Anda di halaman 1dari 2

Nama : Fahreza Hardiputra

Kelas : X - 7

Hubungan Puasa Dengan Keikhlasan

Puasa mendidik keikhlasan yang mempribadi. Puasa ditengarahi adalah ibadah yang
langsung terhubung dengan Allah. Hanya Allah dan diri manusia sendiri yang tahu
sehingga puasa mendidik hati secara otentik. Bahkan Allah menghargainya dengan
mengganjar langsung terhadap umatnya yang melakukan ibadah puasa.
Merujuk pada kemuliaan puasa maka makna puasa memberi peluang mendidik hati
untuk belajar ikhlas. Ikhlas adalah soal otentisitas pribadi. Ia disandarkan pada niat yang
kuat bagi seseorang sebagai penentu perilaku beribadah atau beramal. Ketika orang tidak
ikhlas dan mengharap pujian dari orang sekitar maka mereka akan terjebak pada ibadah
riya’.
Ibadah yang dilakukan karena mengharap pujian dan penghargaan dari orang lain.
Ibadah yang dilakukan dengan riya justru akan menghapus ibadah itu sendiri. Keikhlasan
adalah kekuatan yang akan selalu diuji dan digoyang oleh beragam keinginan. Oleh karena
itulah ibadah puasa sebenarnya digerakkan dari kerangka spiritualitas mengenai hakikat
pribadi yang otentik. Puasa meletakkan fondasi keimanan dalam ranah spiritualitas yang
mebebaskan diri manusia dari berbagai kepentingan yang mempribadi.
Ikhlas merupakan makna ibadah yang tidak mempublik, tetapi mempribadi. Artinya
bahwa orientasi ibadah bukan ingin mendapat derajat kemuliaan karena mendapat imbalan
dari orang lain atau sanjungan karena perbuatan baik seseorang. Puasa membelajari diri
melepaskan nafsu kuasa manusia. Melalui puasa, seorang beriman terlatih menjadi pribadi
yang mampu mebebaskan belenggu materialisme, keserakahan, nafsu syahwat dan tidak
memperkenankan membentuk hubungan sosial timpang terhadap sesama. Puasa secara
substantif mengelaborasi pemaknaan ikhlas sebagai tolak ukur kunci bagi keberhasilan
umat untuk mencapai derajat tertinggi di hadapan Tuhan.
Ikhlas lebih bermuara pada mencapai ridho Allah yang bermakna tawakal. Bahwa
seluruh ibadah yang kita rajut semasa hidup semuanya diserahkan ke hak prerogratif Allah
untuk mengganjarnya atau tidak, karena yakin bahwa keputusan Allah terhadap amal
hambanya adalah mutlak. Surat An-Nisa 146 menjelaskan bahwa “kecuali orang-orang yang
taubat dan mengadakan perbaikan dan berpegang teguh pada (agama) Allah dan tulus ikhlas
(mengerjakan) agama mereka karena Allah. Maka mereka itu adalah bersama-sama orang yang
beriman dan kelak Allah akan memberikan kepada orang-orang yang beriman pahala yang besar”.
Maka ikhlas harus dimulai dari diri sendiri dan puasa merupakan medan
pengkondisian agar manusia terbiasa dalam siklus berkecukupan. Saat kita mampu
mengukur rasa kebercukupan, maka ikhlas akan membahana menjadi kesadaran otentik
tentang situasi tanpa pamrih dalam beribadah/beramal, kecuali hanya mengharap
kecintaan kepada Allah SWT.
Keikhlasan Kaum Ansar

Di Ji’ranah, Rasulullah saw sedang membagikan harta hasil perang Hunain. Tokoh-
tokoh Quraisy diberi banyak harta, misalnya Shafwan bin Umayyah diberi 300 ekor unta
dan domba. Dia pun kontan masuk Islam (HR Shahih Muslim). Banyak lagi bekas musuh
Rasul dijatah masing-masing puluhan kilogram perak dan ratusan ekor ternak.
Tapi, tak satupun kaum Anshar menerimanya. Mereka kesal, terutama kaum mudanya.
Pemimpinnya, Sa’ad bin Ubadah segera menghadap Nabi. Mendengar kekecewaan mereka,
Rasul menyuruhnya mengumpulkan semua kaum Anshar.
Setelah mereka berkumpul, Rasul bersabda, “Wahai kaum Anshar, desas-desus apakah
yang sampai padaku ? Apakah kalian marah kepadaku ? Bukankah ketika aku hijrah kalian
masih tersesat, lalu Allah memberi hidayah kepada kalian melalui aku ? Bukankah kini
kalian kaya, padahal sebelum kedatanganku kekurangan ? Kalian pun saling berperang, lalu
Allah mempersatukan kalian karena aku?”
Semuanya menjawab, “Benar, Allah dan Rasul-Nya yang lebih pemurah dan lebih
utama jasanya.”
Karena mereka hanya menjawab demikian, Rasul pun bertanya,” Mengapa kalian tidak
mau membalas perkataanku?”.
“Demi Allah,” lanjut Rasulullah saw, “Kalau mau, kalian tentu bisa membalasnya. Itu
pasti dibenarkan. Kalian bisa katakan, “Anda datang ketika didustakan orang, maka
kamilah yang mempercayai. Ketika anda diusir, kami yang membela, Kala anda diburu,
kami yang melindungi.”
“Wahai kaum Anshar, mengapa kalian jengkel karena tak menerima sampah dunia itu?
Apakah kalian tidak rela ketika orang lain pulang bersama onta dan domba, kalian pulang
ke Madinah bersama Rasulullah ?” Seketika mengalirlah air mata kaum Anshar. Lenyaplah
kejengkelan.
Bangkitlah kembali keikhlasan. Bahwa walau merekalah yang lebih berjasa dibanding
penerima harta, mereka puas hanya dengan jatah akhirat. Kini, banyak manusia
membongkar kesalahan , mempublikasikan data penyelewengan dana, atau memunculkan
beragam masalah baru, tampaknya bukan untuk melenyapkan kezaliman, melainkan agar
kemungkaran diri nya sendiri tertutupi. Atau, dia mendapat simpati, jabatan, dan harta
beberapa tahun lagi.
Mestinya kita berkaca, Amalan kaum Anshar tak berhenti di retorika, meski sampai
mengorbankan nyawa membela Islam dan negara, mereka tetap merasa diri mereka bukan
paling berjasa, sehingga paling layak tuk berharta dan berkuasa.

Hadist Tentang Keikhlasan

‫للاه‬
ِ ِِ‫س ْو ُل‬ َ ‫ِقَا َل‬:‫ظ ُرِِ ع َْنِِاَبهىِ ُه َر ْي َرةَِِرضِقَا َل‬
ُ ‫ِِر‬ ُ ‫ِاهنِِللاَِِلَِِيَ ْن‬:ِ‫ص‬
‫ِمسلم‬.‫هلىِِقُلُ ْو هب ُك ْم‬ ٰ ‫ِِو‬
ُ ‫ِِل هك ْنِِ َي ْن‬
َ ‫ظ ُرِِا‬ َ ‫ص َو هر ُك ْم‬ َ ‫ِِولَِِا‬
ُ ِِ‫هلى‬ َ ‫ام ُك ْم‬
‫س ه‬َ ‫هلىِِاَ ْج‬
َ ‫ا‬
Dari Abu Hurairah RA, ia berkata : Rasulullah SAW pernah bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak
melihat (menilai) bentuk tubuhmu dan tidak pula menilai kebagusan wajahmu, tetapi Allah melihat
(menilai) keikhlasan hatimu”. [HR. Muslim]

Anda mungkin juga menyukai