Anda di halaman 1dari 31

PRE-EKLAMPSIA DAN EKLAMPSIA

Makalah Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Keperawatan Matermitas 1B

Oleh

Kelompok 1

Nama NIM Nama NIM

Wahyu GalihSaputro 14612573 Wahyu Wijanarko 14612598

FebrianFajar P 14612586 Muhammad Chabib 14612602

FajarPandhuBawono 14612588 DickyAgung S 14612603

RidhoFachruRoziqin 14612595 ToriqFahranul S 14612606

AgusWidodo 14612597

Program Studi DIII Keperawatan

FakultasIlmuKesehatan

UniversitasMuhammadiyahPonorogo

2016

1
BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Persalinan adalah proses alamiah dimana terjadi dilatasi servik, lahirnya bayi dan
plasenta dari rahim ibu. Pada proses bersalin akan dipengaruhi oleh beberapa faktor
diantaranya adalah kekuatan otot-otot rahim saat ibu mengejan, anatomi atau kondisi
jalan lahir, dan kondisi janin yang dilahirkan. Selain itu kondisi dari ibu selama proses
kehamilan juga berpengaruh besar dalam mendukung proses persalinan.
Pada beberapa ibu sering dijumpai mengalami gangguan seperti penurunan berat
badan, hipertensi, nyeri, anemia, proteinuria, edema dan lain-lain yang berisiko
menyebabkan komplikasi persalinan pada ibu. Salah satu komplikasi pada proses
persalinan adalah Pre-Eklampsia yang dapat menjadi Eklampsia.
Pre-Eklampsia dan Eklampsia di Indonesia masih menjadi sebab utama kematian
pada ibu, dan sebab kematian perinatal yang tinggi selain faktor infeksi dan perdarahan.
Oleh sebab itu diagnosis dini Pre-Eklampsia yang merupakan tingkat pendahuluan
Eklampsia, serta penanganannya perlu segera dilaksanakan untuk menurunkan angka
kematian ibu dan anak.
2. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud Pre-Eklampsia dan Eklampsia?
2. Apa penyebab dan gejala yang muncul pada Pre-Eklampsia dan Eklampsia?
3. Bagaimana pencegahan serta penanganan pada Pre-Eklampsia dan Eklampsia?
3. Tujuan
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud Pre-Eklampsia dan Eklampsia
2. Untuk mengetahui apa penyebab dan gangguan yang muncul pada Pre-Eklampsia dan
Eklampsia
3. Untuk mengetahui bagaimana pencegahan serta penanganan pada Pre-Eklampsia-
Eklampsia

2
BAB II

PEMBAHASAN

1. Pre-Eklampsia
A. Pengertian
Pre-Eklampsia adalah suatu sindrom khas-kehamilan yang ditandai dengan
hipertensi, edema, proteinuria yang timbul pada masa kehamilan. Penyakit ini biasa
timbul pada triwulan ke-3 kehamilan, tetapi dapat terjadi sebelumnya, misalnya pada
mola hidatidosa.
Hipertensi biasanya timbul lebih dahulu daripada tanda-tanda lain. Untuk
menegakkan diagnosis pre-eklampsia, maka kenaikan tekanan sistolik setidaknya
mencapai 30 mmHg atau lebih diatas tekanan yang biasa ditemukan atau mencapai 140
mmHg. Tekanan diastole juga bisa digunakan untuk menegakkan diagnosis bila tekanan
naik 15 mmHg atau lebih dari biasanya atau mencapai 90 mmHg.
Edema atau penimbunan cairan yang berlebihan dalam tubuh dapat diketahui dari
kenaikan berat badan serta pembengkakan kaki, jari tangan, dan muka. Edema pretibial
yang ringan sering ditemukan pada kehamilan biasa, sehingga tidak seberapa berarti
untuk penentuan diagnosis pre-eklampsia. Kenaiakan berat badan ½ kg setiap minggu
dalam kehamilan tetap dianggap normal, namun jika kenaikan 1 kg dalam seminggu dan
terjadi dalam beberapa kali, hal ini perlu menimbulkan kewaspadaan terhadap timbulnya
pr-eklampsia.
Proteinuria berarti konsentrasi protein dalam air kencing yang melebihi 0,3
gr/liter dalam air kencing 24 jam atau pemeriksaan kualitatif menunjukkan 1 atau 2 +
atau 1g/liter atau lebih dalam air kencing yang dikeluarkan dengan kateter yang diambil
minimal 2 kali dengan jarak waktu 6 jam. Proteinuria biasa terjadi paling lambat atau
setelah timbulnya hipertensi dan edema, sehingga dianggap menajdi gejala cukup serius
pada pre-eklampsia.
Pre-Eklampsia diolongkan menjadi ringan dan berat. Penyakit ini digolongkan
berat bila satu atau lebih tanda/gejala di bawah ini ditemukan:
1. Tekanan sistolik 160 mmHg atau lebih, atau tekanan diastolic 110 mmHg atau
lebih
2. Proteinuria 5g atau lebih dalam 24 jam, 3 atau 4 + pada pemeriksaan kualitatif
3. Oliguria, air kencing 400 ml atau kurang dalam 24 jam
4. Keluhan serebral, gangguan penglihatan atau nyeri pada epigastrium
5. Edema paru atau sianosis
B. Etiologi
Penyebab preeklampsia sampai saat ini masih belum diketahui secara pasti,
sehingga penyakit ini disebut dengan “The Diseases of Theories”. Beberapa faktor yang
berkaitan dengan terjadinya pre-eklampsia adalah :
1. Faktor Trofoblast
Semakin banyak jumlah trofoblast semakin besar kemungkina terjadinya
Preeklampsia. Ini terlihat pada kehamilan Gemeli dan Molahidatidosa. Teori ini
didukung pula dengan adanya kenyataan bahwa keadaan preeklampsia membaik
setelah plasenta lahir.
2. Faktor Imunologik
Preeklampsia sering terjadi pada kehamilan pertama dan jarang
timbul lagi pada kehamilan berikutnya. Secara Imunologik dan diterangkan bahwa

3
pada kehamilan pertama pembentukan “Blocking Antibodies” terhadap antigen
plasenta tidak sempurna, sehingga timbul respons imun yang tidak menguntungkan
terhadap Histikompatibilitas Plasenta. Pada kehamilan berikutnya, pembentukan
“Blocking Antibodies” akan lebih banyak akibat respos imunitas pada kehamilan
sebelumnya, seperti respons imunisasi.
Fierlie FM (1992) mendapatkan beberapa data yang mendukung adanya sistem imun
pada penderita Preeklampsia-Eklampsia :
a. Beberapa wanita dengan Preeklampsia-Eklampsia mempunyai komplek
imun dalam serum.
b. Beberapa studi juga mendapatkan adanya aktivasi system komplemen
pada Preeklampsia-Eklampsia diikuti dengan proteinuri.
Stirat (1986) menyimpulkan meskipun ada beberapa pendapat menyebutkan bahwa
sistem imun humoral dan aktivasi komplemen terjadi pada Preeklampsia, tetapi tidak
ada bukti bahwa sistem imunologi bisa menyebabkan Preeklampsia.
3. Faktor Hormonal
Penurunan hormon Progesteron menyebabkan penurunan Aldosteron antagonis,
sehingga menimbulkan kenaikan relative Aldoteron yang menyebabkan retensi air
dan natrium, sehingga terjadi Hipertensi dan Edema.

4. Faktor Genetik
Menurut Chesley dan Cooper (1986) bahwa Preeklampsia/eklampsia bersifat
diturunkan melalui gen resesif tunggal. Beberapa bukti yang menunjukkan peran
faktor genetic pada kejadian Preeklampsia-Eklampsia antara lain:
a. Preeklampsia hanya terjadi pada manusia.
b. Terdapatnya kecendrungan meningkatnya frekwensi Preeklampsia-
Eklampsia pada anak-anak dari ibu yang menderita Preeklampsia-
Eklampsia.
c. Kecendrungan meningkatnya frekwensi PreeklampsiaEklampsia pada
anak dan cucu ibu hamil dengan riwayat Preeklampsia-Eklampsia dan
bukan pada ipar mereka.
5. Faktor Gizi
Menurut Chesley (1978) bahwa faktor nutrisi yang kurang mengandung asam lemak
essensial terutama asam Arachidonat sebagai precursor sintesis Prostaglandin akan
menyebabkan “Loss Angiotensin Refraktoriness” yang memicu terjadinya
preeklampsia.
Jumlah primigravi, terutama primigravida muda
6. Distensi rahim berlebihan : hidramnion, hamil ganda, mola hidatidosa
7. Penyakit yang menyertai hamil : diaetes melitus, kegemukan
8. Jumlah umur ibu diatas 35 tahun ( Ida Bagus. 1998).
9. Pre-eklampsia ringan jarang menyebabkan kematian ibu, namun dapat berisiko
menjadi pre-eklampsia berat bahkan timbul eklampsia. Pada primigravida frekuensi
pre-eklampsia lebih tinggi bila dibandingkan dengan multigravida, terutama
primigravida muda. Diabetes militus, mola hidatidosa, kehamilan ganda, hidrops
fetalis, umur lebih dari 35 tahun, dan obesitas merupakan faktor predisposisi untuk
terjadinya pre-eklampsia.
C. Manifestasi Klinis Pre-Eklampsia
Biasanya tanda-tanda pre-eklampsia timbul pertambahan berat badan yang
berlebihan, diikuti edema, hipertensi, dan akhirnya proteinuria. Pada pre-eklampsia
4
ringan tidak ditemukan gejala-gejala subyektif. Pada pre-eklampsia berat didapatkan sakit
kepala didaerah frontal, skotoma, diplopia, penglihatan kabur, nyeri di daerah
epigastrium, mual atau muntah-muntah. Gejala-gejala ini sering ditemukan pada pre-
eklampsia yang meningkat dan merupakan petunjuk bahwa eklampsia akan timbul.
Tekanan darah pun meningkat lebih tinggi, edema menjadi lebih umum, dan proteinuria
bertambah banyak.
Pada umumnya diagnosis pre-eklampsia didasarkan atas adanya 2 dari trias tanda
utama: hipertensi, edema, dan proteinuria. Hal ini memang berguna untuk kepentingan
statstik, tetapi dapat merugikan penderita karena tiap tanda merupakan bahaya
kendatipun ditemukan tersendiri. Adanya satu tanda harus menimbulkan kewaspadaan,
apalagi karena cepat tidaknya penyakit meningkat tidak dapat dipastikan, dan bila
eklampsia terjadi maka prognosis bagi ibu maupun janin menjadi jauh lebih buruk.
D. Patofisiologi Pre-Eklampsia

Perubahan pokok yang didapatkan pada pre-eklampsia adalah spasmus pembuluh


darah disertai dengan retensi garam dan air. Dengan biobsi ginjal ,Altchek dkk (1968)
menemukan spasmus yang hebat pada arteriola glomerulus. Pada beberapa kasus lumen
arteriola demikian kecilnya,sehingga hanya dapat dilalui oleh satu sel darah merah. Bila
dianggap bahwa spasmus arteriola juga ditemukan di seluruh tubuh,maka mudah
dimengerti bahwa tekanan darah yang mengikat tampaknya merupakan usaha mengatasi
kenaikan tahanan perifer, agar oksigenasi jaringan dapat dicukupi. Telah diketahui bahwa
pada pre-eklampsia dijumpai kadar aldosteron yang rendah dan konsentrasi prolaktin
yang tinggidari pada kehamilan normal. Aldosteron penting untuk mempertahankan
volume plasma dan mengatur retensi air dan natrium. Pada pre eklampsia permeabilitas
pembuluh darah terhadap protein meningkat.

1. Perubahan pada plasenta dan uterus


Menurunya aliran darah ke plasenta mengakibatkan gangguan fungsi plasenta. Pada
hipertensi yang agak lama pertumbuhan janin terganggu, pada hipertensi yang lebih
pendek bisa terjadi gawat janin sampai kematianya karena kekurangan oksigenasi.
Kenaikan tonus uterus dan kepekaan terhadap perangsangan sering didapatkan pada
pre-eklampsia dan eklampsia ,sehingga mudah terjadi partus prematurus.
2. Perubahan pada ginjal
Perubahan pada ginjal disebabkan oleh aliran darah kedalam ginjal menurun,
sehingga menyebabkan filtrasi glomelurus mengurang. Kelainan pada ginjal yang
penting ialah dalam hubungan dengan proteinuria dan mungkin sekali juga dengan
retensi garam dan air.Penurunan filtrasi glomelurus akibat spasmus arteriolus ginjal
menyebabkan filtrasi natrium melalui glomelurus menurun ,yang menyebabkan
retensi garam dan demikian juga retensi air.
3. Perubahan pada retina
Pada pre-eklampsia tampak edema retina, spasmus setempat atau menyeluruh pada
satu atau beberapa arteri, jarang terlihat perdarahan atau eksudat.
Retinopatia arteriosklerotika menunjukan penyakit vaskuler yang menahun. Keadaan
tersebut tak tampak pada pre-eklampsia, kecuali bila terjadi atas dasar hipertensi
menahun atau penyakit ginjal.

5
Pada pre-eklampsia jarang terjadi ablasio retina, keadaan ini disertai dengan buta
sekonyong-konyong. Pelepasan retina disebabkan oleh edema intraokuler dan
merupakan indikasi untuk pengakhiran kehamilan segera. Biasanya setelah persalinan
berakhir, retina melekat lagi dalam 2 hari sampai 2 bulan.gangguan penglihatan
secara tetap jarang ditemukan.
Skotoma ,diplopia ,dan ambliopia pada penderita pre-eklampsia merupakan gejala
yang menunjukan akan terjadinya eklampsia.keadaan ini disebabkan oleh perubahan
aliran darah dalam pusat penglihatan di korteks serebri atau dalam retina.
4. Perubahan pada paru
Edema paru paru merupakan sebab utama kematian penderita pre-eklampsia dan
eklampsia. Komplikasi ini biasanya disebabkan oleh dekompensasio kordis kiri.
5. Perubahan pada otak
MeCall melaporkan bahwa resistensi pembuluh darah dalam otak pada hipertensi
dalam kehamilan lebih meninggi lagi pada eklampsia.walaupun demikian ,aliran
darah ke otak dan pemakaian oksigen pada pre-eklampsia tetap dalam batas
normal.pemakaian oksigen oleh otak hanya menurun pada eklampsia.
6. Metabolisme air dan elekterolit
Hemokonsentrasi yang menyertai pre-eklampsia dan eklampsia tidak diketahui
sebabnya. Terjadi disini pergeseran cairan dari ruang intravaskuler ke ruang
interstitial. Kejadian ini,yang diikuti oleh kenaikan hematokrit, peningkatan protein
serum, dan sering bertambahnya edema, menyebabkan volume darah mengurang,
viskositet darah meningkat, waktu peredaran darah tepi lebih lama.karena itu, aliran
darah ke jaringan di berbagai bagian tubuh mengurang, dengan akibat hipoksia.
Jumlah air dan natrium dalam badan lebih banyak pada penderita pre-eklampsia
dari pada wanita hamil biasa atau penderita dengan hipertensi menahun. penderita pre-
eklampsia tidak dapat mengeluarkan dengan sempurna air dan garam yang diberikan.hal
ini disebabkan oleh filtrasi glomerulus menurun, sedangkan penyerapan kembali tubulus
tidak berubah.

