Anda di halaman 1dari 43

Case Report Session

Acute Decompensated Heart Failure

Disusun Oleh:

Zulherman 1210311021
Inten Abdillah Putri 1740312069
Novri Ellyza 1740312131

Pembimbing:

dr. Akmal M Hanif, Sp. PD-KKV, MARS, FINASIM

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM


RSUP DR. M. DJAMIL PADANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
2018
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT karena dengan nikmat dan karuniaNya

sehingga penulis dapat menyelesaikan Case Report Session yang berjudul “Acute

Decompensated Heart Failure” sebagai salah satu syarat dalam mengikuti

kepaniteraan klinik di bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUP Dr.M.Djamil Padang

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas.

Penyusunan Case Report Session ini merupakan salah satu syarat dalam

mengikuti kepaniteraan klinik senior di bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUP

Dr.M.Djamil Padang Fakultas Kedokteran Universitas Andalas. Terima kasih penulis

ucapkan kepada dr. Akmal M Hanif, Sp. PD-KKV, MARS, FINASIM sebagai

preseptor dalam kepaniteraan klinik senior ini beserta seluruh jajarannya dan semua

pihak yang telah membantu dalam penyusunan Case Report Session ini.

Penulis menyadari bahwa Case Report Session ini jauh dari sempurna, maka

dari itu sangat diperlukan saran dan kritik untuk kesempurnaan Case Report Session

ini. Penulis berharap agar Case Report Session ini bermanfaat dalam meningkatkan

pengetahuan terutama bagi penulis sendiri dan bagi teman-teman dokter muda yang

tengah menjalani kepaniteraan klinik. Akhir kata, semoga Case Report Session ini

bermanfaat bagi kita semua.

Padang, Januari 2018

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL DEPAN..............................................................................i


KATA PENGANTAR.............................................................................................ii
DAFTAR ISI...........................................................................................................iii
BAB 1 PENDAHULUAN......................................................................................1
1.1 Latar Belakang.................................................................................................. 1
1.2 Batasan Masalah............................................................................................... 2
1.3 Tujuan Penulisan...............................................................................................2
1.4 Metode Penulisan.............................................................................................. 2
1.5 Manfaat Penulisan............................................................................................. 2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA............................................................................ 3
2.1 Definisi................…...........................................................................................3
2.2 Epidemiologi………..……................................................................................4
2.3 Etiologi dan Faktor Risiko………......................................................................5
2.4 Patogenesis dan Patofisiologi……..................................................................... 6
2.5 manifestasi klinis.............................................................. .............................. ..9
2.6 Pmeriksaan penunjang…………........................................................................10
2.7 Diagnosis………………………........................................................................12
2.8 Tatalaksana………….…………........................................................................14
2.9 Prognosis…………….…………........................................................................24
BAB 3 ILUSTRASI KASUS..................................................................................25
BAB 4 DISKUSI…………………………………………………………………...34
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................38

iii
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Gagal jantung merupakan masalah kesehatan yang progresif dengan angka


morbiditas dan mortalitas yang tinggi di Negara maju maupun Negara
berkembang termasuk Indonesia. Usia pasien yang menderita gagal jantung di
Indonesia relative lebih muda dibandingkan dengan pasien di Eropa dan Amerika
disertai dengan tampilan klinis yang lebih berat.1 Diperkirakan hampir 5% pasien
yang dirawat di rumah sakit, 4,7% merupakan pasien wanita dan 5,1% pasien
laki-laki. Insiden gagal jantung dalam setahun diperkirakan sekitar 2,3 – 3,7%
perseribu penderita pertahun. Kejadian gagal jantung akan semakin meningkat di
masa depan karena semakin bertambahnya usia harapan hidup dan
berkembangnya terapi penanganan infark miokard mengakibatkan perbaikan
harapan hidup penderita dengan penurunan fungsi jantung.2

Gagal jantung adalah sindroma klinis yang ditandai dengan gejala gagal
jantung (sesak nafas saat istirahat atau saat melakukan aktifitas disertai atau tidak
kelelahan); tanda-tanda retensi cairan (kongesti paru atau edema pergelangan
kaki); adanya bukti objektif kelainan sruktur atau fungsi jantung saat istirahat.3

Berdasarkan presentasinya, gagal jantung dapat diklasifikasikan menjadi :


1) Gagal jantung akut, dimana onset timbulnya sesak nafas cepat (<24 jam) akibat
kelainan fungsi jantung, gangguan fungsi sistolik, diastolic, irama jantung,
kelebihan preload, kelebihan afterload, dengan gangguan kontraktilitas. Keadaan
ini dapat mengancam jiwa bila tidak di tatalaksana secara cepat. 2) gagal jantung
menahun (kronis), merupakan suatu sindroma klinis yang kompleks akibat
kelainan struktur dan fungsional yang menganggu kemampuan pompa jantung
atau gangguan pada pengisian jantung dan 3) Acute on chronic heart failure.3

European Society of Cardiology (ESC) 2008 membuat klasifikasi gagal


jantung akut dan membaginya menjadi 6 subset yaitu Acute Decompensated Heart

1
Failure (ADHF), Acute pulmonaru edema, hypertensive acute heart failure, syok
kardiogenik, gagal jantung kanan terisolasi, serta acute (de novo) heart failure ec
acute coronary syndrome.8

Tujuan diagnosis dan tatalaksana pada gagal jantung yaitu untuk


mengurangi morbiditas dan mortalitas. Semua gagal jantung harus dicari
penyebabnya dan dikoreksi selain dari pemberian obat gagal jantung itu sendiri.2

1.2 Batasan Masalah


Makalah ini membahas tentang definisi, klasifikasi, etiologi dan faktor
risiko, epidemiologi, patofisiologi, diagnosis, penatalaksaan, prognosis dan
diskusi kasus ADHF.

1.3 Tujuan Penulisan


Penulisan makalah ini bertujuan untuk menambah pengetahuan mengenai
ADHF.

1.4 Metode Penulisan


Metode yang dipakai dalam penulisan makalah ini adalah studi
kepustakaan yang merujuk pada berbagai literatur dan membandingkannya
dengan laporan kasus pasien ADHF.

2
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi dan Klasifikasi

Gagal jantung adalah suatu sindroma klinis komplek yang didasari oleh
ketidakmampuan jantung memompakan darah ke seluruh jaringan tubuh secara
adekuat akibat adanya gangguan struktural dan fungsional jantung9. Sedangkan
gagal jantung akut didefinisikan sebagai serangan cepat atau rapid onset atau
adanya perubahan mendadak gejala atau tanda gagal jantung. Ini merupakan
kondisi yang mengancam jiwa dan memerlukan perhatian medis segera8.

