Anda di halaman 1dari 37

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tulang merupakan rangka pembentuk dan penopang tubuh utama


manusia, termasuk jaringan dan organ didalamnya. Kerangka manusia
terdiri dari tulang keras, tulang rawan (kartilago), sendi, serta ligament
(jaringan ikat) dan tendon. Dengan pentingnya peranan yang dimiliki maka
tidak dapat dipungkiri apabila banyak gangguan yang dapat muncul baik
disebabkan karena trauma, kelainan metabolik, penyakit autoimun,
kongenital, infeksi atau neoplasma. Salah satu penyakit yang banyak terjadi
adalah osteoarthritis. Osteoarthritis merupakan penyakit persendian yang
paling sering ditemui, dimana biasanya osteoarthitis lebih banyak diderita
oleh orang lanjut usia. Menurut Arthritis Research UK pada tahun 2012,
memperlihatkan bahwa usia, jenis kelamin, obesitas, ras atau genetik, dan
trauma pada sendi mempunyai kolerasi terhadap peningkatan terjadinya
osteoarthritis.
Selain osteoarthitis gangguan yang dapat terjadi pada persendian
adalah Rhematoid athritis. Rheumatoid arthritis merupakan penyakit
progresif yang biasanya memiliki potensi untuk menyebabkan kerusakan
sendi dan kecacatan fungsional. Penyakit ini merupakan penyakit kronis
yang dapat berlangsung selama bertahun-tahun. Rheumatoid artritis lebih
sering dijumpai pada wanita, dengan perbandingan wanita dan pria sebesar
3:1. Prevalensi Arthritis Rheumatoid di Indonesia cukup tinggi yaitu
mencapai 15,5% pada wanita dan 12,7% pada pria. Peradangan pada sendi
lainnya yang diakibatkan oleh gangguan metabolisme maupun ekskresi dari
asam urat adalah Gout athritis. Arthritis gout terjadi akibat peningkatan
kronis konsentrasi asam urat di dalam plasma. Adanya penurunan ekskresi
asam urat. Kebanyakan arthritis gout disebabkan oleh pembentukan asam
urat yang berlebihan dan penurunan ekskrsi.
1
Melihat cukup banyaknya kasus mengenai osteoarthritis, rhematoid
arthritis dan gout arthritis maka referat ini dibuat untuk mengetahui lebih
lanjut gambaran mengenai osteoarthitis, rhematoid arthritis dan gout
athritis.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan osteoarthritis, rhematoid arthritis dan
gout arthritis?
2. Bagaimana gambaran radiografi dan cara penilaian dari
osteoarthritis, rhematoid arthritis dan gout arthritis?

C. Tujuan dan Manfaat


1. Mengetahui pengertian osteoarthritis, rhematoid arthritis dan gout
arthritis.
2. Mengetahui gambaran radiografi dan cara pembacaan dari
osteoarthritis, rhematoid arthritis dan gout arthritis.

2
BAB II
OSTEOARTHRITIS

A. Definisi

Osteoarthritis merupakan gangguan pada sendi yang ditandai dengan


perubahan patologis pada struktur sendi berupa degenerasi tulang
rawan/kartilago hialin yang disertai dengan peningkatan ketebalan dan sklerosis
dari subchondral yang bisa disebabkan oleh pertumbuhan osteofit pada tepian
sendi, peregangan kapsul artikular, synovitis ringan pada persendian, dan
lemahnya otot-otot yang menghubungkan persendian.1

B. Etiologi

Etiologi osteoarthritis belum diketahui secara pasti, namun faktor


biomekanik dan biokimia adalah faktor terpenting dalam proses terjadinya
osteoarthritis. Faktor biomekanik yaitu kegagalan mekanisme protektif, antara
lain kapsul sendi, ligamen, otot-otot persendian, serabut aferen, dan tulang-
tulang. Kerusakan sendi terjadi multifaktorial, yaitu akibat terganggunya faktor-
faktor protektif tersebut. Osteoarthritis juga bisa terjadi akibat komplikasi dari
penyakit lain seperti gout, rheumatoid arthritis, dan sebagainya.1,2

C. Klasifikasi

Secara umum, osteoarthritis dikategorikan menjadi :

1) Osteoarthritis primer (idiopatik).

2) Osteoarthritis sekunder, yaitu osteoathritis yang disebabkan trauma, komplikasi


dari penyakit lain, dan akibat deposisi kalsium pirofosfat.

D. Epidemiologi

Penyakit ini memiliki prevalensi yang cukup tinggi, terutama pada


orang tua. Prevalensinya meningkat seiring bertambahnya usia. Di

3
Amerika Serikat, prevalensi osteoartritis pada populasi dengan usia di atas 65
tahun mencapai 80% dan diperkirakan akan meningkat pada tahun 2020. 1,2

OA terjadi pada 13,9% orang dewasa berusia lebih dari 25 tahun dan
33,6% dari mereka yang berusia lebih dari 65 tahun. Prevalensi sendi yang
terkena OA menurut temuan radiologis adalah pada tangan 7,3%, kaki 2,3%,
lutut 0,9%, dan panggul 1,5%. 3,4,5,6

Angka kematian yang diakibatkan osteoarthritis adalah sekitar 0,2


hingga 0,3 kematian per 100.000 (1979-1988). Angka kematian akibat OA
sekitar 6% dari semua kematian akibat arthritis. Hampir 500 kematian per
tahun disebabkan OA dan angka tersebut meningkat selama 10 tahun
terakhir.7

E. Faktor resiko

A. Faktor resiko sistemik

1. Usia : merupakan faktor risiko paling umum pada OA.

- Kartilago sendi orangtua kurang responsif dalam mensintesis matriks


kartilago yang distimulasi oleh pembebanan (aktivitas) pada sendi.
Akibatnya, sendi pada orang tua memiliki kartilago yang lebih tipis.
Kartilago yang tipis ini akan mengalami gaya gesekan yang lebih tinggi
pada lapisan basal dan hal inilah yang menyebabkan peningkatan resiko
kerusakan sendi

- Otot-otot yang menunjang sendi menjadi semakin lemah dan memiliki


respon yang kurang cepat terhadap impuls. Ligamen menjadi semakin
regang, sehingga kurang bisa mengabsorbsi impuls.

