Anda di halaman 1dari 52

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

TIVA adalah teknik anestesi umum dengan hanya menggunakan obat-obat


anestesi yang dimasukkan lewat jalur intravena tanpa penggunaan anestesi
inhalasi termasuk N2O. TIVA digunakan buat mencapai 4 komponen penting
dalam anestesi yang menurut Woodbridge (1957) yaitu blok mental, refleks,
sensoris dan motorik. Atau trias A (3 A) dalam anestesi yaitu
1. Amnesia
2. Arefleksia otonomik
3. Analgesik
4. +/- relaksasi otot

Jika keempat komponen tadi perlu dipenuhi, maka kita membutuhkan


kombinasi dari obat-obatan intravena yang dapat melengkapi keempat komponen
tersebut. Kebanyakan obat anestesi intravena hanya memenuhi 1 atau 2 komponen
di atas kecuali Ketamin yang mempunyai efek 3 A menjadikan Ketamin sebagai
agen anestesi intravena yang paling lengkap.

Kelebihan TIVA:
1. Kombinasi obat-obat intravena secara terpisah dapat di titrasi dalam
dosis yang lebih akurat sesuai yang dibutuhkan.
2. Tidak menganggu jalan nafas dan pernafasan pasien terutama pada
operasi sekitar jalan nafas atau paru-paru.
3. Anestesi yang mudah dan tidak memerlukan alat-alat atau mesin yang
khusus.
4. Cepat menghasilkan efek hypnosis.
5. Mempunyai efek analgesi.
6. Disertai amnesia pasca anestesi.
7. Cepat dieliminasi oleh tubuh.

1
8. Dampak yang tidak baik mudah dihilangkan oleh obat antagonisnya.

Teknik anestesi intravena merupakan suatu teknik pembiusan dengan


memasukkan obat langsung ke dalam pembuluh darah secara parenteral, obat-obat
tersebut digunakan untuk premedikasi seperti diazepam dan analgetik narkotik.
Induksi anestesi seperti misalnya tiopenton yang juga digunakan sebagai
pemeliharaan dan juga sebagai tambahan pada tindakan analgesia regional.
Dalam perkembangan selanjutnya terdapat beberapa jenis obat – obat
anestesi dan yang digunakan di indonesia hanya beberapa jenis obat saja seperti,
Tiopenton, Diazepam , Dehidrobenzoperidol, Fentanil, Ketamin dan Propofol.

A. INDIKASI ANESTESI INTRAVENA


1. Obat induksi anesthesia umum
2. Obat tunggal untuk anestesi pembedahan singkat
3. Tambahan untuk obat inhalasi yang kurang kuat
4. Obat tambahan anestesi regional
5. Menghilangkan keadaan patologis akibat rangsangan SSP (SSP sedasi)

B. CARA PEMBERIAN
1. Sebagai obat tunggal :
- Induksi anestesi
- Operasi singkat: cabut gigi
2. Suntikan berulang :
- Sesuai kebutuhan : colonoscopy
3. Diteteskan lewat infus :
- Menambah kekuatan anestesi.

2
C. OBAT OBATAN YANG DIPAKAI

PROPOFOL
Merupakan derivat fenol yang banyak digunakan sebagai anastesia intravena
dan lebih dikenal dengan nama dagang Diprivan. Pertama kali digunakan dalam
praktek anestesi pada tahun 1977 sebagai obat induksi.

Propofol digunakan untuk induksi dan pemeliharaan dalam anastesia


umum, pada pasien dewasa dan pasien anak – anak usia lebih dari 3 tahun.
Mengandung lecitin, glycerol dan minyak soybean, sedangkan pertumbuhan
kuman dihambat oleh adanya asam etilendiamintetraasetat atau sulfat, hal tersebut
sangat tergantung pada pabrik pembuat obatnya. Obat ini dikemas dalam cairan
emulsi lemak berwarna putih susu bersifat isotonik dengan kepekatan 1 % (1 ml =
10 mg) dan pH 7-8. 1,2
Propofol adalah 98% protein terikat dan mengalami metabolisme hati
untuk metabolit glukuronat, yang akhirnya diekskresikan dalam urin.
Efek Klinis: propofol menghasilkan hilangnya kesadaran dengan cepat, dengan
waktu pemulihan yang cepat dan langsung kembali pada kondisi klinis
sebelumnya (sebagai hasil waktu paruh distribusi yang pendek dan tingkat
clearance tinggi). Propofol menekan refleks laring sehingga sangat cocok untuk
digunakan dengan perangkat LMA agar dapat dimasukkan dengan lancar. Ada
insiden rendah mual dan muntah pasca operasi dan reaksi alergi atau
hipersensitivitas. Karena propofol tidak signifikan menumpuk setelah bolus
ulangan, propofol sangat cocok untuk infus jangka panjang selama operasi
sebagai bagian dari teknik anestesi Total intravena (Tiva) dan di ICU untuk obat
penenang jangka panjang. 3

Efek pada sistem kardiovaskuler

Induksi bolus 2-2,5 mg/kg dapat menyebabkan depresi pada jantung dan
pembuluh darah dimana tekanan dapat turun sekali disertai dengan peningkatan

3
denyut nadi. Ini diakibatkan Propofol mempunyai efek mengurangi pembebasan
katekolamin dan menurunkan resistensi vaskularisasi sistemik sebanyak 30%.
Pengaruh pada jantung tergantung dari :

· Pernafasan spontan – mengurangi depresi jantung berbanding nafas kendali


· Pemberian drip lewat infus – mengurangi depresi jantung berbanding
pemberian secara bolus
· Umur – makin tua usia pasien makin meningkat efek depresi jantung

Efek pada sistem pernafasan

Dapat menurunkan frekuensi pernafasan dan volume tidal, dalam beberapa kasus
dapat menyebabkan henti nafas kebanyakan muncul pada pemberian diprivan.
Secara lebih detail konsentrasi yang menimbulkan efek terhadap sistem
pernafasan adalah seperti berikut:

· Pada 25%-40% kasus Propofol dapat menimbulkan apnoe setelah diberikan


dosis induksi yang bisa berlangsung lebih dari 30 saat.

Dosis dan penggunaan

a) Induksi : 2,0 sampai 2.5 mg/kg IV.


b) Sedasi : 25 to 75 µg/kg/min dengan I.V infus
c) Dosis pemeliharaan pada anastesi umum : 100 - 150 µg/kg/min IV (titrate to
effect), bolus iv 25-50mg.
d) Turunkan dosis pada orang tua atau gangguan hemodinamik atau apabila
digabung penggunaanya dengan obat anastesi yang lain.
e) Dapat dilarutkan dengan Dextrosa 5 % untuk mendapatkan konsentrasi yang
minimal 0,2%
f) Propofol mendukung perkembangan bakteri, sehingga harus berada dalam

4
lingkungan yang steril dan hindari profofol dalam kondisi sudah terbuka lebih dari
6 jam untuk mencegah kontaminasi dari bakteri. 1,2

Efek Samping

Dapat menyebabkan nyeri selama pemberian pada 50% sampai 75%. Nyeri ini
bisa muncul akibat iritasi pembuluh darah vena, nyeri pada pemberian propofol
dapat dihilangkan dengan menggunakan lidokain (0,5 mg/kg) dan jika mungkin
dapat diberikan 1 sampai 2 menit dengan pemasangan torniquet pada bagian
proksimal tempat suntikan, berikan secara I.V melaui vena yang besar. Gejala
mual dan muntah juga sering sekali ditemui pada pasien setelah operasi
menggunakan propofol. Propofol merupakan emulsi lemak sehingga
pemberiannya harus hati – hati pada pasien dengan gangguan metabolisme lemak
seperti hiperlipidemia dan pankreatitis. Pada sesetengah kasus dapat
menyebabkan kejang mioklonik (thiopental < propofol < etomidate atau
methohexital). Phlebitis juga pernah dilaporkan terjadi setelah pemberian induksi
propofol tapi kasusnya sangat jarang. Terdapat juga kasus terjadinya nekrosis
jaringan pada ekstravasasi subkutan pada anak-anak akibat pemberian propofol.3
Propofol tidak diizinkan untuk digunakan pada anak-anak berusia kurang dari
3 tahun. Ada laporan kematian tak terduga pada anak-anak karena asidosis
metabolik dan kegagalan miokard setelah penggunaan jangka panjang di ICU.

TIOPENTON
Tiopental sekarang lebih dikenal dengan nama sodium Penthotal,
Thiopenal, Thiopenton Sodium atau Trapanal yang merupakan obat anestesi
umum barbiturat short acting, tiopentol dapat mencapai otak dengan cepat dan
memiliki onset yang cepat (30-45 detik). Dalam waktu 1 menit tiopenton sudah
mencapai puncak konsentrasi dan setelah 5 – 10 menit konsentrasi mulai menurun
di otak dan kesadaran kembali seperti semula.9 Dosis yang banyak atau dengan
menggunakan infus akan menghasilkan efek sedasi dan hilangnya kesadaran.

5
Efek pada sistem saraf pusat

Dapat menyebabkan hilangnya kesadaran tetapi menimbulkan hiperalgesia pada


dosis subhipnotik, menghasilkan penurunan metabolisme serebral dan aliran darah
sedangkan pada dosis yang tinggi akan menghasilkan isoelektrik
elektroensepalogram.Thiopental turut menurunkan tekanan intrakranial. Manakala
methohexital dapat menyebabkan kejang setelah pemberian dosis tinggi.

Efek pada mata

Tekanan intraokluar menurun 40% setelah pemberian induksi thiopental atau


methohexital. Biasanya diberikan suksinilkolin setelah pemberian induksi
thiopental supaya tekanan intraokular kembali ke nilai sebelum induksi.

Efek pada sistem kardiovaskuler

Menurunkan tekanan darah dan cardiac output ,dan dapat meningkatkan frekwensi
jantung, penurunan tekanan darah sangat tergantung dari konsentrasi obat dalam
plasma. Hal ini disebabkan karena efek depresinya pada otot jantung, sehingga
curah jantung turun, dan dilatasi pembuluh darah. Iritabilitas otot jantung tidak
terpengaruh, tetapi bisa menimbulkan disritmia bila terjadi resistensi CO2 atau
hipoksia. Penurunan tekanan darah yang bersifat ringan akan pulih normal dalam
beberapa menit tetapi bila obat disuntik secara cepat atau dosisnya tinggi dapat
terjadi hipotensi yang berat. Hal ini terutama akibat dilatasi pembuluh darah
karena depresi pusat vasomotor. Dilain pihak turunnya tekanan darah juga dapat
terjadi oleh karena efek depresi langsung obat pada miokard.

Efek pada sistem pernafasan

Menyebabkan depresi pusat pernafasan dan sensitifitas terhadap CO2 menurun


terjadi penurunan frekwensi nafas dan volume tidal bahkan dapat sampai

6
menyebabkan terjadinya asidosis respiratorik. Dapat juga menyebabkan refleks
laringeal yang lebih aktif berbanding propofol sehingga menyebabkan
laringospasme. Jarang menyebabkan bronkospasme.

Dosis

Dosis yang biasanya diberikan berkisar antara 3-5 mg/kg. Untuk menghindarkan
efek negatif dari tiopental tadi sering diberikan dosis kecil dulu 50-75 mg sambil
menunggu reaksi pasien.

Efek samping

Efek samping yang dapat ditimbulkan seperti alergi, sehingga jangan memberikan
obat ini kepada pasien yang memiliki riwayat alergi terhadap barbiturat, sebab hal
ini dapat menyebabkan terjadinya reaksi anafilaksis yang jarang terjadi, barbiturat
juga kontraindikasi pada pasien dengan porfiria akut, karena barbiturat akan
menginduksi enzim d-aminoleuvulinic acid sintetase, dan dapat memicu
terjadinya serangan akut. Iritasi vena dan kerusakan jaringan akan menyebakan
nyeri pada saat pemberian melalui I.V, hal ini dapat diatasi dengan pemberian
heparin dan dilakukan blok regional simpatis.

KETAMIN
Ketalar sebagai nama dagang yang pertama kali diperkenalkan oleh
Domino dan Carson tahun 1965 yang digunakan sebagai anestesi umum.
Ketamin kurang digemari untuk induksi anastesia, karena sering menimbulkan
takikardi, hipertensi , hipersalivasi , nyeri kepala, pasca anasthesi dapat
menimbulkan muntah – muntah , pandangan kabur dan mimpi buruk.
Ketamin juga sering menebabkan terjadinya disorientasi, ilusi sensoris dan
persepsi dan mimpi gembira yang mengikuti anesthesia, dan sering disebut
dengan emergence phenomena.
Ketamin lebih larut dalam lemak sehingga dengan cepat akan didistribusikan ke

7
seluruh organ.10 Efek muncul dalam 30 – 60 detik setelah pemberian secara I.V
dengan dosis induksi, dan akan kembali sadar setelah 15 – 20 menit. Jika
diberikan secara I.M maka efek baru akan muncul setelah 15 menit.

Efek pada susunan saraf pusat

Apabila diberikan intravena maka dalam waktu 30 detik pasien akan


mengalami perubahan tingkat kesadaran yang disertai tanda khas pada mata
berupa kelopak mata terbuka spontan dan nistagmus. Selain itu kadang-kadang
dijumpai gerakan yang tidak disadari (cataleptic appearance), seperti gerakan
mengunyah, menelan, tremor dan kejang. Itu merupakan efek anestesi dissosiatif
yang merupakan tanda khas setelah pemberian Ketamin. Apabila diberikan secara
intramuskular, efeknya akan tampak dalam 5-8 menit, sering mengakibatkan
mimpi buruk dan halusinasi pada periode pemulihan sehingga pasien mengalami
agitasi. Aliran darah ke otak meningkat, menimbulkan peningkatan tekanan darah
intrakranial.

Efek pada mata

Menimbulkan lakrimasi, nistagmus dan kelopak mata terbuka spontan,


terjadi peningkatan tekanan intraokuler akibat peningkatan aliran darah pada
pleksus koroidalis.

Efek pada sistem kardiovaskuler

Ketamin adalah obat anestesia yang bersifat simpatomimetik, sehingga


bisa meningkatkan tekanan darah dan jantung. Peningkatan tekanan darah akibat
efek inotropik positif dan vasokonstriksi pembuluh darah perifer.

8
Efek pada sistem pernafasan

Pada dosis biasa, tidak mempunyai pengaruh terhadap sistem respirasi.


dapat menimbulkan dilatasi bronkus karena sifat simpatomimetiknya, sehingga
merupakan obat pilihan pada pasien asma.

Dosis dan pemberian

Ketamin merupakan obat yang dapat diberikan secara intramuskular


apabila akses pembuluh darah sulit didapat contohnya pada anak – anak. Ketamin
bersifat larut air sehingga dapat diberikan secara I.V atau I.M. Dosis induksi
adalah 1 – 2 mg/KgBB secara I.V atau 5 – 10 mg/Kgbb I.M , untuk dosis sedatif
lebih rendah yaitu 0,2 mg/KgBB dan harus dititrasi untuk mendapatkan efek yang
diinginkan.
Untuk pemeliharaan dapat diberikan secara intermitten atau kontinyu.
Pemberian secara intermitten diulang setiap 10 – 15 menit dengan dosis setengah
dari dosis awal sampai operasi selesai.3 Dosis obat untuk menimbulkan efek
sedasi atau analgesic adalah 0,2 – 0,8 mg/kg IV atau 2 – 4 mg/kg IM atau 5 – 10
µg/kg/min IV drip infus.

Efek samping
Dapat menyebabkan efek samping berupa peningkatan sekresi air liur pada
mulut,selain itu dapat menimbulkan agitasi dan perasaan lelah , halusinasi dan
mimpi buruk juga terjadi pasca operasi, pada otot dapat menimbulkan efek
mioklonus pada otot rangka selain itu ketamin juga dapat meningkatkan tekanan
intracranial. Pada mata dapat menyebabkan terjadinya nistagmus dan diplopia.

Kontra indikasi
Mengingat efek farmakodinamiknya yang relative kompleks seperti yang
telah disebutkan diatas, maka penggunaannya terbatas pada pasien normal saja.
Pada pasien yang menderita penyakit sistemik penggunaanya harus

9
dipertimbangkan seperti tekanan intrakranial yang meningkat, misalnya pada
trauma kepala, tumor otak dan operasi intrakranial, tekanan intraokuler
meningkat, misalnya pada penyakit glaukoma dan pada operasi intraokuler.
Pasien yang menderita penyakit sistemik yang sensitif terhadap obat – obat
simpatomimetik, seperti ; hipertensi tirotoksikosis, Diabetes militus , PJK dl1,2

OPIOID
Morphine, meperidine, fentanyl, sufentanil, alfentanil, and remifentanil
merupakan golongan opioid yang sering digunakan dalam general anestesi. efek
utamanya adalah analgetik. Dalam dosis yang besar opioid kadang digunakan
dalam operasi kardiak. Opioid berbeda dalam potensi, farmakokinetik dan efek
samping.
Absorbsi cepat dan komplit terjadi setelah injeksi morfin dan meperedin
intramuskuler, dengan puncak level plasma setelah 20-60 menit. Fentanil sitrat
transmukosal oral merupakan metode efektif menghasilkan analgesia dan sedasi
dengan onset cepat (10 menit) analgesia dan sedasi pada anak-anak (15-20 μg/Kg)
dan dewasa (200-800 μg).
Waktu paruh opioid umumnya cepat (5-20 menit). Kelarutan lemak yang
rendah dan morfin memperlambat laju melewati sawar darah otak, sehingga onset
kerja lambat dan durasi kerja juga Iebih panjang. Sebaliknya fentanil dan
sufentanil onsetnya cepat dan durasi singkat setelah injeksi bolus. 6

Efek pada sistem kardiovaskuler


Sistem kardiovaskuler tidak mengalami perubahan baik kontraktilitas otot
jantung maupun tonus otot pembuluh darah. Tahanan pembuluh darah biasanya
akan menurun karena terjadi penurunan aliran simpatis medulla, tahanan sistemik
juga menurun hebat pada pemberian meperidin atau morfin karena adanya
pelepasan histamin.

Efek pada sistem pernafasan


Dapat meyebabkan penekanan pusat nafas, ditandai dengan penurunan

10
frekuensi nafas, dengan jumlah volume tidal yang menurun . PaCO2 meningkat
dan respon terhadap CO2 tumpul sehingga kurve respon CO2 menurun dan
bergeser ke kanan, selain itu juga mampu menimbulkan depresi pusat nafas akibat
depresi pusat nafas atau kelenturan otot nafas, opioid juga bisa merangsang
refleks batuk pada dosis tertentu.

Efek pada sistem gastrointestinal


Opioid menyebabkan penurunan peristaltik sehingga pengosongan
lambung juga terhambat.
Efek pada endokrin
Fentanyl mampu menekan respon sistem hormonal dan metabolik akibat
stress anesthesia dan pembedahan, sehingga kadar hormon katabolik dalam darah
relatif stabil. 1,2
a. Morfin
Penggunaanya untuk premedikasi, analgesic, anastesi, pengobatan nyeri yang
berjaitan dengan iskemia miokard, dan dipsnea yang berkaitan dengan
kegagalan ventrikel kiri dan edema paru.
Dosis :
 Analgesic : iv 2,5-15 mg, im 2,5-20 mg, Po 10-30 mg, rectal 10-20 mg setiap
4 jam
 Induksi : iv 1 mg/kg
Awitan aksi : iv < 1 menit, im 1-5 menit
Lama aksi : 2-7 jam
Efek samping obat :
 Hipotensi, hipertensi, bradikardia, aritmia
 Bronkospasme, laringospasme
 Penglihatan kabur, sinkop, euphoria, disforia
 Retensi urin, spasme ureter
 Spasme traktus biliaris, konstipasi, anoreksia, mual, muntah, penundaan
pengosongan lambung
 Miosis 4

11
b. Petidin
Penggunaannya untuk nyeri sedang sampai berat, sebagai suplemen sedasi
sebelum pembedahan, nyeri pada infark miokardium walaupun tidak seefektif
morfin sulfat, untuk menghilangkan ansietas pada pasien dengan dispnea
karena acute pulmonary edema dan acute left ventricular failure. 5
Dosis
 Oral/ IM,/SK :
 Dewasa :
 Dosis lazim 50–150 mg setiap 3-4 jam jika perlu,
 Injeksi intravena lambat : dewasa 15–35 mg/jam.
 Anak-anak oral/IM/SK : 1.1–1.8 mg/kg setiap 3–4 jam jika perlu.
 Untuk sebelum pembedahan : dosis dewasa 50 – 100 mg IM/SK
Petidin dimetabolisme terutama di hati
Kontraindikasi
 Pasien yang menggunakan trisiklik antidepresan dan MAOi. 14 hari
sebelumnya (menyebabkan koma, depresi pernapasan yang parah, sianosis,
hipotensi, hipereksitabilitas, hipertensi, sakit kepala, kejang)
 Hipersensitivitas.
 Pasien dengan gagal ginjal lanjut
Efek samping obat
 Depresi pernapasan,
 Sistem saraf : sakit kepala, gangguan penglihatan, vertigo, depresi, rasa
mengantuk, koma, eforia, disforia, lemah, agitasi, ketegangan, kejang,
 Pencernaan : mual, muntah, konstipasi,
 Kardiovaskular : aritmia, hipotensi postural,
 Reproduksi, ekskresi & endokrin : retensi urin, oliguria.
 Efek kolinergik : bradikardia, mulut kering, palpitasi, takikardia, tremor otot,
pergerakan yg tidak terkoordinasi, delirium atau disorintasi, halusinasi.
 Lain-lain : berkeringat, muka merah, pruritus, urtikaria, ruam kulit
Peringatan

12
Hati-hati pada pasien dengan disfungsi hati & ginjal krn akan memperlama kerja
& efek kumulasi opiod, pasien usia lanjut, pada depresi sistem saraf pusat yg
parah, anoreksia, hiperkapnia, depresi pernapasan, aritmia, kejang, cedera
kepala, tumor otak, asma bronchial
c. Fentanil
Digunakan sebagai analgesic dan anastesia
Dosis :
 Analgesic : iv/im 25-100 µg
 Induksi : iv 5-40 µg/ kg BB
 Suplemen anastesi : iv 2-20 µg/kg BB
Anastetik tunggal : iv 50-150 µg/ kg BB
Awitan aksi : iv dalam 30 detik, im < 8 menit
Lama aksi : iv 30-60 menit, im 1-2 jam
Efek samping obat :
 Bradikardi, hipotensi
 Depresi saluran pernapasan, apnea
 Pusing, penglihatan kabur, kejang
 Mual, muntah, pengosongan lambung terlambat
 Miosis 4

Tramadol
Tramadol adalah analgesik kuat yang bekerja pada reseptor opiat.
Tramadol mengikat secara stereospesifik pada reseptor di sistem saraf pusat
sehingga menghambat sensasi nyeri dan respon terhadap nyeri. Disamping itu
tramadol menghambat pelepasan neurotransmiter dari saraf aferen yang sensitif
terhadap rangsang, akibatnya impuls nyeri terhambat. Tramadol peroral diabsorpsi
dengan baik dengan bioavailabilitas 75%. Tramadol dan metabolitnya
diekskresikan terutama melalui urin dengan waktu 6,3 – 7,4 jam.
Indikasi : Untuk pengobatan nyeri akut dan kronik yang berat, nyeri pasca
pembedahan.
Dosis : Dewasa dan anak di atas 16 tahun :

13
• Dosis umum : dosis tunggal 50 mg Dosis tersebut biasanya cukup untuk
meredakan nyeri, apabila masih terasa nyeri dapat ditambahkan 50 mg
setelah selang waktu 4 – 6 jam.
• Dosis maksimum 400 mg sehari.
• Dosis sangat tergantung pada intensitas rasa nyeri yang diderita. Penderita
gangguan hati dan ginjal dengan bersihan klirens < 30 mL/menit : 50 –
100 mg setiap 12 jam, maksimum 200 mg sehari.
• Dosis yang dianjurkan untuk pasien dengan cirrhosis adalah 50 mg setiap 12
jam.
Efek samping
Efek samping yang umum terjadi seperti pusing, sedasi, lelah, sakit kepala , pruritis, berkeringat,
kering, mual, muntah, dispepsia dan konstipasi.

BENZODIAZEPIN
Golongan benzodiazepine yang sering digunakan oleh anestesiologi adalah
Diazepam (valium), Lorazepam (Ativan) dan Midazolam (Versed), diazepam dan
lorazepam tidak larut dalam air dan kandungannya berupa propylene glycol.
Golongan benzodiazepine bekerja sebagai hipnotik, sedative, anxiolitik, amnestik,
antikonvulsan, pelumpuh otot yang bekerja di sentral.
Obat golongan benzodiazepine dimetabolisme di hepar, efek puncak akan
muncul setelah 4 - 8 menit setelah diazepam disuntikkan secara I.V dan waktu
paruh dari benzodiazepine ini adalah 20 jam. Dosis ulangan akan menyebabkan
terjadinya akumulasi dan pemanjangan efeknya sendiri. Midazolam dan diazepam
didistribusikan secara cepat setelah injeksi bolus, metabolisme mungkin akan
tampak lambat pada pasien tua.

Efek pada sistem saraf pusat


Dapat menimbulkan amnesia, anti kejang, hipnotik, relaksasi otot dan
mepunyai efek sedasi, efek analgesik tidak ada, menurunkan aliran darah otak dan
laju metabolisme.

14
Efek pada sistem kardiovaskuler
Menyebabkan vasodilatasi sistemik yang ringan dan menurunkan cardiac
out put. Ttidak mempengaruhi frekuensi denyut jantung, perubahan hemodinamik
mungkin terjadi pada dosis yang besar atau apabila dikombinasi dengan opioid

Efek pada sistem pernafasan


Mempengaruhi penurunan frekuensi nafas dan volume tidal , depresi pusat
nafas mungkin dapat terjadi pada pasien dengan penyakit paru atau pasien dengan
retardasi mental.

Efek pada sistem saraf otot


Menimbulkan penurunan tonus otot rangka yang bekerja di tingkat
supraspinal dan spinal , sehingga sering digunakan pada pasien yang menderita
kekakuan otot rangka. 4,6

Target controlled infusion


Propofol terutama digunakan untuk intravena Total anaesthesia, teknik
konvensional dicapai dengan hanya menyuntikkan obat melalui pompa jarum
suntik pada tingkat yang telah ditentukan (mg / jam atau ml / jam) berdasarkan
berat badan. Satu masalah dengan metode ini adalah bahwa, jika tingkat infus
pompa meningkat dari, misalnya, 10 ml / jam untuk 20 ml / jam, perubahan
tidak akan secara cepat tercermin dalam konsentrasi darah atau otak.
Meningkatnya teknologi pompa, bersama dengan estimasi yang lebih
baik dari konsentrasi situs efek (konsentrasi agen di otak untuk setiap
konsentrasi darah yang diberikan) memfasilitasi pengembangan infus
dikendalikan target. Dengan teknik ini, dokter anestesi hanya menetapkan
konsentrasi darah target awal (atau daerah efek) yang dibutuhkan: konsentrasi
target dicapai dan dipertahankan tanpa intervensi lebih lanjut diperlukan oleh
pengguna. Nomogram dari studi klinis (dan pengalaman klinis operator )
digunakan untuk mengkorelasikan konsentrasi darah (atau daerah efek) dengan
efek klinis. Konsentrasi darah (atau daerah efek) ditampilkan oleh pompa

15
adalah perkiraan dari percobaan besar yang menghubungkan dosis infus
dengan konsentrasi darah. 3,7

16
Tabel 1. Dosis induksi TIVA7

Tabel 2. Dosis pemeliharaan TIVA 7

17
Tabel 3. Properti ringkasan dari obat-obat intravena anestesi3

D. Cairan Tubuh
1. Kompartemen Cairan Tubuh
Tubuh manusia terdiri dari zat padat dan zat cair. Pada manusia
dewasa distribusi zat padat adalah 40% dari berat badan dan 60% lagi adalah
terdiri dari zat cair. Zat cair (60% BB), terdiri dari:

1. cairan intrasel (CIS) : 40% dari BB

2. cairan ekstrasel (CES) : 20% dari BB, terdiri dari:

-cairan intravaskuler : 5% dari BB

-cairan interstisial : 15% dari BB

18
3. cairan transeluler (1-3%BB) : LCS, sinovial, gastrointestinal dan
intraorbital

Ginjal berfungsi mengatur jumlah cairan tubuh, osmolaritas cairan


ekstrasel, konsentrasi ion-ion penting dan keseimbangan asam basa.
Fungsi ginjal sempurna setelah anak mencapai umur 1 tahun, sehingga
komposisi cairan tubuh harus diperhatikan pada saat terapi cairan.
Pergerakan molekul antarkompartemen terjadi melalui 3 mekanisme difusi
yaitu :

1. Melalui membran lemak (oksigen dan karbondioksida)


2. Melalui kanal protein (natrium, kalsium, kalium)
3. Difusi dengan bantuan ikatan protein (glukosa, asam amino)

Perpindahan cairan tubuh dipengaruhi oleh :


1. Tekanan hidrostatik : tekanan yang mempengaruhi pergerakan air melalui
dinding kapiler
2. Tekanan onkotik : tekanan yang mencegah pergerakan air. Albumin
menghasilkan 80% dari tekanan onkotik plasma, sehingga bila albumin
cukup pada cairan intravaskuler maka cairan tidak akan masuk ke
interstisial
3. Tekanan osmotik : tekanan yang dibutuhkan untuk mencegah
perembesan/difusi cairan melalui membran semipermeabel ke dalam
cairan lain yang konsentrasinya lebih tinggi
Keseimbangan Gibbs-Donnan adalah keseimbangan antara cairan
intra dan ekstrasel yang timbul akibat peran membran sel. Keseimbangan ini
menjelaskan perpindahan cairan dari intrasel ke interstisium akibat
pergerakan muatan ion yang dipengaruhi oleh protein. Hasil akhir dari
keseimbangan ini adalah berpindahnya cairan dari kompartemen yang
kurang mengandung protein ke kompartemen yang lebih banyak
mengandung protein.

19
Volume CES dikontrol dengan manipulasi ion natrium sebagai kation
utama. Sensor regulasi volume CES berada di baroreseptor karotis, reseptor
regang atrial, dan di aparatus juxtaglomerular ginjal. Penurunan volume
CES mengakibatkan pelepasan ADH, stimulasi sistem simpatis selanjutnya
menyebabkan vasokonstriksi, pelepasan peptida natriuretik dan aktivasi
SRAA. Cairan intravaskuler (5% BB) bila ditambah eritrosit (3%BB)
menjadi darah. Jadi volume darah sekitar 8% dari berat badan. Jumlah darah
bila dihitung berdasarkan estimated blood volume (EBV) adalah :

Blood volume (ml/kgBB)


Bayi prematur 100-110
Bayi aterm 90-100
Anak <10 kg 85
Anak >10 kg 80
Pria dewasa 70
Wanita dewasa 65

2. Jenis Cairan
Berdasarkan fungsinya cairan dapat dikelompokkan menjadi :
1. Cairan pemeliharaan : ditujukan untuk mengganti air yang hilang
lewat urine, tinja, paru dan kulit (mengganti puasa). Cairan yang
diberikan adalah cairan hipotonik, seperti D5 NaCl 0,45 atau D5W.
2. Cairan pengganti : ditujukan untuk mengganti kehilangan air tubuh
akibat sekuestrasi atau proses patologi lain seperti fistula, efusi
pleura asites, drainase lambung. Cairan yang diberikan bersifat
isotonik, seperti RL, NaCl 0,9 %, D5RL, D5NaCl.
3. Cairan khusus : ditujukan untuk keadaan khusus misalnya asidosis.
Cairan yang dipakai seperti Natrium bikarbonat, NaCl 3%.

20
Cairan juga dibagi menjadi :
1. Kristaloid

Larutan kristaloid adalah larutan air dengan elektrolit


dan atau dextroa, tidak mengandung molekul besar/BM rendah
(<8000 dalton). Kristaloid dalam waktu singkat sebagian besar
akan keluar dari intravaskular, sehingga volume yang diberikan
harus lebih banyak (2,5-4 kali) dari volume darah yang hilang.
Kristaloid mempunyai waktu paruh intravaskuler 20-30 menit.
Ekspansi cairan dari ruang intravaskuler ke interstital
berlangsung selama 30-60 menit sesudah infus dan akan keluar
dalam 24-48 jam sebagai urine. Secara umum kristaloid
digunakan untuk meningkatkan volume ekstrasel dengan atau
tanpa peningkatan volume intrasel. Contoh cairan kristaloid
antara lain ringer laktat, NaCl 0,9% /normal saline, dextrose 5%
dan 10%, darrow.

2. Koloid
Koloid mengandung molekul-molekul besar (BM > 8000
dalton) berfungsi seperti albumin dalam plasma tinggal dalam
intravaskular cukup lama (waktu paruh koloid intravaskuler 3-6
jam), sehingga volume yang diberikan sama dengan volume
darah yang hilang. Contoh cairan koloid antara lain dekstran,
haemacel, albumin, plasma dan darah. Secara umum koloid
dipergunakan untuk : 1. Resusitasi cairan pada penderita
dengan defisit cairan berat (shock hemoragik) sebelum transfusi
tersedia 2. Resusitasi cairan pada hipoalbuminemia berat,
misalnya pada luka bakar.

21
Tabel : Perbandingan kristaloid dan koloid

Kristaloid Koloid

Efek volume intravaskuler - Lebih baik (efisien, volume lebih


kecil, menetap lebih lama
Efek volume interstisial Lebih baik
-
DO2 sistemik -
Lebih tinggi
Sembab paru Keduanya sama-sama potensial menyebabkan sembab
paru
Sembab perifer Sering Jarang

Koagulopati - Dekstran > kanji hidroksi etil

Aliran urine Lebih besar GFR menurun

Reaksi-reaksi Tidak ada Jarang

Harga Murah Albumin mahal, lainnya sedang

Elektrolit

Elektrolit ialah molekul yang pecah menjadi partikel bermuatan listrik


yaitu kation dan anion, yang dinyatakan dalam mEq/I cairan. Tiap
kompartemen mempunyai komposisi elektrolit tersendiri. Komposisi
elektrolit plasma dan interstisial hampir sama, kecuali didalam interstisial
tidak mengandung protein.

Tabel : Electrolyte Content of Various Body Fluids (mEq)

Na K Mg Ca Cl HCO2 HPO2 SO4 Protein


Plasma
142 1 3 5 103 25 16
darah
Cairan
145 1 2 3 115 30 1
interstisial

22
Cairan
10 160 35 2 8 160 140 55
intraselular

Non elektrolit ialah molekul yang tetap, tidak berubah menjadi partikel-partikel,
terdiri dari dekstrosa, ureum dan kreatinin.

Tabel : Zat-zat yang menimbulkan tekanan osmotik di dalam cairan ekstrasel dan
intrasel

Plasma Interstisial Intrasel

(mOsmol/L H2O) (mOsmol/L H2O) (mOsmol/L H2O)


Na+ 144 137 10

K+ 5 4,7 141

Ca+ 2,5 2,4 0

Mg++ 1,5 1,4 31

Cl 107 112,7 4

HCO3 27 28,3 10

HPO4, H2PO4 2 2 11

SO4 0,5 0,5 1

Fosfokreatin 45

Karnosin 14

Asam amino 2 2 8

Kreatin 0,2 0,2 9

Laktat 1,2 1,2 1,5

23
Adenosin tripospat 5

Heksosa monopospat 3,7

Glukosa 5,6 5,6

Protein 1,2 0,2 4

Ureum 4 4 4

Total mOsmol 303,7 302,2 302,2

Kegiatan osmol yang 282,6 281,3 281,3


dikoreksi (mOSmol)

P Osmotik total pada t


37°C (mmHg) 5453 5430 5430

Kebutuhan Air dan Elektrolit

Pada orang dewasa kebutuhan air setiap hari adalah 30-35 ml/kg;
elektrolit : Na+ 1,5 – 2 mEq/kgBB (100 mEq/hari = 5,9 g), K+ 1 mEq/kb/BB
(60 mEq/hari = 4,5 g). Kenaikan suhu 1°C ditambah 10-15%. Pada anak
sesuai berat badan :

 0-10 kg : 100 ml/kgBB


 10-20 kg : 1000 ml + 50 ml/kg diatas 10 kg
 < 20 kg : 1500 ml + 20 ml/kg diatas 20 kg

Menurut Collins kebutuhan cairan perhari, seperti yang ditunjukkan dalam tabel
berikut :

Tabel : Fluid Balance – Daily Water Requitments


(Based on Caloric Consumption – After Darrow)
Caloric Needs Water Needs
Cal/kg Cal/Total MI/100cal MI/kg

24
Infants 125 1000-1200 120 125

Children 100 1500-2000 100-150 150

Adolecents 80 2200-3000 125 100

Adult

Bed rest 20-25 1600 90 25

Non sweating 30 2100 90-125 30

Sweating 35 3500 144 40-5

Work 45 3000-5000 125-150 60

Tabel : Keseimbangan antara pemasukan dan pengeluaran air

Air masuk Air keluar

Minuman : 800-1700 ml Urine : 600-1600 ml

Makanan : 500-1000 ml Tinja : 50-200 ml

Hasil oksidasi : 200-300 ml IWL : 850-1200 ml

Homeostasis Air dan Elektrolit

Keseimbangan cairan tubuh adalah usaha untuk mempertahankan jumlah


volume cairan yang terdapat dalam kompartemen ekstrasel dan intrasel selalu
dalam keadaan tetap. Hal ini dipengaruhi oleh (a) jumlah cairan yang masuk dan
keluar tubuh (b) proses difusi melalui membran sel (c) tekanan osmotik yang
dihasilkan oleh elektrolit pada kedua kompartemen. Pengaturan keseimbangan air
di dalam tubuh ini dipengaruhi oleh 2 sistem regulasi :

25
1. Regulasi osmotik
Aktivitasnya dipicu oleh tinggi-rendahnya osmolalitas plasma, sensor
regulasi ini terletak di hipotalamus (supra optic neuron / SON, nukleus
paraventrikuler dan organum vasculosum laminae terminalis / OVLT).
Hasil akhir regulasi terjadi / tidaknya reabsorpsi air (free electrolyte water)
di duktus koligentes
2. Regulasi volume
Aktivitasnya dipengaruhi oleh volume arteri efektif / tekanan arteri. Sensor
terletak di otot atrium dan ventrikel, sinus karotis, dan arteri aferen
glomerulus. Hasil akhir regulasi terjadi / tidaknya ekskresi / retensi
natrium di duktus koligentes

Sel-sel tubuh hanya dapat hidup dan berfungsi bila berada dalam cairan
ektrasel yang sesuai. CES biasa juga disebut lingkungan dalam tubuh (milleu
interieur). Lingkungan dalam tubuh ini boleh dikatakan selalu konstan dan hanya
dapat berdeviasi dalam kisaran sempit, contoh pH darah 7,38-7,42.

Terapi Cairan Perioperatif

Terapi cairan perioperatif meliputi cairan pada masa prabedah, selama


pembedahan dan pascabedah. Terapi cairan meliputi penggantian kehilangan
cairan, memenuhi kebutuhan air, elektrolit dan nutrisi untuk membantu tubuh
mendapatkan kembali keseimbangan normal dan pulihnya perfusi ke jaringan,
oksigenasi sel, dengan demikian akan mengurangi iskemia jaringan dan
kemungkinan kegagalan organ.

1. Cairan pra bedah

Status cairan harus dinilai dan dikoreksi sebelum dilakukannya induksi


anestesi untuk mengurangi perubahan kardiovaskuler dekompensasi akut.
Penilaian status cairan ini didapat dari :

26
 Anamnesa : Apakah ada perdarahan, muntah, diare, rasa haus. Kencing
terakhir, jumlah dan warnya.
 Pemeriksaan fisik. Dari pemeriksaan fisik ini didapat tanda-tanda
obyektif dari status cairan, seperti tekanan darah, nadi, berat badan,
kulit, abdomen, mata dan mukosa.
 Laboratorium meliputi pemeriksaan elektrolit, BUN, hematokrit,
hemoglobin dan protein.

Defisit cairan dapat diperkirakan dari berat-ringannya dehidrasi yang terjadi.

 Pada fase awal pasien yang sadar akan mengeluh haus, nadi biasanya
meningkat sedikit, belum ada gangguan cairan dan komposisinya secara serius.
Dehidrasi pada fase ini terjadi jika kehilangan kira-kira 2% BB (1500 ml air).
 Fase moderat, ditandai rasa haus. Mukosa kering otot lemah, nadi cepat dan
lemah. Terjadi pada kehilangan cairan 6% BB.
 Fase lanjut/dehidrasi berat, ditandai adanya tanda shock cardiosirkulasi, terjadi
pada kehilangan cairan 7-15 % BB. Kegagalan penggantian cairan dan
elektrolit biasanya menyebabkan kematian jika kehilangan cairan 15 % BB atau
lebih.

Cairan preoperatif diberikan dalam bentuk cairan pemeliharaan, pada


dewasa 2 ml/kgBB/jam. Atau 60 ml ditambah 1 ml/kgBB untuk berat badan lebih
dari 20 kg. Pada anak-anak 4 ml/kg pada 10 kg BB I, ditambah 2 ml/kg untuk 10
kgBB II, dan ditambah 1 ml/kg untuk berat badan sisanya.Kecuali penilaian
terhadap keadaan umum dan kardiovaskuler, tanda rehidrasi tercapai ialah dengan
adanya produksi urine 0,5-1 ml/kgBB.

2. Cairan selama pembedahan

Terapi cairan selama operasi meliputi kebutuhan dasar cairan dan


penggantian sisa defisit pra operasi ditambah cairan yang hilang selama operasi.
Berdasarkan beratnya trauma pembedahan dikenal pemberian cairan pada trauma
ringan, sedang dan berat. Pada pembedahan dengan trauma ringan diberikan

27
cairan 2 ml/kg BB/jam untuk kebutuhan dasar ditambah 4 ml/kg BB/jam sebagai
pengganti akibat trauma pembedahan. Cairan pengganti akibat trauma
pembedahan sedang 6 ml/kg BB/jam dan pada trauma pembedahan berat 8 ml/kg
BB/jam. Cairan pengganti akibat trauma pembedahan pada anak, untuk trauma
pembedahan ringan 2 ml/kg BB/jam, sedang 4 ml/kgBB/jam dan berat 6
ml/kgBB/jam.

Pemilihan jenis cairan intravena tergantung pada prosedur pembedahan


dan perkiraan jumlah perdarahan. Perkiraan jumlah perdarahan yang terjadi
selama pembedahan sering mengalami kesulitan., dikarenakan adanya perdarahan
yang sulit diukur/tersembunyi yang terdapat di dalam luka operasi, kain kasa, kain
operasi dan lain-lain. Dalam hal ini cara yang biasa digunakan untuk
memperkirakan jumlah perdarahan dengan mengukur jumlah darah di dalam botol
suction ditambah perkiraan jumlah darah di kain kasa dan kain operasi. Satu
lembar duk dapat menampung 100 – 150 ml darah, sedangkan untuk kain kasa
sebaiknya ditimbang sebelum dan setelah dipakai, dimana selisih 1 gram dianggap
sama dengan 1 ml darah. Perkiraan jumlah perdarahan dapat juga diukur dengan
pemeriksaan hematokrit dan hemoglobin secara serial.

Pada perdarahan untuk mempertahankan volume intravena dapat diberikan


kristaloid atau koloid sampai tahap timbulnya bahaya karena anemia. Pada
keadaan ini perdarahan selanjutnya diganti dengan transfusi sel darah merah untuk
mempertahankan konsentrasi hemoglobin ataupun hematokrit pada level aman,
yaitu Hb 7 – 10 g/dl atau Hct 21 – 30%. 20 – 25% pada individu sehat atau
anemia kronis.

Kebutuhan transfusi dapat ditetapkan pada saat prabedah berdasarkan nilai


hematokrit dan EBV. Untuk menentukan jumlah perdarahan yang diperlukan agar
Hct menjadi 30% dapat dihitung sebagai berikut :

1. EBV
2. Estimasi volume sel darah merah pada Hct prabedah (RBCV preop)

28
3. Estimasi volume sel darah merah pada Hct 30% prabedah (RBCV%)
4. Volume sel darah merah yang hilang, RBCV lost = RBCV preop – RBVC
30%)
5. Jumlah darah yang boleh hilang = RBCV lost x 3

Transfusi dilakukan jika perdarahan melebihi nilai RBCV lost x 3. Selain


cara tersebut di atas, beberapa pendapat mengenai penggantian cairan akibat
perdarahan adalah sebagai berikut :

A. Berdasar berat-ringannya perdarahan :

1. Perdarahan ringan, perdarahan sampai 10% EBV, 10 – 15%, cukup diganti


dengan cairan elektrolit.
2. Perdarahan sedang, perdarahan 10 – 20% EBV, 15 – 30%, dapat diganti
dengan cairan kristaloid dan koloid.
3. Perdarahan berat, perdarahan 20 – 50% EBV, > 30%, harus diganti dengan
transfusi darah.

B. Klasifikasi syok akibat perdarahan :

Intravenous fluid replacement in haemorrhagic shock

2.5 l Ringer-lactate solution or 1.0 L


Class I (haemorrhage 750 ml (15%))
polygelatin

Class II (haemorrhage 800-1500 ml (15-


1.0 l polygelatin plus 1.5 L Ringer-lactate
30%))
solution

Class III (haemorrhage 1500-2000 ml (30-


1.0. l Ringer-lactate solution plus 0.5 l
40%))
whole blood or 0.1-1.5 l equal volumes of
concentrated red cells and polygelatin

1.0 l Ringer-lactate solution plus 1.0 l


Class IV (haemorrhage 2000 ml (48%))
polygelatin plus 2.0 l whole blood or 2.0 l
equal volumes of concentrated red cells and
polygelatin or hestastarch

29
3. Cairan paska bedah

Kebutuhan didasarkan pada kebutuhan basal (kebutuhan normal per hari)


ditambah kebutuhan pengganti (sejumlah cairan yang hilang akibat demam tinggi,
poliuria, drainase lambung, muntah, diare, atau perdarahan). Terapi cairan paska
bedah ditujukan untuk :

a. Memenuhi kebutuhan air, elektrolit dan nutrisi.

b. Mengganti kehilangan cairan pada masa paska bedah (cairan lambung, febris).

c. Melanjutkan penggantian defisit prabedah dan selama pembedahan.

d. Koreksi gangguan keseimbangan karena terapi cairan.

Nutrisi parenteral bertujuan menyediakan nutrisi lengkap, yaitu kalori,


protein dan lemak termasuk unsur penunjang nutrisi elektrolit, vitamin dan trace
element. Pemberian kalori sampai 40 – 50 Kcal/kg dengan protein 0,2 – 0,24
N/kg. Nutrisi parenteral ini penting, karena pada penderita paska bedah yang tidak
mendapat nutrisi sama sekali akan kehilangan protein 75 – 125 gr/hari.
Hipoalbuminemia menyebabkan edema jaringan, infeksi dan dehisensi luka
operasi, terjadi penurunan enzym pencernaan yang menyulitkan proses
realimentasi.

Pada penderita pasca operasi nutrisi diberikan bertahap (start low go


slow). Penderita pasca operasi yang tidak mendapatkan nutrisi sama sekali akan
kehilangan protein 75-125 gr/hari, hipoalbuminemia, edema jaringan, infeksi,
penurunan enzym pencernaan.

1. pasien puasa post operasi

Dewasa = kebutuhan cairan (air) post operasi : 50cc/ kgBB/ 24jam, kebutuhan
elektrolit : Na 2-4 mEq/kgBB, K 1-2 mEq/kgBB

2. pasien tidak puasa post operasi

30
Pada pasien post op yang tidak puasa, pemberian cairan diberikan berupa cairan
maintenance selama di ruang pulih (RR). Apabila keluhan mual, muntah dan
bising usus sudah ada maka pasien dicoba untuk minum sedikit-sedikit.

2.3 Darah

Komponen Darah

Seluler :

1. Eritrosit
Memiliki fungsi mengangkut O2 ke jaringan tubuh dan membantu
pembuangan CO2 dan proton hasil metabolisme jaringan tubuh. Bentuk
bulat pipih (cakram bikonkaf), tidak memiliki inti sel. Melakukan
metabolisme aktif, tetapi tidak tergantung insulin untuk memasukkan
glukosa ke dalam sel. Masa hidup 120 hari. Nilai normal pada perempuan
dewasa 4.2-5.4 juta eritrosit, hematokrit 36,1-44.3%.
2. Leukosit
Berperan dalam sistem kekebalan. Terdapat 3 jenis leukosit : limfosit (baik
B maupun T), granulosit (neutrofil, eosinofil, basofil), monosit. Masa
hidup 13-20 hari. Nilai normal pada dewasa 4500-10000 per mcL
3. Trombosit
Nilai normal 150000-450000 per mcL

Non seluler : plasma darah

Perdarahan

Perdarahan adalah keluarnya darah dari sistem kardiovaskuler, disertai


penimbunan dalam jaringan atau ruang tubuh atau disertai keluarnya darah dari
tubuh. Untuk menyatakan berbagai keadaan pendarahan digunakan istilah-istilah
deskriptif khusus. Penimbunan darah pada jaringan disebut hematoma. Jika darah
masuk ke dalam berbagai ruang dalam tubuh, maka dinamakan menurut

31
ruangannya. Misalnya : hemoperikardium, hemotoraks, hemoperitoneum,
hematosalping.
Penyebab perdarahan yang paling sering dijumpai adalah hilangnya
integritas dinding pembuluh darah yang memungkinkan darah keluar, dan hal ini
sering disebabkan oleh trauma eksternal contohnya cedara yang disertai memar.
Dinding pembuluh bisa pecah akibat penyakit maupun trauma. Penyebab lainnya
adalah adanya gangguan faktor pembekuan darah. Selain itu bercak perdarahan
yang lebih besar disebut ekimosis dan keadaan yang tandai dengan bercak –
bercak perdarahan yang tersebar luas disebut purpura.
Hemorhagi dapat terjadi pada kapiler, vena, arteri, atau jantung.
Hemorhagi dapat terjadi karena darah keluar dari susunan kardiovaskuler atau
karena diapedesis (artinya eritrosit keluar dari pembuluh darah yang tampak
utuh).
1. Tempat terjadinya perdarahan.
- Kulit, dapat berupa :
a. Petechiae, yaitu perdarahan kecil-kecil bidawah kulit yang terjadi secara
spontan,biasanya pada kapiler-kapiler.
b. Echymosis, yaitu perdarahan yang lebih besar dari petechiae, yang terjadi
secara Spontan.
c. Purpura, yaitu perdarahan yang berbentuk bercak, basarnya bercak antara
petechiae dan echymosis.
- Mukosa
- Serosa
- Selaput rongga sendi
2. Perdarahan mempunyai nama tersendiri tergantung lokasi
a. Hematoma, yaitu penimbunan darah setempat, diluar pembuluh
darah, biasanya telah membeku, sering menonjol seperti suatu
tumor pada suatu jaringan.
b. Apopleksi, yaitu penimbunan darah yang dihubungkan dengan
perdarahan otak.

32
c. Hemoptysis, yaitu perdarahan pada paru-paru atau salurannya
kemudian dibatukkan keluar.
d. Hematemesis, yaitu keluarnya darah dari saluran pencernaan
melalui muntah (muntah darah).
e. Melena, yaitu keluarnya darah dari saluran pencernaan melalui
anus sehingga feces berwarna hitam

3. Etiologi perdarahan
a. Kerusakan pembuluh darah
b. Trauma
c. Proses patoloogik
d. Penyakit yang berhubungan dengan gangguan pembekuan darah.
e. Kelainan pembuluh darah.
4. Perdarahan dapat bersifat local atau sistemik
a. Perdarahan local
Tergantung lokasi perdarahan, bila lokasinya tidak vital maka
tidak tampak gejala (tidak penting), sedangkan bila lokasinya vital,
seperti pada : Medulla oblongata, akan timbul kematian. Otak,
mengganggu fungsi otak sehingga dapat terjadi kelumpuhan. Rongga
pleura, mengakibatkan volume paru mengecil
b. Perdarahan sistemik
Tergantung dari cepat dan banyaknya perdarahan. Bila akut dan
banyak maka dapat menyebabkan kollaps sehingga semua organ tubuh
akan iskhemi dan tampak pucat. Bila kronis, sedikit-sedikit dan
berulang atau terus menerus akan timbul kekurangan zat besi sehingga
mengakibatkan anemia hipokhrom dan tejadi pula kelainan sum-sum
tulang.
EFEK :
Efek lokal perdarahan berkaitan dengan adanya darah yang keluar dari
pembulu di dalam jaringan, dan pengaruhnya dapat berkisar dari yang ringan

33
hingga yang mematikan. Barangkali pengaruh lokal yang paling ringan adalah
memar, yang mungkin anya mempunyai arti kosmetik.
Perubahan warna memar yang kebiru – biruan yang secara langsung
berkaitan dengan adanya eritrosit yang keluar dan berkumpul dengan jaringan.
Eritrosit yang dikeluarkan oleh pembulu ini dikeluarkan dengan cepat dan di
fagosit oleh makrofag yang ada sebagai bagian kesatuan dari respon peradangan.
Makrofag ini memperoses hemoglobin dengan cara yang sama seperti yang
digunakan pada resiklus normal eritrosit tua, namun dengan cara yang lebih cepat
dan pusat.
Pengaruh sistemik akibat kehilangan darah berkaitan langsung dengan
volum darah yang dikeluarkan dari pembuluh darah. Ketika sebagian besar
volume darah sirkulasi hilang, seperti pada trauma masif penderita masih dapat
sangat cepat meniggal karena perdarahan. Penderita dapat mengalami perdarahan,
tanpa ada petunjuk perdarahan eksternal sama sekali ini terjadi jika darah yang
keluar dari pembuluh terkumpul dalam rongga tubuh yang besar seperti rongga
pleura atau paritoneum.

Transfusi Darah

Transfusi adalah proses pemindahan darah, dari donor kepada resipien.


