https://www.nami.org/Learn-More/Mental-Health-Conditions/Obsessive-
Compulsive-Disorder/Overview [Accessed 24th September 2015].
5. Obssessive Compulsive Disorder-United Kingdom, 2015. Understanding What Drives
OCD. Available at: http://www.ocduk.org/understanding-ocd [Accessed 24th September
2015].
6. Sadock, B.J. and Virginia, A.S., 2010. Kaplan & Sadock Buku Ajar Psikiatri Klinis. Edisi
2. EGC: Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai