Anda di halaman 1dari 23

22

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Regulasi Emosi

A.1 Definisi Regulasi emosi

Regulasi emosi ialah kapasitas untuk mengontrol dan menyesuaikan emosi

yang timbul pada tingkat intensitas yang tepat untuk mencapai suatu tujuan.

Regulasi emosi yang tepat meliputi kemampuan untuk mengatur perasaan, reaksi

fisiologis, kognisi yang berhubungan dengan emosi, dan reaksi yang berhubungan

dengan emosi (Shaffer, 2005).

Sementara itu, Gross (2007) menyatakan bahwa regulasi emosi ialah strategi

yang dilakukan secara sadar ataupun tidak sadar untuk mempertahankan,

memperkuat atau mengurangi satu atau lebih aspek dari respon emosi yaitu

pengalaman emosi dan perilaku. Seseorang yang memiliki regulasi emosi dapat

mempertahankan atau meningkatkan emosi yang dirasakannya baik positif

maupun negatif. Selain itu, seseorang juga dapat mengurangi emosinya baik

positif maupun negatif.

Sedangkan menurut Gottman dan Katz (dalam Wilson, 1999) regulasi emosi

merujuk pada kemampuan untuk menghalangi perilaku tidak tepat akibat kuatnya

intensitas emosi positif atau negatif yang dirasakan, dapat menenangkan diri dari

pengaruh psikologis yang timbul akibat intensitas yang kuat dari emosi, dapat

memusatkan perhatian kembali dan mengorganisir diri sendiri untuk mengatur

perilaku yang tepat untuk mencapai suatu tujuan. Walden dan Smith (dalam

Universitas Sumatera Utara


23

Eisenberg, Fabes, Reiser & Guthrie 2000) menjelaskan bahwa regulasi emosi

merupakan proses menerima, mempertahankan dan mengendalikan suatu

kejadian, intensitas dan lamanya emosi dirasakan, proses fisiologis yang

berhubungan dengan emosi, ekspresi wajah serta perilaku yang dapat diobservasi.

Thompson (dalam Eisenberg, Fabes, Reiser & Guthrie 2000) mengatakan

bahwa regulasi emosi terdiri dari proses intrinsik dan ekstrinsik yang bertanggung

jawab untuk mengenal, memonitor, mengevaluasi dan membatasi respon emosi

khususnya intensitas dan bentuk reaksinya untuk mencapai suatu tujuan. Regulasi

emosi yang efektif meliputi kemampuan secara fleksibel mengelola emosi sesuai

dengan tuntutan lingkungan.

Aspek penting dalam regulasi emosi ialah kapasitas untuk memulihkan

kembali keseimbangan emosi meskipun pada awalnya seseorang kehilangan

kontrol atas emosi yang dirasakannya. Selain itu, seseorang hanya dalam waktu

singkat merasakan emosi yang berlebihan dan dengan cepat menetralkan kembali

pikiran, tingkah laku, respon fisiologis dan dapat menghindari efek negatif akibat

emosi yang berlebihan (Sukhodolsky, Golub & Cromwell dalam Gratz & Roemer,

2004).

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa regulasi emosi ialah

suatu proses intrinsik dan ekstrinsik yang dapat mengontrol serta menyesuaikan

emosi yang muncul pada tingkat intensitas yang tepat untuk mencapai suatu

tujuan yang meliputi kemampuan mengatur perasaan, reaksi fisiologis, cara

berpikir seseorang, dan respon emosi (ekspresi wajah, tingkah laku dan nada

Universitas Sumatera Utara


24

suara) serta dapat dengan cepat menenangkan diri setelah kehilangan kontrol atas

emosi yang dirasakan.

A.2. Ciri-ciri regulasi emosi

Individu dikatakan mampu melakukan regulasi emosi jika memiliki kendali

yang cukup baik terhadap emosi yang muncul. Kemampuan regulasi emosi dapat

dilihat dalam lima kecakapan yang dikemukakan oleh Goleman (2004), yaitu :

a. Kendali diri, dalam arti mampu mengelola emosi dan impuls yang merusak

dengan efektif.

b. Memiliki hubungan interpersonal yang baik dengan orang lain.

c. Memiliki sikap hati-hati.

d. Memiliki adaptibilitas, yang artinya luwes dalam menangani perubahan dan

tantangan.

e. Toleransi yang lebih tinggi terhadap frustasi.

f. Memiliki pandangan yang positif terhadap diri dan lingkungannya.

Menurut Martin (2003) ciri-ciri individu yang memiliki regulasi emosi

ialah :

a. Bertanggung jawab secara pribadi atas perasaan dan kebahagiaannya.

b. Mampu mengubah emosi negatif menjadi proses belajar dan kesempatan

untuk berkembang.

c. Lebih peka terhadap perasaan orang lain.

d. Melakukan introspeksi dan relaksasi.

e. Lebih sering merasakan emosi positif daripada emosi negatif.

Universitas Sumatera Utara


25

f. Tidak mudah putus asa dalam menghadapi masalah.

Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri individu yang

dapat melakukan regulasi emosi ialah memiliki kendali diri, hubungan

interpersonal yang baik, sikap hati-hati, adaptibilitas, toleransi terhadap frustasi,

pandangan yang positif, peka terhadap perasaan orang lain, melakukan introspeksi

dan relaksasi, lebih sering merasakan emosi positif daripada emosi negatif serta

tidak mudah putus asa.

A.3. Faktor-faktor yang mempengaruhi regulasi emosi

Bbeberapa faktor yang mempengaruhi kemampuan regulasi emosi seseorang,

yaitu :

a. Usia.

Penelitian menunjukkan bahwa bertambahnya usia seseorang dihubungkan

dengan adanya peningkatan kemampuan regulasi emosi, dimana semakin

tinggi usia seseorang semakin baik kemampuan regulasi emosinya. Sehingga

dengan bertambahnya usia seseorang menyebabkan ekspresi emosi semakin

terkontrol (Maider dalam Coon, 2005). Dari penjelasan di atas dapat diambil

kesimpulan bahwasanya lansia memiliki kemampuan regulasi emosi yang

semakin baik.

b. Jenis Kelamin.

Beberapa penelitian menemukan bahwa laki-laki dan perempuan berbeda

dalam mengekspresikan emosi baik verbal maupun ekspresi wajah sesuai

dengan gendernya. Perempuan menunjukkan sifat feminimnya dengan

Universitas Sumatera Utara


26

mengekspresikan emosi sedih, takut, cemas dan menghindari

mengekspresikan emosi marah dan bangga yang menunjukkan sifat

maskulin. Perbedaan gender dalam pengekspresian emosi dihubungkan

dengan perbedaan dalam tujuan laki-laki dan perempuan mengontrol

emosinya. Perempuan lebih mengekspresikan emosi untuk menjaga

hubungan interpersonal serta membuat mereka tampak lemah dan tidak

berdaya. Sedangkan laki-laki lebih mengekspresikan marah dan bangga

untuk mempertahankan dan menunjukkan dominasi. Sehingga, dapat

disimpulkan bahwa wanita lebih dapat melakukan regulasi terhadap emosi

marah dan bangga, sedangkan laki-laki pada emosi takut, sedih dan cemas

(Fischer dalam Coon, 2005).

c. Religiusitas.

Setiap agama mengajarkan seseorang diajarkan untuk dapat mengontrol

emosinya. Seseorang yang tinggi tingkat religiusitasnya akan berusaha untuk

menampilkan emosi yang tidak berlebihan bila dibandingkan dengan orang

yang tingkat religiusitasnya rendah (Krause dalam Coon, 2005).

d. Kepribadian.

Orang yang memiliki kepribadian ‘neuroticism’ dengan ciri-ciri sensitif,

moody, suka gelisah, sering merasa cemas, panik, harga diri rendah, kurang

dapat mengontrol diri dan tidak memiliki kemampuan coping yang efektif

terhadap stres akan menunjukkan tingkat regulasi emosi yang rendah (Cohen

& Armeli dalam Coon, 2005).

Universitas Sumatera Utara


27

e.Pola Asuh.

Beberapa cara yang dilakukan orang tua dalam mengasuh anak dapat

membentuk kemampuan anak untuk meregulasi emosinya. Parke (dalam

Brenner & Salovey, 1997) mengemukakan beberapa cara orang tua

mensosialisasikan emosi kepada anaknya diantaranya melalui: pendekatan

tidak langsung dalam interaksi keluarga (antara anak dengan orang tua);

teknik teaching dan coaching; dan mencocokkan kesempatan dalam

lingkungan.

f. Budaya.

Norma atau belief yang terdapat dalam kelompok masyarakat tertentu dapat

mempengaruhi cara individu menerima, menerima, menilai suatu

pengalaman emosi, dan menampilkan suatu respon emosi. Dalam hal

regulasi emosi apa yang dianggap sesuai atau culturally permissible dapat

mempengaruhi cara seseorang berespon dalam berinteraksi dengan orang

lain dan dalam cara ia meregulasi emosi.

g.Tujuan dilakukannya regulasi emosi (Goals).

Merupakan apa yang individu yakini dapat mempengaruhi pengalaman,

ekspresi emosi dan respon fisiologis yang sesuai dengan situasi yang dialami

(Gross, 1999).

h.Frekuensi individu melakukan regulasi emosi (Strategies).

Merupakan seberapa sering individu melakukan regulasi emosi dengan

berbagai cara yang berbeda untuk mencapai suatu tujuan (Gross, 1999).

i. Kemampuan individu dalam melakukan regulasi emosi (Capabilities).

Universitas Sumatera Utara


28

Jika trait kepribadian yang dimiliki seseorang mengacu pada apa yang dapat

individu lakukan dalam meregulasi emosinya (Gross, 1999).

A.4. Aspek-aspek regulasi emosi

Menurut Gross (2007) ada empat aspek yang digunakan untuk menentukan

kemampuan regulasi emosi seseorang yaitu :

a. Strategies to emotion regulation (strategies) ialah keyakinan individu

untuk dapat mengatasi suatu masalah, memiliki kemampuan untuk

menemukan suatu cara yang dapat mengurangi emosi negatif dan dapat

dengan cepat menenangkan diri kembali setelah merasakan emosi yang

berlebihan.

b. Engaging in goal directed behavior (goals) ialah kemampuan individu

untuk tidak terpengaruh oleh emosi negatif yang dirasakannya sehingga

dapat tetap berpikir dan melakukan sesuatu dengan baik.

c. Control emotional responses (impulse) ialah kemampuan individu untuk

dapat mengontrol emosi yang dirasakannya dan respon emosi yang

ditampilkan (respon fisiologis, tingkah laku dan nada suara), sehingga

individu tidak akan merasakan emosi yang berlebihan dan menunjukkan

respon emosi yang tepat.

d. Acceptance of emotional response (acceptance) ialah kemampuan individu

untuk menerima suatu peristiwa yang menimbulkan emosi negatif dan

tidak merasa malu merasakan emosi tersebut.

Universitas Sumatera Utara


29

A.5. Strategi regulasi emosi

Setiap individu memiliki cara yang berbeda dalam melakukan regulasi emosi.

Menurut Gross (2007) regulasi emosi dapat dilakukan individu dengan banyak

cara, yaitu:

a. Situation selection

Suatu cara dimana individu mendekati/menghindari orang atau situasi yang

dapat menimbulkan emosi yang berlebihan. Contohnya, seseorang yang lebih

memilih nonton dengan temannya daripada belajar pada malam sebelum ujian

untuk menghindari rasa cemas yang berlebihan.

b. Situation modification

Suatu cara dimana seseorang mengubah lingkungan sehingga akan ikut

mengurangi pengaruh kuat dari emosi yang timbul. Contohnya, seseorang

yang mengatakan kepada temannya bahwa ia tidak mau membicarakan

kegagalan yang dialaminya agar tidak bertambah sedih.

c. Attention deployment

Suatu cara dimana seseorang mengalihkan perhatian mereka dari situasi yang

tidak menyenangkan untuk menghindari timbulnya emosi yang berlebihan.

Contohnya, seseorang yang menonton film lucu, mendengar musik atau

berolahraga untuk mengurangi kemarahan atau kesedihannya.

d. Cognitive change

Suatu strategi dimana individu mengevaluasi kembali situasi dengan

mengubah cara berpikir menjadi lebih positif sehingga dapat mengurangi

Universitas Sumatera Utara


30

pengaruh kuat dari emosi. Contohnya, seseorang yang berpikir bahwa

kegagalan yang dihadapi sebagai suatu tantangan daripada suatu ancaman.

B. Terapi Rational Emotive Behaviour Therapy (REBT)

B 1. Pengertian

Rational Behaviour Emotive Therapy (REBT) merupakan suatu

pendekatan yang mempunyai asumsi bahwa kognisi, emosi dan perilaku

mempunyai interaksi satu sama lain dan mempunyai hubungan sebab akibat.

Asumsi dasar dari REBT adalah setiap orang mempunyai kontribusi terhadap

masalah psikologis mereka sendiri yang merupakan hasil dari intepretasi mereka

terhadap situasi dan kejadian. Menurut Gonzalez & Nelson (2004) REBT

merupakan suatu pendekatan kognitif dan perilaku yang dihasilkan bukan berasal

dari kejadian yang dialami namun dari keyakinan – keyakinan yang tidak rasional.

Keyakinan yang tidak rasional akan membawa individu pada emosi dan perilaku

negatif yang tidak sehat.

Berdasarkan uraian diatas dapat diambil kesimpulan REBT merupakan suatu

metode yang menggunakan pendekatan kognitif dalam mengatasi masalah emosi

dan perilaku yang berasal dari keyakinan yang irrasional.

B. 2 Konsep Dasar Terapi Rational Emotive Behaviour Therapy (REBT)

Terapi REBT menggunakan konsep ABC yaitu Activiting event (A), Belief

(B) dan Emotion consequence (C). penjabran dari masing-masing komponen

adalah sebagai berikut (Corey, 2006):

Universitas Sumatera Utara


31

a. Activating event (A) adalah peristiwa, fakta, perilaku atau sikap

orang lain yang terjadi di dalam maupun di luar diri individu.

b. Belief (B) adalah keyakinan dan nilai individu terhadap suatu

peristiwa. Keyakinan terdiri atas dua bagian yaitu: pertama,

keyakinan rasional (rB) yang merupakan keyakinan yang tepat,

masuk akal dan produktif. Kedua, keyakinan irasional (iB) yang

merupakan yang salah, tidak masuk akal, emosional dan tidak

produktif.

c. Emotional consequence (C) adalah konsekuensi emosional baik

berupa senang atau hambatan emosi yang diterima individu sebagai

akibat reaksi dalam hubungannya dengan antecedent event (A).

konsekuensi emosional ini bukanlah akibat langsung dari A, tetapi

juga B baik dipengaruhi oleh iB maupun rB individu.

Ellis (dalam Corey, 2006) juga menambahkan bahwa setelah konsep A-B-

C maka menyusul desputing (D) yang merupakan penerapan metode ilmiah untuk

menantang keyakinan irasional. Desputing (D) merupakan dari proses terapi yang

dijalankan m1oleh konselor dan klien melalui proses edukatif, dimana konselor

menunjukkan berbagai prinsip logika dan dapat diuji kebenarannya untuk

menyanggah keyakinan irasional klien. Setelah melakukan disputing diharapkan

akan muncul filisofi rasional yang baru dan efektif (E). bila berhasil melakukan

proses tersebut akan muncul perasaan atau emosi yang baru (F).

Universitas Sumatera Utara


32

B.3. Keyakinan Irasional dalam REBT

Munculnya berbagai masalah dalam REBT disebabkan karena adanya

pikiran yang irasioanal. Ada beberapa bentuk pikiran yang irasioanl dalam REBT

diantaranya:

1. Demands

Pada tipe ini orang sering mengekspresikan keyakinannya yang rigid

dalam bentuk harus, mutlak harus.

2. Awfulizing/catastrophizing

Keyakinan ini timbul bila seseorang tidak mendapatkan apa yang ia

inginkan maka ia akan menyimpulkan kejadian tersebut sangat

menyakitkan, sangat buruk.

3. Low frustration tolerance

Keyakinan ini timbul bila seseorang tidak mendapatkan apa yang ia

inginkan maka ia akan menyimpulkan kejadian tersebut sangat berat, ia

sudah tidak tahan lagi.

4. Self, other and life-depreciation beliefs

Bila seseorang tidak mendapatkan apa yang ingin didapatnya dan ia

membuat atribut terhadap dirinya bahwa ia telah gagal, ia tidak menyukai

dirinya.

Universitas Sumatera Utara


33

B.4. Tahapan Pelaksanaan Rational Emotive Behaviour Therapy (REBT)

Menurut Dryden & Branch (2008) ada tiga tahapan yang harus

dilaksanakan terapis dalam pelaksanaan terapi, antara lain:

a. Fase awal

Tugas dasar terapis dalam fase ini adalah menajalin hubungan yang

terapetik dengan klien. Konsep dasar yang harus dikembangkan adalah;

1. Mendorong klien untuk menceritakan masalahnya

2. Memberikan gambaran tentang REBT kepada klien

3. Mulai menetapkan masalah klien.

4. Menerangkan tentang konsep ‘ABCs daam REBT

5. Mengatasi keraguan klien

b. Tahap pertengahan

Pada tahapan ini proses disputting dimulai dan pada tahapan ini terapis

bisa memberikan tugas kepada klien untuk membantu mereka

mengembangkan kemampuan disputing dan menemukan cara agar

berfikir lebih rasional.

Kosep dasar yang harus dikembangkan dalam tahap ini adalahl

1. Menindak lanjuti target dari masalah.

2. Mendorong klien untuk mengerjakan tugas-tugas yang mendukung.

3. Mengidentifias dan merubah keyakinan irasional klien.

4. Mengatasi hambatan untuk berubah dari klien

5. Mendorong klien untuk menjadi dan meningkatkan kemajuan dalam

proses terapi

Universitas Sumatera Utara


34

c. Tahap penutup

Tugas utama terapis ketika kan mengakhiri terapi adalah meminta

persetujuan dengan klien untuk mengakhiri terapi dengan cara yang

terbaik. Beberapa ha yang perlu diperhatikan diantaranya;

1. Memutuskan kapan dan bagaimana mengakhiri terapi.

2. Mendorong klien untuk menyimpulkan apa yang telah dipelajari.

3. Memberikan penghargaan terhadap peningkatan yang dicapai klien.

4. Mengatasi hambatan dalam mengakhiri terapi.

5. Klien setuju untuk melakukan follow up dan menyimpulkan hasil

terapi.

B.5. Teknik-teknik yang digunakan dalam REBT

Rational Emotive Behavior Therapy dalam proses terapinya menggunakan

beberapa teknik yang bervariasi baik dengan teknik kognitif, behavioral, maupun

afektif. Berikut beberapa teknik yang bisa dipakai di dalam pelaksanaan REBT

(Corey, 2006):

a. Teknik kognitif

Beberapa teknik kognitif yang biasa digunakan antara lain;

1. Disputting irasional belief

Metode kognitif yang palin umum adalah disputing iraional belief dari

klien dan mengajarkan mereka bagaimana menantang pikiran mereka

sendiri. Terapis menantang irasional belief mereka dengan

menanyakan beberapa pertanyaan seperti apa bukti dari keyakinan

Universitas Sumatera Utara


35

anda tersebut?, dimana buktinya anda tidak bias menghadapi situasi

terebut?, akankah menjadi malapetaka besar apa yang anda bayangkan

terjadi?

2. Tugas Rumah

Klien diharapkan membuat daftar masalahnya, mencari keyakinannya

yang absolute dan dispute belief. Tugas rumah yang diberikan

berisikan penerapan dari teori A – B – C untuk berbagai masalah yang

dihadapinya shari-hari. Klien didorong untuk mengambil resiko dari

sebuah situasi yang akan menantang batas bawah dari beliefnya.

3. Mengubah bahasa yang digunakan

REBT berpendapat bahwa bahasa yang tidak tepat merupakan salah

satu yang merusak proses berpikir. Klien belajar bahwa “ harus,”

seharusnya” bias diganti dengan “lebih disuka”. Bukan mengatakan “

itu akan benar-benar mengerikan jika……”, mereka bisa belajar

dengan mengatakan “itu akan menjadi tidak menyenangkan jika….”

4. Menggunakan humor.

Ellis menggunakan humor sebagai salah satu cara dalam menyerang

pikiran yang terlalu berlebihan yang akan menimbukan masalah

dengan klien.

Universitas Sumatera Utara


36

b. Teknik emotif

Praktisi REBT menggunakan prosedur yang bervariasi diantaranya:

1. Rational-emotive imagery

Teknik ini merupakan suatu bentuk latihan mental untuk membentuk

pola emosi yang baru. Klien membayangkan dirinya sedang berpikir,

merasakan dan berperilaku persis seperti pikiran, perasaan dan perilaku

mereka dalam kehidupan nyata.

2. Role Playing

Di dalam bermain peran terdapat dua komponen yaitu komponen

perilaku dan emosi. Terapis sering melakukan interupsi untuk

menunjukkan kepada klien apa yang mereka ceritakan tentang dirinya

yang akan menimbulkan masalah terhadap dirinya dan apa yang bisa

mereka kerjakan untuk mengubah perasaan mereka yang tidak sesuai.

3. Shame-attacking exercise

Latihan ini dikembangkan untuk membantu mengurangi rasa malu

yang irasional. Kita bisa menolak rasa malu dengan kuat dengan cara

mengatakan pada diri kita sendiri Poin utama dari latihan ini adalah

klien berlatih untuk tidak mau ketika yang lain tidak menyetujui

mereka

4. Use of force and vigor

Klien mengarahkan dirinya dengan untuk mengekspresikan keyakinan

yang tidak rasional dan secara paksa menentangnya.

Universitas Sumatera Utara


37

c. Teknik Behavioristik

REBT juga menggunakan banyak teknik behavioritik dalam proses terapi.

Teknik yang digunakan contohnya operant conditioning, self-

management, systematic densitilization, relakasasi dan modeling,

melakukan hal yang menyenangkan.

C. Kekerasan Seksual Pada Remaja

C. 1. Definisi kekerasan Seksual

Sexual abuse adalah setiap bentuk perilaku yang memiliki muatan seksual

yang dilakukan seseorang atau sejumlah orang namun tidak disukai dan tidak

diharapkan oleh orang yang menjadi sasaran sehingga menimbulkan akibat

negatif, seperti rasa malu, tersinggung, terhina, marah, kehilangan harga diri,

kehilangan kesucian, dan sebagainya pada diri orang yang menjadi korban

(Tricket, Noll & Putnam, 2011). Sedangkan menurut Wahid da Irfan (dalam Abu

Huraiah, 2007) istilah ini menunjuk pada perilaku seksual deviatif atau hubungan

seksual yang menyimpang, merugikan pihak korban dan merusak kedamaian di

tengah masyarakat. Briere (dalam Bautista, 2001) menambahkan semua kontak

seksual dengan anak meskipun anak tidak mengerti.

Kilgore (dalam Murphy, 2001) mengatakan sexual abuse pada anak adalah

kekerasan seksual yang dapat mencakup kontinum perilaku seksual dari paparan

alat kelamin melalui kontak fisik invasif seperti penetrasi pada anus atau vagina.

Kekerasan seksual pada anak dan remaja biasanya melibatkan orang dewasa,

dimana pelaku umumnya memiliki kedekatan atau keterikatan dengan anak yang

Universitas Sumatera Utara


38

dengan otoritasnya dapat melakukan pemaksaan kepada si anak untuk melakukan

aktivitas seksual. Selanjutnya perilaku memberikan berbagai ancaman ataupun

bujukan kepada korbannya agar tidak buka mulut kepada siapapun (Malchiodi,

dalam Murphy, 2001).

Berdasarkan pemaran diatas dapat disimpulkan kekerasan seksual adalah

segala bentuk aktivitas aktivitas seksual yang dilakukan oleh lain dimana perilaku

tersebut tidak diharapkan oleh korban.

C.2. Klasifikasi Kekerasan Seksual

Menurut Resna dan Darmawan (dalam Hurairah, 2007), kekerasan seksual

dapat dibagi atas tiga kategori yaitu perkosaan, incest dan eksploitasi. Untuk lebih

jelasnya dapat diuraikan sebagai berikut:

a. Perkosaan

Pelaku tindakan perkosaan biasanya pria. Perkosaan seringkali terjadi dengan

diawali terlebih dahulu dengan ancaman. Jika korban diperiksa dengan segera

setelah pemerkosaan, maka akan ditemukan bukti fisik seperti air mani, darah dan

luka memar. Apabila kasus perkosaan dengan kekerasan terjadi kepada anak, akan

menimbulkan resiko besar karena perkosaan sering berdampak pada tidak

stabilnya emosi anak.

b. Inces

Inces didefinisikan sebagai hubungan seksual atau aktivitas seksual antara

individu yang mempunyai hubungan dekat, dimana perkawinan diantara mereka

Universitas Sumatera Utara


39

dilarang oleh hukum maupun kultur. Inces biasanya terjadi dalam kurun waktu

yang lama dan sering menyangkut suatu proses terkondisi.

c. Eksploitasi

Eksploitasi seksual meliputi prostitusi dan pornografi. Pada beberapa kasus

khususnya prostitusi ikut terlibat di dalamnya seluruh anggota keluarga seperti

ibu, ayah dan anak-anaknya. Hal inimerupakan situasi patologi dimana kedua

orangtua sering terlibat kegiatan seksual bersama dengan anak-anaknya dan

mempergunakan anak-anak untuk prostitusi dan pornografi. Eksploitasi anak-anak

membutuhkan intervensi dan penanganan yang banyak secara psikiatri.

C.3. Dampak Kekerasan Seksual

Faulkerner (dalam Zahra, R,P, 2007) memaparkan kekerasan seksual

cenderung menimbulkan dampak traumatis baik pada anak maupun dewasa.

Dampak lain yang biasa muncul pada anak yang mengalami kekerasan seksual

dapat menimbulkan kecemasan, depresi, citra diri yang buruk, isolasi, ledakan

kemarahan dan permusuhan kepada orang lain. Rini ( dalam Zahra, 2007)

mengatakan secara spesifik dampak kekerasan seksual pada anak dapat

digolongkan dalam masalah relasional, emosional, kognisi dan perilaku.

Kekerasan seksual juga akan mengakibatkan gejala khas dari PTSD (Finkelhor et

al., Murphy, 2001).

Bagley dan Ramsay (dalam Christopher & Kathleen, 2004) menambahkan

bahwa dampak lain dari kekerasan seksual pada anak-anak adalah adanya

peningkatan dorongan untuk melakukan bunuh diri dan melakukan upaya merusak

Universitas Sumatera Utara


40

diri sendiri. Selain itu, anak-anak yang mengalami kekerasan seksual juga

berdampak pada perasaan marah. Ekspresi kemarahan dilakukan dalam berbagai

bentuk variasi. Mereka menginternalisasi kemarahan tersebut pada diri sendiri

yang berakibat depresi dan menyakiti diri sendiri atau mengeksternalisasi

kemarahan dengan perilaku agresif terhadap orang lain. Beberapa penelitian

menunjukkan kejadian traumatis bisa menyebabkan seseorang menunjukkan

regulasi emosi yang tidak efektif seperti dalam mengeskpresikan emosi yang tidak

tepat (Boden, 2013).

