Anda di halaman 1dari 109

ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK DENGAN PEMBERIAN

TERAPI KOMPRES DINGIN TERHADAP PEMASANGAN INFUS


PADA KLIEN DENGAN GANGGUAN SISTEM PERNAFASAN:
TUBERCULOSIS DI RUANG AMARILIS RSUD DEPOK
TAHUN 2019

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Profesi Ners

Disusun Oleh :
IPAH SYARIFAH
NPM: 08180100054

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN INDONESIA MAJU


PROGRAM PENDIDIKAN STUDI NERS
2019
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Karya ilmish Ners Ini adalah hasil karya sendiri,


Dari semua sumber baik dikutip maupun dirujuk
Telah saya nyatakan dengan benar

Nama : Ipah Syarifah


Npm : 18180100054
Tanda Tangan :

Tanggal : Januari 2020

i
HALAMAN PERSETUJUAN

Karya Ilmiah Akhir Ners Dengan Judul :

ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK DENGAN PEMBERIAN TERAPI

KOMPRES DINGIN TERHADAP PEMASANGAN INFUS PADA KLIEN

DENGAN GANGGUAN SISTEM PERNAFASAN : TUBERCULOSIS

DI RUANG AMARILIS RSUD DEPOK

TAHUN 2019

Telah mendapat persetujuan untuk dilaksanakan uji karya ilmiah akhir ners pada:

Jakarta, Januari 2020

Menyetujui:

Pembimbing

(Ns. Nur Eni Lestari., M. Kep., Sp. Kep.An.)

ii
HALAMAN PENGESAHAN

Karya Akhir Ilmiah ini diajukan oleh :


Nama : Ipah Syarifah
NPM : 18180100054
Program Studi : Pendidikan Profesi Ners

Judul KIN : ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK DENGAN


PEMBERIAN TERAPI KOMPRES DINGIN
TERHADAP PEMASANGAN INFUS PADA KLIEN
DENGAN GANGGUAN SISTEM PERNAFASAN :
TUBERCULOSIS DI RUANG AMARILIS RSUD
DEPOK TAHUN 2019

Telah berhasil dipertahankan dihadapan dewan penguji dan diterima


sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Ners
pada Program Studi Profesi Ners Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Indonesia
Maju

DEWAN PENGUJI

Pembimbing : Ns. Nur Eni Lestari., M.Kep., Sp.Kep.An (…………..….)

Penguji I : Ns. Eka Rokhmiati, S.Kep, M.Kep (…………..….)

Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal : Januari 2020

iii
KATA PENGANTAR

Syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala berkatNya, sehingga

penulis dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah ini dengan judul : “Asuhan

Keperawatan Pada Anak Dengan Pemberian Terapi Kompres Dingin

Terhadap Pemasangan Infus Pada Klien Dengan Gangguan Sistem

Pernafasan : Tuberculosis Di Ruang Amarilis RSUD Depok Tahun 2019”.

Tujuan penyusunan penelitian ini untuk memenuhi syarat kelulusan program studi

Profesi Ners Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Indonesia Maju (STIKIM).

Dalam setiap proses yang telah saya jalani sebagai mahasiswa profeis Ners

di STIKIM, saya juga mendapatkan dukungan maupun bimbingan dari berbagai

pihak. Oleh karena itu dalam kesempatan ini, saya ingin menyampaikan

penghargaan dan ungkapan terimakasih yang tulus kepada:

1. Dr. dr. H. M. Hafizurrachman, MPH selaku Ketua Umum Sekolah Tinggi

Ilmu Kesehatan Maju (STIKIM)

2. Ns. Eka Rokmiati, S.Kep., M.Kep, selaku Ketua Progam Pendidikan

Keperawatan dan sebagai penguji yang memberikan masukan untuk

perbaikan karya tulis ilmiah ini

3. Ns. Nur Eni Lestari., M.Kep., Sp.Kep.An. selaku pembimbing yang

memberikan masukan demi kesempurnaan karya tulis ilmiah ini.

4. Bapak Ns. Bambang Suryadi, S.kep., M.Kes selaku koordinator mata ajar

KIN

iv
5. Untuk bapak dan ibuku yang tercinta, tersayang, tersabar, terkuat, sepanjang

sisa hidupku dan keluarga besar yang selalu mendukung setiap langkah dalam

hidupku, serta motivator terbaikku.

6. Untuk Suamiku Abdul Khoir dengan tulus cintanya, kesabaran dan

dukungannya hingga sampailah pada tahap Ners ini.

7. Keluarga besar Ruang Amarilis RSUD Depok.

8. Sahabat – sahabat tercinta atas semua doa, cinta dan dukungan kalian.

9. Teman - teman seperjuangan Mahasiswa Profesi Ners STIKIM 2019/2020.

10. Semua pihak yang yang telah memberikan dukungan dan doa kepada saya

dalam menjalani setiap proses perkuliahan hingga saat ini.

Semoga Tuhan Yang Maha Pengasih membalas segala kebaikan semua

yang telah ikut berpartisipasi dan selalu memberkati setiap langkah dan rencana

baik kita. Saya berharap karya tulis ilmiah ini memberikan dampak positif dalam

meningkatkan pelayanan keperawatan di Institusi Rumah Sakit, peningkatan ilmu

keperawatan dan khususnya bagi saya sendiri.

Jakarta, Januari 2020

Penulis

v
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI

LAPORAN AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai civitas akademik Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Indonesia

Maju, Saya yang bertandan tangan dibawah ini :

Nama : Ipah Syarifah

NPM : 18180100054

Program Studi : Pedidikan Profesi Ners

Jenis Karya : Karya Ilmiah Ners

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk


memberikan kepada Sekolah Ilmu Tinggi Kesehatan Indonesia Maju
Hak Bebas Royalti Non Ekslusif ( Non – exclusive Royalty – Free
Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul : “Asuhan Keperawatan
Pada Anak Dengan Pemberian Terapi Kompres Dingin Terhadap
Pemasangan infus Pada Klien Dengan Gangguan Sistem
Pernafasan: Tuberculosis Di Ruang Amarilis RSUD Depok Tahun
2019”.

Beserta perangkat yang ada. Dengan Hak Bebas Royalti Non Ekslusif
ini Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Indonesi Maju berhak menyimpan,
mengalih media atau formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan
data (database), merawat dan mempublikasikan tugas akhir saya
selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis atau pencipta
dan sebagai pemilik Hak Cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Jakarta
Pada Tanggal Januari 2020
Yang Menyatakan

( Ipah Syarifah )

v
Nama : Ipah Syarifah
NPM : 18180100054
Judul :Asuhan Keperawatan Pada Anak Dengan Pemberian Terapi
Kompres Terhadap Pemasangan Infus Pada Klien Dengan
Gangguan Sistem Pernafasan : Tuberculosis Di Ruang
Amarilis RSUD Depok Tahun 2019

vi
Name : Ipah Syarifah
NIM : 18180100054
Title :

ABSTRAC

vii
DAFTAR ISI

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ......................................... i

HALAMAN PERSETUJUAN ...................................................................... ii

HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................ iii

KATA PENGANTAR .................................................................................... iv

ABSTRAK ...................................................................................................... v

DAFTAR ISI ................................................................................................... viii

DAFFTAR TABEL ........................................................................................ xi

DAFTAR SKEMA ......................................................................................... xii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang................................................................................. 1

B. Rumusan Masalah ........................................................................... 5

C. Tujuan penelitian ............................................................................. 6

1. Tujuan Umum ............................................................................. 6

2. Tujuan Khusus ............................................................................ 6

D. Manfaat Penulisan ........................................................................... 7

1. Manfaat aplikatif ......................................................................... 7

2. Manfaat Teoritis .......................................................................... 7

3. Manfaat Metodologis .................................................................. 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Nyeri ................................................................................................ 8

1. Definisi Nyeri ........................................................................... 8

viii
2. Teori Nyeri ............................................................................... 9

3. Fisiologi Nyeri .......................................................................... 10

4. Jenis- jenis Nyeri ...................................................................... 13

5. Mengkaji Persepsi Nyeri .......................................................... 15

6. Mengkaji Intensitas Nyeri ........................................................ 15

7. Faktor –faktor yang mempengaruhi nyeri ................................ 17

8. Manajemen Nyeri ..................................................................... 20

B. Peran Perawat .................................................................................. 37

1. Pengertian TB Paru................................................................... 39

2. Etiologi ..................................................................................... 40

3. Klasifikasi ................................................................................. 41

4. Patofisiologi .............................................................................. 43

5. Pemeriksaan Penunjang ............................................................ 46

6. Komplikasi ............................................................................... 46

7. Penatalaksanaan ........................................................................ 48

8. Pengkajian ................................................................................ 52

9. Diagnosa Keperawatan ............................................................. 59

10. Intervensi .................................................................................. 60

BAB III TINJAUAN KASUS

A. Pengkajian Kasus I ......................................................................... 64

B. Intervensi Keperawatan ................................................................... 77

C. Implementasi Keperawatan ............................................................. 82

D. Evaluasi ........................................................................................... 83

ix
BAB IV ANALISIS KASUS

A. Profil Lahan Praktik ........................................................................ 86

B. Analis Masalah Keperawatan dengan Konsep Terkait .................... 87

C. Analisis Intervensi Keperawatan ..................................................... 89

D. Implikasi Asuhan Keperawatan pada Klien .................................... 90

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ...................................................................................... 92

B. Saran ................................................................................................ 93

DAFTAR PUSTAKA

x
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Pengkajian Nyeri ......................................................................... 15

Tabel 3.1 Analisa data kasus 1 ................................................................... 70

Tabel 3.2 Analisa data kasus 2 ................................................................... 75

Tabel 3.3 Intervensi keperawatan .............................................................. 77

xi
DAFTAR SKEMA

Gambar 2.1 Fisiologi Nyeri ............................................................................ 12

Gambar 2.2 Numerical Rating Scale .............................................................. 16

Gambar 2.3 Skala Nyeri Wajah ...................................................................... 17

Gambar 3.1 Patofisiologi ............................................................................... 20

Gambar 3.2 Pohon Masalah ........................................................................... 24

xii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penyakit menular masih merupakan masalah kesehatan masyarakat

terutama pada anak-anak. Salah satu penyakit menular tersebut adalah

Tuberculosis (TBC). Penyakit Tuberculosis merupakan penyakit yang

seharusnya tidak menjadi masalah di Indonesia karena sudah diketahui

penyebabnya. World Health Organization (WHO) dalam Annual report on

global tuberculosis (TBC) Control 2003 menyatakan terdapat 22 negara

dikategorikan sebagai high burdencountries terhadap TBC, Indonesia

termasuk peringkat ke tiga setelah India dan Cina dalam menyumbang

Tuberculosis (TBC) di dunia. Menurut World Health Organization (WHO)

estimasi insidence rate untuk pemeriksaan dahak didapatkan Basil Tahan

Asam (BTA) positif adalah 115 per 100.000 orang.

Laporan mengenai TBC pada anak jarang didapatkan, diperkirakan

jumlah kasus TBC pada anak pertahun adalah 5-6% dari kasus total TB,

WHO memperkirakan bahwa setiap tahun terdapat 1,3 juta kasus baru TBC

anak dan 450.000 anak usia < 15 tahun meninggal dunia karena TBC. Salah

satu masalah yang terkait dengan TBC adalah masalah gizi yang dalam hal ini

adalah malnutrisi ( kekurangan energi protein)

Jumlah kasus baru TB di Indonesia sebanyak 420.994 kasus pada tahun

2017 (data per 17 Mei 2018). Berdasarkan jenis kelamin, jumlah kasus baru

1
2

TBC tahun 2017 pada laki-laki 1,4 kali lebih besar dibandingkan pada

perempuan. Bahkan berdasarkan Survei Prevalensi Tuberkulosis prevalensi

pada laki-laki 3 kali lebih tinggi dibandingkan pada perempuan. Begitu juga

yang terjadi di negara-negara lain. Hal ini terjadi kemungkinan karena laki-

laki lebih terpapar pada faktor risiko TBC misalnya merokok dan kurangnya

ketidakpatuhan minum obat. Survei ini menemukan bahwa dari seluruh

partisipan laki-laki yang merokok sebanyak 68,5% dan hanya 3,7% partisipan

perempuan. Berdasarkan survei prevelensi Tuberculosis tahun 2013-2014,

prevelensi TBC dengan konfirmasi bakteriologis di Indonesia sebesar 759 per

100.000 penduduk berumur diatas 15 tahun keatas dan prevelensi TBC BTA

positif sebesar 257 per 100.000 penduduk berumur 15 tahun kebawah.

Berdasarkan data Riskesdas 2013, semakin bertambah usia prevelensinya

semakin tinggi. Kemungkinan terjadi re-aktiviitas TBC dan durasi paparan

TBC lebih lama dibandingkan kelompok umur dibawahnya.

Jumlah anak yang menjalani proses perawatan di rumah sakit sangat

besar. Mc Cherty dan Kozak (Lumiu, 2013) mengemukakan bahwa 4.000.000

anak didunia menjalani rawat inap setiap tahunnya. Proses anak sakit dan

harus dirawat dirumah sakit dikatakan sebagai proses hospitalisasi.

Hospitalisasi merupakan proses dimana karena suatu alasan tertentu baik

darurat atau berencana, mengharuskan anak tinggal di rumah sakit menjalani

terapi dan perawatan sampai pemulangan kembali ke rumah ( Supartini,

2004).
3

Penyakit dan hospitalisasi merupakan peristiwa yang sering

menimbulkan stress pada anak. Hal ini seringkali menjadi krisis pertama yang

harus dihadapi setiap anak. Hockenberry dan Wilson (2009) menjelaskan

bahwa ketika hospitalisasi anak mengalami stres akibat perubahan

kesehatan, perbedaan rutinitas lingkungan, serta anak memiliki jumlah

mekanisme koping yang terbatas untuk menghadapi stressor. Salah satu

stressor utama hospitalisasi pada anak adalah nyeri yang akan berdampak

terhadap perasaan trauma pada anak. Oleh karena itu, anak perlu

dipersiapkan dalam menghadapi pengalaman hospitalisasi dan berbagai

prosedur terutama yang menimbulkan nyeri.

Selama di rumah sakit, serangkaian prosedur akan dilalui anak sebagai

terapi. Prosedur yang paling sering ditemui anak saat awal masuk rumah

sakit adalah tindakan infus untuk pemberian terapi cairan pada anak.

Prosedur terapi intra vena dan i nfus merupakan prosedur yang

menimbulkan nyeri pada anak (Kenndy, Luhmann & Zempsky,2008).

Nyeri akibat prosedur infus merupakan pengalaman anak yang diikuti

perasaan kekhawatiran anak selama dirumah sakit (Hockenberry & Wilson,

2009). Perawat harus menghormati kekhawatiran anak terhadap cedera

tubuh dan reaksi terhadap nyeri sesuai dengan periode perkembangannya,

ketika memberikan perawatan pada anak (Hockenberry & Wilson, 2009).

Oleh karena itu, diperlukan upaya menurunkan nyeri akibat prosedur yang

diberikan pada anak dan tindakan pengkajian nyeri pada anak yang mendapat

prosedur tersebut. Upaya ini sebagai langkah penerapan prinsip


4

perawatan atraumatik pada anak. Perawatan atraumatik sebagai bentuk

perawatan terapeutik perawat melalui penggunaan tindakan yang mengurangi

cedera dan nyeri. Berbagai teknik dapat dilakukan perawat, baik secara non-

farmakologik maupun farmakologik untuk menurunkan nyeri. Perawat

dapat melakukan teknik distraksi, relaksasi, imajinasi terbimbing,

stimulasi kulit dan pemberian terapi topikal (Hockenberry & Wilson, 2009).

Teknik mengurangi nyeri pada anak saat prosedur infus yang sudah banyak

diteliti adalah menggunakan anestesi topikal, tehnik distraksi dan kehadiran

orang tua (Gilboy& Hollywood,2009). Salah tindakan yang sering digunakan

perawat untuk saat prosedur infus adalah kompres dingin atau kirbat es.

Kompres dingin merupakan tindakan nonfarmakologik untuk menurunkan

nyeri tanpa efek samping dan berbiaya ringan (Movahedi, Rostami, Salsali,

Keikhaee& Moradi, 2006). Kompres dingin yang mudah dalam

penggunaannya adalah cool pack /kantong jelly dingin.

Kompres dingin merupakan stimulasi area permukaan kulit

(Hockenberry & Wilson, 2009). Efek fisiologis kompres dingin adalah

meredakan nyeri dengan membuat area menjadi mati rasa, memperlambat

aliran impuls nyeri, dan meningkatkan ambang nyeri. Kompres dingin dapat

digunakan pada berbagai kondisi nyeri, termasuk nyeri akut karena trauma

atau pembedahan, artritis, spasme otot dan sakit kepala (Lewis, Dirksen,

Heitkemper, Bucher & Camera, 2011).

Dalam sebuah penelitian yang diteliti oleh Asriani, Lestiawati dan

Retnaningsih (2016) yang berjudul “Pengaruh Kompres Dingin Terhadap


5

Tingkat Nyeri Anak Usia Sekolah Saat Pemasangan Infus Di Poliklinik

Persiapan Rawat Inap RSUD Panembahan Senopati Bantul” didapatkan hasil

penelitian ini menggunakan desain quasi experiment post-test only

nonequivalent control group. Teknik pengambilan sampel menggunakan

consecutive sampling dengan sampel sebanyak 36 responden terbagai

menjadi dua kelompok (kelompok kontrol dan elompok intervensi). Kompres

dingin dilakukan selama 3 menit sebelum pemasangan infus dilakukan dan

analisa data menggunakan uji Mann Withney. Dari hasil penelitian

menunjukkan tingkat nyeri anak pada kelompok kontrol mayoritas mengalami

mengalami sakit yang paling sakit 44,4%. Tingkat nyeri pada kelompok

intervensi mayoritas mengalami sedikit nyeri 38,9%. Perbedaan rata - rata

tingkat nyeri diketahui tingkat nyeri kelompok intervensi lebih rendah 2,17

dibandingkan kelompok kontrol. Hasil uji Mann Withney didapatkan p value

0,000.

Berdasarkan data di atas, penulis tertarik untuk menyusun sebuah

Karya Tulis Ilmiah dengan judul “Asuhan Keperawatan Pada Anak dengan

Pemberian Terapi Kompres Dingin Terhadap Pemasangan Infus Pada Klien

Dengan Gangguan Sistem Pernafasan : Tuberculosis Di Ruang Amarilis

RSUD Depok Tahun 2019.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan fenomena yang prosedur terapi intra vena dan infus

merupakan prosedur yang menimbulkan nyeri pada anak. Nyeri akibat


6

prosedur infus merupakan pengalaman anak yang diikuti perasaan

kekhawatiran anak selama dirumah sakit. Mengingat pemasangan infus dapat

memberikan efek traumatik yang fatal bagi anak sehingga diperlukan terapi

lain untuk mencegah atau mengurangi nyeri pada saat pemasangan infus yaitu

dengan terapi Kompres Dingin.

E. Tujuan penelitian

1. Tujuan Umum

Tujuan umum dalam penulisan Karya Tulis Ilmiah ini yaitu untuk

menguraikan dan menerapkan hasil Asuhan Keperawatan Pada Anak

Dengan Pemberian kompres Dingin Terhadap pemasangan infus Pada

Klien Dengan Gangguan Sistem Pernafasan : Tuberculosis Di Ruang

Amarilis RSUD Depok Tahun 2019.

2. Tujuan Khusus

a. Memaparkan hasil pengkajian pada klien dengan masalah Tuberculosis.

b. Memaparkan hasil analisa dan keperawatan pada klien dengan masalah

Tuberculosis.

c. Memaparkan hasil diagnosa pada klien dengan masalah Tuberculosis.

d. Memaparkan perencanaan keperawatan yang dilakukan pada klien

dengan masalah Tuberculosis.

e. Memaparkan implementasi keperawatan yang dilakukan pada klien

dengan masalah Tuberculosis.


7

f. Memaparkan evaluasi keperawatan yang dilakukan pada klien dengan

masalah Tuberculosis.

F. Manfaat Penulisan

1. Manfaat Aplikatif

b. Bagi lahan Rumah Sakit

c. Sebagai dasar untuk memberikan dan meningkatkan keterampilan mutu

pemberian Asuhan Keperawatan pada klien dengan masalah

Tuberculosis.

d. Bagi perawat

e. Utnuk perawat diharapkan agar dapat menggunakan terapi kompres

dingin sebagai terapi adjuvan dalam pemasangan infus pada klien

dengan Tuberculosis.

2. Manfaat Teoritis

Penelitian ini dapat menambah ilmu pengetahuan dan wawasan

terutama dalam pemberian Asuhan Keperawatan pada klien Tuberculosis.

3. Manfaat Metodologis

Menambah bahan bacaan bagi mahasiswa dan perawat untuk

meningkatkan Asuhan Keperawatan pada klien Tuberculosis dan

pengalaman peneliti serta menambah wawasan dalam melakukan

penelitian.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Nyeri

1. Definisi Nyeri

Nyeri merupaakan kondisi berupa perasaan yang tidak

menyenangkan, bersifat sangat subjektif. Perasaan nyeri pada setiap orang

berbeda dalam hal skala ataupun tingkatannya, dan hanya orang

tersebutlah yang dapat menjelaskan atau mengevaluasi rasa nyeri yang

dialaminya (Tetty, 2015). Menurut Smeltzer & Bare (2002), definisi

keperawatan tentang nyeri adalah apapun yang menyakitkan tubuh yang

dikatakan individu yang mengalaminya, yang ada kapanpun individu

mengatakkannya.

Nyeri sering sekali dijelaskan dan istilah destruktif jaringan seperti

ditusuk-tusuk, panas terbakar, melilit, seperti emosi, pada perasaan takut,

mual dan mabuk. Terlebih, setiap perasaan nyeri dengan intensitas sedang

sampai kuat disertai oleh rasa cemas dan keinginan kuat untuk melepaskan

diri dari atau meniadakan perasaan itu. Rasa nyeri merupakan mekanisme

pertahanan tubuh, timbul bila ada jaringan rusak dan hal ini akan

menyebabkan individu bereaksi dengan memindahkan stimulus nyeri

(Guyton & Hall, 1997).

8
9

2. Teori Nyeri

a. Teori Intensitas (The Intensity Theory)

Nyeri adalah hasil rangsangan yang berlebihan pada receptor.

Setiap rangsangan sensori punya potensi untuk menimbulkan nyeri jika

intensitasnya cukup kuat (Saifullah, 2015).

2. Teori Kontrol Pintu (The Gate Control Theory)

Teori gate control dari Melzack dan Wall (1965) menyatakan bahwa

impuls nyeri dapat diatur dan dihambat oleh mekanisme pertahanan

disepanjang system saraf pusat, dimana impuls nyeri dihantarkan saat

sebuah pertahanan dibuka dan impuls dihambat saat sebuah pertahanan

ditutup (Andarmoyo, 2013)

3. Teori Pola (Pattern theory)

Teori pola diperkenalkan oleh Goldscheider (1989), teori ini

menjelaskan bahwa nyeri di sebabkan oleh berbagai reseptor sensori yang

di rangsang oleh pola tertentu, dimana nyeri ini merupakan akibat dari

stimulasi reseptor yang menghasilkan pola dari impuls saraf (Saifullah,

2015). Teori pola adalah rangsangan nyeri masuk melalui akar ganglion

dorsal medulla spinalis dan rangsangan aktifitas sel T. Hal ini

mengakibatkan suatu respon yang merangsang bagian yang lebih tinggi

yaitu korteks serebri dan menimbulkan persepsi, lalu otot berkontraksi

sehingga menimbulkan nyeri. Persepsi dipengaruhi oleh modalitas respon

dari reaksi sel T (Margono, 2014).


10

4. Endogenous Opiat Theory

Teori ini dikembangkan oleh Avron Goldstein, ia mengemukakan

bahwa terdapat subtansi seperti opiet yang terjadi selama alami didalam

tubuh, subtansi ini disebut endorphine yang mempengaruhi transmisi

impuls yang diinterpretasikan sebagai nyeri. Endorphine mempengaruhi

transmisi impuls yang diinterpretasikan sebagai nyeri. Endorphine

kemungkinan bertindak sebagai neurotransmitter maupun neuromodulator

yang menghambat transmisi dari pesan nyeri (Hidayat, 2014).

3. Fisiologi Nyeri

Munculnya nyeri berkaitan erat dengan reseptor dan adanya

rangsangan. Reseptor nyeri tersebar pada kulit dan mukosa dimana

reseptor nyeri memberikan respon jika adanya stimulasi atau rangsangan.

Stimulasi tersebut dapat berupa zat kimia seperti histamine, bradikinin,

prostaglandin dan macam-macam asam yang terlepas apabila terdapat

kerusakan pada jaringan akibat kekurangan oksigen. Stimulasi yang lain

dapat berupa termal, listrik, atau mekanis (Smeltzer & Bare, 2002).

Nyeri dapat dirasakan jika reseptor nyeri tersebut menginduksi serabut

saraf perifer aferen yaitu serabut A-delta dan serabut C. Serabut A- delta

memiliki myelin, mengimpulskan nyeri dengan cepat, sensasi yang tajam,

jelas melokalisasi sumber nyeri dan mendeteksi intensitas nyeri. Serabut C

tidak memiliki myelin, berukuran sangat kecil, menyampaikan impuls yang

terlokalisasi buruk, visceral dan terus-menerus (Potter & Perry, 2005).

Ketika serabut C dan A-delta menyampaikan rangsang dari serabut saraf


11

perifer maka akan melepaskan mediator biokimia yang aktif terhadap respon

nyeri, seperti : kalium dan prostaglandin yang keluar jika ada jaringan yang

rusak. Transmisi stimulus nyeri berlanjut di sepanjang serabut saraf aferen

sampai berakhir di bagian kornu dorsalis medulla spinalis. Didalam kornu

dorsalis, neurotransmitter seperti subtansi P dilepaskan sehingga

menyebabkan suatu transmisi sinapsis dari saraf perifer ke saraf traktus

spinolatamus. Selanjutnya informasi di sampaikan dengan cepat ke pusat

thalamus (Potter & Perry, 2005).


12

Stimulasi nyeri : zat kimia, listrik


kekurangak oksigen, trauma
jaringan, dan lain-lain

Pelepasan Mediator Nyeri


(histamine,prostaglandin,serotonin,ion
kalium dan lain-lain)

Merangsang Nosireseptor Dihantarkan Serabut Tipe Aα


(Reseptor Nyeri) dan Serabut Tipe C

Medula Spinalis

Sistem Aktivasi Sistem Aktivasi Area Grisea


Retikuler Retikuler Periakueduktus

Talamus Hipotalamus dan Sistem


Limbik Talamus

Persepsi
Otak (Kortek Somatosensorik)
Nyeri

Nyeri

Bagan 2.1 Fisiologi Nyeri


(Potter & Perry ,2006)
13

4. Jenis- jenis Nyeri

Secara umum nyeri dibagi menjadi dua yaitu,

a. Nyeri Akut

Nyeri Akut merupakan nyeri yang berlangsung dari beberapa

detik hingga kurang dari 6 bulan biasanya dengan awitan tiba-tiba dan

umumnya berkaitan dengan cidera fisik. Nyeri akut mengindikasikan

bahwa kerusakan atau cidera telah terjadi. Jika kerusakan tidak lama

terjadi dan tidak ada penyakit sistemik, nyeri akut biasanya menurun

sejalan dengan terjadinya penyembuhan. Nyeri ini umumnya terjadi

kurang dari enam bulan dan biasanya kurang dari satu bulan. Salah

satu nyeri akut yang terjadi adalah nyeri pasca pembedahan (Meliala &

Suryamiharja, 2007).

b. Nyeri Kronik

Nyeri kronik merupakan nyeri konstan atau intermitern yang

menetap sepanjang suatu periode waktu. Nyeri ini berlangsung di luar

waktu penyembuhan yang diperkirakan dan sering tidak dapat dikaitakan

dengan penyebab atau cidera fisik. Nyeri kronis dapat tidak memiliki

awitan yang ditetapkan dengan tepat dan sering sulit untuk diobati karena

biasanya nyeri ini sering tidak memberikan respon terhadap pengobatan

yang diarahkan pada penyebabnya (Strong, Unruh, Wright & Baxter,

2002). Nyeri kronik ini juga sering di definisikan sebagai nyeri yang

berlangsung selama enam bulan atau lebih, meskipun enam bulan


14

merupakan suatu periode yang dapat berubah untuk membedakan nyeri

akut dan nyeri kronis (Potter & Perry, 2005).

Berdasarkan lokasinya Sulistyo (2013) dibedakan nyeri menjadi,

1. Nyeri Ferifer

Nyeri ini ada tiga macam, yaitu :

a. Nyeri superfisial, yaitu nyeri yang muncul akibat rangsangan

pada kulit dan mukosa

b. Nyeri viseral, yaitu rasa nyeri yang muncul akibat stimulasi dari

reseptor nyeri di rongga abdomen, cranium dan toraks.

c. Nyeri alih, yaitu nyeri yang dirasakan pada daerah lain yang

jauh dari penyebab nyeri.

2. Nyeri Sentral

Nyeri yang muncul akibat stimulasi pada medulla spinalis, batang otak

dan talamus.

3. Nyeri Psikogenik

Nyeri yang tidak diketahui penyebab fisiknya. Dengan kata lain nyeri

ini timbul akibat pikiran si penderita itu sendiri.


15

5. Mengkaji Persepsi Nyeri

Tabel 2.1 Pengkajian Nyeri (BCGuidelines.ca, 2011)

Onset Kapan nyeri muncul?


Berapa lama nyeri?
Berapa sering nyeri muncul?
Proviking Apa yang menyebabkan nyeri?
Apa yang membuatnya berkurang?
Apa yang membuat nyeri bertambah parah?
Quality Bagaimana rasa nyeri yang dirasakan?
Bisakan di gambarkan?
Region Dimanakah lokasinya?
Apakah menyebar?
Severity Berapa skala nyerinya? (dari 0-10)
Treatment Pengobatan atau terapi apa yang digunakan?
Understanding Apa yang anda percayai tentang penyebab
nyeri ini?
Bagaimana nyeri ini mempengaruhi anda atau
keluarga
anda?
Values Apa pencapaian anda untuk nyeri ini?

6. Mengkaji Intensitas Nyeri

a. Skala Deskriptif Verbal (VDS)

Skala deskriptif verbal (VDS) merupakan sebuah garis yang terdiri dari

tiga sampai lima kata pendeskripsian yang tersusun dengan jarak yang

sama di sepanjang garis. Pendeskripsian ini dirangking dari “tidak nyeri”

sampai “nyeri tidak tertahankan”. Perawat menunjukan klien skala tersebut

dan meminta klien untuk memilih intensitas nyeri terbaru yang ia rasakan

(Potter & Perry, 2006).


16

Gambar 1 Skala Deskriptif Verbal (Potter & Perry, 2006)

Deskriptif

Tidak Nyeri Nyeri Nyeri Nyeri Yang


Nyeri Ringan Sedang Berat Tidak Tertahankan

b. Skala Penilaian Numerik (NRS)

Skala penilaian numerik atau numeric rating scale (NRS) lebih

digunakan sebagai pengganti alat pendeskripsi kata. Klien menilai

nyeri dengan menggunakan skala 0-10 (Meliala & Suryamiharja,

2007).

Gambar 2.2 Numerical Rating Scale (Potter & Perry, 2006)

c. Skala Analog Visual (VAS)

VAS adalah suatu garis lurus yang mewakili intensitas nyeri

yang terus menerus dan memiliki alat pendeskripsi verbal pada

ujungnya. Skala ini memberi klien kebebasan penuh untuk

mengidentifikasi keparahan nyeri (Potter & Perry, 2006).

Gambar 3 Visual Analog Scale (Potter & Perry, 2006)


17

d. Skala Nyeri Wajah

Skala wajah terdiri atas enam wajah dengan profil

kartun yang menggambarkan wajah yang sedang tersenyum (tidak

merasa nyeri), kemudian secara bertahap meningkat menjadi

wajah kurang bahagia, wajah yang sangat sedih sampai wajah

yang sangat ketakutan (nyeri yang sangat) (Potter & Perry, 2006).

Gambar 4 Skala Nyeri Wajah (Potter&Perry, 2006)

7. Faktor –faktor yang mempengaruhi nyeri

a. Usia

Usia mempengaruhi seseorang bereaksi terhadap nyeri. Sebagai contoh

anak-anak kecil yang belum dapat mengucapkan kata-kata

mengalami kesulitan dalam mengungkapkan secara verbal dan

mengekspresikan rasa nyarinya, sementara lansia mungkin tidak akan

melaporkan nyerinya dengan alasan nyeri merupakan sesuatu yang harus

mereka terima (Potter & Perry, 2006).

b. Jenis kelamin

Secara umum jenis kelamin pria dan wanita tidak berbeda secara

bermakna dalam merespon nyeri. Beberapa kebudayaan mempengaruhi

jenis kelamin misalnya ada yang menganggap bahwa seorang anak laki-

laki harus berani dan tidak boleh menangis sedangkan seorang anak
18

perempuan boleh menangis dalam situasi yang sama (Rahadhanie dalam

Andari, 2015)

c. Kebudayaan

Keyakinan dan nilai-nilai budaya mempengruhi individu mengatasi nyeri.

Individu mempelajari apa yang ajarkan dan apa yang diterima oleh

kebudayaan mereka (Rahadhanie dalam Andari, 2015).

d. Perhatian

Tingkat seorang klien memfokuskan perhatiannya pada nyeri dapat

mempengaruhi persepsi nyeri. Perhatian yang meningkat dihubungkan

dengan nyeri yang meningkat. Sedangkan upaya pengalihan (distraksi)

dihubungkan dengan respon nyeri yang menurun. Konsep ini merupakan

salah satu konsep yang perawat terapkan di berbagai terapi untuk

menghilangkan nyeri, seperti relaksasi, teknik imajinasi terbimbing

(guided imaginary) dan mesase, dengan memfokuskan perhatian dan

konsentrasi klien pada stimulus yang lain, misalnya pengalihan pada

distraksi (Fatmawati, 2011).

e. Ansietas

Ansietas seringkali meningkatkan persepsi nyeri. Namun nyeri juga dapat

menimbulkan ansietas. Stimulus nyeri mengaktifkan bagian system limbik

yang diyakini mengendalikan emosi seseorang khususnya ansietas

(Wijarnoko, 2012).
19

f. Kelemahan

Kelemahan atau keletihan meningkatkan persepsi nyeri. Rasa kelelahan

menyebabkan sensasi nyeri semakin intensif dan menurunkan kemampuan

koping (Fatmawati, 2011).

g. Pengalaman sebelumnya

Setiap individu belajar dari pengalaman nyeri. Apabila individu sejak lama

sering mengalami serangkaian episode nyeri tanpa pernah sembuh

maka ansietas atau rasa takut dapat muncul. Sebaliknya jika individu

mengalami jenis nyeri yang sama berulang-ulang tetapi nyeri tersebut

dengan berhasil dihilangkan akan lebih mudah individu tersebut

menginterpretasikan sensasi nyeri (Rahadhanie dalam Andari, 2015).

h. Gaya koping

Gaya koping mempengaruhi individu dalam mengatasi nyeri.

Sumber koping individu diantaranya komunikasi dengan keluarga, atau

melakukan latihan atau menyanyi (Ekowati, 2012).

i. Dukungan keluarga dan social

Kehadiran dan sikap orang-orang terdekat sangat berpengaruh untuk

dapat memberikan dukungan, bantuan, perlindungan, dan meminimalkan

ketakutan akibat nyeri yang dirasakan, contohnya dukungan keluarga

(suami) dapat menurunkan nyeri kala I, hal ini dikarenakan ibu merasa

tidak sendiri, diperhatikan dan mempunyai semangat yang tinggi

(Widjanarko, 2012)
20

j. Makna nyeri

Individu akan berbeda-beda dalam mempersepsikan nyeri apabila nyeri

tersebut memberi kesan ancaman, suatu kehilangan hukuman dan

tantangan. Misalnya seorang wanita yang bersalin akan mempersepsikan

nyeri yang berbeda dengan wanita yang mengalami nyeri cidera

kepala akibat dipukul pasangannya. Derajat dan kualitas nyeri yang

dipersepsikan klien berhubungan dengan makna nyeri (Potter & Perry,

2006).

8. Manajemen Nyeri

1. Pendekatan farmakologi

Teknik farmakologi adalah cara yang paling efektif untuk

menghilangkan nyeri dengan pemberian obat-obatan pereda nyeri

terutama untuk nyeri yang sangat hebat yang berlangsung selama

berjam-jam atau bahkan berhari-hari. Metode yang paling umum

digunakan untuk mengatasi nyeri adalah analgesic (Strong, Unruh,

Wright & Baxter, 2002). Menurut Smeltzer & Bare (2002), ada tiga

jenis analgesik yakni:

a) Non-narkotik dan anti inflamasi nonsteroid (NSAID):

menghilangkan nyeri ringan dan sedang. NSAID dapat sangat

berguna bagi pasien yang rentan terhadap efek pendepresi

pernafasan.

b) Analgesik narkotik atau opiad: analgesik ini umumnya diresepkan

untuk nyeri yang sedang sampai berat, seperti nyeri pasca


21

operasi. Efek samping dari opiad ini dapat menyebabkan depresi

pernafasan, sedasi, konstipasi, mual muntah.

c) Obat tambahan atau ajuvant (koanalgesik): ajuvant seperti

sedative, anti cemas, dan relaksan otot meningkatkan control

nyeri atau menghilangkan gejala lain terkait dengan nyeri seperti

depresi dan mual (Potter & Perry, 2006).

2. Intervensi Keperawatan Mandiri (Non farmakologi)

Intervensi keperawatan mandiri menurut Bangun & Nur’aeni

(2013), merupakan tindakan pereda nyeri yang dapat dilakukan

perawat secara mandiri tanpa tergantung pada petugas medis lain

dimana dalam pelaksanaanya perawat dengan pertimbangan dan

keputusannya sendiri. Banyak pasien dan anggota tim kesehatan

cenderung untuk memandang obat sebagai satu-satunya metode untuk

menghilangkan nyeri. Namun banyak aktifitas keperawatan

nonfarmakologi yang dapat membantu menghilangkan nyeri, metode

pereda nyeri nonfarmakologi memiliki resiko yang sangat rendah.

Meskipun tidakan tersebut bukan merupakan pengganti obat-obatan

(Smeltzer & Bare, 2002).

a) Masase dan Stimulasi Kutaneus

Masase adalah stimulasi kutaneus tubuh secara umum.

Sering dipusatkan pada punggung dan bahu. Masase dapat

membuat pasien lebih nyaman (Smeltzer & Bare, 2002).

Sedangkan stimulasi kutaneus adalah stimulasi kulit yang


22

dilakukan selama 3-10 menit untuk menghilangkan nyeri,

bekerja dengan cara melepaskan endofrin, sehingga memblok

transmisi stimulus nyeri (Potter & Perry, 2006). Salah satu

teknik memberikan masase adalah tindakan masase

punggung dengan usapan yang perlahan (Slow

stroke back massage). Stimulasi kulit menyebabkan pelepasan

endorphin, sehingga memblok transmisi stimulus nyeri. Teori

gate control mengatakan bahwa stimulasi kulit mengaktifkan

transmisi serabut saraf sensori A Beta yang lebih besar dan

lebih cepat. Proses ini menurunkan transmisi nyeri melalui

serabut C dan delta-A yang berdiameter kecil sehingga gerbang

sinaps menutup transmisi implus nyeri (Potter & Perry,

2006). Penelitian yang dilakukan oleh lestari (2015), tentang

tentang pemanfaatan stimulasi kutaneus (Slow Stroke Back

Massage) menunjukan ada pengaruh stimulasi kutaneus (slow

stroke back massage) terhadap intensitas nyeri haid pada

siswi kelas XI SMA Muhammadiyah 7 Yogyakarta.

b) Efflurage Massage

Effleurage adalah bentuk masase dengan

menggunakan telapak tangan yang memberi tekanan lembut

ke atas permukaan tubuh dengan arah sirkular secara

berulang (Reeder dalam Parulian,


23

2014). Langkah-langkah melakukan teknik ini adalah

kedua telapak tangan melakukan usapan ringan, tegas

dan konstan dengan pola gerakan melingkari abdomen,

dimulai dari abdomen bagian bawah di atas simphisis pubis,

arahkan ke samping perut, terus ke fundus uteri kemudian

turun ke umbilicus dan kembali ke perut bagian bawah

diatas simphisis pubis, bentuk pola gerakannya seperti

“kupu-kupu”. Masase ini dilakukan selama 3–5 menit dan

berikan lotion atau minyak/baby oil tambahan jika

dibutuhkan (Berman, Snyder, Kozier, dan Erb, 2009).

Effleurage merupakan teknik masase yang aman, mudah untuk

dilakukan, tidak memerlukan banyak alat, tidak memerlukan

biaya, tidak memiliki efek samping dan dapat dilakukan

sendiri atau dengan bantuan orang lain (Ekowati, 2011).

c) Distraksi

Distraksi yang memfokuskan perhatian pasien pada

sesuatu selain pada nyeri dapat menjadi strategi yang sangat

berhasil dan mungkin merupakan mekanisme terhadap teknik

kognitif efektif lainnya. Distraksi diduga dapat menurunkan

persepsi nyeri dengan menstimulasi sistem kontrol desenden,

yang mengakibatkan lebih sedikit stimuli nyeri yang

ditransmisikan ke otak (Smeltzer and Bare, 2002).


24

Beberapa sumber-sumber penelitian terkait tentang

teknik distraksi yang ditemukan peneliti sejauh ini efektif

diterapkan pada pasien anak-anak terutama usia prasekolah

sebagaimana dalam penelitian Pangabean pada tahun (2014),

menurut Pangabean salah satu teknik distraksi adalah dengan

bercerita dimana teknik distraksi bercerita merupakan salah satu

strategi non farmakologi yang dapat menurunkan nyeri. Hal ini

terbukti pada penelitiannya dimana teknik distraksi dengan

bercerita efektif dalam menurunkan nyeri anak usia prasekolah

pada pemasangan infus yakni dari nyeri skala 3 ke nyeri

skala 2. Sartika, Yanti, Winda (2015), menambahkan salah satu

teknik distraksi yang dapat dilakukan dalam penatalaksanaan

nyeri lainnya adalah dengan menonton film cartun animasi,

dimana ini terbukti dalam penelitiannya bahwa dengan

diberikan distraksi berupa menonton film cartun animasi efektif

dalam menurunkan nyeri anak usia prasekolah saat pemasangan

infus.

d) Terapi Musik

Terapi musik adalah usaha meningkatkan kualitas fisik

dan mental dengan rangsangan suara yang terdiri dari melodi,

ritme, harmoni, bentuk dan gaya yang diorganisir sedemikian

rupa hingga tercipta musik yang bermanfaat untuk kesehatan

fisik dan mental (Eka,


25

2011). Perawat dapat menggunakan musik dengan

kreatif di berbagai situasi klinik, pasien umumnya

lebih menyukai melakukan suatu kegiatan memainkan

alat musik, menyanyikan lagu atau mendengarkan musik.

Musik yang sejak awal sesuai dengan suasana hati

individu, merupakan pilihan yang paling baik (Elsevier

dalam Karendehi, 2015).

Musik menghasilkan perubahan status kesadaran

melalui bunyi, kesunyian, ruang dan waktu. Musik harus

didengarkan minimal 15 menit supaya dapat memberikan efek

terapiutik. Dalam keadaan perawatan akut, mendengarkan

musik dapat memberikan hasil yang sangat efektif dalam upaya

mengurangi nyeri (Potter & Perry, 2005).

e) GIM (Guided Imagery Music)

GIM (Guided Imagery Music) merupakan intervensi

yang digunakan untuk mengurangi nyeri. GIM

mengombinasikan intervensi bimbingan imajinasi dan terapi

musik. GIM dilakukan dengan memfokuskan imajinasi pasien.

Musik digunakan untuk memperkuat relaksasi. Keadaan

relaksasi membuat tubuh lebih berespons terhadap bayangan

dan sugesti yang diberikan sehingga pasien tidak berfokus pada

nyeri (Suarilah, 2014). Hasil Penelitian dari Suarilah,

Wahyuni
26

& Fahlufi (2014) tentang “Guided Imagery dan Music (GIM)

Menurunkan Intensitas Nyeri Pasien Post Sectio Caesaria”

pada 30 responden didapatkan hasil bahwa GIM terbukti dapat

menurunkan intensitas nyeri pasien post SC di RSUP NTB.

GIM direkomendasikan sebagai intervensi mandiri keperawatan

untuk mengurangi nyeri post SC.

f) Terapi Musik Klasik (Mozart)

Pada dewasa ini banyak jenis musik yang dapat

diperdengarkan namun musik yang menempatkan kelasnya

sebagai musik bermakna medis adalah musik klasik karena

musik ini maknitude yang luar biasa pada perkembangan

ilmu kesehatan, diantaranya memiki nada yang lembut, nadanya

memberikan stimulasi gelombang alfa, ketenangan dan membuat

pendengarnya lebih rileks (Dofi dalam Liandari, 2015).

Penelitian yang dilakukan oleh Liandari, Hendra dan

Parjo tentang pemberian terapi musik mozart terhadap intensitas

nyeri haid pada remaja putri di SMA Negeri 1 Pontianak pada

tahun 2015 skala nyeri yang dialami remaja putri sebelum

pemberian terapi musik klasik (mozart) yaitu skala nyeri

sedang (68,4%). Sedangkan skala nyeri yang dialami remaja

putri setelah pemberian terapi musik klasik (mozart)

terbanyak pada nyeri ringan (47,4%). Maka terdapat pengaruh

terapi musik klasik (mozart) terhadap penurunan


27

intensitas nyeri haid (dismenore) pada remaja putri di SMA

Negeri 1

Pontianak tahun 2015.

g) Hidroterapi Rendam Kaki Air Hangat

Salah satu terapi nonfarmakologi adalah hidroterapi

rendam kaki air hangat. Menurut penelitian yang dilakukan oleh

Widiastuti pada tahun 2015 tentang pengaruh hidroterapi rendam

kaki air hangat terhadap 17 pasien post operasi di RS Islam

Sultan Agung Semarang terdapat penurunan intensitas nyeri dari

sebelum diberikan 4,06 dan setelah diberikan intensitas nyeri

menjadi 2,71 dan terdapat pengaruh hodroterapi rendam kaki

air hangat terhadap penurunan nyeri pasien post operasi

dengan nilai p value 0,003 (p value <0,05).

h) Teknik Relaksasi Nafas Dalam

Teknik relaksasi nafas dalam merupakan suatu

bentuk asuhan keperawatan, yang dalam hal ini perawat

mengajarkan kepada klien bagaimana cara melakukan nafas

dalam, nafas lambat (menahan inspirasi secara maksimal)

dan bagaimana menghembuskan nafas secara perlahan,

selain dapat menurunkan intensitas nyeri, teknik relaksasi

bernafas dalam juga dapat meningkatkan ventilasi paru dan

meningkatkan oksigenasi darah. Teknik relaksasi nafas dalam

dapat mengendalikan nyeri dengan meminimalkan aktivitas


28

simpatik dalam system saraf otonom (Fitriani, 2013). Pasien

dapat memejamkan matanya dan bernapas dengan perlahan dan

nyaman. Irama yang konstan dapat dipertahankan dengan

menghitung dalam hati dan lambat bersama setiap inhalasi

(hirup) dan ekhalasi (hembus) (Smeltzer & Bare, 2002).

Menurut Huges dkk dalam Fatmawati (2011), teknik

relaksasi melalui olah nafas merupakan salah satu keadaan yang

mampu merangsang tubuh untuk membentuk sistem penekan

nyeri yang akhirnya menyebabkan penurunan nyeri, disamping

itu juga bermanfaat untuk pengobatan penyakit dari dalam tubuh

meningkatkan kemampuan fisik dan keseimbangan tubuh dan

pikiran, karena olah nafas dianggap membuat tubuh menjadi

rileks sehingga berdampak pada keseimbangan tubuh dan

pengontrolan tekanan darah.

j) Aromaterapi

Aromaterapi merupakan penggunaan ekstrak

minyak esensial tumbuhan yang digunakan untuk memperbaiki

mood dan kesehatan (Primadiati, 2002). Mekanisme kerja

perawatan aromaterapi dalam tubuh manusia berlangsung

melalui dua sistem fisiologis, yaitu sirkulasi tubuh dan

sistem penciuman. Wewangian dapat mempengaruhi kondisi

psikis, daya ingat, dan emosi seseorang. Beberapa jenis

aromaterapi yang digunakan dalam menurunkan intensitas nyeri


29

adalah aromaterapi lemon dan aromaterpi lavender. Aromaterapi

lemon merupakan jenis aroma terapi yang dapat

digunakan untuk mengatasi nyeri dan cemas. Zat yang

terkandung dalam lemon salah satunya adalah linalool

yang berguna untuk menstabilkan sistem saraf sehingga dapat

menimbulkan efek tenang bagi siapapun yang menghirupnya

(Wong dalam Purwandari, 2014).

Aromaterapi selain lemon untuk pereda nyeri lainnya

adalah aromaterapi lavender. Aromaterapi lavender

bermanfaat untuk relaksasi, kecemasan, mood, dan pada

pasca pembedahan menunjukkan terjadinya penurunan

kecemasan, perbaikan mood, dan terjadi peningkatan kekuatan

gelombang alpha dan beta yang menunjukkan peningkatan

relaksasi. Gelombang alpha sangat bermanfaat dalam kondisi

relaks mendorong aliran energi kreativitas dan perasaan segar

dan sehat (Bangun, 2013). Kondisi gelombang alpha ideal

untuk perenungan, memecahkan masalah, dan visualisasi,

bertindak sebagai gerbang kreativitas seseorang. Minyak

lavender adalah salah satu aromaterapi yang terkenal

memiliki efek menenangkan. Menurut penelitian yang

dilakukan terhadap tikus, minyak lavender memiliki efek

sedasi yang cukup baik dan dapat menurunkan aktivitas

motorik mencapai 78%, sehingga sering digunakan untuk


30

manajemen stres. Beberapa tetes minyak lavender dapat

membantu menanggulangi insomnia, memperbaiki mood

seseorang, dan memberikan efek relaksasi (Bangun, 2013).

k) Kompres Dingin

Metode sederhana yang dapat di gunakan untuk

mengurangi nyeri yang secara alamiah yaitu dengan memberikan

kompres dingin pada area nyeri, ini merupakan alternatif pilihan

yang alamiah dan sederhana yang dengan cepat mengurangi rasa

nyeri selain dengan memakai obat-obatan. Terapi dingin

menimbulkan efek analgetik dengan memperlambat kecepatan

hantaran saraf sehingga impuls nyeri yang mencapai otak lebih

sedikit (Price, Sylvia & Anderson dalam Rahmawati, 2014).

Kompres dingin merupakan suatu prosedur

menempatkan suatu benda dingin pada tubuh bagian luar.

Dampak fisiologisnya adalah vasokontriksi pada pembuluh

darah, mengurangi rasa nyeri, dan menurunkan aktivitas ujung

saraf pada otot (Tamsuri, 2007). Sensasi dingin diberikan pada

sekitar area yang terasa nyeri, pada sisi tubuh yang

berlawanan yang berhubungan dengan lokasi nyeri. Setiap klien

akan memiliki respons yang berbeda-beda terhadap area yang

diberikan terapi. Terapi yang diberikan dekat dengan area yang

terasa nyeri cenderung bekerja lebih baik (Potter & Perry, 2005).

Menurut pendapat Novita dalam Supriadi (2014), pada umumnya


31

dingin lebih mudah menembus jaringan dibandingkan dengan

panas. Ketika otot sudah mengalami penurunan suhu akibat

aplikasi dingin, efek dingin dapat bertahan lebih lama dibanding

dengan panas karena adanya lemak subkutan yang bertindak

sebagai insulator, di sisi lain lemak subkutan merupakan

barrier utama energi dingin untuk menembus otot. Dalam bidang

keperawatan kompres dingin banyak digunakan untuk

mengurangi rasa nyeri. Dingin memberikan efek fisiologis yakni

menurunkan respon inflamasi, menurunkan aliran darah dan

mengurangi edema, mengurangi rasa nyeri lokal (Tamsuri,

2007).

l) Kompres Hangat

Kompres hangat adalah suatu metode dalam

penggunaan suhu hangat yang dapat menimbulkan efek

fisiologis (Anugraheni, 2013). Kompres hangat dapat

digunakan pada pengobatan nyeri dan merelaksasikan otot-otot

yang tegang (Price, Sylvia & Wilson, 2005). Kompres hangat

dilakukan dengan mempergunakan buli-buli panas atau

kantong air panas secara konduksi dimana terjadi

pemindahan panas dari buli-buli ke dalam tubuh sehingga

akan menyebabkan pelebaran pembuluh darah dan akan

terjadi penurunan ketegangan otot sehingga nyeri yang

dirasakan akan berkurang atau hilang (Smalzer & Bare,


32

2002). Kompres hangat memiliki beberapa pengaruh

meliputi melebarkan pembuluh darah dan memperbaiki

peredaran daerah di dalam jaringan tersebut, pada otot

panas memiliki efek menurunkan ketegangan, meningkatkan

sel darah putih secara total dan fenomena reaksi peradangan

serta adanya dilatasi pembuluh darah yang mengakibatkan

peningkatan sirkulasi darah serta peningkatan tekanan

kapiler. Tekanan oksigen dan karbondioksida didalam

darah akan meningkat sedangkan derajat keasaman darah

akan mengalami penurunan (Anugraheni,2013).

Penggunaan kompres air hangat dapat membuat

sirkulasi darah lancar, vaskularisasi lancar dan terjadi

vasodilatasi yang membuat relaksasi pada otot karena otot

mendapat nutrisi berlebih yang dibawa oleh darah sehingga

kontraksi otot menurun. Kompres hangat dengan suhu 50

C – 0 C mengakibatkan terjadinya vasodilatasi yang

bisa membuka aliran darah membuat sirkulasi darah

lancar kembali sehingga terjadi relaksasi pada otot

mengakibatkan kontraksi otot menurun (Anugraheni, 2013).

m) Tehnik Akuplesur

Akhir-akhir ini terapi non farmakologi banyak menjadi

pilihan masyarakat terutama ibu bersalin untuk mengatasi nyeri

persalinan. Terapi non farmakologi yang juga sering disebut


33

sebagai terapi komplementer, salah satunya adalah teknik

akupresur titik pada tangan, memiliki banyak kelebihan antara

lain mudah diterapkan dan cukup aman (tidak menimbulkan

resiko) dibanding terapi farmakologi. Akupresur disebut juga

akupunktur tanpa jarum, atau pijat akupunktur. Teknik

ini menggunakan tenik penekanan, pemijatan, dan pengurutan

sepanjang meridian tubuh atau garis aliran energi. Teknik

akupresur ini dapat menurunkan nyeri. Sedangkan teknik

akupresur titik pada tangan yaitu dilakukan pada titik yang

terletak sepanjang lipatan tangan ketika jari-jari menyatu

pada telapak tangan. Titik ini membantu pelepasan endorphin

ke dalam tubuh sehingga sangat membantu untuk

menurunkan nyeri saat kontraksi (Suroso, 2013). Menurut Wang

dkk dalam Triastuti (2013), akuplesur telah terbukti sebanding

ibuprofen (NSAID’s) selain itu, akuplesur dapat memberikan

manfaat preventif dan kuratif, mudah, murah, efektif, dapat

dilakukan siapa saja bahkan oleh diri sendiri dan kapan saja.

Ada beberapa cara pemijatan akupresur yang dapat dilakukan

(Depkes dalam Triastuti, 2013):

1. Menggunakan alat pijat berupa jari tangan (jempol, telunjuk,

atau jari lainnya).

2. Pijatan dapat dilakukan dengan ditekan-tekan dan di putar-

putar atau diurut sepanjang meridian. Untuk bayi di


34

bawah umur 1 tahun, sebaiknya dilakukan pengobatan

dengan mengeulus elus (meraba) perjalanan meridian saja dan

jangan dipijat seperti orang dewasa.

3. Pijatan bisa dimulai setelah menemukan titik pijatan yang

tepat, yaitu timbulnya reaksi pada titik pijat yang berupa rasa

nyeri atau pegal.

4. Reaksi pijatan, setiap pemberian rangsangan terhadap titik

pijat akan memberikan reaksi, oleh karena itu untuk

perangsangan atau pemijatan yang akan dilakukan harus

diperhitungkan secara cermat, reaksi apa yang ditimbulkan,

reaksi penguatan (yang) atau reaksi (yin). Bila pijatan yang

bereaksi yang maka dapat dilakukan selama 30 kali

tekanan atau putaran, sedangkan reaksi yin dilakukan

pemijatan lebih dari 40 kali. Menurut Hartono dalam Triastuti

(2013), dalam pemijatan sebaiknya jangan terlalu keras dan

pemijatan yang benar harus dapat menciptakan sensasi rasa

(nyaman, pegal, panas, gatal, perih, kesemutan dan

sebagainya) sehingga dapat merangsang keluarnya hormone

endorphrin (hormone sejenis morfin yang dihasilkan tubuh

untuk memberikan rasa tenang).

5. Arah pijatan mengikuti arah putaran jarum jam atau searah

dengan jalannya meridian dan arah pemijatan dapat juga

disesuaikan dengan sifat penyakit yang di derita.


35

n) Dzikir Khafi

Secara etimologi dzikir berasal dari bahasa arab “zakara” yang

berarti menyebut atau mengingat-ingat. Secara istilah dzikir

berarti membasahi lidah dengan ucapan-ucapann pujian kepada

Allah SWT (Khoirul & Reza dalam Jauhari, 2014). Dzikir

khafi merupakan dzikir didalam qalbu yang merupakan

penggerak emosi perasaan, dzikir ini muncul melalui rasa, yaitu

rasa tentang penzahiran keaguangan dan keindahan Allah SWT

(Jailani dalam Hidayat, 2014). Menurut Hidayat 2014, seseorang

yang melakukan dzikir dapat menghasilkan beberapa efek medis

dan psikologis yaitu akan menyeimbangkan keseimbangan kadar

serotonin atau neropineprine di dalam tubuh, dimana

fenomena ini merupakan morfin alami yang bekerja di dalam

otak serta akan menyebabkan hati dan pikiran menjadi tenang

dibandingkan sebelum dzikir. Otot-otot tubuh mengendur

terutama otot bahu yang sering menyebabkan ketegangan psikis.

Hal tersebut merupakan salah satu bentuk karunia Allah yang

sangat berharga yang berfungsi sebagai zat pengurang nyeri di

dalam otak manusia.

Bentuk-bentuk dzikir yang bersumber dari Al-Qur’an:

1. Asma Allah (Allahu)

2. Tasbih (Sbhanallah)

3. Takbir (Allahu akbar)


36

4. Tahlil (La ilaha illa Allah)

5. Basmalah ( Bismillahirohmannirrohim)

6. Istiqhfar (Astaghfirullah)

7. Hawqalah (La hawla wala quwwata illa billah)

8. Tahmid (Al-hamdulillah)

o) Terapi Al-Qur’an

Al-Quran berfungsi sebagai sistem perbaikan (service

system) baik yang bersifat fisik maupun psikis, yang dikenal

sebagai syifa’ yang berarti obat, penyembuh, dan penawar

(Mirza, 2014). Salah satu terapi spiritual yang biasa dilakukan

adalah dengan mendengarkan lantunan ayat-ayat suci Al Quran

atau disebut dengan istilah murrotal. Lantunan ayat suci Al

Quran mampu memberikan efek relaksasi karena dapat

mengaktifkan hormone endorfin, meningkatkan perasaan

rileks, mengalihkan perhatian dari rasa takut, cemas, dan tegang,

memperbaiki sistem kimia tubuh sehingga menurunkan tekanan

darah, dan memperlambat pernapasan (Sumaryani & Sari, 2015).

Pemberian terapi Al-Qur’an memberikan efek non

farmakologi adjuvan dalam mengatasi nyeri. Terapi bacaan

Al-Qur’an sejalan dengan teori nyeri: a balance between

analgesia and side effect yang menyatakan bahwa pemberian

analgetik akan memberikan efek samping sehingga dibutuhkan

terapi komplementer. Terapi bacaan Al- Qur’an yang


37

diperdengarkan melalui tape recorder akan memberikan efek

gelombang suara dan selanjutnya getaran suara ini akan mampu

memberikan perubahan sel-sel tubuh, sel kulit dan jantung.

Getaran ini akan masuk ke dalam tubuh dan mengubah

perubahan resonan baik partikel, cairan tubuh. Getaran

resonan akan menstimulasi gelombang otak dan mengaktifkan

jalur pressure nyeri. Jalur ini akan memberikan blokade

neurotransmitter nyeri akan memberikan efek ketenangan dan

mengurangi nyeri akut dan relaksasi (Hidayah, Maliya, dan

Nugroho, 2013). Berdasarkan penelitian bahwa Al-

Qur’an yang diperdengarkan akan memberikan efek

relaksasi sebesar 65% (Alkahel, 2011).

B. Peran Perawat

Peran perawat dalam menangani nyeri yang di alami pasien

menurut Doctherman dan Bulecheck dalam buku Nursing Interventions

Classification (2004) adalah

a. Mencari faktor-faktor yang menyebabkan meningkatnya nyeri yang

dialami pasien

b. Mengevaluasi riwayat nyeri pasien dan keluarga dalam menghadapi

nyeri

c. Mengevaluasi efektivitas tindakan pengendalian nyeri yang telah di

lakukan pada masa lalu


38

d. Membantu memberi dukungan pada pasien dan keluarga

e. Menentukan berapa sering melakukan penilaian dan pemantauan

kenyamanan pasien

f. Memberi informasi kepada pasien tentang nyeri pasien seperti

penyebab nyeri, berapa lama nyeri akan berlangsung dan prosedur

yang akan dilakukan

g. Mengurangi dan menghilangkan faktor-faktor yang memicu atau

menyebabkan nyeri (misalnya ketakutan, kelelahan, kurangnya

pengetahuan)

h. Kaji penggunaaan metode farmakologi nyeri pasien

i. Berkolaborasi dengan pasien dan profesionalisme kesehatan lainnya

untuk memilih dan menerapkan farmakologi yang sesuai

j. Mengevaluasi efektifitas langkah-langkah control nyeri yang

digunakan melalui penilaian yang berkelanjutan

k. Menyarankan pasien untuk istirahat dalam mengurangi nyeri

l. Mendorong pasien untuk mendiskusikan rasa nyeri yang dialaminya

m. Memberikan informasi kepada perawat lainnya serta anggota keluarga

mengenai strategi managemen nyeri non farmakologi

n. Menggunakan pendekatan multidisiplin untuk managemen nyeri

o. Pertimbangkan kesediaan pasien untuk berpartisipasi, kemampuan

pasien berpartisipasi untuk memilih strategi nyeri

p. Mengajarkan prinsip-prinsip managemen nyeri


39

q. Mengajarkan penggunaan teknik non farmakologi (misalnya relaksasi,

terapi musik, distraksi,terapi aktifitas, akupresur, terapi es dan panas,

masase dll).

1. Pengertian TB Paru

Tuberculosis (TB ) paru adalah penyakit yang disebabkan oleh

Mycobacterium tuberculosis, yakni kuman aerob yang dapat hidup

terutama di paru atau di berbagai organ tubuh yang lainnya yang

mempunyai tekanan parsial oksigen yang tinggi. Kuman ini juga

mempunyai kandungan lemak yang tinggi pada membran selnya sehingga

menyebabkan bakteri ini menjadi tahan terhadap asam dan pertumbuhan

dari kumannya berlangsung dengan lambat. Bakteri ini tidak tahan

terhadap ultraviolet, karena itu penularannya terutama terjadi pada malam

hari (Tabrani, 2010).

Tuberkulosis paru adalah suatu penyakit menular yang disebabkan

oleh basil Mikobakterium Tuberkulosis. Tuberculosis paru merupakan

salah satu penyakit saluran pernapasan bagian bawah (Alsagaff & Abdul

Mukty, 2010).

Di Indonesia, penyakit ini merupakan penyakit infeksi

terpenting setelah eradikasi penyakit malaria. Sebagian besar basil

Mikrobakterium tuberculosis masuk ke dalam jaringan paru melalui

airborne infection dan selanjutnya mengalami proses yang dikenal sebagai

focus primer dari Ghon. Pada stadium permulaan, setelah pembentukan


40

focus primer, akan terjadi beberapa kemungkinan yaitu penyebaran

bronkogen, limfogen, dan hematogen.

Keadaan ini hanya berlangsung beberapasaat. Penyebaran akan

berhenti bila jumlah kuman yang masuk dan telah terbentuk daya tahan

tubuh yang spesifik terhadap basil tuberculosis. Tetapi bila jumlah basil

tuberculosis yang masuk ke dalam saluranpernapasan cukup banyak,

maka akan terjadi tuberculosis milier atau tuberculosis meningitis.

Berdasarkan pengertian di atas penulis menarik kesimpulan bahwa

tuberkulosis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri

mycobacterium tuberkulosa. penyakit menular yang disebabkan oleh basil

mikrobacterium tuberkolusis yang merupakan salah satu penyakit saluran

pernafasan bagian bawah.

2. Etiologi

TB paru disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis yang

dapat ditularkan ketika seseorang penderita penyakit paru aktif

mengeluarkan organisme. Individu yang rentan menghirup droplet dan

menjadi terinfeksi. Bakteria di transmisikan ke alveoli dan memperbanyak

diri. Reaksi inflamasi menghasilkan eksudat di alveoli dan

bronkopneumonia, granuloma, dan jaringan fibrosa (Smeltzer&Bare, 2015).

Ketika seseorang penderita TB paru batuk, bersin, atau berbicara,

maka secara tak sengaja keluarlah droplet nuklei dan jatuh ke tanah, lantai,

atau tempat lainnya. Akibat terkena sinar matahari atau suhu udara

yang panas, droplet atau nuklei tadi menguap. Menguapnya droplet


41

bakteri ke udara dibantu dengan pergerakan angin akan membuat bakteri

tuberkulosis yang terkandung dalam droplet nuklei terbang ke udara.

Apabila bakteri ini terhirup oleh orang sehat, maka orang itu

berpotensi terkena bakteri tuberkulosis (Muttaqin Arif, 2012).

Menurut Smeltzer&Bare (2015), Individu yang beresiko tinggi

untuk tertular virus tuberculosis adalah:

a. Mereka yang kontak dekat dengan seseorang yang mempunyai TB aktif.

b. Individu imunnosupresif (termasuk lansia, pasien dengan kanker, mereka

yang dalam terapi kortikosteroid, atau mereka yang terinfeksi dengan

HIV).

c. Pengguna obat-obat IV dan alkhoholik.

d. Individu tanpa perawatan kesehatan yang adekuat (tunawisma; tahanan;

etnik dan ras minoritas, terutama anak-anak di bawah usia 15 tahun dan

dewasa muda antara yang berusia 15 sampai 44 tahun).

e. Dengan gangguan medis yang sudah ada sebelumnya (misalkan diabetes,

gagal ginjal kronis, silikosis, penyimpangan gizi)

f. Individu yang tinggal didaerah yang perumahan sub standar kumuh.

g. Pekerjaan (misalkan tenaga kesehatan, terutama yang melakukan

aktivitas yang beresiko tinggi.

3. Klasifikasi

TB paru diklasifikasikan menurut Wahid & Imam tahun 2013 yaitu:

a. Pembagian secara patologis

1) Tuberculosis primer (childhood tuberculosis)


42

2) Tuberculosis post primer (adult tuberculosis).

b. Pembagian secara aktivitas radiologis TB paru (koch pulmonum)

aktif, non aktif dan quiescent (bentuk aktif yang mulai menyembuh)

c. Pembagian secara radiologis (luas lesi)

1) Tuberkulosis minimal Terdapat sebagian kecil infiltrat nonkavitas

pada satu paru maupun kedua paru, tetapi jumlahnya tidak melebihi

satu lobus paru.

2) Moderately advanced tuberculosis Ada kavitas dengan diameter

tidak lebih dari 4 cm. Jumlah infiltrat bayangan halus tidak lebih dari

1 bagian paru.Bila bayangan kasar tidak lebih dari sepertiga bagian 1

paru.

3) Far advanced tuberculosis Terdapat infiltrat dan kavitas yang

melebihi keadaan pada moderately advanced tuberkulosis.

Klasifikasi TB paru dibuat berdasarkan gejala klinik,

bakteriologik, radiologik, dan riwayat pengobatan sebelumnya. Klasifikasi

ini penting karena merupakan salah satu faktor determinan untuk

menentukan strategi terapi. Sesuai dengan program Gerdunas- TB (Gerakan

Terpadu Nasional Penanggulan Tuberkulosis) klasifikasi TB paru dibagi

sebagai berikut:

a. TB Paru BTA Positif dengan kriteria:

1) Dengan atau tanpa gejala klinik


43

2) BTA positif: mikroskopik positif 2 kali, mikroskopik positif 1

kali disokong biakan positif satu kali atau disokong radiologik positif

1 kali.

3) Gambaran radiologik sesuai dengan TB paru.

b. TB Paru BTA Negatif dengan kriteria:

1) Gejala klinik dan gambaran radiologik sesuai dengan TB paru aktif.

2) BTA negatif, biakan negatif tapiradiologik positif.

c. Bekas TB Paru dengan kriteria:

1) Bakteriologik (mikroskopik dan biakan) negatif

2) Gejala klinik tidak ada atau ada gejala sisa akibat kelainan paru.

3) Radiologik menunjukkan gambaran lesi TB inaktif, menunjukkan

serial foto yang tidak berubah.

4) Ada riwayat pengobatan OAT yang lebih adekuat (lebih mendukung).

4. Patofisiologi

Tempat masuk kuman microbacterium tuberculosis adalah saluran

pernafasan, saluran pencernaan,dan luka terbuka pada kulit. Kebanyakan

infeksi TB terjadi melalui udara, yaitu melalui inhalasi droplet yang

mengandung kumankuman basil tuberkel yang berasal dari orang – orang

yang terinfeksi. TB adalah penyakit yang dikendalikan oleh respon imunitas

diperantarai sel. Sel efektor adalah makrofag, dan limfosit( biasanya sel T)

adalah sel imunresponsif. Tipe imunitas seperti ini biasanya lokal,

melibatkan makrofag yang diaktifkan ditempat infeksi oleh limfosit dan


44

limfokinnya. Respons ini disebut sebagai reaksi hipersensitivitas seluler

(lambat).

Basil tuberkel yang mencapai permukaan alveolus biasanya di

inhalasi sebagai unit yang terdiri dari satu sampai tiga basil.Gumpalan basil

yang lebih besar cenderung tertahan di saluran hidung dan cabang besar

bronkus dan tidak menyebabkan penyakit. Setelah berada dalam ruangan

alveolus, biasanya dibagian bawah kubus atau paru atau dibagian atas lobus

bawah, biasanya dibagian bawah kubus atau paru atau dibagian atas lobus

bawah, basil tuberkel ini membangkitkan reaksi peradangan. Leukosit

polimorfonuklear tampak pada tempat tersebut dan memfagosit bakteri

namun tidak membunuh organisme tersebut.

Sesudah hari- hari pertama, leukosit diganti oleh makrofag.

Alveoli yang terserang akan mengalami konsolidasi, dan timbulkan

pneumonia akut. Pneumonia selular ini dapat sembuh dengan sendirinya,

sehingga tidak ada sisa yang tertinggal, atau proses dapat berjalan terus

difagosit atau berkembang biak dalam di dalam sel. Basil juga menyebar

melalui getah bening menuju ke kelenjer getah bening regional.

Makrofag yang mengadakan infiltrasi menjadi lebih panjang dan

sebagian bersatu sehingga membentuk seltuberkel epiteloid, yang

dikelilingi oleh limfosit. Reaksi ini biasanya membutuhkan waktu 10

sampai 20 hari. Nekrosis bagian sentral lesi memberikan gambaran

yang relatif padat dan seperti keju disebut nekrosis kaseosa. Daerah

yang mengalami nekrosis kaseosa dan jaringan granulasi disekitarnya yang


45

terdiri dari sel epiteloid dan fibroblas menimbulkan respons

berbeda.Jaringan granulaasi menjadi lebih fibroblas membentuk suatu

kapsul yang mengelilingi tuberkel. Lesi primer paru disebut Fokus Ghon

dan gabungan terserangnya kelenjr getah bening regional dan lesi primer

disebut Kompleks Ghon.

Kompleks Ghon yang mengalami perkapuran ini dapat dilihat pada

orang sehat yang kebetulan menjalani pemeriksaan radio gram rutin.Namun

kebanyakan infeksi TB paru tidak terlihat secara klinis atau dengan

radiografi. Respon lain yang dapat terjadi pada daerah nekrosis adalah

pencairan, yaitu bahan cairan lepas kedalam bronkus yang berhubungan dan

menimbulkan kavitas. Bahan tuberkel yang dilepaskan dari dinding

kavitas akan masuk ke dalam percabangan trakeobronkial. Proses ini dapat

berulang kembali dibagian lain dari paru, atau basil dapat terbawa sampai ke

laring, telinga tengah atau usus. Walaupun tanpa pengobatan, kavitas yang

kecil dapat menutup dan meninggalkan jaringan parut fibrosis.

Bila peradangan merada, lumen bronkus dapat menyepit dan

tertutup oleh jaringan parut yang terdapat dekat denagan taut bronkus dan

rongga. Bahan perkijuan dapat mengental dan tidak dapat kavitas penu

dengan bahan perkijuan, dan lesi mirip dengan lesi berkapsul yang tidak

terlepas. Keadaan ini dapat tidak menimbulkan gejala demam waktu lama

atau membentuk lagi hubungan dengan bronkus dan menjadi tempat

peradangan aktif. Penyakit dapat menyebar melalui getah bening atau

pembuluh darah.
46

Organisme yang lolos dari kelenjer getah bening akan mencapai

aliran darah dalam jumlah kecil yang kadang-kadang dapat menimbulkan

lesi pada berbagai organ lain. Jenis penyebaran ini dikenal sebagai

penyebaran limfohematogen, yang biasanya sembuh sendiri. Penyebaran

hematogen merupakan suatu fenomena akut yang biasanya menyebabkan

TB miler, ini terjadi apabila fokus nekrotik merusak pembuluh darah

sehingga banyak organisme masuk kedalam sistem vaskular dan tersebar

ke organ – organ tubuh. (Sylvia, 2005)

5. Pemeriksaan Penunjang

1 Uji Tuberkulin

2 Pemeriksaan Radiologi

3 Pemeriksaan Bakteriologis

4 Pemeriksaan Patologi Anatomi

5 Uji BCG (Asril Bahar, 2001).

6. Komplikasi

Menurut Sudoyo, dkk (2009) komplikasi yang dapat terjadi pada

klien dengan tuberkulosis paru yaitu:

1 Pleuritis tuberkulosa

Terjadi melalui fokus subpleura yang robek atau melalui aliran getah

bening. Sebab lain dapat juga dari robeknya perkijuan kearah saluran

getah bening yang menuju rongga pleura, iga atau columna vertebralis.
47

2 Efusi Pleura

Keluarnya cairan dari pembuluh darah atau pembuluh limfe kedalam

jaringan selaput paru, yang disebabkan oleh adanya penjelasan material

masuk kerongga pleura. Material mengandung bakteri dengan cepat

mengakibatkan reaksi inflamasi dan exudat pleura yang kaya akan

protein.

3 Empiema

Penumpukan cairan terinfeksi atau pus (nanah) pada cavitas pleura,

rongga pleura yang disebabkan oleh terinfeksinya pleura oleh bakteri

mycrobacterium tuberculosis (pleuritis tuberculosis)

4 Laringitis

Infeksi mycobacterium pada laring yang kemudian menyebabkan

laringitis tuberkulosis.

5 TBC Milier (tulang, usus, otak, limfe)

Bakteri mycrobacterium tuberculosis bila masuk dan berkumpul di

dalam saluran pernapasan akan berkembang biak terutama pada orang

yang daya tahan tubuhnya lemah dan dapat menyebar melalui pembuluh

darah atau kelenjar getah bening. Oleh karena itu infeksi

mycrobacterium tuberculosis dapat menginfeksi seluruh orang tubuh

seperti paru, otak, ginjal, dan saluran pencernaan.


48

6 Kerusakan Parenkim paru berat.

Microbacterium tuberculosis dapat menyerang atau menginfeksi

parenkim paru, sehingga jika tidak ditangani akan menyebabkan

kerusakan lebih lanjut pada parenkim yang terinfeksi.

7 Sindrom gagal napas (ARDS)

Disebabkan oleh kerusakan jaringan dan organ paru yang meluas.

Menyebabkan ggal napas atau ketidakmampuan paru-paru untuk

mensuplai oksigen keseluruh jaringan tubuh

7. Penatalaksanaan
Menurut Zain (2001) membagi penatalaksanaan tuberkulosis paru

menjadi tiga bagian, pengobatan, dan penemuan penderita (active case

finding).

1. Pemeriksaan kontak, yaitu pemeriksaan terhadap individu yang bergaul

erat dengan penderita TB paru BTA positif. Pemeriksaan meliputi tes

tuberkulin, klinis dan radiologis. Bila tes tuberkulin positif, maka

pemeriksaan radiologis foto thoraks diulang pada 6 dan 12 bulan

mendatang. Bila masih negatif, diberikan BCG vaksinasi. Bila positif,

berarti terjadi konversi hasil tes tuberkulin dan diberikan

kemoprofilaksis.

2. Mass chest X-ray, yaitu pemeriksaan massal terhadap kelompokkelompok

populasi tertentu misalnya:

3. Karyawan rumah sakit/Puskesmas/balai pengobatan. b. Penghuni rumah

tahanan.
49

4. Vaksinasi BCG Tabrani Rab (2010), Vaksinasi BCG dapat melindungi

anak yang berumur kurang dari 15 tahun sampai 80%, akan tetapi

dapat mengurangi makna pada tes tuberkulin. Dilakukan pemeriksaan

dan pengawasan pada pasien yang dicurigai menderita tuberkulosis,

yakni:

a. Pada etnis kulit putih dan bangsa Asia dengan tes Heaf positif

dan pernah berkontak dengan pasien yang mempunyai sputum positif

harus diawasi.

b. Walaupun pemeriksaan BTA langsung negatif, namun tes Heafnya

positif dan pernah berkontak dengan pasien penyakit paru.

c. Yang belum pernah mendapat kemoterapi dan mempunyai

kemungkinan terkena. d. Bila tes tuberkulin negatif maka harus

dilakukan tes ulang setelah 8 minggu dan ila tetap negatif maka

dilakukan vaksinasi BCG. Apabila tuberkulin sudah mengalami

konversi, maka pengobatan harus diberikan.

4. Kemoprofilaksis dengan mengggunakan INH 5 mg/kgBB selama 6-12

bulan dengan tujuan menghancurkan atau mengurangi populasi bakteri

yang masih sedikit. Indikasi kemoprofilaksis primer atau utama ialah

bayi yang menyusui pada ibu dengan BTA positif, sedangkan

kemoprofilaksis sekunder diperlukan bagi kelompok berikut:

a. Bayi dibawah lima tahun dengan hasil tes tuberkulin positif

karena resiko timbulnya TB milier dan meningitis TB


50

b. Anak dan remaja dibawah dibawah 20 tahun dengan hasil

tuberkulin positif yang bergaul erat dengan penderita TB yang

menular

c. Individu yang menunjukkan konversi hasil tes tuberkulin dari

negatif menjadi positif

d. Penderita yang menerima pengobatan steroid atau obat

immunosupresif jangka panjang

e. Penderita diabetes melitus.

5. Komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) tentang penyakit

tuberkulosis kepada masyarakat di tingkat puskesmas maupun ditingkat

rumah sakit oleh petugas pemerintah maupun petugas LSM (misalnya

Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Paru Indonesia-PPTI).

(Mutaqqin Arif, 2012).

Arif Mutaqqin (2012), mengatakan tujuan pengobatan pada penderita

TB paru selain mengobati, juga untuk mencegah kematian, kekambuhan,

resistensi terhadap OAT, serta memutuskan mata rantai penularan. Untuk

penatalaksanaan pengobatan tuberkulosis paru, berikut ini adalah beberapa

hal yang penting untuk diketahui. Mekanisme Kerja Obat anti-

Tuberkulosis (OAT)

a. Aktivitas bakterisidal, untuk bakteri yang membelah cepat.

Ekstraseluler, jenis obat yang digunakan ialah Rifampisin (R) dan

Streptomisin (S). Intraseluler, jenis obat yang digunakan ialah Rifampisin

dan Isoniazid (INH).


51

b. Aktivitas sterilisasi, terhadap the persisters (bakteri semidormant)

1) Ekstraseluler, jenis obat yang digunakan ialah Rimpafisin dan

Isoniazid.

2) Intraseluler, untuk slowly growing bacilli digunakan Rifampisin dan

Isoniazid. Untuk very slowly growing bacilli, digunakan Pirazinamid

(Z).

c. Aktivitas bakteriostatis, obat-obatan yang mempunyai aktivitas

bakteriostatis terhadap bakteri tahan asam.

1) Ekstraseluler, jenis obat yang digunakan ialah Etambutol (E), asam

para-amino salistik (PAS), dan sikloserine.

2) Intraseluler, kemungkinan masih dapat dimusnahkan oleh

Isoniazid dalam keadaan telah terjadi resistensi sekunder.

3) Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi dua fase yaitu fase intensif

(2-3 bulan) dan fase lanjutan (4-7 bulan).Panduan obat yang

digunakan terdiri atas obat utama dan obat tambahan. Jenis obat

utama yang digunakan sesuai dengan rekomendasi WHO adalah

Rifampisin, Isoniazid, Pirazinamid, Streptomisin, dan Etambutol

(Depkes RI, 2004)

Untuk keperluan pengobatan perlu dibuat batasan kasus terlebih dahulu

berdasarkan lokasi TB paru, berat ringannya penyakit, hasil pemeriksaan

bakteriologi, apusan sputum dan riwayat pengobatan sebelumnya.

Disamping itu, perlu pemahaman tentang strategi penanggulangan TB paru

yang dikenal sebagai Directly Observed Treatment Short Course (DOTSC).


52

DOTSC yang direkomendasikan oleh WHO terdiri atas lima komponen, yaitu:
1. Adanya komitmen politis berupa dukungan para pengambil keputusan

dalam penanggulangan TB paru.

2. Diagnosis TB paru melalui pemeriksaan sputum secara mikroskopik

langsung, sedangkan pemeriksaan penunjang lainnya seperti

pemeriksaan radiologis dan kultur dapat dilaksanakan di unit pelayanan

yang memiliki sarana tersebut.

3. Pengobatan TB paru dengan paduan OAT jangka pendek dibawah

pengawasan langsung oleh Pengawas Menelan Obat (PMO), khususnya

dalam dua bulan pertama di mana penderita harus minum obat setiap

hari.

4. Kesinambungan ketersediaan paduan OAT jangka pendek yang cukup.

5. Pencatatan dan pelaporan yang baku.

8. Pengkajian

1. Pengkajian

Data-data yang perlu dikaji pada asuhan keperawatan dengan TB paru

(Somantri,

2009).

a. Data Pasien

Penyakit TB paru dapat menyerang manusia mulai dari usia anak

sampai dewasa dengan perbandingan yang hampir sama antara

laki-laki dan perempuan. Penyakit ini biasanya banyak

ditemukan pada pasien yang tinggal didaerah dengan tingkat


53

kepadatan tinggi sehingga masuknya cahaya matahari kedalam

rumah sangat minim. TB paru pada anak dapat terjadi pada usia

berapapun, namun usia paling umum adalah antara 1-4 tahun.

