Anda di halaman 1dari 34

Bed Site Teaching

Kardiotokografi

OLEH :

Hanifa Husna 1740312278


Ummu Hani 1740312300

PRESEPTOR:

dr. H. Defrin, Sp.OG (K)

BAGIAN ILMU OBSTETRI DAN GINEKOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUP DR. M.DJAMIL PADANG
2018
BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Angka morbiditas dan mortalitas perinatal merupakan indikator kualitas pelayanan

obstetri disuatu tempat atau negara. Di dunia, angka mortalitas perinatal sebesar 6 juta

kematian per tahun, dimana 98% terjadi di negara berkembang. Laporan Riskesdas 2007

menunjukkan 97% penyebab kematian perinatal di Indonesia dapat dicegah.1 Salah satu

penyebab mortalitas perinatal yang menonjol adalah hipoksia intra uterin. Kardiotokografi

(KTG) baik intermiten maupun terus-menerus merupakan peralatan elektronik yang dapat

dipergunakan untuk mengidentifikasi janin yang mempunyai resiko mengalami hipoksia dan

kematian intrauterin atau mengalami kerusakan neurologik dengan menilai denyut jantung

janin, sehingga berperan penting dalam pemantauan kesejahteraan janin. KTG sebagian besar

digunakan pada kehamilan dengan risiko tinggi. Pada KTG terdapat tiga bagian besar kondisi

yang dipantau yaitu denyut jantung janin (DJJ), kontraksi rahim dan gerak janin, serta

korelasi diantara ketiga parameter tersebut.2

Pemantauan kesejahteraan janin merupakan hal penting dalam pengawasan janin,

terutama pada saat persalinan. Pemantauan kesejahteraan janin merupakan suatu kompetensi

yang harus dimiliki oleh tenaga medis dan paramedis yang melakukan asuhan antenatal dan

asuhan persalinan. Standarisasi pemantauan sudah merupakan suatu prasyarat yang harus

dipenuhi agar evaluasi keberhasilan atau kegagalan pemantauan kesejahteraan janin yang

dikaitkan dengan luaran perinatal dapat dilaksanakan dengan baik. Bila hal ini dapat

dilakukan dengan baik, diharapkan angka kematian ibu dan perinatal dapat diturunkan.2
1.2 Batasan Masalah

Laporan Kasus ini membahas tentang definisi, metode, syarat, indikasi dan

kontraindikasi, teknik pemeriksaan, dan interpretasi pemeriksaan CTG

1.3 Tujuan Penulisan

Penulisan laporan kasus ini bertujuan untuk menambah pengetahuan penulis mengenai

definisi, metode, syarat, indikasi dan kontraindikasi, teknik pemeriksaan, dan interpretasi

pemeriksaan CTG

1.4 Metode Penulisan

Penulisan laporan kasus ini menggunakan metode tinjauan kepustakaan yang merujuk

kepada berbagai literatur.


BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Mekanisme Pengaturan DJJ

Denyut jantung janin diatur oleh banyak faktor, yaitu:2,5,6

1. Sistem Saraf Simpatis

Distribusi saraf simpatis sebagian besar berada di dalam miokardium. Stimulasi saraf

simpatis, misalnya dengan obat beta-adrenergik, akan meningkatkan frekuensi DJJ,

menambah kekuatan kontraksi jantung, dan meningkatkan volume curah jantung. Dalam

keadaan stress, sistem saraf simpatis berfungsi mempertahankan aktivitas pemompaan darah.

Inhibisi saraf simpatis, misalnya dengan obat propanolol, akan menurunkan frekuensi DJJ dan

sedikit mengurangi variabilitas DJJ.

2. Sistem saraf Parasimpatis

Sistem saraf parasimpatis terutama terdiri dari serabut nervus vagus yang berasal dari

batang otak. Sistem saraf ini akan mengatur nodus SA, nodus VA, dan neuron yang terletak di

antara atrium dan ventrikel jantung. Stimulasi nervus vagus, misalnya dengan asetilkolin akan

menurunkan frekuensi DJJ, sedangkan inhibisi nervus vagus, misalnya dengan atropin, akan

meningkatkan frekuensi DJJ.

3. Baroreseptor

Reseptor ini letaknya pada arkus aorta dan sinus karotid. Bila tekanan darah

meningkat, baroreseptor akan merangsang nervus vagus dan nervus glossofaringeus pada

batang otak. Akibatnya akan terjadi penekanan aktivitas jantung berupa penurunan frekuensi

DJJ dan curah jantung.


4. Kemoreseptor

Kemoreseptor terdiri dari dua bagian, yaitu bagian perifer yang terletak didaerah

karotid dan korpus aortik; dan bagian sentral yang terletak dibatang otak. Reseptor ini

berfungsi mengatur perubahan kadar oksigen dan karbondioksida dalam darah dan cairan

serebrospinal. Bila kadar oksigen menurun dan karbondioksida meningkat, akan terjadi

refleks dari reseptor sentral berupa takikardia dan peningkatan tekanan darah. Hal ini akan

memperlancar aliran darah, meningkatkan kadar oksigen, dan menurunkan kadar

karbondioksida. Keadaan hipoksia atau hiperkapnia akan mempengaruhi reseptor perifer dan

menimbulkan refleks bradikardia. Interaksi kedua macam reseptor tersebut akan

menyebabkan bradikardi dan hipotensi.

5. Susunan Saraf Pusat

Aktivitas otak meningkat sesuai dengan bertambahnya variabilitas DJJ dan gerakan

janin. Pada keadaan janin tidur, aktivitas otak menurun, dan variabilitas DJJ pun akan

berkurang.

6. Sistem Pengaturan Hormonal

Pada keadaan stres, misalnya hipoksia intrauterin, medula adrenal akan mengeluarkan

epinefrin dan nor-epinefrin. Hal ini akan menyebabkan takikardia, peningkatan kekuatan

kontraksi jantung dan hipertensi.

7. Sistem kompleks proprioseptor, serabut saraf nyeri, baroreseptor, stretch

reseptors dan pusat pengaturan

Akselerasi DJJ dimulai bila ada sinyal aferen yang berasal dari salah satu dari tiga

sumber, yaitu (1) proprioseptor dan ujung serabut saraf pada jaringan sendi; (2) serabut saraf

nyeri yang terutama banyak terdapat di jaringan kulit; dan (3) baroreseptor di aorta ascendens

dan arteri karotis, dan stretch reseptors di atrium kanan. Sinyal-sinyal tersebut diteruskan ke
cardioregulatory center (CRC) kemudian ke cardiac vagus dan saraf simpatis, selanjutnya

menuju nodus sinoatrial sehingga timbul akselerasi DJJ.

2.2 Definisi Kardiotokografi

Kardiotokografi (KTG) adalah seperangkat alat elektronik yang digunakan dalam

memantau kesejahteraan janin melaluai penilaian denyut jantung janin (DJJ), kontraksi

uterus, dan gerak janin dalam waktu bersamaan. Kesejahteraan janin menggambarkan

kecukupan oksigenasi dan pertumbuhan janin yang baik, kesehatan ibu, dan volume cairan

amnion yang cukup.2

Pada prinsipnya kardiotokografi berfungsi sebagai pengevaluasi kondisi janin dengan

merekam pola denyut jantung janin dan memantau efek kontraksi uterus. KTG secara luas

digunakan dalam kehamilan untuk memperkirakan kondisi denyut jantung janin, sebagian

besar digunakan pada kehamilan dengan risiko tinggi. Biasanya digunakan pada trisemester

ketiga kehamilan.2,3

2.3. Metode KTG

Terdapat dua metode pemeriksaan kardiotokografi, yaitu:

1. Metode Eksternal (Non-invasif/ tak langsung), dilakukan dengan memasangkan sensor

bertekanan (pressure sensor) yang dipasangkan pada abdomen wanita, dengan posisi

duduk setengah berbaring (bukan terlentang lurus karena dapat menghasilkan temuan

yang keliru). Alat yang dipasang berupa 2 transuder, 1 transuder digunakan untuk

memantau DJJ menggunakan ultrasound, dan 1 transuder lagi untuk menilai kontraksi

rahim. Pada saat ini cara eksternal lebih populer karena bisa dilakukan selama

antenatal ataupun intranatal, praktis, aman, dengan nilai prediktif positif yang kurang

lebih sama dengan cara internal.1,2,3,6,7


Gambar 2.1. Monitor Elektronik Eksternal

2. Metode Internal (Invasif/ langsung), pencatatan langsung dengan cara lain bisa

dilakukan, setelah ketuban pecah dengan menggunakan selang bertekanan yang

dimasukkan ke rongga amnion melalui vagina. Pengamatan janin secara langsung

ataupun internal hanya mungkin setelah ketuban pecah dan serviks agak dilatasi.

Perekaman yang segera dan terus menerus terhadap frekwensi denyut jantung janin,

khususnya dalam hubungannya dengan kontraksi uterus, memberikan suatu

penilaian terhadap kesejahteraan janin. Perubahan pada frekwensi jantung janin

merupakan petunjuk paling awal dari insufisiensi uteroplasenter atau kompresi tali

pusat. Jika kontraksi spontan tidak terjadi pada 30 menit, dapat dirangsang dengan

merangsang puting susu. Variasi denyut jantung yang berkaitan dengan kontraksi
dicatat. Jika janin letargik, maka dapat dirangsang untuk bergerak dengan

melakukan ketukan pada uterus secara lembut.

2.4.Indikasi KTG

Pada kehamilan normal, pemeriksaan KTG pada umumnya bisa diabaikan.

Pada persalinan normal, pemeriksaan ini dilakukan pada kala I, dengan pencatatan

secara intermiten selama 20 menit dengan interval setiap setengah jam. Bila grafiknya

abnormal atau adanya resiko yang baru terlihat, perlu dilakukan pencatatan terus

menerus.

Indikasi pemeriksaan KTG sebelum dan selama persalinan menurut Berg,

yaitu:

1. Indikasi Absolut, dapat dilihat pada tabel 2.1. dibawah ini.

Tabel 2.1. Indikasi absolut pemeriksaan KTG2

No Indikasi Waktu

1 Post maturitas >7 hari Setiap hari

2 Insufisiensi placenta Beberapa kali/hari

3 Hipertonus, imaturitas janin Setiap 4 hari

4 Kontraksi terlampau dini Beberapa kali/hari

5 Berisiko persalinan prematur Setiap 2 hari

6 Diabetes Setiap 1-2 hari

7 Kehamilan ganda Setiap 4 hari

8 Inkompatibilitas Rh Setiap hari s/d setiapminggu

9 Plasenta letak rendah Beberapakali /hari

10 Plasenta previa Setiap 4 hari

11 Perdarahan trimester ke dua Setiap 4 hari

12 Setelah mengalami trauma / kecelakaan Diulang setiap hari/setiap 4 hari


2. Indikasi Relatif, diuraikan dalam tabel 2.2. dibawah ini.

Tabel 2.2. Indikasi relatif pemeriksaan KTG2

No Indikasi Waktu

1 Usia ibu dibawah 18 tahun, diatas 40 tahun Setiap 2 hari

2 Riwayan kehamilan dengan komplikasi Setiap 2-4 hari

3 Oligohidramnion, polihidramnion Setiap 2-4 hari

4 Gerakan janin terasa berkurang Setiap hari

2.5.Kontra Indikasi Pemeriksaan KTG

Sampai saat ini belum ditemukan kontra-indikasi pemeriksaan CTG terhadap ibu maupun

janin. 3

2.6.Syarat Pemeriksaan KTG

Syarat pemeriksaan KTG adalah sebagai berikut:1,5

1. Usia kehamilan ≥ 28 minggu.

2. Ada persetujuan tindakan medik dari pasien secara lisan

3. Punktum maksimum denyut jantung janin (DJJ) diketahui

4. Prosedur pemasangan alat dan pengisian data pada komputer (KTG terkomputerisasi)

sesuai petunjuk dari pabrik.

2.7 Teknik Pemeriksaan

Teknik pemeriksaan KTG adalah sebagai berikut:6

1. Persetujuan tindak medik (informed consent): menjelaskan indikasi, cara pemeriksaan

dan kemungkinan hasil yang akan didapat. Persetujuan tindak medik ini dilakukan

oleh dokter penanggung jawab pasien.

2. Kosongkan kandung kencing.

3. Periksa kesadaran dan tanda vital ibu.


4. Ibu tidur terlentang, bila ada tanda-tanda insufisiensi utero-plasenter atau gawat janin,

ibu tidur miring ke kiri dan diberi oksigen 4 liter/menit.

5. Lakukan pemeriksaan Leopold untuk menentukan letak, presentasi dan punktum

maksimum DJJ.

6. Hitung DJJ selama satu menit; bila ada his, dihitung sebelum dan segera setelah

kontraksi berakhir.

7. Pasang transduser untuk tokometri di daerah fundus uteri dan DJJ di daerah punktum

maksimum.

8. Setelah transduser terpasang baik, beri tahu ibu bila janin terasa bergerak, pencet bel

yang telah disediakan dan hitung berapa gerakan bayi yang dirasakan oleh ibu selama

perekaman KTG.

9. Hidupkan komputer dan alat KTG.

10. Lama perekaman adalah 30 menit (tergantung keadaan janin dan hasil yang ingin

dicapai).

11. Lakukan pencetakkan hasil rekaman KTG.

12. Lakukan dokumentasi data pada komputer (data untuk rumah sakit).

13. Matikan komputer dan mesin KTG. Bersihkan dan rapikan kembali alat pada

tempatnya.

14. Beritahu pada pasien bahwa pemeriksaan telah selesai.

15. Berikan hasil rekaman KTG kepada dokter penanggung jawab atau paramedik untuk

membantu membacakan hasil interpretasi komputer secara lengkap kepada dokter.

2.8 Karakteristik DJJ

Gambaran DJJ dalam pemeriksaan KTG dapat digolongkan ke dalam 2 bagian besar,

yaitu:4,5,6,7,8
a. Denyut jantung janin dasar (baseline fetal heart rate). Yang termasuk di sini adalah

frekuensi dasar dan variabilitas denyut jantung janin saat uterus dalam keadaan

istirahat (relaksasi).

b. Perubahan periodik (reactivity), adalah perubahan DJJ yang terjadi akibat

kontraksi uterus atau adanya gerakan janin.

2.8.1 Frekuensi Dasar DJJ

Frekuensi dasar DJJ adalah frekuensi rata-rata DJJ yang terlihat selama periode 10

menit, tanpa disertai periode variabilitas DJJ yang berlebihan (lebih dari 25 dpm), tidak

terdapat perubahan periodik atau episodik DJJ, dan tidak terdapat perubahan frekuensi dasar

yang lebih dari 25 denyut per menit(dpm). Dalam keadaan normal, frekuensi dasar DJJ

berkisar antara 120 – 160 dpm. Frekuensi dasar DJJ yang lebih dari 160 dpm disebut

takikardia, bila kurang dari 120 dpm disebut bradikardia.4,6

Gambar 2.2 Rekaman hasil KTG normal


Takikardia dapat terjadi pada keadaan hipoksia ringan janin, akan tetapi gambaran

tersebut biasanya tidak berdiri sendiri. Bila takikardia disertai dengan variabilitas DJJ yang

normal, biasanya janin masih dalam keadaan baik. Takikardia dapat juga terjadi oleh sebab

lain yang bukan hipoksia, seperti:4,5,7

- Janin pada kehamilan kurang dari 30 minggu

- Infeksi pada ibu atau janin (khorioamnionitis)

- Anemia janin.

- Ibu gelisah.

- Kontraksi uterus yang terlampau sering

- Ibu hipertiroid

- Obat (atropin, skopolamin, ritrodrin, isoxsuprin, dsb)

- Takiaritmia janin (biasanya diatas 200 dpm)

Gambar 2.3 Gambaran Hasil KTG Takikardi

Bradikardia dapat terjadi sebagai respons awal keadaan hipoksia akut. Pada hipoksia

ringan frekuensi DJJ berkisar antara 100-120 dpm danvariabilitas DJJ masih normal. Hal ini

menunjukkan bahwa janin masih mampu mengadakan kompensasi terhadap stres hipoksia.
Bila hipoksia semakin berat janin akan mengalami dekompensasi terhadap stres tersebut.Pada

keadaan ini akan terjadi bradikardia yang kurang dari 100 dpm, disertai dengan berkurang

atau menghilangnya variabilitas DJJ.6,7,8

Gambar 2.4. Gambaran hasil KTG Bradikardi

Bradikardia yang tidak disertai perubahan gambaran DJJ lainnya bukan petunjuk bahwa

janin mengalami hipoksia. Bradikardia dapat juga disebabkan oleh keadaan lain yang bukan

hipoksia berat, seperti:4,5,6

- Kehamilan posterm

- Hipotermia

- Janin dalam posisi oksiput posterior atau oksiput melintang

Obat (propanolol, analgetika golongan –kain)

- Bradiaritmia janin.
2.8.2 Variabilitas DJJ

Variabilitas DJJ adalah gambaran osilasi ireguler yang terlihat pada rekaman DJJ.

Fisiologi terjadinya variabilitas DJJ diduga akibat adanya keseimbangan interaksi sistem saraf

simpatis (kardioakselerator) dan parasimpatis (kardiodeselerator). Tetapi ada bukti bahwa

variabilitas DJJ terjadi akibat stimulus di daerah korteks serebri yang merangsang pusat

pengatur denyut jantung di batang otak dengan perantaraan nervus vagus.8,9,10

Variabilitas denyut jantung janin yang normal menunjukkan sistem persarafan janin

mulai dari korteks - batang otak - n. vagus dan sistem konduksi jantung semua dalam keadaan

baik. Keadaan hipoksia otak (asidosis/ asiksia janin) akan menyebabkan gangguan

mekanisme kompensasi hemodinamik untuk mempertahankan oksigenasi otak. Dalam

rekaman kardiotokografi akan tampak adanya perubahan variabilitas yang makin lama makin

rendah sampai menghilang (bila janin tidak mampu lagi mempertahankan mekanisme

hemodinamik diatas).8,9

Variabilitas DJJ dapat dibedakan atas 2 bagian, yaitu:5,7,8

a. Variabilitas jangka pendek (short term variability)

Variabilitas ini merupakan perbedaan interval antara denyut yang terlihat pada

gambaran KTG yang juga menunjukkan variasi dari frekuensi antara denyut pada DJJ.

Rata-rata variabilitas jangka pendek DJJ yang normal antara 2-3 dpm. Arti klinis dari

variabilitas jangka pendek masih belum banyak diketahui, akan tetapi biasanya tampak

menghilang pada janin yang akan mengalami kematian dalam rahim.

b. Variabilitas jangka panjang (long term variability)

Variabilitas ini merupakan gambaran osilasi yang lebih kasar dan lebih jelas

tampak pada rekaman KTG dibanding dengan variabilitas jangka pendek. Rata-rata

mempunyai siklus 3-6 kali permenit. Penilaian variabilitas DJJ yang paling mudah
adalah dengan mengukur besarnya amplitudo dari variabilitas jangka panjang (long term

variability). Berdasarkan besarnya amplitudo tersebut, variabilitas DJJ dapat

dikategorikan menjadi:

- Variabilitas normal: amplitudo berkisar antara 5 – 25 dpm

- Variabilitas berkurang: amplitudo 2 – 5 dpm

- Variabilitas menghilang: amplitudo kurang dari 2 dpm

- Variabilitas berlebih (saltatory): amplitudo lebih dari 25 dpm.

Gambar 2.5. Gambaran variabilitas DJJ menurun

Pada hipoksia serebral, variabilitas DJJ akan menghilang apabila janin tidak mampu

mengadakan mekanisme kompensasi hemodinamik untuk mempertahankan oksigenasi

serebral. Dapat disimpulkan bahwa variabilitas DJJ yang normal menunjukkan sistem

persarafan janin mulai dari korteks serebri – batang otak – nervus vagus – dan sistem

konduksi jantung dalam keadaan baik. Variabilitas DJJ akan menghilang pada janin yang

mengalami asidosis metabolic.6


Beberapa keadaan bukan hipoksia yang dapat menyebabkan variabilitas DJJ

berkurang:9,10

- Janin tidur (suatu keadaan fisiologis dimana aktivitas otak berkurang)

- Janin anensefalus (korteks serebri tidak terbentuk)

- Janin preterm (sistem persarafan belum sempurna)

- Obat (narkotik, diazepam, MgSO4, betametason)

- Blokade vagal

- Defek jantung bawaan.

Suatu keadaan dimana variabilitas jangka pendek menghilang sedangkan

variabilitas jangka panjang tampak dominan sehingga tampak gambaran sinusoidal. Hal ini

sering ditemukan pada keadaan berikut.6,8

- Hipoksia janin berat

- Anemia kronik

- Fetal eritroblastosis

- Rh-sensitized

- Pengaruh obat-obat Nisentil, alpha prodine

2.8.3 Perubahan Periodik Denyut Jantung Janin

Beberapa perubahan periodik/episodik DJJ yang dapat dikenali pada pemeriksaan

KTG adalah akselerasi dan deselerasi.6,8,9

a. Akselerasi (accelerations)
Akselerasi adalah peningkatan DJJ sebesar 15 dpm atau lebih, berlangsung selama 15

detik atau lebih, yang terjadi akibat gerakan atau stimulasi janin. Akselerasi yang berlangsung

selama 2 – 10 menit disebut akselerasi memanjang (prolonged acceleration).9,10

Penilaian akselerasi sering digunakan untuk menentukan kesejahteraan janin, dan

merupakan dasar dari pemeriksaan non-stress test (NST). Janin yang tidak menunjukkan

tanda akselerasi DJJ bukan berarti dalam keadaan bahaya, namun merupakan indikasi untuk

pemeriksaan lebih lanjut, seperti contraction stress test (CST) atau penilaian profil biofisik

janin.9,10

Gambar 2.6. Perubahan periodik DJJ – Akselerasi


Gambaran akselerasi yang terlihat pada kontraksi uterus dan deselerasi variabel

menunjukkan adanya kompresi parsial pada tali pusat. Gambaran akselerasi yang menghilang

dapat menjadi pertanda adanyahipoksia janin, apalagi bila disertai dengan tanda-tanda

lainnya, seperti variabilitas djj yang berkurang, takikardia, atau bradikardia. Penting untuk

membedakan antara akselerasi oleh karena kontraksi dan gerakan janin.6,9

b. Deselerasi dini (early decelerations)

Deselerasi dini adalah penurunan DJJ sesaat yang terjadi bersamaan dengan timbulnya

kontraksi. Gambaran penurunan DJJ pada deselerasi dini menyerupai bayangan cermin dari

kontraksi, yaitu timbul dan berakhirnya deselerasi sesuai dengan saat timbul dan berakhirnya

kontraksi. Nadir (bagian terendah) deselerasi terjadi pada saat puncak kontraksi.6,10

Gambar 2.7. Perubahan periodik DJJ – Deselerasi dini

Penurunan DJJ pada deselerasi dini biasanya tidak mencapai 100 dpm. Deselerasi dini

tidak mempunyai arti patologis jika tidak disertai kelainan pada gambaran DJJ lainnya.8,9
Gambar 2.8. Patofisiologi deselerasi dini

Ciri-ciri deselerasi dini yaitu sebagai berikut:7,8

- Timbul dan menghilangnya bersamaan/ sesuai dengan kontraksi

uterus (seolahkontraksi uterus)

- Penurunan amplitudo tidak lebih dari 20 dpm

- Lamanya deselerasi kurang dari 90 detik

- Frekuensi dasar dan variabilitas masih normal

Deselerasi dini sering terjadi pada persalinan normal/fisiologis dimana terjadi

kontraksi uterus yang periodik dan normal. Deselerasi saat ini disebabkan oleh penekanan

kepala janin oleh jalan lahir yang mengakibatkan hipoksia dan merangsang reflex vagal.9,10

c. Deselerasi lambat (late decelerations)

Deselerasi lambat merupakan penurunan DJJ yang terjadi beberapa saat setelah

kontraksi dimulai. Nadir deselerasi terjadi lebih lambat dari puncak kontraksi dan deselerasi

menghilang lebih lambat dari saat menghilangnya kontraksi.6,9,10

Deselerasi lambat yang terjadi berulang seringkali dijumpai pada keadaan insufisiensi

plasenta dan hipoksia janin. Bila deselerasi lambat disertai variabilitas yang berkurang atau

kelainan DJJ lainnya, keadaan tersebut menunjukkan suatu tanda gawat janin (fetal distress),

sehingga perlu segera dilakukan evaluasi dan tindakan lebih lanjut.8,10


Gambar 2.9. Patofisiologi deselerasi lambat

Ciri-ciri deselerasi lambat adalah sebagai berikut:9,10

- Timbulnya sekitar 20-30 detik setelah kontraksi uterus dimulai

- Berakhirnya sekitar 20-30 detik setelah kontraksi uterus menghilang Lamanya kurang

dari 90 detik (rata-rata 40-60 detik)

- Timbul berulang pada setiap kontraksi dan beratnya sesuai dengan intensitas kontraksi

uterus

- Frekuensi dasar denyut jantung janin biasanya normal atau takikardi ringan, akan

tetapi pada keadaan hipoksia yang berat bisa bradikardi

Gambaran deselerasi lambat yang “halus” (penurunan DJJ sangat sedikit) mungkin

sulit dideteksi pada KTG, akan tetapi tetap mempunyai arti patologis (abnormal). Penurunan

aliran darah pada sirkulasi ibu akan menyebabkan janin mengalami hipoksia. Apabila janin

masih mempunyai cadangan O2 yang mencukupi dan masih mampu mengadakan kompensasi

keadaan tersebut, maka tidak tampak adanya gangguan pada gambaran KTG selama tidak ada
stress yang lain. Bila terjadi kontraksi uterus, maka aliran darah ke plasenta akan semakin

berkurang dan akan memperberat keadaan hipoksia janin. Keadaan terakhir ini akan

menyebabkan rangsangan pada kemoreseptor dan n.vagus dan terjadilah deselerasi lambat

tersebut.

Jarak waktu antara timbulnya kontraksi dan terjadinya deselerasi sesuai dengan waktu

yang diperlukan untuk rangsangan kemoreseptor dan n.vagus. pada fase awal, dimana tingkat

hipoksia belum sampai menyebabkan hipoksia otak dan tubuh masih mampu mengadakan

kompensasi untuk mempertahankan sirkulasi otak, variabilitas DJJ biasanya normal. Akan tetapi

bila keadaan hipoksia semakin berat dan berlangsung lebih lama maka jaringan otak akan

mengalami hipoksia. Sebagai akibatnya adalah variabilitas DJJ yang menurun dan akhirnya

menghilang sebelum janin akhirnya mati dalam rahim.6,9,10

Gambar 2.10. Perubahan periodik DJJ - Deselerasi lambat


Penanganan apabila ditemukan deselerasi lambat adalah memberikan infus, ibu tidur

miring, berikan oksigen, menghentikan kontraksi uterus dengan memberikan obat-obatan

tokolitik, dan segera direncanakan terminasi kehamilan dengan seksio sesarea.9

d. Deselerasi variabel (variable decelerations)

Deselerasi variabel mempunyai bentuk yang bervariasi, dan kaitan timbulnya deselerasi

dengan kontraksi juga bervariasi. Deselerasi variabel terjadi akibat kontraksi uterus,terutama

pada partus kala II dan penyebab paling sering adalah kompresi tali pusat pada kehamilan atau

kala I. Kompresi ini bisa oleh karena lilitan tali pusat, tali pusat menumbung, atau

oligohidramnion. Selama variabilitas DJJ masih baik, biasanya janin tidak mengalami hipoksia

yang berarti.10

Penanganan yang dianjurkan pada keadaan ini adalah perubahan posisi ibu, reposisi tali

pusat bila ditemukan adanya tali pusat terkemuka atau menumbung, pemberian oksigen pada ibu,

amnio-infusion untuk mengatasi oligohidramnion bila memungkinkan, dan terminasi persalinan

bila diperlukan.10

Gambar 2.11. Patofisiologi deselerasivariabel


Ciri-ciri deselerasi variabel adalah sebagai berikut:9

- Gambaran deselerasi bervariasi, baik saat timbulnya, lamanya, amplitude maupun

bentuknya

- Saat dimulai dan berakhirnya deselerasi terjadi dengan cepat dan penurunan frekuensi

dasar DJJ (amplitudo) bisa sampai 60 dpm

- Biasanya terjadi akselerasi sebelum (akselerasi predeselerasi) atau sesudah (akselerasi

pascadeselerasi) terjadinya deselerasi variabel

Bila terjadi deselerasi variabel yang berulang terlalu sering, atau deselerasi variabel

memanang (prolonged) harus waspada terhadap kemungkinan terjadinya hipoksia janin

yang berlanjut.

Gambar 2.13. Perubahan periodik DJJ - Deselerasi variabel

Berbeda dengan deselerasi dini dan deselerasi lambat, gambaran deselerasi variabel

berbentuk runcing oleh karena timbul dan menghilangnya deselerasi berlangsung cepat.

Deselerasi variabel digolongkan ke dalam 3 kategori, yaitu sebagai berikut:8,9


- Deselerasi variabel ringan, apabila penurunan DJJ tidak mencapai 80 dpm dan lamanya

kurang dari 30 detik.

- Deselerasi variabel sedang (moderat), apabila penurunan DJJ mencapai 60-80 dpm dan

lamanya antara 30-60 detik.

- Deselerasi variabel berat, apabila DJJ menurun sampai di bawah 60 dpm dan lamanya

lebih dari 60 detik.

Istilah deselerasi variable memanjang (prolonged variable decelerations) digunakan

untuk menyatakan penurunan DJJ lebih dari 30 dpm dan lamanya lebih dari 2,5 menit. Deselerasi

variabel merupakan jenis deselerasi yang paling sering dijumpai, yaitu pada sekitar 50% - 80%

partus kala II; dan kebanyakan tidak berbahaya bagi janin.

2.9. Interprestasi hasil KTG

Terdapat 4 pola KTG yang mungkin terjadi, yaitu:7,9,10

a. Normal/ reaktif

Pola normal/ reaktif menunjukkan bahwa janin tidak mempunyai risiko mati dalam 7-10

hari berikutnya. Frekwensi DJJ normal adalah antara 110 dan 160 dpm dengan

variabilitas batas dasar normal antara 5-15 dpm. Selama pola ini persisten sepanjang

persalinan, prognosis neonatus baik.

b. Non-reaktif

Jika didapati tidak adanya gerakan janin dalam 20 menit, tidak terdapat akselerasi pada

gerakan janin, frekuensi dasar DJJ abnormal (kurang dari 120 dpm atau lebih dari 160

dpm), dan variabilitas DJJ kurang dari 2 dpm.

c. Meragukan
Jika didapati gerakan janin kurang dari 2 kali dalam 20 menit, atau terdapat akselerasi

kurang dari 15 dpm, frekuensi dasar DJJ abnormal, dan variabilitas antara 2 – 5 dpm.

Satu masalah dengan KTG adalah bahwa pola yang normal meramalkan bahwa janin

tidak dalam keadaan yang bahaya, dan pola abnormal tidak memberikan prediksi yang akurat

terhadap bahaya janin.7,9

Contraction Stress test (CST) bertujuan untuk menilai gambaran DJJ dalam hubungannya

dengan kontraksi uterus. CST biasanya dilakukan untuk memantau kesejahteraan janin saat

proses persalinan terjadi (inpartu). Penilaian CST: frekuensi dasar DJJ, variabilitas, dan

perubahan periodik DJJ terkait kontraksi uterus. Interpretasi CST:

a. Negatif

Frekuensi DJJ normal, variabilitas DJJ normal, tidak didapatkan adanya deselerasi lambat,

mungkin ditemukan adanya akselerasi atau deselerasi dini.

b. Positif

Terdapat deselerasi lambat yang berulang pada sedikitnya 50% dari jumlah kontraksi. Terdapat

deselerasi lambat yang berulang, meskipun kontraksi tidak adekuat, variabilitas DJJ kurang atau

menghilang.

c. Mencurigakan

Terdapat deselerasi lambat yang kurang dari 50% dari jumlah kontaksi, terdapat deselerasi

variabel, frekuensi dasar DJJ abnormal. Bila hasil CST mencurigakan, pemeriksaan harus

diulangi dalam 24 jam.

d. Tidak memuaskan
Hasil rekaman tidak representatif, misalnya karena ibu gemuk, gelisah atau gerakan janin

berlebihan, tidak terjadi kontraksi uterus yang adekuat. Pemeriksaan harus diulangi dalam 24

jam.

e. Hiperstimulasi

Kontraksi uterus lebih dari 5 kali dalam 10 menit, lamanya lebih dari 90 detik, seringkali terjadi

deselerasi lambat atau bradikardi.


BAB III

LAPORAN KASUS

IDENTITAS

Nama : Ny. S
Usia : 29 tahun
No MR : 01017339
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : Padang

KELUHAN UTAMA

Pasien usia 29 tahun datang ke bangsal Kebidanan kiriman dari poli dengan diagnosis

G1P0A0H0 gravid 38-39 minggu + VSD

Riwayat Penyakit Sekarang

- Nyeri pinggang menjalar ke ari-ari (-)


- Keluar lendir campur darah dari kemaluan (-)
- Keluar cairan banyak dari kemaluan (-)
- Keluar darah banyak dari kemaluan (-)
- Nyeri dada (-), sesak napas (-), berdebar-debar (-)
- Tidak haid sejak 9 bulan yang lalu
- HPHT : 2 Januari 2018 TP: 9 Oktober 2018
- Gerak anak dirasakan sejak 4 bulan umur kehamilan
- Riwayat hamil muda : mual (-) muntah (-) perdarahan (-)
- Riwayat hamil tua: Mual (+), muntah (+), perdarahan (-)
- ANC setiap bulan ke dr. SpOG sejak kehamilan 5 minggu, lalu tiap minggu pada
kehamilan 8-9 bulan
- Riwayat menarche: umur 14 tahun, durasi 6-8 hari, siklus 28 hari, ganti pembalut 2-
3x/hari, nyeri perut (-)

Riwayat Gravid/Persalinan/Abortus:

Riwayat kehamilan sebelumnya (-)

Riwayat Penyakit Dahulu

- Pasien memiliki riwayat Ventricular Septal Defect (VSD)


- Pasien tidak pernah menderita penyakit paru, hati, ginjal, DM, dan tekanan darah tinggi
- Pasien tidak memiliki riwayat alergi
Riwayat Penyakit Keluarga

- Ayah menderita diabetes melitus


- Tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit menular, dan penyakit kejiwaan.
Riwayat Pekerjaan, Sosial Ekonomi, Kejiwaan & Kebiasaan

- Riwayat Perkawinan : 1 kali tahun 2017


- Riwayat Kontrasepsi : tidak ada
- Riwayat Pendidikan : tamat PT
- Riwayat Pekerjaan : wiraswasta
- Riwayat Kebiasaan : minum alkohol tidak ada, narkoba tidak ada, merokok tidak ada

Pemeriksaan Fisik (6 Maret 2018)

