Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH IMUNOSEROLOGI (TEORI)

PROTEIN ANTIMIKROBA

DOSEN PEMBIMBING
Hanny S N, M.Biomed
Ranti Dwi A, M.Biomed

DISUSUN OLEH
TLM 02-A
Nawal Wardani
Rizqi Wulan Sadila
Siti Chawa Elzahra
Siva Noer Faeda
Syarifatun Umniyyati

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES BANTEN


TEKNOLOGI LABORATORIUM MEDIK
2020
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan, sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya, tentunya kami
tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat serta salam
semoga terlimpah curahkan kepada baginda tercinta yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita
nanti-nantikan syafa’atnya di akhirat nanti.
Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya, baik
itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu untuk menyelesaikan
pembuatan makalah sebagai tugas dari mata kuliah Imunoserologi dengan judul “Protein
Antimikroba”.
Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih
banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, penulis mengharapkan
kritik serta saran dari pembaca makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi
makalah yang lebih baik lagi. Dan apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini penulis
mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat. Penulis mengucapkan terima kasih
kepada semua pihak khususnya kepada dosen Imunoserologi kami yang telah membimbing
kami dalam menulis makalah ini.

Tangerang, 23 Januari 2020

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...................................................................................................... ii


DAFTAR ISI ..................................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ........................................................................................... 4
1.2. Rumusan Masalah ...................................................................................... 5
1.3. Tujuan ......................................................................................................... 5
BAB II PEMBAHASAN
2.1. Sistem Komplemen
a. Definisi Sistem Komplemen ............................................................... 6
b. Aktivasi Komplemen .......................................................................... 7
c. Reseptor Komplemen .......................................................................... 9
d. Regulator ............................................................................................. 10
2.2. Interferon
a. Definisi Interferon ............................................................................... 10
b. Fungsi Interferon ................................................................................. 10
c. Mekanisme Kerja Interferon ............................................................... 11
BAB III PENUTUP
3.1. Kesimpulan ................................................................................................. 14
3.2. Saran ........................................................................................................... 14

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 15

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Imunitas merupakan suatu pertahanan terhadap penyakit terutama infeksi.
Gabungan sel, molekul dan jaringan yang berperan dalam resistensi terhadap infeksi
disebut sistem imun. Reaksi yang dikoordinasi sel-sel, molekul-molekul dan bahan
lainnya terhadap mikroba disebut respon imun. Sistem imun diperlukan tubuh untuk
mempertahankan keutuhannya terhadap bahaya yang dapat ditimbulkan berbagai bahan
dalam lingkungan hidup (Bratawidjaya dan Rengganis, 2009).
Sistem imun dapat dibagi menjadi sistem imun spesifik dan sistem imun non-
spesifik. Salah satu sistem imun non-spesifik berupa humoral, antara lain sistem
komplemen dan interferon. Sistem komplemen merupakan sistem yang terdiri atas
sejumlah protein yang berperan dalam pertahanan hospes, baik dalam sistem imun non-
spesifik maupun sistem imun spesifik. Aktivasi komplemen merupakan usaha tubuh
untuk menghancurkan antigen asing. Komplemen merupakan salah satu sistem enzim
serum yang berfungsi antara lain untuk lisis bakteri, opsonisasi yang meningkatkan
fagositosis partikel antigen, mengikat reseptor komplemen spesifik pada sel sistem imun
sehingga memicu fungsi sel spesifik untuk memproduksi antibodi. Melekatnya antibodi
dengan fragmen komplemen pada reseptor spesifik yang terdapat pada sel fagosit tidak
hanya menyebabkan opsonisasi, tetapi juga memicu terjadinya fagositosis (Aditama dkk,
2006).
Interferon (IFN) adalah salah satu jenis molekul sitokin yang dihasilkan sel tubuh
manusia sebagai respon terhadap berbagai jenis rangsangan, khususnya sebagai akibat
dari infeksi suatu virus. Selain memiliki efek anti virus, interferon juga memiliki efek
sebagai anti proliferasi dan agen imunomodulator. Sebagai zat yang memiliki berbagai
macam efek biologis, interferon banyak dipelajari keefektifannya untuk mengobati
berbagai macam penyakit, yang diantaranya adalah penyakit yang berhubungan dengan
keganasan dan penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus.
Struktur utama antibodi dan komplemen adalah protein yang bisa didapatkan
melalui asupan nutrisi yang baik. Secara umum telah diketahui bahwa malnutrisi
berhubungan dengan gangguan fungsi imun dan meningkatkan kerentanan terhadap
terjadinya infeksi.

4
1.2. Rumusan Masalah
1. Apa itu protein antimikroba?
2. Apa itu sistem komplemen dan interferon?
3. Bagaimana mekanisme kerja dari sistem komplemen dan interferon?

1.3. Tujuan
1. Untuk mengetahui dan memahami mengenai protein antimikroba;
2. Untuk mengetahui dan memahami mengenai sistem komplemen dan interferon;
3. Untuk mengetahui dan memahami mengenai mekanisme kerja dari sistem
komplemen dan interferon.

5
BAB II
PEMBAHASAN

Protein antimikroba meningkatkan pertahanan dalam tubuh dengan melawan


mikroorganisme secara langsung atau dengan menghalangi kemampuannya untuk
bereproduksi. Protein antimikroba yang penting adalah protein komplemen dan interferon.
Protein yang berperan dalam sistem pertahanan tubuh non-spesifik disebut sistem
komplemen. Protein tersebut dapat secara langsung membunuh mikroorganisme ataupun
mencegah reproduksinya. Terdapat sekitar 20 jenis protein yang termasuk dalam sistem ini,
termasuk histamin dan interleukin.
Protein komplemen adalah sekelompok plasma protein yang bersikulasi dalam darah
dengan keadaan tidak aktif. Jika beberapa molekul dari satu jenis protein komplemen aktif, hal
tersebut memicu gelombang reaksi yang besar. Mereka mengaktifkan banyak molekul
komplemen lain. Setiap molekul yang teraktifkan, akan mengaktifkan jenis protein komplemen
lain dan begitu seterusnya. Aktivasi protein komplemen terjadi jika protein komplemen
tersebut berikatan dengan protein yang disebut antigen. Antigen telah dimiliki oleh patogen.
Aktivasi dapat terjadi ketika protein komplemen bertemu dengan molekul polisakarida di
permukaan tubuh mikroorganisme. Beberapa protein komplemen dapat bersatu membentuk
pori kompleks yang menginduksi lisis (kematian sel) pada patogen. Beberapa protein
komplemen yang teraktifkan juga menyebabkan respons pertahanan tubuh non-spesifik yang
disebut peradangan (inflamasi). Selain itu, “menarik” sel-sel fagosit menuju sel atau jaringan
yang rusak.
Sedangkan interferon merupakan suatu protein yang dihasilkan oleh sel tubuh yang
terinfeksi virus untuk melindungi bagian sel lain disekitarnya. Interferon mampu menghambat
perbanyak sel-sel yang terinfeksi, namun dapat meningkatkan diferensiasi sel-sel.

2.1. Sistem Komplemen


a. Definisi
Sistem komplemen merupakan sekumpulan protein dalam sirkulasi yang
penting dalam pertahanan terhadap mikroba. Banyak protein komplemen
merupakan enzim proteolitik. Aktivasi komplemen membutuhkan aktivasi
bertahap enzim-enzim ini yang dinamakan enzymatic cascade.
Aktivasi komplemen terdiri dari 3 jalur, yaitu jalur klasik, jalur alternatif, dan
jalur lektin. Jalur klasik dipicu setelah antibodi berikatan dengan mikroba atau