Anak-anak lebih sering mengalami TB diluar paru-paru

(extrapulmonary) disbanding TB paru dengan perbandingan 3:1.

TB diluar paru-paru adalah TB berat yang terutama

ditemukan pada usia < 3 tahun. Angka kejadian (pravelensi) TB

paru pada usia

5-12 tahun cukup rendah, kemudian meningkat setelah usia remaja

dimana TB paru menyerupai kasus pada pasien dewasa (sering

disertai lubang/kavitas pada paru-paru).

b. Riwayat Kesehatan Keluhan yang sering muncul antara lain:

1) Demam: subfebris, febris (40-41oC) hilang timbul.

2) Batuk: terjadi karena adanya iritasi pada bronkus batuk ini

terjadi untuk membuang/mengeluarkan produksi radang yang

dimulai dari batuk kering sampai dengan atuk purulent

(menghasilkan sputum).

3) Sesak nafas: bila sudah lanjut dimana infiltrasi radang sampai

setengah paru- paru.

4) Keringat malam.

5) Nyeri dada: jarang ditemukan, nyeri akan timbul bila infiltrasi

radang sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis.


54

6) Malaise: ditemukan berupa anoreksia, nafsu makan menurun,

berat badan menurun, sakit kepala, nyeri otot, keringat malam.

7) Sianosis, sesak nafas, kolaps: merupakan gejala atelektasis.

Bagian dada pasien tidak bergerak pada saat bernafas dan

jantung terdorong ke sisi yang sakit. Pada foto toraks, pada sisi

yang sakit nampak bayangan hitam dan diagfragma menonjol

keatas.

8) Perlu ditanyakan dengan siapa pasien tinggal, karena biasanya

penyakit ini muncul bukan karena sebagai penyakit keturunan

tetapi merupakan penyakit infeksi menular.

c. Riwayat Kesehatan Dahulu

1) Pernah sakit batuk yang lama dan tidak sembuh-sembuh

2) Pernah berobat tetapi tidak sembuh

3) Pernah berobat tetapi tidak teratur

4) Riwayat kontak dengan penderita TB paru

5) Daya tahan tubuh yang menurun

6) Riwayat vaksinasi yang tidak teratur

7) Riwayat putus OAT.

d. Riwayat Kesehatan Keluarga

Biasanya pada keluarga pasien ditemukan ada yang menderita TB

paru.Biasanya ada keluarga yang menderita penyakit keturunan

seperti Hipertensi, Diabetes Melitus, jantung dan lainnya.


55

e. Riwayat Pengobatan Sebelumnya

1) Kapan pasien mendapatkan pengobatan sehubungan dengan

sakitnya

2) Jenis, warna, dan dosis obat yang diminum.

3) Berapa lama pasien menjalani pengobatan sehubungan dengan

penyakitnya

4) Kapan pasien mendapatkan pengobatan terakhir f. Riwayat

Sosial Ekonomi

5) Riwayat pekerjaan. Jenis pekerjaan, waktu, dan tempat bekerja,

jumlah penghasilan.

6) Aspek psikososial. Merasa dikucilkan, tidak dapat

berkomunikasi dengan bebas, menarik diri, biasanya pada

keluarga yang kurang mampu, masalah berhubungan dengan

kondisi ekonomi, untuk sembuh perlu waktu yang lama dan biaya

yang banyak, masalah tentang masa depan/pekerjaan pasien,

tidak bersemangat dan putus harapan.

g. Faktor Pendukung:

1) Riwayat lingkungan.

2) Pola hidup: nutrisi, kebiasaan merokok, minum alkohol, pola

istirahat dan tidur, kebersihan diri.

3) Tingkat pengetahuan/pendidikan pasien dan keluarga tentang

penyakit, pencegahan, pengobatan dan perawatannya.

4) Pemeriksaan Fisik
56

Keadaan umum: biasanya KU sedang atau buruk

- TD : Normal ( kadang rendah karena kurang

istirahat)

- Nadi : Pada umumnya nadi pasien meningkat

- Pernafasan : biasanya nafas pasien meningkat

(normal : 16
- 20x / mnt)

- Suhu : Biasanya kenaikan suhu ringan pada malam

hari. Suhu mungkin tinggi atau tidak teratur. Seiring kali tidak

ada demam

1) Kepala

Inspeksi : Biasanya wajah tampak pucat, wajah tampak

meringis, konjungtiva anemis, skelra tidak ikterik,

hidung tidak sianosis, mukosa bibir kering, biasanya

adanya pergeseran trakea.

2) Thorak

Inpeksi : Kadang terlihat retraksi interkosta dan tarikan

dinding dada, biasanya pasien kesulitan saat

inspirasi

Palpasi : Fremitus paru yang terinfeksi

biasanya lemah Perkusi : Biasanya saat

diperkusi terdapat suara pekak Auskultasi :

Biasanya terdapat bronki


57

3) Abdomen

Inspeksi : biasanya tampak simetris

Palpasi : biasanya tidak ada pembesaran hepar

Perkusi : biasanya terdapat suara tympani

Auskultasi : biasanya bising usus pasien tidak terdengar

4) Ekremitas atas Biasanya CRT>3 detik, akral teraba dingin, tampak

pucat, tidak ada edema

5) Ekremitas bawah Biasanya CRT>3 detik, akral teraba dingin,

tampak pucat, tidak ada edema Pemeriksaan Diagnostik

1) Kultur sputum

Mikobakterium TB positif pada tahap akhir penyakit.

2) Tes Tuberkulin

Mantoux test reaksi positif (area indurasi 10-15 mm terjadi 48-72

jam).

3) Poto torak

Infiltnasi lesi awal pada area paru atas, pada tahap dini tampak

gambaran bercak-bercak seperti awan dengan batas tidak jelas, pada

kavitas bayangan, berupa cincin, pada klasifikasi tampak bayangan

bercak-bercak padat dengan densitas tinggi.

4) Bronchografi

Untuk melihat kerusakan bronkus atatu kerusakan paru karena TB

paru.
58

5) Darah Peningkatan leukosit dan Laju Endap Darah (LED).

6) Spirometri: penurunan fungsi paru dengan kapasitas vital menurun.

j. Pola Kebiasaan Sehari-hari

1) Pola aktivitas dan istirahat Subyektif :

Rasa lemah cepat lelah, aktivitas berat timbul. Sesak (nafas

pendek), sulit tidur, demam, menggigil, berkeringat pada malam

hari. Obyektif:

Takikardia, takipnea/dispnea saat kerja, irritable, sesak (tahap,

lanjut, infiltrasi radang sampai setengah paru), demam subfebris

(40-41oC) hilang timbul.

2) Pola Nutrisi Subyektif :

Anoreksia, mual, tidak enak diperut, penurunan berat badan.

Obyektif

Turgor kulit jelek, kulit kering/berisik, kehilangan lemak

sub kutan.

3) Respirasi Subyektif :

Batuk produktif/non produktif sesak nafas, sakit dada Obyektif :

Mulai batuk kering sampai batuk dengan sputum

hijau/purulent, mukoid kuning atau bercak darah, pembengka

kan kelenjar limfe, terdengar bunyi ronkhi basah, kasar didaerah

apeks paru, takipneu (penyakit luas atau fibrosis parenkim paru

dan pleural), sesak nafas, pengembangan pernafasan tidak simetris


59

(effusi pleura), perkusi pekak dan penurunan fremitus (cairan

pleural), deviasi trakeal (penyebaran bronkogenik).

4) Rasa nyaman/nyeri Subyektif :

Nyeri dada meningkat karena batuk berulang Obyektif :

Berhati-hati pada area yang sakit, prilaku distraksi, gelisah, nyeri

bisa timbul bila infiltrasi radang sampai ke pleura sehingga timbul

pleuritis.

5) Integritas Ego Subyektif :

Faktor stress lama, masalah keuangan, perasaan tak berdaya/tak

ada harapan. Obyektif :

Menyangkal (selama tahap dini), ansietas, ketakutan, mudah

tersinggung.

9. Diagnosa Keperawatan

1. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan sekret

yang berlebih

2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh

berhubungan dengan anoreksia

3. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya sumber

informasi
60

10. Intervensi
RENCANA KEPERAWATAN

N DIAGNOSA

o. KEPERAWATAN NOC NIC

1. Ketidkefektifan Status Respirasi Manajemen Respirasi

bersihan jalan napas - Jalan napas yang paten - Posisikan pasien untuk

b/d sekret yang Kriteria hasil: memaksimalkan

berlebih - Mendemonstrasikan ventilasi


61

batuk efektif dan - Lakukan fisioterapi

suara napas yang dada bila perlu

bersih, tidak ada - Keluarkan sekret

sianosis dan dyspneu dengan batuk atau

(mampu suction

mengeluarkan - Auskultasi suara

sputum, mampu napas, catat adanya

bernapas dengan suara tambahan

mudah, tidak ada - Atur intake untuk

pursed lips) cairan untuk

- Menunjukan jalan mengoptimalkan

napas yang paten keseimbangan

(klien tidak merasa - Monitor respirasi dan

tercekik, irama napas, status O2

frekuensi pernapasan

dalam rentang

normal, tidak ada

suara napas

abnormal)

- Mampu

mengidentifikasikan

dan mencegah faktor

yang dapat
62

menghambat jalan

napas
63

2. Ketidakseimbangan Status Nutrisi Manajemen Nutrisi

nutrisi kurang dari - Makan dan masukan - Kaji adanya alergi

kebutuhan tubuh b/d cairan. makanan

anoreksia - Kontrol berat. - Kolaborasi

Kriteria Hasil denganahli gizi untuk

- Adanya peningkatan menentukan jumlah

berat badan sesuai kalori dan nutrisi

dengan tujuan yang dibutuhkan

- Berat badan ideal pasien

sesuai dengan tinggi - Anjurkan pasien

badan untuk meningkatkan

- Mampu protein dan vitamin C

mengidentfikasi - Berikan substansi

kebutuhan nutrisi gula

- Tidak ada tanda-tanda - Berikan makananyang

malnutrisi terpilih (sudah

- Tidak terjadi dikonsultasikan

penurunan berat badan dengan ahli gizi)

yang berarti. - Monitor jumlah

nutrisi dan kandungan


64

Kalori

- Berikan informasi

tentang kebutuhan

nutrisi

- Kaji kemampuan

pasien untuk

mendapatkan nutrisi

yang dibutuhkn

3. Kurang pengetahuan Pengetahuan : Ajarkan : Proses penyakit

b/d kurangnya - Proses penyakit - Berikan penilaian

sumber informasi - Perilaku sehat tentang proses

Kriteria hasi : penyakit yang spesifik

- Pasien dan keluarga - Jelaskan patofisiologi

menyatakan penyakit TB dan

pemahaman tentang bagaimana

penyakit, kondisi, hubungannya dengan

prognosis, dan anatomi dan fisiologi

program pengobatan dengan cara yang

- Pasien dan keluarga tepat

mampu melaksanakan - Gambarkan tanda dan

prosedur yang gejala yang biasa

dijelaskan secara benar muncul pada penyakit

- Pasien dan keluarga dengan cara yang


65

mampu menjelaskan Tepat

kembali apa yang - Gambarkan proses

dijelaskan perawat/tim penyakit dengan cara

kesehatan lainnya. yang tepat

- Indentifikasi

kemungkinan

penyebab dengan cara

yang tepat

- Sediakan informasi

pada pasien tentang

kondisi, dengan cara

yang tepat
66

Intervensi Keperawatan

Intervensi Keperawatan kompres dingin : Kompres dingin

merupakan suatu prosedur menempatkan suatu benda dingin pada

tubuh bagian luar. Dampak fisiologisnya adalah vasokontriksi pada

pembuluh darah, mengurangi rasa nyeri, dan menurunkan aktivitas

ujung saraf pada otot (Tamsuri, 2007). Mekanisme Intervensi Untuk

Mengatasi Masalah

Kompres dingin merupakan stimulasi area permukaan kulit

(Hockenberry & Wilson, 2009). Efek fisiologis kompres dingin

adalah meredakan nyeri dengan membuat area menjadi mati rasa,

memperlambat aliran impuls nyeri, dan meningkatkan ambang nyeri.

Kompres dingin dapat digunakan pada berbagai kondisi nyeri,

termasuk nyeri akut karena trauma atau pembedahan, artritis, spasme

otot dan sakit kepala (Lewis, Dirksen, Heitkemper, Bucher &

Camera, 2011).

Menurut pendapat Novita dalam Supriadi (2014), pada

umumnya dingin lebih mudah menembus jaringan dibandingkan

dengan panas. Ketika otot sudah mengalami penurunan suhu akibat

aplikasi dingin, efek dingin dapat bertahan lebih lama dibanding

dengan panas karena adanya lemak subkutan yang bertindak sebagai

insulator, di sisi lain lemak subkutan merupakan barrier utama

energi dingin untuk menembus otot. Dalam bidang keperawatan

kompres dingin banyak digunakan untuk mengurangi rasa nyeri.


67

Dingin memberikan efek fisiologis yakni menurunkan respon

inflamasi, menurunkan aliran darah dan mengurangi edema,

mengurangi rasa nyeri lokal (Tamsuri, 2007).


BAB III

TINJAUAN KASUS

A. Pengkajian Kasus 1 (Tuberculosis Paru)

Kasus 1

Anak I ( usia 12 tahun 2 bulan) masuk ke ruang rawat inap anak pada

tanggal 15 September 2019 dengan diagnosa medis TB Paru. Pengkajian

dilakukan pada tanggal 16 September hari ke dua klien dirawat. An I

merupakan anak ke enam dari tujuh bersaudara dari Bpk S ( 47 tahun) dan

Ibu S (33 tahun) saudara klien dinyatakan sehat dan belum pernah dirawat di

rumah sakit. Orang tua klien merupakan lulus SMA dimana ayah klien

bekerja sebagai wiraswasta dan ibu klien seorang ibu rumah tangga.

Ibu klien mengatakan selama kehamilan rutin memeriksakan kehamilan

ke bidan puskesmas sesuai jadwal. Selama kehamilan ibu I mengatakan hanya

mual-mual saja pada saat kehamilan usia 4 minggu. Ibu I mengatakan selama

hamil mencoba menjaga pola makan dan makan makanan yang sehat seperti

sayur, buah-buahan serta mengkonsumsi vitamin dan zat besi yang diberikan

oleh bidan. Untuk sumber air minum klien mengkonsumsi air tanah yang

dimasak.

Klien lahir secara normal dibantu oleh bidan puskesmas dengan usia

gestasi 39 minggu bbl 3800 gr, pb 50 cm bayi langsung menangis kuat, air

ketuban jernih vit k1 inj telah diberikan oleh bidan. Klien tidak mempunyai

masalah kesehatan menurut ibu klie, klien mendapatkan imunisasi lengkap di

68
69

puskesmas dan posyandu, klien tidak pernah dioperasi dan dirawat dirumah

sakit, tidak dalam pengobatan dan tidak mempunyai riwayat alergi.

Sejak lahir sampai saat ini, klien diasuh oleh ibunya dan dibantu

suaminya, klien sangat disayang oleh keluarganya. Saat ini klien sebagai

pelajar aliyah disebuah pesantren di daerah parung Bogor, klien tinggal

diasrama yang telah disediakan oleh pihak pesantren. Klien mengatakan

tinggal dikamar yang luas dengan 20 penghuni melakukan aktifitas dan tidur

di pesantren, klien mengatakan sinar matahari tidak masuk sampai kekamar

karena posisi kamar klien ada didalam bangunan pesantren. Klien

mengatakan banyak teman klien yang mengeluh batuk-batuk dan demam

sama seperti yang klien alami sekarang. Klien termasuk anak dengan kategori

gizi baik sebelum masuk pesantren dengan bb 44 kg dan tb 150 cm dan saat

ini klien mempunyai bb 39 kg .

Pengkajian dilakukan tanggal 15 september 2019 pkl 10.00 wib klien

mengeluh batuk berdahak sudah lebih dari 1 minggu nyeri dada sebelah kanan

bila batuk, demam sudah lebih dari 2 minggu naik turun menjelang sore

demam naik, demam akan reda bila klien minum obat, klien tidak nafsu

makan dan mengalami penurunan berat badan selama berada didalam asrama,

terdapat sariawan di lidah klien.

Hasil pemeriksaan fisik tanggal 15 september 2019 diketahui kesadaran

kompos mentis, tekanan darah 90/60 mmHg, denyut nadi 88x/menit, suhu 39

C frekuensi nafas 20x/menit nch tidak ada, konjungtiva anemis, sclera ikterik,

fungsi penglihatan baik. Mukosa bibir kering, ada sariawan di lidah,


70

pergerakan dada simetris, bunyi jantung I dan II normal, tidak ada mur-mur

dan gallop. Suara nafas vesikuler kana kiri, tidak ada retraksi,tidak ada

ronkhi, ada whezing. Abdomen datar dan supel bising usus 12x/menit. Akral

hangat, CRT < 2 dtik, gerak motoris ektremitas atas dan bawah baik. Klien

terpasang infus pada tangan kanan cairan RL 2000 CC/hari. Ibu I mengatakan

bahwa anaknya kurang minum dalam 1 hari 1 malam hanya minum 300 cc ml

. klien tidak nafsu makan karena ada sariawan. Klien tampak cemas saat

perawat mendekat dan klien tampak tegang saat perawat mengganti set infus

yang bengkak dan perawat mengatakan sebelum dipasang infus kembali akan

dilakukan kompres dingin dahulu untuk mengurangi sakit.

Hasil pemeriksaan laboratorium tanggal 15 september 2019

Haemoglobin 13,9 g/dl, Hematokrit 41 /ui, Trombosit 263/ui, eritrosit 3,58

/ui, LED 39, SGOT 40, SGPT 17, HbsaG negatif. Hasil radiologi di dapatkan

gambaran fibroinfiltrat di lapangan tengah paru. Hasil sputum BTA belum

ada hasil.

Tabel 3.1
Analisis Data Kasus 1

Data Klien Masalah Etiologi


Keperawatan
DS: Hipertermi b/d Mycobacterium
- Klien mengatakan demam proses inflamasi tbc
naik turun terutama sore
menjelang malam
DO:
- Keadaan umum sedang, Droplet
Kes Cm
- TTV:
Suhu 39°C
Nadi 88 x/menit Menetap diudara
RR 22x/menit
71

 Badan klien terasa hangat

Menempel di
jalan nafas

Proses inflamasi

Merangsang
hipotalamus

Hipertermi

DS : Nutrisi kurang Kortex serebri


 Klien mengatakan tidak dari kebutuhan
nafsu makan tubuh b/d
 Klien mengatakan mual anoreksia Merangsang
bila makan aktivity simpatis
 Klien mengatakan ada
sariawan di mulutnya
Perasaan mual
DO : dan muntah
 A:

BB sebelum sakit : 44kg Anoreksia

BB saat sakit : 38kg

TB : 150cm Nutrisi kurang


dari kebutuhan
BBI : 2n + 8 tubuh

2(11) + 8 = 30

(BB ideal)

 B:

Hb : 13,9 g/dl

Ht : 41%

 C:
72

Konjungtiva anemis

Sklera ikterik

Mukosa bibir kering

 D:

Makan ½ porsi

DS : Gangguan rasa Bakteremia


 P : Klien mengatakan nyeri nyaman nyeri b/d
pleuritis
karena batuk terus-menerus Pleura

 Q : Klien mengatakan nyeri


Pleuritis
terasa sesak didada

 R : Klien mengatakan nyeri Nyeri dada

dirasakan berada di area dada

 S : Klien mengatakan skala

nyeri 4

 T : Klien mengatakan nyeri

berlangsung selama 2-3 menit,

hilang timbu

DO :
 Klien tampak batuk
 Klien tampak memegang
dadanya saat batuk
 Klien tampak meringis
73

Kasus 2

An. F (5 tahun 8 bulan ) merupakan anak dari bapak R (30 tahun) dan ibu

W (27 tahun). Bapak R seorang lulusan STM dan bekerja di sebuah

perusahaan sebagai tekhnisi dan ibu seorang lulusan SMA dan bekerja sebagai

ibu rumah tangga. Klien masuk di ruaang Amarilis pada tanggal 17 september

2019 dengan diagnosa Tuberculosis (TBC).

Hasil anamnesa didapatkan pada tanggal 18 September 2019, ibu W

mengatakan selama kehamilan an F, ibu W rutin memeriksakan kandungannya

di puskesmas setempat, ibu W sangat mengatakan sangat menjaga

kehamilannya serta berat badannya, ibu W mendapatkan vitamin kehamilan

dan obat anti mual. Ibu W mengatakan mengkonsumsi makanan seperti

biasanya hanya porsinya saja yang ditingkatkan. An F lahir normal di rumah

sakit usia cukup bulan, berrat badan lahir 3250 gram dengan panjang 50 cm.

Klien mendapatkan imunisasi dasar lengkap.

Klien diasuh oleh kedua orang tuanya. Klien dan keluarganya tinggal di

daerah parung Bogor. Disekitar tempat tinggal klien memiliki teman sebaya

untuk bermain dan berinteraksi sehari-hari. Klien makan 3 kali sehari dan

memakan masakan yang dimasak oleh ny W. Menurut ibu W klien sangat sulit

untuk makan. Klien tidak suka makan ikan dan telur, namun seenag akan

semua jenis buah. Klien minum susu formula dari usia 2 tahun sampai saat ini

masih minum susu SGM setiap pagi dan saat ingin tidur. Pada saat klien

masuk rumah sakit klien terlihat tidur kurang nyaman akibat batuk dan

panasnya naik turun. Pemenuhan kebutuhan sehari- hari di bantu oleh orang
74

tua dan juga nenek dari pihak ibu W. Klien mengatakan anaknya hanya bisa

minum 600 ml dalam sehari semalam. Dan klien tidak bisa melakukan

aktifitas fisik di karenakan klien sangat lemas. Klien mual dan muntah lebih

dari 100 cc. Klien mengatakan takut bila di pasang infus dan takut untuk

disuntik. Berat badan klien saat ini 15 kg dengan tinggi badan 105 cm, ibu

klien mengatakan sebelum klien masuk rumah sakit berat badan klien 18 kg.

Status gizi klien kurva pertumbuhan WHO masuk dalam orientasi gizi baik

kurang. Klien mendapatkan therapi paracetamol 3 x 5 ml oral, infus Rl 10 tts

makro.

Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik yang dilakukan pada tanggal 15

September 2019 diperoleh data : kesaddaran klien compos mentis, tekana

darah 90/60 mmHg, denyut nadi 104x/menit, frekuensi nafas 26x/menit, suhu

badan 39,5 C, keadaan umum baik, tampak gelisah dan ketakutan pada saat

perawat datang. Konjungtiva anemis, sclera tidak ikterik, fungsi penglihatan

baik, mukosa bibir kering, muka terlihat pucat. Tidak ada kaku kuduk,

pergerakan dasa simetris kiri dan kanan, klien mengeluh sakit dada bila batuk,

tidak ada retraksi, bunyi jantung I dan II normal, tidak ada murmur dan gallop.

Suara nafas vesikuler, abdomen datar dan supel, bising usus 10x/menit. Akral

hangat, CRT < 2 detik, gerakan motorik normal.

Tingkat perkembangan klien sesuai dengan anak usia 5 tahun. Menurut ibu

klien , klien bermain dengan teman sebaya, mengungkapkan apa yang

dirasakan seperti sakit, malu dan takut.


75

Hasil pemeriksaan laboratorium tanggal 15 september 2019 : Haemoglobin

9,3 g/dl, leukosit 13.000 ribu/ul, trombosit 234 ribu/ul, hematokrit 35%., LED 30,

SGOT 40, SGPT 17, HbsaG negatif. Hasil radiologi di dapatkan gambaran

fibroinfiltrat di lapangan tengah paru. Hasil sputum BTA belum ada hasil.

Tabel 3.1
Analisis Data Kasus 2

Data Klien Masalah Etiologi


Keperawatan
DS: Hipertermi b/d Mycobacterium
- Klien mengatakan demam proses inflamasi tbc
naik turun terutama sore
menjelang malam
DO:
- Keadaan umum sedang, Droplet
Kes Cm
- TTV:
Suhu 39,5°C
Nadi 100 x/menit Menetap diudara
RR 26x/menit
 Badan klien terasa hangat
Menempel di
jalan nafas

Proses inflamasi

Merangsang
hipotalamus

Hipertermi

DS : Nutrisi kurang Kortex serebri


 Klien mengatakan tidak dari kebutuhan
nafsu makan tubuh b/d
 Klien mengatakan mual anoreksia Merangsang
bila minum aktivity simpatis

DO :
 Terlihat makan klien tidak Perasaan mual
76

habis dan muntah


 Bibir terlihat kering
 Klien terlihat muntah 1x
saat makan siang Anoreksia
 Bb klien di rs 15 kg
sebelum rawat 18 kg
Nutrisi kurang
dari kebutuhan
tubuh

DS : Gangguan rasa Bakteremia


 Klien mengatakan nyeri nyaman nyeri b/d
dada bila batuk pleuritis
Pleura
DO :
 Klien mengeluh batuk
sudah lebih dari 2 minggu Pleuritis

Nyeri dada

C. Masalah Keperawatan

Berdasarkan analisis hasil pengkajian ditegakkan beberapa massalah

keperawatan klien selama perawatan. Prioritas masalah keperawatan terdiri:

1. Kasus Pertama an I

a. Hipertermia

b. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh

c. Gangguan rasa nyaman nyeri

2. Kasus Kedua an F

a. Hipertermia

b. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh

c. Gangguan rasa nyaman nyeri


77

B. Intervensi Keperawatan

Tabel 3.2. Intervensi Keperawatan

Diagnosis NOC NIC

Hipertemi Thermoregulasi : keseimbangan Thermoregulasi


antara produksi panas, peningkatan 1. Pantau hidrasi (
panas dan kehilangan panas turgor kulit,
kelembaban
TTV dalam batas normal
membran
Setelah dilakukan tindakan
mukosa)
keperawatan selama 3x24 jam
2. Monitor TTV
pasien akan menunjukkan
3. Hentikan
thermoregulasi yang dibuktikan aktivitas fisik
dengan indikator sebagai berikut 4. Pantau warna
No Awa Tujua kulit dan suhu
Indikator
. l n 5. Monitor hasil
laboratorium
1. Peningkata 3 5
6. Tingkatkan
n suhu kulit 3 5
intake cairan
2. Dehidrasi 3 5 dan nutrisi
3. Denyut 4 5 7. Berikan cairan
nadi intravena
4. radialis 3 5 8. Anjurkan
Berkeringat asupan cairan

5. saat panas 3 5. minimal 2 liter

Melaporkan
kenyamana
n suhu

Ket :
1. Berat
2. Cukup berat
78

3. Sedang
4. Ringan

5. Tidak ada

Ketidakseimbanga Setelah dilakukan tindakan Manajemen


n nutrisi kurang keperawatan selama 3x24 jam Nutrisi
dari kebutuhan diharapkan nutrisi terpenuhi dengan 1. Tentukan
tubuh kriteria hasil: status gizi
Status Nutrisi pasien dan

No. Indikator Awal Tujuan kemampuan


pasien untuk
1. Asupan 3 5
memenuhi
2. makanan 3 5
kebutuhan
3. Asupan 3 5
gizi
4. cairan 4 5
2. Identifikasi
Energi
adanya alergi
5. Rasio berat 3 5
atau
badan
intoleransi
/tinggi
makanan
badan
yang dimiliki
Hidrasi
pasien
3. Monitor
Ket :
kecenderunga
1. Sangat menyimpang dari rentang
n terjadinya
normal
penurunan
2. Banyak menyimpang dari rentang
dan kenaikan
normal
berat badan
3. Cukup menyimpang dari rentang
4. Kolaborasi
normal
dengan ahli
4. Sedikit menyimpang dari rentang
gizi untuk
normal
79

5. Tidak menyimpang dari rentang mengatur diet


normal yang
diperlukan
5. Pastikan
makanan
disajikan
dengan cara
yang menarik
dan selagi
hangat
6. Beri obat-
obatan
sebelum
makan, jika
diperlukan
7. Berikan
arahan
(anjurkan
makan sedikit
tapi sering),
jika perlu
Nyeri akut Setelah dilakukan tindakan Manajemen
keperawatan selama 3x24 jam Nyeri
diharapkan nyeri hilang atau 2. Lakukan
berkurang dengan kriteria hasil: pengkajian
Tingkat Nyeri nyeri

No. Indikator Awal Tujuan komprehensif


yang meliputi
1. Nyeri yang 3 5
lokasi,
dilaporkan
karakteristik,
2. Panjang 3 5
durasi,
80

episode frekuensi,
3. nyeri 3 5 kualitas,
Menggosok intensitas
area yang atau beratnya
4. terkena 3 5 nyeri dan
dampak faktor
5. Mengerang 3 5 pencetus
dan 3. Observasi
6. menangis 3 5 adanya
Ekspresi petunjuk non
7. nyeri wajah 3 5 verbal
Kehilangan mengenai
nafsu ketidaknyama
makan nan
Mual 4. Pilih dan
implementasi
Ket : kan tindakan
1. Berat yang beragam
2. Cukup berat (misalnya,
3. Sedang farmakologi,
4. Ringan non
5. Tidak ada farmakologi)
untuk
memfasilitasi
penurunan
nyeri
5. Berikan
informasi
mengenai
nyeri, seperti
penyebab
81

nyeri, berapa
lama nyeri
akan
dirasakan,
dan antisipasi
dari
ketidaknyama
nan akibat
prosedur
6. Pastikan
pemberian
analgesik dan
atau strategi
non
farmakologi
sebelum
dilakukan
prosedur
yang
menimbulkan
nyeri
7. Kolaborasi
dengan tim
kesehatan
lainnya untuk
pemberian
penurun nyeri
yang optimal
dengan
peresepan
analgesik
82

C. Implementasi Keperawatan

Implementasi keperawatan merupakan tindakan keperawatan yang

dilakukan sesuai dengan intervensi yang telah direncanakan dalam mengatasi

masalah keperawatan yang sudah ditegakkan. Implementasi keperawatan

untuk mengatasi masalah keperawatan Hipertermi pada An. I dan An. F yaitu

menjaaga intake / asupan yang akurat dan mencatat output, memonitor status

hidrasi, memonitor TTV, dan memberikan terapi IV RL 1000cc/24 jam yang

sebelumnya dilakukan pemasangan infus dikarenakan infus terlepas sehabis

dari kamar mandi pada An. I dan pada An. F Mengalami bengkak di tangan.

Implementasi untuk mengatasi masalah keperawatan nutrisi kurang dari

kebutuhan tubuh yaitu menentukan status gizi pasien dan kemampuan pasien

untuk memenuhi kebutuhan gizi, mengidentifikasi adanya alergi atau

intoleransi makanan yang dimiliki pasien, memonitor kecenderungan

terjadinya penurunan dan kenaikan berat badan, berkolaborasi dengan ahli

gizi untuk mengatur diet yang diperlukan (An. I dan An. F mendapat diet

makan lunak), memastikan makanan disajikan dengan cara yang menarik dan

selagi hangat, memberi obat-obatan sebelum makan (An. I dan An. F

mendapat terapi ranitidin dan ondansentron), menganjurkan makan sedikit

tapi sering.

Implementasi yang telah dilakukan untuk mengatasi masalah

keperawatan nyeri yaitu melakukan pengkajian nyeri komprehensif yang

meliputi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas atau

beratnya nyeri dan faktor pencetus, mengobservasi adanya petunjuk non


83

verbal mengenai ketidaknyamanan, memberikan kompres hangat pada bagian

perut untuk memfasilitasi penurunan nyeri, memberikan informasi mengenai

nyeri seperti penyebab nyeri, berapa lama nyeri akan dirasakan, dan antisipasi

dari ketidaknyamanan akibat prosedur, memastikan pemberian analgesik dan

atau strategi non farmakologi sebelum dilakukan prosedur yang menimbulkan

nyeri (mengompres dingin daerah tangan sebelum dipasang infus),

berkolaborasi dengan tim kesehatan lainnya untuk pemberian penurun nyeri

yang optimal dengan peresepan analgesik.

D. Evaluasi

Kasus 1

Setelah dilakukan tindakan keperawatan pada masalah hipertermia pada

An. I klien tampak tenang, klien masih malas minum ± 300 ml/24 jam,

mukosa bibir kerring, sariawan masih ada, TTV: Suhu: 37,5°C Nadi 118

x/menit, RR: 24 x/menit, akral hangat. Masalah Hipertermi teratasi. Edukasi

keluarga dan klien menganjurkan untuk minum minimal 2 liter/24 jam,

memakai pakaian tipis dan menyerap keringat, bantu surface cooling bila

demam tinggi.

Setelah dilakukan tindakan keperawatan pada masalah nutrisi yaitu

klien masih mengeluh mual dan tidak nafsu makan, klien makan masih ½

porsi di hari perawatan kedua dengan BB 39kg dan belum mengalami

kenaikan hingga hari terakhir perawatan. Orangtua klien mengatakan mau

makan sedikit tapi sering dan tidak disertai muntah. Muntah hilang di hari
84

perawatan kedua hingga hari terakhir perawatan.

Setelah dilakukan tindakan keperawatan Nyeri dada masih dirasakan

pada hari pertama dan kedua perawatan bila batuk dengan skala nyeri 4. Nyeri

berkurang setelah diberi tindakan non farmakologi berupa kompres hangat

skala nyeri menjadi 2 namun nyeri masih dirasakan hilang timbul. Nyeri pada

pemasangan infus dirasakan lebih ringan (skala nyeri 2) saat diberi kompres

dingin sebelum pemasangan infus dimana sebelumnya orangtua klien

mengatakan klien sampai menangis saat dilakukan pemasngan infus (skala

nyeri 6). Nyeri dinyatakan berkurang oleh klien di hari perawatan kedua dan

nyeri sudah tidak dirasakan pada hari perawatan ketiga.

