Oleh,
MAHMUD MULYADI
NIP 132 299 900
Mahmud Mulyadi : Revitalisasi Alas Filosofis Tujuan Pemindanaan dalam Penegakan Hukum Pidana Indonesia, 2006
USU Repository © 2006
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur senantiasa dipanjatkan kehadirat Allah SWT atas segala
berkah dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini bisa diciptakan yang berjudul "
pada pemikiran yang positivis sebagaimana yang terdapat dalam KUHP. Karya
ilmiah ini mencoba melihat kembali alas filosofis pemidanaan dengan menawarkan
Semoga karya ilmiah ini semakin memperkaya khazanah ilmu hukum pidana
di Indoensia. Tentu saja, diharapkan karya ilmiah ini bermanfaat bagi pembaca
semua. Trimakasih.
Mahmud Mulyadi
Mahmud Mulyadi : Revitalisasi Alas Filosofis Tujuan Pemindanaan dalam Penegakan Hukum Pidana Indonesia, 2006
USU Repository © 2006
DAFTAR ISI
E. Penutup …………………………………….………………..………..…………… 25
Mahmud Mulyadi : Revitalisasi Alas Filosofis Tujuan Pemindanaan dalam Penegakan Hukum Pidana Indonesia, 2006
USU Repository © 2006
REVITALISASI ALAS FILOSOFIS TUJUAN PEMIDANAAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA INDONESIA
A. Latar Belakang
seluruh lapisan masyarakat, baik di dalam maupun luar negeri. Setelah sempat mengalami
cara telah dilakukan, misalnya dengan mengandalkan institusi penegakan hukum yang
sudah ada, bahkan pembentukan berbagai komisi hukum dan penempatan berbagai
individu yang professional dan berkualitas serta bebas dari kepentingan, namun upaya-
Dari sekian banyak bidang hukum, maka dapat dikatakan bahwa bidang hukum
pidana (termasuk system dan proses peradilan pidananya) menempati urutan pertama
yang tidak hanya mendapat sorotan, tetapi juga mendapat celaan yang luar biasa
dibandingkan dengan bidang hukum lainnya. Pertanyaan yang muncul atas fenomena ini
adalah, apakah ini berarti juga bahwa hukum pidana dan system peradilan pidananya
Proses peradilan pidana yang berawal dari tahap penyelidikan oleh kepolisian,
yang sah terhadap pelaku kejahatan. Pidana sendiri merupakan suatu pranata social yang
1
Harkristuti Harkrisnowo (2003). Rekonstruksi Konsep Pemidanaan: Suatu Gugatan terhadap Proses
Legislasi dan Pemidanaan di Indonesia. Orasi pada Upacara Pengukuhan Guru Besar Tetap dalam Ilmu
Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Depok: hal. 2.
Mahmud Mulyadi : Revitalisasi Alas Filosofis Tujuan Pemindanaan dalam Penegakan Hukum Pidana Indonesia, 2006
USU Repository © 2006
yang dibuat sebagai reaksi terhadap pelanggran “hati nurani bersama.” Oleh karena itulah
hukum pidana yang merupakan sarana kontrol social dan sebagai produk politik,
sepantasnya merupakan sublimasi dari semua nilai masyarakat yang dirangkum dan
dirumuskan oleh para legislator dan diterapkan oleh aparat dalam Sistem Peradilan
Pidana.
merumuskan ketentuan pidana sesuai dengan hati nurani masyarakat dengan menggali
CJS (polisi, jaksa, hakim, pengacara, LP) telah berbicara selaras dengan nurani
ini harus dijawab dengan fakta hari ini bahwa masih menunjukan terjadinya anomali
Dilaporkan oleh Harian Kompas bahwa pada awalnya dukungan pemerintah untuk
semakin bergairah. Apalagi dengan prestasi KPK dalam mengungkap kasus korup di KPU
membuat citra penegakan hukum bersinar sehingga pemerintahan SBY menuai pujian dari
masyarakat karena 63,6% hasil jajak pendapat menyatakan puas terhadap kinerja tim SBY
Sinar penegakan hukum ini kembali buram ketika mulai terlihat adanya indikasi
suap dan korupsi di tubuh lembaga legislative dan di Mahkamah Agung. Ini merupakan
bagi penegakan hukum, ternyata tak luput dari kejahatan. Terungkapnya percaloan di
2
Kompas, Hukum di Atas Pilar yang Gamang, Senin,10 Oktober 2005, hal. 5.
Mahmud Mulyadi : Revitalisasi Alas Filosofis Tujuan Pemindanaan dalam Penegakan Hukum Pidana Indonesia, 2006
USU Repository © 2006
DPR menyadarkan kita bahwa lembaga penting yang bergerak di hulu dengan
Sementara di wilayah hilir penegakan hukum, juga semerbak dengan aroma KKN.
Terungkapnya kasus kejanggalan rekening beberapa petinggi Polri dan dugaan penyuapan
jajak pendapat Kompas menyatakan bahwa kondisi penegakan hukum di Indonesia masih
buruk. Penilaian negati publik ini tidak hanya terpaku pada kinerja lembaga-lembaga
hukum secara umum, tetapi juga mengarah kepada aparat hukum yang berperan besar
dalam proses menentukan hukum yang berkeadilan dalam masyarakat, termasuk institusi
kejaksaan dan pengacara, juga tidak terlepas dari citra negatif ini. 3
aparat penegak hukum, menjadikan kinerja tanpa arah dan pencapaian visi yang tidak
jelas. Akhirnya penegakan hukum berjalan tercerabut dari akar nilai-nilai pilosofis konsep
kezaman dan menjadi issu sentral dalam hukum pidana karena pidana atau hukuman
selalu berkenaan dengan tindakan-tindakan yang apabila bukan dilakukan oleh negara
3
Ibid.
Mahmud Mulyadi : Revitalisasi Alas Filosofis Tujuan Pemindanaan dalam Penegakan Hukum Pidana Indonesia, 2006
USU Repository © 2006
dengan berlandaskan hukum,maka akan menjadi tindakan yang bertentangan dengan
moral. Oleh karena itulah falsafah pemidanaan berusaha mencari pembenaran terhadap
beberapa teori tentang tujuan pemidanaan, yaitu retributif atau teori absolut, teori relatif
defence).
kejahatan yang telah dilakukan seseorang. Kejahatan dipandang sebagai perbuatan yang
imoral dan asusila 4 di dalam masyarakat, oleh karena itu pelaku kejahatan harus dibalas
Menurut Remmelink, 6 teori retributif atau teori absolut dapat dikatakan sama
tuanya dengan awal pemikiran tentang pidana. Syarat pembenaran penjatuhan pidana
tercakup dalam kejahatan itu sendiri. Pemikiran ini beranjak dari pandangan yang absolut
terhadap pidana. Dalam konteks ajaran ini, pidana merupakan res absoluta ab affectu
4
Aleksandar Fatic (1995). Punishment and Restorative Crime – Handling. USA: Avebury Ashagate
Publishing Limited, hal. 9. Teori retributif dalam tujuan pemidanaan disandarkan pada alasan bahwa
pemidanaan merupakan “morally Justifed” (pembenaran secara moral) karena pelaku kejahatan dapat
dikatakan layak untuk menerimanya atas kejahatannya. Asumsi yang penting terhadap pembenaran untuk
menghukum sebagai respon terhadap suatu kejahatan karena pelaku kejahatan telah melakukan pelanggaran
terhadap norma moral tertentu yang mendasari aturan hukum yang dilakukannya secara sengaja dan sadar
dan hal ini merupakan bentuk dari tanggung jawab moral dan kesalahan hukum si pelaku.
5
J.M. van Bemmelen (1997). Hukum Pidana 1. Bandung: Bina Cipta, Cetakan Kedua, hal. 25.
6
Jan Remmelink (1993). Hukum Pidana, Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari KUHP Belanda
dan Padanannya dalam KUHP Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, hal. 600.
Mahmud Mulyadi : Revitalisasi Alas Filosofis Tujuan Pemindanaan dalam Penegakan Hukum Pidana Indonesia, 2006
USU Repository © 2006
futuro (suatu keniscayaan yang terlepas dari dampaknya di masa depan). Dilakukannya
Penjatuhan pidana kepada pelaku kejahatan dalam teori retributif ini, menurut
perasaan adil bagi dirinya, temannya, maupun keluarganya.Perasaan ini tidak dapat
dihindari dan tidak dapat dijadikan alasan untuk menuduh tidak menghargai hukum.
anggota masyarakat yang lainnya bahwa setiap perbuatan yang merugikan orang lain
atau memperoleh keuntungan dari orang lain secara tidak wajar, maka akan menerima
suatu pelanggaran dengan pidana yang dijatuhkan. Tipe aliran retributif ini disebut
proportionality.
7
Lihat juga Andrew Ashworth (1994). Sentencing, dalam The Oxford Handbook of Criminology. Mike
Maguire et.all (Ed.). New York: Oxford University Press, hal. 819. Menurut Andrew Ashworth, teori retributif
mempunyai sejarah yang panjang, termasuk di dalamnya tulisan dari Kant dan Hegel. Teori retributif ini
muncul kembali dalam era modern pada tahun 1970-an, yang didorong oleh kegagalan secara luas
pelaksanaan ide rehabilitasi. Pemidanaan dibenarkan sebagai suatu respon yang pantas atau cocok untuk
kejahatan, suatu tuntutan yang fundamental dari intuisi manusia dan pemidanaan ini harus proporsional
dengan tingkat kesalahan. Dalam hal ini, adanya justifikasi dari institusi pemidanaan juga unsur yang harus
ada sebagai konsekuensi untuk penanggulangan kejahatan. Institusi pemidanaan ini sangat penting sekali
karena tanpanya akan memungkinkan terjadinya anarki. Tindakan pembalasan setimpal ini dilandaskan pada
pemikiran bahwa setiap individu bertanggung jawab dan mempunyai kebebasan penuh secara rasional dalam
mengambil keputusan. Sedangkan dasar pemikiran secara politik disandarkan bahwa setiap individu berhak
atas penghargaan dan harga diri yang sama. Seorang pelaku kejahatan dalam kondisi ini tidak kehilangan
haknya atas penghukuman tersebut, dan mempunyai hak untuk tidak dihukum secara tidak proporsional
terhadap kejahatan yang dilakukannya. Proporsional merupakam kunci dari konsep teori pembalasan setimpal.
Ukuran yang utama dari proporsionalitas ini adalah semua ukuran dari tingkatan pemidanaan ini tidak boleh
melewati batas secara kesesuaian dengan keseriusan suatu perbuatan.
8
Romli Atmasasmita (1995). Kapita Selekta Hukum Pidana dan Krimonologi. Bandung: Mandar Maju,
hal. 83-84.
Mahmud Mulyadi : Revitalisasi Alas Filosofis Tujuan Pemindanaan dalam Penegakan Hukum Pidana Indonesia, 2006
USU Repository © 2006
Sedangkan teori relatif memandang bahwa pemidanaan mempunyai tujuan lain
yang lebih berarti dari tujuan pembalasan, yaitu perlindungan masyarakat dan
masyarakat supaya tidak melakukan kejahatan. Prevensi umum ini menurut van Veen
mempunyai tiga fungsi, yaitu menegakkan wibawah pemerintah, menegakkan norma dan
membentuk norma. Prevensi khusus dimaksudkan bahwa dengan pidana yang dijatuhkan,
dengan pidana pencabutan kebebasan selama beberapa waktu, maka masyarakat akan
Nigel Walker menamakan aliran ini sebagai paham reduktif (reductivism) karena
dasar pembenaran dijatuhkannya pidana dalam pandangan aliran ini adalah untuk
mengurangi frekuensi kejahatan (… the justification for penalizing offences is that this
9
T. Mathiesen (1995). General Prevention as Communication dalam A Reader on Punishment. R.A.
Duff and David Garland (Ed.). New York: Oxford University Press, Inc., hal. 221. General prevention menurut
T. Mathiesen merupakan sebagai sarana komunikasi yang berupa pesan dari negara sebagai pemegang
otoritas untuk menjatuhkan pemidanaan kepada masyarakat. Pesan in terdiri dari: “(1) Punishment is a
massage which intends to say that crime does not pay (deterrence);(2) It is a massage which intends to say
that you should avoid certain act because they are morally improper or incorrect (moral education); (3) It is a
massage which intends to say that you should get into habit of avoiding certain acts (habit formation).Tugas
untuk menyampaikan pesan negara ini, terutama menjadi tanggung jawab dari komponen-komponen sistem
peradilan pidana.
10
J.M. van Bemmelen, Op. Cit., hal. 28
11
Negel Walker (1995). Reductivism and deterrence. dalam A Reader on Punishment. R.A. Duff and
David Garland (Ed.). New York: Oxford University Press, hal. 212.
Mahmud Mulyadi : Revitalisasi Alas Filosofis Tujuan Pemindanaan dalam Penegakan Hukum Pidana Indonesia, 2006
USU Repository © 2006
1. Pencegahan terhadap pelaku kejahatan (deterring the offender), yaitu membujuk si
pelaku untuk menahan diri atau tidak melakukan pelanggaran hukum kembali melalui
2. Pencegahan terhadap pelaku yang potensial (deterring potential imitators), dalam hal
ini memberikan rasa takut kepada orang lain yang potensial untuk melakukan
kejahatan dengan melihat contoh pidana yang telah dijatuhkan kepada si pelaku
3. Perbaikan si pelaku (reforming the offender), yaitu memperbaiki tingkah laku sipelaku
sehingga muncul kesadaran si pelaku untuk cenderung tidak melakukan kejahatan lagi
dengan cara ini, secara tidak langsung dapat mengurangi frekuensi kejahatan;
5. Melindungi masyarakat (protecting the public), melalui pidana penjara yang cukup
lama.
Teori Gabungan berusaha meretas jalan dan menemukan benang merah antara
kedua teori di atas. Teori gabungan mengakui bahwa pembalasan (retributive) merupakan
bahwa penjatuhan pidana ini harus membawa manfaat untuk mencapai tujuan lain,
misalnya kesejahteraan masyarakat (social welfare). Tokoh teori gabungan ini adalah
Pallegrino Rossi (1787-1848), dalam bukunya yang berjudul “Traite de Droit Penal”
menyatakan bahwa pembenaran pidana terletak pada pembalasan dan hanya orang yang
bersalah yang boleh dipidana. Pidana yang dijatuhkan harus sesuai dengan kejahatan
Mahmud Mulyadi : Revitalisasi Alas Filosofis Tujuan Pemindanaan dalam Penegakan Hukum Pidana Indonesia, 2006
USU Repository © 2006
yang dilakukan, sehingga beratnya pidana harus sesuai dengan beratnya kejahatan yang
dilakukan. 12
Teori gabungan ini coba menyatukan tujuan pemidanaan sebagai pembalasan dan
juga untuk pencegahan. Kedua tujuan ini merupakan gabungan antara teori retributif dan
teori relatif di atas. Ketiga teori ini masih mengakui peranan hukum pidana dalam
bukan pada perbuatannya. Namun pemidanaan yang dimaksudkan oleh aliran ini adalah
pelaku kejahatan sebagai pengganti dari penghukuman. Argumen aliran positif ini
dilandaskan pada alasan bahwa pelaku kejahatan adalah orang yang sakit sehingga
12
Ibid., hal. 29.
13
C. Ray Jeffery (1977). Crime Prevention Through Environmental Design. Beverly Hills-London:
SAGE Publication, Inc., hal. 18. Aliran positif lahir pada abad ke-19 yang dipelopori oleh Casare Lombroso
(1835-1909), Enrico Ferri (1856-1928), dan Raffaele Garofalo (1852-1934). Mereka menggunakan pendekatan
metode ilmiah untuk mengkaji kejahatan dengan mengkaji karakter pelaku dari sudut pandang ilmu biologi,
psikologi dan sosiologi dan objek analisisnya adalah kepada pelaku, bukan kejahatannya. Aliran positif
berkembang pada abad ke-19 yang dihasilkan oleh perkembangan filsafat empirisme di Inggris sebagaimana
yang ditemukan dalam ajaran Locke dan Hume, teori Darwin tentang “biological determinisme”, teori
sociological positivism dari Comte dan teori ekonomi Karl Marx. Akhirnya perkembangan filsafat di atas
membawa pengaruh bagi lahirnya paham behaviorism, experimental psychology, psychological psychology dan
objectivity.
Lihat juga Rudolp J. Gerber and Patrick D. McAnany (1970). Philosophy of Punishment, dalam The
Sociology of Punishment & Correction. Gerber dan McAnany menyatakan bahwa munculnya paham
rehabilitasionis dalam ilmu pemidanaan sejalan dengan gerakan reformasi penjara. Melalui pendekatan
kemanusiaan, maka paham ini melihat bahwa sistem pemidanaan pada masa lampau menyebabkan tidak
adanya kepastian nasib seseorang. Berdasarkan pendekatan keilmuan, maka aliran rehabilitasi berusaha
membuat jelas dan melahirkan suatu dorongan untuk memperbaiki pelaku kejahatan sebagai tema sentral
mengenyampingkan semua tujuan lain dari pemidanaan. Jadi gerakan rehabilitionist merupakan paham yang
menentang sistem pemidanaan pada masa lalu, baik untuk tujuan retributif, maupun tujuan deterrence.
Lihat juga Lloy Ohlin (1970). Modification of the Criminal Value system dalam The Sociology of
Punishment & Correction. Dalam Leonard Savitz dan Marvin E. Wolfgang (Ed.). New York: John Wiley & Sons,
Inc., hal. 499. Ohlin menyatakan bahwa “In a number of prison system recent humanitarian reform design to
alleviate the punitive aspects of prison life have become improperly edentified as rehabilitation programs. Such
humanitarian reforms appear desirable, for they set the frame work within which succesfully treatment
Mahmud Mulyadi : Revitalisasi Alas Filosofis Tujuan Pemindanaan dalam Penegakan Hukum Pidana Indonesia, 2006
USU Repository © 2006
Aliran positif 14 melihat kejahatan secara empiris dengan menggunakan metode
kejahatan. Aliran ini beralaskan paham determinisme yang menyatakan bahwa seseorang
kehendak bebas dan dibatasi oleh berbagai faktor, baik watak pribadinya, faktor biologis,
maupun faktor lingkungan. Oleh karena itu pelaku kejahatan tidak dapat dipersalahkan
dan dipidana, melainkan harus diberikan perlakuan (treatment) untuk re-sosialisasi dan
perbaikan sipelaku. 15
tokoh terkenalnya adalah Fillipo Gramatica, yang pada tahun 1945 mendirikan Pusat Studi
programs may be instituted. This reform in themselves, however, do not create changes in criminal value
system. In that such reform give evidence of good intention and desire of the prison authorities to interest
themselves in the inmate’s welfare, they create the possibility of establishing relatinship of trust, rapport, and
loyalty between the administration and certain conventionally motivated inmates.”
14
Freda Adler et. al. (1995). Criminology. USA: McGraw-Hill, Second Edition, hal. 59-61. Aliran Positif
dipelopori oleh Cassare Lombroso (1835-1909), Enrico Ferri (1856-1929) dan Rafaele Garofalo (1852-1934).
Menjelang akhir abad ke-18, perkembangan yang penting dari ilmu alam dan ilmu sosial mempengaruhi
pemikiran tentang kejahatan. August Comte (1798-1857) seorang sosiolog berkebangsaan Perancis,
menerapkan pendekatan metode ilmu pengetahuan alam kepada ilmu-ilmu sosial melalui bukunya yang
berjudul “Cours de Philosophie Positive” atau “Course in Positive Philosophy”, diterbitkan antara tahun 1830
dan 1842. Comte menyatakan bahwa “There could be no real knowledge of social phenomena unless it was
based on a positivist (scientific) approach”. Perkembangan ilmu pengetahuan saat itu juga dipengaruhi oleh
Charles Darwin (1809-1892) dengan teori evolusinya. Lombroso menyatukan pemikiran Comte dan Darwin
untu menjelaskan hubungan antara kejahatan dengan bentuk tubuh manusia. Lombroso menerbitkan bukunya
yang berjudul “L’uomo Delinquente” atau “The Criminal Man” pada tahun 1876, yang menandai bahwa
terjadinya transformasi kajian mengenai kejahatan dari tataran yang abstrak (philosopis) ke ranah yang lebih
konkrit melalui pendekatan metode ilmiah. Lombroso dengan teorinya born criminal menyatakan bahwa ada
suatu kekhasan tertentu yang disebutnya Atavistic Stigmata yang membedakan manusia kriminal dengan yang
bukan kriminal, yang dapat dilihat dari bentuk fisik seseorang.
15
Lihat juga J. Robert Lilly et, al. (1995). Criminological Theory, Context and Consequences. London-
New Delhi: SAGE Publications, Second Edition, hal. 22-25. Ketiga tokoh aliran posif ini menolak doktrin free will
dan menggantinya dengan konsep determinisme. Ferri (1856-1929) melihat akar terjadinya kejahatan dari
berbagai faktor, yaitu faktor sosial, ekonomi dan politik. Garofalo melihat kejahatan dari aspek Psychological
Equivalent yang disebutnya sebagai moral anomalies. Berdasarkan faktor-faktor penyebab di atas, mereka
sepakat bahwa pelaku kejahatan tidak bisa diminta pertanggungjawabannya karena mereka tidak dapat
memilih untuk melakukan kejahatan, melainkan faktor-faktor di ataslah yang mendorong mereka untuk
berbuat kejahatan. Mereka sepakat juga bahwa masyarakat harus diberikan perlindungan dari akibat yang
muncul dari kejahatan ini dan oleh karenanya tujuan hukum pidana dan kebijakan hukum pidana harus
menyediakan sarana untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat.
Mahmud Mulyadi : Revitalisasi Alas Filosofis Tujuan Pemindanaan dalam Penegakan Hukum Pidana Indonesia, 2006
USU Repository © 2006
ini (Setelah Kongres Ke-2 Tahun 1949) terpecah menjadi dua aliran, yaitu aliran yang
salah satu tulisannya berjudul “The fight against punishment” (La Lotta Contra La Pena).
pidana yang ada sekarang. Tujuan utama dari hukum perlindungan sosial adalah
perbuatannya.”
alirannya sebagai “Defence Sociale Nouvelle” atau “New Social Defence” atau
“Perlindungan Sosial Baru”. Menurut Marc Ancel, tiap masyarakat mensyaratkan adanya
tertib sosial, yaitu seperangkat peraturan-peraturan yang tidak hanya sesuai dengan
kebutuhan untuk kehidupan bersama, tetapi sesuai dengan aspirasi warga masyarakat
pada umumnya. Oleh karena itu, peranan yang besar dari hukum pidana merupakan
16
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana. Bandung: Alumni, hal. 35. Lihat
Romli Atmasasmita (1996). Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System), Perspektif Eksistensialisme dan
Abolisionisme. Bandung: Bina Cipta, hal. 97. Gerakan yang dipelopori oleh Gramatica ini melahirkan gerakan
yang menghendaki penghapusan hukum pidana (abilisionisme). Penggunaan hukum pidana sebagai salah
satau sarana penanggulangan kejahatan ditentang secara radikal oleh kaum abolisionisme. Hukum pidana
dalam perspektif kaum abolisionisme dirasakan sebagai sesuatu yang kurang manusiawi, oleh karena itu
pemidanaan tidak perlu dan harus dihapuskan, serta diganti dengan hukum kerja sosial. Paham Abolisionisme
mulai dikembangkan oleh Louk Hulsman dari Belanda ketika ia menjadi ketua Hukum Pidana dan Kriminologi
Universitas Erasmus, Rotterdam pada tahun 1964. Arah pemikiran Hulsman yang secara eksplisit memiliki
perspektif abolisionis tampak nyata dalam sebuah pidato wisudanya yang berjudul Handhaving van Recht
(The Maintenance of Justice). Dalam pidatonya ini ia sangat memperhatikan aspek kemanusiaan yang
dipandangnya dapat luntur oleh keadilan yang dicapai melalui pelaksanaan hukum pidana.Paham
Abolisionisme mulai dikembangkan oleh Louk Hulsman dari Belanda ketika ia menjadi ketua Hukum Pidana
dan Kriminologi Universitas Erasmus, Rotterdam pada tahun 1964. Arah pemikiran Hulsman yang secara
eksplisit memiliki perspektif abolisionis tampak nyata dalam sebuah pidato wisudanya yang berjudul
Handhaving van Recht (The Maintenance of Justice). Dalam pidatonya ini ia sangat memperhatikan aspek
kemanusiaan yang dipandangnya dapat luntur oleh keadilan yang dicapai melalui pelaksanaan hukum pidana.
17
Marc Ancel (1965). Social Defence, Modern Approach to the Criminal Problem. London: Roatledge &
Paul Keagen, hal. 74.
Mahmud Mulyadi : Revitalisasi Alas Filosofis Tujuan Pemindanaan dalam Penegakan Hukum Pidana Indonesia, 2006
USU Repository © 2006
kebutuhan yang tidak dapat dielakkan bagi suatu sistem hukum. Beberapa konsep
pandangan moderat: 18
mengenai hukum pidana, dan ini tidak kurang pentingnya dari kehidupan
3. Dalam menggunakan sistem hukum pidana, aliran ini menolak penggunaan fiksi-
fiksi dan tekniks-tekniks yuridis yang terlepas dari kenyataan sosial. Ini merupakan
Aliran moderat ini juga lahir sebagai jawaban terhadap kegagalan aliran positif
paham rehabilitasionis dalam ilmu pemidanaan sejalan dengan gerakan reformasi penjara.
pemidanaan pada masa lampau menyebabkan tidak adanya kepastian nasib seseorang.
Berdasarkan pendekatan keilmuan, maka aliran rehabilitasi berusaha membuat jelas dan
melahirkan suatu dorongan untuk memperbaiki pelaku kejahatan sebagai tema sentral
18
Ibid, hal. 35.
19
Rudolp J. Gerber and Patrick D. McAnany (1970). Philosophy of Punishment, dalam The Sociology
of Punishment & Correction. Leonard Savitz dan Marvin E. Wolfgang (Ed.). New York: John Wiley & Sons, Inc.,
hal. 352. Lihat juga Lloy Ohlin (1970). Modification of the Criminal Value system dalam The Sociology of
Punishment & Correction. Leonard Savitz dan Marvin E. Wolfgang (Ed.). New York: John Wiley & Sons, Inc.,
hal. 499. Ohlin menyatakan bahwa “In a number of prison system recent humanitarian reform design to
alleviate the punitive aspects of prison life have become improperly edentified as rehabilitation programs. Such
humanitarian reforms appear desirable, for they set the frame work within which succesfully treatment
programs may be instituted. This reform in themselves, however, do not create changes in criminal value
system. In that such reform give evidence of good intention and desire of the prison authorities to interest
Mahmud Mulyadi : Revitalisasi Alas Filosofis Tujuan Pemindanaan dalam Penegakan Hukum Pidana Indonesia, 2006
USU Repository © 2006
merupakan paham yang menentang sistem pemidanaan pada masa lalu, baik untuk tujuan
yang diperkirakan karena paham ini juga banyak menuai kritikan. Kritikan pertama
ditujukan pada kenyataannya bahwa hanya sedikit negara yang mempunyai fasilitas untuk
Kritikan kedua, adanya tuduhan yang serius bahwa pendekatan yang digunakan
oleh paham rehabilitasi adalah pendekatan yang mengundang tirani individu dan
penolakan hak asasi manusia. Misalnya dalam hal proses pelaksanaan rehabilitasi ini tidak
seseorang pun yang dapat memprediksi berapa lama pengobatan akan berlangsung ketika
seorang tahanan segera diserahkan kepada dokter untuk disembuhkan atau diobati
sebelum tahanan itu dibebaskan. Dalam hal ini juga sulit untuk mengontrol otonomi
keputusan dokter. Menurut Lewis sebagaimana yang dikemukakan oleh Gerber McAnany
bahwa sebagian besar metode treatment yang dilakukan dengan penuh kebaikan dan atas
“It is not Lewis’s point, nor any other of its critics, that rehabilitation is not a valid
goal of society, but they all insist that some other more fundamental justification
must be present to provide support for what must be conceived as only ancillary to
the essential nature of punishment. Not only must we seek justification for
punishment elsewhere, but a clear limit must be placed on what criminals can be
forced to undergo for their own benefit.”
Berdasarkan uraian di atas, maka Lewis dan pengkritik lainnya menyatakan bahwa
rehabilitasi bukanlah tujuan yang valid dari masyarakat, namun adanya penegasan bahwa
themselves in the inmate’s welfare, they create the possibility of establishing relatinship of trust, rapport, and
loyalty between the administration and certain conventionally motivated inmates.”
20
Ibid, hal. 354.
21
Ibid.
Mahmud Mulyadi : Revitalisasi Alas Filosofis Tujuan Pemindanaan dalam Penegakan Hukum Pidana Indonesia, 2006
USU Repository © 2006
harus ada suatu pembenaran (justifikasi) lain yang sifatnya lebih fundamental untuk
memberi dukungan dan pemahaman mengenai apa yang disebut pemidanaan. Pencarian
mengenai justifikasi pemidanaan ini juga harus disertai dengan adanya pembatasan yang
jelas, mana pelaku-pelaku kejahatan yang dapat dipaksakan dan mana yang tidak bisa
menjalani pemidanaan tersebut demi kebaikan mereka. Jadi pembatasan ini dimaksudkan
untuk melakukan pemilahan terhadap pelaku kejahatan dalam suatu klasifikasi tertentu
program uji coba, sebagaimana yang dikemukakan oleh Silving bahwa orang-orang jahat
bukanlah kelinci percobaan (even ‘bad people’ are not by the same token experimental
rabbits). Suatu usaha memformulasi prinsip pembatas ini dikemukakan oleh Morris yaitu
perbaikan pelaku tersebut tidak menjadi pertimbangan dan tujuan dari pemidanaan. 22
Akhirnya, program rehabilitasi dihadapkan pada kritikan bahwa semua ilmu pengetahuan
di dunia ini, pada kenyataannya tidak dapat merehabilitasi seseorang yang mempunyai
Beberapa tujuan dari pemidanaan seperti yang telah diuraikan di atas telah
menjadi suatu dilema dalam hal pemidanaan. Tujuan pidana dalam pandangan retributi
tujuan pemidanaan sebagai deterrence dianggap telah gagal dengan fakta semakin
22
Ibid.
Mahmud Mulyadi : Revitalisasi Alas Filosofis Tujuan Pemindanaan dalam Penegakan Hukum Pidana Indonesia, 2006
USU Repository © 2006
rehabilitasi telah kehilangan arahnya. Jeffery menguraikan kegagalan sistem pemidanaan
“The failure of prison system and treatment ideology has suddenly been discovered
by politician and the lay public. A research project by Martinson and his associates
reveals, for example, that therapeutic programs, with few exceptions, are total
failures at rehabilitating criminal... A critical look at rehabilitation was provided in
an article by Francia A. Allen in 1959. Allen, a law professor and former dean of the
law school of the University of Michigan, argue that the “rehabilitative ideal” had
dominated the criminal justice system with its social welfare programs in place of
penal measures. Such a rehabilative philoshopy corrupted the criminal justice
system and left the criminal at the mercy of the therapist. Justice was replaced
with compulsory theraupeutic, and the criminal was left without protection.”
posisi hukum pidana klasik dan berpidah dari program treatment. Pada tahun 1940, Cohen
mengusulkan untuk mengkaji kembali penolakan terhadap paham retributif dengan alasan
bahwa secara alami terdapat kecenderungan pada manusia untuk melakukan pembalasan
terhadap orang yang telah menderitaknnya dan hal ini seharusnya mendapat dukungan
untuk diekspresikan dalam hukum pidana secara resmi. Kemudian Jerome Hall melakukan
pembelaan paham retributif dari serangan paham rehabilitatif yang dinyatakan dalam
bukunya berjudul The General Principles of Criminal Law. Tesisnya dipusatkan pada
kualitas moral dari perbuatan pidana, yaitu maksud (intent) pelaku untuk menyerang atau
Seorang filosof hukum berkebangsaan Inggris, yaitu Hart, telah mengajukan suatu
konsep pemidanaan yang didasarkan pada retributif atau penerapan penderitaan kepada
pelaku kejahatan yang secara moral bersalah. Konsepnya tentang pemidanaan ini meliputi
mens rea, free will, moral blameworthiness dan individual responsibility. 25 Hart
23
C. Ray Jeffery, Op. Cit., hal. 23.
24
Ibid. hal. 358.
25
C. Ray Jeffery, Op. Cit., hal. 18.
Mahmud Mulyadi : Revitalisasi Alas Filosofis Tujuan Pemindanaan dalam Penegakan Hukum Pidana Indonesia, 2006
USU Repository © 2006
menyatakan bahwa retributif merefleksikan tingkat beratnya secara moral dari suatu
kejahatan, misalnya pembunuhan lebih serius dari pencurian dan Hart menyimpulkan
bahwa pemidanaan diperlukan kembali, bahkan jika terlalu penting untuk mencegah
Pendapat yang utama dari Hart adalah bahwa seseorang boleh dikenakan
pemidanaan jika seseorang tersebut telah melakukan perbuatan yang secara moral
bersalah. Pemidanaan yang dijatuhkan ini harus sesuai dengan tingkat kejahatan dari
pembalasan penderitaan kepada moral seseorang yang jahat dilakukan secara sukarela,
Prinsip yang digunakan Hart adalah prinsip proporsionalitas yang tidak lagi
menekankan tujuan pidana pada lex talionis (pembalasan) dengan adagium an eye for an
eye, a tooth for a tooth, tetapi justru menggarisb awahi pentingnya pidana yang
proporsional, yaitu sesuai dengan tingkat keseriusan kejahatan yang dilakukan. Pada
intinya proporsionalitas ini mensyaratkan skala nilai untuk menimbang dan menilai berat
ringannya pidana dikaitkan dengantindak pidananya. Oleh karena itu, nilai dan norma
yang berlaku dalam masyarakat serta budaya cenderung menjadi faktor penentu dalam
menentukan peringkat sanksi yang dipandang patut dan tepat dalam konteks histories
tertentu. 28
lama dengan format baru. Paradigma ini juga menunjukan bahwa hakikat pemidanaan
26
Ibid.
27
Ibid.
28
Harkristuti Harkrisnowo, Op. Cit., hal. 12.
Mahmud Mulyadi : Revitalisasi Alas Filosofis Tujuan Pemindanaan dalam Penegakan Hukum Pidana Indonesia, 2006
USU Repository © 2006
tidak bisa terlepas dari konteks kehidupan sosial dan kebijakan pemidanaan harus
Sampai saat ini, Indonesia belum mentukan paradigma apa yang dipakai dalam
falsafah pemidanaannya. Sangat disayangkan sekali bahwa telah 60 tahun kita merdeka,
tetapi belum nampak criminal policy dari pengurus negara ini untuk melihat konsep
kearifan local falsafah pemidanaan Indonesia. Kita lebih cenderung menoleh kepada
falsafah pemidanaan dari Barat seperti di atas, ditambah oleh minimnya kemauan dari
para teoritisi, praktisi dan pihak legislasi untuk menggali falsafah pemidanaan kita.
wilayah Indonesia sejak zaman dahulu telah mengenal falsafah pemidanaan. Hal ini
terlihat dari berbagai kitab hukum kuno dan hukum adat dari berbagai daerah telah
1. Kitab Ciwasasana atau Purwadhigama pada masa Raja Dharmawangsa (abad ke-10);
Dari berbagai kitab tersebut telah mengenal asas legalitas dan asas
proporsionalitas yang menjadi pilar dari hukum pidana modern. Misalnya Pasal 65 Kitab
Mahmud Mulyadi : Revitalisasi Alas Filosofis Tujuan Pemindanaan dalam Penegakan Hukum Pidana Indonesia, 2006
USU Repository © 2006
radja yang berkuasa mendjatuhkan denda lebih besar dari pada seketi enam laksa…” Asas
proporsionalitas terlihat dalam Pasal 93, “…keslahan besar dendanya besar, kesalahan
Sulawesi Selatan yang berbunyi: “…mereka tidak boleh dibunuh, kecuali perbuatan buruk
kemerdekaan untuk dilakukan pembinaan (treatment) pada pelaku, memiliki bentuk yang
berbeda dalam kitab-kitab tersebut. Konsep rehabilitasi terlihat pada berbagai upacara
dengan falsafah barat, juga mengenal tujuan pemidanaan yang tidak dimiliki di Barat,
pemulihan keadaan” Konsep ini lebih bernilai secara komunal yang menekankan rasa
perzinahan maka pelaku dikenakan hukuman adat berupa “pembasuh dusun atau tepung
dusun.” Hukuman ini berupa membebankan kewajiban untuk menyembeli seekor kerbau
atau seekor kambing yang bertujuan untuk menghapuskan kehinaan atau “sial” di dalam
Mahmud Mulyadi : Revitalisasi Alas Filosofis Tujuan Pemindanaan dalam Penegakan Hukum Pidana Indonesia, 2006
USU Repository © 2006
masyarakat akibat terjadinya kejahatan. Pada reaksi adat hal ini berfungsi untuk
yang telah ternoda sehingga tidak membawa malapetaka bagi masyarakat lainnya. 29
Dalam masyarakat adat, delik bukan hanya dipandang hanya kerugian secara
keseluruhan masyarakat yang berada dalam wilayah alam tersebut bisa kena “sial” akibat
kemarahan alam. Tujuan pemidanaan dalam UU Simbur Cahaya, misalnya dalam kasus
alam yang rusak akibat perbuatan zinah tersebut. Masih banyak lagikearifan local yang
Dalam R-KUHP telah diadopsi tentang tujuan pemidanaan yang digali dari nilai-
sebagai: (a) pencegahan; (b) pemasyarakatan terpidana; (c) penyelesaian konflik dan
pemulihan keseimbangan; (d) pembebasan rasa bersalah terpidana. Hal ini menunjukan
perumus R-KUHP sudah mulai menoleh ke arifan local yang berajkar dari budaya
Indonesia, selain konsep pemidanaan Barat. Hal ini ter pada tujuan pemidanaan pada
29
Lublink Weddik, Disertasi Tanpa Tahun, Hukum Delik Adat dalam Kerapatan Marga Palembang,
Diterjemahkan oleh M. Ali Amin, Hal. 15
Mahmud Mulyadi : Revitalisasi Alas Filosofis Tujuan Pemindanaan dalam Penegakan Hukum Pidana Indonesia, 2006
USU Repository © 2006
Berdasarkan uraian tujuan pemidanaan di atas maka harus menjadi renungan bagi
perbaikan penegakan hukum diIndonesia dengan menggali hukum yang hidup dalam
masyarakat Indonesia sehingga bisa menjadi acuan oleh aparat penegak hukum. Oleh
karena itu, dalam kondisi ini diharapkan aparat penegak hukum yang tergabung dalam
alas philosofis tujuan pemidanaan ini sehingga tidak kehilangan arah dalam penegakan
hukum.
Aparat penegak hukum harus terintegrasi dalam sistem peradilan pidana dan
sehingga terjadi koordinasi yang baik. 31 Keterpaduan ini juga diharapkan dapat mencapai
30
Romli Atmasasmita (1996). Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System) Perspektif
Eksistensialisme dan Abolisionisme. Bandung: Bina Cipta.hal. 7-8. Sistem Peradilan Pidana untuk pertama kali
diperkenalkan oleh pakar hukum pidana dan para ahli dalam “Criminal Justice Science” di Amerika Serikat,
sejalan dengan ketidakpuasan terhadap mekanisme kerja aparatur penegak hukum dan institusi penegakan
hukum. Ketidakpuasan ini terbukti dari meningkatnya kriminalitas di Amerika Serikat pada tahun 1960-an.
Pada masa itu pendekatan yang digunakan dalam penegakan hukum adalah “law and order approach” dan
penegakan hukum dalam konteks ini dikenal dengan istilah law enforcement. Istilah ini menunjukkan bahwa
aspek hukum dalam penanggulangan kejahatan dikedepankan dengan lembaga kepolisian sebagai pendukung
utama, sehingga keberhasilan penanggulangan kejahatan pada waktu itu sangat tergantung dengan kerja
lembaga kepolisian. Dalam prakteknya, lembaga kepolisian mempunyai keterbatasan dan kendala-kendala
dalam penegakan hukum dan upaya penanggulangan kejahatan, baik yang bersifat operasional maupun
prosedural-legal. Keterbatasan dan kendala ini tidak berhasil secara optimal untuk menekan naiknya angka
kejahatan. Berdasarkan latar belakang ini, maka mulai dipikirkan untuk melakukan pendekatan yang sistemik
dalam penanggulangan kejahatan melalui keterpaduan lembaga-lembaga penegak hukum. Menurut
Remington dan Ohlin, Sistem Peradilan Pidana dapat diartikan sebagai pemakaian pendekatan sistem terhadap
mekanisme penyelenggaraan peradilan pidana. Peradilan pidana sendiri sebagai suatu sistem merupakan hasil
interaksi antara peraturan perundang-undangan, praktik administrasi dan sikap atau tingkah laku sosial.
Pengertian sistem sendiri mengandung implikasi sebagai suatu proses interaksi yang dipersiapkan secara
rasional dan dengan cara yang efisien untuk memberikan hasil tertentu dengan segala keterbatasannya
31
Norval Morris (1982) Introduction. dalam Criminal Justice in Asia, The Quest for An Integrated
Approach. Tokyo: Seminar UNAFEI, hal. 5. Morris melihat bahwa Sistem Peradilan Pidana adalah sistem yang
berusaha untuk menanggulangi kejahatan. Secara rinci Morris menyatakan “The criminal justice system is best
seen as a crime containment system, one of the method that society uses to keep crime at whatever level
each particular culture is willing no accept… the criminal justice system is also involved in the secondary
prevention of crime, that is to say, in trying to reduce criminality among those who have been convicted of
crimes and trying by deterrent processes of detection, conviction, and punishment to reduce the commission
of crime by those who are so minded and so a acculturated”.
32
Philip P. Purpura (1997). Criminal Justice an Introduction. Boston: Butterworth-Heinemann, hal. 5.
Mahmud Mulyadi : Revitalisasi Alas Filosofis Tujuan Pemindanaan dalam Penegakan Hukum Pidana Indonesia, 2006
USU Repository © 2006
1. Melindungi masyarakat (Protect Society);
5. Memberikan batasan tentang bersalah atau tidak kepada pengadilan (provide for
6. Menetapkan hukuman yang pantas dan sesuai bagi yang bersalah (set an appropriate
7. Melindungi hak-hak hukum terdakwa melalui proses peradilan pidana (protect the
Sistem Peradilan Pidana ini mempunyai empat komponen, sebagaimana yang lazim
dikenal dalam ilmu kebijakan pidana, yaitu Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan
Lembaga Pemasyarakatan. Keempat komponen ini biasa disebut sebagai aparat penegak
Advokat, maka advokat telah mempunyai legitimasi sebagai aparat penegak hukum,
seperti yang ditegaskan dalam Pasal 5 Ayat (1). Status advokat disejajarkan dengan
aparat penegak hukum lainnya dalam proses peradilan. Dengan demikian advokat dapat
dikatakan sebagai salah satu unsur aparat penegak hukum dan dapat dimasukkan sebagai
bahwa sistem peradilan pidana dapat dikaji melalui tiga pendekatan, yaitu pendekatan
33
Lihat Pasal 5 Ayat (1) dan Penjelasnya UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat.
Mahmud Mulyadi : Revitalisasi Alas Filosofis Tujuan Pemindanaan dalam Penegakan Hukum Pidana Indonesia, 2006
USU Repository © 2006
normatif, pendekatan administrasi, dan pendekatan sosial. 34 Pendekatan normatif
sehingga komponen-komponen ini adalah bagian yang tidak terpisahkan dari sistem
penegakan hukum.
hukum sebagai suatu organisasi managemen yang memiliki mekanisme kerja, baik
hubungan yang bersifat horizontal, maupun yang bersifat vertikal sesuai dengan struktur
organisasi yang berlaku dalam organisasi tersebut. Sistem yang digunakan adalah sistem
hukum merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu sistem sosial. Hal ini berarti
masyarakat secara keseluruhan ikut bertanggung jawab atas keberhasilan atau tidaknya
dalam upaya penegakan hukum. Dalam konteks ini dapat dimunculkan pertanyaan-
pertanyaan yang menarik untuk dikemukakan. Pertanyaan ini berkisar pada, mengapa
masyarakat harus dilibatkan dalam penegakan hukum?, dan dimana posisi masyarakat
Pertanyaan ini muncul karena menurut Adam Crawford bahwa selama ini istilah
penegakan hukum sering diterjemahkan secara sempit dan hanya merupakan tanggung
jawab dari aparat penegak hukum semata, padahal penegakan hukum harus melibatkan
34
Romli Atmasasmita, Op. Cit., hal. 17.
Mahmud Mulyadi : Revitalisasi Alas Filosofis Tujuan Pemindanaan dalam Penegakan Hukum Pidana Indonesia, 2006
USU Repository © 2006
“community safety” sebagai makna yang lebih luas bagi keikutsertaan masyarakat dalam
penegakan hukum. 35
dikemukakan oleh Robert L. O’Block 36 menyatakan bahwa ada empat komponen besar
yang harus terlibat dalam upaya penegakan hukum, yaitu; (1) Politisi (Politician); (2)
Aparat Penegak Hukum (Law Enforcement Practitioners); (3) Masyarakat (Public); dan (4)
pandangan yang parsial dan terbatas mengenai penegakan hukum. Pandangan para
politisi, secara umum terbatas kepada aspek finansial dan aspek politis semata.
yang terbentuk dalam opini masyarakat terhadap penegakan hukum selalu dikaburkan
oleh rasa ketakutan sehingga menyebabkan salah persepsi dan akhirnya menimbulkan
prasangka. Sementara pemikiran para ahli dengan kemampuan keilmuan yang dimilikinya,
Untuk menjawab persoalan di atas, ada baiknya kita simak pernyataan Chamelin
dilakukan atas munculnya kesadaran dari semua lapisan masyarakat. Kesadaran ini tidak
35
Adam Crawford (1998). Crime Prevention and Community Safety, Politic, Policies, and Practices.
London: Addition Weley Longman Limited, hal. 10.
36
Robert L. O’Block (1981). Security and Crime Prevention. London: Mosby Company, hal. 4.
37
Ibid.
38
Neil C. Chamelin, Et. al. (1979). Introduction to Criminal Justice. New Jersey: Prentice-Hall, Inc.,
Englewod Cliffs, Second Edition, hal. 189.
Mahmud Mulyadi : Revitalisasi Alas Filosofis Tujuan Pemindanaan dalam Penegakan Hukum Pidana Indonesia, 2006
USU Repository © 2006
hanya abstrak dalam pikiran masyarakat semata, tetapi kesadaran ini harus membumi
melalui komitmen yang tinggi pada seluruh komponen masyarakat untuk menyumbangkan
tenaga, waktu dan pikiran mereka dalam rangka pencapaian tujuan di atas.
E. Penutup
penegakan hukum di Indonesia sehingga jelas arah yang hendak dicapai dalam
pemidanaan itu sendiri. Penggalian nilai-nilai keraifan local dalam khazanah pemidanaan
akan menjadikan konsep pemidanaan Indonesia kaya dan bernilai tinggi bagi penegakan
hukum keadilan. Tentu saja semua ini harus didukung oleh kemauan politik pihak
legislative, pemerintah dan aparat penegak hukum sehingga mampu mengembalikan citra
Mahmud Mulyadi : Revitalisasi Alas Filosofis Tujuan Pemindanaan dalam Penegakan Hukum Pidana Indonesia, 2006
USU Repository © 2006
DAFTAR PUSTAKA
Andrew Ashworth (1994). Sentencing, dalam The Oxford Handbook of Criminology. Mike
Maguire et.all (Ed.). New York: Oxford University Press.
Adam Crawford (1998). Crime Prevention and Community Safety, Politic, Policies, and
Practices. London: Addition Weley Longman Limited.
Aleksandar Fatic (1995). Punishment and Restorative Crime – Handling. USA: Avebury
Ashagate Publishing Limited.
C. Ray Jeffery (1977). Crime Prevention Through Environmental Design. Beverly Hills-
London: SAGE Publication, Inc.
Freda Adler et. al. (1995). Criminology. USA: McGraw-Hill, Second Edition.
J.M. van Bemmelen (1997). Hukum Pidana 1. Bandung: Bina Cipta, Cetakan Kedua.
Jan Remmelink (1993). Hukum Pidana, Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari KUHP
Belanda dan Padanannya dalam KUHP Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama.
J. Robert Lilly et, al. (1995). Criminological Theory, Context and Consequences. London-
New Delhi: SAGE Publications, Second Edition.
Lloy Ohlin (1970). Modification of the Criminal Value system dalam The Sociology of
Punishment & Correction. Leonard Savitz dan Marvin E. Wolfgang (Ed.).
New York: John Wiley & Sons, Inc.
Lublink Weddik, Disertasi Tanpa Tahun, Hukum Delik Adat dalam Kerapatan Marga
Palembang, Diterjemahkan oleh M. Ali Amin.
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana. Bandung: Alumni
Marc Ancel (1965). Social Defence, Modern Approach to the Criminal Problem. London:
Roatledge & Paul Keagen
Negel Walker (1995). Reductivism and deterrence. dalam A Reader on Punishment. R.A.
Duff and David Garland (Ed.). New York: Oxford University Press.
Mahmud Mulyadi : Revitalisasi Alas Filosofis Tujuan Pemindanaan dalam Penegakan Hukum Pidana Indonesia, 2006
USU Repository © 2006
Norval Morris (1982) Introduction. dalam Criminal Justice in Asia, The Quest for An
Integrated Approach. Tokyo: Seminar UNAFEI.
Neil C. Chamelin, Et. al. (1979). Introduction to Criminal Justice. New Jersey: Prentice-
Hall, Inc., Englewod Cliffs, Second Edition.
Romli Atmasasmita (1995). Kapita Selekta Hukum Pidana dan Krimonologi. Bandung:
Mandar Maju.
Romli Atmasasmita (1996). Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System), Perspektif
Eksistensialisme dan Abolisionisme. Bandung: Bina Cipta.
Rudolp J. Gerber and Patrick D. McAnany (1970). Philosophy of Punishment, dalam The
Sociology of Punishment & Correction. Leonard Savitz dan Marvin E.
Wolfgang (Ed.). New York: John Wiley & Sons, Inc.
Robert L. O’Block (1981). Security and Crime Prevention. London: Mosby Company.
Mahmud Mulyadi : Revitalisasi Alas Filosofis Tujuan Pemindanaan dalam Penegakan Hukum Pidana Indonesia, 2006
USU Repository © 2006