Anda di halaman 1dari 7

Reformasi Rumah Sakit menjadi Badan Layanan Umum dilakukan untuk mengikuti langkah

langkah atau aktivitas yang dilakukan oleh sektor swasta, dalam hal efisiensi, keefektifan,
serta produktivitas, untuk meningkatkan daya saing instansi. Instansi harus dikelola secara
mandiri dan terus melakukan inovasi, seperti layaknya institusi bisnis, dalam rangka
menunjang proses penciptaan value added.
Rumah sakit adalah sebuah institusi perawatan kesehatan profesional yang pelayanannya
disediakan oleh dokter, perawat, dan tenaga ahli kesehatan lainnya. Perbandingan antara
jumlah ranjang rumah sakit dengan jumlah penduduk Indonesia masih sangat rendah. Untuk
10 ribu penduduk cuma tersedia 6 ranjang rumah sakit.

Selama Abad pertengahan, rumah sakit juga melayani banyak fungsi di luar rumah sakit
yang kita kenal di zaman sekarang, misalnya sebagai penampungan orang miskin atau
persinggahan musafir. Istilah hospital (rumah sakit) berasal dari kata Latin, hospes (tuan
rumah), yang juga menjadi akar kata hotel dan hospitality (keramahan). Beberapa pasien
bisa hanya datang untuk diagnosis atau terapi ringan untuk kemudian meminta perawatan
jalan, atau bisa pula meminta rawat inap dalam hitungan hari, minggu, atau bulan. Rumah
sakit dibedakan dari institusi kesehatan lain dari kemampuannya memberikan diagnosa dan
perawatan medis secara menyeluruh kepada pasien. Rumah sakit menurut WHO Expert
Committee On Organization Of Medical Care: is an integral part of social and medical
organization, the function of which is to provide for the population complete health care, both
curative and preventive and whose out patient service reach out to the family and its home
environment; the hospital is also a centre for the training of health workers and for biosocial
research

B. Tujuan dan Manfaat


Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui peran tenaga kesehatan dalam
menangani korban kecelakaan atau pasien agar memeberikan pelayanan kesehatan yang
memadai dan melakukan tindakan yang sesuai dengan prinsip pelayanan yang baik.

C. Perumusan Masalah
Berdasarkan penjelasan pada latar belakang di atas, maka permasalahan yang akan
dibahas dalam makalah ini adalah bagaimana peran tenaga kesehatan dalam menangani
atau memberikan pelayanan yang bermutu sesuai dengan kebudayaan yang baik yang
berlaku ditengah masyarakat

BAB II
PEMBAHASAN

1. Pengertian Kebudayaan Dan Rumah Sakit

a. Konsep Kebudayaan

Konsep budaya telah menjadi arus utama dalam bidang antropologi sejak awal mula dan
memperoleh perhatian dalam perkembangan awal studi perilaku organisasi. Bagaimanapun
juga, baru-baru ini saja konsep budaya timbul ke permukaan sebagai suatu dimensi utama
dalam memahami perilaku organisasi (Hofstede 1986). Schein (1984) mengungkapkan
bahwa banyak karya akhir-akhir ini berpendapat tentang peran kunci budaya organisasi
untuk mencapai keunggulan organisasi. Mengingat keberadaan budaya organisasi mulai
diakui arti pentingnya, maka telaah terhadap konsep ini perlu dilakukan terutama atas
berbagai isi yang dikandungnya.
Kata Kebudayaan atau budaya adalah kata yang sering dikaitkan dengan Antropologi.
Secara pasti, Antropologi tidak mempunyai hak eksklusif untuk menggunakan istilah ini.
Seniman seperti penari atau pelukis dll juga memakai istilah ini atau diasosiasikan dengan
istilah ini, bahkan pemerintah juga mempunyai departemen untuk ini. Konsep ini memang
sangat sering digunakan oleh Antropologi dan telah tersebar kemasyarakat luas bahwa
Antropologi bekerja atau meneliti apa yang sering disebut dengan kebudayaan. Seringnya
istilah ini digunakan oleh Antropologi dalam pekerjaan-pekerjaannya bukan berarti para ahli
Antropolgi mempunyai pengertian yang sama tentang istilah tersebut. Seorang Ahli
Antropologi yang mencoba mengumpulkan definisi yang pernah dibuat mengatakan ada
sekitar 160 defenisi kebudayaan yang dibuat oleh para ahli Antropologi. Tetapi dari sekian
banyak definisi tersebut ada suatu persetujuan bersama diantara para ahli Antropologi
tentang arti dari istilah tersebut. Salah satu definisi kebudayaan dalam Antropologi dibuat
seorang ahli bernama Ralph Linton yang memberikan defenisi kebudayaan yang berbeda
dengan pengertian kebudayaan dalam kehidupan sehari-hari:

“Kebudayaan adalah seluruh cara kehidupan dari masyarakat dan tidak hanya mengenai
sebagian tata cara hidup saja yang dianggap lebih tinggi dan lebih diinginkan”.
Jadi, kebudayaan menunjuk pada berbagai aspek kehidupan. Istilah ini meliputi cara-cara
berlaku, kepercayaan-kepercayaan dan sikap-sikap, dan juga hasil dari kegiatan manusia
yang khas untuk suatu masyarakat atau kelompok penduduk tertentu.

b. Pengertian Rumah Sakit


Rumah sakit adalah sebuah institusi perawatan kesehatan profesional yang pelayanannya
disediakan oleh dokter, perawat, dan tenaga ahli kesehatan lainnya. Berikut ini ialah
beberapa jenis-jenis rumah sakit yang akan dijelaskan untuk memberikan gambaran
mengenai Kebudayaan rumah sakit
• Rumah sakit umum
Rumah sakit umum biasanya merupakan fasilitas yang mudah ditemui di suatu negara,
dengan kapasitas rawat inap sangat besar untuk perawatan intensif ataupun jangka
panjang. Rumah sakit jenis ini juga dilengkapi dengan fasilitas bedah, bedah plastik, ruang
bersalin, laboratorium, dan sebagainya. Tetapi kelengkapan fasilitas ini bisa saja bervariasi
sesuai kemampuan penyelenggaranya.
Rumah sakit yang sangat besar sering disebut Medical Center (pusat kesehatan), biasanya
melayani seluruh pengobatan modern. Sebagian besar rumah sakit di Indonesia juga
membuka pelayanan kesehatan tanpa menginap (rawat jalan) bagi masyarakat umum
(klinik). Biasanya terdapat beberapa klinik/poliklinik di dalam suatu rumah sakit.
• Rumah sakit terspesialisasi
Jenis ini mencakup trauma center, rumah sakit anak, rumah sakit manula, atau rumah sakit
yang melayani kepentingan khusus seperti psychiatric (psychiatric hospital), penyakit
pernapasan, dan lain-lain. Rumah sakit bisa terdiri atas gabungan atau pun hanya satu
bangunan. Kebanyakan mempunyai afiliasi dengan universitas atau pusat riset medis
tertentu. Kebanyakan rumah sakit di dunia didirikan dengan tujuan nirlaba.
• Rumah sakit penelitian/pendidikan
Rumah sakit penelitian/pendidikan adalah rumah sakit umum yang terkait dengan kegiatan
penelitian dan pendidikan di fakultas kedokteran pada suatu universitas/lembaga pendidikan
tinggi. Biasanya rumah sakit ini dipakai untuk pelatihan dokter-dokter muda, uji coba
berbagai macam obat baru atau teknik pengobatan baru. Rumah sakit ini diselenggarakan
oleh pihak universitas/perguruan tinggi sebagai salah satu wujud pengabdian masyararakat /
Tri Dharma perguruan tinggi.
• Rumah sakit lembaga/perusahaan
Rumah sakit yang didirikan oleh suatu lembaga/perusahaan untuk melayani pasien-pasien
yang merupakan anggota lembaga tersebut/karyawan perusahaan tersebut. Alasan
pendirian bisa karena penyakit yang berkaitan dengan kegiatan lembaga tersebut (misalnya
rumah sakit militer, lapangan udara), bentuk jaminan sosial/pengobatan gratis bagi
karyawan, atau karena letak/lokasi perusahaan yang terpencil/jauh dari rumah sakit umum.
Biasanya rumah sakit lembaga/perusahaan di Indonesia juga menerima pasien umum dan
menyediakan ruang gawat darurat untuk masyarakat umum.
• Klinik
Fasilitas medis yang lebih kecil yang hanya melayani keluhan tertentu. Biasanya dijalankan
oleh Lembaga Swadaya Masyarakat atau dokter-dokter yang ingin menjalankan praktek
pribadi. Klinik biasanya hanya menerima rawat jalan. Bentuknya bisa pula berupa kumpulan
klinik yang disebut poliklinik.
2. Kebudayaan Rumah Sakit
Rumah sakit adalah suatu organisasi yang unik dan kompleks karena ia merupakan institusi
yang padat karya, mempunyai sifat-sifat dan ciri-ciri serta fungsifungsi yang khusus dalam
proses menghasilkan jasa medik dan mempunyai berbagai kelompok profesi dalam
pelayanan penderita. Di samping melaksanakan fungsi pelayanan kesehatan masyarakat,
rumah sakit juga mempunyai fungsi pendidikan dan penelitian (Boekitwetan 1997).