Keadaan Umum : Tampak sakit sedang


Kesadaran : Composmentis kooperatif
Vital Sign
TD : 120/70 mmHg
HR : 82 x/i
RR : 18 x/i
T : 36,7 oC
Berat Badan sebelum hamil: 55 kg
BMI sebelum hamil : 22,03
Berat Badan saat ini : 70 kg
Tinggi Badan : 158 cm
Status Generalisata
Kepala : normocephal
Rambut : warna hitam, tidak mudah rontok
Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Hidung : tidak ditemukan kelainan
Telinga : tidak ditemukan kelainan
Mulut : tidak ditemukan kelainan
Leher : JVP 5-2 cm H2O
Kelenjar tiroid tidak teraba pembesaran
Kelenjar getah bening tidak teraba pembesaran
Thorax
Paru
Inspeksi : paru simetris kiri dan kanan dalam keadaan statis dan dinamis
Palpasi : fremitus kiri sama dengan kanan
Perkusi : sonor pada kedua paru
Auskultasi : vesikuler kedua paru, ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Jantung
Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : iktus kordis teraba 1 jari medial LMCS RIC V
Perkusi : batas jantung atas: RIC II, kanan: LSD, kiri: 1 jari medial LMCS RIC V
Auskultasi : S1S2 reguler, gallop (-), murmur (+) di RIC IV
Aksila : tidak ada pembesaran KGB
Abdomen : Status obstetri
Genitalia : Status Obstetri
Anus : tenang
Inguinal : tidak ada pembesaran KGB
Ekstremitas : akral hangat, CRT<2 detik, udem (-/-), varises (-/-), refleks fisiologis
(+/+), refleks patologis (-/-)
Status Obstetri
Wajah : Kloasma gravidarum (-)
Mammae : Membesar dan menegang, hiperpigmentasi aerola dan
Papilla mammae (+)
Abdomen :
I : Perut tampak membuncit sesuai usia kehamilan
striae gravidarum (+) , hiperpigmentasi linea mediana (+)
Pal : L1 : Fundus uteri teraba 2 jari dibawah umbilikus
Teraba massa besar, lunak, noduler
L2 : Teraba tahanan terbesar janin di sebelah kanan ibu
Teraba bagian terkecil janin di sebelah kiri ibu
L3 : Teraba massa bulat, keras dan terfiksir
L4 : Divergen
TFU : 31 cm
His (-)
Pe : timpani
Au : DJJ 150-160x/menit
Genitalia :
I : V/U tenang PPV (-)

Pemeriksaan Labor Rutin (10-9-2018)


Hb : 11,6 gr/dl
Leukosit : 7100/mm3
Trombosit : 287.000
Hematokrit : 30%
PT : 10,7
APTT : 33,3
GDS : 100
Ur/Cr : 12/0,5
Na/K/ Cl/Ca : 136/4,7/109/9,7
Alb/Glb : 3,6/2,7
Protein total : 6,3
Bilirubin total : 0,3
SGOT/SGPT : 12/10

ELEKTROKARDIOGRAFI (31-5-2018)
Sinus rhytm, QRS rate 90x/I, axis N, P wave N, PR int 0,16, ST-T change (-), LVH (-), RVH (-)

ECHOCARDIOGRAFI (31-5-2018)
VSD perimembran diameter 0,5-0,7 cm L-R shunt, EF 71%, katup baik, kontraktilitas RV baik

USG (8/10/2018)
Janin hidup tunggal intrauterin presentasi kepala
Aktivitas gerak janin baik
Biometri : BPD 89,3 mm
FL 72,8 mm
AC 32,88 mm
HL 64,1 mm
SDAV 23,2 mm
EFW 3073 gr
FHR 149 x/i
Plasenta tertanam di korpus posterior grade II-III

Kesan : Gravid 37 – 38 minggu sesuai biometri


Janin hidup tunggal intrauterin presentasi kepala
Kardiotocografi

Baseline : 130 – 140 dpm

Variabilitas : 5-10 dpm

Akselerasi : ada, sporadis

Deselerasi : tidak ada

Kesan : Reaktif

DIAGNOSA KERJA
G1P0A0H0 gravid 38-39 minggu + VSD

TATALAKSANA
Kontrol KU, VS, PPV, DJJ
Rencana sectio caesarea pada 16 Oktober 2018

Follow Up 15/10/2018 19.00 WIB

S/ Nyeri pinggang menjalar ke ari-ari (-)


Keluar lendir campur darah (-)
Keluar cairan banyak (-)
Keluar darah banyak (-)
O/ KU : sedang Nadi : 80x/menit
Kes : CMC Nafas : 18x/menit
TD : 120/80 Suhu : 36,7
Mata : konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-
Abdomen : His (-)
DJJ 134-140x
Genitalia : I : v/u tenang, perdarahan pervaginam (-)
DAFTAR PUSTAKA

1. Jahja R. Perinatal mortality in Indonesia: an unfinished agenda. Health, Culture, and


Society 2011;1(1): 2-21
2. Manuaba, Chandranita, Manuaba F. Pengantar Kuliah Obstetri. Jakarta: Penerbit buku
kedokteran EGC, 2007;76 – 88.
3. Ferrara L, Manning F. Grand Rounds : Is the non-stress test still useful?Contemporary
Obgyn, February 2005.
4. Fundal height measurement. Copyright 1999, 2004 Gerard M. DiLeo, M.D.,F.A.C.O.G
5. Taber B. Kapita Selekta: Kedaruratan Obstetri dan Ginekologi. Jakarta: Penerbit buku
kedokteran EGC 1994.
6. Karsono B. Kardiotokografi : Pemantauan Elektronik Denyut JantungJanin. Bagian
Obstetri dan Ginekologi FKUI/RSUPN Dr. CiptoMangunkusumo, Jakarta.
7. National Institute for Clinical Excellence. The use of electronic fetalmonitoring.UK, 2003.
Diunduh dari http://www.nice.org.uk pada Oktober 2018
8. Parer JT. Handbook of fetal heart rate monitoring. Philadelphia:W.B Saubders, 1993
9. Freeman RK, Garite TJ, Nageotte MP, Miller LA.Fetal Heart Rate Monitoring.4th ED.
Lippincott, Williams & Wilkins, 2012.
10. Endjun JJ, Santana S, Resistantie N. Standarisasi pemantauan kesejahteraan janin.
Pengalaman RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad/FK UPN Veteran. PIT POGI, Balikpapan,
2008.

Anda mungkin juga menyukai