2. Jenis kelamin : masih belum banyak diketahui mengapa prevalensi OA pada


perempuan usila lebih banyak daripada laki-laki usila. Resiko ini dikaitkan
dengan berkurangnya hormon pada perempuan pasca menopause.

4
3. Faktor genetik dan herediter : OA merupakan penyakit menurun, namun
bervariasi tergantung sendi mana yang terkena penyakit ini.

B. Faktor intrinsik

1. Kelainan struktur anatomis pada sendi seperti vagus dan valrus.


2. Cedera pada sendi seperti trauma, fraktur, atau nekrosis.

C. Faktor beban pada persendian

1. Obesitas : beban berlebihan pada sendi dapat mempercepat kerusakan


pada sendi.
2. Penggunaan sendi yang sering : aktivitas yang sering dan berulang
pada sendi dapat menyebabkan lelahnya otot-otot yang membantu
pergerakan sendi.

F. Patogenesis

Sebuah sendi disusun atas kartilago artikular (tersusun atas kondrosit)


yang dikelilingi matriks ekstraseluler yang mengandung dua makromolekul
utama yaitu kolagen tipe 2 dan aggrecan. Kolagen tipe 2 merupakan molekul
yang menentukan kekakuan kartilago, sedangkan aggrecan merupakan
proteoglikan yang berikatan dengan asam hyaluronat yang terdiri dari
glikosaminoglikan bermuatan negatif.

Pada kartilago yang normal, kolagen tipe 2 berikatan erat membuat


molekul-molekul aggrecan berada dalam jarak yang dekat satu sama lain.
Molekul aggrecan ini melalui tolakan elektrostatis dari muatan negatifnya
memberikan kekakuan pada kartilago. Kondrosit mensintesis elemen- elemen
pada matriks, enzim yang menghancurkan matriks, sitokin dan growth factor.
Sitokin dan growth factor inilah yang mengatur keseimbangan yang
mengatur sintesis dan katabolisme matriks-matriks kartilago. Stres mekanik

5
dan osmotik pada kondrosit menginduksi sel-sel untuk mengubah ekspresi gen
dan meningkatkan produksi sitokin inflamasi dan enzim penghancur matriks.

Pada orang normal, metabolisme dari kartilago berjalan lambat, sintesis


dan katabolisme kartilago seimbang. Pada osteoarthritis, metabolisme
kartilago berjalan sangat aktif. Kondrosit mensintesis enzim penghancur
matriks. Enzim ini menyebabkan degradasi dari molekul kolagen tipe 2 dan
aggrecan, dimana perubahan ini akan menyebabkan ketidakseimbangan antara
pembentukan dan penghancuran matriks- matriks kartilago, menyebabkan
hilangnya kekakuan dari tulang rawan sehingga lebih mudah rusak dan terkena
osteoarthritis.1

OA terjadi karena degradasi pada rawan sendi, remodelling tulang, dan


inflamasi. Terdapat 4 fase penting dalam proses pembentukan osteoartritis
yaitu fase inisiasi, fase inflamasi, nyeri, fase degradasi.

1. Fase inisiasi : Ketika terjadi degradasi pada rawan sendi, rawan sendi
berupaya melakukan perbaikan sendiri dimana khondrosit mengalami
replikasi dan memproduksi matriks baru. Fase ini dipengaruhi oleh faktor
pertumbuhan suatu polipeptida yang mengontrol proliferasi sel dan
membantu komunikasi antar sel, faktor tersebut seperti Insulin-like
growth factor (IGF-1), growth hormon, transforming growth factor b
(TGF-b) dan coloni stimulating factors (CSFs). Faktor-faktor ini
menginduksi khondrosit untuk mensintesis asam deoksiribo nukleat
(DNA) dan protein seperti kolagen dan proteoglikan. IGF-1 memegang
peran penting dalam perbaikan rawan sendi.

2. Fase inflamasi : Pada fase inflamasi sel menjadi kurang sensitif


terhadap IGF-1 sehingga meningkatnya pro-inflamasi sitokin dan jumlah
leukosit yang mempengaruhi sendi. IL-1(Inter Leukin-1) dan tumor
nekrosis faktor-α (TNF-α) mengaktifasi enzim degradasi seperti
collagenase dan gelatinase untuk membuat produk inflamasi pada
osteoartritis. Produk inflamasi memiliki dampak negatif pada jaringan
6
sendi, khususnya pada kartilago sendi dan menghasilkan kerusakan pada
sendi.
3. Fase nyeri: Terjadi proses peningkatan aktivitas fibrinogenik dan
penurunan aktivitas fibrinolitik. Menyebabkan penumpukan trombus dan
komplek lipid pada pembuluh darah subkondral sehingga terjadinya
iskemik dan nekrosis jaringan. Terjadi pelepasan mediator kimia seperti
prostaglandin dan interleukin yang dapat menghantarkan rasa nyeri. Rasa
nyeri juga berupa akibat lepasnya mediator kimia seperti kinin yang dapat
menyebabkan peregangan tendo, ligamen serta spasme otot-otot. Nyeri
juga diakibatkan oleh adanya osteofit yang menekan periosteum dan
radiks saraf yang berasal dari medulla spinalis serta kenaikan tekanan
vena intramedular akibat stasis vena pada pada proses remodelling
trabekula dan subkondrial.
4. Fase degradasi : IL-1 mempunyai efek multipel pada sel cairan
sendi yaitu meningkatkan sintesis enzim yang mendegradasi rawan sendi.
Peran makrofag didalam cairan sendi juga bermanfaat, yaitu apabila
terjadi jejas mekanis, material asing hasil nekrosis jaringan atau CSFs
akan memproduksi sitokin aktifator plasminogen (PA). Sitokin ini akan
merangsang khondrosit untuk memproduksi CSFs. Sitokin ini juga
mempercepat resorpsi matriks rawan sendi.

Faktor pertumbuhan dan sitokin membawa pengaruh yang


berlawanan selama perkembangan OA. Sitokin cenderung merangsang
degradasi komponen matriks rawan sendi sedangkan faktor pertumbuhan
merangsang sintesis (Sudoyo et. al, 2007).

G. Diagnosis

Diagnosis OA didasarkan pada gambaran klinis yang dijumpai


dan hasil radiografis ( Soeroso, 2006 ).

7
2.3.1. Tanda dan Gejala Klinis

Pada umumnya, pasien OA mengatakan bahwa keluhan-keluhan


yang dirasakannya telah berlangsung lama, tetapi berkembang secara
perlahan Berikut adalah keluhan yang dapat dijumpai pada pasien OA :

a. Nyeri sendi

Keluhan ini merupakan keluhan utama pasien.


Nyeri biasanya bertambah dengan gerakan dan sedikit
berkurang dengan istirahat. Bertambah berat dengan semakin
beratnya penyakit sampai sendi hanya bisa digoyangkan dan
menjadi kontraktur, Hambatan gerak dapat konsentris (seluruh
arah gerakan) maupun eksentris ( salah satu arah gerakan saja
). Pada penelitian dengan menggunakan MRI, didapat bahwa
sumber dari nyeri yang timbul diduga berasal dari peradangan
sendi ( sinovitis ), efusi sendi, dan edema sumsum tulang.

b. Hambatan gerakan sendi

Gangguan ini biasanya semakin bertambah berat secara


perlahan sejalan dengan pertambahan rasa nyeri.

c. Kaku pagi

Rasa kaku pada sendi dapat timbul setelah pasien


berdiam diri atau tidak melakukan banyak gerakan, seperti
duduk di kursi atau mobil dalam waktu yang cukup lama,
bahkan setelah bangun tidur di pagi hari.

d. Krepitasi

Krepitasi atau rasa gemeratak yang timbul pada sendi


yang sakit. Gejala ini umum dijumpai pada pasien OA lutut.

e. Pembesaran sendi ( deformitas )

Sendi yang terkena secara perlahan dapat membesar.


8
f. Pembengkakan sendi yang asimetris

Pembengkakan sendi dapat timbul dikarenakan terjadi


efusi pada sendi yang biasanya tidak banyak ( < 100 cc )
atau karena adanya osteofit, sehingga bentuk permukaan sendi
berubah.

g. Tanda – tanda peradangan

Tanda – tanda adanya peradangan pada sendi ( nyeri


tekan, gangguan gerak, rasa hangat yang merata, dan warna
kemerahan ) dapat dijumpai pada OA karena adanya synovitis.
Gejala ini sering dijumpai pada OA lutut.

h. Perubahan gaya berjalan

Gejala ini merupakan gejala yang menyusahkan pasien dan


merupakan ancaman yang besar untuk kemandirian pasien OA,
terlebih pada pasien lanjut usia. Keadaan ini selalu berhubungan
dengan nyeri karena menjadi tumpuan berat badan terutama pada
OA lutut.

Pada penderita OA, dilakukannya pemeriksaan radiografi pada


sendi yang terkena sudah cukup untuk memberikan suatu gambaran
diagnostic.

Gambaran Radiografi sendi yang menyokong diagnosis OA adalah :

a. Penyempitan celah sendi yang seringkali asimetris ( lebih


berat pada bagian yang menanggung beban seperti lutut ).
b. Peningkatan densitas tulang subkondral (sklerosis ).
c. Kista pada tulang
d. Osteofit pada pinggir sendi
e. Perubahan struktur anatomi sendi.
Bagian yang sering terkena OA :
1. Lutut
9
a. Sering terjadi hilangnya kompartemen femorotibial pada rongga
sendi.
b. Kompartemen bagian medial merupakan penyangga tubuh yang
utama, tekanannya lebih besar sehingga hampir selalu
menunjukkan penyempitan paling dini.
2. Tulang belakang
a. Terjadi penyempitan rongga diskus.
b. Pembentukan tulang baru (spuring/pembentukan taji) antara vertebra
yang berdekatan sehingga dapat menyebabkan keterlibatan pada akar
syaraf atau kompresi medula spinalis.
c. Sklerosis dan osteofit pada sendi-sendi apofiseal invertebrate
3. Panggul :
a. Penyempitan pada sendi disebabkan karena menyangga berat badan
yang terlalu berat, sehingga disertai pembentukan osteofit femoral
dan asetabular.
b. Sklerosis dan pembentukan kista subkondral.
c. Penggantian total sendi panggul menunjukkan OA
d. panggul yang sudah berat.
4. Tangan :
a. Biasanya mengenai bagian basal metakarpal pertama.
b. Sendi-sendi interfalang proksimal ( nodus Bouchard ).
c. Sendi-sendi interfalang distal ( nodus Heberden ).

Berdasarkan temuan-temuan radiografis diatas, maka OA


dapat diberikan suatu derajat. Kriteria OA berdasarkan temuan
radiografis dikenal sebagai kriteria Kellgren dan Lawrence yang
membagi OA dimulai dari tingkat ringan hingga tingkat berat. Perlu
diingat bahwa pada awal penyakit, gambaran radiografis sendi masih
terlihat normal ( Felson, 2006 ).

Grade 0: Normal, Tidak tampak adanya tanda-tanda OA pada


radiologis.

Grade 1: Ragu-ragu, tanpa osteofit.


10
Grade 2: Ringan, osteofit yang pasti, tidak terdapat ruang antar
sendi.

Grade 3: Sedang, osteofit sedang, terdapat ruang antar sendi


yang cukup besar.

Grade 4: Berat atau parah, osteofit besar, terdapat ruang antar


sendi yang lebar dengan sklerosis pada tulang subkondral.

American College of Rheumatology (1987) mendeskripsikan


kesehatan seseorang berdasarkan derajat keparahan. Antara lain
sebagai berikut:

Derajat 0 : Tidak merasakan tanda dan gejala.

Derajat 1 : Terbentuk taji kecil, nyeri dirasakan ketika


beraktifitas cukup berat, tetapi masih bisa dilokalisir dengan
cara mengistirahatkan sendi yang terkena osteoartritis.

Derajat 2 : Osteofit yang pasti, mungkin terdapat celah antar


sendi, nyeri hampir selalu dirasakan, kaku sendi pada pagi hari,
krepitus, membutuhkan bantuan dalam menaiki tangga, tidak
mampu berjalan jauh, memerlukan tenaga asisten dalam
menyelesaikan pekerjaan rumah.

Derajat 3 : Osteofit sedang, terdapat celah antar


sendi, dan terdapat deformitas pada garis tulang.

Derajat 4 : Osteofit berat, terdapat celah antar sendi,


kemungkinan terjadi perubahan anatomis tulang, nyeri disetiap
hari, kaku sendi pada pagi hari, krepitus pada gerakan aktif sendi,
ketidakmampuan yang signifikan dalam beraktivitas.

Diagnosis OA seringkali bisa didasarkan pada pemeriksaan fisik, namun


bisa dilakukan pemeriksaan radiologis berupa foto sinar-x untuk
memastikan diagnosis. MRI dapat mengungkapkan tingkat patologi pada
sendi osteoarthritis, namun tidak diindikasikan sebagai bagian dari
pemeriksaan diagnostik. Pemeriksaan Penunjang dari Gambaran Radiologi:

11
1. Foto Rontgen
Pada foto rontgen biasanya terdapat beberapa hal berikut ini:
a. Penyempitan celah sendi yang seringkali asimetris
b. Osteofit pada pinggir sendi
c. Peningkatan densitas (sclerosis) tulang subkondral
d. Kista tulang
e. Perubahan struktur anatomi sendi
Dengan rontgen kita dapat mengetahui dengan jelas kerusakan atau
perubahan-perubahan yang terjadi pada tulang rawan atau tulang yang
diindikasikan mengalami osteoartritis.

12
13
14
2. CT SCAN dan MRI
Pada CT scan dan MRI kita dapat melihat kelainan-kelainan yang
terjadi pada tulang rawan atau tulang yang diindikasikan mengalami
osteoartritis. Pemeriksaan ini lebih baik dibanding dengan rontgen.

15
3. Aspirasi sendi (arthrocentesis)

Pemeriksaan dapat dilakukan dengan cara mengambil sedikit cairan


yang ada dalam sendi untuk diperiksa di laboratorium untuk memeriksa
apakah terjadi kelainan pada sendi.

16
BAB III

REUMATOID ARTHRITIS

A. Definisi
Rheumatoid Arthritis (RA) adalah penyakit autoimun yang etiologinya
belum diketahui dan ditandai oleh sinovitis erosif yang simetris dan pada beberapa
kasus disertai keterlibatan jaringan ekstraartikular. Perjalanan penyakit RA ada 3
macam yaitu monosiklik, polisiklik dan progresif. Sebagian besar kasus
perjalananya kronik kematian dini (Rekomendasi Perhimpunan Reumatologi
Indonesia,2014).
B. Faktor Predisposisi

Faktor risiko yang berhubungan dengan peningkatan kasus RA


dibedakan menjadi dua yaitu faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi dan
faktor risiko yang dapat dimodifikasi:
2.1.1 Tidak Dapat Dimodifikasi
1. Faktor genetik
Faktor genetik berperan 50% hingga 60% dalam
perkembangan RA. Gen yang berkaitan kuat adalah HLA-DRB1.
Selain itu juga ada gen tirosin fosfatase PTPN 22 di kromosom 1.
Perbedaan substansial pada faktor genetik RA terdapat diantara
populasi Eropa dan Asia. HLA- DRB1 terdapat di seluruh
populasi penelitian, sedangkan polimorfisme PTPN22
teridentifikasi di populasi Eropa dan jarang pada populasi Asia.
2. Usia
RA biasanya timbul antara usia 40 tahun sampai 60 tahun.
Namun penyakit ini juga dapat terjadi pada dewasa tua dan anak-
anak (Rheumatoid Arthritis Juvenil). RA hampir tak pernah pada
anak-anak, jarang pada usia dibawah 40 tahun dan sering pada
usia diatas 60 tahun.

17
3. Jenis kelamin
RA jauh lebih sering pada perempuan dibanding laki-laki
dengan rasio 3:1. Perbedaan pada hormon seks kemungkinan
memiliki pengaruh.
2.1.2 Dapat Dimodifikasi
1. Gaya hidup
a. Status sosial ekonomi
Penelitian di Inggris dan Norwegia menyatakan tidak
terdapat kaitan antara faktor sosial ekonomi dengan RA,
berbeda dengan penelitian di Swedia yang menyatakan
terdapat kaitan antara tingkat pendidikan dan perbedaan
paparan saat bekerja dengan risiko RA.
b. Merokok
Sejumlah studi cohort dan case-control menunjukkan
bahwa rokok tembakau berhubungan dengan peningkatan
risiko RA. Merokok berhubungan dengan produksi dari
rheumatoid factor(RF) yang akan berkembang setelah 10
hingga 20 tahun.

c. Diet

Banyaknya isu terkait faktor risiko RA salah satunya


adalah makanan yang mempengaruhi perjalanan RA. Dalam
penelitian Pattison dkk, isu mengenai faktor diet ini masih
banyak ketidakpastian dan jangkauan yang terlalu lebar
mengenai jenis makanannya. Penelitian tersebut
menyebutkan daging merah dapat
d. Infeksi
Banyaknya penelitian mengaitkan adanya infeksi
Epstein Barr virus (EBV) karena virus tersebut sering
ditemukan dalam jaringan synovial pada pasien RA. Selain
itu juga adanya parvovirus B19, Mycoplasma pneumoniae,

18
Proteus, Bartonella, dan Chlamydia juga memingkatkan
risiko RA.
e. Pekerjaan
Jenis pekerjaan yang meningkatkan risiko RA adalah
petani, pertambangan, dan yang terpapar dengan banyak zat
kimia namun risiko pekerjaan tertinggi terdapat pada orang
yang bekerja dengan paparan silica.
2. Faktor hormonal
Hanya faktor reproduksi yang meningkatkan risiko RA
yaitu pada perempuan dengan sindrom polikistik ovari, siklus
menstruasi ireguler, dan menarche usia sangat muda.
3. Bentuk tubuh
Risiko RA meningkat pada obesitas atau yang memiliki
Indeks Massa Tubuh (IMT) lebih dari 30.
C. Patofisiologi
Artritis reumatoid adalah proses inflamasi kompleks yang
merupakan hasil reaksi dari berbagai populasi sel imun dengan aktivasi dan
proliferasi dari fibroblas sinovial. Respon inflamasi ini menyerang cairan
sinovial pada persendian, bursa dan tendon, serta jaringan lain di seluruh
tubuh. Pada jaringan sendi dan cairan sinovial, terjadi akumulasi dari
leukosit yang menghasilkan enzim lisosom dan proinflamasi lain, serta
mediator-mediator toksik. Kemudian, dengan teraktivasinya sel-sel imun
dan fibroblas sinovial, mediator ini dapat merusak kartilago persendian
yang bedekatan. Jika proses ini terus berlanjut dan tidak dikendalikan,
permukaan sendi akan hancur, dan secara bertahap terjadi fibrosis pada
jaringan fibrosa kapsul persendian dan jaringan sendi atau terlihat ankilosis
pada tulang.
Destruksi jaringan sendi terjadi melalui dua cara. Pertama adalah
destruksi akibat proses pencernaan oleh karena produksi protease,
kolagenase dan enzim-enzim hidrolitik lainnya. Enzim-enzim ini memecah
kartilago, ligamen, tendon dan tulang pada sendi, serta dilepaskan bersama
19
dengan radikal oksigen dan metabolit asam arakidonat oleh leukosit
polimorfonuklear dalam cairan sinovial. Proses ini diduga adalah bagian
dari respon autoimun terhadap antigen yang diproduksi secara lokal. Kedua
adalah, destruksi jaringan juga terjadi melalui kerja panus reumatoid. Panus
merupakan jaringan granulasi vaskular yang terbentuk dari sinovium yang
meradang dan kemudian meluas ke sendi. Disepanjang pinggir panus,
terjadi destruksi kolagen dan proteoglikan melalui produksi enzim oleh sel
di dalam panus tersebut.
Hiperplasia sinovial dan formasi ke dalam panus merupakan
patogenesis artritis reumatoid yang fundamental. Proses ini dimediasi oleh
produksi dari berbagai sitokin, contohnya tumor necrosis factor α (TNF-α)
dan interleukin-1 (IL-1) oleh antigen presenting cells dan sel T. TNF-α dan
IL-1 juga memiliki peranan penting dalam destruksi tulang.
D. Diagnosis
Diagnosis dari artritis reumatoid dengan anamnesis dan
pemeriksaan yang dikorelasikan dengan data laboratorium dan pemeriksaan
radiologi. Karakteristik pasien, termasuk umur, jenis kelamin dan etnis,
sangat penting, karena hal tersebut berhubungan dengan resiko dan tingkat
keberatan dari penyakit.
1. Gambaran Klinis
Ada beberapa gambaran klinis yang lazim ditemukan pada penderita
artritis reumatoid. Gambaran klinis ini tidak harus timbul sekaligus pada
saat yang bersamaan oleh karena penyakit ini memiliki gambaran klinis
yang bervariasi.
a. Gejala-gejala konstitusional, misalnya lelah, anoreksia, berat badan
menurun dan demam. Terkadang kelelahan dapat demikian
hebatnya.
b. Poliartritis simetris, terutama pada sendi perifer: termasuk sendi-
sendi di tangan, namun biasanya tidak melibatkan sendi-sendi
interfalang distal. Hampir semua sendi diartrodial dapat terserang.

20
c. Kekakuan pagi hari, selama lebih dari satu jam: dapat bersifat
generalisata tetapi terutama menyerang sendi-sendi. Kekakuan ini
berbeda dengan kekakuan sendi pada osteoartritis, yang biasanya
hanya berlangsung selama beberapa menit dan selalu kurang dari
satu jam.
d. Artritis erosif: merupakan ciri khas dari penyakit ini pada gambaran
radiologik. Peradangan sendi yang kronik mengakibatkan erosi di
tepi tulang.
e. Deformitas: kerusakan struktur penunjang sendi meningkat dengan
perjalanan penyakit. Pergeseran ulnar atau deviasi jari, subluksasi
sendi metakarpofalangeal, deformitas boutonniere dan leher angsa
adalah beberapa deformitas tangan yang sering dijumpai. Pada kaki
terdapat protrusi (tonjolan) kaput metatarsal yang timbul sekunder
dan subluksasi metatarsal. Sendi-sendi yang besar juga dapat
terserang dan mengalami pengurangan kemampuan bergerak
terutama dalam melakukan gerak ekstensi.
f. Nodul-nodul rheumatoid adalah massa subkutan yang ditemukan
pada sekitar sepertiga orang dewasa pasien artritis reumatoid.
Lokasi yang paling sering dari deformitas ini adalah bursa olekranon
(sendi siku) atau sepanjang permukaan ekstensor dari lengan.
Walaupun demikan, nodul-nodul ini dapat juga timbul pada tempat
lainnya. Adanya nodul-nodul ini biasanya merupakan petunjuk dari
suatu penyakit yang aktif dan lebih berat.
g. Manifestasi ekstra-artikular; artritis reumatoid juga dapat
menyerang organ-organ lain di luar sendi. Jantung (perikarditis),
paru-paru (pleuritis), mata, dan pembuluh darah dapat rusak.

21
Dibawah ini merupakan tabel revisi kriteria untuk klasifikasi dari
artritis reumatoid dari American Rheumatism Association:
Tabel 1: Revised American Rheumatism Association Criteria for the
Classification of Rheumatoid Arthritis

Kriteria Definisi

Kekakuan pagi hari pada sendi atau disekitar sendi,


Kekakuan pagi hari lamanya setidaknya 1 jam

Setidaknya tiga area sendi secara bersama-sama dengan


peradangan pada jaringan lunak atau cairan sendi. 14
Artritis pada tiga kemungkinan area yang terkena, kanan maupun kiri
atau lebih area sendi proksimal interfalangs (PIP), metakarpofalangs (MCP),
pergelangan tangan, siku, lutut, pergelangan kaki, dan
sendi metatarsofalangs (MTP)

Artritis pada sendi Setidaknya satu sendi bengkak pada pergelangan tangan,
tangan sendi MCP atau sendi PIP

Secara bersama-sama terjadi pada area sendi yang sama


Artritis simetris pada kedua bagian tubuh

Nodul-nodul Adanya nodul subkutaneus melewati tulang atau


reumatoid permukaan regio ekstensor atau regio juksta-artikular

Menunjukkan adanya jumlah abnormal pada serum faktor


Serum faktor reumatoid dengan berbagai metode yang mana hasilnya
reumatoid positif jika < 5% pada subyek kontrol yang normal

Perubahan radiografik tipikal pada artritis reumatoid pada


Perubahan radiografik tangan dan pergelangan tangan
radiografik posteroanterior, dimana termasuk erosi atau dekalsifikasi
terlokalisasi yang tegas pada tulang.

Untuk klasifikasi, pasien dikatakan menderita atrtritis reumatoid jika pasien


memenuhi setidaknya 4 dari 7 kriteria diatas. Kriteria 1 - 4 harus sudah
berlangsung sekurang-kurangnya 6 minggu. Pasien dengan dua diagnosis klinis,
tidak dikeluarkan pada kriteria ini.

2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisis pada pasien dengan artritis reumatoid adalah
penilaian standar untuk peradangan pada sendi, kelemahan dan
keterbatasan gerak. Selain itu, pada pemeriksaan fisis juga menunjukkan
22
adanya gejala-gejala ekstra-artikular seperti skleritis, nodul-nodul,
garukan perikardial, efusi pleura, splenomegali, dan ulkus kulit pada
ekstremitas bawah.
Pada artritis reumatoid yang lanjut, tangan pasien dapat
menunjukkan deformitas boutonnierre dimana terjadi hiperekstensi dari
sendi distal interfalangs (DIP) dan fleksi pada sendi proksimal
interfalangs (PIP). Deformitas yang lain merupakan kebalikan dari
deformitas boutonniere, yaitu deformitas swan-neck, dimana juga
terjadi hiperekstensi dari sendi PIP dan fleksi dari sendi DIP. Jika sendi
metakarpofalangs telah seutuhnya rusak, sangat mungkin untuk
menggantinya dengan protesa silikon.

Gambar 3.1: Gambaran skematik dari deformitas swan-neck dan


deformitas boutonniere, sering telihat pada artritis reumatoid lanjut.

3. Pemeriksaan Laboratorium
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk
mendiagnosis artritis reumatoid. Sekitar 85% pasien artritis reumatoid
memiliki autoantibodi di dalam serumnya yang dikenal sebagai faktor
reumatoid yaitu imunoglobulin M (IgM) yang beraksi terhadap
perubahan imunoglobulin G (IgG). Keberadaan dari faktor reumatoid
bukan merupakan hal yang spesifik pada penderita artritis reumatoid.
Faktor reumatoid ditemukan sekitar 5% pada serum orang normal.
23
Anemia normositik normokrom sering didapatkan pada penderita
dengan artritis rematoid yang aktif melalui pengaruhnya pada sumsum
tulang. Anemia ini tidak berespon pada pengobatan anemia yang biasa
dan dapat membuat seseorang merasa kelelahan.
Analisis cairan sinovial menunjukkan keadaan inflamasi pada sendi,
walaupun tidak ada satupun temuan pada cairan sinovial spesifik untuk
artritis reumatoid. Cairan sinovial biasanya keruh, dengan kekentalan
yang menurun, peningkatan kandungan protein, dan konsentrasi glukosa
yang mengalami sedikit penurunan atau normal. Hitung sel leukosit
(WBC) meningkat mencapai 2000/µL dengan lebih dari 75% leukosit
PMN, hal ini merupakan karakteristik peradangan pada artritis,
walaupun demikian, temuan ini tidak mendiagnosis artritis reumatoid.
4. Pemeriksaan Radiologi
a. Foto Polos
Pada tahap awal penyakit, biasanya tidak ditemukan
kelainan pada pemeriksaan radiologis kecuali pembengkakan
jaringan lunak. Tetapi, setelah sendi mengalami kerusakan yang
lebih berat, dapat terlihat penyempitan ruang sendi karena hilangnya
rawan sendi. Juga dapat terjadi erosi tulang pada tepi sendi dan
penurunan densitas tulang. Perubahan-perubahan ini biasanya
irreversibel.

Gambar 3.2: Artritis erosif yang mengenai tulang karpal dan


sendi metakarpofalangs.

24
Gambar 3.3: A.Perubahan erosif pada ulna dan distal radius. B. Erosi
komplit pada pergelangan tangan.

Gambar 3.4 : C. Swelling dan erosi pada sendi MTP 5. D. Nodul


subkutaneus multipel pada tangan

Tanda pada foto polos awal dari artritis reumatoid adalah


peradangan periartikular jaringan lunak bentuk fusiformis yang
disebabkan oleh efusi sendi dan inflamasi hiperplastik sinovial. Nodul
reumatoid merupakan massa jaringan lunak yang biasanya tampak diatas
permukaan ekstensor pada aspek ulnar pergelangan tangan atau pada
olekranon, namun adakalanya terlihat diatas prominensia tubuh, tendon,
atau titik tekanan. Karakteristik nodul ini berkembang sekitar 20% pada

25
penderita artritis reumatoid dan tidak terjadi pada penyakit lain, sehingga
membantu dalam menegakkan diagnosis.
b. CT Scan
Computer tomography (CT) memiliki peranan yang minimal
dalam mendiagnosis artritis reumatoid yaitu untuk melihat patologi dari
tulang, erosi pada sendi-sendi kecil di tangan yang sangat baik dievaluasi
dengan kombinasi dari foto polos dan MRI.
c. Ultrasonografi (USG)
Ultrasonografi dengan resolusi tinggi serta pemeriksaan dengan
frekuensi tinggi digunakan untuk mengevaluasi sendi-sendi kecil pada
artritis reumatoid. Efusi dari sendi adalah hipoekhoik, sedangkan
hipertrofi pada sinovium lebih ekhogenik. Nodul-nodul reumatoid terlihat
sebagai cairan yang memenuhi area kavitas dengan pinggiran yang tajam.
Erosi tulang dapat terlihat sebagai irregularitas pada korteks hiperekhoik.
Komplikasi dari arthritis reumatoid, seperti tenosinovitis dan ruptur
tendon, juga dapat divisualisasikan dengan menggunakan ultrasonografi.
Hal ini sangat berguna pada sendi MCP dan IP. Tulang karpal dan sendi
karpometakarpal tidak tervisualisasi dengan baik karena konfigurasinya
yang tidak rata dan lokasinya yang dalam.

Gambar 3.5: Erosi (tanda panah) pada sendi metakarpofalangs pada


penderita artritis reumatoid (A) bidang longitudinal (B) bidang transverse.
M, kaput metakarpal dan P, falangs

26
Gambar 3.6: (A) Gambaran normal bagian longitudinal dari sendi
metakarpofalangs. (B) Sendi metakarpofalangs pada pasien artritis
reumatoid. FP, bantalan lemak; M dan MC, kaput metakarpal; P,
falangs; S, sinovitis.
d. MRI
Magnetic Resonance Imaging (MRI) menyediakan gambaran yang
baik dengan penggambaran yang jelas dari perubahan jaringan lunak,
kerusakan kartilago, dan erosi tulang-tulang yang dihubungkan dengan
artritis reumatoid.

Gambar 3.7: koronal T1-weighted pada sendi metakarpofalangs 2-4,


memperlihatkan erosi radial yang luas pada kaput metakarpal 2 dan 3.

27
BAB IV

GOUT ARTHRITIS

A. Definisi

Menurut American College of Rheumatology, Gout adalah bentuk


inflamasi artritis kronis, bengkak dan nyeri yang paling sering di sendi besar
jempol kaki. Namun, gout tidak terbatas pada jempol kaki, dapat juga
mempengaruhi sendi lain termasuk kaki, pergelangan kaki, lutut, lengan,
pergelangan tangan, siku dan kadang di jaringan lunak dan tendon. Biasanya
hanya mempengaruhi satu sendi pada satu waktu, tapi bisa menjadi semakin
parah dan dari waktu ke waktu dapat mempengaruhi beberapa sendi. Gout
merupakan istilah yang dipakai untuk sekelompok gangguan metabolik yang
ditandai oleh meningkatnya konsentrasi asam urat (hiperurisemia) atau terjadi
penimbunan kristal monosodium urat di dalam tubuh sehingga menyebabkan
nyeri sendi.1,2
B. Diagnosis
Diagnosa dari artritis gout ditegakkan berdasarkan anamnesa,
pemeriksaan klinis, dan pemeriksaan penunjang.
1. Manifestasi Klinik
Tanda dan gejala gout artritis secara umum adalah sebagai berikut:
a. Nyeri hebat yang tiba-tiba menyerang sendi pada saat tengah malam,
biasanya pada ibu jari kaki (sendi metatarsofalangeal pertama)
b. Jumlah sendi yang meradang kurang dari empat (oligoartritis) dan
serangannya pada satu sisi (unilateral)
c. Kulit berwarna kemerahan, terasa panas, bengkak, dan sangat nyeri
d. Pembengkakan sendi umumnya terjadi secara asimetris (satu sisi
tubuh)
e. Demam, dengan suhu tubuh 38,30C atau lebih
f. Ruam kulit, sakit tenggorokan, lidah berwarna merah atau gusi
berdarah

28
Gambar 4.1: Gout Arthritis pada Jari Tangan

2. Faktor Resiko Gout Arthritis antara lain:


a. Riwayat keluarga
b. Asupan senyawa purin berlebih dalam makanan
c. Konsumsi alkohol berlebihan
d. Obesitas
e. Hipertensi, penyakit jantung
f. Obat-obatan tertentu (terutama diuretika)
g. Gangguan fungsi ginjal
h. Preeklampsia
3. Komplikasi
Gout kronik bertophus
Merupakan serangan gout yang disertai benjolan-benjolan (tofi) di
sekitar sendi yang sering meradang. Tofi adalah timbunan kristal
monosodium urat di sekitar persendian seperti di tulang rawan sendi,
sinovial, bursa atau tendon.
C. Pemeriksaan Radiologi
Terdapat banyak pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk
penyakit gout arthritis diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Foto Konvensional (X-ray)


a. Pada stadium awal/akut gout arthritis, tanda awal gambaran
radiografi hanya tampak pembengkakan jaringan lunak disekitar

29
persendian yang asimetris. Ini terjadi karena proses inflamasi pada
tahap awal.

b. Perubahan stadium lanjut pada gout arthritis apabila tulang sudah


mengalami erosi sehingga berbentuk bulat atau lonjong dengan tepi
yang sklerotik (sendi menebal) akibat timbunan asam urat disekitar
sendi.

Gambar 4.2: erosi gout


(panah) terlihat sepanjang
margin medial caput
metatarso-phalangeal
pertama.

30
c. Pada fase akhir/kronis gout, ditemukan tanda topus pada banyak
persendian tulang. Terjadinya perubahan lain pada gambaran
radiografi film datar pada stadium akhir adalah jarak persendian
yang menyempit yang sangat menyakitkan. Tanda deformitas juga
dapat terjadi karena efek dari penyakit pada fase akhir. Kalsifikasi
pada jaringan lunak ditemukan juga pada fase akhir gout.

d. Tanda khas radiografi pada gout arthritis apabila pada foto


ditemukan “ Punch Out” lesi yang berbentuk seperti bekas pukulan
pada tulang yang mengalami deformitas.

2. Pemeriksaan dengan USG

Keterangan foto: USG metatarsophalangeal pertama nampak


avascular kistik (edema) dengan serpihan di dalam.

31
3. Pemeriksaan dengan CT-Scan

Keterangan foto: Nampak deposit asam urat di kedua sendi


metatarsophalangeal pertama kaki kiri dan kanan, serta pengendapan
urat di beberapa sendi pada kaki dan sendi pergelangan kaki.

Keterangan foto: CT-Scan 3D volume-rendered dari kaki kanan


pasien dengan gout kronis, menunjukkan deposit tofi yang luas
(divisualisasikan dengan warna merah) – terutama pada sendi
phalangeal pertama metatarsal, midfoot dan tendon achilles. (a) tampak
dari dorsal (b) tampak dari lateral.

32
4. Pemeriksaan dengan MRI

Gambar 4.3: A. Potongan axial – formasi dengan hyposignal – tophus (panah) -


pada metatarsalphalangeal pertama dengan erosi tulang (bintang). B. potongan axial
T2 – Nampak lesi dengan hypersignal (panah) dan erosi tulang (bintang) C. potongan
sagital – Nampak lesi (panah).
D. Permeriksaan Laboratorium
a. Pemeriksaan Asam Urat darah
Didapatakan kadar asam urat yang tinggi dalam darah. Kadar
asam urat normal dalam serum pria adalah kurang dari 7,5mg/dl dan
6,5 mg/dl pada perempuan. Kadar asam urat dalam urin juga tinggi
500 mg%/l per 24 jam. Sampai saat ini, pemeriksaan kadar asam urat
terbaik dilakukan dengan cara enzimatik.
b. Pemeriksaan kadar ureum darah dan kreatinin
Kadar urea darah normal 5-20 mg/dl. Kadar kreatinin darah
normal pria 0,6-1,3 mg/dl dan 0,5-1 mg/dl pada perempuan.
c. Aspirasi cairan sendi
Merupakan gold standar untuk diagnose gout. Jarum
diinsersikan ke dalam sendi untuk mengambil sampel/jaringan.
Pemeriksaan untuk menemukan adanya Kristal MSU.
E. Penatalaksanaan
Secara umum penanganan arthritis gout adalah memberikan
edukasi, pengaturan diet, istirahat sendi dan pengobatan. Pengobatan
arthritis gout akut bertujuan menghilangkan keluhan nyeri sendi dan

33
peradangan dengan obat–obat, antara lain kolkisin, obat anti inflamasi non
steroid (OAINS), kortikosteroid, atau hormon ACTH. Obat penurun asam
urat seperti alopurinol atau obat urikosurik tidak boleh diberikan pada
stadium akut. Namun pada pasien yang telah rutin mendapat obat penurun
asam urat, sebaiknya tetap diberikan. Pemberian kolkisin dosis standar
untuk arthritis gout akut secara oral 3-4 kali, 0,5-0,6 mg per hari dengan
dosis maksimal 6 mg. Pemberian OAINS dapat pula diberikan. Dosis
tergantung dari jenis OAINS yang dipakai. Disamping efek anti inflamasi
obat ini juga mempunyai efek analgetika. Jenia OAINS yang banyak
dipakai pada arthritis gout akut adalah indometasin. Dosis obat ini adalah
150-200 mg/hari selama 2-3 hari dan dilanjutkan 75-100 mg/hari sampai
minggu berikutnya atau sampai nyeri atau peradangan berkurang.
Kortikosteroid dan ACTH diberikan apabila kolkisin dan OAINS tidak
efektif atau merupakan kontra indikasi. Indikasi pemberian adalah pada
arthritis gout akut yang mengenai banyak sendi (poliartikular). Pada
stadium interkritik dan menahun tujuan pengobatan adalah untuk
menurunkan kadar asam urat, sampai kadar normal, guna mencegah
kekambuhan. Penurunan kadar asam urat dilakukan dengan pemberian diet
rendah purin dan pemakaian obat allopurinol bersama obat urikosurik yang
lain.

F. Prognosis
Lebih dari 50% orang yang telah terkena serangan artritis gout akan
mucul kembali biasanya dalam waktu enam bulan sampai dua tahun. Bagi
orang-orang dengan penyakit yang lebih berat.

34
BAB V

KESIMPULAN

Tulang merupakan rangka pembentuk dan penopang tubuh utama


manusia. Kerangka manusia terdiri dari tulang keras, tulang rawan (kartilago),
sendi, serta ligament (jaringan ikat) dan tendon. Pentingnya fungsinya sehingga
banyak gangguan yang dapat terjadi disebabkan karena trauma, kelainan
metabolik, penyakit autoimun, kongenital, infeksi atau neoplasma. Misalnya
penyakit yang banyak terjadi di masyarakat adalah osteoarthritis, rheumatoid
arthritis dan gout arthiritis.
Osteoarthritis merupakan penyakit persendian yang lebih banyak diderita
oleh orang lanjut usia. Usia, jenis kelamin, obesitas, ras atau genetik, dan trauma
pada sendi mempunyai kolerasi terhadap peningkatan terjadinya osteoarthritis.
Kemudian rheumatoid arthritis merupakan penyakit progresif yang biasanya
memiliki potensi untuk menyebabkan kerusakan sendi dan kecacatan
fungsional. Selain itu juga ada arthritis gout terjadi akibat peningkatan kronis
konsentrasi asam urat di dalam plasma. Adanya penurunan ekskresi asam urat.

35
DAFTAR PUSTAKA

1. Fauci, Anthony S, et al. 2012. Osteoarthritis. Dalam : Harrison’s Principles


Of Internal Medicine Eighteenth Edition. The McGraw-Hill Companies.
2. LS, Daniel, Deborah Hellinger. 2001. Radiographic Assessment of
Osteoarthritis. American Family Physician. 64(2):279–286
3. Lawrence RC, Felson DT, Helmick CG, et al. 2008. Estimates of the prevalence
of arthritis and other rheumatic conditions in the United States. Part II. Arthritis
Rheum. 58(1):26–35.
4. Dillon CF, Rasch EK, et al. 2006. Prevalence of knee osteoarthritis in the United
States: arthritis data from the Third National Health and Nutrition Examination
Survey 1991–1994. J Rheumatol. 33(11):2271–2279.
5. Jordan JM, Helmick CG, Renner JB, et al. 2007. Prevalence of knee symptoms
and radiographic and symptomatic knee osteoarthritis in African Americans
and Caucasians: The Johnston County Osteoarthritis Project. J Rheumatol.
34(1):172–180.
6. Dillon CF, Hirsch R, et al. 2007. Symptomatic hand osteoarthritis in the United
States: prevalence and functional impairment estimates from the third U.S.
National Health and Nutrition Examination Survey, 1991–1994. Am J Phys Med
Rehabil. 86(1):12–21.
7. Sacks JJ, Helmick CG, Langmaid G. 2004. Deaths from arthritis and other
rheumatic conditions, United States, 1979–1998. J Rheumatol. 31:1823– 1828.
8. Iannone F, Lapadula G. 2003. The pathophysiology of osteoarthritis. Aging
Clin Exp Res. 15(5):364–372.
9. Jacobson, JA, et al. 2008. Radiographic Evaluation of Arthritis :
Degenerative Joint Disease and Variation. Radiology. 248(3):737–747.
10. Berquist, Thomash H. Musculoskeletal Imaging Companion 2nd ed. New York:
Lippicott Williams & Wilkins; 2007.p.803-6
11. Lipsky, Peter E. Rheumatoid Arthritis. In: Kasper LK, Fauci AS, Longo DL,
Braunwald E, Hauser SL, and Jameson JL, editors. Harrison’s Principles of
Internal Medicine 16th ed. New York: McGraw-Hill; 2005.p.1968-76
36
12. Mansjoer,A.,dkk, 2004. Reumatologi. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi ketiga
Jilid 1 Cetakan Keenam. Media Aesculapius FK UI, Jakarta. p: 542 – 546
13. Misnadiarly. 2007. Rematik: Asam Urat-Hiperurisemia, Arthritis Gout. Edisi
Pertama, Penerbit: Pusaka Obor Populer. Jakarta.

37

Anda mungkin juga menyukai