6
7
E. Penatalaksanaan Keperawatan

a. Prinsip Penatalaksanaan Pre-Eklampsia

1) Melindungi ibu dari efek peningkatan tekanan darah

2) Mencegah progresifitas penyakit menjadi eklampsia

3) Mengatasi atau menurunkan risiko janin (solusio plasenta, pertumbuhan


janin terhambat, hipoksia sampai kematian janin)

4) Melahirkan janin dengan cara yang paling aman dan cepat sesegera
mungkin setelah matur, atau imatur jika diketahui bahwa risiko janin atau
ibu akan lebih berat jika persalinan ditunda lebih lama.

b. Penatalaksanaan pre-eklamsia Ringan

1) Kehamilan kurang dari 37 minggu. (Saifuddin et al. 2002) Lakukan penilaian


2 kali seminggu secara rawat jalan :

a) Pantau tekanan darah, urin (untuk proteinuria), refleks, dan kondisi janin.

b) Konseling pasien dan keluarganya tentang tanda-tanda bahaya


preeklampsia dan eklampsia.

c) Lebih banyak istirahat, tidur miring agar menghilangkan tekanan pada


vena cava inferior, sehingga meningkatkan aliran darah balik dan
menambah curah jnatung.

d) Diet biasa (tidak perlu diet rendah garam).

e) Tidak perlu diberi obat-obatan.

f) Jika rawat jalan tidak mungkin, rawat di rumah sakit :

 Diet biasa

 Pantau tekanan darah 2 kali sehari dan urin (untuk proteinuria) sekali
sehari.

 Tidak perlu diberi obat-obatan.

 Tidak perlu diuretik, kecuali jika terdapat edema paru, dekompensasi


kordis, atau gagal ginjal akut.

 Jika tekanan diastolik turun sampai normal pasien dapat dipulangkan :

 Nasihatkan untuk istirahat dan perhatikan tanda-tanda


preeklampsia berat.

 Kontrol 2 kali seminggu untuk memantau tekanan darah, urin,


keadaan janin, serta gejala dan tanda-tanda preeklampsia berat.
8
 Jika tekanan diastolik naik lagi, rawat kembali.Jika tidak ada tanda-
tanda perbaikan, tetap dirawat. Lanjutkan penanganan dan observasi
kesehatan janin.

 Jika terdapat tanda-tanda pertumbuhan janin terhambat,


pertimbangkan terminasi kehamilan. Jika tidak rawat sampai aterm.

 Jika proteinuria meningkat, tangani sebagai PE berat.

2) Kehamilan lebih dari 37 minggu

a) Jika serviks matang, pecahkan ketuban dan induksi persalinan dengan


oksitosin atau prostaglandin.

b) Jika serviks belum matang, lakukan pematangan serviks dengan


prostaglandin atau kateter Foley atau lakukan seksio sesarea.

c. Penatalaksanaan Preeklampsia Berat

Tujuannya: mencegah kejang, pengobatan hipertensi, pengelolaan cairan,


pelayanan suportif terhadap penyulit organ yang terlibat dan saat yang tepat untuk
persalinan. (Angsar MD, 2009; Saifuddin et al. 2002):

a) Tirah baring miring ke satu sisi (kiri).

b) Pengelolaan cairan, monitoring input dan output cairan.

c) Pemberian obat antikejang.

d) Diuretikum tidak diberikan secara rutin, kecuali bila ada edema paru-paru,
payah jantung. Diuretikum yang dipakai adalah furosemid.

e) Pemberian antihipertensi

Masih banyak perdebatan tentang penetuan batas (cut off) tekanan darah,
untuk pemberian antihipertensi. Misalnya Belfort mengusulkan cut off yang
dipakai adalah ≥ 160/110 mmHg dan MAP ≥ 126 mmHg. Di RSU Soetomo
Surabaya batas tekanan darah pemberian antihipertensi ialah apabila tekanan
sistolik ≥ 180 mmHg dan/atau tekanan diastolik ≥ 110 mmHg.

f) Pemberian glukokortikoid

Pemberian glukokortikoid untuk pematangan paru janin tidak merugikan ibu.


Diberikan pada kehamilan 32 – 34 minggu, 2 x 24 jam. Obat ini juga
diberikan pada sindrom HELLP (hemolisis, elevated liver enzymes, dan low
platelet) yang sindrom kumpulan gejala klinis berupa gangguan fungsi hati,
hepatoseluler (peningkatan enzim hati [SGPT,SGOT], gejala subjektif (cepat
lelah, mual, muntah, nyeri epigastrium), hemolisis akibat kerusakan
membrane eritrosit oleh radikal bebas asam lemak jenuh dan tak jenuh.

9
Trombositopenia (<150.000/cc), agregasi (adhesi trombosit di dinding
vaskuler), kerusakan tromboksan (vasokonstriktor kuat), lisosom.

F. Fokus Pengkajian Pre-Eklampsia

1. Data subyektif:

a) Umur: biasanya sering terjadi pada primi gravida, < 20 tahun atau > 35 tahun ·
Riwayat kesehatan ibu sekarang: terjadi peningkatan tensi, oedema, pusing,
nyeri epigastrium, mual muntah, penglihatan kabur.

b) Riwayat kesehatan ibu sebelumnya: penyakit ginjal, anemia, vaskuler


esensial, hipertensi kronik, DM.

c) Riwayat kehamilan: riwayat kehamilan ganda, mola hidatidosa, hidramnion


serta riwayat kehamilan dengan pre eklamsia atau eklamsia sebelumnya.

d) Pola nutrisi: Jenis makanan yang dikonsumsi baik makanan pokok maupun
selingan ·

e) Psiko sosial spiritual: Emosi yang tidak stabil dapat menyebabkan kecemasan,
oleh karenanya perlu kesiapan moril untuk menghadapi resikonya

2. Data Obyektif:

a) Inspeksi: edema yang tidak hilang dalam kurun waktu 24 jam

b) Palpasi: untuk mengetahui Tinggi Fundus Uteri, letak janin, lokasi edema

c) Auskultasi: mendengarkan Detak Jantung Janin untuk mengetahui adanya


fetal distress

d) Perkusi: untuk mengetahui refleks patella sebagai syarat pemberian Sulfas


Magnesicus (jika reflek +)

e) Pemeriksaan penunjang:

1) Tanda vital yang diukur dalam posisi terbaring atau tidur, diukur 2 kali
dengan interval 6 jam o Laboratorium : protein uri dengan kateter atau
midstream (biasanya meningkat hingga 0,3 gr/lt atau +1 hingga +2 pada
skala kualitatif), kadar hematokrit menurun, BJ urine meningkat, serum
kreatini meningkat, uric acid biasanya > 7 mg/100 ml

2) Berat badan: peningkatannya lebih dari 1 kg/minggu

3) Tingkat kesadaran: penurunan GCS sebagai tanda adanya kelainan pada


otak

4) USG: untuk mengetahui keadaan janin

5) NST: untuk mengetahui kesejahteraan janin


10
f) Pemeriksaan Umum:

1) Keadaan umum: baik, cukup, lemah

2) Kesadaran: composmentis, samnolen, delirium, koma

3) TTV:

 TD: ≥ 140 / 110 mmHg

 N : 80 – 90 x/mnt

 S : 36 – 37 ºC

 Rr : 16 – 20 x/mnt

g) Pemeriksaan Khusus:

a. Inspeksi

 Muka: oedema.

 Mata: palpebra oedema, conjungtiva pucat/tidak, sklera icterus/tidak

 Mamae: papila mamae normal/tidak

 Abdomen:adakah bekas operasi/tidak, adakah strie lividae/tidak.

 Genetalia: adakah pengeluaran pervaginam berupa lendir bercampur


darah, adakah pembesaran kelenjar bartholini/tidak, adakah varices,
adakah oedema/tidak

 Ekstremitas atas: kuku pucat/tidak, oedema

 Bawah: oedema/tidak, varices/tidak

b. Palpasi

 Leher: adakah pembesaran kelenjar limpe/tidak, adakah pembesaran


kelenjar thyroid/tidak, adakah bendungan vena jugularis/tidak

 Mamae: adakah nyeri tekan/tidak

 Abdomen:

 Leopold I: untuk mengetahui TFU dan menentukan usia kehamilan


serta untuk mengetahui bagian janin yang berada di fundus

 Leopold II: untuk mengetahui punggung dan bagian kecil janin

 Leopold III: untuk menentukan apa yang terdapat di bagian bawah


ini sudah atau belum terpegang oleh PAP (Pintu Atas Pinggul)

11
 Leopold IV : untuk menentukan apa yang menjadi bagian bawah
dan berapa masuknya bagian bawah ke dalam rongga panggul ·

 Ekstremitas: oedema, adakah varices/tidak

c. Auskultasi

Yang dicari yaitu punctum proximum dan DJJ (frekuensi teratur/tidak)


yaitu : 120 – 160 x/mnt. Dari pemeriksaan ini dapat diketahui bagaimana
keadaan janin

G. Diagnosa Keperawatan dan Intervensi Pre-Eklampsia

Diagnosa 1:

Gangguan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan penurunan kardiak output


sekunder terhadap vasopasme pembuluh darah.

Tujuan:

setelah dilakukan tindakan keperawatan elama 1x24 jam diharapkan perfusi jaringan
serebral klien adekuat

Intervensi:

1. Monitor tekanan darah tiap 4 jam

R/: Tekanan diastole > 110 mmHg dan sistole 160 atau lebih merupkan indikasi
dari PIH

2. Catat tingkat kesadaran pasien

R/: Penurunan kesadaran sebagai indikasi penurunan aliran darah otak

3. Kaji adanya tanda-tanda eklampsia (hiperaktif, reflek patella dalam, penurunan


nadi, dan respirasi, nyeri epigastrium dan oliguria)

R/: Gejala tersebut merupakan manifestasi dari perubahan pada otak, ginjal,
jantung dan paru yang mendahului status kejang

4. Monitor adanya tanda-tanda dan gejala persalinan atau adanya kontraksi uterus

R/: Kejang akan meningkatkan kepekaan uterus yang akan memungkinkan


terjadinya persalinan

5. Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian anti hipertensi

R/: Anti hipertensi untuk menurunkan tekanan darah

Diagnosa 2:

12
Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan penimbunan cairan pada paru: oedem
paru.

Tujuan:

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam diharapkan pertukaran gas
adekuat.

Intervensi:

1. Auskultasi bunyi jantung dan paru

R/: Adanya takikardia frekuensi jantung tidak teratur

2. Kaji adanya hipertensi

R/: Hipertensi dapat terjadi karena gangguan pada system aldosteron-renin-


angiotensin (disebabkan oleh disfungsi ginjal)

3. Selidiki keluhan nyeri dada, perhatikanlokasi, rediasi, beratnya (skala 0-10)

R/: HT dan GGK dapat menyebabkan nyeri

4. Kaji tingkat aktivitas, respon terhadap aktivitas

R/: Kelelahan dapat menyertai GGK juga anemia

Diagnosa 3:

Penurunan curah jantung berhubungan dengan penurunan aliran balik vena, payah
jantung.

Tujuan:

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam diharapkan curah jantung dapat
adekuat.

Intervensi:

1. Observasi EKG atau telematri untuk perubahan irama.

R/: Perubahan pada fungsi eletromekanis dapat menjadi bukti pada respon terhadap
berlanjutnya gagal ginjal/akumulasi toksin dan ketidakseimbangan elektrolit.

2. Selidiki laporan kram otot kebas/kesemutan pada jari, dengan kejang otot,
hiperlefleksia.

R/:Neuromuskular indikator hipokalemia, yang dapat juga mempengaruhi


kontraktilitas dan fungsi jantung.

3. Pertahankan tirah baring atau dorong istirahat adekuat

R/:Menurunkan konsumsi oksigen/kerja jantung.


13
4. Awasi pemeriksaan laboratorium: kalium, kalsium, magnesium.

R/: Selama fase oliguria, hiperkalemia dapat terjadi tetapi menjadi hipokalemia pada
fase diuretik atau perbaikan.

5. Berikan/batasi cairan sesuai indikasi.

R/:Curah jantung tergantung pada volume sirkulasi (dipengaruhi oleh kelebihan dan
kekurangan cairan) dan fungsi otot miokardial.

6. Berikan tambahan oksigen tambahan sesuai dengan indikasi.

R/: Memaksimalkan sediaan oksigen untuk kebutuhan miokardial untuk menurunkan


kerja jantung dan hipoksia seluler.

Diagnosa 4:

Kelebihan volume cairan berhubungan dengan kerusakan fungsi glomerolus skunder


terhadap penurunan cardiac output.

Tujuan:

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam tidak terjadi kelebihan volume
cairan dengan kriteria hasil:

Klien menunjukkan haluaran urin tepat dengan berat jenis/hasil laboratorium mendekati
normal, berat badan stabil, tanda vital dalam batas normal, tak ada edema.

Intervensi:

1. Awasi denyut jantung, TD, dan CVP.

R/: Takikardia dan hipertensi terjadi karena kegagalan ginjal untuk mengeluarkan
urin, pembatasan cairan berlebihan selama mengobati hipovolemia/hipotensi atau
perubahan fase oliguria gagal ginjal dan perubahan pada sisten renin-angiotensin.

2. Catat pemasukan dan pengeluaran akurat.

R/: Perlu untuk menentukan fungsi ginjal, penggantian cairan dan penurunan resiko
kelebihan cairan dan penurunan resiko kelebihan cairan.

3. Kaji kulit, wajah area tergantung untuk edema. Evaluasi derajat edema (pada skala +1
sampai +4).

R/: Edema terjadi terutama pada jaringan yang tergantung pada tubuh contoh tangan,
kaki, area lumbosakral. BB pasien dapat meningkat sampai 4,5 kg cairan sebelum
edema pitting terdeteksi. Edema periorbital dapat menunjukkan tanda perpindahan
cairan ini karena jaringan rapuh ini mudah terdistensi oleh akumulasi cairan
walaupun minimal.

14
4. Kaji tingkat kesadaran , selidiki perubahan mental, adanya
gelisah.

R/ Dapat menunjukkan perpindahan cairan, akumulasi toksin asidosis,


ketidakseimbangan elektrolit atau terjadinya hipoksia.

5. Awasi pemeriksaan laboratorium, contoh: BUN, kreatinin, natrium dan kretinin urin,
natrium serum, kalium serum, Hb/Ht, foto dada.

R/ Mengkaji berlanjutnya dan penanganan disfungsi/gagal ginjal.

6. Siapkan untuk dialisis sesuai indikasi.

R/ Dilakukan untuk memperbaiki kelebihan volume, ketidak seimbangan elektrolit,


asam/basa dan untuk menghilangkan toksin.

Diagnosa 5:

Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan.

Tujuan:

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 12x24 jam diharapkan klien


menunjukkan toleransi aktivitas.

Intervensi:

1. Tingkatkan tirah baring /duduk, berikan lingkungan tenang, batasi pengunjung sesuai
keperluan.

R/: Meningkatkan istirahat dan ketenangan, menyediakan energi yang digunakan


untuk penyembuihan.

2. Ubah posisi dengan sering. Berikan perawatan kulit yang baik.

R/ Meningkatkan fungsi pernapasan dan meminimalkan tekanan pada area tertentu


untuk menurunkan resiko kerusakan jaringan.

3. Lakukan tugas dengan cepat sesuai toleransi

R/: Memungkinkan periode tambahan istirahat tanpa gangguan.

4. Tingkatkan aktivitas sesuai toleransi, Bantu melakukan latihan rentang jarak sendi
pasif /aktif.

R/: Tirah baring lama menurunkan kemampuan. Ini dapat terjadi karena keterbatasan
aktivitas yang mengganggu periode istirahat.

Diagnosa 6:

Nyeri (Akut) berhubungan dengan kontraksi uterus dan pembukaan jalan lahir

15
Tujuan:

Setelah dilakukan tindakn keperaeatan selama 1x24 jam diharapkan nyeri klien
berkurang.

Intervensi:

1. Kaji tingkat intensitas nyeri pasien

R/: Ambang nyeri setiap orang berbeda ,dengan demikian akan dapat menentukan
tindakan perawatan yang sesuai dengan respon pasien terhadap nyerinya

2. Jelaskan penyebab nyerinya

R/: Ibu dapat memahami penyebab nyerinya sehingga bisa kooperatif

3. Ajarkan ibu mengantisipasi nyeri dengan nafas dalam bila HIS timbul

R/: Dengan nafas dalam otot-otot dapat berelaksasi , terjadi vasodilatasi pembuluh
darah, expansi paru optimal sehingga kebutuhan 02 pada jaringan terpenuhi

4. Bantu ibu dengan mengusap/massage pada bagian yang nyeri

R/: untuk meningkatkan rasa nyaman dan menurunkan nyeri

Diagnosa 7:

Risiko cedera pada ibu berhubungan dengan diplopia

Tujuan:

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan resiko cidera tidak
terjadi.

Intervensi:

1. Monitor tekanan darah tiap 4 jam

R/: Tekanan diastole > 110 mmHg dan sistole 160 atau lebih merupkan indikasi dari
PIH

2. Catat tingkat kesadaran pasien

R/: Penurunan kesadaran sebagai indikasi penurunan aliran darah otak

3. Kaji adanya tanda-tanda eklampsia (hiperaktif, reflek patella dalam, penurunan


nadi,dan respirasi, nyeri epigastrium dan oliguria)

R/: Gejala tersebut merupakan manifestasi dari perubahan pada otak, ginjal, jantung
dan paru yang mendahului status kejang

4. Monitor adanya tanda-tanda dan gejala persalinan atau adanya kontraksi uterus

16
R/: Kejang akan meningkatkan kepekaan uterus yang akan memungkinkan terjadinya
persalinan

5. Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian anti hipertensi

R/: Anti hipertensi untuk menurunkan tekanan darah

Diagnosa 8:

Resiko tinggi terjadinya kejang pada ibu berhubungan dengan penurunan fungsi organ
(vasospasme dan peningkatan tekanan darah).

Tujuan:

Setelah dilakukan tindakan perawatan tidak terjadi kejang pada ibu


Kriteria Hasil:

Kesadaran: compos mentis, GCS : 15 ( 4-5-6 )

Tanda-tanda vital:

Tekanan Darah 100-120/70-80 mmHg

Suhu 36-37 C

Nadi 60-80 x/mnt

Resprasi 16-20 x/mnt

Intervensi:

1. Monitor tekanan darah tiap 4 jam

R/ Tekanan diastole > 110 mmHg dan sistole 160 atau lebih merupkan indikasi dari
PIH

2. Catat tingkat kesadaran pasien

R/ Penurunan kesadaran sebagai indikasi penurunan aliran darah otak

3. Kaji adanya tanda-tanda eklampsia (hiperaktif, reflek patella dalam, penurunan


nadi,dan respirasi, nyeri epigastrium dan oliguria)

R/ Gejala tersebut merupakan manifestasi dari perubahan pada otak, ginjal, jantung
dan paru yang mendahului status kejang

4. Monitor adanya tanda-tanda dan gejala persalinan atau adanya kontraksi uterus

R/Kejang akan meningkatkan kepekaan uterus yang akan memungkinkan terjadinya


persalinan

5. Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian anti hipertensi dan SM

17
R/ Anti hipertensi untuk menurunkan tekanan darah dan SM untuk mencegah
terjadinya kejang

Diagnosa 9:

Resiko tinggi terjadinya foetal distress pada janin berhubungan dengan perubahan pada
plasenta

Tujuan:

Setelah dilakukan tindakan perawatan tidak terjadi foetal distress pada janin

Kriteria Hasil:

DJJ ( + ): 12-12-12

Intervensi:

1. Monitor DJJ sesuai indikasi

R/ Peningkatan DJJ sebagai indikasi terjadinya hipoxia, prematur dan solusio plasenta

2. Kaji tentang pertumbuhan janin

R/ Penurunan fungsi plasenta mungkin diakibatkan karena hipertensi sehingga timbul


IUGR

3. Jelaskan adanya tanda-tanda solutio plasenta (nyeri perut, perdarahan, rahim tegang,
aktifitas janin turun)

R/ Ibu dapat mengetahui tanda dan gejala solutio plasenta dan tahu akibat hipoxia
bagi janin

4. Kaji respon janin pada ibu yang diberi SM

5. R/ Reaksi terapi dapat menurunkan pernafasan janin dan fungsi jantung serta aktifitas
janin

6. Kolaborasi dengan medis dalam pemeriksaan USG dan NST

R/ USG dan NST untuk mengetahui keadaan/kesejahteraan janin

H. Pencegahan Pre-Eklampsia

Pemeriksaan antenatal yang teratur dan teliti dapat mengetahui tanda-tanda pre-
eklampsia untuk bisa diminimalkan sejak dini. Adanya factor-faktor predisposisi yang
dapat menimbulkan pre-eklampsia juga perlu diwaspadai. Walaupun timbulnya pre-
eklampsia tidak dapat dicegah sepenuhnya, namun angka kejadiannya dapat dikurangi
dengan pemberian penyluhan secukupnya dan pelaksanaan pengawasan yang baik pada
wanita hamil.