Gagal jantung akut dapat dibedakan menjadi enam jenis klasifikasi klinis,
diantaranya8 :

a. Perburukan atau gagal jantung kronik dekompensasi. Adanya riwayat


perburukan yang progresif pada pasien yang sudah diketahui dan
mendapat terapi sebelumnya sebagai pasien gagal jantung kronik dan
dijumpai adanya kongesti sistemik dan kongesti paru.

b. Edema paru. Pasien dengan respiratory distress yang berat, pernapasan


yang cepat, orthopnea, dan ronki pada seluruh lapangan paru. Saturasi O2
arterial biasanya <90% sebelum mendapat terapi oksigen.

c. Gagal jantung hipertensif, terdapat tanda dan gejala gagal jantung yang
disertai dengan tekanan darah yang tinggi, serta terdapat peningkatan
tonus simpatik seperti takikardia dan vasokonstriksi. Umumnya
memperlihatkan kongesti paru tanpa tanda-tanda kongesti sistemik.

d. Syok kardiogenik, didefinisikan sebagai adanya tanda-tanda hipoperfusi


jaringan yang disebabkan oleh gagal jantung, walaupun setelah preload
dan aritmia berat sudah dikoreksi secara adekuat

e. Gagal jantung kanan terisolasi, ditandai dengan adanya sindrom low out
put tanpa disertai kongesti paru dengan peninggian tekanan vena jugularis

3
dengan atau tanpa hepatomegali dan tekanan pengisian ventrikel kiri
rendah.

f. Sindroma koroner akut (SKA) dan gagal jantung. Adanya gejala gejala
SKA yang menyebabkan gagal jantung.

Gambar 2.1 Klasifikasi klinis gagal jantung akut

2.2 Epidemiologi

Sekitar 1-2% populasi dewasa di negara maju menderita gagal jantung,


dan prevalensinya meningkat ≥ 10% pada usia lebih dari 70 tahun dengan
penderita lebih dari 23 juta jiwa.5,6 Dimana 1 dari 6 pasien usia lebih 65 tahun
yang datang ke layanan primer dengan sesak napas saat aktivitas ditemukan
memiliki gagal jantung. Laki-laki di atas 55 tahun memiliki resiko mendarita
gagal jantung sekitar 33% sedangkan pada wanita 28%. 5

Berdasarkan data PUSDATIN pada tahun 2013 sebesar 530.068 (0,13%)


penduduk Indonesia usia lebih dari 15 tahun yang menderita gagal jantung.7
Penderita gagal jantung di Indonesia memiliki rerata usia lebih muda dengan
klinis yang lebih berat dibandikan dengan Amerika dan Eropa.1

4
2.3 Etiologi

Banyak faktor yang dapat mencetuskan terjadinya gagal jantung akut,


seperti sindrom koroner akut, takiaritmia (seperti atrial fibrilasi, ventricular
tatkikardia), peningkatan yang tinggi pada tekanan darah, infeksi (seperti
pneumonia, endokarditis infeksi, sepsis), bradiaritmia, zat beracun (alcohol,
narkoba), obat (seperti, obat anti inflamasi non steroid, kortikosteroid, cardiotoxic
chemotherapeutics), penyakit paru obstruksif kronik eksaserbasi akut, udem paru,
komplikasi pembedahan, kardiomiopati yang berhubungan dengan stress,
Gangguan metabolic/hormonal (seperti disfungsi tiroid, diabeticketosis, disfungsi
adrenal, kehamilan, abnormalitas peripartum), gangguan serebrovaskular,
penyebab mekanik akut (seperti, trauma dada atau intervensi kardio, diseksi aorta
atau thrombosis).5

Gagal jantung akut paling sering disebabkan oleh hipervolum atau


hipertensi pada gagal jantung diastolik. Perhimpunan Dokter Spesialis
Kardiovaskuler Indonesia (PERKI) dalam buku Pedoman Tatalaksana Gagal
Jantung membagi faktor pencetus dan penyebab gagal jantung menjadi dua, yaitu
keadaan yang menyebabkan gagal jantung secara cepat dan keadaan yang
menyebabkan gagal jantung yang tidak terlalu cepat.1

Keadaan-keadaan yang menyebabkan gagal jantung secara cepat, yaitu:1

a. Gangguan takiaritmia atau bradiaritmia yang berat

b. Sindrom koroner akut

c. Komplikasi mekanis pada sindrom koroner akut (rupture septum


intraventrikuler, akut regurgitasi mitral, gagal jantung kanan)

d. Emboli paru akut

e. Krisis hipertensi

f. Diseksi aorta

g. Tamponade jantung

5
h. Masalah perioperatif dan bedah

i. Kardiomiopati peropartum

Keadaan-keadaan yang menyebabkan gagal jantung yang tidak


terlalu cepat, yaitu:1

a. Infeksi

b. PPOK/Asma eksaserbasi akut

c. Anemia

d. Disfungsi ginjal

e. Ketidakpatuhan berobat

f. Iatrogenik (OAINS, kortikosteroid)

g. Aritmia, bradikardia, dan gangguan konduksi yang tidak menyebabkan


perubahan mendadak laju nadi

h. Hipertensi tidak terkontrol

i. Hiper dan hipotiroidisme

j. Penggunaan narkoba dan alkohol.

2.4 Patofisiologi/ patogenesis

Disfungsi kardiovaskular disebabkan oleh satu atau lebih dari 5 mekanisme


utama di bawah ini:

1. Kegagalan pompa

Terjadi akibat kontraksi otot jantung yang lemah atau inadekuat atau karena
relaksasi otot jantung yang tidak cukup untuk terjadinya pengisian ventrikel.

2. Obstruksi aliran

Terdapat lesi yang mencegah terbukanya katup atau menyebabkan peningkatan


tekanan kamar jantung, misalnya stenosis aorta, hipertensi

6
sistemik, atau koarktasio aorta.

3. Regurgitasi

Regurgitasi dapat meningkatkan aliran balik beban kerja kamar jantung, misalnya
ventrikel kiri pada regurgitasi aorta atau atrium serta pada regurgitasi mitral.

4. Gangguan konduksi yang menyebabkan kontraksi miokardium yang tidak


selaras dan tidak efisien.

5. Diskontinuitas sistem sirkulasi

Mekanisme ini memungkinkan darah lolos, misalnya luka tembak yang

menembus aorta

Beberapa keadaan di atas dapat menyebabkan overload volume atau


tekanan atau disfungsi regional pada jantung yang akan meningkatkan beban kerja
jantung dan menyebabkan hipertrofi otot jantung dan atau dilasi kamar jantung.

Pressure-overload pada ventrikel (misalnya pada hipertensi atau stenosis


aorta) menstimulasi deposisi sarkomer dan menyebabkan penambahan luas area
cross-sectional miosit, tetapi tanpa penambahan panjang sel. Akibatnya, terjadi
reduksi diameter kamar jantung. Keadaan ini disebut pressure-overload
hypertrophy (hipertrofi konsentrik). Sebaliknya, volume-overload hypertrophy
menstimulasi deposisi sarkomer dengan penambahan panjang dan lebar sel.
Akibatnya, terjadi penebalan dinding disertai dilasi dengan penambahan diameter
ventrikel. Penambahan massa otot atau ketebalan dinding yang seiring dengan
penambahan diameter kamar jantung menyebabkan tebal dinding jantung akan
tetap normal atau kurang dari normal.

Terjadinya hipertrofi dan atau dilasi disebabkan karena peningkatan kerja


mekanik akibat overload tekanan atau volume, atau sinyal trofik (missal
hipertiroidisme melalui stimulasi reseptor β-adrenergik) meningkatkan sintesis
protein, jumlah protein di setiap sel, jumlah sarkomer, mitokondria, dimensi, dan
massa miosit, yang pada akhirnya ukuran jantung. Apakah miosit jantung dewasa
memiliki kemampuan untuk mensintesis DNA dan apakah hal ini memungkinkan

7
terjadinya pembelahan sel masih menjadi perdebatan.14 Perubahan molekular,
selular, dan struktural pada jantung yang muncul sebagai respons terhadap cedera
dan menyebabkan perubahan pada ukuran, bentuk, dan fungsi yang disebut
remodelling ventricle (left ventricular atau LV remodeling). Terjadinya
remodelling ventricle merupakan bagian dari mekanisme kompensasi tubuh untuk
memelihara tekanan arteri dan perfusi organ vital jika terdapat beban
hemodinamik berlebih atau gangguan kontraktilitas miokardium, melalui
mekanisme sebagai berikut:

1. Mekanisme Frank-Starling, dengan meningkatkan dilasi preload


(meningkatkan cross-bridge dalam sarkomer) sehingga memperkuat
kontraktilitas.

2. Perubahan struktural miokardium, dengan peningkatan massa otot


(hipertrofi) dengan atau tanpa dilasi kamar jantung sehingga massa
jaringan kontraktil meningkat.

3. Aktivasi sistem neurohumoral, terutama pelepasan norepinefrin


meningkatkan frekuensi denyut jantung, kontraktilitas miokardium, dan
resistensi vaskular; aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron; dan
pelepasan atrial natriuretic peptide (ANP).

Mekanisme adaptif tersebut dapat mempertahankan kemampuan jantung


memompa darah pada tingkat yang relatif normal, tetapi hanya untuk sementara.
Perubahan patologik lebih lanjut, seperti apoptosis, perubahan sitoskeletal,
sintesis, dan remodelling matriks ekstraselular (terutama kolagen) juga dapat
timbul dan menyebabkan gangguan fungsional dan struktural. Jika mekanisme
kompensasi tersebut gagal, maka terjadi disfungsi kardiovaskular yang dapat
berakhir dengan gagal jantung.

Kebanyakan gagal jantung merupakan konsekuensi kemunduran progresif


fungsi kontraktil miokardium (disfungsi sistolik) yang sering muncul pada cedera
iskemik, overload tekanan, dan volume atau dilated cardiomyopathy. Penyebab
spesifik tersering adalah penyakit jantung iskemik dan hipertensi. Terkadang
kegagalan terjadi karena ketidakmampuan kamar jantung untuk relaksasi,

8
membesar, dan terisi dengan cukup selama diastole untuk mengakomodasi
volume darah ventrikel yang adekuat (disfungsi diastolik), yang dapat muncul
pada hipertrofi ventrikel kiri yang masif, fibrosis miokardium, deposisi amiloid,
dan perikarditis konstriktif. Apapun yang mendasari, gagal jantung kongestif
dikarakteristikkan dengan adanya penurunan curah jantung (forward failure) atau
aliran balik darah ke sistem vena (backward failure) atau keduanya

Gagal jantung kiri lebih sering disebabkan oleh penyakit jantung iskemik,
hipertensi, penyakit katup mitral dan aorta, serta penyakit miokardial non-
iskemik. Efek morfologis dan klinis gagal jantung kiri terutama merupakan akibat
dari aliran balik darah ke sirkulasi paru yang progresif dan akibat dari
berkurangnya aliran dan tekanan darah perifer

Gagal jantung kanan yang terjadi tanpa didahului gagal jantung kiri
muncul pada beberapa penyakit. Biasanya gagal jantung kanan merupakan
konsekuensi sekunder gagal jantung kiri akibat peningkatan tekanan sirkulasi paru
pada kegagalan jantung kiri.

Gagal jantung kanan murni paling sering muncul bersama hipertensi


pulmoner berat kronik (cor pulmonale). Pada keadaan ini ventrikel kanan
terbebani oleh beban kerja tekanan akibat peningkatan resistensi sirkulasi paru.
Hipertrofi dan dilatasi secara umum terbatas pada ventrikel dan atrium kanan,
walaupun penonjolan septum ventrikel kiri dapat menyebabkan disfungsi
ventrikel kiri.

2.5 Manifestasi/ gejala klinis

Gambaran klinis gagal jantung akut terbagi menjadi 2 komponen utama


yaitu:

1. Penurunan perfusi organ

Gejala dan tanda menurunnya perfusi organ antara lain: lemah, bingung, hipotensi
(MAP <65), takikardi, dingin, tekanan nadi sempit, oliguria dan peningkatan
ureum kreatinin.

9
2. Gejala dan tanda-tanda kongeti

Gejala dan tanda kongesti meliputi: dipsnea, orthopnea, PND, rongki pada paru,
distemsi vena leher, asites, edema, dan reflux hepatojugular.

Gambar 2.2 Profil klinis pasien dengan gagal jantung akut berdasarkan ada/tidak
kongesti dan ada/tidak hipoperfusi. (esc)

2.6 Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk menunjang diagnosis


gagal jantung akut yaitu:

a. Elektrokardiogram (EKG)

Hasil pemeriksaan EKG pada gagal jantung akut jarang sekali menunjukkan hasil
yang normal. Pemeriksaan ini membantu untuk mengindentifikasi penyakit
jantung yang mendasari dan faktor pencetus (seperti atrial fibrilasi cepat, iskemia
miokardial akut).5 Abnormalitas EKG yang umum ditemukan pada gagal jantung
dapat berupa sinus takikardia, sinus bradikardia, atrial takikardia/ futer/ fibrilasi,
aritmia ventrikel, iskemia/ infark, gelombang Q, hipertrofi ventrikel kiri, blok

10
atrioventrikular, mikrovoltase, dan durasi QRS lebih dari 0,12 detik dengan
morfologi LBBB (left bundle branch block).1

b. Foto toraks

Pemeriksaan foto toraks adalah pemeriksaan yang sangat berguna untuk


mendiagnosis gagal jantung akut. Temuan paling spesifik pada penderita gagal
jantung akut dapat berupa kongesti vena pulmonal, efusi pleura, edema interstitial
atau edem alveolar, dan kardiomegali, tapi hasilnya bisa hampir mendekati normal
pada 20% pasien.5

c. Pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan laboratorium rutin pada pasien yang diduga gagal jantung adalah
pemeriksaan darah perifer lengkap (hemoglobin, leukosit, trombosit), elektrolit,
kreatinin, laju filtrasi glomerulus (GFR), glukosa, tes fungsi hati dan urinalisis.
Abnormalitas pemeriksaan laboratorium yang sering ditemikan pada gagal
jantung yaitu:1

 Peningkatan kreatinin serum (> 150 µ mol/L)

 Anemia (Hb < 13 gr/dL pada laki-laki dan < 12 gr/dL pada
perempuan)

 Hiponatremia (< 135 mmol/L)

 Hiperkalemia (> 5,5 mmol/L)

 Hiperglikemia (>200mg/dL)

 Hiperurisemia (> 500 µmol/L)

 BNP < 100 pg/mL, BNP> 400 pg/mL

 Kadar albumin tinggi (>45 g/L), kadar albumin rendah (< 30 g/L)

 Peningkatan transaminase

 Peningkatan troponin

11
 Tes tiroid abnormal

 Urinalisis : proteinuria, glikosuria, bakteriuria

 INR > 2,5

 Leukositosis, neutrofilik

d. Ekokardiografi

Pemeriksaan ekokardiografi langsung hanya dilakukan pada pasien dengan


hemodinamik yang tidak stabil dan pada pasien dengan kelainan struktural atau
fungsional jantung yang mengancam nyawa.5 Semua pasien gagal jantung akut
harus dievaluasi/ekokardiografi secepat mungkin. Penemuan pada ekokardiografi
bisa langsung menentukan strategi pengobatan.8

2.7 Diagnosis

Diagnosis gagal jantung akut didapatkan berdasarkan gejala – gejala yang ada dan
dari penemuan klinis yang diperoleh dari anamnesa yang tepat, pemeriksaan fisik,
EKG, foto toraks, ekokardiografi, penemuan laboratorium, analisis gas darah dan
biomarker spesifik.9

Kriteria Framingham dapat digunakan untuk diagnosis gagal jantung.


Diagnosis gagal jantung dapat ditegakkan dengan minimal ada 1 kriteria mayor
dan 2 kriteria minor.9

a. Kriteria mayor

 Paroksismal nokturnal dispnea

 Distensi vena leher

 Ronki paru

 Kardiomegali

 Edema paru akut

12
 Gallop S3

 Peninggian tekanna vena jugularis

 Refluks hepatojugular

b. Kriteria minor

 Edema ekskremias

 Batuk malam hari

 Dispnea d’effort

 Hepatomegali

 Penurunan kapasitas vital 1/3 normal

 Takikardia (>120 menit)

Gagal jantung akut dapat dikelompokkan berdasarkan kondisi hemodinamik


pasien. Adanya kongesti digambarkan dengan ‘wet’, dan adanya perfusi yang
rendah digambarkan dengan ‘cold’. Pada ‘warm and dry’ menunjukkan kondisi
hemodinamik yang normal. Pada ‘warm and wet’ dan ‘cold and wet’ dapat
ditemukan pada pasien dengan edema paru akut. Pada ‘warm and wet’
menggambarkan kondisi paru yang mengalami kongesti (dimana terjadinya
volume overload yaitu ronki paru, distensi vena jugularis, dan edema ekstremitas
bawah) akan tetapi perfusi jaringan masih dapat dipertahankan atau ‘warm’.10

Pada ‘cold and wet’ yaitu adanya temuan kongesti, dan gangguan lebih lanjut
pada cardiac output sehingga terjadi vasokonstriksi sistemik, dan ekstremitas
yang dingin atau ‘cold’, dimana telah terjadi penurunan perfusi jaringan). Pasien
dengan ‘cold and wet’ memiliki prognosis lebih buruk daripada pasien dengan
‘warm and wet’. Pada ‘cold and dry’ menggambarkan penurunan perfusi jaringan
‘cold’ yang diakibatkan oleh cardiac output yang rendah namun tanpa adanya
tanda-tanda kongesti vaskular atau ‘dry’. Pasien ‘cold and dry’ dapat muncul
dengan dilatasi ventrikel kiri dan regurgitasi mitral, dimana pasien tersebut

13
mengalami sesak nafas saat aktivitas karena tidak mampu menghasilkan cardiac
output yang adekuat.10

Skema diagnostik pasien yang dicurigai gagal jantung akut dapat dilihat pada
gambar 2.3.

Gambar 2.3 Algoritma diagnostik gagal jantung (perki,2015)

2.8 Penatalaksanaan

Tatalaksana gagal jantung akut menurut tahapan waktunya dibagi menjadi tiga,
yaitu terapi segera, jangka menengah dan sebelum pulang dan jangka panjang.1

1. Segera (UGD/ Unit perawatan intensif)

a. Mengobati gejala

14
b. Memulihkan oksigenasi

c. Memperbaiki hemodinamik dan perfusi organ

d. Membatasi kerusakan jantung dan ginjal

e. Mencegah tromboemboli

f. Meminimalkan lama perawatan intensif

2. Jangka menengah (perawatandi ruangan)

a. Stabilisasi kondisi pasien

b. Inisiasi dan optimalisasi terapi farmakologi

c. Identifikasi etiologi dan komorbiditas yang berhubungan

3. Sebelum pulang dan jangka panjang

a. Merencanakan strategi tindak lanjut

b. Memasukan pasien ke dalam program manajemen penyakit secara


keseluruhan (edukasi, rehab, manajemen gizi, dll )

c. Rencana untuk mengoptimalkan dosis obat gagal jantung

d. Mencegah rehospitalisasi dini

e. Memperbaiki gejalan kualitas hidup dan kelangsungan hidup

f. Memastikan dengan tepat alat bantu (bila memang diperlukan).1

Tatalaksana yang harus dikerjakan pada evaluasi awal pasien sesak nafas yang
dicurigai gagal jantung akut dapat dilihat pada gambar 2.4 dan 2.5 dibawah ini.1

15
Gambar 2.4 Algoritma terapi farmakologis pada pasien yangtelah di diagnosis
gagal jantung akut

16
Gambar 2.5 Algoritma manajemen edema/kongesti paru akut

Dalam pedoman tatalaksana gagal jantung akut oleh perhimpunan dokter spesialis
kardiologi Indonesia 2015, membagi tatalaksana awal berdasarkan gejala penyerta
lainnya, yaitu :1si terapi pasien gagal jantung akut

1. Pasien dengan edema/kongesti paru tanpa syok

a. Diuretika loop (IV) driekomendasikan untuk mengurangi sesak


nafas, dan kongesti. Gejala , urin, fungsi renal dan elektrolit harus
diawasi secara berkala selama penggunaan diuretika IV

b. Pemberian Oksigen dosis tinggi direkomendasikan bagi pasien


dengan saturasi perifer < 90% atau PaO2 < 60 mmHg,untuk
memperbaiki hipoksemia

17
c. Profilaksis tromboemboli direkomendasikan pada pasien yang
belum mendapat antikoagulan dan tidak memiliki kontraindikasi
terhadap antikoagulan, untuk menurunkan risiko deep
veinthrombosis dan emboli paru

d. Pemberian ventilasi non invasive (CPAP, dll) harus


dipertimbangkan bagi pasien dengan edema paru dan pernafasan >
20x/ menit untuk mengurangi sesak nafas, mengurangi hiperkapnia
dan asidosis. Ventilasi non invasive dapat menurunkan tekanan
darah dan tidak dipergunakan pada pasien dengan tekanan darah
sistolik < 85 mmHg

e. Opium (IV) harus dipertimbangkan terutama bagi pasien yang


gelisah, cemas atau distress untuk menghilangkan gejala-gejala
tersebut dan mengurangi sesak nafas. Kesadaran dan usaha nafas
harus diawasi secara ketat, karena pemberian obat ini dapat
menekan pernafasan

f. Pemberian nitrat (IV) harus dipertimbangkan bagi pasien


edema/kongesti paru dengan tekanan darah sistolik > 110 mmHg,
yang tidak memiliki stenosis katup mitral dan atau aorta, untuk
menurunkan tekanan baji kapiler paru dan resistensi vascular
sistemik. Nitrat juga dapat menghilangkan dispnoe dan kongesti.
Gejala dan tekanan darah harus dimonitor secara ketat selama
pemberian obat ini.

g. Infus sodium nitroprusid dapat dipertimbangkan bagi pasien


edema/ kongesti paru dengan tekanan darah sistolik > 110 mmHg,
yang tidak memiliki stenosis katup mitral dan atau aorta, untuk
menurunkan tekanan baji kapiler paru dan resistensi vascular
sistemik. Nitrat juga dapat menghilangkan dispnoe dan kongesti.
Gejala dan tekanan darah harus dimonitor secara ketat selama
pemberian obat ini.

18
h. Obat inotropic TIDAK direkomendasikan kecuali pasien
mengalami hipotensi ( tekanan darah sistolik < 85 mmHg ),
hipoperfusi atau syok, dikarenakan faktor keamanannya (bias
menyebabkan aritmia atrial/ventricular, iskemia miokard dan
kematian)

2. Pasien dengan hipotensi, hipoperfusi atau syok

a. Kardioversi elektrik direkomendasikan bila aritmia ventricular atau


atrial dianggap sebagai penyebab ketidakstabilan hemodinamik,
untuk mengembalikan irama sinus dan memperbaiki kondisi klinis
pasien

b. Pemberian inotropic (IV) harus dipertimbangkan pada paien


dengan hipotensi (tekanan darah sistolik < 85 mmHg) dan atau
hipoperfusi untuk meningkatkan curah jantung, tekanan darah dan
memperbaiki perfusi perifer. EKG harus domonitor secara kontinu
karena inotropic dapat menyebabkan aritmia dan iskmia miokardial

c. Alat bantu sirkulasi mekanik untuk sementara perlu


dipertimbangkan (sebagai ‘jembatan’ untuk pemulihan) pada
pasien yang tetap dalam keadaan hipoperfusi walaupun sudah
mendapat terapi inotropik dengan penyebab yang reversible
(mis.Miokarditis virus) atau berpotensial untuk menjalani tindakan
intervensi (mis. Ruptur septum intraventrikular)

d. Levosimendan (IV) atau penghambat fosfodiesterase dapat


dipertimbangakn untuk mengatasi efek penyekat beta bila
dipikirkan bahwa penyekat beta sebagai penyebab hipoperfusi.
EKG harus dimonitor karena obat ini bias menyebabkan aritmia
dan atau iskemia miokardial dan juga obat ini mempunyai efek
vasodilator sehingga tkanan darah juga harus dimonitor

e. Vasopesor (mis. Dopamine atau norepinefrin) dapat


dipertimbangakan bagi pasien yang mengalami syok kardiogenik,

19
walaupun sudah mendapat inotropic, untuk meningkatkan tekanan
darah dan perfusi organ vital. EKG harus dimonitor karena obat ini
dapat menyebabakan aritmia dan atau iskemia miokardial.
Pemasangan monitor tekanan darah intra-arterial juga harus
dipertimbangkan

f. Alat bantu sirkulasi mekanik untuk sementara juga harus


dipertimbangalan pada pasien yang mengalami perburukan kondisi
dengan cepat sebelum evalusi klinis dan diagnostik lengkap dapat
dikerjakan

3. Pasien dengan Sindroma Koroner Akut

a. Tindakan Intervensi Koroner Perkutaneus Primer (IKPP) atau


Bedah Pintas Arteri Koroner (BPAK) direkomendasikan bila
terdapat elevasi segmen ST atau LBBB baru untuk mengurangi
perluasan nekrosis miosit dan risiko kematian mendadak

b. Alternatif IKPP atau BPAK : trombilitik (IV) direkomendasikan,


bila iKPP/ BPAK tidak dapat dilakukan, pada elevasi segmen ST
atau LBBB baru , untuk mengurangi perluasan nekrosis miosit dan
risiko kematian mendadak

c. IKP dini (atau BPAK pada pasien tertetu) direkomendasikan pada


sindroma kaoroner akut non elevasi segmen ST untuk mengurangi
risiko sindroma koroner akut berulang. Tindakan revaskularisasi
secepat direkomendasikan bagi pasien dengan hemodinamik yang
tidak stabil

d. Antagonis mineralokortikoid direkomendasikan untuk menurunkan


risiko kematian dan perawatan karena masalah cardiovascular pada
pasein dengan fraksi ejeksi < 40%

e. ACE (ARB) direkomendasikan bagi pasien dengan fraksi ejeksi


<40%, setelah kondisi stabil, untuk mengurangi risiko kematian,
infark miokard berulang dan perawatan oleh karena gagal jantung

20
f. Penyekat β direkomendasikan bagi pasien dengan fraksi ejeksi <40
%, setelah kondisi stabil, untuk mengurangi risiko kematian,infark
miokard berulang dan perawatan oleh karena gagal jantung

g. Opiat (IV) harus dipertimbangkan untuk mengurangi nyeri iskemik


yang hebat (dan memperbaiki sesak nafas). Kesadaran dan usaha
nafas harus dimonitor secara ketat karena opiate dapat
menyebabkan depresi pernafasan

4. Pasien dengan Fibrilasi Atrial dan laju ventrikuler yang cepat

a. Pasien harus mendapat antikoagulan (mis.heparin) selama tidak ada


kontraindikasi, segera setelah dideteksi irama fibrilasi atrial, untuk
mengurani risiko tromboemboli

b. Kardioversi elektrik direkomendasikan pada pasien dengan


hemodinamik yang tidak stabil yang diharuskan untuk segera
kembali ke irama sinus, untuk memperbaiki kondisi klinis dengan
cepat

c. Kardioversi elektrik atau farmakologik dengan amiodaron harus


dipertimbangkan pada pasien yang diputuskan untuk kembali ke
irama sinus tetapi( strategi‘kontrol irama’ ). Stretegi ini hanya
ditujukan bagi pasien yang baru pertama kali mengalami fibrialsi
atrial dengan durasi < 48 jam (atau pada pasien tanpa thrombus di
appendiks atrium kiri pada ekokardiografi transesofagus)

d. Pemberian glikosida kardiak harus dipertimbangkan untuk


mengontrol laju ventrikel

e. Antiaritmia kelas I, tidak direkomendasikan karena pertimbangkan


keamanannya (meningkatkan risiko kematian dini), terutama pada
pasien dengan disfungsi sistolik

21
5. Pasien dengan brakikardia berat atau blok jantung

a. Pacu jantung direkomendasikan bagi pasien dengan hemodinamik


yang tidak stabil oleh karena bardikardia berat atau blok jantung,
untuk memperbaiki kondisi klinis pasien

Sebelum pasien dipulangkan, harus dipastikan bahwa episode gagal jantung sudah
teratasi dengan baik, terutama tanda dan gejala kongesti sudah harus hilang, dan
dosis diuretic oral yang stabil sudah tercapai selama minimal 48 jam. Selain itu
regimen obat gagal jantung (ACEI/ ARB, penyekat β dengan atau tanpa MRA
sudah dioptimalkan dosisnya dengan baik, dan yang tidak kalah pentingnya
adalah edukasi kepada pasien dan keluarga.

Berikut ini rekomendasi pencegahan rawat ulang dalam 30 hari untuk gagal
jantung akut: ulang 30-hari

a. Pada pasien yang mengalami gagal jantung akut direkomendasikan untuk


pemberian diuretic secara intra vena, baik bolus maupun infus agar
lebihcepat mencapai status cairan yang baik

b. Pada pasien yang mengalami gagal jantung akut direkomendasikan untuk


pemberian vasodilator bila pasien sudah mendapat diuretic secara
intavena, baik bolus maupun infus, tetapi masih tekanan darah masih
tinggi,agar lebih cepat mencapai status cairan yang baik

c. Pemberian ACEi atau ARB sebaiknya dilakukan pada saat pasien masih
dalam keadaan hipervolumia

d. Penilaian status volum yang dianjurkan

 Pengukuran JVP

 Perabaan hepar

 Penilaian edema tungkai

22
 Ronki halus, bukan merupakan penanda utama status
hipervolumia, terutama pada pasien gagal jantung tingkat lanjut

MRA dapat diberikan lebih awal untuk meningkatkan diuresis dan memperbaiki
angka mortalitas maupun morbiditas.1

Tata laksana gagal jantung akut yang dapat dilakukan di layanan primer dapat
adalah sebagai berikut;11

1. Modifikasi gaya hidup:

a. Pembatasan asupan cairan maksimal 1,5 liter (ringan), maksimal 1 liter


(berat)

b. Pembatasan asupan garam maksimal 2 gram/hari (ringan), maksimal


1gram/hari (berat)

c. Berhenti merokok dan konsumsi alcohol

2. Aktivitas fisik:

a. Kondisi akut berat: tirah baring

b. Kondisi sedang atau ringan: batasi beban kerja sampai 70% – 80% dari
denyut nadi maksimal (220/umur)

3. Tata laksana farmakologi:

a. Terapi oksigen 2 – 4 liter/menit

b. Pemasangan iv line untuk akses dilaknjutan dengan pemberian


Furosemid injeksi 20 – 40 mg bolus

c. Cari pemicu gagal jantung akut

d. Segera rujuk.

Pada pasien dengan gagal jantung akut, dimana kondisi klinis mengalami
perburukan dalam waktu cepat, harus segera dirujuk ke layanan sekunder (Sp.JP
atau Sp.PD) untuk penanganan lebih lanjut.11

23
2.9 Prognosis

Rata-rata perawatan di rumah sakit akibat gagal jantung akut dari The Euro Heart
Study adalah 9 hari. Pasien yang dirawat dengan gagal jantung akut hampir
separuh diantaranya dirawat kembali, paling tidak yaitu sekali pada 12 bulan
pertama. Estimasi kematian dan dirawat kembali pada 60 hari sejak pertama kali
dirawat adalah berkisar antara 30-50%. Kematian di rumah sakit tertinggi pada
pasien dengan syok kardiogenik yaitu berkisar antara 40-60%. Berbeda dengan
pasien gagal jantung akut hipertensif dimana angka kematian di rumah sakit
rendah dan kebanyakan pulang dari rumah sakit dalam keadaan asimtomatik.9

24
BAB 3

ILUSTRASI KASUS

Identitas Pasien

Nama : Ny. PN

Umur : 45 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Tanggal periksa : 13 Januari 2018

Alamat : Sangir, Solok Selatan

Keluhan Utama

Sesak nafas meningkat sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit.

Riwayat Penyakit Sekarang

● Sesak nafas meningkat sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit. Sesak

dirasakan meningkat dengan aktivitas dan hilang saat beristirahat.Sesak

sudah dirasakan sejak 2 bulan yang lalu, dirasakan hilang timbul. Sesak

nafas tidak berbunyi menciut, sesak juga tidak dipengaruhi oleh cuaca dan

makanan.

● Sesak semakin bertambah bila pasien tidur terlentang, sehingga pasien

lebih nyaman tidur dengan dua bantal.

● Pasien sering terbangun karena sesak yang tiba-tiba pada malam hari

● Riwayat sembab di kaki ada sejak 3 bulan yang lalu.

● Penurunan BB disangkal.

● demam tidak ada

● BAB tidak ada sejak 1 minggu SMRS

25
● BAK tidak ada keluhan

Riwayat Penyakit Dahulu

● Riwayat hipertensi (+) sejak 1 tahun yll tidak terkontrol

● Riwayat DM (+) sejak 5 tahun yll tidak terkontrol

● Riwayat dislipidemia disangkal

● Riwayat minum OAT disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga

• Riwayat DM pada keluarga (+)

• Tidak ada anggota keluarga dengan keluhan yang sama


Riwayat Pekerjaan, Sosial, Ekonomi, Kejiwaan, dan Kebiasaan

• Pasien seorang petani


Pemeriksaan Umum

Kesadaran : CMC Keadaan Umum : Sedang

Tekanan darah : 160/ 100 mmHg Keadaan Gizi : Sedang

Nadi : 92 x/menit Tinggi Badan : 148 cm

Suhu : 36,8 oC Berat Badan : 50 kg

Pernapasan : 30 x/menit Edema : ada

Sianosis : tidak ada Anemis : tidak ada

Ikterus : tidak ada

Kulit

Warna : sawo matang

Pigmentasi : tidak ada

Jaringan parut : tidak ada

26
Pertumbuhan rambut : baik

Turgor kulit : baik

Ikterus : tidak ada

Edema : tidak ada

KGB

Submandibula : Tidak ada pembesaran KGB

Leher : Tidak ada pembesaran KGB

Supraklavikula: Tidak ada pembesaran KGB

Ketiak : Tidak ada pembesaran KGB

Kepala

Simetris muka : simetris

Rambut : berwarna hitam dan beruban

Deformitas : tidak ada

Mata

Exoftalmus : tidak ada

Tekanan bola mata : dalam batas normal

Kelopak : dalam batas normal

Konjungtiva : tidak anemis

Sklera : tidak ikterik

Kornea : refleks kornea (+/+)

Pupil : isokor, diameter 3 mm, refleks cahaya (+/+)

Lensa : tidak keruh

Visus : baik

Lapangan penglihatan : tidak terganggu

27
Tanda penyakit grave : tidak ada

Telinga

Lubang : ada

Cairan : tidak ada

Nyeri tekan prosesus mastoideus : tidak ada

Pendengaran : tidak terganggu

Hidung

Bagian luar : deformitas tidak ada

Septum : lurus

Ingus : tidak ada

Penyumbatan : tidak ada

Perdarahan : tidak ada

Mulut

Bibir : pucat tidak ada

Bau pernafasan : bau uremik tidak ada

Gigi : Karies (+)

Faring

Gusi : Berdarah (-), bengkak (-), stomatitis (-), candida (-)

Lidah : simetris

Tonsil : T1 - T1

Leher

Kelenjar getah bening : tidak ada pembesaran

Kelenjar gondok : tidak ada pembesaran

Tekanan vena jugularis : 5 + 0 cmH2O

28
Kaku kuduk : tidak ada

Trakhea : deviasi tidak ada

Tumor : tidak ada

Thoraks

Pembuluh darah : tidak ada venektasi

Bentuk : Normochest

Kulit : spider nevi tidak ada

Paru

Inspeksi : Simetris saat statis dan dinamis, retraksi otot pernafasan tidak ada

Jenis pernapasan abdominal torakal

Kecepatan 30 kali/menit

Palpasi : Fremitus kiri menurun di RIC VI kebawah

Perkusi : Redup pada paru kiri di RIC VI kebawah dan sonor pada paru

kanan

Auskultasi: kanan : Suara nafas vesikuler, ronki (-), wheezing (-)

kiri : suara nafas menurun , ronki (+), wheezing (-)

Jantung

Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat

Palpasi : Iktus kordis teraba, kuat angkat, setinggi RIC V, 1 jari lateral dari

LMCS, luas 2 jari

Perkusi

Kanan : linea parasternalis dekstra

Kiri : 1 jari lateral dari linea midclavikularis sinistra, RIC V

Atas : RIC II, linea parasternalis sinistra

29
Auskultasi: Irama Reguler, frekuensi 92x / menit,

Murmur (-), gallop (-)

Abdomen

Inspeksi : tidak membuncit

Palpasi : Supel, defans muskular tidak ada, nyeri tekan tidak ada,

hepar dan lien tidak teraba

Perkusi : Timpani

Auskultasi : Bising usus (+) normal

Punggung

Inspeksi : simetris kiri dan kanan

Palpasi : redup pada paru kiri di RIC VI kebawah dan sonor pada paru

kanan

Perkusi : nyeri ketok costovertebre tidak ada

Alat Kelamin tidak diperiksa

Anus dan rektum tidak diperiksa

Tangan

Warna : sawo matang

Kuku : tidak ada kelainan

Tremor : tidak ada

Tungkai dan kaki

Luka : tidak ada

Parut : tidak ada

Sendi : dapat digerakkan

Kekuatan :

30
5 5 5 5 5 5

5 5 5 5 5 5

Edema : tidak ada

Varises : tidak ada

Gerakan : baik

Suhu raba : hangat

Refleks

Fisiologis +/+

Patologis -/-

Hasil Laboratorium

Hb : 10 g/dl Gula Darah Puasa: 96mg/dl

Leukosit : 12.890 / mm3 Natrium : 218 mmol/dl

Hematokrit : 31 % Kalium : 2,9 Mmol/dl

Trombosit : 425.000 Klorida : 111 Mmol/dl

Ureum : 47 mg/dl Kreatinin : 2,1 mg/dl

31
Hasil pemeriksaan EKG

Irama : sinus

Frekuensi : 100 kali / menit

Axis : normal

Gel. P : P normal

PR interval : 0,16’’

Komp. QRS : durasi 0,08’’

ST segment : isoelektrik

Gel.T :N

LVH : (+)

RVH : (-)

32
Hasil pemeriksaan Rontgen Thorax

Diagnosis Kerja

• ADHF wet and warm NYHA III

• Bronkopneumonia CAP dengan gagal nafas tipe I

• Efusi pleura bilateral ec CHF

• CKD stg IV ec PGD

• DM tipe 2 tidak terkontrol

• Hipertensi stg II ec esensial

Diagnosis Banding

- CKD stg IV ec nefropati diabetikum

Pemeriksaan Anjuran

- Echocardiografi

Tindakan Pengobatan

33
- Istirahat

- ML DJ II RG II 100 kkal

- Oksigen NRM 10 L/menit

- IVFD NaCL 0,9% 24 jam/kolf

- Drip lasix 5 mg/jam

- Inf ceftriaxon 2x1 gr IV

- PCT 3x500 mg

- Nebu fluimucyl per 8 jam

- Ramipril 1x2,5 mg

- Sprironolacton 1x2 mg

- Simvastatin 1x20 mg

- Amlodipin 1x5 mg

- Inj novorapid 3x8 IV dosis koreksi

- Lactulose 3x1 cth

Prognosis

Quo ad vitam : Dubia at bonam

Quo ad sanationam : Dubia at bonam

Quo ad functionam : Dubia at bonam

34
BAB 4

DISKUSI

Pasien seorang perempuan berusia 45 tahun datang dengan keluhan sesak napas

semakin bertambah berat sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit. Sesak napas dapat terjadi

karena jaringan dalam tubuh tidak mendapatkan suplai oksigen adekuat. Penyebab sesak

napas dapat terjadi akibat gangguan pada sistem sirkulasi, respirasi, atau gangguan metabolik.

Sesak napas pada pasien ini tidak menciut. Sesak awalnya hanya dirasakan saat

beraktifitas berat, namun saat ini pasien sudah merasakan sesak meskipun aktifitas ringan.

Pasien lebih nyaman tidur dengan posisi bantal yang ditinggikan, dan lebih sesak saat tidur

telentang. Pasien juga pernah terbangun karena tiba-tiba sesak nafas pada malam hari. Suara

menciut dapat terjadi apabila terdapat penyempitan saluran napas, Sesak yang terjadi pada

pasien bersifat progresif lambat dan tidak menciut, sehingga sesak yang terjadi kemungkinan

bukan di sebabkan oleh gangguan sistem respirasi.2

Pada ektremitas ada riwayat ditemukan edem pada kedua tungkai. Edem pada pasien

ini terjadi karena kongesti vena sistemik akibat peningkatan tekanan pada atrium kanan yang

menyebabkan peningkatan tekanan hidrostatik vena. Edem perifer biasanya terjadi pada saat

terdapat gagal jantung kanan. Edema lebih tampak pada tungkai bawah karena efek gravitasi,

terutama bila pasien banyak berdiri dan biasanya membaik pada pagi hari karena pasien

berbaring semalaman.

Pasien memiliki riwayat diabetes mellitus yang tidak terkontrol sejak 5 tahun yang

lalu. Riwayat DM merupakan salah satu faktor risiko terjadinya gagal jantung karena keadaan

hiperglikemia kronik yang menyebabkan rusaknya pembuluh darah. Pasien juga memiliki

riwayat hipertensi yang tidak terkontrol sejak 1 tahun yang lalu. Hipertensi merupakan salah

satu factor risiko yang menyebabkan abnormalitas jantung seperti kardiomegali yang bisa

menyebabkan terjadinya gagal jantung.


34
Pada pemeriksaan fisik, didapatkan tekanan darah 160/100 mmHg yang menandakan

adanya hipertensi stage II pada pasien. Tekanan vena jugularis, 5 +0 cmH2O. Pada pasien ini

tidak ada peningkatan tekanan vena jugularis. Jika ditemukan peningkatan vena jugularis, hal

itu disebabkan oleh kongesti vena sistemik akibat penurunan kemampuan pompa ventrikel

kanan.

Pada pemeriksaan jantung dari palpasi dan perkusi didapatkan batas jantung kiri 1 jari

lateral dari LMCS RIC V, yang menandakan kemungkinan adanya pembesaran pada jantung

(kardiomegali). Pada orang dengan jantung normal batas jantung kiri tidak lebih dari sela iga

kelima dan tidak lebih dari 10,5 cm dari tengah sternum. Pada auskultasi irama jantung

regular dan tidak terdapat bising. Pada palpasi paru didapatkan fremitus kiri menurun di RIC

VI kebawah. Pada perkusi didapatkan suara redup pada paru kiri di RIC VI kebawah dan

sonor pada paru kanan. Hal ini menandakan adanya cairan pada bagian tersebut. Pada

auskultasi paru terdengar ronki di paru kiri yang biasanya menandakan kemungkinan adanya

kongesti pada paru. Selain itu suara nafas pada paru kiri juga menurun. Timbulnya ronki pada

paru disebabkan oleh transudasi cairan dari kapiler paru ke ruang interstisial. Hal ini

menandakan adanya peningkatan tekanan hidrostatik di vaskular paru. Peningkatan tekanan

hidrostatik di vaskular paru disebabkan oleh peningkatan aliran darah ke paru yang

kemungkinan disebabkan oleh penurunan kemampuan pompa jantung.7,8

Dari pemeriksaan laboratorium didapatkan kesan anemia ringan, leukositosis.

Leukositosis ini bisa menjadi salah satu penanda terjadinya infeksi dalam tubuh pasien yang

bisa menjadi pencetus terjadinya ADHF.

Dari EKG didapatkan irama sinus, frekuensi 100 kali permenit, aksis normal,

gelombang P normal, PR interval 0,16’’, durasi QRS0,08’’. Tidak terdapat depresi segmen ST

dan T change pada EKG tersebut.

34
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang sesuai dengan

kriteria Framingham. Pada pasien ini didapatkan dari anamnesis adanya PND (paroxysmal

nocturnal dyspneu) yang merupakan kriteria mayor, dan dari anamnesis juga pasien mengaku

sesak bertambah saat aktivitas / DOE (Dyspneu on Effort) dan ada riwayat sembab di kaki /

edema ekstremitas yang merupakan kriteria minor. Pada pemeriksaan fisik didapatkan batas

kiri jantung membesar, ditemukan batas jantung bergeser ke kiri dan ke bawah. Jadi

didapatkan 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor pada pasien, pada kasus ini sudah

memenuhi kriteria diagnosis untuk gagal jantung.

Klasifikasi gagal jantung akut dibagi berdasarkan tampilan klinis yang dinilai dengan 2
indikator yaitu: 1. Volume overload (wet vs dry) sebagai gambaran peningkatan tekanan
pengisian ventrikel kiri, 2. Gejala penurunan cardiac output dengan penurunan perfusi
jaringan (cold vs warm extremities). Sebagai contoh istilah wet didasari adanya bendungan
pada paru yang ditandai dengan ronkhi, distensi JVP, dan edema tungkai, istilah warm
didasari dengan masih baiknya perfusi ke jaringan tubuh ditandai dengan masih hangatnya
ekstremitas. Klasifikasi ini membagi menjadi 4 profil pasien, yaitu: profil A (warm and dry),
profil B (warm and wet), profil L (cold and dry), profil C (cold and wet). Pasien pada kasus
ini termasuk dalam profil B, di mana terdapat bendungan paru dan edema tungkai dengan
perfusi jaringan yang masih baik.5
Berdasarkan New York Heart Assotiation (NYHA) pasien digolongkan kedalam CHF

Fc III (karena keluhan sesak nafas yang dirasakan pasien muncul saat aktifitas ringan dan

berkurang dengan istirahat.

- Pada pasien diberikan terapi berupa anjuran untuk istirahat total, untuk mengurangi

sesaknya. Selama perawatan pasien diberikan Oksigen 10L/menit dan diberikan IVFD

NaCL 0,9% 24 jam/kolf untuk maintanance cairan, Balance cairan sangat diperhatikan

agar tidak terjadi overload cairan pada pasien ini. Pasie juga diberikan drip lasix 5

mg/jam agar overload cairan yang terjadi pada pasien dapat dikurangi. Antibiotik berupa

ceftriakson juga diberikan untuk membantu menyembuhkan penyakit infeksi pada bapak.

Untuk obat hipertensi diberikan amlodipin 1x5 mg, sprironolacton 1x2 mg, ramipril
34
1x2,5 mg. Untuk obat diabetes mellitus diberikan Inj novorapid 3x8 IV dosis koreksi.

34
DAFTAR PUSTAKA

1. PERKI.Pedoman tatalaksana gagal jantung. Indonesian Heart Assosiasion: Jakarta.

2015.

2. Gheorghiade M, Faiez Z, George S, Liviu K, Ileana L, Marvin AK , Barry MM, et al.

Acute Heart Failure Syndromes. Circulation.2005; 112: 212-7.

3. Arini NP. Studi penggunaan obat pada pasien gagal jantung yang rawat inap di rsud

dr. Soetomo Surabaya (Skripsi). Surabaya: Universitas Katolik Widya Mandala; 2015.

4. Kemenkes RI. Riset kesehatan dasar 2013. Kementerian Kesehatan RI: Jakarta. 2013.

5. Ponikowski P, Voors AA, Anker SD, Bueno H, Cleland JGF, Coats AJS, Falk V, et al.

2016 ESC guidelines for diagnostic and treatments of acute and chronic heart failure.

European Heart Journal. 2016; 37(27): 2129-200.

6. Roger VL. Epidemyology of heart failure. Circc Res. 2013; 113: 649-59.

7. Kemenkes RI. Situasi kesehatan jantung. Pusat Data dan Informasi: Jakarta Selatan.

2014.

8. Manurung D. Gagal jantung akut. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,

Simadibrata M, Setiati, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edise ke-5. Jakarta:

Internal Publishing; 2014. 1536-47.

9. Panggabean MM. Gagal jantung. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,

Simadibrata M, Setiati, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edise ke-5. Jakarta:

Internal Publishing; 2014. 1132-5.

10. Lilly LS (editor). Patophysiology of the heart. Edisi ke-5. Philadelpia: Lippicont

Williams& Wikkins; 2011.

11. Ikatan Dokter Indonesia. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan

Kesehatan Primer. Jakarta. 2014.

34
34

Anda mungkin juga menyukai