Pre-Eklampsia Dan Eklampsia
Pre-Eklampsia Dan Eklampsia
Oleh
Kelompok 1
AgusWidodo 14612597
FakultasIlmuKesehatan
UniversitasMuhammadiyahPonorogo
2016
1
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Persalinan adalah proses alamiah dimana terjadi dilatasi servik, lahirnya bayi dan
plasenta dari rahim ibu. Pada proses bersalin akan dipengaruhi oleh beberapa faktor
diantaranya adalah kekuatan otot-otot rahim saat ibu mengejan, anatomi atau kondisi
jalan lahir, dan kondisi janin yang dilahirkan. Selain itu kondisi dari ibu selama proses
kehamilan juga berpengaruh besar dalam mendukung proses persalinan.
Pada beberapa ibu sering dijumpai mengalami gangguan seperti penurunan berat
badan, hipertensi, nyeri, anemia, proteinuria, edema dan lain-lain yang berisiko
menyebabkan komplikasi persalinan pada ibu. Salah satu komplikasi pada proses
persalinan adalah Pre-Eklampsia yang dapat menjadi Eklampsia.
Pre-Eklampsia dan Eklampsia di Indonesia masih menjadi sebab utama kematian
pada ibu, dan sebab kematian perinatal yang tinggi selain faktor infeksi dan perdarahan.
Oleh sebab itu diagnosis dini Pre-Eklampsia yang merupakan tingkat pendahuluan
Eklampsia, serta penanganannya perlu segera dilaksanakan untuk menurunkan angka
kematian ibu dan anak.
2. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud Pre-Eklampsia dan Eklampsia?
2. Apa penyebab dan gejala yang muncul pada Pre-Eklampsia dan Eklampsia?
3. Bagaimana pencegahan serta penanganan pada Pre-Eklampsia dan Eklampsia?
3. Tujuan
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud Pre-Eklampsia dan Eklampsia
2. Untuk mengetahui apa penyebab dan gangguan yang muncul pada Pre-Eklampsia dan
Eklampsia
3. Untuk mengetahui bagaimana pencegahan serta penanganan pada Pre-Eklampsia-
Eklampsia
2
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pre-Eklampsia
A. Pengertian
Pre-Eklampsia adalah suatu sindrom khas-kehamilan yang ditandai dengan
hipertensi, edema, proteinuria yang timbul pada masa kehamilan. Penyakit ini biasa
timbul pada triwulan ke-3 kehamilan, tetapi dapat terjadi sebelumnya, misalnya pada
mola hidatidosa.
Hipertensi biasanya timbul lebih dahulu daripada tanda-tanda lain. Untuk
menegakkan diagnosis pre-eklampsia, maka kenaikan tekanan sistolik setidaknya
mencapai 30 mmHg atau lebih diatas tekanan yang biasa ditemukan atau mencapai 140
mmHg. Tekanan diastole juga bisa digunakan untuk menegakkan diagnosis bila tekanan
naik 15 mmHg atau lebih dari biasanya atau mencapai 90 mmHg.
Edema atau penimbunan cairan yang berlebihan dalam tubuh dapat diketahui dari
kenaikan berat badan serta pembengkakan kaki, jari tangan, dan muka. Edema pretibial
yang ringan sering ditemukan pada kehamilan biasa, sehingga tidak seberapa berarti
untuk penentuan diagnosis pre-eklampsia. Kenaiakan berat badan ½ kg setiap minggu
dalam kehamilan tetap dianggap normal, namun jika kenaikan 1 kg dalam seminggu dan
terjadi dalam beberapa kali, hal ini perlu menimbulkan kewaspadaan terhadap timbulnya
pr-eklampsia.
Proteinuria berarti konsentrasi protein dalam air kencing yang melebihi 0,3
gr/liter dalam air kencing 24 jam atau pemeriksaan kualitatif menunjukkan 1 atau 2 +
atau 1g/liter atau lebih dalam air kencing yang dikeluarkan dengan kateter yang diambil
minimal 2 kali dengan jarak waktu 6 jam. Proteinuria biasa terjadi paling lambat atau
setelah timbulnya hipertensi dan edema, sehingga dianggap menajdi gejala cukup serius
pada pre-eklampsia.