Transfuse ini sama halnya dengan cangkok atau transplantasi organ. Keuntungan
yang ingin dicapai dari pelaksanaan transfusi adalah penyelamatn hidup (life
saving) , tetapi, juga menimbulkan kematian sebagai efek dari pelaksanaannya.

Cara untuk mengurangi resiko :

- Harus paham benar mengenai antigen antibody


- Paham mengenai komplikasi
- Uji saring darah
- Processing dengan benar (pengambilan, penyimpanan dan pemberian)
- Indikasi yang rasional
- Jarak antar donasi : 4 bulan

34
Transfusi darah harus dilihat dari :

- Tujuan transfusi (replacement, substitution, jangka waktu tertentu)


- Indikasi yang jelas
- Kondisi klinis (apakah emergency, supportive, atau preventive)
- Risk-benefit
- Seuaikan dengan pemberian komponen
- Sesuaikan dengan keadaan hemodinamik pasien
Indikasi transfusi :

- Emergency , jika terjadi perdarahan yang masiv


- Supportive , untuk mencapai keadaan dan fungsi yang optimal
- Preventive, (jarang)
Efisiensi transfusi :

- Sesuai komponen yang diperlukan


- Pilih yang risikonya paling minimal
Tujuan transfusi darah

- Meningkatkan oksigenasi jaringan


- Memperbaiki homeostasis
- Engoreksi hipovolemia
- Meningkatkan leukosit (pada kasus tertentu)
Golongan darah, yang lazim dipakai adalah golongan darah tipe ABO dan sistem
Rh (Rhesus)

Tabel : Sistem golongan ABO

35
Teknik transfusi : needle 18, darahnya harus hangat, harus dibilas dengan NS
(normal saline) cara bilasnya : berikan 1 cc NS  transfusi  berikan NS 1 cc
lagi. Awasi 15 menit pertama per unit. Jangan bilas menggunakan dextrose karena
akan mempercepat kematian RBC, atau RL (ringer laktat) akan terjadi clotting.

Pengambilan dan penyimpanan darah

Darah diambil dari donor yang berusia 18-65 tahun, sehat dan mempunyai
kadar Hb minimal 12,5 gr%. Darah diberikan antikoagulan yaitu : Acid-Citrate-
dextrosa (ACD) atau Citrate Phosphate Dextrose (CPD). Komposisi darah simpan
dalam 1 unit (500ml) adalah 450 mL darah + 63 mL antikoagulan. Pemakaian
CPD lebih baik dari ACD, sebagai perbandingannya :

CPD ACD
pH 6,9 6,7
Kalium (meq/L) 20 29
2.3 DPG (ug/g%Hb) 7 3,5

Perubahan pada darah simpan

 kemungkinan hidup eritrosit menurun


setelah penyimpanan selama 14 hari dalam ACD, hampir sebagian besar
eritrosit hidup normal dalam sirkulasi darah resipiens setelah
ditransfusikan, sebagian kecil (sekitar 10%) tidak berfungsi lagi dalam 24
jam pertama. Kemudian pada hari berikutnya akan berkurang 1% per hari.
 penurunan kadar 2.3. Difosfogliserat (DPG)
setelah penyimpanan 2 minggu 2.3. DPG dalam ACD akan menghilang
90%, sedangkan dalam CPD menghilang sebesar 20%. 2.3. DPG
merupakan faktor yang mempengaruhi pelepasan oksigen dari eritrosit ke
jaringan.
 perubahan keseimbangan asam basa

36
setelah darah dicampur ACD (pH 5,0), pH darah menjadi 7,0. Pada hari
ke-21 penyimpanan pH darah menjadi 6,5. Hal ini karena proses glikolisis
dan terbentuknya asam laktat serta piruvat oleh metabolisme eritrosit. Juga
disebabkan oleh penumpukan CO2 akibat proses metabolisme eritrosit
yang tidak dapat keluar dari kantong darah.
 perubahan keseimbangan elektrolit
pergeseran kalium ke dalam sel dan natrium keluar sel akibat penurunan
pH darah/asidosis. Kalium plasma meningkat secara progresif selama
penyimpanan dalam larutan ACD. Untuk penyimpanan 7 hari kalium
mencapai 12 mEq/L, menjadi 32 mEq/L dalam 21 hari.
 perubahan faktor-faktor pembekuan
trombosit hanya bertahan sampai beberapa jam dalam darah simpan,
fibrinogen mengalami denaturasi selama penyimpanan.

Jenis transfusi

Whole blood (Darah Lengkap)

Diberikan pada pasien yang mengalami perdarahan akut. Pada dewasa,


diberikan bila kehilangan darah lebih dari 15-20% volume darahnya, sedangkan
pada bayi lebih dari 10% volume darahnya. Sebenarnya sediaan ini sudah jarang
diberikan, karena lebih banyak menimbulkan kerugian daripada manfaatnya.
Whole blood ini diberikan jika massive bleeding ! dengan target Hb >10 g/dl atau
PRC tidak sedia.

Rumus bila menggunakan whole blood : Volume = selisih Hb x 6 x


KgBB

37
PRC (Packed Red Cell)

Diberikan pada pasien yang menderita anemia kronik, dan anemia yang disertai
penyakit jantung, hati dan ginjal, bila keadaannya pasien tidak perlu plasma atau
trombosit, pada kasus emergency biasanya high output failure

Volume = selisih Hb x 3 x KgBB


Atau
Volume = vol darah pasien x kenaikan Hb yg diinginkan
Hb darah yang diberikan

Bila supportivenya, misalnya pada kemoterapi atau radioterapi : target Hb >12


g/dl. Atau bisa diberikan pada keadaan tertentu, seperti wash PRC, filter eritrosit,
dan miskin leukosit. Hb darah normal (donor) = 12 gr%. Hb darah PRC = 24 gr%

Washed Packed Red Cell

Darahnya dicuci, lama (kira – kira 4 jam) biasanya diberikan pada pasien
dengan hipersensitivitas terutama yang terhadap plasma (kasusnya jarang).
Washed PRC ini paling bagus, tetapi mahal. Washed packed red cell ini harus
langsung digunakan setelah pemrosesan.

Trombosit concentrate

Diberikan pada pasien yang menderita trombositopenia. Diberikan secara


langsung menggunakan infuse dengan set khusus tanpa filter. 1 unit TC bisa
naikin ±10.000/uL per 50 kgBB

Ket : D dalam ribu/uL Volume = D x KgBB / 500


u
Konsentrat trombosit terdiri dari 2 jenis :

a. Random donor platelet : Dikumpulkan dalam beberapa orang, dpt


disimpan 5 hr di suhu 20 – 24 °C
b. Single donor platelet : Dikumpulkan dari satu donor saja. Ini setara dengan
6 – 8 unit random donor

38
FFP (Fresh Frozen Plasma)

Untuk menghentikan perdarahan yang disebabkan oleh kekurangan factor


– factor pembekuan, atau kekurangan albumin, contoh : pada hemophilia A dan B,
syok, udem anasarka (pada sindrom nefrotik), luka bakar. Dosis : 10 – 15 mL
FFP/kgBB (untuk mencapai plasma 30%)

Gamma globulin

Meningkatkan daya tahan tubuh, contoh : pada pasien ITP

Fibrinogen

Untuk yang kekurangan fibrinogen (factor I)

39
Cryopresipitat

Mengandung factor VIII, fibrinogen, factor von willebrand, dan factor XII.
Digunakan untuk orang dengan perdarahan dengan hipofibrinogenemia berat, von
willebrand disease, hemophilia A (jika tidak ada factor VIII). Dosisnya 1 unit
cryopresipitat / 10 kgBB bisa menaikkan konsentrasi fibrinogen 50%

Aplikasi trasnfusi

Indikasinya bila terjadi perdarahan, syok, anemia pada kondisi kritis, anemia kronik
Kelas I Kelas II Kelas III Kelas IV
Kehilangan darah (ml) < 750 750-1500 1500-2000 ≥ 2000
Kehilangan darah (% <15% 15-30% 30-40% ≥ 40%
volume darah)
Frekuensi nadi <100 >100 >120 ≥ 140
Tekanan darah Normal Normal Menurun Menurun
Tekanan nadi Normal atau Menurun Menurun Menurun
meningkat
Test pucat kapiler Normal Positif Positif Positif
Frekuensi nafas 14-20 20-30 30-40 >35
Urine yang keluar (ml/jam) 30 atau lebih 20-30 5-15 Dapat
diabaikan
Status mental Sedikit Cemas Cemas dan Bingung dan
Cemas ringan bingung letargik
Penggantian cairan (aturan Kristaloid/kol Kristaloid/k Kristaloid/ Kristaloid/
3:1) oid oloid koloid + darah koloid + darah

Terapi perdarahan
Respon cepat Respon peralihan Tidak Respon
Tanda vital Kembali ke normal Perbaikan peralihan : Tetap abnormal
tekanan darah kembali
turun, dan denyut jantung
kembali meningkat
Perkiraan kehilangan Minimal (10%-20%) Sedang dan sedang Berat (> 40%)
darah berlangsung (20%-40%
Kebutuhan untuk Rendah Tinggi Tinggi
kristaloid lagi
40

Kebutuhan darah Rendah Sedang-tinggi Segera


Persiapan darah Type dan crossmatch Spesifik tipe Pengeluaran darah
Kebutuhan cairan dan darah

Beratnya Perdarahan Kebutuhan Cairan dan Darah


Kelas I Tidak memerlukan transfusi kecuali kehilangan
darah diperberat oleh anemia yang sudah ada
sebelumnya atau ketika pasien tikdak dapat
mengkompensasi jumlah kehilangan darah karena
penyakit paru atau jantung yang berat
Kelas II Perlu transfusi kristaloid atau koloid sintetik;
sepertinya tidak memelukan transfusi eritrosit
keculali adanya anemia sebelumnya. Pengurangan
cadangan kardiorespirasi atau kehilangan darah
yang berlangsung terus
Kelas III Penggantian volume dengan cepat dibutuhkan
dengan kristaloid atau koloid sintetik dan transfusi
eritrosit mungkin akan dibutuhkan.
Kelas IV Penggantian volume cepat termasuk transfusi
eritrosit dibutuhkan

Rekomendasi transfusi sel darah merah

 Transfusi sel darah merah hampir selalu diindikasikan pada kadar


Hemoglobin (Hb) <7 g/dl, terutama pada anemia akut. Transfusi dapat
ditunda jika pasien asimptomatik dan/atau penyakitnya memiliki terapi
spesifik lain, maka batas kadar Hb yang lebih rendah dapat diterima.
(Rekomendasi A)

41
 Transfusi sel darah merah dapat dilakukan pada kadar Hb 7-10 g/dl apabila
ditemukan hipoksia atau hipoksemia yang bermakna secara klinis dan
laboratorium.
(Rekomendasi C)

 Transfusi tidak dilakukan bila kadar Hb ≥10 g/dl, kecuali bila ada indikasi
tertentu, misalnya penyakit yang membutuhkan kapasitas transport oksigen
lebih tinggi (contoh: penyakit paru obstruktif kronik berat dan penyakit
jantung iskemik berat).
(Rekomendasi A)

 Transfusi pada neonatus dengan gejala hipoksia dilakukan pada kadar Hb


≤11 g/dL; bila tidak ada gejala batas ini dapat diturunkan hingga 7 g/dL
(seperti pada anemia bayi prematur). Jika terdapat penyakit jantung atau paru
atau yang sedang membutuhkan suplementasi oksigen batas untuk memberi
transfusi adalah Hb ≤13 g/dL.
(Rekomendasi C)
Transfusi satu unit darah lengkap (whole blood) atau sel darah merah pada
pasien dewasa berat badan 70 kg yang tidak mengalami perdarahan dapat
meningkatkan hematokrit kira-kira 3% atau kadar Hb sebanyak 1 g/dl. Tetapi, kadar
Hb bukan satu-satunya faktor penentu untuk transfusi sel darah merah. Faktor lain
yang harus menjadi pertimbangan adalah kondisi pasien, tanda dan gejala hipoksia,
kehilangan darah, risiko anemia karena penyakit yang diderita oleh pasien dan risiko
transfusi.