6
antigen lain dan merupakan komponen humoral pada imunitas spesifik. Jalur
alternatif dipicu ketika protein komplemen diaktivasi di permukaan mikroba dan
tidak dapat dikontrol karena mikroba tidak mempunyai protein pengatur
komplemen (protein ini terdapat pada sel tuan rumah) dan merupakan komponen
imunitas non-spesifik. Jalur lektin teraktivasi ketika suatu protein plasma, yaitu
lektin pengikat manosa (mannose-binding lectin) berikatan dengan manosa di
permukaan mikroba. Lektin tersebut akan mengaktivasi protein pada jalur klasik,
tetapi karena aktivasinya tidak membutuhkan antibodi, maka jalur lektin dianggap
sebagai bagian dari imunitas non-spesifik.
Protein komplemen yang teraktivasi berfungsi sebagai enzim proteolitik
untuk memecah protein komplemen lainnya. Bagian terpenting dari komplemen
adalah C3 yang akan dipecah oleh enzim proteolitik pada awal reaksi complement
cascade menjadi C3a dan C3b. Fragmen C3b akan berikatan dengan mikroba dan
mengaktivasi reaksi selanjutnya. Ketiga jalur aktivasi komplemen di atas berbeda
pada cara dimulainya, tetapi tahap selanjutnya dan hasil akhirnya adalah sama.
Sistem komplemen mempunyai 3 fungsi sebagai mekanisme pertahanan:
1. C3b menyelubungi mikroba sehingga mempermudah mikroba berikatan
dengan fagosit (melalui reseptor C3b pada fagosit);
2. Hasil pemecahan komplemen bersifat kemoatraktan untuk neutrofil dan
monosit, serta menyebabkan inflamasi di tempat aktivasi komplemen;
3. Tahap akhir dari aktivasi komplemen berupa pembentukan membrane attack
complex (MAC), yaitu kompleks protein polimerik yang dapat menembus
membran sel mikroba, lalu membentuk lubang-lubang, sehingga air dan ion
akan masuk dan mengakibatkan kematian mikroba.
b. Aktivasi Komplemen
1. Jalur Klasik
Jalur ini diawali dengan stimulasi dari kompleks antigen-antibodi yang
kemudian mengaktivasi C1q, C1r, C1s, ketiga komponen ini menghasilkan
komponen enzimatik yang menstimulasi C4. C4 menghasilkan komponen
enzimatik yang menstimulasi C2, komponen C2 ini kemudian menghasilkan
komponen enzimatik dan menstimulasi C3 convertase (pusat katalitik sistem
komplemen).
2. Jalur Alternatif

7
Jalur ini diawali oleh stimulasi dari permukaan patogen yang mengandung
LPS (Lipopolisakarida) yang kemudian langsung menstimulasi C3, C3
menghasilkan komponen enzimatik yang menstimulasi faktor B, faktor B
menghasilkan komponen enzimatik yang menstimulasi faktor D. Faktor D
kemudian menghasilkan komponen enzimatik yang akhirnya menstimulasi
C3 convertase.
3. Jalur Lektin
Jalur ini diawali oleh stimulasi dari kompleks mannosa binding protein pada
permukaan patogen yang kemudian menstimulasi MBL, MASP-1, MASP-2.
Ketiga komponen ini kemudian menghasilkan komponen enzimatik yang
menstimulasi C4, (seperti halnya pada jalur klasik) C4 menghasilkan
komponen enzimatik yang menstimulasi C2, komponen C2 ini kemudian
menghasilkan komponen enzimatik dan menstimulasi C3 convertase (pusat
kalalitik sistem komplemen).

Setelah ketiga jalur tersebut mengaktivasi C3 convertase, C3 convertase ini


kemudian menghasilkan C3a, C5a, dan C3b. C3a dan C5a kemudian menstimulasi
peptida mediator untuk inflamasi dan menstimulasi rekrutmen sel fagositik. C3b
kemudian berikatan dengan reseptor komplemen pada sel fagositik dan kemudian
menstimulasi opsonisasi dan penghilangan kompleks imun. Selain itu, C3b juga
menstimulasi komponen terminal yang kemudian terjadi reaksi cascade:

8
menstimulasi C5b, C6, C7, C8, C9 dan akhirnya membentuk membrane attack
complex dan menyebabkan lisis pada patogen.
c. Reseptor Komplemen
CR1 dan CR3 adalah komponen penting dalam menginduksi proses
fagositosis bakteri. CR2 ditemukan pada sel B, yaitu kompleks sel B-koreseptor
dan menjadi reseptor terhadap virus Epstein-Barr yang menyebabkan infeksi
mononukleusis. CR1 dan CR2 saling membagi struktur komplemen-regulatory
protein yang mengikat C3b dan C4b. CR3 dan CR4 saling berintegrasi, CR3 untuk
proses migrasi dan adhesi leukosit, sedangkan CR4 untuk respon fagositosis.
Reseptor C5a dan C3a adalah bagian dari 7 pasang pada untaian G protein. FDC
sebagai sel folikular dendritik tidak terlibat dalam imunitas bawaan (innate
immunity) (Janeway et al, 2001).
Anafilaksis dan kemotaksis C3a, C4a, dan C5a disebut anafilatoksin
dikarenakan, dapat memacu sel mast dan sel basofil untuk melepaskan mediator
kimia yang dapat meningkatkan permeabilitas dan kontraksi otot polos vaskular.
Reseptor C3a dan C4a terdapat pada permukaan sel mast, sel basofil, otot polos,
dan limfosit. Reseptor C5a terdapat pada permukaan sel mast, basofil, neutrofil,
monosit, makrofag, dan sel endotelium. Melekatnya anafilatoksin pada reseptor
yang terdapat pada otot polos menyebabkan kontraksi otot polos tersebut. Untuk
mekanisme ini, C5a adalah yang paling poten dan C4a adalah yang paling lemah.
C5a juga mempunyai sifat yang tidak dimiliki oleh C3a dan C4a, oleh karena itu
C5a mempunyai reseptor yang spesifik pada permukaan sel-sel fagosit, maka C5a
dapat menarik sel-sel fagosit tersebut bergerak ke tempat mikroorganisme, benda
asing atau jaringan yang rusak (kemotaksis). Setelah melekat, C5a dapat
merangsang metabolisme oksidatif dari sel fagosit tersebut sehingga dapat
meningkatkan daya untuk memusnahkan mikroorganisme atau benda asing
tersebut (Judarwanto, 2009).
Opsonisasi dan peningkatan fungsi fagositosis yang diperkuat oleh proses
opsonisasi C3b dan iC3b yang dibantu oleh IgG atau IgM mungkin merupakan
mekanisme pertahanan utama terhadap infeksi bakteri dan jamur secara sistemik.
Proses peradangan kombinasi dari semua fungsi yang disebut diatas
mengakibatkan terkumpulnya sel-sel dan serum protein yang diperlukan untuk
terjadinya proses dalam rangka memusnahkan mikroorganisme atau benda asing
tersebut. Pelarutan dan eliminasi kompleks imun yang beredar mengakibatkan

9
komplemen dan mengaktifkan fragmen C3b yang menempel pada antigen.
Kompleks tersebut akan berikatan dengan reseptor pada permukaan eritrosit.
Pada waktu sirkulasi eritrosit melewati hati dan limpa, maka sel fagosit
dalam limpa dan hati (sel Kupffer) dapat membersihkan kompleks imun yang
terdapat pada permukaan sel eritrosit tersebut.
d. Regulator
Aktivasi komplemen dikontrol melalui tiga mekanisme utama, yaitu:
1. Komponen komplemen yang sudah diaktifkan biasanya ada dalam bentuk
yang tidak stabil, sehingga bila tidak berikatan dengan komplemen
berikutnya akan rusak;
2. Adanya beberapa inhibitor yang spesifik, misalnya C1 esterase inhibitor,
faktor I dan faktor H;
3. Pada permukaan membran sel terdapat protein yang dapat merusak fragmen
komplemen yang melekat.

2.2. Interferon
a. Definisi
Interferon merupakan molekul sitokin berupa protein berjenis glikoprotein
yang disekresi oleh sel vertebrata, karena akibat rangsangan biologis seperti virus,
bakteri, protozoa, mycoplasma, mitogen, dan senyawa lainnya. Sitokin adalah
sejumlah senyawa organik hasil sekresi sel yang berpengaruh pada sel lain atau
berfungsi sebagai sinyal komunikasi. Sitokin dapat berupa protein, peptida, atau
glikoprotein. Kata sitokin biasa digunakan untuk merujuk regulator polipeptida
yang disekresi oleh sel pada semua jenis makhluk hasil embryogenesis (Gilman et
al, 2001).
Sejarah penemuan interferon dimulai pada tahun 1954, ketika Nagano dan
Kojima menemukannya pada virus di kelinci. 3 tahun kemudian Isaacs dan
Lindenmann berhasil mengisolasi molekul yang serupa dari sel ayam dan molekul
tersebut disebut interferon.
b. Fungsi
Interferon memiliki peranan penting dalam pertahanan terhadap infeksi virus,
terutama alfa dan beta. Senyawa interferon adalah bagian dari sistem imun non-
spesifik dan senyawa tersebut akan terinduksi pada tahap awal infeksi virus,
sebelum sistem imun spesifik merespon infeksi tersebut. Pada saat rangsangan atau

10
stimulus biologis terjadi, sel yang memproduksi interferon akan mengeluarkannya
ke lingkungan sehingga interferon dapat berikatan dengan reseptor sel target dan
menginduksi transkripsi dari 20-30 gen pada sel target. Hal ini menghasilkan
keadaan anti-virus pada sel target. Aktivasi protein interferon terkadang dapat
menimbulkan kematian sel yang dapat mencegah infeksi lebih lanjut pada sel.
c. Mekanisme Kerja Interferon
Interferon memiliki peran penting dalam memerangi infeksi virus RNA.
Interferon disekresikan ketika sejumlah besar dsRNA (secara abnormal) ditemukan
di dalam sel. Peran dsRNA sendiri adalah sebagai pemicu produksi interferon
melalui Toll Like Receptor 3 (TLR 3). Gen yang mengkodekan sitokin ini
diaktifkan dalam sel yang terinfeksi, kemudian interferon disintesa dan
disekresikan kepada sel-sel yang terdapat disekitarnya (Tizard, 2004).
Ketika sel mati karena virus RNA dan kemudian mengalami lisis, ribuan
virus ini akan menginfeksi sel-sel terdekat. Sel-sel yang sebelumnya telah
menerima interferon akan memperingatkan sel-sel yang lain akan adanya “bahaya”
virus. Kemudian, sel-sel tersebut mulai memproduksi sejumlah besar protein yang
dikenal dengan Protein Kinase R (PKR). PKR secara tidak langsung diaktivasi oleh
dsRNA (sebenarnya oleh 2’-5’ oligoadenilat, yang diproduksi oleh 2’-5’
oligoadenilatsintetase yang diaktivasi oleh TLR3) dan kemudian memulai transfer
gugus fosfat (fosforilasi) ke suatu protein yang dikenal sebagai elF2 (Eukaryotic
Initiation Factor 2/ Faktor Inisiasi Translasi Eukariotik). Setelah forsforilasi, elF2
memiliki kemampuan untuk menginisiasi translasi (memproduksi protein-protein
yang dikodekan oleh seluler mRNA). Kemampuan ini dapat mencegah replikasi
virus, menghambat fungsi ribosom sel normal, dan membunuh baik virus maupun
sel inang jika responnya menjadi aktif untuk waktu yang cukup. Semua RNA di
dalam sel juga akan terdegradasi, mencegah mRNA ditranslasikan oleh elF2, jika
beberapa elF2 gagal untuk difosforilasi.
Interferon dapat menyebabkan meningkatnya aktivitas penginduksi p53
dalam sel-sel yang terinfeksi virus, dan meningkatkan produksi dari produk gen
p53. Hal ini akan menyebabkan terjadinya apoptosis, dan membatasi kemampuan
virus untuk menyebar. Meningkatnya level transkripsi tidak terlihat dalam sel-sel
yang tidak terinfeksi, tetapi hanya sel-sel yang terinfeksi yang menunjukkan
peningkatan apoptosis. Transkripsi yang meningkat ini mungkin berperan untuk
mempersiapkan sel-sel yang sesuai sehingga dapat merespon dengan cepat ketika

11
terjadi infeksi. Ketika p53 diinduksi sehubungan dengan kehadiran virus, ia berlaku
tidak seperti biasanya. Beberapa target gen p53 diekspresikan ketika virus
menginfeksi, tetapi lainnya tidak, terutama untuk yang berespon terhadap
kerusakan DNA. Salah satu gen yang tidak diaktivasi adalah p21, yang dapat
mempertahankan hidup sel. Dengan membiarkan gen ini inaktif, maka akan
membantu efek apoptotis. Dengam kata lain, interferon meningkatkan efek
apoptotis dari p53, meskipun tidak mutlak diperlukan. Sel-sel normal
mengeluarkan respons apoptotis yang lebih kuat dari sel-sel tanpa p53.
Selain dengan mekanisme seperti di atas, interferon juga memiliki efek
immunomodulator. Dimana interferon dapat memperbaiki sistem kekebalan tubuh,
baik sistem kekebalan alamiah maupun yang didapat dengan beberapa cara, yakni:
1. Meningkatkan fagositosis makrofag dan daya sitotoksik sel NK (Natural
Killer);
2. Meningkatkan ekspresi Human Leukocyte Antigen (HLA) pada permukaan
sel yang terinfeksi oleh virus. HLA tersebut bersama antigen virus pada
permukaan sel akan dikenali oleh limfosit T sitotoksik yang kemudian akan
menyebabkan lisis sel;
3. Turut berperan dalam lymphokine cascade dan produksi interleukin 1,
interleukin 2;
4. Menginduksi Produksi Prostaglandin (PGE2) oleh hipotalamus dan
menimbulkan demam.
Interferon-α merupakan penggertak yang kuat untuk sistem imun adaptif dan
bawaan (innate). Interferon-α diproduksi dalam jumlah besar oleh sel dendritik
plasmasitik dan mengaktifkan sel NK dan menggertak perbedaan monosit menjadi
sel dendritik dan juga kematangan dan aktivitas sel dendritik. Interferon-α juga
berperan serta dalam peralihan dari sistem imun non-spesifik ke sistem imun
spesifik dan mendorong respon sel dari sel T γ/δ dan menggertak memori
proliferasi sel T, mengaktifkan sel T naïve, dan meningkatkan produksi antibodi
(Tizard, 2004).
Interferon dapat meningkatkan sekaligus menghambat fungsi sel. Fungsi
penghambat utamanya adalah memperlambat pertumbuhan sel normal dan sel
neoplastic. IFN-γ meningkatkan kemampuan makrofag untuk membunuh
bakteri dan protozoa dengan cara aktivasi makrofag. Aktivasi ini penting untuk
perkembangan resistensi terhadap mikroorganisme pathogen tertentu. Sebagai

12
contoh, bakteri Mycobacterium tuberculosis, Rhodococcus equi, Corynobacterium
pseudotuberculosis, Brucella abortus, Listeria monocytogenes dan Salmonellae,
dan juga protozoa parasit Toxoplasma gondii, yang secara normal dapat hidup dan
tumbuh di dalam makrofag.
Antibodi tidak dapat memberikan perlindungan terhadap bakteri tersebut di
atas karena pertumbuhannya yang intraseluler. Tetapi saat proses infeksi, sel
respon imun digertak dan sel T menghasilkan IFN-γ. Interferon ini menyebabkan
ukuran makrofag membesar dan aktivitas metabolik serta mobilitasnya meningkat.
Jumlah reseptor Fc bertambah sehingga fagositosis meningkat. Lisosom di dalam
makrofag ini membesar dan mengandung enzim hidrolitik dalam jumlah besar,
sementara juga mensekresikan IL-1 dalam jumlah yang banyak dan akhirnya
terjadilah penghancuran organisme intraseluler (Tizard, 2004). IFN-γ juga
meningkatkan dan efek suppressor sel B, tergantung waktu treatment. Jika
diberikan di akhir respon imun, interferon meningkatkan produksi antibodi jika
diberikan sebelum pemberian antigen, interferon bersifat supresif.
Interferon juga memiliki efek kompleks pada sel respon imun sehingga dapat
menekan reaksi campuran limfosit tetapi juga meningkatkan graft rejection. IFN-
γ meningkatkan atau menekan reaksi hipersensitivitas, tergantung pada dosis dan
waktunya.
Interferon meningkatkan aktivitas sel T sitotoksik dengan menginduksi sel T
untuk memproduksi reseptor IL-2 dan IL-2. Selain itu, interferon juga
meningkatkan aktivitas sel suppressor dengan menggertak sintesis prostaglandin,
ACTH, dan endorphin. Jadi interferon dapat bersifat imunosupresif dan juga dapat
meningkatkan resistensi sel inang terhadap serangan tumor dan virus (Tizard,
2004).

13
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Sistem kekebalan tubuh manusia, dapat dibedakan menjadi dua macam yakni,
sistem kekebalan tubuh non-spesifik dan sistem kekebalan tubuh spesifik. Pada sistem
kekebalan tubuh non-spesifik, ia bekerja tidak memperdulikan jenis patogen yang
menyerang (dengan kata lain, semua patogen akan dilawan). Sedangkan sistem
kekebalan tubuh spesifik, hanya akan bekerja jika sebuah patogen tertentu telah mampu
melewati sistem pertahanan non-spesifik internal. Jadi, sistem kekebalan tubuh non-
spesifik itu terdiri dari dua macam yaitu, sistem pertahanan eksternal dan sistem
pertahanan internal. Pada sistem pertahanan eksternal diperankan oleh jaringan epitel,
mukosa, dan proses sekresi pada jaringan tersebut. Sedangkan sistem pertahanan internal
diperankan oleh pertahanan yang dirangsang dari sinyal-sinyal kimia, sel fagosit, dan
termasuk protein antimikroba.
Ada sekitar 20 jenis protein antimikroba yang terdapat dalam tubuh manusia,
diantaranya sistem komplemen dan interferon. Sistem komplemen memiliki sifat
nonaktif dan bersirkulasi di dalam darah. Namun saat salah satu protein komplemen
bersinggungan dengan bakteri, maka salah satu protein tersebut akan menjadi aktif lalu
memicu ke-aktifan protein lainnya yang tergabung dalam sistem komplemen. Ini akan
menjadi sebuah reaksi pengaktifan skala besar. Aktivitas protein komplemen terjadi jika
protein komplemen berikatan dengan antigen, yakni protein yang telah dikuasai oleh
virus atau bakteri.
Selain sistem komplemen, terdapat kumpulan protein sebagai pertahanan non-
spesifik yang disebut interferon. Interferon ini diproduksi oleh sel-sel yang terinfeksi oleh
virus. Kemudian, interferon tersebut akan berikatan dengan reseptor membran plasma
pada sel-sel yang sehat. Sel-sel sehat yang telah terikat dengan interferon tersebut akan
membentuk suatu protein antivirus. Interferon tertentu untuk langsung membunuh dan
menghancurkan sel-sel yang terinfeksi virus.

3.2. Saran
Kami menyadari makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, jadi diharapkan untuk para
pembaca untuk lebih mengembangkannya lagi.

14
DAFTAR PUSTAKA

Aditama YT, Soedarsono, Zubaedah T, Wiryokusumo HS, Hilaludin S, Bagus NRI, et al. 2006.
Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: PDPI.
Baratawidjaya KG, Rengganis I. 2009. Imunologi Dasar Edisi ke-8. Jakarta: FKUI.
Darmono. 2006. Farmakologi dan Toksikologi Sistem Kekebalan: Pengaruh, Penyebab, dan
Akibatnya pada Kekebalan Tubuh. Jakarta: Universitas Indonesia.
Fredik A.Rantam. 2003. Metode Imunologi. Jakarta: Universitas Airlangga.
Pujiyanto, S. 2012. Menjelajah Dunia Biologi 2. Jakarta: Platinum.
Rachmawati, Faidah dkk. 2009. Biologi Untuk SMA/MA Kelas XI Program IPA. Jakarta: CV
Ricardo.
Yahya, H. 2002. Sistem Kekebalan Tubuh dan Keajaiban di Dalamnya. Bandung: Dzikra.

Sumber website:
https://www.generasibiologi.com/2017/06/pengertian-macam-fungsi-sistem-komplemen.html

15

Anda mungkin juga menyukai