Anda di halaman 1dari 21

Clinical Science Session

KELAINAN PADA PAYUDARA

Oleh:

Larisa Rahana Putri 1740312079

Novri Ellyza 1740312131

Preseptor:

Dr. dr. Dovy Djanas, Sp.OG (K)

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

BAGIAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI

RSUP DR. M. DJAMIL PADANG

2018
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ................................................................................................ii


BAB 1 PENDAHULUAN ...........................................................................1
1.1 Latar Belakang .........................................................................................1
1.2 Batasan Masalah ......................................................................................2
1.3 Tujuan Penulisan .....................................................................................2
1.4 Metode Penulisan ....................................................................................2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA .................................................................3
2.1 Payudara...................................................................................................3
2.1.1 Anatomi Payudara….......................................................................3
2.1.2 Patologi…........................................................................................4
2.2 Mastitis.....................................................................................................5
2.2.1 Definisi dan Epidemiologi…..........................................................5
2.2.2 Etiologi dan Faktor Risiko…..........................................................5
2.2.3 Patofisiologi…................................................................................8
2.2.4 Diagnosis….....................................................................................9
2.2.5 Tatalaksana…................................................................................10
2.2.6 Komplikasi…................................................................................13
2.2.7 Prognosis…...................................................................................14
2.3 Penyakit Fibrokistik ..............................................................................15
2.4 Neoplasma Jinak ...................................................................................15
2.5 Neoplasma Ganas..................................................................................17
BAB 3 KESIMPULAN ............................................................................18
DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................19

ii
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Tahun 2005 Word Health Organization (WHO) menyebutkan bahwa
jumlah kasus infeksi payudara yang terjadi pada wanita seperti kanker, tumor,
mastitis, penyakit fibrokustik terus meningkat dimana 12% diantaranya
merupakan infeksi payudara berupa mastitis pada wanita postpartum.Mastitis
merupakan suatu proses peradangan pada satu atau lebih segmen payudara yang
mungkin disertai infeksi atau tanpa infeksi. Berdasarkan sifat radang, dapat
dibedakan menjadi radang granulomatosa spesifik dan tidak spesifik. Mastitis
tidak spesifik dapat bersifat akut yang apabila tidak tersembuhkan akan masuk ke
tahap kronik membentuk radang granulomatosa dengan atau tanpa sarang abses
mikro. Mastitis tidak spesifik akut paling sering ditemukan saat laktasi akibat
fisura puting oleh trauma yang disebabkan isapan bayi atau karena hygiene yang
buruk. Mastitis diperkirakan dapat terjadi pada 3-20% ibu yang menyusui.

Di Indonesia diperkirakan wanita yang terdiagnosis mastitis adalah


berjumlah 876.665 orang. Studi terbaru menunjukkan kasus mastitis meningkat
hingga 12-35% pada ibu yang puting susunya pecah dan tidak diobati dengan
antibiotik. Namun, bila minum obat antibiotik pada saat puting susunya
bermasalah kemungkinan untuk terkena mastitis hanya sekitar 5% (Setyaningrum,
2008). Penyebab utama mastitis adalah stasis ASI dan infeksi. Adapun faktor
predisposisi yang menyebabkan mastitis diantaranya adalah umur, paritas,
serangan sebelumnya, melahirkan, gizi, faktor kekebalan dalam ASI, stress dan
kelelahan, pekerjaan di luar rumah serta trauma.

Dua hal yang perlu diperhatikan pada kasus mastitis adalah pertama,
karena mastitis biasanya menurunkan produksi ASI dan menjadi alasan ibu untuk
berhenti menyusui. Kedua, mastitis berpotensi meningkatkan transmisi vertikal
pada beberapa penyakit. Sebagian besar mastitis terjadi dalam 6 minggu pertama
setelah bayi lahir (paling sering pada minggu ke-2 dan ke-3), meskipun mastitis
dapat terjadi sepanjang masa menyusui bahkan pada wanita yang sementara tidak
menyusui. 1,2,3
1.2 Batasan Masalah
Makalah ini membahas tentang definisi, epidemiologi, etiologi, faktor
risiko, patofisiologi, diagnosis, tatalaksana, komplikasi, dan prognosis kelainan
pada payudara.

1.3 Tujuan Penulisan


Makalah ini bertujuan untuk menambah pengetahuan pembaca dan penulis
tentang kelainan pada payudara.

1.4 Metode Penulisan


Makalah ini ditulis dengan menggunakan metode tinjauan pustaka yang
merujuk dari berbagai literatur.

