Anda di halaman 1dari 34

BAB 1

PENDAHULUAN

Diabetes melitus (DM) tipe 2 merupakan penyakit metabolik yang bersifat

kronik progresif ditandai dengan hiperglikemia, dan prevalensinya meningkat

terus menerus di seluruh dunia. World Health Organization memperkirakan

terdapat lebih dari 346 juta populasi dunia mengalami DM. Angka ini akan

meningkat dua kali lipat pada tahun 2030 tanpa adanya intervensi. 1 Berdasarkan

data Badan Pusat Statistik Indonesia tahun 2003, diperkirakan penduduk

Indonesia yang berusia diatas 20 tahun sebanyak 133 juta jiwa. Dengan mengacu

pada pola pertambahan penduduk, maka diperkirakan pada tahun 2030 nanti akan

ada 194 juta penduduk yang berusia diatas 20 tahun.2

Diabetes berkaitan dengan komplikasi seperti penyakit kardiovaskular,

nefropati, retinopati, dan neuropati yang akan menyebabkan morbiditas kronik


3-4
dan mortalitas. Belum ada penyembuhan yang ditemukan untuk penyakit ini;

namun modalitas terapi berupa modifikasi gaya hidup, mengobati obesitas, agen

hipoglikemik oral, dan insulin sensitizer seperti metformin, masih menjadi

rekomendasi lini pertama terutama untuk pasien obes.

Salah satu tantangan terbesar bagi penyedia layanan kesehatan adalah

menyediakan kebutuhan dan keinginan individu dengan penyakit kronik seperti

diabetes yang berkelanjutan. Pentingnya follow up secara berkala akan

memperlambat komplikasi yang berkaitan dengan diabetes dalam jangka panjang.


5-6

1
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Diabetes

Diabetes melitus (DM) adalah kelompok gangguan metabolik yang

ditandai dengan kondisi hiperglikemia kronik akibat gangguan pada sekresi

insulin, kerja insulin atau keduanya.1 Terdapat beberapa tipe diabetes yang

diketahui dan umumnya disebabkan oleh suatu interaksi yang kompleks antara

faktor genetik, lingkungan, dan gaya hidup.

Pada umumnya dikenal 2 tipe diabetes, yaitu diabetes tipe 1 (tergantung

insulin), dan diabetes tipe 2 (tidak tergantung insulin). Diabetes tipe 1 biasanya

dimulai pada usia anak-anak sedangkan diabetes tipe 2 dimulai pada usia dewasa.

2.2 Klasifikasi Diabetes

Secara etiologi DM dapat dibagi menjadi DM tipe I, DM tipe II, DM

dalam kehamilan, dan diabetes tipe lain. DM tipe I atau yang dulu dikenal dengan

nama Insulin Dependent Diabetes Melitus (IDDM), terjadi karena kerusakan sel β

pankreas (autoimun). Sel β pankreas merupakan satu-satunya sel tubuh yang

menghasilkan insulin yang berfungsi untuk mengatur kadar glukosa dalam tubuh.

Bila kerusakan sel β pankreas telah mencapai 80-90% maka gejala DM mulai

muncul. 2

DM tipe 2 merupakan 90% dari kasus DM yang dulu dikenal sebagai non

insulin dependent Diabetes Melitus (NIDDM). Bentuk DM ini bervariasi mulai

dari yang dominan resistensi insulin, defisiensi insulin relatif sampai defek sekresi

insulin. Pada diabetes ini terjadi penurunan kemampuan insulin bekerja di

2
jaringan perifer (insulin resisten) dan disfungsi sel β. Akibatnya, pankreas tidak

mampu memproduksi insulin yang cukup untuk mengkompensasi insulin

resistance. Kedua hal ini menyebabkan terjadinya defisiensi insulin relatif.

Kegemukan sering berhubungan dengan kondisi ini. DM tipe 2 umumnya terjadi

pada usia > 40 tahun. Pada DM tipe 2 terjadi gangguan pengikatan glukosa oleh

reseptornya tetapi produksi insulin masih dalam batas normal sehingga penderita

tidak tergantung pada pemberian insulin. Walaupun demikian pada kelompok

diabetes melitus tipe-2 sering ditemukan komplikasi mikrovaskuler dan

makrovaskuler. 2

DM dalam kehamilan (Gestational Diabetes Mellitus - GDM) adalah

kehamilan yang disertai dengan peningkatan insulin resistance (ibu hamil gagal

mempertahankan euglycemia). Pada umumnya mulai ditemukan pada kehamilan

trimester kedua atau ketiga. Faktor risiko GDM yakni riwayat keluarga DM,

kegemukan dan glikosuria. GDM meningkatkan morbiditas neonatus, misalnya

hipoglikemia, ikterus, polisitemia dan makrosomia. Hal ini terjadi karena bayi

dari ibu GDM mensekresi insulin lebih besar sehingga merangsang pertumbuhan

bayi dan makrosomia. Kasus GDM kira-kira 3-5% dari ibu hamil dan para ibu

tersebut meningkat risikonya untuk menjadi DM di kehamilan berikutnya7

Subkelas DM lainnya yakni individu mengalami hiperglikemia akibat

kelainan spesifik (kelainan genetik fungsi sel beta), endokrinopati (penyakit

Cushing’s, akromegali), penggunaan obat yang mengganggu fungsi sel beta

(dilantin), penggunaan obat yang mengganggu kerja insulin (b-adrenergik) dan

infeksi atau sindroma genetik (Down’s, Klinefelter’s).7

3
Ada dua tipe utama dari diabetes melitus8:

1. Diabetes tipe 1, juga disebut insulin dependent diabetes mellitus (IDDM)

disebabkan oleh ketiadaan sekresi insulin oleh sel beta pankreas


2. Diabetes tipe 2, non-insulin dependent diabetes mellitus (NIDDM)

disebabkan oleh penurunan sensitivitas jaringan target terhadap insulin

Tabel 1. Karakteristik klinis pasien dengan Tipe 1 dan 2 Diabetes9

Gambaran Tipe 1 Tipe 2


Onset umur Biasanya < 20 tahun Biasanya >20 tahun
Masa tubuh Rendah-normal Obesitas
Plasma insulin Rendah atau tidak ada Normal- tinggi pada awalnya
Plasma glucagon Tinggi, dapat ditekan Tinggi, resisten terhadap
tekanan
Plasma glucose Meningkat Meningkat
Insulin sensitivity Normal Menurun
Theraphy Insulin Turunkan BB, metformin,
sulfonylurea, insulin
2.3 Epidemilogi

