Anda di halaman 1dari 66

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Struma Nodusa non toksik (SNNT) atau yang sering disebut goiter
adalah pembesaran kelenjar tiroid (Grace dan Borlay, 2006). Struma nodusa
non toksik ditemukan di daerah pegunungan yang airnya kurang iodium. Struma
endemik ini dapat dicegah dengan substitusi iodium. Di luar daerah endemik,
struma nodusa ditemukan atau pada keluarga tertentu (Sjamsuhidajat dan Wim,
2004).
Kekurangan yodium di Indonesia sudah dikenal sejak tahun 1927,
ditemukan hampir di seluruh wilayah Indonesia mulai dari ujung utara (Aceh)
pulau Sumatera sampai ke Papua. Penanggulangannya telah diupayakan dengan
memperkenalkan garam beryodium dengan konsentrasi 1 : 200.000 atau 5 ppm,
khususnya di daerah Pegunungan Dieng dan Tengger di pulau Jawa. Kota
Padang termasuk salah satu wilayah endemik sedang. Situasi ini tampak dari
hasil pemetaan GAKY Nasional tahun 2003 dengan meningkatnya prevalensi
GAKY pada murid Sekolah Dasar dari 8.5 persen pada tahun 1998 menjadi 10.8
persen pada tahun 2003. Berdasarkan evaluasi diatas bahwa TGR pada tahun
2003 adalah 21,5 persen. Di beberapa propinsi terlihat pula daerah-daerah
endemik sedang dan berat yang baru, seperti beberapa daerah pantai di Jawa
Timur dan Sumatera Barat (Muhalil dalam Agus Zukarnain, 2006). Berdasarkan
evaluasi Program Penanggulangan GAKY Dinas Kesehatan Provinsi Jawa
Tengah pada Tahun 2004, TGR Kabupaten Brebes adalah sebesar 8,49 persen.
Namun demikian masih ada kecamatan dengan TGR tertinggi yakni Kecamatan
Sirampog sebesar 40,71 persen (Gatie, 2006). Faktor-faktor yang menyebabkan
struma nodusa non toksik bermacam-macam. Pada setiap orang dapat dijumpai
masa dimana kebutuhan terhadap tiroksin bertambah, pubertas, menstruasi,
kehamilan, laktasi, menopause, infeksi atau stress. Pada masa-masa tersebut
dapat ditemui hiperplasi dan involusi kelenjar tiroid. Perubahan ini dapat
menimbulkan nodularitas kelenjar tiroid serta kelainan arsitektur yang dapat

1
berlanjut dengan berkurangnya aliran darah di daerah tersebut sehingga terjadi
iskemia (Mansjoer, 2004).
Penderita struma nodusa tidak mempunyai keluhan karena tidak
terdapat hipo atau hipertiroidisme. Nodul dapat tunggal tetapi dapat
berkembang berubah menjadi multinodular tanpa perubahan fungsi. Degenerasi
jaringan menyebabkan terbentuknya kista atau adenoma. Karena pertumbuhan
terjadi secara perlahan, struma dapat menjadi besar tanpa memberikan gejala,
selain adanya benjolan di leher. Sebagian besar penderita struma nodusa dapat
hidup dengan struma tanpa keluhan (Sjamsuhidajat dan Wim, 2004).
Sebagian besar dari struma nodusa tidak mengganggu pernafasan karena
pertumbuhan ke lateral dan anterior, sebagian lain dapat menyebabkan
penyempitan trakhea jika pembesarannya bilateral. Struma nodusa unilateral
dapat menyebabkan pendorongan trakhea kearah kontra lateral tanpa gangguan
akibat ostruksi pernafasan. Penyempitan yang hebat dapat menyebabkan
gangguan pernafasan dengan gejala stridor inspirator (Sjamsuhidajat dan Wim,
2004).
Penatalaksanaan dari struma Nodusa Non Toksik yaitu dengan biopsy
aspirasi jarum halus cara ini dilakukan pada kista tiroid hingga nodul kurang
dari 10 milimeter (Mansjoer, 2004). Penatalaksanaan yang selanjutnya
medikamentosa dengan obat antitiroid seperti karbimazoyol digunakan untuk
kista yang ukuranya kurang dari 4 centimeter, bila kista lebih dari 4 centimeter
dilakukan lobektomi dan dilakukan yodium radioaktif (Grace dan Borley,
2012). Yodium radioaktif yaitu memberikan radiasi dengan dosis yang tinggi
pada kelenjar tiroid sehingga menghasilkan ablasi jaringan. Pasien yang tidak
mau dioperasi maka pemberian yodium radioaktif dapat mengurangi gondok
sekitar 50 persen. Yodium radioaktif tersebut berkumpul dalam kelenjar tiroid
sehingga memperkecil penyinaran terhadap jaringan tubuh lainnya (Landenson
dalam Damaryanti, 2012). Apabila kista sudah adenoma atau karsinoma serta
goiternya besar dan menekan jaringan sekitar, sehingga harus segera dilakukan
tidakan pembedahan dengan tiroidektomi.

2
B. Rumusan Masalah
Bagaimana Asuhan Keperawatan Perianestesi Pada ishtmolobectomy
dengan General Anestesi di RSUD Cilacap ?

C. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Mampu melaksanakan asuhan keperawatan perianestesi pada klien SNNT
yang akan dilakukan Ishtmolobectomy dengan General Anestesi.

2. Tujuan Khusus
1. Mampu menjelaskan tentang penyakit struma, jenis dan tindakan
penatalaksanaan pada pasien dengan struma.
2. Mampu melakukan pengkajian pada pasien pre operasi
Isthmolobectomy yang akan dilakukan General Anestesi.
3. Mampu menentukan obat premedikasi, teknik dan obat anastesi yang
digunakan.
4. Mampu melaksanakan tugas limpah tindakan anastesi pada pasien
Isthmolobectomy yang akan dilakukan General Anestesi.
5. Mampu melaksanakan pengawasan selama anastesi dan pembedahan,
serta melakukan tindakan yang diperlukan bila timbul masalah atau
kegawatan selama anastesi dan pembedahan serta melaksanakan
perawatan post operasi.

D. Kegunaan Penulisan
Penulis mengharapkan laporan ini berguna sebagai tambahan informasi
tentang asuhan keperawatan pada klien Isthmolobectomy yang dilakukan
General Anestesi.

3
4
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. KONSEP STRUMA
1. Defenisi Struma
Struma disebut juga goiter adalah suatu pembengkakan pada leher oleh
karena pembesaran kelenjar tiroid akibat kelainan glandula tiroid dapat
berupa gangguan fungsi atau perubahan susunan kelenjar dan morfologinya.
Dampak struma terhadap tubuh terletak pada pembesaran kelenjar tiroid
yang dapat mempengaruhi kedudukan organ-organ di sekitarnya. Di bagian
posterior medial kelenjar tiroid terdapat trakea dan esophagus. Struma dapat
mengarah ke dalam sehingga mendorong trakea, esophagus dan pita suara
sehingga terjadi kesulitan bernapas dan disfagia. Hal tersebut akan
berdampak terhadap gangguan pemenuhan oksigen, nutrisi serta cairan dan
elektrolit. Bila pembesaran keluar maka akan memberi bentuk leher yang
besar dapat asimetris atau tidak, jarang disertai kesulitan bernapas dan
disfagia.
2. Anatomi Tiroid
Kelenjar tiroid/gondok terletak di bagian bawah leher, kelenjar ini
memiliki dua bagian lobus yang dihubungkan oleh ismus yang masing-
masing berbetuk lonjong berukuran panjang 2,5-5 cm, lebar 1,5 cm, tebal
1-1,5 cm dan berkisar 10-20 gram. Kelenjar tiroid sangat penting untuk
mengatur metabolisme dan bertanggung jawab atas normalnya kerja setiap
sel tubuh. Kelenjar ini memproduksi hormon tiroksin (T4) dan triiodotironin
(T3) dan menyalurkan hormon tersebut ke dalam aliran darah. Terdapat 4
atom yodium di setiap molekul T4 dan 3 atom yodium pada setiap molekul
T3. Hormon tersebut dikendalikan oleh kadar hormon perangsang tiroid
TSH (thyroid stimulating hormone) yang dihasilkan oleh lobus anterior
kelenjar hipofisis. Yodium adalah bahan dasar pembentukan hormon T3 dan
T4 yang diperoleh dari makanan dan minuman yang mengandung yodium.

5
Gambar 2.1. Kelenjar Tiroid

3. Fisiologi Kelenjar Tiroid


Hormon tiroid memiliki efek pada pertumbuhan sel, perkembangan dan
metabolisme energi. Selain itu hormon tiroid mempengaruhi pertumbuhan
pematangan jaringan tubuh dan energi, mengatur kecepatan metabolisme
tubuh dan reaksi metabolik, menambah sintesis asam ribonukleat (RNA),
menambah produksi panas, absorpsi intestinal terhadap
glukosa,merangsang pertumbuhan somatis dan berperan dalam
perkembangan normal sistem saraf pusat. Tidak adanya hormon-hormon
ini, membuat retardasi mental dan kematangan neurologik timbul pada saat

6
lahir dan bayi. Sintesis hormon tiroid dihasilkan melalui empat tahap
Gambar 2.2. Fisiologi Kelenjar Tiroid

4. Patogenesis Struma
Struma terjadi akibat kekurangan yodium yang dapat menghambat
pembentukan hormon tiroid oleh kelenjar tiroid sehingga terjadi pula
penghambatan dalam pembentukan TSH oleh hipofisis anterior. Hal
tersebut memungkinkan hipofisis mensekresikan TSH dalam jumlah yang
berlebihan.TSH menyebabkan sel-sel tiroid mensekresikan tiroglobulin
dalam jumlah yang besar (kolid) ke dalam folikel, dan kelenjar tumbuh
makin lama makin bertambah besar. Akibat kekurangan yodium maka tidak
terjadi peningkatan pembentukan T4 dan T3, ukuran folikel menjadi lebih
besar dan kelenjar tiroid dapat bertambah berat sekitar 300-500 gram. Selain
itu struma dapat disebabkan kelainan metabolik kongenital yang
menghambat sintesa hormon tiroid, penghambatan sintesa hormon oleh zat
kimia (goitrogenic agent), proses peradangan atau gangguan autoimun
seperti penyakit Graves. Pembesaran yang didasari oleh suatu tumor atau
neoplasma dan penghambatan sintesa hormon tiroid oleh obat-obatan
misalnya thiocarbamide, sulfonylurea dan litium, gangguan metabolik
misalnya struma kolid dan struma non toksik (struma endemik)
5. Klasifikasi Struma
1. Berdasarkan Fisiologisnya
Berdasakan fisiologisnya struma dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
a. Eutiroidisme
Eutiroidisme adalah suatu keadaan hipertrofi pada kelenjar tiroid yang
disebabkan stimulasi kelenjar tiroid yang berada di bawah normal
sedangkan kelenjar hipofisis menghasilkan TSH dalam jumlah yang
meningkat. Goiter atau struma semacam ini biasanya tidak
menimbulkan gejala kecuali pembesaran pada leher yang jika terjadi
secara berlebihan dapat mengakibatkan kompresi trakea.

7
b. Hipotiroidisme
Hipotiroidisme adalah kelainan struktural atau fungsional kelenjar
tiroid sehingga sintesis dari hormon tiroid menjadi berkurang.
Kegagalan dari kelenjar untuk mempertahankan kadar plasma yang
cukup dari hormon.
Beberapa pasien hipotiroidisme mempunyai kelenjar yang
mengalami atrofi atau tidak mempunyai kelenjar tiroid akibat
pembedahan/ablasi radioisotop atau akibat destruksi oleh antibodi
autoimun yang beredar dalam sirkulasi. Gejala hipotiroidisme adalah
penambahan berat badan, sensitif terhadap udara dingin, dementia,
sulit berkonsentrasi, gerakan lamban, konstipasi, kulit kasar, rambut
rontok, mensturasi berlebihan, pendengaran terganggu dan penurunan
kemampuan bicara. Gambar penderita hipotiroidisme dapat terlihat di
bawah ini.

Gambar 2.3 Hipotiroidisme

c. Hipertiroidisme
Dikenal juga sebagai tirotoksikosis atau Graves yang dapat
didefenisikan sebagai respon jaringan-jaringan tubuh terhadap
pengaruh metabolik hormon tiroid yang berlebihan. Keadaan ini dapat
timbul spontan atau adanya sejenis antibodi dalam darah yang

8
merangsang kelenjar tiroid, sehingga tidak hanya produksi hormon
yang berlebihan tetapi ukuran kelenjar tiroid menjadi besar.
Gejala hipertiroidisme berupa berat badan menurun, nafsu makan
meningkat, keringat berlebihan, kelelahan, lebih suka udara dingin,
sesak napas. Selain itu juga terdapat gejala jantung berdebar-debar,
tremor pada tungkai bagian atas mata melotot (eksoftalamus), diare,
haid tidak teratur, rambut rontok, dan atrofi otot.

Gambar penderita hipertiroidisme dapat terlihat di bawah ini.

Gambar 2.4. Hipertiroidisme


Tabel 2.1. Tes Fungsi Tiroid
TABEL. Tes Fungsi Tiroid
Serum Tiroksin Serum Triiodotironin Pengikat Hormon Tiroid Perangsang Tiroid
Hipertiroidisme Meningkat Meningkat Meningkat, Normal atau rendah
Hipotiroidisme primer Menurun Normal s/d menurun Menurun Meningkat
Hipotiroidisme sekunder Menurun Menurun Menurun Menurun
Kehamilan Meningkat Normal Normal

2. Berdasarkan Klinisnya
Secara klinis pemeriksaan klinis struma toksik dapat dibedakan menjadi
sebagai berikut :

9
a. Struma Toksik
Struma toksik dapat dibedakan atas dua yaitu struma diffusa
toksik dan struma nodusa toksik. Istilah diffusa dan nodusa lebih
mengarah kepada perubahan bentuk anatomi dimana struma diffusa
toksik akan menyebar luas ke jaringan lain. Jika tidak diberikan
tindakan medis sementara nodusa akan memperlihatkan benjolan yang
secara klinik teraba satu atau lebih benjolan (struma multinoduler
toksik). Struma diffusa toksik (tiroktosikosis) merupakan
hipermetabolisme karena jaringan tubuh dipengaruhi oleh hormon
tiroid yang berlebihan dalam darah.
Penyebab tersering adalah penyakit Grave (gondok
eksoftalmik/exophtalmicgoiter), bentuk tiroktosikosis yang paling
banyak ditemukan diantara hipertiroidisme lainnya. Perjalanan
penyakitnya tidak disadari oleh pasien meskipun telah diidap selama
berbulan-bulan. Antibodi yang berbentuk reseptor TSH beredar dalam
sirkulasi darah, mengaktifkan reseptor tersebut dan menyebabkan
kelenjar tiroid hiperaktif.
Meningkatnya kadar hormon tiroid cenderung menyebabkan
peningkatan pembentukan antibodi sedangkan turunnya konsentrasi
hormon tersebut sebagai hasil pengobatan penyakit ini cenderung
untuk menurunkan antibodi tetapi bukan mencegah pembentuknya.
Apabila gejala gejala hipertiroidisme bertambah berat dan
mengancam jiwa penderita maka akan terjadi krisis tirotoksik. Gejala
klinik adanya rasa khawatir yang berat, mual, muntah, kulit dingin,
pucat, sulit berbicara dan menelan, koma dan dapat meninggal.
b. Struma Non Toksik
Struma non toksik sama halnya dengan struma toksik yang dibagi
menjadi struma diffusa non toksik dan struma nodusa non toksik.
Struma non toksik disebabkan oleh kekurangan yodium yang kronik.
Struma ini disebut sebagai simple goiter, struma endemik, atau goiter

10
koloid yang sering ditemukan di daerah yang air minumya kurang
sekali mengandung yodium dan goitrogen yang menghambat sintesa
hormon oleh zat kimia.
Apabila dalam pemeriksaan kelenjar tiroid teraba suatu nodul,
maka pembesaran ini disebut struma nodusa. Struma nodusa tanpa
disertai tanda-tanda hipertiroidisme dan hipotiroidisme disebut struma
nodusa non toksik. Biasanya tiroid sudah mulai membesar pada usia
muda dan berkembang menjadi multinodular pada saat dewasa.
Kebanyakan penderita tidak mengalami keluhan karena tidak ada
hipotiroidisme atau hipertiroidisme, penderita datang berobat karena
keluhan kosmetik atau ketakutan akan keganasan. Namun sebagian
pasien mengeluh adanya gejala mekanis yaitu penekanan pada
esofagus (disfagia) atau trakea (sesak napas), biasanya tidak disertai
rasa nyeri kecuali bila timbul perdarahan di dalam nodul.
Struma non toksik disebut juga dengan gondok endemik, berat
ringannya endemisitas dinilai dari prevalensi dan ekskresi yodium
urin. Dalam keadaan seimbang maka yodium yang masuk ke dalam
tubuh hampir sama dengan yang diekskresi lewat urin. Kriteria daerah
endemis gondok yang dipakai Depkes RI adalah endemis ringan
prevalensi gondok di atas 10 %-< 20 %, endemik sedang 20 % - 29 %
dan endemik berat di atas 30 %.

B. KONSEP ISTHMOLOBECTOMY
1. Penatalaksanaan Struma
Penanganan dari nodul tiroid sangat tergantung pada hasil pemeriksaan-
pemeriksaan yang dilakukan yaitu :
a. Bila hasil pemeriksaan PA ganas maka tindakan yang harus dilakukan
adalah operasi tiroidektomi near total.
b. Bila curiga maka yang dilakukan adalah operasi dengan lebih dulu
melakukan potong beku (VC). Bila hasilnya menunjukan ganas maka
yang dilakukan adalah operasi tiroidektomi near total, bila hasilnya

11
jinak maka yang harus dilakukan adalah operasi lobektomi atau
tiroidektomi near total. Alternative lain : sidik tiroid, bila hasilnya Cold
Nodule, maka tindakannya adalah operasi.
c. Bila tak cukup / sediaan tak representative jika nodul solid (saat
BAJAH) ; ulang BAJAH. Bila diduga ganas tinggi maka dilakukan
operasi lobektomi, bila klinis curiga ganas rendah hanya di observasi,
jka nodul kistik saat aspirasi, bila kistik regresi hanya di observasi. Bila
kista rekurens klinis curiga ganas rendah maka harus di observasi, bila
kista rekurens curiga ganas tinggi maka harus dilalukan operasi
lobektomi.
d. Bila jinak
Terapi dengan levo – tiroksin (LT4) dosis subtoksi.
1) Dosis distrasi mulai 2 x 25 ug (3 hari)
2) Dilanjutkan 3 x 25 ug (3 - 4 hari)
3) Bila tidak ada efek samping atau tanda – tanda toksis, dosis
menjadi 2 x 100 ug samaoi 4 – 6 minggu, kemudian evaluasi TSH
(target 0,1 – 0,3 uIU / L)
4) Supresi TSH dipertahankan selama 6 bulan.
5) Evaluasi dengan USG, apakah nodul berhasil mengecil atau tidak
(berhasil bila mengecil >50 % dari volume awal)
Bila nodul mengecil atau tetap,L tiroksin di hentikan dan di observasi.
Bila setelah itu struma membesar lagi, maka Ltiroksin di stimulasi lagi,
maka L tiroksin dimulasi lagi (target TSH 0,1 – 0,3 ul U/L).bila setelah 1
tiroksin dihentikan, struma tidak berubah, di observasi saja. Bila nodul
membesar dalam 6 bulan atau saat terapi supresi obat di hentikan dan
operasi tiredektomi dan dilakukan pemeriksaan histopatologi hasil PA
jinak sampai dengan L tiroksin, target TSH 0,5 – 3,0 ul U/L. Terapi L
tiroksin diberikan pada individu yang berediko gans tinggi (TSH < 0,01 –
0,05 ul U/L), dan individu dengan ganas rendah (TSH 0,05 – 0,1 ul U/L).

2. Komplikasi Pembedahan Dan Penangananya

12
a. Badai tiroid (Thyroid storm)
1) Tanda : Hiperpireksia, takhikardi, hipotensi, perubahan kesadaran
(agitasi, delirium, koma)
2) Sering terjadi pada operasi pada pasien hipertiroid akut.
3) Terjadi 6 – 24 jam sesudah pembedahan, bisa terjadi intra operatif.
4) Dibedakan dari hipertermia maligna, feokromositoma, anestesi
inadekuat.
Tabel 2.2. Penanganan Badai Tiroid
TABEL. Penanganan Badai Tiroid 1, 2
· Cairan intravena (hidrasi)
· Koreksi faktor pemicu (infeksi)
· Sodium iodida (250 mg per oral atau iv tiap 6 jam)
· Propiltiourasil (200-400 mg per oral atau lewat pipa nasogastrik tiap 6 jam)
· Hidrokortison (50-100 mg iv tiap 6 jam)
· Propanolol (10-40 mg oral tiap 4-6 jam) atau esmolol (titrasi) sampai HR < 100 x/menit
· Selimut dingin dan asetaminofen (meperidin, 25-50 mg iv tiap 4-6 jam dapat
digunakan untuk mengobati atau mencegah menggigil)
· Digoksin (gagal jantung kongestif dengan atrial fibrilasi dan respon ventrikel yang cepat)

b. Kerusakan nerves laryngeal recurent


1) Bilateral terdapat gejala Pasien tak mampu bicara (Aponia &
stridor), maka tindakan yang dilakukan adalah Reintubasi
2) Unilateral akan terjadi gejala Serak Tes fungsi pita suara :
kemampuan mengucapkan huruf (i atau e)
3) Obstruksi jalan napas setelah operasi, disebabkan oleh hematoma
atau trakeomalasia akan membutuhkan intubasi trakea yang segera.
4) Hipoparatiroidsme geejala Hipokalsemi akut akibat pengangkatan
kelenjar paratiroid (12 – 72 jam post ops) berupa carpo pedal
syndrom sampai laringospasme.
5) Pneumothoraks , kemungkinan terjadi akibat eksplorasi leher

C. KONSEP ANESTESI GENERAL PADA ISTHMOLOBECTOMY

13
Pemilihan jenis tindakan anestesi untuk Isthmolobectomy ditentukan
berdasarkan usia pasien, kondisi kesehatan pasien, keadaan umum pasien,
sarana prasarana, dan ketrampilan dokter bedah, dokter anestesi dan perawat
anestesi. Di Indonesia, Isthmolobectomy masih dilakukan dengan anestesi
general. Teknik anestesi lokal sudah tidak digunakan kecuali di rumah sakit
pendidikan untuk tujuan pendidikan. Teknik anestesi yang dianjurkan untuk
operasi Isthmolobectomy adalah menggunakan pipa endotrakeal. Dengan teknik
ini saturasi oksigen dapat ditingkatkan, jalan nafas terjaga bebas, dosis obat
anestesi dapat dikontrol dengan mudah.
1. Anestesi Preoperatif
Pelaksanaan anestesi pada operasi Isthmolobectomy yang dilakukan
dengan anestesi general perlu dilakukan persiapan antara lain penilaian
klinis pasien dari hasil anamnesis, rekam medik dan pemeriksaan fisik serta
penilaian terhadap hasil pemeriksaan laboratorium dan radiologik yang
diperlukan..
a. Anamnesis
1) Konfirmasi identitas pasien yang bertujuan untuk menghindari
kesalahan pasien.
2) Riwayat penyakit yang diderita, termasuk riwayat pengobatan. Perlu
juga ditanyakan alergi yang dimiliki dan pencetus serta obat yang
biasa digunakan untuk mengatasinya.
3) Gaya hidup dan kebiasaan: merokok, minum alkohol atau
penggunaan obat-obat rekreasional (metamfetamin, heroin, kokain).
4) Riwayat penyakit keturunan dan penyakit menular pada keluarga.
5) Riwayat kematian anggota keluarga diatas meja operasi. Hal ini
perlu ditanyakan secara hati-hati dan seksama. Terutama pada pasien
dewasa muda atau yang memiliki kelainan sistem muskuloskeletal.
Yang perlu diingat adalah jenis kematian yang dapat merupakan
informasi penting adalah kematian selama operasi dengan anestesi
inhalasi dengan gejala kekakuan otot disertai panas tinggi
“Hiperthermy Maligna”.

14
b. Pemeriksaan fisik
1) Kemungkinan kesulitan ventilasi dan intubasi diperkirakan dari
bentuk wajah. Leher pendek dan kaku, jarak tiro-mental, lidah besar,
maksila yang protusif.
2) Pasien sesak nafas dapat dilihat dari posisi berbaring, frekuensi
nafas, jenis pernafasan dan tingkat saturasi HbO2 dari pulse
oxymeter.
3) Auskultasi dada selain untuk mendengarkan bunyi nafas atau bunyi
nafas tambahan, juga untuk mendeteksi murmur jantung dan bunyi
abnormal lain.
c. Pemeriksaan tambahan
Pemeriksaan tambahan yang direkomendasikan untuk Isthmolobectomy
antara lain:
1) Pemeriksaan darah tepi: Hb, Hct, leukosit, hitung jenis, trombosit
serta pemeriksaan faal hemostasis: BT/CT, PPT/APTT.
2) Pemeriksaan Laboratorium : T4 total, T3 serum, FT4, Tunda
operasi sampai klinis dan lab eutiroid.
3) Diharapkan preoperatif tes fungsi tiroid normal, HR < 85 x / menit
saat istirahat). Pasien dengan hipotiroid berat yang tidak terkoreksi
(T4 < 1 µg/dl) atau koma myxedema, harus dibatalkan untuk operasi
elektif dan harus diterapi segera dengan hormon tiroid terutama
untuk operasi emergensi. Pasien yang telah dieutiroidkan biasanya
menerima dosis obat tiroid pada pagi hari pembedahan, harus di
ingat bahwa rata rata preparat yang diberikan mempunyai waktu
paruh yang lama (t1/2 T4 adalah 8 hari). Tidak ada bukti yang
mendukung untuk menunda bedah elektif (termasuk bedah by-pass
arteri koronaria) menyebabkan perubahan hipotiroidisme ringan ke
hipotiroidisme yang sedang.
4) BMR: 0,75 {(0,74 (sistole-diastole) + N)} – 72 Nilai normal: -10
s/d 10

15
5) Pemeriksaan radiologi thorak dan leher, untuk melihat ada gangguan
atau tidak pada paru jantung, serta perubahan anatomis trakhea.
6) Pemeriksaan penunjang lainnya dilakukan atas indikasi.
d. Penentuan status fisik pasien
Status fisik menggambarkan tingkat kebugaran pasien untuk
menjalani anesthesia. Klasifikasi stasus fisik yang disusun oleh
American Society of Anesyhesiologists (ASA):
ASA I : Pasien sehat yang akan menjalani operasi
ASA II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang tanpa
pembatasan aktivitas.
ASA III : Pasien dengan penyakit sistemik berat yang membatasi
aktivitas rutin.
ASA IV : Pasien dengan kelainan sistemik berat yang menyebabkan
ketidakmampuan melakukan aktivitas rutin, yang
mengancam nyawanya setiap waktu.
ASA V : Pasien tidak ada harapan, dengan atau tanpa pembedahan
diperkirakan akan meninggal dalam 24 jam.

e. Puasa
Puasa sangat diperlukan demi keselamatan pasien karena dapat
mencegah terjadinya pneumonia aspirasi yang berakibat fatal. Pasien-
pasien Isthmolobectomy adalah orang dewasa sehingga puasa yang
diperlukan yaitu 6-8 jam untuk pengosongan lambung dari makanan
padat. Minuman bening, air putih atau teh manis diperbolehkan
maksimal 3 jam sebelum induksi. Untuk keperluan minum obat, air
putih dalam jumlah terbatas diperbolehkan maksimal 1 jam sebelum
induksi anestesi (Latief dkk, 2010).

f. Premedikasi
Premedikasi diberikan 1-2 jam sebelum induksi dengan tujuan untuk
memberi sedasi, analgesi sehingga memberikan ketenangan pada

16
pasien, pasien bebas dari ketakutan dan nyeri, memperlancar induksi
anestesi, mengurangi mual muntah, dan mencegah terjadinya aspirasi.
Semua obat-obatan dapat digunakan untuk premedikasi pada pasien
yang menjalani operasi Isthmolobectomy dengan anestesi general, tapi
kecenderungan penggunaan obat-obatan yang merupakan histamine
release agar dihindari, obat-obatan yang bias dipakai antara lain:
1) Sedasi
Benzodiazepin pilihan yang baik preoperatif sedasi
a) Diazepam, dosis 0,1-0,2 mg/kgBB, IM / IV
b) Midazolam, dosis 0,07-0,1 mg/kg BB, IV
2) Analgesik
Analgetik yang sering digunakan adalah analgetik opioid karena
merupakan golongan analgesik yang paling kuat dan bekerja
dengan baik bersama-sama obat sedatif. Opioid pilihan untuk
premedikasi antara lain:
a) Pethidin, dosis 1-2 mg/kgBB, IM/IV
b) Fentanyl, dosis 1-5 mg/kgBB, IV
Dan disarankan untuk menghindari penggunaan morphine karena
merupakan termasuk Histamine release, dan ketamin merupakan
obat yang mengaktivasi sistem saraf simpatis (tapi juga pilihan
pada pasien hipotiroid)
3) Anti kolinergik
Pada operasi Isthmolobectomy, anti kolinergik diberikan bertujuan
untuk mengurangi sekresi ludah, sehingga visualisasi saat intubasi
menjadi lebih baik. Selain itu, anti kolinergik diperlukan untuk
mencegah aspirasi. Obat yang digunakan adalah Glikopirolat
karena tidak menyebabkan takikardi seperti sulfas atropin, karena
pasien dengan gangguan tiroid cenderung takikardi.
4) Anti emetik
Antiemetik diberikan dengan tujuan untuk menghambat mual dan
muntah. Antiemetik yang dapat digunakan antara lain:

17
a) Ondansetron
Menghambat reseptor serotonin pada sistem saraf serebral dan
saluran pencernaan sehingga dapat digunakan untuk mengobati
mual dan muntah pasca operasi.
b) Metoclopramide
Bekerja di syaraf otak untuk mengobati rasa mual dan muntah
karena obat-obatan anestesi umum.
c) Promethazine
Golongan antihistamin (antagonis reseptor H1 histamin).
d) Ranitidin
Menghambat kerja histamin secara kompetitif pada reseptor H2
dan mengurangi sekresi asam lambung.
5) Obat antitiroid dan β - adrenergik antagonis lanjut sampai hari
operasi.
6) Pada bedah darurat, sirkulasi hiperdinamik dapat kontrol degan
titrasi esmolol
g. Persiapan peralatan
Sebelum pasien naik ke meja operasi, petugas anestesi perlu melakukan
persiapan antara lain:
1) Memastikan sumber listrik terpasang pada peralatan elektronik.
Lampu ruangan, mesin anestesi, berbagai alat pantau, mesin
penghangat tempat tidur / blanket roll, infusion pumps, syringe
pumps, defibrilator dan sebagainya harus dipastikan berfungsi.
2) Sumber gas terutama oksigen harus disambungkan dengan mesin
anestesi. Dilakukan pengecekan dengan cara melihat gerakan flow
meter
3) Memastikan tidak adanya kebocoran sirkuit nafas dan memeriksa
kondisi APL (adjustable pressure-limiting valve).
4) Menyiapkan STATICS
5) Menyiapkan obat-obat yang akan digunakan:
6) Melakukan setting ventilator dan monitor.