2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Payudara
2.1.1 Anatomi Payudara

Gambar 1. Anatomi Payudara6


Secara umum, payudara terdiri atas dua jenis jaringan yaitu jaringan
kelenjar dan jaringan stromal. Jaringan kelenjar meliputi lobus dan duktus.
Sedangkan jaringan stromal meliputi jaringan lemak dan jaringan ikat.
Payudara terdapat dalam fasia superfisialis dinding torak ventral yang
berkembang menonjol tegak dari subklavikula sampai dengan costae atau
intercostae kelima sampai keenam. Payudara terdiri dari 15 sampai 25 lobus
kelenjar tubuloalveolar yang dipisahkan oleh jaringan ikat padat interlobaris.
Setiap lobus akan bermuara ke papila mammae melalui duktus laktiferus.
Dalam lobus payudara terdapat lobulus–lobulus yang terdiri dari duktus
intralobularis yang dilapisi oleh epitel kuboid atau kolumnar rendah dan pada
bagian dasar terdapat mioepitel kontraktil.6
Perdarahan jaringan payudara berasal dari arteri perforantes anterior
yang merupakan cabang dari arteri mammaria interna, arteri torakalis lateralis,

3
dan arteri interkostalis posterior. Sedangkan, sistem limfatik payudara terdiri
dari pleksus subareola dan pleksus profunda. Pleksus subareola mencakup
bagian tengah payudara, kulit, areola dan puting yang akan mengalir kearah
kelenjar getah bening pektoralis anterior dan sebagian besar ke kelenjar getah
bening aksila. Pleksus profunda mencakup daerah muskulus pektoralis menuju
kelenjar getah bening rotter, kemudian ke kelenjar getah bening subklavikula
atau route of Grouzsman, dan 25% sisanya menuju kelenjar getah bening
mammaria interna10.

2.1.2 Patologi
Pada dasarnya kelainan patologi payudara dapat digolongkan menjadi
empat golongan besar yaitu kelainan kongenital, infeksi, kelainan akibat
ketidakseimbangan hormonal, dan neoplasma10.
Kelainan kongenital tidak diketahui dengan pasti etiologinya, tetapi
segala sesuatu yang bersifat menimbulkan kegagalan secara total maupun
parsial perkembangan somatik payudara akan berakibat kurang atau gagalnya
pembentukan komponen payudara. Kelainan kongenital dapat berupa
agenesis, hipoplasia dan hipotrofi, polythelia atau jumlah puting susu yang
berlebihan, polymastia atau terdapat lebih dari sepasang payudara, dan lain–
lain11.
Kelainan payudara akibat ketidakseimbangan hormon terutama
hormon estrogen disebut hyperestrenisme. Kelainan ini akan menimbulkan
penyimpangan pertumbuhan dan komponen jaringan payudara yang disebut
mammary dysplasia pada wanita dan gynecomastia pada pria. Bila terdapat
bentuk kista yang tidak teratur baik letak maupun ukurannya dan disertai
peningkatan unsur jaringan ikat ekstralobular akan didapatkan fibrokistik
payudara10. Lesi jinak pada wanita terbanyak adalah fibroadenoma yang
terjadi pada rentang usia 20–55 tahun. Sedangkan lesi ganas terbanyak adalah
karsinoma duktal invasif dengan prevalensi pada umur lebih dari 45 tahun dan
pada masa menopause. Sebagian besar lesi mamma terdiri dari satu atau lebih
benjolan yang bentuk dan ukuran sangat bervariasi. Benjolan ini dapat
berbatas tegas maupun tidak, nodul tunggal atau multipel, lunak atau keras,

4
dapat digerakkan dari dasarnya atau tidak. Hal ini yang dapat membantu
membedakan lesi jinak atau lesi ganas pada payudara12,13.

2.2 Mastitis
2.2.1 Definisi dan Epidemiologi
Mastitis adalah peradangan payudara yang biasa terjadi pada masa
nifas atau sampai 3 minggu setelah persalinan.1 Hal yang perlu diperhatikan
pada kasus mastitis adalah menurunnya produksi ASI sehingga akan menjadi
alasan ibu untuk berhenti menyusukan bayinya. Sebagian besar mastitis terjadi
dalam 6 minggu pertama setelah bayi lahir (paling sering pada minggu ke-2
dan ke-3), meskipun mastitis juga dapat terjadi sepanjang masa menyusui.4
The American Society memperkirakan sebanyak 241.240 wanita
Amerika Serikat didiagnosa dengan mastitis, di Kanada sebanyak 24.600
orang, dan di Australia sebanyak 14.791 orang. Indonesia memperkirakan
wanita yang didiagnosa mastitis berjumlah 876.665 orang. Studi terbaru
menunjukkan kasus mastitis meningkat hingga 12-35% pada ibu dengan
puting susu lecet dan tidak diobati dengan antibiotik. Mengonsumsi antibiotik
pada saat puting susu bermasalah atau lecet kemungkinan untuk mengalami
mastitis hanya sekitar 5%.4
2.2.2 Etiologi dan Faktor Risiko
Penyebab tersering dari mastitis adalah sumbatan saluran susu atau
statis ASI serta terjadinya infeksi dapat menyebabkan mastitis, sehingga
menyebabkan pengeluaran ASI yang kurang sempurna5
a) Statis ASI
Statis ASI terjadi jika ASI tidak dikeluarkan dengan efisien dari
payudara ibu. Hal ini terjadi jika payudara terbendung segera setelah
melahirkan, atau setiap saat jika bayi tidak minum ASI. Kenyutan bayi yang
buruk pada payudara, pengisapan yang tidak efektif karena frenulum bayi
yang pendek, pembatasan frekuensi atau durasi menyusui dapat menyebabkan
sumbatan pada saluran ASI. Situasi lain yang mempengaruhi predisposisi
terhadap stasis ASI, termasuk suplai ASI yang sangat berlebihan, atau

5
menyusui untuk kembar dua atau lebih. Berikut faktor-faktor penyebab stasis
ASI:

1. Bendungan payudara
Kondisi ini sering terjadi bila bayi yang tidak disusui segera setelah
lahir. Pentingnya pengeluaran ASI yang segera pada tahap awal mastitis,
atau kongesti, untuk mencegah perkembangan penyakit dan pernbentukan
abses. Isapan bayi adalah sarana pengeluaran ASI yang efektif.
2. Frekuensi menyusui
Tahun 1952, Illingworth dan Stone menemukan bahwa dalam uji
coba dengan kontro1, bahwa insiden stasis ASI dapat dikurangi hingga
setengahnya bila bayi disusui sesering mungkin. Hubungan antara
pembatasan frekuensi dan durasi menyusui dan mastitis telah diuraikan
oleh beberapa penulis. Banyak wanita menderita mastitis bila mereka tidak
menyusui atau bila frekuensi menyusui berkurang karena bayi tidur
semalaman, sehingga waktu antar menyusui semakin lama.
3. Pengisapan pada payudara
Pengisapan yang buruk menyebabkan pengeluaran ASI menjadi
tidak efisien, hal ini merupakan faktor predisposisi utama mastitis.
Penyebab nyeri dan trauma puting yang tersering adalah pengisapan yang
buruk pada payudara, kedua kondisi ini dapat terjadi bersama-sama. Selain
itu, nyeri puting akan menyebabkan ibu menghindar untuk menyusui pada
payudara yang sakit dan karena itu mencetuskan stasis ASI dan
bendungan.

6
Gambar 2. Pengisapan ASI dan Posisi Menyusui4

4. Sisi yang disukai dan pengisapan yang efisien


Banyak ibu merasa lebih mudah untuk menyusui bayinya pada satu
sisi payudara dibandingkan dengan payudara yang lain. Selain itu juga
dikatakan bahwa pengisapan yang tidak tepatdapat menyebabkan stasis
ASI dan mastitis yang lebih mungkin terjadi pada sisi payudara yang lebih
sulit untuk menyusui.

5. Faktor mekanis lain


- Frenulum yang pendek (tounge tie) pada bayi mengganggu pengisapan
pada payudara dan menyebabkan puting luka dan pecah-pecah. Hal ini
juga mengurangi efisiensi pengeluaran ASI dan predisposisi untuk
mastitis.
- Pakaian yang ketat dan posisi tidur telungkup.

7
b) Infeksi
Organisme yang paling sering ditemukan pada mastitis dan abses
payudara adalah golongan koagulase-positif seperti Staphylococcus aureus,
Staphylococcus albus, Escherichia coli, dan Streptococcus5.
Kolonisasi bakteri pada bayi dan payudara adalah proses normal yang
terjadi segera setelah lahir. Saluran susu ibu dan nasofaring bayi terkolonisasi
oleh berbagai organisme, beberapa di antaranya potensial bersifat patogenik,
seperti Staphylococcus aureus. Namun, kehadiran bakteri-bakteri tersebut tidak
dengan sendirinya menyebabkan mastitis. Bila ibu melakukan kontak yang erat
dengan bayinya segera setelah lahir, ibu memindahkan organisme saluran
napas dan kulit dari strainnya kepada bayinya. Organisme ini tumbuh dan
membentuk populasi pada usus, kulit, dan saluran napas bayi. Bila organisme
flora komensal terbentuk, pertumbuhan bakteri patogen terhambat. Proses ini
dikenal sebagai interferensi bakterial, telah digunakan secara luas pada keadaan
klinis untuk mencegah dan mengendalikan wabah infeksi bentuk Staph.aureus
yang lebih virulen. Karena itu, dukungan untuk menyusui dan memeluk,
kontak kulit dini antara ibu dan bayinya, dan rawat gabung, merupakan cara
yang paling alami dan efisien untuk mencegah penyebaran infeksi, termasuk
penyebaran organisme yang bertanggung jawab untuk mastitis.5
Bagaimana infeksi memasuki payudara belum diketahui. Beberapa
jalur yang diduga, yaitu melalui duktus laktiferus ke dalam lobus, dengan
penyebaran hematogen dan melalui fisura puting susu ke dalam sistem limfatik
periduktal. Frekuensi fisura puting susu telah dilaporkan meningkat dengan
adanya mastitis.5
2.2.3 Patofisiologi Mastitis
Mastitis diawali dengan terjadinya peningkatan tekanan di dalam
duktus akibat dari stasis ASI. Bila ASI tidak segera dikeluarkan maka akan
terjadi tegangan alveoli yang berlebihan dan mengakibatkan sel epitel yang
memproduksi ASI menjadi datar dan tertekan, sehingga permeabilitas jaringan
ikat meningkat. Beberapa komponen terutama protein kekebalan tubuh dan
natrium dari plasma masuk ke dalam ASI selanjutnya ke jaringan sekitar sel
sehingga memicu respons imun.7

8
Stasis ASI menyebabkan munculnya respons inflamasi, dan kerusakan
jaringan, sehingga akan memudahkan terjadinya infeksi. Terdapat beberapa
cara masuknya kuman yaitu melalui duktus laktiferus ke lobus sekresi, melalui
puting yang retak atau lecet ke kelenjar limfe sekitar duktus (periduktal) atau
melalui hematogen. Pada umumnya yang dianggap porte d’entrée dari kuman
penyebab ialah puting susu yang luka atau lecet, dan kuman perkontinuitatum
menjalar ke duktulus-duktulus dan sinus. Sebagian besar yang ditemukan pada
pembiakan pus ialah Staphylococcus aureus.7
2.2.4 Diagnosis
Anamnesis :
a) Mastitis akut
Pada proses awal peradangan penderita hanya merasa nyeri setempat pada
salah satu lobus payudara dan terasa lebih berat jika bayi menyusu.
b) Mastitis kronis
Hampir selalu orang yang datang sudah dalam keadaan abses. Proses dari
tingkat radang ke abses berlangsung sangat cepat, dimana peradangan dari
duktulus akan menyebabkan edema dari kelenjar, sehingga ASI akhirnya
terbendung, dan air susu yang terbendung ini akan segera bercampur dengan
nanah jika terinfeksi oleh kuman.8

Pemeriksaan fisik :
Pada pemeriksaan tanda-tanda vital ibu yang mengalami mastitis biasanya
mengalami peningkatan suhu tubuh hingga lebih dari 380C. Payudara biasanya
berwarna kemerahan, bengkak, nyeri tekan, lecet pada putting susu, dan
terdapat nanah jika terjadi abses. Pada abses, nyeri bertambah hebat pada
payudara, kulit diatas abses mengkilat dan bayi dengan sendirinya tidak mau
minum pada payudara yang sakit, seolah-olah dia tahu bahwa ASI tersebut
bercampur dengan nanah.
Tanda dan gejala lain mastitis meliputi :
a) Peningkatan suhu dari 39,5 – 400C
b) Peningkatan frekuensi nadi
c) Menggigil
d) Malaise dan sakit kepala

9
e) Nyeri hebat, bengkak, merah, dan keras pada area payudara
f) Peningkatan kadar natrium dalam ASI yang membuat bayi menolak menyusu
karena ASI terasa asin
g) Timbul garis-garis merah ke arah ketiak.

Gambar 3. Mastitis

2.2.5 Tatalaksana
Tatalaksana mastitis bertujuan untuk mencegah terjadinya infeksi dan
komplikasi lanjut. Penatalaksanaan berupa nonmedikamentosa berupa
tindakan suportif dan medikamentosa pemberian antibiotik dan pemberian
analgesik.
2.5.1 Nonmedikamentosa
Intervensi dini pada mastitis berupa tindakan suportif dapat mencegah
terjadinya perburukan. Intervensi meliputi beberapa tindakan higiene dan
kenyamanan : 5,6
a) Gunakan bra yang tidak ketat
b) Biasakan mencuci tangan sebelum menyusui dan lakukan perawatan payudara
c) Kompres air hangat area yang sakit
d) Masase area yang sakit saat menyusui untuk melancarkan aliran ASI. Jangan
lakukan pemijatan jika dikhawatirkan akan menyebabkan penyebaran kuman
sehingga meningkatkan risiko infeksi.

10
e) Meningkatkan asupan gizi
f) Penanganan Payudara bengkak
 Jika bayi mampu mengisap
Susui bayi sesering mungkin, bantu dengan posisi yang benar
 Jika bayi tak mampu mengisap
Perah ASI dengan tangan atau pompa
 Sebelum menyusui untuk merangsang refleks oksitosin
o Kompres hangat atau mandi air hangat
o Pijat tengkuk dan punggung
o Pijatan ringan pada payudara
o Bantu ibu untuk relaks
 Setelah menyusui untuk mengurangi edema:
Kompres dingin pada payudara
g) Edukasi ibu merawat Payudara
 Jika pada waktu menyusui pertama kali puting terasa agak perih, itu hal
biasa. Tetapi apabila rasa perih berlanjut, atau sampai pecah-pecah,
sebaiknya segera periksakan ke dokter.
 Jika payudara membesar karena terlalu banyak air susu sekali-sekali
peraslah dengan tangan. Dengan demikian peregangan kulit berkurang
sehingga air susu mengalir lancar.
 Supaya tidak kering, sebaiknya puting tidak disabuni pada waktu mandi.
Cukup disiram dan dibersihkan dengan air.
 Keringkan puting dengan hati-hati sehabis menyusui. Alas bra anda
dengan kain bersih yang menyerap rembesan air susu. Ganti kain pengalas
tersebut bila sudah lembab
h) Kontraindikasi Menyusui
Kontraindikasi Menyusui
 Menderita Galactosemia
 Ibu kanker Mammae
 Ibu sedang menjalani radio terapi mammae
 Mengkonsumsi obat Psycotropic

11
 Konsultasi dengan tenaga kesehatan atau dokter jika ibu menderita
HIV-AIDS
Bayi sebaiknya terus menyusu kepada ibu dan jika menyusu tidak
memungkinkan karena nyeri payudara atau adanya penolakan oleh bayi pada
payudara ibu yang sakit, selalu dilakukan pemompaan secara teratur dan terus-
menerus. Pengosongan payudara dengan sering akan mencegah terjadinya
statis ASI. Tetap berikan ASI kepada bayi, terutama gunakan payudara yang
sakit sesering dan selama mungkin sehingga sumbatan tersebut lama-
kelamaan akan menghilang. Bayi masih boleh menyusu kecuali bila terjadi
abses.

Medikamentosa 5,6
a) Antibiotik
Terapi antibiotik diberikan jika antara 12-24 jam tidak terjadi perbaikan. Terapi
antibiotik meliputi :
- Penicillin
- Eritromisin digunakan jika alergi terhadap penicillin.
- Terapi awal yang paling umum adalah Amoxicilin 500 mg atau 875 mg
selama 10-14 hari atau Clyndamicin 300 mg selama 10 – 14 hari.
-Claritromycin 500 mg PO/ 10-14 hari jika alergi beta lactam
Pada setiap kasus penting untuk dilakukan tindak lanjut dalam 72 jam untuk
mengevaluasi kemajuan dari terapi. Jika infeksi tidak berkurang atau tidak
hilang maka pemeriksaan kultur dari ASI harus dilakukan.
b) Analgesik
Rasa nyeri merupakan faktor penghambat dari produksi hormon oksitosin yang
berguna dalam proses pengeluaran ASI. Analgesik diberikan untuk mengurangi
rasa nyeri pada mastitis. Analgesik yang dianjurkan adalah obat anti inflamasi
seperti ibuprofen. Ibuprofen lebih efektif dalam menurunkan gejala yang
berhubungan dengan peradangan dibandingkan parasetamol atau asetaminofen.
Ibuprofen sampai dosis 1,6 gram per hari tidak terdeteksi pada ASI sehingga
direkomendasikan untuk ibu menyusui yang mengalami mastitis.

2.2.6 Komplikasi 5,6

12
a) Penghentian Menyusui Dini
Mastitis dapat menimbulkan berbagai gejala akut yang membuat
seorang ibu memutuskan untuk berhenti menyusui. Berhentinya menyusui
secara mendadak dapat meningkatkan risiko terjadinya abses. Selain itu ibu
juga khawatir kalau obat yang mereka konsumsi tidak aman untuk bayi
mereka. Oleh karena itu penatalaksanaan yang efektif, informasi yang jelas dan
dukungan tenaga kesehatan serta keluarga sangat diperlukan saat ini.

b) Abses
Abses merupakan komplikasi mastitis yang biasanya terjadi karena
pengobatan terlambat atau tidak adekuat. Bila terdapat daerah payudara teraba
keras, merah, dan tegang walaupun ibu telah diterapi, maka kita harus pikirkan
kemungkinan terjadinya abses. Kurang lebih 3% dari kejadian mastitis
berlanjut menjadi abses. Pemeriksaan USG payudara diperlukan untuk
mengidentifikasi adanya cairan yang terkumpul. Cairan ini dapat dikeluarkan
dengan aspirasi jarum halus yang berfungsi sebagai diagnostik. Abses yang
sangat besar terkadang memerlukan tindakan bedah. Selama tindakan ini ibu
harus mendapat antibiotik dan ASI dari sekitar abses dikultur agar antibiotik
yang diberikan sesuai dengan jenis kumannya.

Gambar 4. Abses

c) Mastitis berulang (kronis)

13
Mastitis berulang biasanya disebabkan karena pengobatan terlambat
atau antibiotik yang tidak adekuat. Ibu harus benar-benar beristirahat, banyak
minum, makanan dengan gizi berimbang, serta mengatasi stres. Pada kasus
mastitis berulang karena infeksi bakteri diberikan antibiotik dosis rendah
seperti pemberian eritromisin 500 mg sebanyak satu kali sehari selama masa
menyusui.
d) Infeksi jamur
Komplikasi sekunder pada mastitis berulang adalah infeksi oleh jamur
seperti Candida albicans. Keadaan ini sering ditemukan setelah ibu mendapat
terapi antibiotik. Infeksi jamur biasanya didiagnosis berdasarkan nyeri berupa
rasa terbakar yang menjalar di sepanjang saluran ASI. Diantara waktu menyusu
permukaan payudara terasa gatal. Puting mungkin tidak nampak kelainan. Ibu
dan bayi perlu diobati. Pengobatan terbaik adalah mengoles nistatin krem yang
juga mengandung kortison ke puting dan areola setiap selesai bayi menyusu
dan bayi juga harus diberi nistatin oral pada saat yang sama.

Gambar 5. Payudara yang terinfeksi Candida


2.2.7 Prognosis
Pemberian antibiotik yang benar dan adekuat akan memberikan hasil yang
baik pada mastitis. Tetapi jika tidak ditatalaksana dengan cepat dapat berkembang
menjadi abses dan bisa menyebabkan kelainan bentuk dari payudara. Pencegahan
dengan melakukan perawatan pada payudara terutama puting susu yang lecet saat
proses laktasi sangat dianjurkan agar tidak berkembang menjadi mastitis.8,9
2.3 Penyakit Fibrokistik

14
Kelainan ini paling sering ditemukan, bersifat jinak dan non–
neoplastik tetapi memiliki hubungan dengan meningkatnya resiko terjadinya
keganasan. Fibrokistik payudara ditandai dengan rasa nyeri dan benjolan yang
ukurannya berubah–ubah. Benjolan ini membesar sebelum periode menstruasi
serta mengeluarkan cairan puting yang tidak normal. Pada periode menjelang
menopause, sifat benjolan pada kelainan ini tidak berbatas tegas dan kenyal
seperti karet.11
Penyebab pasti dari fibrokistik payudara belum diketahui, tetapi
dipengaruhi oleh hormon estrogen. Apabila estrogen di dalam aliran darah
kadarnya memuncak sewaktu pertengahan siklus tepat sebelum ovulasi,
payudara menjadi bengkak, penuh, dan terasa berat. Gejala ini memburuk
pada awal periode menstruasi terutama pada wanita 40–45 tahun dan menurun
jelas pasca menopause. Sehingga, perubahan kistik disimpulkan akibat
ketidakseimbangan antara hiperplasia epitel, bersama dengan dilatasi duktus
dan lobulus yang terjadi pada setiap siklus menstruasi.14
2.4 Neoplasma Jinak
Neoplasma merupakan sel tubuh yang mengalami transformasi dan
tumbuh secara autonom, lepas dari kendali pertumbuhan sel normal
sehingga bentuk dan struktur sel ini berbeda dengan sel normal. Sifat sel
tumor ini bergantung pada besarnya penyimpangan bentuk dan fungsi,
autonominya dalam sifat pertumbuhan, dan kemampuan dalam berinfiltrasi
serta bermetastasis.15
Neoplasma dapat bersifat ganas dan jinak. Neoplasma ganas atau
kanker tumbuh secara tidak terkendali, menginfiltrasi ke jaringan sekitar
sekaligus merusaknya, dan dapat menyebar ke bagian tubuh lain yang dapat
disebut sebagai metastasis. Sedangkan neoplasma jinak memiliki batas
tegas dan tidak infiltratif, tidak merusak, serta tidak bermetastasis, tetapi
dapat bersifat ekspansif, yaitu dapat terus membesar sehingga menekan
jaringan sekitarnya.16
Etiologi neoplasma belum diketahui secara pasti, tetapi bersifat
multifaktorial. Terdapat faktor endogen yaitu epigenetik dan heredofamilial,
hormonal, status imun, nullipara, aging, stress berat. Faktor endogen

15
seperti heredofamilial berkaitan erat dengan mutasi gen breast cancer 1
(BRCA 1) pada kromosom 17q21.3 dan BRCA 2 pada kromosom 13q12–13
serta mutasi germ-line dalam TP–53. Gen ini berperan sebagai DNA repair
dan gen supresor tetapi inaktif atau terdapat defek. Sedangkan faktor
eksogen seperti faktor konsumtif berupa defisiensi protein, vitamin A,
antioksidan, dan diet tinggi lemak. Selain itu terapi sulih hormon, trauma,
perokok, dan obesitas memiliki faktor resiko mengalami fibroadenoma.10
Fibroadenoma Mammae
Fibroadenoma mammae (FAM) merupakan tumor jinak yang paling
banyak ditemukan. Menurut penelitian di New York, FAM terdapat pada ¼
kasus karsinoma, dengan frekuensi enam kali lebih banyak dibanding
papiloma duktus. Insidensi tertinggi tumor ini terjadi pada dekade tiga
meskipun dapat timbul terutama pada usia setelah pubertas. Berdasarkan
laporan dari NSW Breast Cancer Institute (2010), FAM umumnya terjadi
pada wanita dengan usia 21–25 tahun, kurang dari 5% terjadi pada usia di
atas 50 tahun.10
Sampai saat ini penyebab FAM masih belum diketahui secara pasti,
namun berdasarkan hasil penelitian ada beberapa faktor risiko yang
mempengaruhi timbulnya tumor ini antara lain riwayat perkawinan yang
dihubungkan dengan status perkawinan dan usia perkawinan, paritas dan
riwayat menyusui anak. Berdasarkan penelitian Bidgoli et al (2011)
menyatakan bahwa pasien yang tidak menikah meningkatkan risiko
kejadian FAM (OR=6.64, CI 95% 2.56–16.31) artinya penderita FAM
kemungkinan 6,64 kali adalah wanita yang tidak menikah. Selain itu, hasil
penelitian tersebut juga menyatakan bahwa menikah <21 tahun
meningkatkan risiko kejadian FAM (OR=2.84, CI 95% 1.23–6.53) artinya
penderita FAM kemungkinan 2,84 kali adalah wanita yang menikah pada
usia <21 tahun. Penurunan paritas meningkatkan insiden terjadinya FAM,
terutama meningkat pada kelompok wanita nullipara. Berat badan yang
2
berlebihan dengan IMT >30 kg/m juga menjadi faktor resiko terjadinya
2
FAM (OR=2.45,CI 95% 1.04–3.03) artinya wanita dengan IMT >30 kg/m

16
memiliki risiko 2,45 kali menderita FAM dibandingkan wanita dengan IMT
normal.15
Fibroadenoma berasal dari proliferasi kedua unsur lobulus, yaitu
asinus atau duktus terminalis dan jaringan fibroblastik. Terdapat dua jenis
FAM, yaitu FAM intrakanalikuler atau stroma yang tumbuh mendesak
kanalikulus pada sistem duktulus intralobulus dan FAM perikanalikuler
atau stroma yang tumbuh proliferatif mengitari sistem kanalikulus sistem
duktulus intralobulus.15
Sifat lesi jinak ini berupa benjolan yang mobile atau dapat
digerakkan, lobulasi tidak nyeri tekan, kenyal seperti karet berukuran satu
sampai dengan empat sentimeter, dan banyak ditemukan pada kuadran
lateral kanan atas payudara kiri pada penderita yang right handed. Benjolan
ini dapat bertambah besar satu sentimeter dibawah pengaruh estrogen haid
normal, kehamilan, laktasi, atau penggunaan kontrasepsi oral. Secara
makroskopik, benjolan ini berbeda morfologinya dari lesi ganas, yaitu tepi
tajam dan permukaannya putih keabuan sampai merah muda serta
homogen. Sedangkan secara mikroskopik, terdapat susunan lobulus
perikanalikular yang mengandung stroma padat dan epitel proliferatif.10
2.5 Neoplasma ganas
Neoplasma ganas parenkim payudara terdiri atas dua golongan, yaitu
karsinoma duktal yang berasal dari sistem duktus dan karsinoma lobular yang
berasal dari asinus kelenjar payudara. Insidensi karsinoma duktal invasif
mencapai 70–80% dengan subtipe papilotubular, solid tubular, dan skirus
dengan prognosis masing–masing baik, kurang baik, buruk. Sedangkan
karsinoma lobular invasif sekitar 20% dari seluruh keganasan payudara dan
memiliki 3 jenis yaitu jenis sel kecil, jenis sel besar, dan atypical invasive
lobular carcinoma.14

BAB 3

17
KESIMPULAN

1. Mastitis adalah peradangan payudara yang biasa terjadi pada masa nifas atau
sampai 3 minggu setelah persalinan.
2. Penyakit Fibrokistik merupakan kelainan yang paling sering ditemukan,
bersifat jinak dan non–neoplastik tetapi memiliki hubungan dengan
meningkatnya resiko terjadinya keganasan.
3. Fibroadenoma mammae (FAM) merupakan tumor jinak yang paling banyak
ditemukan.
4. Neoplasma ganas parenkim payudara terdiri atas dua golongan, yaitu
karsinoma duktal yang berasal dari sistem duktus dan karsinoma lobular yang
berasal dari asinus kelenjar payudara.

DAFTAR PUSTAKA

18
1.Alasiry, E. (2012). Buku Indonesia Menyusui. Terdapat pada: www.idai.or.id.
diakses tanggal 4 November 2013
2. Inch & Xylander. (2012). Mastitis Penyebab dan Penatalaksanaan. Jakarta :
Widya Medika.
3. Prawiroharjo, Sarwono. 2007. Ilmu Kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina
Pustaka.
4. Pusdiknakes WHO, JHPIEGO, 2003. Asuhan Ante Natal.
5. Prawiroharjo , Sarwono. 2008. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan
Maternal dan Neonatal. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka.
6. Haryono SJ, Sukasah C, Swantari N. 2011. Payudara. Dalam: Sjamsuhidayat
R, De jong WD. Buku ajar ilmu bedah Edisi ke-3. Jakarta: EGC.
7. Price A Sylvia. 2003. Patofisiologi Konsep Klinis Proses – Proses Penyakit
Edisi 6. Jakarta : EGC.
8. Varney, H dkk. 1997. Buku Ajar Asuhan Kebidanan. Jakarta: EGC.
9. Manuaba. 1998. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan dan Keluarga
Berencana untuk Pendidikan Bidan. Jakarta : EGC.
10. Soetrisno E, 2010. Payudara. Dalam : Nasar IM, Himawan S, Marwoto W.
Buku Ajar Patologi II. Edisi ke-1. Jakarta : Sagung Seto. Hlm 156-78.
11. Fadjari H. 2012. Pendekatan Diagnostik Benjolan di Payudara. CDK, 39(4):
308-10.
12. Underwood JCE. Cross SS, 2010. Patologi Umum dan Sistemik. Edisi ke-2.
Jakarta: ECG. Hlm. 543-66
13.Utami VL, Muhartono, Fiana DN, Sholeha TU. 2014. Characteristic of
Carcinoma mamae at RSUD Dr. H Abdul Moeloek Bandar Lampung tahun
2010-2012. J. Agromed Unila.
14. Nasar IM, Himawan S, Martowo W, 2010. Buku Ajar Patologi II. Edisi ke-1.
Jakarta: Sagung Seto.hlm: 375-95
15. De Jong WD,Sjamsuhidajat, 2005. Buku Ajar ilmu bedah. Edisi ke-2. Jakarta:
ECG. Hlm : 471-97

19

Anda mungkin juga menyukai