18
Penyuluhan tentang manfaat istirahat dan diet berguna dalam pencegahan.
Istirahat tidak selalu berbaring di tempat tidur, namun pekerjaan sehari-hari perlu
dikurangi, dan dianjurkan lebih banyak duduk dan berbaring. Diet tinggi protein, dan
rendah rendah lemak, karbohidrat, garam dan penambahan berat badan yang tidak
berlebihan perlu dianjurkan.

2. Eklampsia

A. Pengertian

Istilah eklamsia berasal dari bahasa yunani dan berarti “halilintar”. Kata tersebut
di pakai karena seolah-olahgejala-gejala eklampsia timbul dengan tiba-tiba tanpa di
dahului oleh tanda-tanda lain.

Eklamsia adalah Penyakit akut dengan kejang dan coma pada wanita hamil dan dalam
nifas dengan hipertensi, oedema dan proteinuria (Obtetri Patologi,R. Sulaeman
Sastrowinata, 1981) Eklamsia adalah suatu komplikasi kehamilan yg ditandai dengan
peningkatan TD (S > 180 mmHg,D > 110 mmHg),proteinuria,oedema,kejang dan/atau
penurunan kesadaran.

B. Etiologi

Etiologi penyakit ini belum diketahui pasti, banyak teori diungkapkan oleh para
ahli yang mencoba menerangkan penyebabnya. Teori yang sekarang dipakai oleh para
ahli sebagai penyebab eklampsi adalah teori ischemia plasenta namun teori ini belum
dapat menerangkan semua hal yang berkaitan dengan penyakit ini.

Penyakit ini dianggap sebagai suatu “Maldaptation Syndrom” dengan akibat suatu
vasospasme general dengan akibat yang lebih serius pada organ hati, ginjal, otak, paru-
paru dan jantung yakni tejadi nekrosis dan perdarahan pada organ-organ tersebut.
(Pedoman Diagnosis dan Terapi, 1994: 49)

Berdasarkan waktu terjadinya eklamsia dapat dibagi menjadi

1. Eklamsi gravidarum

Kejadian 50-60 % serangan terjadi dalam keadaan hamil.

2. Eklamsi parturientum

Kejadian sekitar 30-35% terjadi saat inpartu dimana batas dengan eklamsi gravidarum
sukar dibedakan terutama saat mulai inpartu.

3. Eklamsi puerperium

Kejadian jarang sekitar 10 % terjadi serangan kejang atau koma setelah persalinan
berakhir.

C. Manifestasi Klinis

19
Terjadi pada kehamilan 20 minggu atau lebih Terjadi kejang-kejang atau koma.
Kejang dalam eklamsi ada 4 tingkat, meliputi:

1. Tingkat awal atau aura (invasi)

Berlangsung 30-35 detik, mata terpaku dan terbuka tanpa melihat (pandangan
kosong) kelopak mata dan tangan bergetar, kepala diputar kekanan dan kekiri.

2. Stadium kejang tonik

Seluruh otot badan menjadi kaku, wajah kaku tangan menggenggam dan kaki
membengkok kedalam, pernafasan berhenti muka mulai kelihatan sianosis, lodah dapat
trgigit, berlangsung kira-kira 20-30 detik.

3. Stadium kejang klonik

Semua otot berkontraksi dan berulang ulang dalam waktu yang cepat, mulut
terbuka dan menutup, keluar ludah berbusa dan lidah dapat tergigit. Mata melotot, muka
kelihatan kongesti dan sianosis. Setelah berlangsung selama 1-2 menit kejang klonik
berhenti dan penderita tidak sadar, menarik mafas seperti mendengkur.

4. Stadium koma

Lamanya ketidaksadaran ini beberapa menit sampai berjam-jam. Kadang antara


kesadaran timbul serangan baru dan akhirnya penderita tetap dalam keadaan koma.
(Muchtar Rustam, 1998: 275)

Terdapat tanda-tanda pre eklamsi:

 Hipertensi

 Edema

 Proteinuri

 Sakit kepala yang berat

 Penglihatan kabur

 Nyeri ulu hati

 Kegelisahan atau hiperefleksi

 Kadang kadang disertai dengan gangguan fungsi organ (Wirjoatmodjo,


1994: 49)

Komplikasi yang dapat timbul saat terjadi serangan kejang adalah:

 Lidah tergigit

 Terjadi perlukaan dan fraktur

20
 Gangguan pernafasan

 Perdarahan otak

 Kematian ibu dan janin.

D. Patofisiologi Eklampsia

Patofifologi kejang pada eklampsia sampai sekarang belum diketahui pasti


penyebabnya. Pada dasarnya eklampsia timbul setelah adanya pre-eklampsia berat.
Gejala-gejala yang muncul sam dengan pre eklampsia seperti hipertensi, edema,
proteinuria kelumpuhan serebral dan oliguria. Pada eklampsia akan terjadi kontraksi otot-
otot sehingga terjadi kejang bahkan terjadi koma. Kejang dapat disebabkan oleh hipoksia
karena vasokontriksi lokal otak, dan focus perdarahan di korteks otak. Kejang juga
manifestasi tekanan pada pusat motorik di lobus frontalis. Beberapa mekanisme yang
diduga sebagai etiologi kejang adalah sebagai berikut:

a) Edema serebral

b) Perdarahan serebral

c) Infark serebral

d) Vasospasme serebral

e) Pertukaran antara intra dan ekstra seluler

f) Koagulopati intravaskuler

g) Ensefalopati hipertensi

Sedangkan koma yang terjadi pada eklampsia dapat disebabkan oleh kerusakan dua
organ vital:

a) Kerusakan hepar yang berat: gangguan metabolisme-asidosis, tidak mampu


mendetoksikasi toksis material

b) Kerusakan serebral: edema serebri, perdarahan dan nekrosis disekitar perdarahan,


hernia batang otak.

E. Penatalaksanaan Eklampsia

Prinsip pengobatan eklampsia adalah Menghindari tejadinya kejang berulang,


mengurangi koma, meningkatkan jumlah diuresis.

Sedangkan menurut (Mansjoer, 2000) penanganan pada pasien eklamsi:

Pasien eklamsia harus ditangani di Rumah Sakit dirujuk sebelumnya paslu diberi
pengobatan awal untuk mengatasi kejang dan pemberian obat Antihiperentensipa.
Berikan O2 4-6 liter/menit. Pasang infus D5 % 500 ml/ 6 jam dengan kecepatan 20 tetes
permenit.pasang kateter urin, pasang guedel atau spatel. Bahu diganjal kainsetebal 5 cm
21
agar lebih defleksi sedikit. Posisi tempat tidur dibuat sedikit fowler agar kepala tetap
tinggi. Fiksasi pasien agar tidak jatuh.

Dirumah sakit, berikan MgSO4 2 g IV kemudian 2 gr/jam dalam drip infuse


dekstrosa 5 % untuk pemeliharaan sampai kondisi atau tekanan darah stabil (1400- 150
mmHg). Bila kondisi belum stabil obat tetap diberikan.

Bila timbul kejang, berikan dosis tambahan MgSO4 2 gr Intravena sekurang-


kurangnya 20 menit setelah pemberian terakhir. Dosis tambahan hanya dapat diberikan
sekali saja. Bila masih tetap kejang, berikan Amobarbital 3-5 mg/kg BB IV perlahan atau
fenobarbital 250 mg atau deazepam 10 mg IV. Bila syarat pemberian MgSO 4 tidak
terpenuhi di berikan:

 Diazepam: dosis awal 20 mg IM atau 10 mg IV perlahan dalam 1 menit atau


lebih. Dosis pemeliharaan D5% 500 ml + 40 mg diazepam tpm dan dosis
maksimum 2000 ml/ 24 jam. Pemberian diazepam lebih disukai pada eklamsia
puerpuralis karena pada dosis tinggi menyebabkan hipotonik neonatus.

 Fenobarbital: 120-140 mg IV perlahan dengan kecepatan tidak melebihi 60


mg/ menit. Dosis maksimal 1000 mg.

Pada pasien koma, monitor kesadaran dengan skala Gasgow.

Obat suportif sama seperti penanganan preeklamsi berat. Penanganan obstetri


ialah dengan mengakhiri tanpa melihat usia kehamilan dan keadaan janin. Akhir
kehamilan bila sudah terjadi pemulihan hemodinamika dan metabolisme ibu yaitu dalam
4-8 jam setelah pemberian obat anti kejang terakhir. Setelah kejang terakhir, setelah
pemberian obat antihipertensi terakhir atau setelah pasien mulai sadar. Cara terminasi
kehamilan sesuai preeklamsi berat.

Lanjutkan MgSO4 sampai 2 jam pasca persalinan atau sampai tekanan darah
belum dapat dikendalikan. Berikan asupan kalori sebesar 1500 kal Iv atau dengan selang
NGT dalam 24 jam perawatan selama pasien belum dapat makan akibat kesadaran
menurun.

F. Diagnosa Keperawatan dan Intervensi Eklampsia

Kala I

Diagnosa 1:

Resiko tinggi terjadinya kejang pada ibu berhubungan dengan penurunan fungsi
organ (vasospasme dan peningkatan tekanan darah).

Tujuan:

Setelah dilakukan tindakan perawatan tidak terjadi kejang pada ibu

Kriteria Hasil:
22
 Kesadaran: compos mentis, GCS : 15 ( 4-5-6 )

 Tanda-tanda vital:

 TD: 100-120/70-80 mmHg

 Suhu: 36-37 C

 Nadi: 60-80 x/mnt

 RR : 16-20 x/mnt

Intervensi:

1. Monitor tekanan darah tiap 4 jam

R/ Tekanan diastole > 110 mmHg dan sistole 160 atau lebih merupkan indikasi
dari PIH

2. Catat tingkat kesadaran pasien

R/ Penurunan kesadaran sebagai indikasi penurunan aliran darah otak

3. Kaji adanya tanda-tanda eklampsia (hiperaktif, reflek patella dalam, penurunan


nadi, dan respirasi, nyeri epigastrium dan oliguria)

R/ Gejala tersebut merupakan manifestasi dari perubahan pada otak, ginjal,


jantung dan paru yang mendahului status kejang

4. Monitor adanya tanda-tanda dan gejala persalinan atau adanya kontraksi uterus

R/ Kejang akan meningkatkan kepekaan uterus yang akan memungkinkan


terjadinya persalinan

5. Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian anti hipertensi dan SM

R/ Anti hipertensi untuk menurunkan tekanan darah dan SM untuk mencegah


terjadinya kejang

Diagnosa 2:

Resiko tinggi terjadinya foetal distress pada janin berhubungan dengan perubahan
pada plasenta

Tujuan:

Setelah dilakukan tindakan perawatan tidak terjadi foetal distress pada janin
Kriteria Hasil:

 DJJ ( + ) : 12-12-12

Intervensi:

23
1. Monitor DJJ sesuai indikasi

R/Peningkatan DJJ sebagai indikasi terjadinya hipoxia, prematur dan solusio


plasenta

2. Kaji tentang pertumbuhan janin

R/ Penurunan fungsi plasenta mungkin diakibatkan karena hipertensi sehingga


timbul IUGR

3. Jelaskan adanya tanda-tanda solutio plasenta (nyeri perut, perdarahan, rahim


tegang, aktifitas janin turun)

R/ Ibu dapat mengetahui tanda dan gejala solutio plasenta dan tahu akibat bagi
janin

4. Kaji respon janin pada ibu yang diberi SM

R/ Reaksi terapi dapat menurunkan pernafasan janin dan fungsi jantung aktifitas
janin

5. Kolaborasi dengan medis dalam pemeriksaan USG dan NST

R/ USG dan NST untuk mengetahui keadaan/kesejahteraan janin

Diagnosa 3:

Gangguan rasa nyaman ( nyeri ) berhubungan dengan kontraksi uterus dan


pembukaan jalan lahir

Tujuan:

Setelah dilakukan tindakan perawatan ibu mengerti penyebab nyeri dan dapat
mengantisipasi rasa nyerinya

Kriteria Hasil:

 Ibu mengerti penyebab nyerinya

 Ibu mampu beradaptasi terhadap nyerinya

Intervensi:

1. Kaji tingkat intensitas nyeri pasien

R/ Ambang nyeri setiap orang berbeda ,dengan demikian akan dapat menentukan
tindakan perawatan yang sesuai dengan respon pasien terhadap nyerinya

2. Jelaskan penyebab nyerinya

R/ Ibu dapat memahami penyebab nyerinya sehingga bisa kooperatif

3. Ajarkan ibu mengantisipasi nyeri dengan nafas dalam bila HIS timbul
24
R/ Dengan nafas dalam otot-otot dapat berelaksasi , terjadi vasodilatasi pembuluh
darah, expansi paru optimal sehingga kebutuhan pada jaringan terpenuhi

4. Bantu ibu dengan mengusap/massage pada bagian yang nyeri

R/ untuk mengalihkan perhatian pasien

Diagnosa 4:

Gangguan psikologis ( cemas ) berhubungan dengan koping yang tidak efektif


terhadap proses persalinan

Tujuan :

Setelah dilakukan tindakan perawatan kecemasan ibu berkurang atau hilang

Kriteria Hasil :

 Ibu tampak tenang

 Ibu kooperatif terhadap tindakan perawatan

 Ibu dapat menerima kondisi yang dialami sekarang

Intervensi:

1. Kaji tingkat kecemasan ibu

R/Tingkat kecemasan ringan dan sedang bisa ditoleransi dengan pemberian


pengertian sedangkan yang berat diperlukan tindakan medikamentosa

2. Jelaskan mekanisme proses persalinan

3. R/Pengetahuan terhadap proses persalinan diharapkan dapat


mengurangi emosional ibu yang maladaptive

4. gali dan tingkatkan mekanisme koping ibu yang efektif

R/Kecemasan akan dapat teratasi jika mekanisme koping yang


dimiliki ibu efektif

5. Beri support system pada ibu

R/ ibu dapat mempunyai motivasi untuk menghadapi keadaan yang sekarang


secara lapang dada asehingga dapat membawa ketenangan hati

Kala II

Diagnosa 1:

Resiko terjadi injury pada ibu dan bayi berhubungan dengan dampak dari tindakan
ekstraksi dengan forceps

25
Tujuan:

Setelah dilakukan tindakan perawatan tidak terjadi injury pada ibu dan janin

Kriteria Hasil:

 APGAR SCOR diatas 7

 Tidak terjadi ruptur perineum

 Tidak terjadi ruptur uteri

Intervensi:

1. Pastikan bahwa pembukaan sudah lengkap

R/ Jika pembukaan belum lengkap bibir serviks bisa terjepit antara kepala anak
dan sendok sehingga terjadi robekan pada serviks

2. pastikan bahwa ketuban sudah pecah

R/ Bila ketuban belum pecah maka selaput janin akan ikut tertarik oleh forceps

3. Anjurkan ibu untuk tidak mengedan

R/ mengedan membutuhkan tenaga yang akhirnya dapat meningkatkan tekanan


darah sebagai kompensasi tubuh, bila tekanan darah semakin meningkat akan
memicu timbulnya kejang dan terjadi injury pada ibu maupun janin

4. bantu dokter dalam melakukan tindakan ekstraksi dengan forceps sesuai


standarisasi

R/ Tindakan forceps yang dilakukan dengan benar/ sesuai standart serta skill yang
memadai tanpa adanya penyulit akan terhindar dari terjadinya komplikasi pada
ibu maupun janin

Kala III

Diagnosa 1:

Resiko deficit cairan berhubungan dengan perdarahan post


partum

Tujuan:

Setelah dilakukan tindakan perawatan tidak terjadi deficit cairan


Kriteria Hasil :

 Keadaan umum baik

 Mukosa mulut basah

26
 Turgor kulit baik

 Tanda vital:

 TD: 100-120/70-80 mmHg

 Nadi: 60-80 x/mnt

 RR : 16-20 x/mnt

 Suhu : 36-37 C

 Perdarahan dalam batas normal : < 500 cc

Intervensi :

1. Kaji kontraksi uterus

R/ kontraksi uterus dapat membantu pelepasan plasenta

2. Cegah terjadinya perdarahan dengan mengobservasi pelepasan plasenta dan


mengeluarkan plasenta dengan peregangan tali pusat terkendali serta bekerja
dengan hati-hati

R/.untuk mencegah terjadinya rest plasenta sehingga tidak terjadi perdarahan

3. Kaji banyaknya darah yang keluar

R/ dengan mengetahui jumlah darah yang hilang akan dapat menentukan jumlah
darah/intake cairan yang diberikan agar terjaga keseimbangan

4. Beri minum peroral

R/ dapat menggantikan sairan yang hilang

5. Lakukan observasi tanda-tanda vital

R/ untuk memantau tanda –tanda gangguan keseimbangan cairan

Kala IV

Diagnosa 1:

Gangguan rasa nyaman ( nyeri ) berhubungan dengan luka episiotomy

Tujuan :

Setelah dilakukan tindakan perawatan rasa nyeri berkurang atau hilang

Kriteria hasil :

 mengatakan nyerinya berkurang atau hilang

 keadaan luka baik

27
 tanda-tanda infeksi tidak ada

Intervensi :

1. Beri penjelasan pada ibu penyebab nyerinya

R/ dengan mengerti penyebab nyerinya diharapkan ibu dapat kooperatif dan


menerima rasa nyerinya secara wajar

2. Anjurkan pada ibu untuk menghindari pergerakan yang berlebihan terutama yang
berkaitan dengan daerah sekitar luka episiotomy

R/ Pergerakan yang bisa membuat peregangan daerah luka akan menambah rasa
nyeri

3. Lakukan perawatan luka episiotomy secara aseptik dan anti septic

R/ Perawatan luka secara aseptic dan anti septic dapat mempercepat proses
penyembuhan luka sehingga nyeri bisa berkurang/hilang

4. Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian analgetik

R/ analgetik dapat mengurangi/menghilangkan rasa nyeri

Diagnosa 2:

Resiko terjadi infeksi berhubungan dengan adanya luka episiotomy


Tujuan :

Setelah dilakukan tindakan perawatan infeksi tidak terjadi

Kriteria Hasil :

 luka episiotomy tampak kering dan bersih

 luka tidak ada tanda-tanda infeksi

 tanda-tanda vital dalam batas normal

Intervensi :

1. Anjurkan ibu untuk menjaga kebersihan daerah luka episiotomy

R/ Kebersihan yang kurang terjaga bisa menimbulkan infeksi pada luka karena
masuknya kuman

2. Lakukan perawatan luka episiotomy secara aseptik dan anti septic

R/ Perawatan luka secara aseptic dan anti septic dapat mempercepat proses
penyembuhan luka dan mencegah terjadinya infeksi

3. Ajari ibu cara merawat luka

28
R/ ibu dapat mengerti cara merawat luka yang benar sehingga bisa mencegah
timbulnya infeksi

4. Kolaborasi dengan medis dalam pemberian antibiotic

R/ anti biotic dapat membunuh kuman

G. Pencegahan

Pada umumnya timbulnya eklampsia dapat dicegah, atau frekuensinya dikurangi.


Usaha-usaha untuk menurunkan frekuensi eklampsia terdiri atas:

1. Meningkatkan jumlah balai pemeriksaan antenatal dan mengusahakan agar semua


wanita hamil memeriksakan diri sejak hamil muda

2. Mencari pada tiap pemeriksaan tanda-tanda pre-eklampsia dan mengobatinya


segera

3. Mengakhiri kehamilan sedapat-dapatnya pada kehamilan 37 minggu keatas


apabila setelah dirawat tanda-tanda pre-eklampsia tidak juga dapat dihilangkan.

29
BAB III

PENUTUP

1. Kesimpulan

Pre-eklampsia adalah penyakit kehamilan yang belum diketahui penyebabnya, di


tandai dengan adanya hipertensi, edema, dan proteinuria. Pre-eklampsia ringan yang
tidak segera ditangani dapat menjadi berat bahkan menimbulkan eklampsia atau kejang
pada ibu hamil dan menyebabkan kematian pada ibu maupun janin. Sampai saat ini pre-
eklampsia dan eklampsia masih menjadi salah satu penyebab utama kematian perinatal.
Oleh karena itu penting bagi ibu untuk mengetahui sejak dini gejala-gejala pre-eklampsia
dan segera mengobati agar tidak menjadi pre-eklampsia berat maupun eklampsia.

30
DAFTAR PUSTAKA

Achadiat, Chrisdiono M. 2004. Prosedur Tetap Obstetri dan Ginekologi. Jakarta:

EGC

Astuti, Sri Lestari Dwi, Sunaryo , Tri. Haryati, Susi Dwi. 2013. Analisis Faktor

Resiko Yang Terjadinya Pre Eklampsi Berat Pada Ibu Hamil Trimester

Ketiga. Jurnal Nasional. Kementerian Kesehatan Politeknik Kesehatan

Surakarta Jurusan Keperawatan.

Leveno, Kenneth J. 2009. Williams Manual of Obstetrics. Ed, 21. Jakarta: EGC

Wiknjosastro, Hanifa. Saifuddin, Abdul Bari. Rachimhadhi, Trijatmo. 2005. Ilmu

Kebidanan.. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo

31

Anda mungkin juga menyukai