Kasus 2

Setelah dilakukan tindakan keperawatan pada masalah hipertermia

pada An. F klien tampak tenang, klien masih malas minum ± 300 ml/24 jam,

mukosa bibir kering, TTV: Suhu: 38,1°C Nadi 118 x/menit, RR: 24 x/menit,

akral hangat. Masalah Hipertermi teratasi. Edukasi keluarga dan klien

menganjurkan untuk minum minimal 2 liter/24 jam, memakai pakaian tipis

dan menyerap keringat, bantu surface cooling bila demam tinggi.

Setelah dilakukan tindakan masalah nutrisi yaitu klien masih mengeluh

mual dan tidak nafsu makan, klien makan masih ½ porsi di hari perawatan

kedua dengan BB 10 kg dan belum mengalami kenaikan hingga hari terakhir

perawatan. Klien mengatakan mau makan sedikit tapi sering dan tidak disertai

muntah. Muntah hilang di hari perawatan kedua hingga hari terakhir

perawatan.
85

Setelah dilakukan tindakan keperawatan Nyeri dada masih dirasakan

pada hari pertama dan kedua perawatan dengan skala nyeri 4. Nyeri

berkurang setelah diberi tindakan non farmakologi berupa kompres hangat

skala nyeri menjadi 2 namun nyeri masih dirasakan hilang timbul. Nyeri pada

pemasangan infus dirasakan lebih ringan (skala nyeri 2) saat diberi kompres

dingin sebelum pemasangan infus dimana sebelumnya klien mengatakan sakit

saat diinfus dengan skala nyeri 5. Nyeri dinyatakan berkurang oleh klien di

hari perawatan kedua dan nyeri sudah tidak dirasakan pada hari perawatan

ketiga.
BAB IV

ANALISIS KASUS

A. Profil Lahan Praktik

Rumah Sakit Umum Daerah Kota Depok (RSUD Depok) merupakan

sebuah rumah sakit pemerintah yang terletak di Sawangan, Kota Depok,

Provinsi Jawa Barat, Negara Indonesia. RSUD Depok teletak di Sawangan

tepatnya di Jalan Raya Muchtar No. 99 Sawangan Lama, Kota Depok, Jawa

Barat 16511 dilahan seluas 29.378 m2 dan mulai beroperasi pada 17 April

2008.

Visi RSUD Kota Depok adalah meningkatkan kesehatan seluruh lapisan

masyarakat Kota Depok melalui RSUD kelas B pendidikan sebagai jejaring

pusat stroke. Misi memberikan pelayanan paripurna yang bermutu kepada

seluruh lapisan masyarakat, membentuk RSUD Kota Depok sebagai

organisasi pembelajaran menuju Rumah Sakit kelas B Pendidikan sebagai

jejaring Pusat Stroke, meningkatkan komitmen, profesional dan produktifitas

Sumber Daya Manusia (SDM) RSUD Kota Depok, dan mengembangkan

manajemen RSUD Kota Depok yang efektif dan mandiri. Motto memberikan

pelayanan yang CERIA-P (Cepat, Efektif, Ramah, Inovatif, Aman,

Profesional) (RSUD Depok, 2018). Dalam pelayanan keperawatan, RSUD

Kota Depok telah mengembangkan model praktik keperawatan profesional

(MPKP). Dalam pelaksanaannya perawat dikategorikan menjadi perawat

86
87

primer dan perazqqq wat pelaksana. Keduanya memiliki tugas yang berbeda

namun saling membantu satu sama lainnya.

RSUD Kota Depok memiliki banyak unit pelayanan salah satunya

adalah ruang Amarilis. Ruang amarilis merupakan salah satu fasilitas RSUD

Kota Depok y. Ruangan ini terbagi menjadi tiga bagian yaitu ruangan anak,

penyakit dalam dewasa dan ruangan bedah dengan fasilitas penunjang medis

yang lengkap. Pemisahan ruang dilakukan untuk mencegah agar tidak terjadi

cross infection atau infeksi nosokomial.

B. Analis Masalah Keperawatan dengan Konsep Terkait

Salah satu stressor utama hospitalisasi anak adalah nyeri yang akan

berdampak terhadap perasaan trauma pada anak. Selama di rumah sakit,

serangkaian prosedur akan dilalui anak sebagai terapi. Prosedur yang paling

sering ditemui anak saat awal masuk rumah sakit adalah tindakan

pemasangan infus untuk pemberian terapi cairan pada anak begitu pula pada

kasus di atas. Kedua anak tersebut dilakukan tindakan prosedur pemasangan

infus sebelum diberikannya cairan parenteral. Prosedur pemasangan infus

sering menimbulkan trauma hospitalisasi pada anak karena menimbulkan rasa

nyeri. Oleh karena itu, anak perlu dipersiapkan dalam menghadapi

pengalaman hospitalisasi yang menimbulkan nyeri. Nyeri akibat prosedur

pungsi vena merupakan pengalaman anak yang diikuti perasaan kekhawatiran

anak selama di rumah sakit (Hockenberry & Wilson, 2009).


88

Perawat harus menghormati kekhawatiran anak terhadap cedera tubuh

dan reaksi terhadap nyeri sesuai dengan periode perkembangannya, ketika

memberikan perawatan pada anak (Hockenberry & Wilson, 2009). Oleh

karena itu, diperlukan upaya menurunkan nyeri akibat prosedur yang

diberikan pada anak yang mendapat prosedur tersebut.

Berbagai teknik dapat dilakukan perawat, baik secara non-farmakologik

maupun farmakologik untuk menurunkan nyeri. Perawat dapat melakukan

teknik distraksi, relaksasi, imajinasi terbimbing, stimulasi kulit dan pemberian

terapi topikal (Hockenberry & Wilson, 2009).

Pemberian cairan intravena diperlukan untuk memenuhi kebutuhan

cairan anak sehingga prosedur pemasangan infus / pungsi vena diharuskan

agar cairan atau obat dapat masuk secara langsung melalui pembuluh darah.

Namun, prosedur pemasangan infus dapat menimbulkan nyeri dan trauma

pada anak. Untuk itu, sebagai pencegahan trauma dan menguranghi nyeri

pada saat pemasangan infus pada anak, kompres dingin menjadi salah satu

pilihan perawat sebagai tindakan mandiri non farmakologi.

Salah satu intervensi manajemen nyeri yang disarankan pada buku

Nursing Interventions Classification (NIC) adalah pemberian analgesik dan

atau strategi non farmakologi sebelum dilakukan prosedur yang menimbulkan

nyeri. Tindakan mandiri yang dapat dilakukan oleh perawat untuk

mengurangi rasa sakit tersebut adalah kompres dingin sebelum melakukan

prosedur pemasangan infus. Upaya ini sebagai langkah penerapan prinsip

perawatan atraumatik pada anak. Perawatan atraumatik sebagai bentuk


89

perawatan terapeutik perawat melalui penggunaan tindakan yang mengurangi

cedera dan nyeri.

Pemberian kompres dingin dipercaya dapat meningkatkan pelepasan

endorfin yang memblok transmisi stimulus nyeri dan juga menstimulasi

serabut saraf berdiameter besar A-Beta sehingga menurunkan transmisi

impuls nyeri melalui serabut kecil A-delta dan serabut saraf C. Tindakan

kompres dingin selain memberikan efek menurunkan sensasi nyeri, juga

memberikan efek fisiologis seperti menurunkan respon inflamasi jaringan,

menurunkan aliran darah dan mengurangi edema (Tamsuri, 2007). Teknik ini

berkaitan dengan teori gate control dimana stimulasi kulit berupa kompres

dingin dapat mengaktivasi transmisi serabut saraf sensorik A-Beta yang lebih

besar dan lebih cepat. Hal ini menutup “gerbang” sehingga menurunkan

transmisi nyeri melalui serabut C dengan diameter yang kecil (Potter & Perry,

2010).

C. Analisis Intervensi Keperawatan dengan Konsep dan Penelitian Terkait

Masalah keperawatan yang menjadi fokus utama penulis adalah

masalah nyeri. Pemilihan masalah keperawatan nyeri dikarenakan nyeri

merupakan salah satu masalah yang dikeluhkan oleh anak. Pada anak, rasa

nyeri merupakan hal yang menakutkan dan dapat menimbulkan rasa trauma

sehingga salah satu tindakan menejemen nyeri ialah memastikan pemberian

farmakologi atau non farmakologi sebagai pereda nyeri sebelum melakukan

tindakan yang menimbulkan nyeri. Salah satu tindakan yang dapat


90

menimbulkan nyeri adalah tindakan pemasangan infus. Menurut Kennedy,

Luhmann & Zempsky (2008) tindakan pemasangan infus merupakan sumber

kedua dari nyeri yang paling dirasakan anak setelah penyakit yang

dideritanya. Oleh karena itu, diperlukannya intervensi untuk menangani

masalah tersebut.

Intervensi yang diterapkan oleh penulis untuk mengurangi nyeri pada

anak salah satunya adalah penggunaan kompres dingin. Kompres dingin

merupakan terapi nonfarmakologi yang cocok diberikan sebelum dilakukan

pemasangan infus. Dingin akan menimbulkan mati rasa sebelum rasa nyeri

timbul. Kompres dingin dapat menimbulkan efek anastesi lokal pada luka

tusuk akibat pemasangan infuse (Potter & Perry, 2013).

Beberapa penelitian menyebutkan bahwa kompres dingin secara efektif

dapat menurunkan intensitas nyeri. Salah satu penelitian yang medukung hal

tersebut adalah penelitian yang dilakukan oleh Asriani, Lestiawati, dan

Retnaningsih yang berjudul Pengaruh Kompres Dingin Terhadap Tingkat

Nyeri Anak Usia Sekolah Saat Pemasangan Infus Di Poliklinik Persiapan

Rawat Inap Rsud Panembahan Senopati Bantul pada tahun 2017. Hasil

penelitian tersebut mengungkapkan bahawa tingkat nyeri responden pada

kelompok intervensi sebagian besar mengalami sedikit nyeri.

D. Implikasi Asuhan Keperawatan pada Klien

Berdasarkan 2 kasus di atas baik An. I maupun An. F baru pertama kali

dirawat di rumah sakit dan saat itu pula baru pernah dilakukan pemasangan
91

infus dan saat itu pula tindakan pemasangan infus harus diulang dikarenakan

infus terlepas (pada An. F ) dan bengkak (pada An. I). Berdasarkan

pengkajian, An. F menangis sebelumnya ketika pertama dipasang infus di

UGD sedangkan An. I tidak namun keduanya mengalami rasa nyeri yang

tidak jauh berbeda. Perempuan secara konsisten melaporkan intensitas nyeri

yang lebih tinggi, ketidaknyamanan nyeri, frustrasi, dan rasa takut,

dibandingkan dengan laki-laki (Smetlzer & Bare, 2010). Sementara itu,

beberapa kebudayaan yang mempengaruhi jenis kelamin dapat mempengaruhi

respon individu terhadap nyeri. Seorang anak laki-laki dalam budayanya

dituntut untuk berani dan tidak boleh menangis, sedangkan anak perempuan

diperbolehkan menangis dalam situasi yang sama (Potter & Perry, 2013).

Bagaimanapun masalah nyeri pada saat pemasangan infus tidak dapat

diabaikan agar anak tidak mengalami trauma. Masalah tersebut dapat diatasi

dengan melakukan tindakan non farmakologi salah satunya dengan

mengaplikasikan kompres dingin sebelum pemasangan infus. Hal itu terbukti

dengan kedua anak mengatakan hanya merasakan sedikit nyeri dan tidak

merasa terganggu.

Oleh sebab itu, perawat diharapkan mampu untuk memperhatikan

keluhan anak dengan menunjukan sikap peduli salah satunya dengan tidak

mengabaikan rasa nyeri pemasangan infus atau pada prosedur lain yang

mengakibatkan nyeri pada anak dimana hal ini menjadi salah satu intervensi

yang disarankan dalam intervensi keperawatan menejemen nyeri.


BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

TB paru disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis yang

dapat ditularkan ketika seseorang penderita penyakit paru aktif

mengeluarkan organisme. Individu yang rentan menghirup droplet dan

menjadi terinfeksi. Bakteria di transmisikan ke alveoli dan memperbanyak

diri. Reaksi inflamasi menghasilkan eksudat di alveoli dan

bronkopneumonia, granuloma, dan jaringan fibrosa (Smeltzer&Bare, 2015).

Ketika seseorang penderita TB paru batuk, bersin, atau berbicara,

maka secara tak sengaja keluarlah droplet nuklei dan jatuh ke tanah, lantai,

atau tempat lainnya. Akibat terkena sinar matahari atau suhu udara

yang panas, droplet atau nuklei tadi menguap. Menguapnya droplet

bakteri ke udara dibantu dengan pergerakan angin akan membuat bakteri

tuberkulosis yang terkandung dalam droplet nuklei terbang ke udara.

Apabila bakteri ini terhirup oleh orang sehat, maka orang itu berpotensi

terkena bakteri tuberkulosis (Muttaqin Arif, 2012). Banyak faktor yang

menjadi penyebab diantaranya kesehatan lingkungan, higene perorangan,

keadaan gizi, dll. Penyakit infeksi ini menyerang baik dewasa maupun anak-

anak dan tidak jarang menyebabkan penderitanya memerlukan perawatan

khusus di rumah sakit. Salah satu tindakan yang biasa dilakukan di rumah

sakit adalah pemasangan infus dimana hal tersebut perlu untuk memenuhi

92
93

kebutuhan cairan terutama pada kasus gastroenteritis. Pemasangan infus

menimbulkan rasa sakit/nyeri sehingga pada anak pemasangan infus menjadi

suatu hal yang mengerikan dan dapat menyebabkan trauma hospitalisasi.

Nyeri yang tidak ditangani dapat berdampak besar pada kehidupan

anak. Nyeri dapat mengganggu aktivitas anak dan kesulitan untuk

berinteraksi dengan orang lain karena anak terfokus pada nyeri yang

dirasakan. Oleh karena itu, perawat sebagai pemberi asuhan keperawatan

dituntut untuk memberikan pelayanan atraumatik salah satunya dengan

mengatasi nyeri pada saat pemasangan infus.

Salah satu penatalaksanaan untuk mengurangi nyeri pada saat

pemasangan infus adalah dengan melakukan kompres dingin dimana hal

tersebut dapat membuat efek anestesi lokal sementara untuk mengurangi

nyeri. Nyeri pada saat pemasangan infus terbukti berkurang dengan

pengaplikasian kompres dingin. Kedua anak menyatakan sedikit nyeri

dimana sebelumnya merasakan sakit hingga salah satunya menangis.

Beberapa penelitian juga mengemukakan bahwa kompres dingin terbukti

efektif dalam mengurangi nyeri pada saat pemasangan infus.

B. Saran

Penulis berharap karya tulis ini meningkatkan pelayanan kepada klien

dengan lebih optimal dan mempertahankan hubungan kerjasama yang baik

antara tim kesehatan lain maupun dengan klien sehingga dapat meningkatkan

mutu pelayanan asuhan keperawatan khususnya keperawatan anak.


94

Pengaplikasian kompres dingin diharapkan dapat diterapkan terutama pada

anak agar anak terhindar baik dari rasa nyeri, stress ataupun trauma terutama

pada anak dengan masalah gastroenteritis dimana perlu untuk diberikan terapi

cairan.

Penulis juga berharap karya tulis ini dapat bermanfaat bagi institusi

pendidikan keperawatan dan dapat berguna bagi kemajuan penelitian

selanjutnya terutama penelitian dalam hal asuhan keperawatan.


DAFTAR PUSTAKA

Potter, P.A. & Perry, A.G. (2013).Fundamental of Nursing Eighth Edition.Canada


: Mosby

Departemen Kesehatan RI. 2015. Profil Kesehatan Indonesia 2015.


Http://www.Depkes.Go.Id/Resource s/Download/Pusdatin/ProfilKesehatan-
Indonesia/ProfilKesehatan-Indonesia-2015.Pdf. Diakses 17 Februari 2018.

Departemen Kesehatan RI. 2017. Data dan Informasi. Http://www.


Depkes.Go.Id/Resources/Download/ Pusdatin/Lain-Lain/Data%20dan%
20informasi%20kesehatan%20profil %20kesehatan%20indonesia%2020
16%20-%20%20smaller%20size% 20-%20web.Pdf. Diakses 15 Februari
2018.

Hockenberry, M. J., & Wilson, D. (2009). Wong's essentials of pediatric nursing.


St. Louis: Mosby.

WHO, UNICEF. (2013). Ending Preventable Child Deaths from Pneumonia and
Diarrhoea by 2025 The integrated Global Action Plan for Pneumonia and
Diarrhoea (GAPPD). WHO. France.  Septi wardani

Anda mungkin juga menyukai