Jumlah penderita diabetes meningkat dari 108 juta tahun 1980 menjadi

422 juta tahun 2014. Prevalensi global diabetes pada dewasa besar dari 18 tahun

meningkat 4.7% pada tahun 1980 menjadi 8.5% pada tahun 2014. Diabetes

menjadi penyebab utama kebutaan, gagal ginjal, serangan jantung, stroke, dan

amputasi tungkai bawah 10

Diabetes Mellitus (DM) adalah salah satu penyebab utama kematian yang

disebabkan oleh karena pola makan/nutrisi, perilaku tidak sehat, kurang aktifitas

fisik dan stres. Menurut laporan Riskesdas 2007, DM menyumbang 4,2%

kematian pada kelompok umur 15-44 tahun di daerah perkotaan dan merupakan

penyebab kematian tertinggi ke-6. Selain pada kelompok tersebut, DM juga

merupakan penyebab kematian tertinggi ke-2 pada kelompok umur 45-54 tahun di

perkotaan (14,7%) dan tertinggi ke-6 di daerah perdesaan (5,8%). Menurut riset

4
yang sama, prevalensi DM di Indonesia pada tahun 2007 sebesar 0,7%

berdasarkan diagnosis dan sebesar 1,1% berdasarkan diagnosis atau gejala.11

2.4 Etiologi

Gambar 2.1 Etiologi dan patofisiologi diabetes tipe 2 di Jepang 7.

Diabetes tipe 2 disebabkan oleh kombinasi faktor genetik yang

berhubungan dengan kekurangan sekresi insulin dan resistensi insulin, dan faktor

lingkungan seperti obesitas, makan terlalu banyak, kurang latihan, merokok,

alkohol, dan usia tua. Diabetes merupakan penyakit multifaktorial yang meliputi

multiple gen dan faktor lingkungan yang bervariasi.7

2.5 Patofisiologi Diabetes Tipe 2

Diabetes Melitus tipe 2 terdiri dari kesatuan gangguan fungsi yang

ditandai dengan hiperglikemia akibat kombinasi dari resistensi kerja insulin,

sekresi insulin yang tidak adekuat, dan sekresi glukagon berlebihan atau tidak

tepat.12

5
Gambar 2.2 Skema Patofisiologi Diabetes Melitus Tipe 2.12

Resistensi insulin pada otot dan liver serta kegagalan sel beta pankreas

telah dikenal sebagai patofisiologi kerusakan sentral dari DM tipe II. Selain otot,

liver dan sel beta, organ lain seperti: jaringan lemak (meingkatnya lipolysis),

gastrointestinal (defisiensi inkretin), sel alpha pankreas (hiperglukogenemia),

ginjal (peningkatan absorbs glukosa), dan otak (resistensi insulin). Delapan organ

penting yang terganggu (ominous octet).

6
Gambar 2.3 The ominous octet

Secara garis besar pathogenesis DM tipe 2 disebabkan oleh delapan hal

(omnius octet)9

a. Kegagalan sel beta pankreas

Pada saat diagnosis DM tipe II ditegakkan, fungsi sel beta sudah sangat

kurang.

b. Liver

Pada DM tipe II terjadi resistensi insulin yang berat dan glukoneogenesis

sehingga produksi glukosa dalam keadaan basal oleh liver HGP (Hepatic

Glucose Production) meningkat.

c. Otot

Pada DM tipe II didapatkan gangguan kinerja insulin yang multiple di

intramioseluler, akibat gangguan fosforilasitirosin sehingga timbul gangguan

7
transport glukosa dalam sel otot, penurunan sintesis glikogen, dan penurunan

oksidasi glukosa.

d. Sel lemak

Sel lemak yang resisten terhadap efek antilipolisis dari insulin,

menyebabkan peningkatan proses lypolisis dan kadar lemak bebas (free fatty

acid) dalam plasma. Peningkatan asam lemak bebas akan merangsang

glukoneogenesis dan mencetuskan resistensi insulin di liver dan otot.

Gangguan pada FFA ini disebut lipotoxicity.

e. Usus

Glukosa yang ditelan memicu respon insulin jauh lebih besar dibanding

kalau diberikan IV. Efek yang dikenal sebagai inkretin ini diperankan oleh 2

hormon yaitu GLP 1 (Glukagon Like Polypeptide 1) dan GIP (Glucose

dependent insulinotropic polyopeptide) pada DM tipe II didapatkan defisiensi

GLP 1 dan resistensi GIP.

f. Sel alpha pankreas

Sel alpha pankreas berperan dalam menghasilkan glukagon yang dalam

keadaan puasa kadarnya didalam plasma meningkat. Glukagon merupakan

antagonis dari insulin.

g. Ginjal

Ginjal menfiltrasi sekitar 163 gram glukosa perhari. Sembilan puluh

persen dari glukosa yang terfiltrasi akan diserap kembali melalui peran SGLT-

2 (Sodium Glucose Co Transport) pada bagian tubulus proksimal. Sedangkan

8
pada 10% lagi akan diabsorbsi oleh SGLT 1 pada tubulus asenden dan

desenden. Sehingga tidak ada glukosa dalam urin.

h. Otak

Otak merupakan penekan nafsu makan yang kuat. Pada individu obesitas

terdapat hiperinsulinemia yang merupakan mekanisme kompensasi dari

resistensi insulin. Sehingga asupan makan akan meningkat akibat adanya

resistensi insulin yang juga terjadi di otak.

2.6 Gejala Klinis

Kebanyakan pasien diabetes mellitus tipe 2 asimptomatik. Manifestasi

klinisnya meliputi (Khardori, 2016) :

a. Gejala klasik : poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan


b. Pandangan kabur
c. Parestesia ekstrimitas bawah
d. Infeksi jamur

2.7 Diagnosis dan Tatalaksana

Kriteria diagnosis oleh American Diabetic Association (ADA) meliputi :



Glukosa plasma puasa (GPP) ≥126 mg/dl (7.0 mmol/L) atau

Glukosa plasma 2 jam setelah makan (post prandial) ≥200 mg/dl (11.1

mmol/dl) selama pemberian 75 g tes toleransi glukosa atau



Glukosa plasma sewaktu ≥200 mg/dl (11.1 mmol/L) pada pasien dengan

gejala klasik hiperglikemia atau krisis hiperglikemik

Cara pelaksanaan TTGO (Tes Toleransi Glukosa Oral ):

9
1. Tiga hari sebelum pemeriksaan tetap makan seperti kebiasaan sehari-hari

(dengan karbohidrat cukup) dan tetap melakukan kegiatan jasmani seperti

biasa.

2. Berpuasa paling sedikit 8 jam (mulai malam hari) sebelum pemeriksaan,

minum air putih tanpa gula tetap diperbolehkan.

3. Diperiksa konsentrasi glukosa darah

4. Diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa) atau 1,75 gram/kgBB (anak-

anak), dilarutkan dalam air 250 mL dan diminum dalam waktu 5 menit

5. Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk pemriksaan 2

jam setelah minum larutan glukosa selesai

6. Diperiksa glukosa darah 2 jam sesudah beban glukosa

7. Selama proses pemeriksaan subyek yang diperiksa tetap istirahat dan tidak

merokok.

Hasil pemeriksaan dibagi menjadi 3, yaitu:



<140 mg/dL : normal

140-<200 mg/dL : toleransi glukosa terganggu

>200 mg/dL : diabetes

Pemeriksaan penyaring dikerjakan pada semua individu dewasa dengan IMT >

25 kg/m2 dengan faktor risiko lain sebagai berikut: 1) aktivitas fisik kurang, 2)

riwayat keluarga mengidap DM pada turunan pertama, 3) masuk kelompok etnis

risiko tinggi (African American, Latino, Native American, Asian American,

Pasific Islander), 4) wanita dengan riwayat melahirkan bayi dengan berat >4000

gram atau riwayat Diabetes Melitus Gestasional (DMG), 5) hipertensi (TD >

10
140/90 mmHg atau sedang dalam terapi obat antihipertensi), 6) kolesterol HDL <

35 mg/dL dan atau trigliserida > 250 mg/dL, 7) wanita dengan sindrom polikistik

ovarium, 8) riwayat toleransi glukosa terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa

terganggu (GDPT), 9) keadaan lain yang berhubungan dengan resistensi insulin,

10) riwayat penyakit kardiovaskular.



Untuk kelompok risiko tinggi yang hasil pemeriksaan penyaringnya

negatif, pemeriksaaan penyaring ulangan dilakukan tiap tahun. Sedangkan

bagi mereka yang berusia > 45 tahun tanpa faktor risiko, pemeriksaan

penyaring dapat dilakukan setiap 3 tahun atau lebih cepat tergantung dari

klinis masing-masing pasien.



Pasien dengan TGT atau GDPT merupakan tahapan sementara menuju

DM. Setelah 5-10 tahun kemudian 1/3 kelompok TGT akan berkembang

menjadi DM, 1/3 tetap TGT dan 1/3 lainnya kembali normal. Pada

kelompok TGT ini risiko terjadinya aterosklerosis lebih tinggi

dibandingkan kelompok normal. TGT sering berkaitan dengan penyakit

kardiovaskular, hipertensi dan dislipidemia. 13

Pilar penatalaksanaan DM

1. Edukasi
Edukasi yang diberikan adalah pemahaman tentang perjalanan

penyakit, pentingnya pengendalian penyakit, komplikasi yang timbul dan

resikonya, pentingnya intervensi obat dan pemantauan glukosa darah, cara

mengatasi hipoglikemia, perlunya latihan fisik yang teratur, dan cara

mempergunakan fasilitas kesehatan. Mendidik pasien bertujuan agar

11
pasien dapat mengontrol gula darah, mengurangi komplikasi dan

meningkatkan kemampuan merawat diri sendiri.


2. Terapi gizi medis
Perencanaan makan yang baik merupakan bagian penting dari

penatalaksanaan diabetes secara total. Diet seimbang akan mengurangi

beban kerja insulin dengan meniadakan pekerjaan insulin mengubah gula

menjadi glikogen. Kebutuhan kalori dilakukan dengan memperhitungkan

kalori basal yaitu 25 (perempuan) – 30 (laki-laki) kalori/kgBB ideal

ditambah atau dikurangi faktor jenis kelamin, umur, aktivitas fisik, berat

badan, dll.14
3. Latihan jasmani
Kegiatan yang dianjurkan adalah intensitas sedang ( 50 – 70 % denyut

nadi maksimal) minimal 150 menit/minggu atau aerobik 75 menit/minggu.


4. Intervensi farmakologis

a. Antidiabetik oral (ADO)

Obat golongan ini ditambahkan bila setelah 4-8 minggu upaya diet

dan olah raga dilakukan, kadar gula darah tetap di atas 200 mg% dan

HbA1c di atas 8%. Jadi obat ini bukan menggantikan upaya diet,

melainkan membantunya.

ADO dibagi menjadi beberapa golongan2 :


1. Pemicu sekresi insulin yaitu sulfonilurea (Glibenklamid,

Glukuidon,dll) dikonsumsi 15 – 30 menit sebelum makan, dan

glinid ( Repaglinid) dikonsumsi sesaat sebelum makan).


2. Peningkatan sensitivitas terhadap insulin yaitu metformin dan

tiazolidindion (Pioglitazone) tidak tergantung jadwal makan.

12
3. Penghambat absorbsi glukosa : penghambat glukosidase alfa

(Acarbose) diminum bersama suapan pertama.


4. DPP-IV inhibitor (Vidagliptin, Linagliptin,dll) dikonsumsi

bersama atau sebelum makan.

Gambar 2.4. Algoritme Pengelolaan DM Tipe 2

b. Insulin

Insulin diperlukan pada keadaan 2 :

1. HbA1c > 9% dengan kondisi dekompensasi metabolik


2. Penurunan berat badan yang cepat
3. Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
4. Krisis Hiperglikemia
5. Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal
6. Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, infark miokard akut,

stroke)
7. Kehamilan dengan DM/Diabetes melitus gestasional yang tidak

terkendali dengan perencanaan makan


8. Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
9. Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO
10.Kondisi perioperatif sesuai dengan indikasi

Berdasarkan lama kerja, insulin terbagi menjadi 5 jenis, yakni :

1. Insulin kerja cepat (Rapid-acting insulin)

13
2. Insulin kerja pendek (Short-acting insulin)
3. Insulin kerja menengah (Intermediate acting insulin)
4. Insulin kerja panjang (Long-acting insulin)
5. Insulin kerja ultra panjang (Ultra long acting insulin)

Efek samping terapi insulin

1. Efek samping utama terapi insulin adalah terjadinya hipoglikemia


2. Efek samping yang lain berupa reaksi alergi terhadap insulin.

Tabel 2.2. Sasaran Pengendalian DM

2.8 Komplikasi

Secara umum kerusakan akibat hiperglikemia dibagi menjadi komplikasi

makrovaskular (penyakit arteri koroner, penyakit arteri perifer, stroke) dan

mikrovaskular (retinopati diabetik, neuropati, dan retinopati).12

4.8.1 Komplikasi Makrovaskular


Mekanisme patologis pada penyakit makrovaskular adalah proses

aterosklerosis, sehingga terjadi penyempitan pembuluh darah. Aterosklerosis

terjadi akibat inflamasi kronik dan injury pada dinding arteri di pembuluh darah

perifer atau koroner. Sebagai respon terhadap kerusakan endotel dan inflamasi,

14
lemak teroksidasi dari LDL berakumulasi pada endotel. Monosit masuk ke

dinding endotel dan berubah menjadi makrofag yang akan memproses lemak yang

berakumulasi, membentuk foam cell. Foam cell menstimulasi proliferasi

makrofag dan menarik sel T limfosit, sel T merangsang proliferasi otot polos pada

dinding arteri dan akumulasi kolagen.


Hasil akhir pada proses ini lesi ateresklerotik kaya lemak dengan fibrous

cap, ruptur dari lesi menyebabkan infark vaskular akut. Dengan terbentuknya

ateroma, terjadi peningkatan adhesi platelet dan hiperkoagulasi. Kekurangan nitrit

oksida dan terdapatnya radikal bebas, dapat meningkatkan agregasi platelet.

Peningkatan level dari plasminogen activator inhibitor type 1 menghalangi

fibrinolisis pada pasien dengan diabetes. Hal ini lah yang menyebabkan terjadinya

cardio vascular disease (CVD) pada pasien. CVD merupakan penyebab primer

kematian pada diabetes tipe 1 dan 2. Faktor lain yang memperberat kejadian CVD

adalah obesitas abdominal, hipertensi, hiperlipidemia, dan peningkatan

koagulasi.15
4.8.2 Komplikasi Mikrovaskular
Risiko berkembangnya retinopati diabetik dan komplikasi lain berkaitan

dengan durasi dan keparahan hiperglikemia. Retinopati dapat berkembang 7 tahun

sebelum pasien didiagnosis diabetes tipe 2. Aldose reductase merupakan enzim

jalur polyol yang berpartisipasi dalam berkembangnya komplikasi ini. Jalur ini

mengubah glukosa menjadi glukosa alcohol (sorbitol), sehingga terjadi akumulasi

sorbitol, hal ini nantinya menyebabkan mikroaneurima dan penurunan perisit.


Nefropati diabetik didefinisikan sebagai proteinuria >500mg dalam 24 jam

pada pasien diabetes, namun ini didahului dengan proteinuria derajat ringan, atau

mikroalbuminuria. Mikroalbuminuria didefinisikan ekskresi albumin 30-

15
299mg/24jam. Perubahan patologis pada ginjal meliputi peningkatan ketebalan

membran basalis, pembentukan mikroaneurisma, pembentukan nodul mesangeal,

dan perubahan lain


4.8.3 Ketoasidosis Diabetikum

Ketoasidosis diabetik (KAD) adalah suatu dekompensasi kekacauan

metabolik yang ditandai oleg trias hiperglikemia, asidosis, dan ketosis, yang

terutama disebabkan oleh defisiensi insulin absolut atau relatif. Ketoasidosis

merupakan akibat dari kekurangan atau inefektivitas insulin yang terjadi

bersamaan dengan peningkatan hormon kontraregulator (glukagon, katekolamin,

kortisol, dan growth hormon). Kedua hal tersebut mengakibatkan perubahan

produksi dan pengeluaran glukosa dan meningkatkan lipolisis dan produksi benda

keton. Hiperglikemia terjadi akibat peningkatan produksi glukosa hepar dan ginjal

(glukoneogenesis dan glikogenolisis) dan penurunan utilisasi glukosa pada

jaringan perifer (Gotera, 2010).

Keadaan hiperglikemia dan kadar keton yang tinggi menyebabkan diuresis

osmotik yang akan mengakibatkan hipovolemia dan penurunan glomerular

filtration rateyang akan memperburuk hiperglikemia. Faktor pencetus tersering

dari KAD adalah infeksi (50%). Pada infeksi akan terjadi peningkatansekresi

kortisol dan glukagon sehingga terjadi peningkatan kadar gula darah yang

bermakna. Faktor lainnya adalah trauma, DM Tipe 1 yang baru diketahui, terapi

insulin inadekuat, ketidakpatuhan berobat, infark jantung, pheochromocytoma

Perubahan metabolik yang khas untuk KAD biasanya tampak dalam

jangka waktu pendek (<24jam). Gambaran klinis klasik termasuk riwayat poliuria,

polidipsia, polifagia, penurunan berat badan, muntah, sakit perut, dehidrasi,

16
lemah, dan koma. Pemeriksaan klinis termasuk turgor kulit menurun, respirasi

Kussmaul, takikardia, hipotensi, perubahan status mental, syok, dan koma.16

Gambar 2.6. Patofisiologi penurunan kesadaran pada penderita DM

Sasaran pengobatan KAD adalah :

1. Memperbaiku volume sirkulasi dan perfusi jaringan.


2. Menurunkan kadar glukosa darah.
3. Memperbaiki asam keton di serum dan urin ke keadaan normal.
4. Mengoreksi gangguan elektrolit.

Penatalaksaan KAD14:

1. Tindakan umum
• Tirah baring
•Oksigen nasal
• NGT untuk mencegah aspirasi bila pasien muntah
• Antibiotik jika terdapat tanda infeksi
2. Rehidrasi cairan
Cairan awal yang dapat digunakan adalah NaCl 0,9% 1-2L diberikan pada

1 jam pertama, selanjutnya 1L NaCl pada jam ke-2, ke-3, dan 0,5 L NaCl

17
pada jam ke-4 dan ke-5. Pergantian cairan dapat menurunkan

konsentrasiglukosa serum melalui perfusi ginjal dan kehilangan glukosa di

urin.
3. Pemberian insulin
Terapi insulin akan memperbaiki hiperglikemia, ketosis, dan asidosis yang

terjadi di KAD. Terapi insulin menghambat glukoneogenesis dan produksi

keton di hati dan menurunkan lipolisis. Terapi insulin tidak boleh diberikan

pada pasien hipotensi sampai tekanan darah stabil dengan terapi cairan. Pada

pasien hipokalemia, insulin diberikan setelah preparat kalium diberikan

sampai kadar kalium serum di atas 3,3 mEq/L.


Regimen standar insulin adalah insulin drip intravena sebanyak 0,1

U/kgBB/jam atau insulin bolus intravena 0.1-0.15 U/kgBB. Glukosa darah

harus dipantau setiap jam, untuk mendapatkan penurunan kadar glukosa

darah sekitar 50-75mg/dl/jam. Ketika glukosa darah turun dibawah 250

mg/dl, cairan dextrose 5% diberikan secara intravena agar pemberian insulin

dapat terus berlanjut tanpa menyebabkan hipoglikemia. Glukosa darah dapat

dijaga dalam kisaran 150-200 mg/dl sampai ketoasidosis teratasi.


4. Koreksi elektrolit
Pemberian kalium harus dimulai bila kalium serum dibawah 5,0 mEq/l

dengan dosis 50 mEq/6jam. Bikarbonat baru diberikan jika pH < 7,1. Jika pH

7,0-7,1 berikan drip 50 mEq. Jika pH <7,0 berikan 100 mEq.


4.8.4 Koma Hiperosmolar Hiperglikemik Non Ketotik

Sindrom hiperosmolar hiperglikemik non ketotik (HHNK) ditandai oleh

hiperglikemia berat, hiperosmolar tanpa disertai ketosis. Hiperglikemia

mengakibatkan timbulnya diuresis osmotik dan menurunnya cairan tubuh total,

yang mengakibatkan keadaan hiperosmolar (Soewondo,2014).

18
Gambar 2.7. Kriteria diagnostik KAD dan HHNK menurut American Diabetes

Association

Gambar 2.8. Patogenesis KAD dan HHNK

Keluhan pasien HHNK adalah rasa lemah, gangguan penglihatan, atau

kaki kejang, mual, muntah, letargi, disorientasi, hingga koma. Pada pemeriksaan

19
fisik ditemukan tanda-tanda dehidrasi berat seperti turgor kulit yang buruk,

mukosa pipi yang kering, mata cekung, dan perabaan ekstremitas dingin.17

Gambar 2.9. Algoritma tatalaksana KAD dan HHNK

HIPOGLIKEMIA

Hipoglikemia adalah keadaan dimana konsentrasi glukosa darah < 60

mg/dl atau <80 mg/dl disertai gejala klinis. Etiologi hipoglikemia adalah

penggunaan obat – obatan diabetes atau insulin yang berlebihan, beta blockers,

20
dll, setelah berpuasa dalam keadaan lama, hipoglikemia reaktif, intake kurang,

infeksi berat, insufisiensi adrenal.14

Diagnosis hipoglikemia memerlukan trias Whipple yaitu18

1. Adanya gejala klinis hipoglikemia


2. Kadar glukosa plasma yang rendah pada saat bersamaan
3. Keadaan klinis segera membaik setelah diberikan glukosa dan kadar

glukosa plasma kembali normal.

Gejala klinis neurogenik akibat peningkatan hormon adrenalin pada tahap

awal.18

1. Gemetaran
2. Kulit lembab dan pucat
3. Rasa cemas
4. Keringat berlebihan
5. Rasa lapar
6. Penglihatan kabur

Gejala lanjutan yang timbul akibat defisiensi glukosa pada jaringan serebral

adalah sulit berpikir, bingung, sakit kepala, kejang-kejang, koma.

Penatalaksanaan.14 :

1. Mencari penyebab
2. Koreksi hipoglikemia

Pasien sadar :

1. Berikan larutan gula murni 20-30 gram ( 2 sendok makan), permen,

sirup, dan makanan yang mengandung karbohidrat.


2. Hentikan obat antidiabetik
3. Pantau gula darah.

Tatalaksana pada stadium lanjut (koma hipoglikemia atau tidak sadar dan curiga

hipoglikemia) menurut Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia:

21
1. Pemberian dekstrosa 40% sebanyak 2 flakon (=50 mL) bolus

intravena,

2. Pemberian cairan dekstrosa 10% per infus selama 6 jam per kolf,

3. Pemeriksaan gula darah sewaktu (GDS) dilakukan setiap 1 jam sekali:

a. Bila pemeriksaan GDS menunjukan < 50 mg/dL, maka

diberikan kembali bolus dekstrosa 40% 50 mL secara

intravena

b. Bila GDS < 100 mg/dL diberikan bolus dekstrosa 40% 25

mL

4. Pemeriksaan GDS pada 1 jam berikutnya:

a. Bila GDS <50 mg/dL, diberikan bolus dekstrosa 40% 50

mL

b. Bila GDS <100 mg/dL, diberikan bolus dekstrosa 40% 25

mL

c. Bila GDS 100-200 mg/dL, tidak diberikan bolus dekstrosa

50%

d. Bila GDS > 200 mg/dL, pertimbangkan penurunan

kecepatan drip dekstrosa 10%

5. Bila GDS > 100 mg/dL sebanyak 3 kali berturut-turut, pemantauan

GDS dilakukan setiap 2 jam dengan protokol sesuai diatas. Bila GDS >

200 mg/dL, pertimbangkan mengganti infus dengan dekstrosa 5% atau

NaCl 0,9%

22
6. Bila GDS > 100 mg/dL sebanyak 3 kali berturut-turut, pemantauan

GDS setiap 4 jam dengan protokol sesuai diatas. Bila GDS > 200

mg/dL, pertimbangkan mengganti infus dengan dekstrosa 5% atau

NaCl 0,9%.

7. Bila GDS > 100 mg/dL sebanyak 3 kali berturut-turut, sliding

scale setiap 6 jam setiap kelipatan 50 diberikan 5 unit insulin dimulai

dari GDS 200 mg/dL. Pada GDS < 200 tidak diberikan insulin, 200-

250 diberikan 5 unit dan pada >350 diberikan 20 unit.

8. Bila hipoglikemia belum teratasi, dipertimbangkan pemberian

antagonis insulin, seperti: adrenalin, kortison dosis tinggi, atau

glukagon 0,5-1 mg IV / IM (bila penyebabnya insulin)

9. Bila pasien belum sadar dengan GDS sekitar 200 mg/dL: hidrokortison

100 mg per 4 jam selama 12 jam atau deksametason 10 mg IV bolus

dilanjutkan 2 mg tiap 6 jam dan manitol 1,5 – 2 g/kgBB IV setiap 6-8

jam. Cari penyebab lain penurunan kesadaran

BAB 3
LAPORAN KASUS

23
Telah dirawat seorang pasien laki-laki 57 tahun di bagian Penyakit dalam
RSUP Dr. M. Djamil Padang sejak tanggal 6 April 2017 pukul 15.05 WIB.

ANAMNESIS
Keluhan Utama :
(autoanamnesis dengan Istri Pasien)
Penurunan kesadaran sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit

Riwayat penyakit sekarang :


- Penurunan kesadaran sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit. Penurunan
kesadaran terjadi secara perlahan-lahan, awalnya pasien masih bisa
berkomunikasi kemudian pasien tidak sadarkan diri, kontak dengan
keluarga tidak bisa dilakukan.
- Riwayat haus-haus, lapar-lapar dirasakan pasien sejak kurang lebih 3
bulan yang lalu. Riwayat sering BAK malam hari disangkal.
- Riwayat penglihatan kabur disangkal
- Batuk berdahak sejak 7 hari yang lalu, hilang timbul, dahak berwarna
putih kekuningan, batuk berdarah tidak ada
- Mual dan muntah tidak ada
- Demam sejak 3 hari yang lalu, demam tidak tinggi, terus-menerus, tidak
berkeringat dan tidak menggigil
- Sesak nafas sejak 5 hari yang lalu. Sesak napas terjadi secara tiba-tiba,
tidak dipengaruhi oleh aktivitas, cuaca, makanan dan obat-obatan. Sesak
napas pada malam hari tidak ada, sering terbangun pada malam hari
karena sesak napas tidak ada.
- Nyeri dada tidak ada, dada berdebar-debar tidak ada
- Riwayat kaki sembab tidak ada
- Kebas dan kesemutan pada tangan dan kaki tidak ada
- Riwayat luka yang tidak sembuh-sembuh tidak ada
- Riwayat gatal-gatal pada daerah lipatan kulit tidak ada
- Riwayat sering keringat malam hari tidak ada
- BAK dan BAB frekuensi, jumlah dan konsistensi biasa
- Pasien mengalami penurunan berat badan kurang lebih 20 kg sejak 2 tahun
ini

24
- Pasien sudah dikenal menderita sakit diabetes melitus sejak kurang lebih 3
bulan yang lalu dan tidak kontrol teratur.

Riwayat penyakit dahulu


 Riwayat pernah minum obat diabetes melitus kurang lebih 2 bulan yang
lalu kemudian berhenti dan tidak dilanjutkan. Nama obatnya lupa.
 Riwayat hipertensi tidak ada
 Riwayat sakit jantung sebelumnya tidak ada
 Riwayat stroke tidak ada
 Riwayat sakit asma tidak ada

Riwayat keluarga
- Pasien tidak mengetahui riwayat dm pada kedua orang tua.
- Nenek pasien menderita diabetes melitus tipe 2

Riwayat Pekerjaan, Sosial, Ekonomi, Kejiwaan dan Kebiasaan


- Pasien bekerja sebagai buruh
- Riwayat minum alkohol tidak ada
- Riwayat merokok selama 27 tahun sebanyak 2 bungkus sehari.

PEMERIKSAAN FISIK UMUM

Keadaan Umum : Sakit berat


Kesadaran : Somnolen
Tekanan Darah : 80/60 mmHg
Keadaan gizi : Sedang
Nadi : 117x/menit
Nafas : 30x/menit

25
Suhu : 37,9°C
BB : 56 kg
TB : 169 cm
Anemis : Tidak ada
Sianosis : Tidak ada
Ikterik : Tidak ada
Edema : Tidak ada

Kulit : turgor baik, perdarahan bawah kulit (-)


KGB :Tidak ditemui pembesaran KGB submandibula,
sternokleidomastoideus, supraklavikula, aksila dan inguinal
Kepala : Normocephal
Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
THT : Tidak ada kelainan
Gigi dan Mulut : Caries (+)
Leher : JVP 5-2 cmH2O, tidak ada pembesaran KGB
Dada : Normochest
Paru
Inspeksi : Gerakan simetris kiri dan kanan saat statis dan dinamis
Palpasi : fremitus tidak dapat dinilai
Perkusi : sonor kiri = kanan
Auskultasi : bronkovesikuler, ronkhi (+) dikedua basal paru, wheezing
(-)
Jantung
Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : iktus kordis teraba di 1 jari medial LMCS RIC V, luas 1 ibu jari,
thrill (-), tidak kuat angkat.
Perkusi : Batas kanan LSD, batas atas RIC II, batas kiri 1 jari medial RIC
V, pinggang jantung
Auskultasi : irama regular, murmur (-), gallop (-)