18
h. Persiapan pasien
Ketika pasien masuk di ruang operasi yang harus dilakukan adalah
memastikan patensi akses intravena dan memasang alat pantau pada
pasien.
Selanjutnya pasien diposisikan tidur terlentang (supine), oksiput
diganjal dengan bantal intubasi untuk memudahkan ketika intubasi,
yaitu kepala dapat ekstensi serta treachea dan laringoskop berada dalam
satu garis lurus. Langkah-langkah anestesi:
1) Induksi anestesi
Induksi yang digunakan pada operasi Isthmolobectomy adalah
induksi intravena dengan pilihan obat-obatan antara lain:
a) Induksi dengan tiopental, dosis tinggi 3-6 mg/kgBB bisa
sebagai antitiroid.
b) Fentanyl dengan dosis 1-5 mcg/kgBB.
c) Midazolam dengan dosis 0,3-0,6 mg/kgBB.
d) Propofol dengan dosis 2-3 mg/kgBB, Karena penyuntikan
dapat menimbulkan nyeri, maka 1 menit sebelumnya
diberikan lidokain 1 mg/kgBB. (untuk kasus tiroid
disarankan tidak memakai propofol karena merupakan
histamine release)
2) Preoksigenasi
Sebelum dilakukan intubasi, dilakukan preoksigenasi selama 5
menit dengan oksigen 100% bertujuan untuk membuang nitrogen
yang masih tersimpan dalam volume residu sehingga FRC
(Functional Residual Capacity) terisi oleh O2 murni.
Preoksigenasi dapat memberi cadangan oksigen selama 10 menit
saat periode apneu.
3) Pemberian obat pelumpuh otot
Operasi Isthmolobectomy diperkirakan berlangsung 3-5 jam,
sehingga dapat diberikan pelumpuh otot yang long acting atau
middle acting dengan penambahan dosis rumatan.

19
Pada pasien tanpa penyakit atau tanpa riwayat penyakit asma
dapat diberikan Atracurium dengan dosis awal 0,5-0,6/kgBB dan
dosis rumatan 0,1mg/kgBB. Durasi Atrakurium yaitu 20-45 menit.
Dan disarankan menghindari pankuronium karena meningkatkan
denyut jantung.
Pelumpuh otot digunakan secara hati-hati, karena dapat
meningkatkan insiden miopati dan myiastenia gravis, dan sebaiknya
sebelum diberikan pelumpuh otot sebaiknya dicoba dilakukan
ventilasi terlebih dahulu.
4) Intubasi endotracheal
Pasien diposisikan tidur terlentang (supine), oksiput diganjal
dengan bantal intubasi yang memudahkan ketika intubasi, yaitu kepala
dapat ekstensi serta trachea dan laringoskop berada dalam satu garis
lurus, Anestesi dalam selama laringoskopi dan stimulasi bedah untuk
menghindari takikardi, hipertensi aritmia ventrikular.
Dilakukan intubasi endotracheal secara oral, sleep apnea
dengan ETT Non Kingking dengan ukuran yang sesuai dengan pasien.
Setelah ETT terpasang kemudian dihubungkan dengan sirkuit oksigen
dan gas anestesi lain.
5) Proteksi mata karena eksotalmus beresiko terjadinya ulserasi dan
abrasi kornea
6) Elevasi meja operasi 15 – 20 derajat yang dapat membantu aliran
vena & mengurangi perdarahan (walaupun meningkatkan resiko
emboli air pada vena)

2. Anestesi intraoperatif
a. Maintenance
Pada periode ini pasien diberikan maintenance atau rumatan
anestesi yang bertujuan untuk mempertahankan trias anestesia dan
mempertahankan kedalaman anestesi tetap pada stadium pembedahan.
Stadium anestesi meliputi:

20
1) Stadium I : Disebut juga ”stadium induksi”, yaitu periode sejak
masuknya obat induksi hingga hilangnya kesadaran yang ditandai
dengan hilangnya refleks bulu mata.
2) Stadium II : Disebut juga ”stadium eksitasi”. Pasien mulai tidak
sadar sampai mulai nafas teratur otomatis. Pada stadium ini pasien
batuk, mual, muntah, henti nafas dan lain-lain.
3) Stadium III : Disebut juga ”stadium pembedahan” yang dibagi dalam
4 plana, yaitu:
Plana 1 : Mulai nafas otomatis sampai gerak bola mata berhenti.
Plana 2 : Mulai gerak bola mata berhenti sampai nafas torakal lemah.
Plana 3 : Mulai nafas torakal lemah sampai nafas torakal berhenti.
Plana 4 : Mulai nafas torakal berhenti sampai nafas diafragma
berhenti.
4) Stadium IV : Merupakan stadium intoksikasi, yaitu mulai
paralisis diafragma sampai henti jantung atau meninggal.
Maintenance dilakukan dengan menggunakan oksigen atau
campuran oksigen dengan nitrous oxide (N2O) bersama dengan agen
inhalasi. Pilihan agen inhalasi antara lain: dengan isofluran atau
sevofluran yang mencegah eksagregasi sistem saraf simpatis yang
berespon terhadap rangsangan pembedahan. MAC Isofluran 1.15-1.20
vol%, Sevofluran 1.80-2.0 vol%.
Pada saat durante operasi jika diketahui durasi obat pelumpuh otot
telah berkurang, maka perlu diberikan obat pelumpuh otot dengan dosis
maintenance.
b. Monitoring durante operasi
Monitoring durante operasi meliputi:
a. Jalan nafas tetap bebas
b. Posisi ETT yang baik, tidak mengganggu operasi dan perlu
diperhatikan agar posisi tidak berubah karena manipulasi operator
atau asisten operator.
c. Pernafasan dan gerak dada cukup.

21
d. Saturasi oksigen diatas 95%.
e. Monitor fungsi kardiovaskuler, denyut nadi yang reguler dan
teratur.
f. Kebutuhan cairan pasien terpenuhi.
g. Pasien dengan hipotiroid lebih mudah mengalami hipotensi dengan
obat-obat anestesi, sebab obat anestesi menurunkan kardiak output,
menumpulkan reflek baroreseptor dan menurunkan volume
intravaskular. Untuk ini ketamin sering dianjurkan untuk induksi.
h. Masalah lain yang dapat timbul termasuk hipoglikemia, anemia,
hiponatremia, kesulitan intubasi karena lidah yang besar, dan
hipotermia karena metabolisme basal rate yang rendah.
i. Perhatian yang cermat harus diberikan untuk mempertahankan
temperatur tubuh.
j. Badai tiroid (Thyroid storm)
Badai tiroid juga bias terjadi selama intra anesthesia, dan
penanganan sama seperti pada penanganan badai tiroid pada
komplikasi pasca bedah. Untuk pembedahan tiroid lebih baik
dilakukan pemasangan NGT, guna mempermudah pemberian obat-
obat per oral selama durante op.
c. Ekstubasi
Ekstubasi dapat dilakukan pada keadaan pasien sudah sadar. Pada
saat itu jalan nafas telah terjaga bebas (intact protective airway reflexes).
Namun ekstubasi juga dapat dilakukan dalam keadaan pasien masih
teranestesi dalam. Hati-hati pasien mudah terjadi depresi nafas.
3. Pasca Anestesi
Morbiditas pascabedah paling banyak disebabkan oleh analgesia
yang tidak adekuat dan hipoksia. Hipoksia pasca bedah dapat merupakan
akibat dari tingginya konsumsi / kebutuhan oksigen, atau karena turunnya
supplay O2 (misalnya akibat metabolit aktif pelumpuh otot yang
menyebabkan pasien hipoventilasi bahkan apnea).

22
Komplikasi pasca anestesi yang juga sering terjadi adalah mual-
muntah. Oleh karena itu perlu dilakukan antisipasi sejak awal. Adapun
komplikasi yang bisa timbul pada anetesi pasien struma antara lain:
a. Pemulihan anestesi mungkin melambat pada pasien hipotiroid,
hipotermia, depresi pernafasan atau biotranformasi obat yang lambat.
Obat non opioid seperti ketorolac merupakan pilihan untuk nyeri pasca
operasi.
b. Koma miksedema adalah kegawat daruratan medis yang membutuhkan
terapi yang cepat.
1) Ditandai dengan gangguan mental, hipoventilasi, hiponatremia
(dari ketidak tepatan sekresi hormon anti diuretik dan CHF.
2) Sering terjadi pada pasien yang lebih tua dan mungkin dipercepat
oleh infeksi, pembedahan dan trauma.
c. Komplikasi jalan nafas
Tindakan general anetesi dapat menyebabkan trauma jalan nafas, bisa
berupa lidah yang tergigit saat melakukan ventilasi, cidera glotis pada
saat tindakan laringoskopi dan intubasi, kelumpuhan pita suara karena
penekanan saraf laringeal rekuren, edema laring dll. Sehingga
disarankan lebih memakai alat-alat yang lebih aman dan nyaman baik
bagi anestesiologis ataupun pasien, dan melakukan tindakan seaman
dan senyaman mungkin.
d. Komplikasi sistem pernafasan
Komplikasi sistem pernafasan bisa berupa hipoksia berat, barotrauma
atau valotrauma, obstruksi nafas karena tertekuknya pipa ETT sehingga
bisa menyebabkan hipoksia dan hiperkarbi, sehingga disarankan
menggunakan ETT non kingking, penggunaan pressure-preset
ventilation dan pengawasan yang ketat.
e. Komplikasi sistem kardiovaskuler
Obat-obat general anestesi merupakan selain obat-obat yang
mempengaruhi peningkatan aktifitas simpatis, aktifitas

23
parasimpatispun terjadi, bisa menyebabkan vasodilator, sehingga
pemantauan hemodinamik yang ketat sangat perlu diperlukan
f. Kompliasi neurologik
Trauma pada medula spinalis atau saraf-saraf yang keluar dari medula
spinalis meskipun jarang bisa saja terjadi, cidera vetrebra servikalis
akibat usaha laringoskopi, cerebrovasculer accident akibat hipertensi
yang tak terkendali, cerebral insult akibat tekanan intrakranial.
g. Komplikasi organ lain
Dan komplikasi organ lain akibat tindakan general anestesi, misal
tertanggalnya gigi akibat tindakan laringoskopi dll.
D. KONSEP ASKEP ASUHAN KEPERAWATAN PERIANESTESI
1. Pengkajian
Pengkajian dapat dilakukan pada periode preoperatif. Data diperoleh
dengan wawancara langsung dengan pasien, dari rekam medik dan dari hasil
pemeriksaan penunjang. Pengkajian perlu dilakukan untuk mengetahui
masalah pasien mulai B1 – B6 serta masalah psikososial.
Pengkajian diawali dengan konfirmasi identitas pasien dilakukan
dengan menanyakan langsung pada pasien dan mencocokkan pada
dokumen rekam medis. Selanjutnya dilakukan anamnesa dan pemeriksaan
tanda-tanda vital meliputi tekanan darah, nadi, respiration rate. Kemudian
dilanjutkan dengan pengkajian per sistem.
2. Diagnosa Keperawatan dan Intervensi
a. Pre anestesi
1) Risiko cidera berhubungan dengan transfer dan transport pasien.
Tujuan: Selama transfer dan transport, pasien tidak mengalami
cedera.
Kriteria Hasil:
a) Pasien tidak terjatuh ketika dipindahkan dari brankart ruangan
ke brankart kamar operasi.
b) Pasien tidak terjatuh ketika dipindahkan dari brankart kamar
operasi ke meja operasi.

24
c) Pasien tidak terjatuh ketika dipindahkan dari meja operasi ke
brankart pulih sadar.
d) Pasien tidak terjatuh selama operasi.
e) Jalur dan selang yang terhubung dengan pasien aman.
Intervensi:
a) Berikan keamanan pada pasien dengan memasang pagar pada
tempat tidur.
b) Stabilkan dengan baik brancart maupun meja operasi waktu
memindahkan pasien.
c) Pindahkan pasien secara bersamaan dengan minimal 3 orang
(logroll).
d) Antisipasi gerakan, jalur dan selang yang terhubung dengan
pasien selama melakukan pemindahan dan amankan pada posisi
yang tepat.
e) Amankan pasien di meja operasi dengan memasang sabuk
pengaman sesuai dengan kebutuhan dan jelaskan perlunya
restrain.
f) Ekstremitas diletakkan sedemikian rupa sehingga dapat
dilakukan pemeriksaan keselamatan, sirkulasi, tekanan saraf
dan posisi tubuh secara periodik.
2) Ansietas berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang
pembedahan.
Tujuan: kecemasan pasien terminimalisir dan pasien menjalani
operasi dengan ikhlas.
Kriteria hasil:
a) Pasien tampak tenang, tidak gelisah, tidak agitasi, tidak
menunjukkan kesedihan yang mendalam.
b) Tekanan darah, nadi, frekuensi nafas stabil.
Intervensi:
a) Diskusikan hal-hal yang harus diantisipasi yang dapat
menakutkan atau menjadi perhatian pasien.

25
b) Informasikan pasien tentang peran advokat perawat intraoperasi.
c) Jelaskan tentang prosedur anestesi yang akan dilakukan terhadap
pasien.
d) Terima feed back dari pasien mengenai penjelasan tindakan
anestesi yang telah diberikan.
e) Berikan premedikasi sesuai order.
f) Bimbing pasien untuk berdoa sebelum anestesi dimulai.
b. Intra anestesi
1) Risiko gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ventilasi-
perfusi tidak adekuat.
Tujuan: Selama periode anestesi, pasien tidak mengalami gangguan
pertukaran gas.
Kriteria hasil:
a) BGA normal
b) Sianosis (-)
c) Hiperkapnia (-)
d) Hipoksia (-)
e) Nadi stabil 60-100 x/mnt
Intervensi :
a) Berikan ETT sesuai dengan ukuran pasien.
b) Yakinkan ETT telah masuk dalam trachea dan terfiksasi dengan
benar.
c) Selama durante operasi, pastikan ETT tidak berubah posisi.
d) Setting tidal volume, frekuensi rate dan minute volume sesuai
kebutuhan pasien.
e) Monitor perubahan tidal volume dan frekuensi rate pasien
f) Monitor saturasi dan tanda vital lainnya secara periodik.
g) Lakukan pemeriksaan BGA durante anestesi bila perlu.
2) Risiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan
pembedahan.
Tujuan : selama periode anestesi, kebutuhan cairan pasien terpenuhi.

26
Kriteria hasil:
a) Nadi stabil dalam rentang normal (60-100 kali/menit).
b) Tekanan darah stabil dalam rentang normal (Systole: 100-130
mmHg, diastole: 60-90 mmHg).
c) MAP normal (60-100 mmHg)
d) Produksi urin sesuai (0,5 – 1 cc / kg BB / jam).
e) Warna urin kuning jernih
Intervensi:
a) Ukur dan catat cairan masuk dan cairan keluar.
b) Lakukan penghitungan balance cairan tiap jam.
c) Monitor TD, N, MAP secara periodik
d) Palpasi denyut nadi perifer
e) Berikan cairan sesuai kebutuhan pasien
f) Pasang jalur akses intravena tambahan apabila diperlukan.
g) Berikan transfusi darah apabila dibutuhkan
3) Risiko cidera (syok cardiogenik) berhubungan hipermetabolisme
(badai tiroid).
Tujuan: Selama proses pembedahan pasien tidak mengalami cedera.
Kriteria Hasil:
a) Pasien tidak mengalami takikardi
b) Pasien tidak mengalami hiperthermi
Intervensi:
a) Monitor TD, N, S secara periodik
b) Kaji tanda-tanda badai tiroid
c) Palpasi denyut nadi perifer
d) Berikan selimut dingin apabila dibutuhkan
e) Berikan cairan sesuai kebutuhan pasien
f) Pasang jalur akses intravena tambahan apabila diperlukan.
g) Berikan infus dingin apabila dibutuhkan
h) Kolaborasi pemasangan NGT sebelum pembedahan

27
i) Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian obat antipiretik
dan anti tiroid (PTU, MTZ, Ipodate)
c. Post anestesi
1) Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan disfungsi
neuromuskuler dampak sekunder obat pelumpuh otot dan obat-obat
anestesi lain.
Tujuan: selama perawatan, pola nafas pasien menjadi efektif
Kriteria hasil:
a) Frekuensi nafas: 12-16 x/mnt
b) Nafas vesikuler +/+
c) Inspirasi : Ekspirasi = 1 : 2
d) Ekspansi dada simetris
e) Penggunaan otot bantu nafas (-)
f) Pernafasan cuping hidung (-)
Intervensi:
a) Kaji pola nafas
b) Kaji suara nafas (stridor)
c) Bersihkan sekret pada jalan nafas.
d) Berikan posisi yang menunjang patensi jalan nafas.
e) Berikan O2 masker 10 lpm.
f) Pantau irama, ritme, kedalaman dan usaha nafas.
g) Pantau perubahan saturasi dan tanda-tanda hipoventilasi.
2) Hipotermia berhubungan dengan paparan lingkungan, medikasi
yang menyebabkan vasodilatasi.
Tujuan: selama perawatan di RR, hipotermi pasien teratasi
Kriteria hasil:
a) Suhu tubuh pasien 36,5oC – 37,2oC.
b) Nadi dan tekanan darah dalam rentang normal.
Intervensi:
a) Berikan selimut hangat.
b) Berikan cairan hangat

28
c) Monitor suhu minimal setiap 2 jam.
d) Monitor TD, N, RR periodik
e) Kolaborasi pemberian medikasi.
3) Gangguan jalan nafas yang berhubungan dengan obstruksi trakhea
secunder terhadap perdarahan, spasme laring yang ditandai dengan
sesak nafas, pernafasan cuping hidung sampai dengan sianosis.
Kriteria hasil:
a) Frekuensi nafas: 12-16 x/mnt
b) Inspirasi : Ekspirasi = 1 : 2
c) Penggunaan otot bantu nafas (-) 0830338422
d) Pernafasan cuping hidung (-)
e) Jalan nafas pasien efektif
f) Tidak ada sumbatan pada trakhea
Intervensi:
a) Monitor pernafasan dan kedalaman dan kecepatan nafas.
b) Dengarkan suara nafas, barangkali ada ronchi.
c) Observasi kemungkinan adanya stridor, sianosis.
d) Atur posisi semifoler
e) Bantu klien dengan teknik nafas dan batuk efektif.
f) Melakukan suction pada trakhea dan mulut.
g) Perhatikan klien dalam hal menelan apakah ada kesulitan.

4) Gangguan komunikasi verbal sehubungan dengan nyeri, kerusakan


nervus laringeal yang ditandai dengan klien sulit berbicara dan
hilang suara.
Kriteria hasil:
a) Frekuensi nafas: 12-16 x/mnt
b) Pasien dapat komunikasi secara verbal
c) Pasien dapat mengungkapkan keluhan dengan kata-kata.
Intervensi:
a) Kaji pola nafas dan suara nafas stridor

29
b) Kaji pembicaraan klien secara periodik
c) Lakukan komunikasi dengan singkat dengan jawaban ya/tidak.
d) Kunjungi klien sesering mungkin
e) Ciptakan lingkungan yang tenang.

30
BAB III
TINJAUAN KASUS

A. PENGKAJIAN
Tanggal pengkajian : 9 September 2013
Jam pengkajian : 07.30 WIB
1. IDENTITAS PASIEN
a. Nama : Ny. TS
b. Umur : 31 tahun
c. Jenis kelamin : Perempuan
d. Alamat : Malang
e. Pekerjaan : Buruh
f. Agama : Islam
g. Diagnosa Medis : Struma Nodusa Non Toksik (SNNT)
h. Nomor RM : 1511xxx
i. Tanggal operasi : 20 april 2015, jam 08.30-11.00
j. Jenis Anestesi : GA-Intubasi, jam 08.15-11.00
k. Status ASA : ASA 2 dengan Struma Eutiroid
2. KELUHAN UTAMA
Px menanyakan bagaimana operasinya nanti?” apakah pasti berhasil?”
bagaimana dengan keadaan saya?” dada saya rasanya berdebar-debar
3. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG
Pasien merasa ada benjolan di leher bagian depan sejak 10 tahun yang lalu.
Mula-mula benjolan tersebut kecil dan lama kelamaan membesar. Pasien
mengatakan benjolan tersebut tidak sakit, tapi pasien khawatir bila benjolan
tersebut berbahaya. Pasien telah periksa ke RS dan dianjurkan untuk
operasi.
4. RIWAYAT PENYAKIT DAHULU
Pasien mengatakan sebelumnya tidak pernah mengalami sakit pada leher,
tidak pernah menjalani operasi sebelumnya. Pasien tidak memiliki riwayat
sakit asma, hipertensi dan diabetes mellitus.

31
5. RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA
Pasien tidak memilki anggota keluarga yang menderita penyakit gondok,
penyakit darah tinggi, penyakit kencing manis ataupun penyakit keturunan
dan menular lainnya.
6. KEADAAN PRABEDAH
BB : 50 kg
TB : 150 cm
Golongan darah :A
Makan terakhir : Jam 21.00 WIB
Minum terakhir : Jam 22.00 WIB
TD : 120/80 mmHg
Nadi : 80 x/menit
Hb : 14,80 g/dL
Hct : 40,70 %

7. PEMERIKSAAN FISIK
a. B1-Pernafasan
Asthma (-), Riwayat asthma (-), ISPA (-), Riwayat alergi (-).
Airway : Paten, Mallampati I, JMH > 6 cm, Buka Mulut > 3 jari, gigi
palsu (-), gigi tongos (-)
Breathing : Nafas spontan, RR: 18-22 x/mnt, ves/ves, rh-/-,wh-/-,
distraksi otot bantu nafas (-).
b. B2-Sirkulasi
Akral hangat-kering-merah, CRT < 2 detik . Suara jantung S1 S2
tunggal, murmur (-), gallop (-), riwayat HT (-).
c. B-3 Saraf
Pasien sadar baik, GCS 4-5-6. AVPU Alert
d. B-4 Urinari
Produksi urin (+) = 200cc dibuang, terpasang kateter, warna urin kuning
jernih.
e. B-5 Bowel

32
Bising usus (+) normal, abdomen flat, soefl, distended(-), DM (-),
Riwayat Icterus (-), Icterus (-), Hepar/ Lien tidak teraba.
f. B-6 Bone & Musculoskeletal
Pergerakan ekstremitas normal, edema ekstremitas atas (-/-), edema
ekstremitas bawah (-/-), kontraktur (-/-).

g. Psikososial
Pasien mengatakan takut menghadapi operasi. Selain itu pasien juga
merasa cemas terhadap penyakitnya. Pasien khawatir benjolan pada
lehernya berbahaya.

8. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Pemeriksaan laboratorium
Tabel 3.1 Hasil pemeriksaan laboratorium
Tanggal pemeriksaan : 17-03-2015
Jenis
Hasil Satuan Nilai Normal
Pemeriksaan
HGB 14,00 g/dL 11,4-15,1
HCT 40,70 % 38-42
WBC 9,16 103/μL 4,7-11,3
RBC 4,83 103/μL 4,0-5,0
PLT 375 103/μL 142-424
Natrium 139 mmol/L 136-145
Kalium 3,50 mmol/L 3,5-5,0
Klida 101 mmol/L 98-106
Ureum 23,12 mg/dL 16,6-48,3
Kreatinin 0,69 mg/dL <1,2
GDS 102 mg/dL <140
SGOT 13 UL 0-32
SGPT 9 UL 0-33

33
Albumin 4,61 g/dL 3,5-5,5
T3 Total 1,76 ng/ml 0,6-2,0
Free T4 0,86 ng/ml 0,93-1,7
TSH 0,60 𝜇𝑙𝑈/𝑚𝑙 0,270-4,2
Pasien : 10,80 detik
PPT
INR : 1,04
Pasien : 36,3 detik
APTT Kesimpulan : PPT dan APTT dalam batas
normal.

b. Thorax Foto
Tanggal : 18-03-2015
Kesimpulan :
Jantung : Bentuk dan besar normal
Paru : Dalam batas normal.
c. ECG
Tanggal: 18-03-2015
Kesimpulan :
Irama sinus normal, gelombang P, QRS dan T dalam batas normal.

d. PA
Pungsi Struma dan KGB Colli Lateral (D) masing-masing 1 slide
sediaan
Tanggal : 17-03-2015
Kesimpulan : -slide I dan II TIDAK GANAS
- Kemungkinan
 I. Struma : Simple Goiter,

34
 II. KGB Colli: proses peradangan Chronic Non
Spesifik

10. PERSIAPAN OPERASI


a. Persiapan pasien sebelum operasi
Pasien tiba di ruang persiapan IBS jam 07.30 dan dipersilahkan
berbaring pada bed yang telah disiapkan. Pasien telah terpasang
kanulasi intra vena 1 line di kaki kanan dengan abocath ukuran 18 G,
menggunakan transfusi set dengan cairan RL 500 cc botol kedua.
Pasien telah berpuasa selama 11,5 jam. Makan dan minum terakhir
jam 21.00 (tanggal 19 – 05 - 2015). Pasien juga telah mendapatkan
premedikasi Metoklopramide 10 mg IV dan Ranitidin 50 mg IV pada
jam 06.00 di ruangan.

Pasien telah berpuasa selama 11 jam sehingga cairan yang


dibutuhkan sebagai pengganti puasa sebesar:
BB = 50 kg
Lama puasa = 11 jam
Maintenance = 90 cc/jam
Cairan pengganti puasa = 11 x maintenance
= 11 x 90 cc
= 990 cc
Jadi cairan pengganti puasa sebanyak 990 cc, sehingga pasien
memerlukan loading cairan sebanyak 990 cc.

b. Persiapan alat
- Memastikan terdapat aliran listrik di kamar operasi.
- Memastikan tersedianya gas O2 dan N2O di kamar operasi.

35
- Menyiapkan mesin anestesi dan monitor vital sign,
menghubungkannya dengan sumber listrik dan memastikan
keduanya berfungsi dengan baik.
- Menghubungkan sumber gas O2 dan N2O dengan mesin anestesi.
Melakukan pengecekan dengan cara melihat gerakan flow
meter.
- Memastikan tidak adanya kebocoran sirkuit nafas dan
memeriksa kondisi APL (adjustable pressure-limiting valve).
- Menyiapkan STATICS :
 Stetoscope
 Laringoscope dengan bilah curve nomor 3 dan 4.
 ETT Nonking φ 6,5 – 7,0 – 7,5
 OPA
 Tape untuk fiksasi
 Stilet
 Corrugated dan konektor ETT
 Mesin suction yang telah terhubung dengan sumber listrik
dan berfungsi dengan baik lengkap dengan slang dan kanul
suction no. 10 atau 12.

- Menyiapkan peralatan lain:


 Bantal intubasi
 Ambu bag
 Magil Forcep
 Stetoscope precordial
 Standar infus
 Gunting
 Spuit
- Melakukan setting ventilator: tidal volume: 400 ml, frekuensi
nafas: 14 kali/menit, dan Ekspirasi : Inspirasi = 2 : 1.

36
- Melakukan setting alarm monitor dengan menentukan nilai
maksimal dan minimal SpO2, tekanan darah systole dan diastole,
dan heart rate.
c. Persiapan obat
- Obat Premedikasi
 Midazolam 1 mg/cc : 1 amp (1 amp 5 ml)
 Petidin 10 mg/cc : 1 amp (1 amp 2 ml→ tiap 1 ml 50 mg
dalam spuit 10 cc)
 Ondancetron 4 mg/cc : 1 amp (1 amp 2 ml)
- Obat Induksi
 Propofol 10 mg/cc : 1 amp (1 amp 20 ml)
- Obat Pelumpuh Otot
 Atracurium 10 mg/cc : 1 amp (1 amp 2,5 ml)
- Obat untuk Maintenance
 Agen inhalasi Isoflurane, Oksigen dan N2O
- Analgetika
 Tramadol 50 mg/cc : 1 amp (1 amp 2 ml)
 Ketorolac 30 mg/cc : 1 amp (1 amp 1 ml)
 Fentanyl 50 mcg/cc : 1 amp (1 amp 2 ml)
- Cairan Kristaloid dan Koloid
 Ringer Laktat
 NS
 HE5 130

- Obat – obat emergency 1 paket


 Efedrin 1 amp : 50 mg/cc
 Epinephrine 1 amp : 1 mg/cc
 Sulfas Atropin 2 amp : 0,25 mg/cc
 Dexamethasone 2 amp : 5 mg/cc
 Aminopilin 1 amp : 24 mg/cc
 Lidocain 2% 1 amp : 20 mg/cc

37
- Lain – lain
 Asam Tranexamat 100 mg/cc : 2 amp (1 amp 5 ml)
 Ranitidine 25 mg/cc : 1 amp (1 amp 2ml)
 Metoclopramide 5 mg/cc : 1 amp (1 amp 2ml)

38
B. ASUHAN KEPERAWATAN PREANESTESI
a. Analisa data preanestesi
Tabel 3.2 Analisa data preanestesi
NO WAKTU DATA MASALAH ETIOLOGI
1. Senin, DS: Ansietas Kurang
9 -9-2013 Pasien mengatakan ”saya pengetahuan
Jam 07.30 takut menghadapi operasi tentang proses
karena baru sekali ini saya penyakit, prosedur
menjalani operasi”. operasi dan
Pasien juga mengatakan anestesi.
cemas terhadap penyakitnya
”saya takut dengan benjolan
di leher saya berbahaya”

DO:
Tekanan darah: 130/90
mmHg
Nadi : 80 x/menit
RR: 16 x/menit
Pasien tampak gelisah, raut
muka tegang.
Pasien belum pernah
menjalani operasi dan
anestesi general.

b. Diagnosa keperawatan dan intervensi preanestesi


- Diagnosa keperawatan:
Ansietas berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang proses
penyakit, prosedur anestesi dan operasi.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan, ansietas pasien teratasi.
Kriteria hasil:
 Pasien tampak tenang, tidak gelisah, tidak agitasi, tidak
menunjukkan kesedihan yang mendalam.

39
 Tekanan darah, nadi, frekuensi nafas stabil dan tidak mengalami
peningkatan

- Intervensi :
1. Perkenalkan diri dan bina hubungan saling percaya dengan pasien.
2. Informasikan pasien tentang peran advokat perawat intraoperasi.
3. Diskusikan hal-hal yang harus diantisipasi yang dapat menakutkan
atau menjadi perhatian pasien.
4. Jelaskan tentang prosedur anestesi yang akan dilakukan terhadap
pasien.
5. Terima feed back dari pasien mengenai penjelasan tindakan anestesi
yang telah diberikan.
6. Berikan pujian terhadap perubahan kearah kebaikan yang
ditunjukkan pasien.

b. Implementasi dan evaluasi preanestesi


Tabel 3.3 Implementasi dan evaluasi preanestesi
WAKTU IMPLEMENTASI WAKTU EVALUASI
Senin, 1. Memperkenalkan diri dan Senin, S: Pasien mengatakan
9-9-2013 membina hubungan saling 9-9 2013 ”saya lebih tenang
Jam 07.30 percaya dengan pasien. Jam 07.30 dan saya pasrah tetapi
2. Memberikan informasi saya masih takut
pasien tentang peran karena ini merupakan
advokat perawat pengalaman pertama
intraoperasi. saya operasi”
3. Mendiskusikan hal-hal O: Pasien masih
yang harus diantisipasi menunjukkan raut
yang dapat menakutkan muka tegang.
atau menjadi perhatian TD: 130/90
pasien. N : 80 x/menit
RR: 16 x/menit

40
4. Menjelaskan tentang A: Masalah teratasi
prosedur anestesi yang sebagian
akan dilakukan terhadap P: Modifikasi intervensi:
pasien. Bimbing pasien
5. Menerima feed back dari berdoa menjelang
pasien mengenai penjelasan induksi.
tindakan anestesi yang
telah diberikan.
6. Memberikan pujian
terhadap perubahan kearah
kebaikan yang ditunjukkan
pasien.
C. ASUHAN KEPERAWATAN INTRAANESTESI
a. Data Fokus Intra Anestesi
 Persiapan Pasien
- Pasien masuk kamar operasi jam 08.00, pindah ke meja operasi dan
diarahkan untuk posisi supine.
- Menghubungkan pasien dengan monitor vital sign. Melakukan
setting monitor. Mengukur vital sign TD: 120/80 mmHg, N: 102
x/menit, SpO2: 100%.
- Pasien masih tampak tegang.
- Pasien dibimbing untuk berdoa.
 Induksi
- Jam 08.010 dimulai preoksigenasi dengan oksigen 10 lpm, pasien
diberi midazolam 2,5 mg, fentanyl 150μg. TD: 115/70 mmHg, N:
98x/menit, SpO2: 100%. Kemudian dilakukan induksi dengan
propofol 80 mg. Reflek bulu mata hilang, diberikan ventilasi positif.
Setelah ventilasi terkuasai diberikan atracurium 25 mg dilakukan
ventilasi sampai dengan 5 menit (tercapai onset atracurium).
 Intubasi
- Jam 08.15, TD: 105/79 mmHg, N: 78 x/menit, Sp.O2: 100%,
dilakukan intubasi oral sleep apnea dengan ETT NK φ 7,0 cuff

41
dikembangkan, ETT dihubungkan dengan sirkuit gas anestesi,
ventilasi diberikan, dan dilakukan cek posisi ETT dengan auskultasi
lapang paru kanan dan kiri serta lambung. Setelah yakin ETT
terpasang pada posisi yang tepat, dilakukan fiksasi, OPA dipasang,
diberikan injeksi ketamin 10mg, ventilasi tetap diberikan minute
volume 5,6 L, isoflurane dibuka 1.5 vol%. Operator dipersilahkan
untuk mengatur posisi pasien, melakukan desinfeksi dan drapping.
- Melakukan sinkronisasi setting ventilator, tidal volume: 400ml,
frekuensi nafas: 14 x/menit dan Ekspirasi : inspirasi = 2:1,
kemudian kontrol respirasi dipindahkan dari manual menjadi
kontrol respirasi oleh ventilator.

 Maintenance
- Menggunakan agen inhalasi Isoflurane 1.25 vol%
- Memberikan O2 dan N2O dengan perbandingan 50%:50% = 2,5 lpm
: 2,5 lpm.
- Memberikan atracurium 10mg IV setiap 60 menit atau jika terdapat
tanda-tanda pasien bangun.
- Operasi dimulai jam 08.30, periksa tanda vital pasien secara periodik
- Evaluasi kedalaman anestesi, mempertahankan pasien tetap berada
pada stadium pembedahan (stadium 3 - plana 2), yaitu: gerak bola
mata berhenti sampai nafas torakal lemah.
- Menentukan kebutuhan cairan intra anestesi:
BB = 50 kg
EBV = 65 cc x 50 kg
= 3250 cc
ABL = Hb pasien – Hb target x EBV
Hb awal
= 14,00 – 10 x 3250

42
14,00
ABL = 928,5 cc
M = 90 cc/jam
O2 = 100 cc
Kebutuhan cairan intra operasi tiap jam :
M+O = 100 + 90
= 190 cc
- Menentukan cairan pengganti:
a. Kehilangan darah 10% x EBV = 0,1 x 3250 cc
= 325 cc
Hb pasien berkurang 10% menjadi 12,6 g/dl, diberikan cairan
pengganti yaitu kristaloid sebanyak 650 cc – 975 cc.
b. Kehilangan darah 20% x EBV = 0.2 x 3250 cc
= 650 cc
Hb pasien berkurang 20% menjadi 11,2 g/dl, diberikan cairan
pengganti yaitu kristaloid sebanyak 1300 cc – 1950 cc atau
cairan koloid sebanyak 650 cc.
c. Kehilangan darah 30 % EBV = 0,3 x 3250 cc
= 975 cc
Hb pasien berkurang 30% menjadi 9,8 g/dl, Hb < 10 g/dl indikasi
untuk dilakukan transfusi, maka diberikan transfusi.sebanyak:
Kebutuhan transfusi PRC = ∆Hb x EBV
24
= 10 – 9,8 x 3250
24
= 108 cc

Keterangan:
BB : Berat Badan
EBV : Estimated Blood Volume
ABL : Allowed Blood Loose

43
M : Maintenance
O : Stres operasi
Hct : Hematokrit
Hb : Hemoglobin
PRC : Packed Red Cell

- Mengatur cairan masuk, mengobservasi jumlah urin dan perdarahan


dan menghitung balance cairan.
- Mendokumentasikan tindakan yang dilakukan dalam format laporan
anestesi.

b. Analisa Data Intra Anestesi


Tabel 3.4 Analisa data intra anestesi
NO WAKTU DATA MASALAH ETIOLOGI
1. Rabu, DS: - Risiko gangguan Kontrol respirasi
20042015 DO: pertukaran gas. kurang adekuat
Jam 08.15 Pasien terpasang ETT sekunder
NK φ 7,0. terhadap
Pernafasan: control penggunaan
respiration dengan ventilator.
ventilator, setting tidal

44
volume : 400 ml,
E:I=2:1,
Frekuensi rate: 14x/mnt
O2: 2,5 lpm
N2O : 2,5 lpm
SpO2 : 100%,
Akral HKM,
CRT < 2 detik,
Sianotik (-)

2. Rabu, DS: - Risiko kekurangan Prosedur


20042015 DO: volume cairan pembedahan
Jam 08.15 N: 96 x/menit
TD: 138/89 mmHg
MAP: 105 mmHg
Produksi Urin (-):
PO = 200 cc dibuang
Warna urin kuning
jernih.
Operasi termasuk dalam
katagori operasi sedang
dengan O2 = 100cc.

c. Diagnosa Keperawatan Dan Intervensi Intra Anestesi


1. Risiko gangguan pertukaran gas berhubungan dengan kontrol respirasi
kurang adekuat sekunder terhadap penggunaan ventilator.
Tujuan :
Selama periode anestesi, pasien tidak mengalami gangguan pertukaran
gas
Kriteria hasil:

45
- Respirasi rate dalam batas Normal 12-24 x/menit
- Saturasi 02 ≥ 96%
- Sianosis (-)
- Hiperkapnia (-)
- Hipoksia (-)
- Nadi stabil 60-100 x/mnt
Intervensi :
1. Berikan ETT sesuai dengan ukuran pasien.
2. Yakinkan ETT telah masuk dalam trachea dan terfiksasi dengan
benar.
3. Selama durante operasi, pastikan ETT tidak berubah posisi.
4. Lakukan sinkronisasi setting ventilator: tidal volume, frekuensi
rate dan minute volume sesuai kebutuhan pasien.
5. Monitor perubahan tidal volume dan frekuensi rate pasien
6. Monitor saturasi dan tanda vital lainnya secara periodik
7. Lakukan pemeriksaan end tidal CO2.
8. Lakukan pemeriksaan BGA durante anestesi bila perlu.

46
2. Risiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan prosedur
pembedahan.
Tujuan :
Selama periode anestesi, pasien tidak kekurangan cairan.
Kriteria hasil:
- Nadi stabil 60 – 100 x/menit.
- Tekanan darah stabil, systole: 100 – 130 mmHg, diastole: 60 – 90
mmHg.
- MAP normal 70 – 110 mmHg
- Produksi urin 0,5 – 1 cc /kgBB/jam
- Warna urin kuning jernih
Intervensi:
1. Ukur dan catat cairan masuk dan cairan keluar.
2. Lakukan penghitungan balance cairan tiap jam.
3. Monitor TD, N, MAP secara periodik
4. Palpasi denyut nadi perifer
5. Berikan cairan sesuai kebutuhan pasien
6. Pasang jalur akses intravena tambahan apabila diperlukan.
7. Berikan transfusi darah apabila dibutuhkan.

47
d. Implementasi dan Evaluasi Intra Anestesi
Tabel 3.5 Implementasi dan evaluasi intra anestesi
No.
DIAG WAKTU IMPLEMENTASI WAKTU EVALUASI
NOSA
1 Rabu, 1. Memberikan ETT NK φ 7,0, Rabu, S: -
20042015 sebelumnya telah dilakukan 20042015 O: Hasil monitoring
setiap 5 penentuan ukuran dengan jari setiap 5 SpO2 dan vital
menit mulai kelingking pasien. menit sign stabil baik
08.15- 2. Melakukan auskultasi lapang mulai (tercantum
11.00 paru dan lambung setelah 08.15- dalam tabel
ETT terpasang dan 11.00 monitoring intra
memastikan posisi ETT telah anestesi),
benar, mengembangkan cuff sianosis (-), CRT
ETT sampai tidak terdengar < 2 detik, akral
kebocoran udara (7 cc). hangat, kering,
3. Memfiksasi ETT dan merah.
memasang OPA. A: Masalah teratasi
4. Memastikan ETT tidak sebagian
berubah posisi. P: Intervensi no.5,6,7
5. Melakukan sinkronisasi dilanjutkan
setting ventilator: tidal
volume: 400ml, frekuensi
rate: 16 x/menit dan minute
volume: 5.6 lpm..
6. Monitoring perubahan tidal
volume dan frekuensi rate
pasien
7. Monitoring saturasi dan tanda
vital lainnya secara periodik.

48
3 Rabu, 1. Mengukur urin yang keluar. Rabu, S: -
20042015 2. Mencatat urin yang keluar 20042015 O:
setiap 5 dan perdarahan. setiap 5 - Nadi stabil dalam
menit mulai 3. Memberikan cairan sesuai menit rentang normal
08.15- kebutuhan. mulai - Tekanan darah
11.00 4. menghitung jumlah cairan 08.15- stabil dalam
yang masuk. 11.00 rentang normal
5. Menghitung balance cairan - MAP normal
tiap jam. - Produksi urin
6. Monitoring TD, N, MAP sesuai
secara periodik. - Warna urin kuning
7. Melakukan palpasi denyut jernih.
nadi perifer. (data dalam angka
8. Berikan cairan sesuai tercantum pada tabel
kebutuhan. monitoring intra
9. memberikan antikoagulan anestesi).
sesuai order: asam
traneksamat 1000 mg

49
Monitoring Intra Anestesi
Tabel 3.6 Monitoring intra anestesi
Jam TD Nadi SpO2 RR Respirasi Keterangan
08.00 120/82 103 99% 20 SR Persiapan pasien di
meja operasi.
08.05 122/85 106 99% 20 SR Persiapan pasien di
meja operasi
08.10 121/83 101 99% 16 CR Dilakukan induksi IV,
Midazolam 2,5 mg,
Fentanyl 150 μg,
Propofol 80 mg,
atracurium 25 mg
08.15 125/82 101 99% 16 CR Dilakukan intubasi, inj.
Ketamine mg,
Isoflurane 1.5 vol%,
08.20 115/71 98 100% 14 CR
08.25 100/62 85 100% 14 CR
08.30 100/62 81 100% 14 CR Dilakukan insisi. Inj.
Fentanyl 50μg,
Ketorolac 30mg
08.35 101/61 82 100% 14 CR
08.40 100/63 82 100% 14 CR
08.45 90/52 72 100% 14 CR
08.50 91/53 72 100% 14 CR

50
08.55 92/51 73 100% 14 CR
09.00 91/50 74 100% 14 CR
09.05 95/52 73 100% 14 CR
09.10 93/53 69 100% 14 CR
09.15 90/51 69 100% 22 CR Inj. Atracurium 10mg
09.20 91/51 68 100% 14 CR
09.25 90/51 69 100% 14 CR
09.30 92/50 67 100% 14 CR Inj. Asam Traneksamat
1gr
09.35 112/68 80 100% 14 CR Inj. Fentanyl 50μg
09.40 110/69 83 100% 14 CR
09.45 100/53 73 100% 14 CR
09.50 91/53 71 100% 14 CR
09.55 92/51 70 100% 14 CR
10.00 91/50 67 100% 14 CR
10.05 95/52 70 100% 14 CR
10.10 93/53 69 100% 14 CR
10.15 110/71 88 100% 25 CR Inj. Fentanyl 50μg
Inj. Atracurium 10mg
10.20 91/51 68 100% 14 CR
10.25 90/51 69 100% 14 CR
10.30 92/50 74 100% 14 CR
10.35 91/53 76 100% 14 CR
10.45 92/51 75 100% 14 CR
10.50 91/50 75 100% 14 CR Inj. Ondancentrone
4mg
10.55 95/52 75 100% 14 CR
11.00 93/53 75 100% 14 CR Operasi selesai
Pelika Dilakukan pengintipan
vokalis pelika vokalis
bekerja Isoflurance dimatikan,
normal N2O di matikan, O2 8
lpm.

51
11.05 125/83 77 100% 22 CR Ekstubasi

Keterangan :
TD : Tekanan Darah
SpO2 : Saturasi oksigen perifer
RR : Respiration rate
SR : Spontan respiration
CR : Control respiration
AR : Assist Respiration

Monitoring cairan intra anestesi


Tabel 3.7 Monitoring cairan intra anestesi
INPUT OUTPUT
JAM MAINTENANCE BALANCE
RL ASERING PDRHN URINE
09.00 250 400 10 120 190 +300
10.00 250 450 15 200 380 +75
11.00 250 500 25 250 570 -145

D. ASUHAN KEPERAWATAN POST ANESTESI


a. Analisa data post anestesi
Tabel 3.8 Analisa data post anestesi
NO WAKTU DATA MASALAH ETIOLOGI

52
1. Rabu, DS: - Pola nafas Disfungsi
20042015 DO: tidak efektif neuromuskuler
Jam 11.05 Pasien bernafas spontan, dampak sekunder
frekuensi nafas : 20-24 obat pelumpuh
x/menit. otot dan obat-obat
Tidal volum < 100ml. anestesi.
Saturasi 99%.
Pasien membutuhkan assist
respirasi.

b. Diagnosa keperawatan dan intervensi post anestesi


- Diagnosa keperawatan:
Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan disfungsi neuromuskuler
sekunder obat pelumpuh otot dan obat-obat anestesi.
Tujuan : setelah anestesi, pola nafas pasien efektif.
Kriteria hasil:
 Respiratorik:
 Nafas spontan adekuat
 Volume tidal ekspirasi : minimal 5 cc/kgBB
 Kapasitas vital : minimal 15 cc/kgBB
 Paw dengan valve dibuka lebar : minimal 10 ccH2O
 SpO2 dengan ETT terbuka : ≥ 96%
 Motorik:
 Pasien mampu membuka mata
 Pasien mampu menggenggam dengan kuat
 Pasien mampu mengangkat kepala minimal 5 detik
 pasien mampu menjulurkan lidah
- Intervensi post anestesi:
1. Matikan agen inhalasi dan N2O, berikan O2 murni 5,6 lpm
2. Berikan assist respirasi
3. Kolaborasi pemberian reversal

53
4. Pantau irama, ritme, kedalaman dan usaha nafas.
5. Pantau perubahan saturasi dan tanda-tanda hipoventilasi
6. Lakukan ekstubasi setelah pasien sadar dengan respirasi dan motorik
telah memenuhi syarat.

c. Implementasi dan evaluasi


Tabel 3.9 implementasi dan evaluasi post anestesi
WAKTU IMPLEMENTASI WAKTU EVALUASI
Rabu, 1. Mematikan isflurane dan Rabu, S: -
20042015 N2O, memberikan O2 8 lpm. 20042015 O: Pasien bernafas
Jam 11.05 2. Memberikan assist repirasi. Jam 11.05 spontan, reguler, RR:
3. Monitoring irama, ritme, 16 x/menit, Volume
kedalaman dan usaha nafas. Tidal Ekspirasi: 200
4. Memantau perubahan cc.
saturasi dan tanda-tanda Saturasi tanpa assist:
hipoventilasi. 100%, pasien
membuka mata
dengan rangsang
nyeri, pasien
terbatuk-batuk.
Terdengar suara
gargling.
A: Masalah teratasi
sebagian
P: Modifikasi intervensi:
Lakukan suction
aktif, Lakukan
ekstubasi, berikan O2
masker 10 lpm.

54
BAB IV
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Struma disebut juga goiter adalah suatu pembengkakan pada leher oleh
karena pembesaran kelenjar tiroid akibat kelainan glandula tiroid dapat berupa
gangguan fungsi atau perubahan susunan kelenjar dan morfologinya. Secara
fisiologi struma dibagi menjadi tiga jenis yaitu eutiroidisme, hipotiroidisme,
dan hipertiroidisme, sementara dari klinisnya bisa dibedakan menjadi struma
toksik dan non toksik, yang kemudian dari penyebaran atau bentuknya dibagi
lagi menjadi 2, yaitu struma difusa(multi Nodusa) dan non difusa (Nodusa).
Struma nodusa non toksik ditemukan di daerah pegunungan yang airnya kurang
iodium. Penatalaksanaan struma ditentukan melalui banyak faktor dan
pemeriksaan, apakah struma tersebut merupakan keganasan atau tidak.
Penatalaksanaan struma antara lain dengan medikamentosa dan pembedahan.
Komplikasi pada pembedahan struma antara lain Badai Tiroid, kerusakan
nervus Laringeal Rokuren, hipotiroid, obstruksi jalan nafas, dll.
Pemeriksaan fisik,patologi anatomi, dan pemeriksaan radiologi
menunjukkan jenis struma pada pasien ini adalah Struma Nodusa Non Toksik
suspect ganas. Pembedahan merupakan pilihan terapi utama pada kasus ini.
Pasien selanjutnya menjalani tiroidektomi dengan isthmolobectomy. Tidak
dijumpai komplikasi selama pre-, durante, maupun pasca operasi. Pasien tidak
mengalami kejang-kejang, kerusakan pita suara, ataupun komplikasi akibat
kerusakan nervus rekuren laryngeal lainnya
Pada tindakan pembedahan Isthmolobectomy pada Ny. TS tanggal 18
April 2015 diagnosa keperawatan yang muncul pre anestesi adalah Ansietas
berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang proses penyakit, prosedur
anestesi dan operasi. Diagnosa intra anestesi Risiko gangguan pertukaran gas
berhubungan dengan kontrol respirasi kurang adekuat sekunder terhadap
penggunaan ventilator, Risiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan
prosedur pembedahan. Dan untuk diagnosa pot anestesi adalah Risiko gangguan

55
pertukaran gas berhubungan dengan kontrol respirasi kurang adekuat sekunder
terhadap penggunaan ventilator.

B. SARAN
Konsumsi garam beryodium sangat ditekankan dalam mencegah
terjadinya penyakit struma nodusa non toksik, terlebih pada masyarakat yang
tinggal di daerah pegunungan. Pembedahan struma harus disiapkan dengan
matang, harus melalui banyak pemeriksaan, yang bertujuan meminimalkan
komplikasi baik durante maupun post op.
Kondisi eutiroidisme adalah kondisi yang diijinkan untuk pembedahan
elektif. Perlunya tindakan kolaborasi untuk pemasangan NGT yang dibutuhkan
dalam akses pemberian obat anti tiroid per oral. Pemeriksaan bentuk trachea
juga diperlukan untuk melihat ada atau tidaknya perubahan bentuk trachea.
Health education pasien preop sangat dibutuhkan dalam mengatasi
kecemasan pada pasien, observasi hemodinamik termasuk suhu yang ketat
durante op sangat diperlukan guna mengetahui adanya gangguan-gangguan dan
segera bisa dicegah. Pemeriksaan (pengintipan) pelika vokalis sebelum
ekstubasi harus dilakukan, untuk menghindari terjadinya obstruksi nafas post
ekstubasi, dimana merupakan salah satu resiko komplikasi pembedahan. Dan
kerjasama tim bedah dengan tim anestesi sangat dibutuhkan untuk menjaga
keamanan dan kenyamanan pasien ataupun tim medis.

56
DAFTAR PUSTAKA

Nursalam. 2008. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan.


Surabaya: Salemba Medika.

Soenarto, R. F. & Susilo, C. 2012. Buku Ajar Anestesiologi. Jakarta: Departemen


Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.

Herdman, T. H.. 2012. Diagnosis Keperawatan : Definisi Dan Klasifikasi 2012-


2014. Jakarta: EGC.

Kusuma, H. & Nurarif, A.H. 2012. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan


NANDA (North American Nursing Diagnosis Association) NIC-NOC.
Yogyakarta: Media Hardy.

Latief, S. A., Suryadi, K.A., & Dachlan, M.R. 2010. Petunjuk Praktis Anestesiologi.
Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.

Omoigui, S. 1997. Buku Saku Obat-obatan Anestesia. Jakarta: EGC

Soenarto, R.F. & Chandra, S. (Editor). 2012. Buku Ajar Anestesiologi. Jakarta:
Departemen Anestesiologi dan Intensive Care, Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia / RS. Cipto Mangunkusumo.

Toruan, S.S.M.R.L.. 2012. Isthmolobectomy Radikal Modifikasi, (online),


(www.image.onko.multiply.com), diakses tanggal 10 Mei 2015.

Atjeh Ivan, 2011. Badai Tiroid Dan Penanganannya, (online).


(http;//.ivanatjeh.blogspot.com), diakses tanggal 11 Mei 2015.

57
Ollintiar, 2012, Struma Nodusa Non Toksik, (online). (http://ollintiar-
ollin.blogspot.com), diakses tanggal 11 Mei 2015.

Gatie, Asih Luh. 2006. Validasi Total Goitre Rate (TGR) Berdasarkan palpasi
Tehadap Ultrasonografi Tiroid Serta Kandungan Yodium Garam dan
Air di Kecamatan Simprong Kabupaten Brebes. (online).
(http://eprints.undip.ac.id/15388/1/Asih_Luhgatie.pdf) diakses tanggal
6 Mei 2015

Baradero Mary dan Marry Wilfrid Dayrit, Yokobus Siswadi. 2009. Seri Asuhan
Keperawatan Klien Gangguan Endokrin.Jakarta : EGC

Mansjoer Arif dan kuspuji Triyanti, dkk. 2004. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta
: Media Aesculapius

58
LAMPIRAN-LAMPIRAN

Lampiran 1

59
Lampiran 2

60
61
Lampiran 3

62
Lampiran 4

63
Lampiran 5

64
65
66

Anda mungkin juga menyukai