Pre-Eklampsia diolongkan menjadi ringan dan berat. Penyakit ini digolongkan
berat bila satu atau lebih tanda/gejala di bawah ini ditemukan:
1. Tekanan sistolik 160 mmHg atau lebih, atau tekanan diastolic 110 mmHg atau
lebih
2. Proteinuria 5g atau lebih dalam 24 jam, 3 atau 4 + pada pemeriksaan kualitatif
3. Oliguria, air kencing 400 ml atau kurang dalam 24 jam
4. Keluhan serebral, gangguan penglihatan atau nyeri pada epigastrium
5. Edema paru atau sianosis
B. Etiologi
Penyebab preeklampsia sampai saat ini masih belum diketahui secara pasti,
sehingga penyakit ini disebut dengan “The Diseases of Theories”. Beberapa faktor yang
berkaitan dengan terjadinya pre-eklampsia adalah :
1. Faktor Trofoblast
Semakin banyak jumlah trofoblast semakin besar kemungkina terjadinya
Preeklampsia. Ini terlihat pada kehamilan Gemeli dan Molahidatidosa. Teori ini
didukung pula dengan adanya kenyataan bahwa keadaan preeklampsia membaik
setelah plasenta lahir.
2. Faktor Imunologik
Preeklampsia sering terjadi pada kehamilan pertama dan jarang
timbul lagi pada kehamilan berikutnya. Secara Imunologik dan diterangkan bahwa
3
pada kehamilan pertama pembentukan “Blocking Antibodies” terhadap antigen
plasenta tidak sempurna, sehingga timbul respons imun yang tidak menguntungkan
terhadap Histikompatibilitas Plasenta. Pada kehamilan berikutnya, pembentukan
“Blocking Antibodies” akan lebih banyak akibat respos imunitas pada kehamilan
sebelumnya, seperti respons imunisasi.
Fierlie FM (1992) mendapatkan beberapa data yang mendukung adanya sistem imun
pada penderita Preeklampsia-Eklampsia :
a. Beberapa wanita dengan Preeklampsia-Eklampsia mempunyai komplek
imun dalam serum.
b. Beberapa studi juga mendapatkan adanya aktivasi system komplemen
pada Preeklampsia-Eklampsia diikuti dengan proteinuri.
Stirat (1986) menyimpulkan meskipun ada beberapa pendapat menyebutkan bahwa
sistem imun humoral dan aktivasi komplemen terjadi pada Preeklampsia, tetapi tidak
ada bukti bahwa sistem imunologi bisa menyebabkan Preeklampsia.
3. Faktor Hormonal
Penurunan hormon Progesteron menyebabkan penurunan Aldosteron antagonis,
sehingga menimbulkan kenaikan relative Aldoteron yang menyebabkan retensi air
dan natrium, sehingga terjadi Hipertensi dan Edema.
4. Faktor Genetik
Menurut Chesley dan Cooper (1986) bahwa Preeklampsia/eklampsia bersifat
diturunkan melalui gen resesif tunggal. Beberapa bukti yang menunjukkan peran
faktor genetic pada kejadian Preeklampsia-Eklampsia antara lain:
a. Preeklampsia hanya terjadi pada manusia.
b. Terdapatnya kecendrungan meningkatnya frekwensi Preeklampsia-
Eklampsia pada anak-anak dari ibu yang menderita Preeklampsia-
Eklampsia.
c. Kecendrungan meningkatnya frekwensi PreeklampsiaEklampsia pada
anak dan cucu ibu hamil dengan riwayat Preeklampsia-Eklampsia dan
bukan pada ipar mereka.
5. Faktor Gizi
Menurut Chesley (1978) bahwa faktor nutrisi yang kurang mengandung asam lemak
essensial terutama asam Arachidonat sebagai precursor sintesis Prostaglandin akan
menyebabkan “Loss Angiotensin Refraktoriness” yang memicu terjadinya
preeklampsia.
Jumlah primigravi, terutama primigravida muda
6. Distensi rahim berlebihan : hidramnion, hamil ganda, mola hidatidosa
7. Penyakit yang menyertai hamil : diaetes melitus, kegemukan
8. Jumlah umur ibu diatas 35 tahun ( Ida Bagus. 1998).
9. Pre-eklampsia ringan jarang menyebabkan kematian ibu, namun dapat berisiko
menjadi pre-eklampsia berat bahkan timbul eklampsia. Pada primigravida frekuensi
pre-eklampsia lebih tinggi bila dibandingkan dengan multigravida, terutama
primigravida muda. Diabetes militus, mola hidatidosa, kehamilan ganda, hidrops
fetalis, umur lebih dari 35 tahun, dan obesitas merupakan faktor predisposisi untuk
terjadinya pre-eklampsia.
C. Manifestasi Klinis Pre-Eklampsia
Biasanya tanda-tanda pre-eklampsia timbul pertambahan berat badan yang
berlebihan, diikuti edema, hipertensi, dan akhirnya proteinuria. Pada pre-eklampsia
4
ringan tidak ditemukan gejala-gejala subyektif. Pada pre-eklampsia berat didapatkan sakit
kepala didaerah frontal, skotoma, diplopia, penglihatan kabur, nyeri di daerah
epigastrium, mual atau muntah-muntah. Gejala-gejala ini sering ditemukan pada pre-
eklampsia yang meningkat dan merupakan petunjuk bahwa eklampsia akan timbul.
Tekanan darah pun meningkat lebih tinggi, edema menjadi lebih umum, dan proteinuria
bertambah banyak.
Pada umumnya diagnosis pre-eklampsia didasarkan atas adanya 2 dari trias tanda
utama: hipertensi, edema, dan proteinuria. Hal ini memang berguna untuk kepentingan
statstik, tetapi dapat merugikan penderita karena tiap tanda merupakan bahaya
kendatipun ditemukan tersendiri. Adanya satu tanda harus menimbulkan kewaspadaan,
apalagi karena cepat tidaknya penyakit meningkat tidak dapat dipastikan, dan bila
eklampsia terjadi maka prognosis bagi ibu maupun janin menjadi jauh lebih buruk.
D. Patofisiologi Pre-Eklampsia
5
Pada pre-eklampsia jarang terjadi ablasio retina, keadaan ini disertai dengan buta
sekonyong-konyong. Pelepasan retina disebabkan oleh edema intraokuler dan
merupakan indikasi untuk pengakhiran kehamilan segera. Biasanya setelah persalinan
berakhir, retina melekat lagi dalam 2 hari sampai 2 bulan.gangguan penglihatan
secara tetap jarang ditemukan.
Skotoma ,diplopia ,dan ambliopia pada penderita pre-eklampsia merupakan gejala
yang menunjukan akan terjadinya eklampsia.keadaan ini disebabkan oleh perubahan
aliran darah dalam pusat penglihatan di korteks serebri atau dalam retina.
4. Perubahan pada paru
Edema paru paru merupakan sebab utama kematian penderita pre-eklampsia dan
eklampsia. Komplikasi ini biasanya disebabkan oleh dekompensasio kordis kiri.
5. Perubahan pada otak
MeCall melaporkan bahwa resistensi pembuluh darah dalam otak pada hipertensi
dalam kehamilan lebih meninggi lagi pada eklampsia.walaupun demikian ,aliran
darah ke otak dan pemakaian oksigen pada pre-eklampsia tetap dalam batas
normal.pemakaian oksigen oleh otak hanya menurun pada eklampsia.
6. Metabolisme air dan elekterolit
Hemokonsentrasi yang menyertai pre-eklampsia dan eklampsia tidak diketahui
sebabnya. Terjadi disini pergeseran cairan dari ruang intravaskuler ke ruang
interstitial. Kejadian ini,yang diikuti oleh kenaikan hematokrit, peningkatan protein
serum, dan sering bertambahnya edema, menyebabkan volume darah mengurang,
viskositet darah meningkat, waktu peredaran darah tepi lebih lama.karena itu, aliran
darah ke jaringan di berbagai bagian tubuh mengurang, dengan akibat hipoksia.
Jumlah air dan natrium dalam badan lebih banyak pada penderita pre-eklampsia
dari pada wanita hamil biasa atau penderita dengan hipertensi menahun. penderita pre-
eklampsia tidak dapat mengeluarkan dengan sempurna air dan garam yang diberikan.hal
ini disebabkan oleh filtrasi glomerulus menurun, sedangkan penyerapan kembali tubulus
tidak berubah.
6
7
E. Penatalaksanaan Keperawatan
4) Melahirkan janin dengan cara yang paling aman dan cepat sesegera
mungkin setelah matur, atau imatur jika diketahui bahwa risiko janin atau
ibu akan lebih berat jika persalinan ditunda lebih lama.
a) Pantau tekanan darah, urin (untuk proteinuria), refleks, dan kondisi janin.
Diet biasa
Pantau tekanan darah 2 kali sehari dan urin (untuk proteinuria) sekali
sehari.
d) Diuretikum tidak diberikan secara rutin, kecuali bila ada edema paru-paru,
payah jantung. Diuretikum yang dipakai adalah furosemid.
e) Pemberian antihipertensi
Masih banyak perdebatan tentang penetuan batas (cut off) tekanan darah,
untuk pemberian antihipertensi. Misalnya Belfort mengusulkan cut off yang
dipakai adalah ≥ 160/110 mmHg dan MAP ≥ 126 mmHg. Di RSU Soetomo
Surabaya batas tekanan darah pemberian antihipertensi ialah apabila tekanan
sistolik ≥ 180 mmHg dan/atau tekanan diastolik ≥ 110 mmHg.
f) Pemberian glukokortikoid
9
Trombositopenia (<150.000/cc), agregasi (adhesi trombosit di dinding
vaskuler), kerusakan tromboksan (vasokonstriktor kuat), lisosom.
1. Data subyektif:
a) Umur: biasanya sering terjadi pada primi gravida, < 20 tahun atau > 35 tahun ·
Riwayat kesehatan ibu sekarang: terjadi peningkatan tensi, oedema, pusing,
nyeri epigastrium, mual muntah, penglihatan kabur.
d) Pola nutrisi: Jenis makanan yang dikonsumsi baik makanan pokok maupun
selingan ·
e) Psiko sosial spiritual: Emosi yang tidak stabil dapat menyebabkan kecemasan,
oleh karenanya perlu kesiapan moril untuk menghadapi resikonya
2. Data Obyektif:
b) Palpasi: untuk mengetahui Tinggi Fundus Uteri, letak janin, lokasi edema
e) Pemeriksaan penunjang:
1) Tanda vital yang diukur dalam posisi terbaring atau tidur, diukur 2 kali
dengan interval 6 jam o Laboratorium : protein uri dengan kateter atau
midstream (biasanya meningkat hingga 0,3 gr/lt atau +1 hingga +2 pada
skala kualitatif), kadar hematokrit menurun, BJ urine meningkat, serum
kreatini meningkat, uric acid biasanya > 7 mg/100 ml
3) TTV:
N : 80 – 90 x/mnt
S : 36 – 37 ºC
Rr : 16 – 20 x/mnt
g) Pemeriksaan Khusus:
a. Inspeksi
Muka: oedema.
b. Palpasi
Abdomen:
11
Leopold IV : untuk menentukan apa yang menjadi bagian bawah
dan berapa masuknya bagian bawah ke dalam rongga panggul ·
c. Auskultasi
Diagnosa 1:
Tujuan:
setelah dilakukan tindakan keperawatan elama 1x24 jam diharapkan perfusi jaringan
serebral klien adekuat
Intervensi:
R/: Tekanan diastole > 110 mmHg dan sistole 160 atau lebih merupkan indikasi
dari PIH
R/: Gejala tersebut merupakan manifestasi dari perubahan pada otak, ginjal,
jantung dan paru yang mendahului status kejang
4. Monitor adanya tanda-tanda dan gejala persalinan atau adanya kontraksi uterus
Diagnosa 2:
12
Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan penimbunan cairan pada paru: oedem
paru.
Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam diharapkan pertukaran gas
adekuat.
Intervensi:
Diagnosa 3:
Penurunan curah jantung berhubungan dengan penurunan aliran balik vena, payah
jantung.
Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam diharapkan curah jantung dapat
adekuat.
Intervensi:
R/: Perubahan pada fungsi eletromekanis dapat menjadi bukti pada respon terhadap
berlanjutnya gagal ginjal/akumulasi toksin dan ketidakseimbangan elektrolit.
2. Selidiki laporan kram otot kebas/kesemutan pada jari, dengan kejang otot,
hiperlefleksia.
R/: Selama fase oliguria, hiperkalemia dapat terjadi tetapi menjadi hipokalemia pada
fase diuretik atau perbaikan.
R/:Curah jantung tergantung pada volume sirkulasi (dipengaruhi oleh kelebihan dan
kekurangan cairan) dan fungsi otot miokardial.
Diagnosa 4:
Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam tidak terjadi kelebihan volume
cairan dengan kriteria hasil:
Klien menunjukkan haluaran urin tepat dengan berat jenis/hasil laboratorium mendekati
normal, berat badan stabil, tanda vital dalam batas normal, tak ada edema.
Intervensi:
R/: Takikardia dan hipertensi terjadi karena kegagalan ginjal untuk mengeluarkan
urin, pembatasan cairan berlebihan selama mengobati hipovolemia/hipotensi atau
perubahan fase oliguria gagal ginjal dan perubahan pada sisten renin-angiotensin.
R/: Perlu untuk menentukan fungsi ginjal, penggantian cairan dan penurunan resiko
kelebihan cairan dan penurunan resiko kelebihan cairan.
3. Kaji kulit, wajah area tergantung untuk edema. Evaluasi derajat edema (pada skala +1
sampai +4).
R/: Edema terjadi terutama pada jaringan yang tergantung pada tubuh contoh tangan,
kaki, area lumbosakral. BB pasien dapat meningkat sampai 4,5 kg cairan sebelum
edema pitting terdeteksi. Edema periorbital dapat menunjukkan tanda perpindahan
cairan ini karena jaringan rapuh ini mudah terdistensi oleh akumulasi cairan
walaupun minimal.
14
4. Kaji tingkat kesadaran , selidiki perubahan mental, adanya
gelisah.
5. Awasi pemeriksaan laboratorium, contoh: BUN, kreatinin, natrium dan kretinin urin,
natrium serum, kalium serum, Hb/Ht, foto dada.
Diagnosa 5:
Tujuan:
Intervensi:
1. Tingkatkan tirah baring /duduk, berikan lingkungan tenang, batasi pengunjung sesuai
keperluan.
4. Tingkatkan aktivitas sesuai toleransi, Bantu melakukan latihan rentang jarak sendi
pasif /aktif.
R/: Tirah baring lama menurunkan kemampuan. Ini dapat terjadi karena keterbatasan
aktivitas yang mengganggu periode istirahat.
Diagnosa 6:
Nyeri (Akut) berhubungan dengan kontraksi uterus dan pembukaan jalan lahir
15
Tujuan:
Setelah dilakukan tindakn keperaeatan selama 1x24 jam diharapkan nyeri klien
berkurang.
Intervensi:
R/: Ambang nyeri setiap orang berbeda ,dengan demikian akan dapat menentukan
tindakan perawatan yang sesuai dengan respon pasien terhadap nyerinya
3. Ajarkan ibu mengantisipasi nyeri dengan nafas dalam bila HIS timbul
R/: Dengan nafas dalam otot-otot dapat berelaksasi , terjadi vasodilatasi pembuluh
darah, expansi paru optimal sehingga kebutuhan 02 pada jaringan terpenuhi
Diagnosa 7:
Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan resiko cidera tidak
terjadi.
Intervensi:
R/: Tekanan diastole > 110 mmHg dan sistole 160 atau lebih merupkan indikasi dari
PIH
R/: Gejala tersebut merupakan manifestasi dari perubahan pada otak, ginjal, jantung
dan paru yang mendahului status kejang
4. Monitor adanya tanda-tanda dan gejala persalinan atau adanya kontraksi uterus
16
R/: Kejang akan meningkatkan kepekaan uterus yang akan memungkinkan terjadinya
persalinan
Diagnosa 8:
Resiko tinggi terjadinya kejang pada ibu berhubungan dengan penurunan fungsi organ
(vasospasme dan peningkatan tekanan darah).
Tujuan:
Tanda-tanda vital:
Suhu 36-37 C
Intervensi:
R/ Tekanan diastole > 110 mmHg dan sistole 160 atau lebih merupkan indikasi dari
PIH
R/ Gejala tersebut merupakan manifestasi dari perubahan pada otak, ginjal, jantung
dan paru yang mendahului status kejang
4. Monitor adanya tanda-tanda dan gejala persalinan atau adanya kontraksi uterus
17
R/ Anti hipertensi untuk menurunkan tekanan darah dan SM untuk mencegah
terjadinya kejang
Diagnosa 9:
Resiko tinggi terjadinya foetal distress pada janin berhubungan dengan perubahan pada
plasenta
Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan perawatan tidak terjadi foetal distress pada janin
Kriteria Hasil:
DJJ ( + ): 12-12-12
Intervensi:
R/ Peningkatan DJJ sebagai indikasi terjadinya hipoxia, prematur dan solusio plasenta
3. Jelaskan adanya tanda-tanda solutio plasenta (nyeri perut, perdarahan, rahim tegang,
aktifitas janin turun)
R/ Ibu dapat mengetahui tanda dan gejala solutio plasenta dan tahu akibat hipoxia
bagi janin
5. R/ Reaksi terapi dapat menurunkan pernafasan janin dan fungsi jantung serta aktifitas
janin
H. Pencegahan Pre-Eklampsia
Pemeriksaan antenatal yang teratur dan teliti dapat mengetahui tanda-tanda pre-
eklampsia untuk bisa diminimalkan sejak dini. Adanya factor-faktor predisposisi yang
dapat menimbulkan pre-eklampsia juga perlu diwaspadai. Walaupun timbulnya pre-
eklampsia tidak dapat dicegah sepenuhnya, namun angka kejadiannya dapat dikurangi
dengan pemberian penyluhan secukupnya dan pelaksanaan pengawasan yang baik pada
wanita hamil.
18
Penyuluhan tentang manfaat istirahat dan diet berguna dalam pencegahan.
Istirahat tidak selalu berbaring di tempat tidur, namun pekerjaan sehari-hari perlu
dikurangi, dan dianjurkan lebih banyak duduk dan berbaring. Diet tinggi protein, dan
rendah rendah lemak, karbohidrat, garam dan penambahan berat badan yang tidak
berlebihan perlu dianjurkan.
2. Eklampsia
A. Pengertian
Istilah eklamsia berasal dari bahasa yunani dan berarti “halilintar”. Kata tersebut
di pakai karena seolah-olahgejala-gejala eklampsia timbul dengan tiba-tiba tanpa di
dahului oleh tanda-tanda lain.
Eklamsia adalah Penyakit akut dengan kejang dan coma pada wanita hamil dan dalam
nifas dengan hipertensi, oedema dan proteinuria (Obtetri Patologi,R. Sulaeman
Sastrowinata, 1981) Eklamsia adalah suatu komplikasi kehamilan yg ditandai dengan
peningkatan TD (S > 180 mmHg,D > 110 mmHg),proteinuria,oedema,kejang dan/atau
penurunan kesadaran.
B. Etiologi
Etiologi penyakit ini belum diketahui pasti, banyak teori diungkapkan oleh para
ahli yang mencoba menerangkan penyebabnya. Teori yang sekarang dipakai oleh para
ahli sebagai penyebab eklampsi adalah teori ischemia plasenta namun teori ini belum
dapat menerangkan semua hal yang berkaitan dengan penyakit ini.
Penyakit ini dianggap sebagai suatu “Maldaptation Syndrom” dengan akibat suatu
vasospasme general dengan akibat yang lebih serius pada organ hati, ginjal, otak, paru-
paru dan jantung yakni tejadi nekrosis dan perdarahan pada organ-organ tersebut.
(Pedoman Diagnosis dan Terapi, 1994: 49)
1. Eklamsi gravidarum
2. Eklamsi parturientum
Kejadian sekitar 30-35% terjadi saat inpartu dimana batas dengan eklamsi gravidarum
sukar dibedakan terutama saat mulai inpartu.
3. Eklamsi puerperium
Kejadian jarang sekitar 10 % terjadi serangan kejang atau koma setelah persalinan
berakhir.
C. Manifestasi Klinis
19
Terjadi pada kehamilan 20 minggu atau lebih Terjadi kejang-kejang atau koma.
Kejang dalam eklamsi ada 4 tingkat, meliputi:
Berlangsung 30-35 detik, mata terpaku dan terbuka tanpa melihat (pandangan
kosong) kelopak mata dan tangan bergetar, kepala diputar kekanan dan kekiri.
Seluruh otot badan menjadi kaku, wajah kaku tangan menggenggam dan kaki
membengkok kedalam, pernafasan berhenti muka mulai kelihatan sianosis, lodah dapat
trgigit, berlangsung kira-kira 20-30 detik.
Semua otot berkontraksi dan berulang ulang dalam waktu yang cepat, mulut
terbuka dan menutup, keluar ludah berbusa dan lidah dapat tergigit. Mata melotot, muka
kelihatan kongesti dan sianosis. Setelah berlangsung selama 1-2 menit kejang klonik
berhenti dan penderita tidak sadar, menarik mafas seperti mendengkur.
4. Stadium koma
Hipertensi
Edema
Proteinuri
Penglihatan kabur
Lidah tergigit
20
Gangguan pernafasan
Perdarahan otak
D. Patofisiologi Eklampsia
a) Edema serebral
b) Perdarahan serebral
c) Infark serebral
d) Vasospasme serebral
f) Koagulopati intravaskuler
g) Ensefalopati hipertensi
Sedangkan koma yang terjadi pada eklampsia dapat disebabkan oleh kerusakan dua
organ vital:
E. Penatalaksanaan Eklampsia
Pasien eklamsia harus ditangani di Rumah Sakit dirujuk sebelumnya paslu diberi
pengobatan awal untuk mengatasi kejang dan pemberian obat Antihiperentensipa.
Berikan O2 4-6 liter/menit. Pasang infus D5 % 500 ml/ 6 jam dengan kecepatan 20 tetes
permenit.pasang kateter urin, pasang guedel atau spatel. Bahu diganjal kainsetebal 5 cm
21
agar lebih defleksi sedikit. Posisi tempat tidur dibuat sedikit fowler agar kepala tetap
tinggi. Fiksasi pasien agar tidak jatuh.
Lanjutkan MgSO4 sampai 2 jam pasca persalinan atau sampai tekanan darah
belum dapat dikendalikan. Berikan asupan kalori sebesar 1500 kal Iv atau dengan selang
NGT dalam 24 jam perawatan selama pasien belum dapat makan akibat kesadaran
menurun.
Kala I
Diagnosa 1:
Resiko tinggi terjadinya kejang pada ibu berhubungan dengan penurunan fungsi
organ (vasospasme dan peningkatan tekanan darah).
Tujuan:
Kriteria Hasil:
22
Kesadaran: compos mentis, GCS : 15 ( 4-5-6 )
Tanda-tanda vital:
Suhu: 36-37 C
RR : 16-20 x/mnt
Intervensi:
R/ Tekanan diastole > 110 mmHg dan sistole 160 atau lebih merupkan indikasi
dari PIH
4. Monitor adanya tanda-tanda dan gejala persalinan atau adanya kontraksi uterus
Diagnosa 2:
Resiko tinggi terjadinya foetal distress pada janin berhubungan dengan perubahan
pada plasenta
Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan perawatan tidak terjadi foetal distress pada janin
Kriteria Hasil:
DJJ ( + ) : 12-12-12
Intervensi:
23
1. Monitor DJJ sesuai indikasi
R/ Ibu dapat mengetahui tanda dan gejala solutio plasenta dan tahu akibat bagi
janin
R/ Reaksi terapi dapat menurunkan pernafasan janin dan fungsi jantung aktifitas
janin
Diagnosa 3:
Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan perawatan ibu mengerti penyebab nyeri dan dapat
mengantisipasi rasa nyerinya
Kriteria Hasil:
Intervensi:
R/ Ambang nyeri setiap orang berbeda ,dengan demikian akan dapat menentukan
tindakan perawatan yang sesuai dengan respon pasien terhadap nyerinya
3. Ajarkan ibu mengantisipasi nyeri dengan nafas dalam bila HIS timbul
24
R/ Dengan nafas dalam otot-otot dapat berelaksasi , terjadi vasodilatasi pembuluh
darah, expansi paru optimal sehingga kebutuhan pada jaringan terpenuhi
Diagnosa 4:
Tujuan :
Kriteria Hasil :
Intervensi:
Kala II
Diagnosa 1:
Resiko terjadi injury pada ibu dan bayi berhubungan dengan dampak dari tindakan
ekstraksi dengan forceps
25
Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan perawatan tidak terjadi injury pada ibu dan janin
Kriteria Hasil:
Intervensi:
R/ Jika pembukaan belum lengkap bibir serviks bisa terjepit antara kepala anak
dan sendok sehingga terjadi robekan pada serviks
R/ Bila ketuban belum pecah maka selaput janin akan ikut tertarik oleh forceps
R/ Tindakan forceps yang dilakukan dengan benar/ sesuai standart serta skill yang
memadai tanpa adanya penyulit akan terhindar dari terjadinya komplikasi pada
ibu maupun janin
Kala III
Diagnosa 1:
Tujuan:
26
Turgor kulit baik
Tanda vital:
RR : 16-20 x/mnt
Suhu : 36-37 C
Intervensi :
R/ dengan mengetahui jumlah darah yang hilang akan dapat menentukan jumlah
darah/intake cairan yang diberikan agar terjaga keseimbangan
Kala IV
Diagnosa 1:
Tujuan :
Kriteria hasil :
27
tanda-tanda infeksi tidak ada
Intervensi :
2. Anjurkan pada ibu untuk menghindari pergerakan yang berlebihan terutama yang
berkaitan dengan daerah sekitar luka episiotomy
R/ Pergerakan yang bisa membuat peregangan daerah luka akan menambah rasa
nyeri
R/ Perawatan luka secara aseptic dan anti septic dapat mempercepat proses
penyembuhan luka sehingga nyeri bisa berkurang/hilang
Diagnosa 2:
Kriteria Hasil :
Intervensi :
R/ Kebersihan yang kurang terjaga bisa menimbulkan infeksi pada luka karena
masuknya kuman
R/ Perawatan luka secara aseptic dan anti septic dapat mempercepat proses
penyembuhan luka dan mencegah terjadinya infeksi
28
R/ ibu dapat mengerti cara merawat luka yang benar sehingga bisa mencegah
timbulnya infeksi
G. Pencegahan
29
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
30
DAFTAR PUSTAKA
EGC
Astuti, Sri Lestari Dwi, Sunaryo , Tri. Haryati, Susi Dwi. 2013. Analisis Faktor
Resiko Yang Terjadinya Pre Eklampsi Berat Pada Ibu Hamil Trimester
Leveno, Kenneth J. 2009. Williams Manual of Obstetrics. Ed, 21. Jakarta: EGC
31