26
Abdomen :
Inspeksi : Perut tidak tampak membuncit
Palpasi : hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan sulit dinilai
Perkusi : timpani
Auskultasi : bising usus (+) normal

Punggung : nyeri tekan dan nyeri ketok CVA sulit dinilai


Alat kelamin : tidak diperiksa
Anus : tidak diperiksa
Ekstremitas : Udem (-/-), CRT <2’’, reflek fisiologis +/+ , reflek patologis (-/-)

Pulsasi Dextra Sinistra


A. Dorsalis pedis + +
A. Tibialis posterior + +
A. Poplitea + +
A. Femoralis + +

Sensibilitas Dextra Sinistra


Halus Tidak bisa dinilai Tidak bisa dinilai
Kasar Tidak bisa dinilai Tidak bisa dinilai

Ankle brachial index ;


Kiri : 130/120 = 1,08
Kanan : 130/120 = 1,08
Waist/Hip : 79/82 = 0,96
Hasil laboratorium dan pemeriksaan penunjang :
Darah :
Hb : 13,1 g/dl GDS : 672 mg/dl
Ht : 40% Ur/Cr : 61 / 1,4 mg/dl
Leukosit : 23.540 /mm3 SGOT / SGPT : 63/35 u/l
Trombosit : 282.000/mm3 Kesan : glukosa sewaktu meningkat,
Kesan : leukositosis ureum kreatinin meningkat, SGOT
meningkat

27
AGD :
pH : 6,84
pCO2 :18 mmHg
pO2 : 101 mmHg
HCO3- : 3,1 mmol/L
Be ecf :-30 mmol/L
SO2 : 89%
Na/K/Ca : 118/4,2/1,05 mmol/L
Kesan : asidosis

Urinalisis :
Benda keton : ++ (positif 2)
Kesan : Ketonuria

Diagnosis primer
Ketoasidosis diabetikum
Sepsis ec BP

Diagnosis sekunder
DM tipe 2 tidak terkontrol normoweight

Terapi
- Istirahat / MC DD 1300 kkal / O2 3 l/menit
- Protokol KAD
 Rehidrasi NaCl 0,9%
1. 1 jam I : 1000 cc dalam 1/2 jam dilanjutkan dengan 500cc /
1/2 jam
1 jam II : 1000 cc
1 jam III : 500 cc
1 jam IV : 500 cc
1 jam V : 250 cc
2. Pada jam II : bonus insulin 10u yang dilanjutkan dengan
drip insulin 50u dalam NaCl 0,9 % (syringe pump) dengan
kecepatan 5 c/jam
 Cek GDS / jam, bila :
1. GDS < 200 mg/dl : turunkan kecepatan menjadi 2,5 cc/jam

28
2. GDS 200-300 mg/dl stabil selama 12 jam, pertahankan
kecepatan insulin 1-2 cc/jam disertai dengan insulin
koreksional
3. Stop insulin iv jika KAD teratasi, lanjutkan dengan
pemberian insulin fixed dose basal bolus yang disesuaikan
dengan kebutuhan sebelumnya
 Cek kalium/6jam bila :
1. <3 mmol/L : 75 mEq / 6 jam
2. 3-4,5 mmol/L : 50 mEq/ 6jam
3. 4,5-6 mmol/L : 25 mEq/ 6 jam
4. >6 mmol/L : -
- Injeksi ceftriaxone 1x 2 gr
- Injeksi ciprofloksasin 2x 200 mg
- Nebu flumucyl / 8 jam
- Paracetamol 3x 500 mg
- Koreksi nacl 3%
- Koreksi melon 100 meq dalam 100 cc nacl 0,9% dalam 4 jam
- Pasang kateter - balance cairan seimbang

Pemeriksaan Anjuran
- AGD ulang
- Cek faal ginjal (ureum dan kreatinin)
- Cek keton urin ulang
- Cek elektrolit
- Cek GDP,GD2PP
- Cek HbA1C
- Profil Lipid (kolesterol total, HDl, LDL dan Trigliserida)
- Pemeriksaan Kultur sputum
- Ro thoraks PA
- Konsul mata
- Konsul gizi
Follow up
Tanggal 7 April 2017 08.00
S/ penurunan kesadaran (+), sesak nafas (+), demam (+)
O/ KU : sakit berat Kes : somnolen TD : 100/70 mmHg
Nadi : 102x/’’ Nafas : 24x/’’ Suhu : 37,8OC
A/ Ketoasidosis diabetikum perbaikan
DM tipe 2 tidak terkontrol

29
Sepsis ec BP
P/ Drip insulin protokol KAD

Konsul bagian Pulmo


A/ Sepsis ec Bronkopneumonia
KAD
P/ Kultur Sputum
Cek ulang leukosit / 3 hari
Tanggal 7 April 2017 17.00
S/ pasien mulai sadar, sesak nafas (+), demam (+), batuk (+)
O/ KU : sedang Kes : CMC TD : 130/70 mmHg
Nadi : 101x/’’ Nafas : 24x/’’ Suhu : 37,8OC
A/ Ketoasidosis diabetikum perbaikan
DM tipe 2 tidak terkontrol
P/ Ist/ DD1700 kkal
Insulin novorapid 3 x 5 IU dengan dosis koreksi
Insulin Levemir 1 x 20 IU
Cek GDP dan GD2PP + Profil Lipid
Konsul mata
Tanggal 10 April 2017 08.00
S/ sesak nafas (-) ,batuk (+)
O/ KU : sedang Kes : CMC TD : 120/80 mmHg
Nadi : 101x/’’ Nafas : 24x/’’ Suhu : 37,3OC
A/ Ketoasidosis diabetikum perbaikan
DM tipe 2 tidak terkontrol
P/ Ist/ DD1700 kkal
Insulin novorapid 3 x 8 IU dengan dosis koreksi
Insulin Levemir 1 x 20 IU
Cek GDP dan GD2PP + Profil Lipid
Konsul mata
Laboratorium

30
7 April 2017 8 April 2017 9 April 2017 10 April 2017
Na 133 130 127 125
K 3,1 3,5 3,3 3,0
Ca 107 106 106
pH 7,31 7,31 7,37
pCO2 20 15 26
pO2 76 102 91
HCO3- 10,1 7,6 15,0
SO2 94% 97% 97%
Beecf -16,2 -18,7 -10,3
Badan Keton - + -
Hb 13,0
Leukosit 14.370
Trombosit 238.000
GDP 281

BAB 4
DISKUSI

Seorang pasien datang ke RSUP M.Djamil Padang pada tanggal 6 April

2017 dengan keluhan utama penurunan kesadaran sejak 1 hari sebelum masuk

rumah sakit. Dari anamnesa dan pemeriksaan fisik pada pasien didapatkan

diagnosis primer ketoasidosis diabetikum dan diagnosis sekunder DM tipe II tak

terkontrol normoweight.