Banyak transfusi sel darah merah dilakukan pada kehilangan darah ringan atau
sedang, padahal kehilangan darah itu sendiri tidak menyebabkan peningkatan
morbiditas dan mortalitas perioperatif. Meniadakan transfusi tidak menyebabkan
keluaran (outcome) perioperatif yang lebih buruk.

Beberapa faktor spesifik yang perlu menjadi pertimbangan transfusi adalah:

42
 Pasien dengan riwayat menderita penyakit kardiopulmonal perlu transfusi
pada batas kadar Hb yang lebih tinggi.

 Volume darah yang hilang selama masa perioperatif baik pada operasi darurat
maupun elektif, dapat dinilai secara klinis dan dapat dikoreksi dengan
penggantian volume yang tepat.

 Konsumsi oksigen, dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor penyebab antara


lain adalah demam, anestesia dan menggigil. Jika kebutuhan oksigen
meningkat maka kebutuhan untuk transfusi sel darah merah juga meningkat.

Pertimbangan untuk transfusi darah pada kadar Hb 7-10 g/dl adalah bila pasien
akan menjalani operasi yang menyebabkan banyak kehilangan darah serta adanya
gejala dan tanda klinis dari gangguan transportasi oksigen yang dapat diperberat oleh
anemia.

Kehilangan darah akut sebanyak <25% volume darah total harus diatasi dengan
penggantian volume darah yang hilang. Hal ini lebih penting daripada menaikkan
kadar Hb. Pemberian cairan pengganti plasma (plasma subtitute) atau cairan
pengembang plasma (plasma expander) dapat mengembalikan volume sirkulasi
sehingga mengurangi kebutuhan transfusi, terutama bila perdarahan dapat diatasi.

Pada perdarahan akut dan syok hipovolemik, kadar Hb bukan satu-satunya


pertimbangan dalam menentukan kebutuhan transfusi sel darah merah. Setelah pasien
mendapat koloid atau cairan pengganti lainnya, kadar Hb atau hematokrit dapat
digunakan sebagai indikator apakah transfusi sel darah merah dibutuhkan atau tidak.

Sel darah merah diperlukan bila terjadi ketidakseimbangan transportasi oksigen,


terutama bila volume darah yang hilang >25% dan perdarahan belum dapat diatasi.
Kehilangan volume darah >40% dapat menyebabkan kematian. Sebaiknya hindari
transfusi darah menggunakan darah simpan lebih dari sepuluh hari karena tingginya
potensi efek samping akibat penyimpanan. Darah yang disimpan lebih dari 7 hari

43
memiliki kadar kalium yang tinggi, pH rendah, debris sel tinggi, usia eritrosit pendek
dan kadar 2,3-diphosphoglycerate rendah.

Pertimbangan dalam memutuskan jumlah unit transfusi sel darah merah:

 Menghitung berdasarkan rumus umum sampai target Hb yang disesuaikan


dengan penilaian kasus per kasus.

 Menilai hasil/efek transfusi yang sudah diberikan kemudian menentukan


kebutuhan selanjutnya.

Pasien yang menjalani operasi dapat mengalami berbagai masalah yang


menyebabkan 1) peningkatan kebutuhan oksigen, seperti kenaikan katekolamin,
kondisi yang tidak stabil, nyeri; 2) penurunan penyediaan oksigen, seperti
hipovolemia dan hipoksia. Tanda dan gejala klasik anemia berat (dispnea, nyeri dada,
letargi, hipotensi, pucat, takikardia, penurunan kesadaran) sering timbul ketika Hb
sangat rendah. Tanda dan gejala anemia serta pengukuran transportasi oksigen ke
jaringan merupakan alasan transfusi yang lebih rasional.

Rekomendasi transfusi plasma beku segar (Fresh Frozen Plasma = FFP) :

Transfusi FFP digunakan untuk:

 Mengganti defisiensi faktor IX (hemofilia B) dan faktor inhibitor koagulasi


baik yang didapat atau bawaan bila tidak tersedia konsentrat faktor spesifik
atau kombinasi. (Rekomendasi C)
 Neutralisasi hemostasis setelah terapi warfarin bila terdapat perdarahan yang
mengancam nyawa.
(Rekomendasi C)

 Adanya perdarahan dengan parameter koagulasi yang abnormal setelah


transfusi masif atau operasi pintasan jantung atau pada pasien dengan
penyakit hati.
(Rekomendasi C)

44
Penggunaan FFP seringkali tidak tepat baik dari segi indikasi maupun jumlah
FFP yang diberikan. Penggunaan FFP dianjurkan pada beberapa kondisi klinis, tetapi
belum menunjukkan adanya keuntungan atau dianggap sebagai terapi alternatif yang
aman dan memuaskan.

NHMRC-ASBT pada tahun 2001 merekomendasikan bahwa transfusi FFP


dilakukan untuk mengganti defisiensi faktor tunggal bila konsentrat faktor spesifik
atau kombinasi tidak tersedia; untuk neutralisasi hemostasis segera setelah terapi
warfarin bila terdapat perdarahan yang mungkin mengancam nyawa sebagai
tambahan terhadap vitamin K dan bila mungkin konsentrat faktor IX; untuk defisiensi
faktor koagulasi multipel yang berhubungan dengan DIC; untuk terapi purpura
trombositopenia trombotik; untuk terapi defisiensi faktor inhibitor koagulasi bawaan
pada pasien yang akan menjalani prosedur risiko tinggi bila konsentrat faktor spesifik
tidak tersedia; adanya perdarahan dan parameter koagulasi yang abnormal setelah
transfusi masif atau operasi pintasan jantung atau pada pasien dengan penyakit hati.

FFP diperlukan hanya bila tidak tersedia konsentrat faktor koagulasi kombinasi
atau spesifik. Pasien yang mengkonsumsi antikoagulan oral mengalami defisiensi
protein yang bergantung pada vitamin K, yang secara normal dapat dikoreksi dengan
pemberian vitamin K parenteral. Pada pasien overdosis atau mengalami perdarahan
serius yang mengancam nyawa, segera dapat dikoreksi dengan penggunaan
konsentrat faktor yang bergantung pada vitamin K, dengan atau tanpa kombinasi
dengan FFP. Konsentrat ini diindikasikan untuk manifestasi overdosis warfarin yang
agak berat, yaitu bila volume FFP yang tinggi merupakan indikasi kontra relatif
(seperti kardiomiopati, gagal jantung kiri berat).

Transfusi darah masif

Transfusi masif adalah penggantian sejumlah darah yang hilang atau lebih
banyak dari total volume darah pasien dalam waktu <24 jam (dewasa: 70 ml/kg,
anak/bayi: 80-90 ml/kg). Morbiditas dan mortalitas cenderung meningkat pada

45
beberapa pasien, bukan disebabkan oleh banyaknya volume darah yang
ditransfusikan, tetapi karena trauma awal, kerusakan jaringan dan organ akibat
perdarahan dan hipovolemia. Seringkali penyebab dasar dan risiko akibat perdarahan
mayor yang menyebabkan komplikasi, dibandingkan dengan transfusi itu sendiri.
Namun, transfusi masif juga dapat meningkatkan risiko komplikasi.

Asidosis lebih disebabkan terapi hipovolemia yang tidak adekuat. Pada


keadaan normal, tubuh dengan mudah mampu menetralisir kelebihan asam dari
transfusi. Pemakaian rutin bikarbonat atau obat alkalinisasi lain tidak diperlukan.

Penyimpanan darah menyebabkan konsentrasi kalium ekstraselular


meningkat, dan akan semakin meningkat bila semakin lama disimpan. Kalium dalam
darah simpan 21 hari dapat naik setinggi 32 mEq/L, sedangkan batas dosis infus
kalium adalah 20 mEq/jam. Hiperkalemia menyebabkan aritmia sampai fibrilasi
ventrikel/cardiac arrest. Untuk mencegah hal ini diberikan Calsium Glukonas 5
mg/kgBB I.V pelan-pelan. Maksud pemberian kalsium disini karena kalsium
merupakan antagonis terhadap hiperkalemia

Keracunan sitrat jarang terjadi, tetapi lebih sering terjadi pada transfusi darah
lengkap masif. Hipokalsemia terutama bila disertai dengan hipotermia dan asidosis
dapat menyebabkan penurunan curah jantung (cardiac output), bradikardia dan
disritmia lainnya. Proses metabolisme sitrat menjadi bikarbonat biasanya berlangsung
cepat, oleh karena itu tidak perlu menetralisir kelebihan asam. Tubuh memiliki
kemampuan yang besar untuk metabolisme sitrat, kecuali pada keadaan shock,
penyakit hati, dan lanjut usia. Pada kasus ini dapat diberikan Calcium Glukonas 10%
1 gram IV pelan-pelan setiap telah masuk 4 unit darah.

Plasma dapat kehilangan faktor koagulasi secara progresif selama


penyimpanan, terutama faktor V dan VIII, kecuali bila disimpan pada suhu -25°C
atau lebih rendah. Pengenceran (dilusi) faktor koagulasi dan trombosit terjadi pada

46
transfusi masif. Dapat diatasi dengan pemberian 1 unit FFP setiap transfusi 5 unit
WB/PRC.

Fungsi trombosit cepat menurun selama penyimpanan darah lengkap dan


trombosit tidak berfungsi lagi setelah disimpan 24 jam. Terjadi setelah transfusi darah
simpan lama lebih dari 80 ml/kgBB. Diatasi dengan pemberian trombosit bila jumlah
trombosit <50.000/mm3 atau memberi unit darah utuh segar setiap transfusi 4 unit
darah simpan.

DIC dapat terjadi selama transfusi masif, walaupun hal ini lebih disebabkan
alasan dasar dilakukannya transfusi (syok hipovolemik, trauma, komplikasi
obstetrik). Terapi ditujukan untuk penyebab dasarnya.