Rumah sakit di Indonesia pada awalnya dibangun oleh dua institusi. Pertama adalah
pemerintah dengan maksud untuk menyediakan pelayanan kesehatan bagi masyarakat
umum terutama yang tidak mampu. Kedua adalah institusi keagamaan yang membangun
rumah sakit nirlaba untuk melayani masyarakat miskin dalam rangka penyebaran
agamanya. Hal yang menarik akhir-akhir ini adalah adanya perubahan orientasi pemerintah
tentang manajemen rumah sakit dimana kini rumah sakit pemerintah digalakkan untuk mulai
berorientasi ekonomis. Untuk itu, lahirlah konsep Rumah Sakit Swadana dimana investasi
dan gaji pegawai ditanggung pemerintah namun biaya operasional rumah sakit harus
ditutupi dari kegiatan pelayanan kesehatannya (Rijadi 1994). Dengan demikian, kini rumah
sakit mulai memainkan peran ganda, yaitu tetap melakukan pelayanan publik sekaligus
memperoleh penghasilan (laba ?) atas operasionalisasi pelayanan kesehatan yang
diberikan kepada masyarakat.

Mengingat adanya dinamika internal (perkembangan peran) dan tuntutan eksternal yang
semakin berkembang, rumah sakit dihadapkan pada upaya penyesuaian diri untuk
merespons dinamika eksternal dan integrasi potensi-potensi internal dalam melaksanakan
tugas yang semakin kompleks. Upaya ini harus dilakukan jika organisasi ini hendak
mempertahankan kinerjanya (pelayanan kesehatan kepada masyarakat sekaligus
memperoleh dana yang memadai bagi kelangsungan hidup organisasi). Untuk itu, ia tidak
dapat mengabaikan sumber daya manusia yang dimiliki termasuk perhatian atas kepuasan
kerjanya. Pengabaian atasnya dapat berdampak pada kinerja organisasi juga dapat
berdampak serius pada kualitas pelayanan kesehatan. Dalam konteks tersebut,
pemahaman atas budaya pada tingkat organisasi ini merupakan sarana terbaik bagi
penyesuaian diri anggota-anggotanya, bagi orang luar yang terlibat (misalnya pasien dan
keluarganya) dan yang berkepentingan (seperti investor atau instansi pemerintah terkait)
maupun bagi pembentukan dan pengembangan budaya organisasi itu sendiri dalam
mengatasi berbagai masalah yang sedang dan akan dihadapi. Namun sayangnya penelitian
atau kajian khusus tentang persoalan ini belum banyak diketahui, atau mungkin perhatian
terhadap hal ini belum memadai. Mengingat kondisi demikian, maka tulisan ini bertujuan
untuk menggambarkan berbagai aspek dan karakteristik budaya organisasi rumah sakit
sebagai lembaga pelayanan publik.
Seiring dengan membaiknya tingkat pendidikan, meningkatnya keadaan sosial ekonomi
masyarakat, serta adanya kemudahan dibidang transportasi dan komunikasi, majunya
IPTEK serta derasnya arus sistem informasi mengakibatkan sistem nilai dalam masyarakat
berubah. Masyarakat cenderung menuntut pelayanan umum yang lebih bermutu termasuk
pelayanan kesehatan.
Pelayanan rumah sakit yang baik bergantung dari kompetensi dan kemampuan para
pengelola rumah sakit. Untuk meningkatkan kemampuan para pengelola rumah sakit
tersebut selain melalui program pendidikan dan pelatihan, juga diperlukan pengaturan dan
penegakan disiplin sendiri dari para pengelola rumah sakit serta adanya yanggung jawab
secara moral dan hukum dari pimpinan rumah sakit untuk menjamin terselenggaranya
pelayanan yang baik.
Kepercayaan dan pengobatan berhubungan sangat erat. Institusi yang spesifik untuk
pengobatan pertama kali, ditemukan di India. Rumah sakit Brahmanti pertama kali didirikan
di Sri Lanka pada tahun 431 SM, kemudian Raja Ashoka juga mendirikan 18 rumah sakit di
Hindustan pada 230 SM dengan dilengkapi tenaga medis dan perawat yang dibiayai
anggaran kerajaan.
Perubahan rumah sakit menjadi lebih sekular di Eropa terjadi pada abad 16 hingga 17.
Tetapi baru pada abad 18 rumah sakit modern pertama dibangun dengan hanya
menyediakan pelayanan dan pembedahan medis. Inggris pertama kali memperkenalkan
konsep ini. Guy's Hospital didirikan di London pada 1724 atas permintaan seorang saudagar
kaya Thomas Guy. Rumah sakit yang dibiayai swasta seperti ini kemudian menjamur di
seluruh Inggris Raya. Di koloni Inggris di Amerika kemudian berdiri Pennsylvania General
Hospital di Philadelphia pada 1751. setelah terkumpul sumbangan £2,000. Di Eropa Daratan
biasanya rumah sakit dibiayai dana publik. Namun secara umum pada pertengahan abad 19
hampir seluruh negara di Eropa dan Amerika Utara telah memiliki keberagaman rumah
sakit.
Selain itu dalam perkembangan teknologi dan berbagai bidang yang lainnya tercipta sebuah
istilah yang menandakan sebagai suatu Budaya dalam lingkup kesehatan istilah tersebut
ialah Komite Etik Rumah Sakit (KERS), dapat dikatakan sebagai suatu badan yang secara
resmi dibentuk dengan anggota dari berbagai disiplin perawatan kesehatan dalam rumah
sakit yang bertugas untuk menangani berbagai masalah etik yang timbul dalam rumah sakit.
KERS dapat menjadi sarana efektif dalam mengusahakan saling pengertian antara berbagai
pihak yang terlibat seperti dokter, pasien, keluarga pasien dan masyarakat tentang berbagai
masalah etika hukum kedokteran yang muncul dalam perawatan kesehatan di rumah sakit.
Ada tiga fungsi KERS ini yaitu pendidikan, penyusun kebijakan dan pembahasan kasus.
Jadi salah satu tugas KERS adalah menjalankan fungsi pendidikan etika. Dalam rumah sakit
ada kebutuhan akan kemampuan memahami masalah etika, melakukan diskusi multidisiplin
tentang kasus mediko legal dan dilema etika biomedis dan proses pengambilan keputusan
yang terkait dengan permasalahan ini.
3. Karakteristik Kebudayaan Rumah Sakit (Organisasi)
Pertama, asumsi karyawan tentang keterkaitan lingkungan organisasi yang menunjukkan
bahwa organisasi mereka didominasi dan sangat dipengaruhi oleh beberapa pihak
eksternal, yaitu pemilik saham, Departemen Kesehatan sebagai pembina teknis, dan
masyarakat pengguna jasa kesehatan sebagai konsumen. Peran masyarakat kini begitu
dirasakan sejak RS menjadi institusi yang harus mampu menghidupi dirinya sendiri tanpa
mengandalkan subsidi lagi dari PTPN XI. Pada situasi seperti ini, karyawan menyadari betul
fungsi yang harus dimainkan ketika berhadapan dengan konsumen, yaitu mereka harus
memberikan pelayanan terbaik kepada pasien dan keluarganya, serta para pengunjung
lainnya.
Nilai-nilai yang sudah ditanamkan kepada karyawan dalam memberikan pelayanan kepada
konsumennya tadi dapat terungkap dari pandangan mereka bahwa justru konsumenlah
orang terpenting dalam pekerjaan mereka. Pasien adalah raja yang mana semua karyawan
bergantung padanya bukan pasien yang bergantung pada karyawan. Pasien bukanlah
pengganggu pekerjaan karyawan namun merekalah tujuan karyawan bekerja. Karyawan
bekerja bukan untuk menolong pasien, namun keberadaan pasienlah yang menolong
karyawan karena pasien tersebut telah memberikan peluang kepada karyawan untuk
memberikan pelayanan. Oleh karena itu jika terdapat perselisihan antara karyawan dan
pasien maka karyawan haruslah mengalah karena tidak ada yang pernah menang dalam
berselisih dengan konsumen. Dengan melihat nilai yang ditanamkan pada setiap karyawan
tersebut maka dapat dijelaskan tentang berlakunya asumsi fungsi pelayanan di RS.
Kedua, tentang pandangan karyawan mengenai bagaimana sesuatu itu dipandang sebagai
fakta atau tidak (kriteria realitas) dan bagaimana sesuatu itu ditentukan sebagai benar atau
tidak (kriteria kebenaran). Kriteria realitas yang dominant berlaku di RS X adalah realitas
sosial yang berarti bahwa sesuatu itu dapat diterima sebagai fakta bila sesuai dengan
kebiasaan yang telah ada atau opini umum yang berkembang di lingkungan RS X.
Sementara itu, karyawan RS X juga berpandangan dominan bahwa kebenaran lebih
ditentukan oleh rasionalitas. Dengan kata lain, sesuatu itu dapat dipandang sebagai benar
bergantung pada rasioanalitas kolektif di lingkungan RS X dan bila telah ditentukan melalui
proses yang dapat diterima dalam saluran organisasi.
Ketiga, tentang pandangan karyawan berkenaan dengan hakikat sifat dasar manusia.
Sebagian besar karyawan rupanya berasumsi bahwa manusia atau teman sekerja mereka
itu memiliki sifat yang pada dasarnya baik, yaitu rajin bekerja, sangat memperhatikan waktu
kerja (masuk dan pulang kerja tepat waktu), siap membantu pekerjaan rekan-rekan lainnya.
Namun demikian mereka juga berpandangan bahwa sifat ini tidak selamanya berlaku
konsisten. Akan ada selalu godaan atau kondisi yang dapat mengubah sifat manusia.
Mereka percaya betul bahwa tidak ada sifat yang kekal, sifat baik dapat saja berubah
menjadi buruk, begitu pula sifat buruk bisa berubah menjadi baik.
Keempat, mengenai asumsi karyawan tentang hakikat aktivitas manusia yang menunjukkan
bahwa aktivitas manusia itu harmoni atau selaras dengan aktivitas organisasi. Tidak hanya
aktivitas manusia saja yang mampu menentukan keberhasilan organisasi. Namun mereka
juga menolak bahwa aktivitas organisasi semata yang menentukan keberhasilan organisasi
karena mereka memandang bahwa aktivitasnya juga memberikan kontribusi atas
keberhasilan organisasi. Pada intinya, mereka memandang bahwa aktivitasnya yang
meliputi curahan waktu, tenaga, dan pikiran harus selaras dengan aktivitas organisasi
secara keseluruhan yang berupa kinerja sumber daya manusia, keuangan, aktiva tetap, infra
dan supra struktur organisasi.
Kelima, berkenaan dengan asumsi hakikat hubungan manusia yang hasilnya menunjukkan
bahwa hubungan antar karyawan lebih bersifat kekeluargaan. Kekeluargaan 10 tidak
dipahami sebagai nepotisme atau usaha keluarga, namun kekeluargaan dipahami sebagai
hubungan antar inidividu dalam suatu kelompok kerja sebagai suatu kerja sama kelompok
yang lebih berorientasi pada konsensus dan kesejahteraan kelompok. Dalam suatu
kelompok kerja seorang karyawan terkadang tidak hanya menjalankan tugas hanya pada
bidang tugas yang tertera secara formal karena ia harus siap membantu bidang tugas yang
lain yang dapat ditanganinya. Seorang perawat di unit bedah dengan tugas khusus
sterilisasi tidak hanya menangani tugasnya saja. Ia harus siap membantu karyawan lainnya
untuk juga menangani instrumen dan pulih sadar. Semua pekerjaan itu dilakukan sebagai
suatu kerja sama kolektif dalam mencapai efektivitas organisasi. Hubungan antar karyawan
tidak sebatas hubungan kerja, kerapkali mereka jauh lebih terikat secara pribadi dan saling
mengerti tentang karakteristik pribadi lainnya. Suasana guyub terlihat dalam suasana saling
membantu tidak hanya dalam konteks kerja tetapi juga di luar pekerjaan.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Kombinasi karakteristik dari asumsi dasar memunculkan budaya organisasi yang bersifat
integral. Kombinasi ini bisa dikategorikan sebagai budaya adaptif sehingga mampu
mendukung organisasi memenangkan adaptasi eksternal. Pada saat yang sama konfigurasi
atas asumsi dasar juga menunjukkan tipologi budaya organisasi yang kuat. Dengan
demikian memudahkan organisasi mencapai integrasi internal jika terdapat kesesuaian
antara karakteristik budaya dengan praktek manajemen.

B. Saran
Pelayanan kesehatan yang baik dan bermutu serta berkualitas penting dalam pembangunan
karena akan menimbulkan pelayanan kesehatan yang prima sehingga kepuasan dapat
dirasakan oleh setiap masyarakat olehnya itu pelayanan kesehatan harus dikelola secara
maksimal bukan saja oleh tenaga kesehatan tetapi seluruh masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Poerwanto, Helena dan Syaifullah. Hukum Perburuhan Bidang Kesehatan dan Keselamatan
Kerja. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005.

Gibson & Ivanicevich & Donnely. (1996) Organisasi : Perilaku, Struktur, Proses. Penerjemah
Adiarni, N. Binarupa Aksara, Jakarta.

Indonesia. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja.

Indonesia. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja.

Manz, C.C. & Sims, H.P., Jr. (1990) Super Leadership : Leading Others to Lead
Themselves. Berkley Books, New York.

Rijadi, S. (1994) Tantangan industri rumah sakit Indonesia 2020. Jurnal Administrasi Rumah
Sakit. Volume 2, No.2, 11-18.

Silalahi, Bennett N.B. [dan] Silalahi,Rumondang.1991. Manajemen keselamatan dan


kesehatan kerja.[s.l]:Pustaka Binaman Pressindo.

Suma'mur .1991. Higene perusahaan dan kesehatan kerja. Jakarta :Haji Masagung

Suma'mur .1985. Keselamatan kerja dan pencegahan kecelakaan. Jakarta :Gunung Agung,
1985

-------------------,1990. Upaya kesehatan kerja sektor informal di Indonesia. [s.]:Direktorat Bina


Peran Masyarakat Depkes RT.

Anda mungkin juga menyukai