Diskusi ini akan membahas status pasien sebagai seorang penderita

diabetes mellitus, hubungannya dengan kondisinya saat masuk rumah sakit dan

selama perawatan. Pada pasien ini ditegakkan dengan DM karena dari anamnesis

adanya keluhan klasik DM ditambah dengan hasil pemeriksaan gula darah

sewaktu yang lebih dari 200 mg/dl yaitu 672 mg/dl. Secara genetik, nenek dan

dua saudara pasien telah dikenal menderita diabetes melitus. Sementara itu

ditinjau dari gaya hidup pasien, pasien adalah seorang kenek bus antar provinsi

sehingga aktivitas fisik sangat kurang. Sesuai dengan kepustakaan bahwa diabetes

31
banyak terjadi karena kedua faktor, yaitu faktor yang tidak dapat dimodifikasi

seperti faktor genetik, dan faktor yang dapat diubah yakni gaya hidup,

pengendalian berat badan.

Pasien juga ditegakan dengan KAD dimana pada pasien ditemukan gula

darah >250mg/dl, pH asidosis, serum bikarbonat <18 mEq/L. KAD merupakan

komplikasi metabolik diabetes akut yang serius. Salah satu faktor pemicu utama

terjadinya DKA adalah infeksi, yang pada pasien ini adalah bronkopneumonia

yang didapat dari anamnesis berupa adanya batuk-batuk, sesak dan demam serta

pada pemeriksaan fisik ditemukan suara nafas ronki pada paru kiri dan kanan,

yang diduga menjadi faktor pemicu terjadinya KAD ini. Infeksi yang sering

menjadi pemicu KAD adalah infeksi saluran kemih dan pneumonia. Infeksi

merupakan kondisi stres yang akan meningkatkan sekresi hormon kortisol,

glukagon, epinefrin, norepinefrin akibatnya terjadi lipolisis, meningkatnya

glukoneogenesis yang berdampak pada peningkatan gula darah. Lipolisis akan

menyebabkan meningkatnya benda keton, dan pada pasien ini benda keton

ditemukan positif dua pada urin.

32
DAFTAR PUSTAKA
1. World health organization: Diabetes – Factsheet. 2012.
http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs312/en/index.html
2. PERKENI . Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe
II; 2015.
3. American Diabetes Association: Implications of the United Kingdom
Prospective Diabetes Study. Diabetes Care 2004,27(Suppl 1):28–32.
4. Zucchi P, Ferrari P, Spina ML: Diabetic foot: from diagnosis to therapy. G Ital
Nefrol 2005,22(Suppl 31):S20-S22.
5. UKPDS: Intensive blood-glucose control with sulphonylureas or insulin
compared with conventional treatment and risk of complications in patients
with type 2 diabetes (UKPDS 33). Lancet 1998,352(9131):837–853.
6. Ohkubo Y, Kishikawa H, Araki E, Miyata T, Isami S, Motoyoshi S: Intensive
insulin therapy prevents the progression of diabetic micro-vascular
complications in Japanese patients with non-insulin-dependent diabetes
mellitus: a randomized prospective 6-year study. Diabetes Res Clin Pract
1995,28(2):103–117. 10.1016/0168-8227(95)01064-K
7. Kaku K. 2010. Pathophysiology of type 2 diabetes and its treatment policy.
Journal of the japan medical association.
8. Ozougwu et al. 2013. The pathogenesis and pathophysiology of type 1 and
type 2 diabetes mellitus. Journal of physiology and pathophysiology
9. Guyton AC, Hall JE. 2006. Textbook of Medical physiology. 11 th edition.
Elsevier Inc, New Delhi.
10. WHO. 2016. Diabetes. Diakses pada tanggal 11 April 2017 tersedia di
www.who.int
11. Kemenkes RI. 2012. Profil Kesehatan Indonesia 2012. Jakarta.

33
12. Khardori et al. 2016. Type 2 Diabetes Mellitus. Diakses tanggal 11 April 2017
di www.emedicine.medscape.com
13. Purnamasari D, 2014. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus dalam
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Edisi ke-6. Jakarta: Pusat penerbitan FKUI:
Hlm 2323-27.
14. Priantono D, 2014. Hipoglikemia dalam Buku Kapita Selekta Kedokteran,
Edisi ke-4. Jakarta : Media Aesculapius: Hlm 790-2.
15. Fowler MJ. 2008. Microvaskular and macrovascular complications of
diabetes. Clinical diabetes.volume 26 No.2
16. Gotera W, Budiyasa DG, 2010. Penatalaksanaan Ketoasidosis Diabetik
(KAD). J Peny Dalam; 11 (2) : 126-138.
17. Gotera W, Budiyasa DG, 2010. Penatalaksanaan Ketoasidosis Diabetik
(KAD). J Peny Dalam; 11 (2) : 126-138.
18. Manaf A, 2014. Hipoglikemia dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Edisi
ke-6. Jakarta: Pusat penerbitan FKUI: Hlm 2355-58.
19. Bennett,P. Epidemiology of Type 2 Diabetes Millitus .InLeRoithet.al,
Diabetes Millitus a Fundamental and Clinical Text. Philadelphia: Lippincott
William & Wilkin s. 2008 ;43(1): 544-7.

34

Anda mungkin juga menyukai