Pemberian cepat transfusi masif yang langsung berasal dari pendingin


menyebabkan penurunan suhu tubuh yang bermakna. Bila terjadi hipotermia, berikan
perawatan selama berlangsungnya transfusi.

Sel darah putih dan trombosit dapat beragregasi dalam darah lengkap yang
disimpan membentuk mikroagregat. Selama transfusi, terutama transfusi masif,
mikroagregat ini menyebabkan embolus paru dan sindrom distress pernapasan.
Penggunaan buffy coat-depleted packed red cell akan menurunkan kejadian sindrom
tersebut.

Risiko transfusi darah


Risiko transfusi darah sebagai akibat langsung transfusi merupakan bagian
situasi klinis yang kompleks. Jika suatu operasi dinyatakan potensial menyelamatkan
nyawa hanya bila didukung dengan transfusi darah, maka keuntungan dilakukannya
transfusi jauh lebih tinggi daripada risikonya. Sebaliknya, transfusi yang dilakukan
pasca bedah pada pasien yang stabil hanya memberikan sedikit keuntungan klinis
atau sama sekali tidak menguntungkan. Dalam hal ini, risiko akibat transfusi yang
didapat mungkin tidak sesuai dengan keuntungannya. Risiko transfusi darah ini dapat

47
dibedakan atas reaksi cepat, reaksi lambat, penularan penyakit infeksi dan risiko
transfusi masif.

Reaksi Akut

Reaksi akut adalah reaksi yang terjadi selama transfusi atau dalam 24 jam
setelah transfusi. Reaksi akut dapat dibagi menjadi tiga kategori yaitu ringan, sedang-
berat dan reaksi yang membahayakan nyawa. Reaksi ringan ditandai dengan
timbulnya pruritus, urtikaria dan rash. Reaksi ringan ini disebabkan oleh
hipersensitivitas ringan. Reaksi sedang-berat ditandai dengan adanya gejala gelisah,
lemah, pruritus, palpitasi, dispnea ringan dan nyeri kepala. Pada pemeriksaan fisis
dapat ditemukan adanya warna kemerahan di kulit, urtikaria, demam, takikardia,
kaku otot. Reaksi sedang-berat biasanya disebabkan oleh hipersensitivitas sedang-
berat, demam akibat reaksi transfusi non-hemolitik (antibodi terhadap leukosit,
protein, trombosit), kontaminasi pirogen dan/atau bakteri.

Pada reaksi yang membahayakan nyawa ditemukan gejala gelisah, nyeri dada,
nyeri di sekitar tempat masuknya infus, napas pendek, nyeri punggung, nyeri kepala,
dan dispnea. Terdapat pula tanda-tanda kaku otot, demam, lemah, hipotensi (turun
≥20% tekanan darah sistolik), takikardia (naik ≥20%), hemoglobinuria dan
perdarahan yang tidak jelas. Reaksi ini disebabkan oleh hemolisis intravaskular akut,
kontaminasi bakteri, syok septik, kelebihan cairan, anafilaksis dan gagal paru akut
akibat transfusi.

Reaksi hemolisis intravaskular akut adalah reaksi yang disebabkan


inkompatibilitas sel darah merah. Antibodi dalam plasma pasien akan melisiskan sel
darah merah yang inkompatibel. Meskipun volume darah inkompatibel hanya sedikit
(10-50 ml) namun sudah dapat menyebabkan reaksi berat. Semakin banyak volume
darah yang inkompatibel maka akan semakin meningkatkan risiko.

Penyebab terbanyak adalah inkompatibilitas ABO. Hal ini biasanya terjadi


akibat kesalahan dalam permintaan darah, pengambilan contoh darah dari pasien ke

48
tabung yang belum diberikan label, kesalahan pemberian label pada tabung dan
ketidaktelitian memeriksa identitas pasien sebelum transfusi. Selain itu penyebab
lainnya adalah adanya antibodi dalam plasma pasien melawan antigen golongan
darah lain (selain golongan darah ABO) dari darah yang ditransfusikan, seperti sistem
Idd, Kell atau Duffy.

Jika pasien sadar, gejala dan tanda biasanya timbul dalam beberapa menit awal
transfusi, kadang-kadang timbul jika telah diberikan kurang dari 10 ml. Jika pasien
tidak sadar atau dalam anestesia, hipotensi atau perdarahan yang tidak terkontrol
mungkin merupakan satu-satunya tanda inkompatibilitas transfusi. Pengawasan
pasien dilakukan sejak awal transfusi dari setiap unit darah.

Kelebihan cairan menyebabkan gagal jantung dan edema paru. Hal ini dapat
terjadi bila terlalu banyak cairan yang ditransfusikan, transfusi terlalu cepat, atau
penurunan fungsi ginjal. Kelebihan cairan terutama terjadi pada pasien dengan
anemia kronik dan memiliki penyakit dasar kardiovaskular.

Risiko meningkat sesuai dengan kecepatan transfusi. Sitokin dalam plasma


merupakan salah satu penyebab bronkokonstriksi dan vasokonstriksi pada resipien
tertentu. Selain itu, defisiensi IgA dapat menyebabkan reaksi anafilaksis sangat berat.
Hal itu dapat disebabkan produk darah yang banyak mengandung IgA. Reaksi ini
terjadi dalam beberapa menit awal transfusi dan ditandai dengan syok (kolaps
kardiovaskular), distress pernapasan dan tanpa demam. Anafilaksis dapat berakibat
fatal bila tidak ditangani dengan cepat dan agresif.

Cedera paru akut disebabkan oleh plasma donor yang mengandung antibodi
yang melawan leukosit pasien. Kegagalan fungsi paru biasanya timbul dalam 1-4 jam
sejak awal transfusi, dengan gambaran foto toraks kesuraman yang difus. Tidak ada
terapi spesifik, namun diperlukan bantuan pernapasan di ruang rawat intensif.

49
Reaksi Lambat

Reaksi hemolitik lambat timbul 5-10 hari setelah transfusi dengan gejala dan
tanda demam, anemia, ikterik dan hemoglobinuria. Reaksi hemolitik lambat yang
berat dan mengancam nyawa disertai syok, gagal ginjal dan DIC jarang terjadi.
Pencegahan dilakukan dengan pemeriksaan laboratorium antibodi sel darah merah
dalam plasma pasien dan pemilihan sel darah kompatibel dengan antibodi tersebut.

Purpura pasca transfusi merupakan komplikasi yang jarang tetapi potensial


membahayakan pada transfusi sel darah merah atau trombosit. Hal ini disebabkan
adanya antibodi langsung yang melawan antigen spesifik trombosit pada resipien.
Lebih banyak terjadi pada wanita. Gejala dan tanda yang timbul adalah perdarahan
dan adanya trombositopenia berat akut 5-10 hari setelah transfusi yang biasanya
terjadi bila hitung trombosit <100.000/uL. Penatalaksanaan penting terutama bila
hitung trombosit ≤50.000/uL dan perdarahan yang tidak terlihat dengan hitung
trombosit 20.000/uL. Pencegahan dilakukan dengan memberikan trombosit yang
kompatibel dengan antibodi pasien.

Komplikasi ini jarang terjadi namun potensial membahayakan. Biasanya


terjadi pada pasien imunodefisiensi, terutama pasien dengan transplantasi sumsum
tulang; dan pasien imunokompeten yang diberi transfusi dari individu yang memiliki
tipe jaringan kompatibel (HLA: human leucocyte antigen), biasanya yang memiliki
hubungan darah. Gejala dan tanda, seperti demam, rash kulit dan deskuamasi, diare,
hepatitis, pansitopenia, biasanya timbul 10-12 hari setelah transfusi. Tidak ada terapi
spesifik, terapi hanya bersifat suportif.

Kelebihan besi

Pasien yang bergantung pada transfusi berulang dalam jangka waktu panjang
akan mengalami akumulasi besi dalam tubuhnya (hemosiderosis). Biasanya ditandai
dengan gagal organ (jantung dan hati). Tidak ada mekanisme fisiologis untuk
menghilangkan kelebihan besi. Obat pengikat besi seperti desferioksamin, diberikan

50
untuk meminimalkan akumulasi besi dan mempertahankan kadar serum feritin
<2.000 mg/l.

Transfusi darah dapat mengubah sistem imun resipien dalam beberapa cara,
dan hal ini menjadi perhatian karena adanya pendapat yang menyatakan bahwa angka
rekurensi tumor dapat meningkat. Selain itu juga terdapat pendapat yang menyatakan
bahwa transfusi darah meningkatkan risiko infeksi pasca bedah karena menurunnya
respons imun: sampai saat ini, penelitian klinis gagal membuktikan hal ini.

Penularan Infeksi

Risiko penularan penyakit infeksi melalui transfusi darah bergantung pada


berbagai hal, antara lain prevalensi penyakit di masyarakat, keefektifan skrining yang
digunakan, status imun resipien dan jumlah donor tiap unit darah.8 Saat ini
dipergunakan model matematis untuk menghitung risiko transfusi darah, antara lain
untuk penularan HIV, virus hepatitis C, hepatitis B dan virus human T-cell
lymphotropic (HTLV). Model ini berdasarkan fakta bahwa penularan penyakit
terutama timbul pada saat window period (periode segera setelah infeksi dimana
darah donor sudah infeksius tetapi hasil skrining masih negatif).

Penularan HIV melalui transfusi darah pertama kali diketahui pada akhir tahun
1982 dan awal 1983. Untuk mengurangi risiko penularan HIV melalui transfusi, bank
darah mulai menggunakan tes antigen p24 pada tahun 1995. Setelah kurang lebih 1
tahun skrining, dari 6 juta donor hanya 2 yang positif (keduanya positif terhadap
antigen p24 tetapi negatif terhadap antibodi HIV).

Penularan virus hepatitis B dan virus hepatitis C

Penggunaan skrining antigen permukaan hepatitis B pada tahun 1975


menyebabkan penurunan infeksi hepatitis B yang ditularkan melalui transfusi,
sehingga saat ini hanya terdapat 10% yang menderita hepatitis pasca transfusi. Makin
meluasnya vaksinasi hepatitis B diharapkan mampu lebih menurunkan angka

51
penularan virus hepatitis B. Meskipun penyakit akut timbul pada 35% orang yang
terinfeksi, tetapi hanya 1-10% yang menjadi kronik.

Transmisi infeksi virus hepatitis non-A non-B sangat berkurang setelah


penemuan virus hepatitis C dan dilakukannya skrining anti-HCV. Risiko penularan
hepatitis C melalui transfusi darah adalah 1:103.000 transfusi. Infeksi virus hepatitis
C penting karena adanya fakta bahwa 85% yang terinfeksi akan menjadi kronik, 20%
menjadi sirosis dan 1-5% menjadi karsinoma hepatoselular. Mortalitas akibat sirosis
dan karsinoma hepatoselular adalah 14,5% dalam kurun waktu 21-28 tahun.
Prevalensi hepatitis B di Indonesia adalah 3-17% dan hepatitis C 3,4% sehingga perlu
dilakukan skrining hepatitis B dan C yang cukup adekuat.

52

Anda mungkin juga menyukai