Putnam (2003) memaparkan anak dan remaja yang mengalami kekerasan

seksual ada yang menunjukkan karakteristik: a). Memiliki masalah dalam regulasi

perasaan dan emosinya seperti pikiran bunuh diri, mengontrol marah, b) Dalam

hal hal kesadaran, c) Bermasalah dalam persepsi diri seperti merasa malu,

bersalah dan tidak berdaya, d) Masalah hubungan dengan orang lain seperti

menarik diri, tidak percaya, e) Gangguan somatic.

Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan dampak kekerasan seksual

diantaranya berupa emosi, prilaku dan kognitif. Gangguan emosi seperti pada

regulasi emosi, kecemasan. Malu, marah. Gangguan perilaku seperti menarik diri

dari lingkungan, agresi sedangkan gangguan kognitif seperti merasa rendah diri,

tidak berdaya.

Universitas Sumatera Utara


41

D. Terapi REBT dalam Meningkatkan Regulasi Emosi pada Remaja yang

Mengalami Kekerasan Seksual

Masa remaja merupakan masa transisi yang ditandainya dengan

banyaknya perubahan yang terjadi baik dari dalam maupun luar individu itu

sendiri. Banyak peristiwa yang nantinya akan berpengaruh secara signifikan

terhadap keberfungisan remaja itu sendiri seperti perubahan fisik, kognitif,

emosional, perilaku dan sosial. Sangat disayangkan ada remaja yang menjadi

korban kekerasna seksual. Kekerasan seksual merupakan peristiwa traumatik

yang dialami remaja dan akan memberikan dampak yang serius bagi remaja.

Remaja bisa mengalami masalah dalam perkembangan seperti masalah relasional,

masalah emosi, kecemasan, masalah kognisi, masalah perilaku. Beberapa

penelitian menunjukkan kejadian traumatis bisa menyebabkan seseorang

menunjukkan regulasi emosi yang tidak efektif seperti dalam mengeskpresikan

emosi yang tidak tepat (Boden, 2013). Kesulitan dalam regulasi emosi bisa

meningkatkan simtom-simtom PTSD (Post Traumatic Stress Disorder).

Munculnya perilaku internalizing dan externalizing juga berhubungan dengan

kemapuan seseorang dalam meregulasi emosinya (Bowie, 2010). Korban

kekerasan seksual serta korban maltreatmen yang lain menunjukkan perubahan

regulasi emosi yang sangat hebat.

Regulasi emosi dapat dilakukan dengan beberapa cara diantaranya adalah

memilih situasi, memodifikasi situasi, mengalihkan perhatian dan mengubah

kognitif. Salah satu faktor yang menyebabkan seseorang mengalami kesulitan

dalam meregulasi emosi adalah adanya kesalahan dalam proses kognitif, adanya

Universitas Sumatera Utara


42

kesalahan dalam menilai situasi. Berdasarkan konsep dasar dari REBT emosi dan

perilaku merupakan hasil dari proses kognitif. Gangguan emosi berasal dari

adanya kesalahan dalam berfikir terhadap suatau kejadian. Kesalahan dalam

proses berfikir menyebabkan timbulnya pikiran-pikiran yang irasional yang tidak

masuk akal, menyalahkan diri sendiri serta menimbulkan masalah emosi.

Universitas Sumatera Utara


43

Paradigma Penelitian

Kekerasan seksual terhadap


remaja

Gangguan kognitif, fisik,


emosi, sosial dan seksual

Irational Belief:
- Awfulizing
- Low frustration tolerance
- Demands
- Self, other and life-depreciation beliefs
-

Pemberian terapi REBT


Kesulitan dalam Regulasi
Emosi

Rational Belief Kognitif: Behavioristik: Emotif:


- Disputing - Self - Rational
irrational management emotive
Kemampuan regulasi belief - reward imagey
emosi meningkat - Tugas
rumah

Gambar 1.1. Paradigma Penelitian

Keterangan:

: menyebabkan

: diberikan perlakuan REBT

: pengaruhnya

Universitas Sumatera Utara


44

F. Hipotesa Penelitian

Hipotesa dalam penelitian ini adalah ada pengaruh terapi REBT untuk

meningkatkan regulasi emosi pada remaja korban kekerasan seksual.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai