Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Gizi merupakan salah satu faktor utama penentu kualitas hidup dan

sumber daya manusia.Penentu zat gizi yang baik terdapat pada jenis

pangan yang baik dan disesuaikan dengan kebutuhan tubuh (Baliwati dkk,

2010).Zat gizi adalah bahan kimia yang terdapat dalam bahan pangan yang

dibutuhkan tubuh untuk menjaga kesehatan dan daya tahan tubuh

(Almatsier dkk, 2010).

Status gizi merupakan keadaan kesehatan tubuh seseorang yang

diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan, dan penggunaan zat gizi

makanan.Status gizi seseorang tersebut dapat diukur dan dinilai untuk

mengetahui apakah status gizinya tergolong normal atau tidak normal

(Almatsier dkk, 2011).Status gizi baik apabila tubuh memperoleh zat-zat

gizi yang seimbang dalam jumlah yang cukup.Status gizi kurang apabila

terjadi kekurangan karbohidrat, lemak, protein, dan vitamin.Status gizi

lebih jika terdapat ketidakseimbangan antara konsumsi energi dan

pengeluaran energi.Asupan energi yang ber-lebihan dapat menimbulkan

overweigth dan obesitas (Nilsapril, 2008).

Masalah kekurangan dan kelebihan gizi pada remaja merupakan

masalah penting, karena selain mempunyai resiko penyakit-penyakit

tertentu, juga dapat mempengaruhi produktifitas kerjanya.Oleh karena itu

1
2

pemantauan keadaan tersebut perlu dilakukan oleh setiap orang secara ber-

kesinambungan (Astarwan, 2008).

Kelompok usia yang menjadi perhatian penting karena sering

mengalami rawan gizi selain ibu hamil, ibu menyusui dan lanjut usia

adalah balita. Masa balita merupakan periode yang penting karena pada

masa tersebut terjadi pertumbuhan yang pesat diantaranya adalah

pertumbuhan fisik, perkembangan psikomotorik, mental dan sosial yang

dialami balita tersebut.Usia 0-24 bulan merupakan periode emas karena

pada masa tersebut terjadi pertubuhan dan perkembangan yang pesat,

tetapi pada usia 0-24 bulan tersebut juga merupakan periode kritis. Periode

emas dapat terjadi apabila pada usia tersebut, balita memperoleh asupan

gizi yang sesuai bagi tumbuh kembangnya. Periode kritis dapat terjadi

apabila saat usia tersebut, balita tidak memperoleh asupan atau makanan

sesuai kebutuhan gizinya sehingga dapat mengakibatkan tumbuh kembang

yang terhambat. Tumbuh kembang yang terhambat tersebut dapat terjadi

pada saat itu dan juga pada waktu selanjutnya atau pada saat dewasa

(Depkes RI, 2006)

Berdasarkan Riskesdas (2018), prevalensi gizi kurang secara

nasional bersifat fluktuatif karena pada tahun 2013 prevalensi gizi kurang

19,6% dan mengalami penurunan pada tahun 2018 yaitu 17,7%, Menurut

Penilaian Status Gizi (PSG) 2017 berdasarkan indeks BB/U di Indonesia

anak balita yang menderita gizi buruk sebesar 3.5%, gizi kurang 11.3%,

dan di Kalimantan Selatan anak balita mengalami gizi buruk sebesar 3.6%
3

dan gizi kurang 12.9%. Asupan zat gizi yang seimbang dan sesuai dengan

kebutuhan balita akan membantu anak balita mencapai pertumbuhan dan

perkembangan yang optimal. Ketidakseimbangan antara kebutuhan atau

kecukupan akan menimbulkan masalah gizi baik dan gizi lebih maupun

gizi kurang (Soetjiningsih, 2007).

Penyakit infeksi adalah penyakit yang disebabkan karena

masuknya bibit penyakit. Penyakit ini menular dari satu orang ke orang

lain. Penyebab utama infeksi diantaranya adalah bakteri dan jasad hidup

(organism). Kuman-kuman ini menyebar dengan berbagai cara dan vector.

(Wardhani, 2018)

Penyakit infeksi dapat dikatakan sebagai pemula terjadinya kurang

gizi sebagai akibat menurunnya nafsu makan, adanya gangguan

penyerapan dalam saluran pencernaan atau peningkatan kebutuhan zat gizi

oleh adanya penyakit. Kaitan penyakit infeksi dengan keadaan kurang gizi

adalah hubungan sebab akibat. Penyakit infeksi dapat memperburuk

keadaan gizi dan keadaan gizi yang jelek dapat mempermudah infeksi.

Penyakit yang umum terkait dengan masalah gizi antara lain diare,

tuberculosis, campak dan batuk (Supariasa dalam Hakim, 2002:187).

Infeksi merupakan salah satu penyakit yang sering terjadi pada

anak batita, dimana salah satu penyebab infeksi adalah keadaan status gizi

batita yang kurang, yang secara langsung di pengaruhi oleh kurangnya

pengetahuan Ibu khususnya tentang makanan yang bergizi. (Irawati dalam


4

kawengian, dkk. 2015)Kecukupan gizi yang baik pada anak akan

meningkatkan daya tahan terhadap penyakit, anak yang mengalami kurang

gizi akan mudah terkena penyakit terutama penyakit infeksi. Seperti kita

ketahui, bahwa hubungan infeksi dengan status gizi sangat erat, demikian

juga sebaliknya.( Rusilanti dalam kawengian, dkk. 2015)

Data World Health Statistics menunjukkan bahwa lebih dari 70%

kematian Khusunya balita disebabkan oleh penyakit infeksi (seperti diare,

pneumonia, campak, malaria) dan malnutrisi. Menurut UNICEF penyakit

infeksi merupakan penyebab kematian utama. Dari 9 juta kematian pada

balita per tahunnya di dunia,lebih dari 2 juta di antaranya meninggal akibat

penyakit ISPA.WHO melaporkan lebih dari 50% kasus penyakit infeksi

berada di Asia Tenggara dan Sub-Sahara Afrika. Dilaporkan, tiga per

empat kasus penyakit infeksi pada balita berada di 15 negara berkembang.

Penyakit infeksi masih menjadi masalah kesehatan anak di

Indonesia. Terbukti, angka kesakitan dan angka kematian anak akibat

penyakit tersebut masih cukup tinggi. Daya tahan tubuh balita yang masih

rendah mengakibatkan anak mudah sekali terserang berbagai penyakit

infeksi.(Meadow R dalamkawengian, dkk. 2015).

Masa balita merupakan masa perkembangan (non fisik) di mana

balita sedang dibina untuk mandiri, berperilaku menyesuaikan dengan

lingkungan, peningkatan berbagai kemampuan dan berbagai

perkembangan lain yang membutuhkan fisik yang sehat.Anak yang


5

tumbuh dengan baik juga tidak lepas dengan pengetahuan ibu terhadap

pertumbuhan dan perkembangannya. Pengetahuan ibu dalam mengatur

konsumsi makanan dengan pola menu seimbang sangat diperlukan pada

masa tumbuh kembang balita. Pertumbuhan yang baik biasanya disertai

dengan ststus giz anak yang baik.

Status gizi balita merupakan hal yang penting diketahui setiap

orang tua, perlunya perhatian yang lebih dalam masa tumbuh kembang di

usia balita didasarkan fakta bahwa kekurangan gizi pada masa balita

bersifat tidak dapat pulih. Berdasarkan catatan departemen kesehatan

(depkes) secara nasional pada data tahun 2009 memperlihatkan 4 juta

balita Indonesia kekurangan gizi. Dari hasil perolehan data di atas tentunya

dibutuhkan pengetahuan dan pola pemberian asupan makanan dengan

menu seimbang.

Dewan Ketahanan Pangan (DKP) bersama World Food Program

(WFP) telah merumuskan indikator-indikator ketahanan pangan yang

dikelompokkan ke dalam tiga faktor, yaitu faktor ketersediaan, akses, dan

pemanfaatan pangan (DKP, 2009). Dengan demikian, dapat dikatakan

bahwa sistem ketahanan pangan terdiri dari tiga subsistem utama yaitu

ketersediaan, akses, dan penyerapan pangan (Hanani, 2009). Ketersediaan

pangan harus mampu mencukupi pangan yang didefinisikan sebagai

jumlah kalori yang dibutuhkan untuk kehidupan yang aktif dan sehat

(Suryana, 2003). Sedangkan akses pangan adalah kemampuan semua

rumah tangga dan individu dengan sumber daya yang dimilikinya untuk
6

memperoleh pangan yang cukup untuk kebutuhan gizinya. Akses pangan

meliputi akses ekonomi, fisik, dan sosial. Akses ekonomi tergantung pada

pendapatan, kesempatan kerja, dan harga. Akses fisik menyangkut tingkat

isolasi daerah (sarana dan prasarana distribusi), sedangkan akses sosial

menyangkut tentang preferensi pangan. (DKP, 2009).

Pola asuh anak berupa sikap dan prilaku ibu atau pengasuh lain

dalam hal kedekatannya dengan anak, memberikan makan, perawatan,

menjaga kebersihan, memberikan kasih sayang dan sebagainya. Hal ini

berhubungan dengan keadaan ibu tentang kesehatan (fisik dan mental),

status gizi, pendidikan, penghasilan, pengetahuan, dan keterampilan

tentang pengasuhan anak yang baik, peran dalam keluarga atau

masyarakat, dan sebagainya dari si ibu dan pengasuh anak (Sunarti, 2000).

Kehamilan adalah suatu keadaan yang istimewa bagi seorang

wanita sebagai calon ibu, karena pada masa kehamilan akan terjadi

perubahan fisik yang mempengaruhi kehidupannya. Pola makan dan gaya

hidup sehat dapat membantu pertumbuhan dan perkembangan janin dalam

rahim ibu. Oleh karena itu, para calon ibu harus memiliki gizi yang cukup

sebelum hamil dan lebih lagi ketika hamil. Ibu yang hamil harus memiliki

gizi yang cukup karena gizi yang didapat akan digunakan untuk dirinya

sendiri dan juga janinnya (Kristiyanasari,2010:Hal:43).

Menurut World Health Organization (WHO) Kematian ibu masih

cukup tinggi, setiap hari diseluruh dunia sekitar 800 perempuan meninggal
7

akibat komplikasi dalam kehamilan atau persalinan. Menurut WHO, 40%

kematian ibu dinegara berkembang disebabkan oleh anemia selama dan

setelah masa kehamilan serta persalinan. Antara tahun 19902013, angka

kematian ibu di dunia (yaitu jumlah kematian ibu per 100.000 kelahiran

hidup) menurun hanya 2,6% per tahun. Angka ini masihjauh dari target

penurunan AKI tahunan (5,5%) yang dibutuhkan untuk mencapai sasaran

MDG’s ke-5 (WHO, 2014).

Disamping itu , hasil studi pendahuluan yang saya lakukan di BPM

Gunarmi Amd. keb tanggal 12 januari 2015 terhadap 11 responden di

antaranya 4 ibu hamil (36,36%) gizi cukup, 4 ibu hamil (36,36%) gizi

kurang dan 3 ibu hamil (27,27%) gizi baik. Seseorang ibu yang

kekurangan gizi selama kehamilan maka bayi yang dikandungnya akan

menderita kekurangan gizi. Apabila hal ini berlangsung terus-menerus dan

tidak segera diatasi maka bayi akan lahir dengan berat badan rendah,

sedangkan untuk ibu yang kekurangan gizi, maka selama ia menyusui ASI

yang dihasilkan juga sedikit. (Kristiyanasari, 2010. Hal: 43).

Salah satu indikator kesehatan yang dinila keberhasilan

pencapaiannya dalam MDGs adalah status gizi. Status gizi diukur

berdasarkan umur (U), berat badan (BB) dan tinggi badan (TB).

Variabel BB dan TB ini disajikan dalam bentuk tiga indikator

antropometri, yaitu berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan

menurut umur (TB/U) dan berat badan menurut tinggi badan (BB/TB)

(Dinkes Prov. Jateng, 2012).


8

Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi

makanan dan penggunaan zat-zat gizi. Status gizi ini menjadi penting

karena merupakan salah satu faktor risiko terjadinya kesakitan dan

kematian. Status gizi yang baik bagi seseorang akan berkontribusi

terhadap kesehatannya dan juga terhadap kemampuan dalam proses

pemulihan (Dinkes Prov. Jateng, 2012).

Dasar Indonesia (RISKESDAS) 2013 prevalensi gizi kurang pada

tahun 2010 menurun menjadi 17,9%, yaitu ada 900 ribu diantara 2,2 juta

balita di Indonesia mengalami gizi kurang atau gizi buruk. Riskesdas

2012, prevalensi status gizi menurut BB/U untuk bayi usia 0-6 bulan yaitu

4,9% gizi buruk, 13% gizi kurang, 76,2% gizi baik, dan 5,8% gizi lebih.

Sedangkan untuk prevalensi provinsi Jawa Tengah terdiri dari 3,3% gizi

buruk, 12,4% gizi kurang, 78,1% gizi baik, dan 6,2% gizi lebih.

Indonesia termasuk di antara 36 negara di dunia yang memberi

90% kontribusi masalah gizi dunia.Saat ini Indonesia menduduki

peringkat kelima dalam status gizi buruk.Status ini merupakan akibat

instabilitas pangan karena kurangnya nilai gizi dalam konsumsi

bayinya.Status gizi bayi dipengaruhi oleh beberapa faktor yang meliputi

penyakit infeksi, konsumsi makanan, sanitasi lingkungan dan pengaruh

budaya.Jumlah balita yang mengalami gizi buruk tahun 2012 sebanyak 98

anak.
9

Di Negara berkembang, kesakitan dan kematian pada anak 1-4

tahun banyak dipengaruhi oleh keadaan gizi (Supariasa, 2001 : 184).

Kemiskinan sebagai penyebab gizi kurang menduduki posisi pertama pada

kondisi yang umum (Suhardjo, 2008 : 8). Tolok ukur yang umumnya

dipakai untuk penggolongan seseorang atau masyarakat dikatakan miskin

adalah tingkat pendapatan (Ahmadi Abu, 2003 : 327).

Pendapatan keluarga akan turut menentukan hidangan yang

disajikan untuk keluarga sehari hari, baik kualitas maupun jumlah

makanan (Marimbi, 2010 : 99). Berdasarkan kelompok umur dijumpai

24,4% balita mengkonsumsi makanan dibawah kebutuhan minimal

(Riskesdas, 2010). Pada kondisi pendapatan yang terbatas, pemenuhan

kebutuhan makanan akan menjadi prioritas utama, sehingga pada

kelompok masyarakat berpendapatan rendah akan terlihat bahwa sebagian

besar pendapatannya digunakan untuk membeli makanan. Dengan kata

lain dapat dikatakan bahwa semakin rendah persentase pengeluaran untuk

makanan terhadap total pengeluaran maka semakin baik tingkat

perekonomian penduduk (BPS Kulon Progo, 2009 : 55).

Data WHO tahun 2002 menunjukkan 60% kematian bayi dan

balita terkait dengan kasus gizi kurang. Laporan Organisasi Kesehatan

Dunia (World Health Organization / WHO) menunjukkan kesehatan

masyarakat Indonesia terendah di Asean dan peringkat ke 142 dari 170

negara. Data WHO tersebut menyebutkan angka kejadian gizi buruk dan

gizi kurang yang pada balita pada 2002 masing- masing meningkat
10

menjadi 8,3% dan 27,5%, serta pada 2005 naik lagi menjadi masing-

masing 8,8% dan 28%. Kondisi tersebut cukup mengkhawatirkan, selain

berdampak pada pertumbuhan dan perkembangan anak, kekurangan gizi

termasuk salah satu penyebab utama kematian balita.

Data dari Departemen Kesehatan pada 2004, masalah gizi masih

terjadi di 77,3% kabupaten dan 56% kota di Indonesia. Data tersebut juga

menyebutkan bahwa pada tahun 2003 sebanyak lima juta anak balita

(27,5%) kurang gizi, dimana tiga setengah juta (19,2%) diantaranya berada

pada tingkat gizi kurang dan satu setengah juta (8,3%) sisanya mengalami

gizi buruk.

Data survei kesehatan rumah menyatakan 30% balita mengalami

gizi kurang, hampir setiap tahun kasus gizi buruk ditemukan dirawat di

rumah sakit, dan beberapa diantaranya tidak tertolong. Sedangkan data

Puslitbang Gizi 2007 menunjukkan rata-rata 32,8% berat badan balita gizi

kurang. Sementara itu, balita gizi kurang Indonesia dengan tinggi badan di

bawah ketentuan nasional mencapai angka 3 sebesar 48,6%. Bahkan

menurut data balita gizi kurang dengan tinggi dan berat badan di bawah

rata-rata ketentuan nasional yaitu 9,8% di atas rata-rata nasional sebesar

6,6%.

Data perkembangan status gizi balita dari Dinas Kesehatan Jawa

Tengah tahun 2003-2006 menyebutkan bahwa tahun 2003 prevalensi gizi

buruk 1,36%, tahun 2004 terjadi kenaikan sebesar 1,88%, tahun 2005
11

terjadi penurunan sebesar 1,0%, dan terjadi peningkatan pada tahun 2006

menjadi 1,80%. Balita dengan status gizi kurang tahun 2003 sebesar

12,76%, terjadi peningkatan pada tahun 2004 sebesar 15,43%, terjadi

penurunan tahun 2005 sebesar 9,78%, dan terjadi peningkatan pada tahun

2006 menjadi 13,71 (Profil Dinkes Jateng, 2006).

Berdasarkan laporan bulanan Puskesmas Sidoharjo pada tahun

2007 tertulis banyaknya balita yang menderita gizi kurang berdasarkan

berat badan/umur sebanyak 300 balita. Sedangkan banyaknya balita di

wilayah kerja Puskesmas Sidoharjo sebanyak 2.500 balita, dengan

banyaknya wilayah kerja puskesmas sebanyak 12 desa.

Pengetahuan gizi ibu berpengaruh terhadap pilihan makanan anak.

Tingkat pengetahuan gizi yang dipraktikkan pada perencanaan makan,

berhubungan dengan sikap positif ibu dalam memecahkan masalah, dan

mengorganisasi keluarga (Almatsier, 2011).

Kurang gizi pada anak balita dapat disebabkan oleh sikap atau

perilaku ibu yang menjadi faktor dalam memilih makanan yang tidak

benar. Pemilihan bahan makanan, tersedianya jumlah makanan yang

cukup dan keanekaragaman makanan dipengaruhi oleh tingkat

pengetahuan ibu tentang makanan dan nilai gizi makanan. Ketidaktahuan

ibu dapat menyebabkan kesalahan memilih makanan terutama untuk anak

balita (Mardiana dalam Nainggolan, 2014).


12

B. Tujuan

1. Tujuan Umum

Pada akhir PKL mahasiswa mampu melaksanakan intervensi

gizi secara terpadu yang telah direncanakan di tingkat desa atau

kelurahan.

2. Tujuan Khusus

Pada akhir PKL, mahasiswa mampu :

a. Analisis masalah gizi dan kesehatan

b. Melakukan Musyawarah Masyarakat Desa (MMD) dalam rangka

persiapan pelaksanaan kegiatan intervensi gizi.

c. Melakukan pembinaan dan penyegaran kader gizi sebagai

pelaksana intervensi intervensi gizi di desa.

d. Melaksanakan penyuluhan gizi secara indivindu, kelompok

maupun dengan berbagai metode.

e. Melaksanakan dan mengembangkan kegiatan lintas program dan

lintas sektoral intervensi gizi masyarakat

f. Menginventarisasikan kegiatan Upaya Perbaikan Gizi (UPG) yang

ada berdasarkan POA semester V dan kegiatan intervensi gizi.

g. Menyusun tabel hipotikal input, output dan outcome (HIPPOPOC

TABLE).

Anda mungkin juga menyukai