ع ْد ٰل ٰه َ َو َخذَ َل َم ْن شَا َء ٰم ْن خ َْل ٰق ٰه بٰ َم ٰش ْيئَتٰ ٰه َو،ض ٰل ٰه َو َك َر ٰم ٰه ْ َٰي َوفَّقَ َم ْن شَا َء ٰم ْن خ َْل ٰق ٰه بٰف ْ ا َ ْل َح ْمدُ ٰ هّلِلٰ الَّذ
ع ٰظ ْي َمنَا َوقَا ٰئدَنَا َوقُ َّرة َ أ َ ْعيُنٰنَا َ َوأ َ ْش َهدُ أ َ َّن.ُضا َء لَه
َ س ٰيِّدَنَا َو َح ٰب ْي َبنَا َو َ َو ََّل َحدَّ َو ََّل ُجثَّةَ َو ََّل أ َ ْع،ُش ٰب ْيهَ َو ََّل ٰمثْ َل َو ََّل ٰندَّ لَه َ َو ََّل،ُش َٰريْكَ لَه
،ُصحْ بٰ ٰه َو َم ْن َّو َاَّله َ علَى آ ٰل ٰه َو َ َو،ٰع ْب ٰد هللا َ س ٰيِّ ٰدنَا ُم َح َّم ٰد ب ْٰن َ علَى َ ار ْك ٰ َس ٰلِّ َم َوب
َ ص ِّٰل َو َ اَللهم.ُص ٰفيُّهُ َو َح ٰب ْيبُه َ َو،ُس ْولُه ُ ع ْبدُهُ َو َر َ ُم َح َّمدًا
ي ْالعَ ٰظ ْي ٰم ْالقَائٰ ٰل فٰ ْي ِّٰ ٰي بٰت َ ْق َوى هللاٰ ْالعَ ٰل ْ ص ْي ُك ْم َونَ ْفس ٰ فَإٰنِّٰي أ ُ ْو،ُ أ َ َّما بَ ْعد.ٰ َو ََّل َح ْو َل َو ََّل قُ َّوة َ إٰ ََّّل بٰاهلل،ان إٰلَى يَ ْو ٰم ْال ٰقيَا َم ٰة
ٍ س َ َْو َم ْن تَبٰعَ ُه ْم بٰإٰح
ٰۤ ٰ ُ ص َر َو ْالفُ َؤادَ ُك ُّل ا
(36 :ع ْنهُ َمسْـُٔ ْو ًَّل (اإلسراء َ َول ِٕىكَ َكان َ س ْم َع َو ْال َب َّ ْس لَكَ ٰبهٖ ٰع ْل ٌم ٖا َّٰن ال َ ف َما لَي ُ َو ََّل ت َ ْق:ُمحْ َك ٰم ٰكت َا ٰب ٰه
Ma’asyiral muslimin hafizhakumullah,
Hendaklah kita ketahui bahwa Allah subhanahu wa ta’ala akan menanyai hamba-Nya di hari kiamat
tentang segenap perkataan, pendengaran, penglihatan dan hatinya. Allah ta’ala berfirman:
ٰٰۤ ُ ُ
(36 :ع ْنهُ َمسْـُٔ ْو ًَّل (اإلسراء
َ َول ِٕىكَ َكان ص َر َو ْالفُ َؤادَ ك ُّل ا
َ َس ْم َع َو ْالب
َّ ْس لَكَ بٰهٖ ٰع ْل ٌم ٖا َّٰن ال ُ َو ََّل ت َ ْق
َ ف َما لَي
Maknanya: “Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Karena pendengaran,
penglihatan, dan hati, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya.” (Q.S. al Isra’: 36) Ayat tersebut
dijadikan salah satu dalil oleh para ulama atas diharamkannya berbicara tentang agama tanpa dasar
ilmu. Bahkan para ulama mengategorikannya sebagai salah satu dosa besar. Al-Hafizh Ibnu ‘Asakir
meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda:
Seseorang yang memenuhi ketentuan-ketentuan di atas, jika berfatwa maka ia berfatwa sesuai dengan
ijtihadnya. Adakah di masa sekarang ini orang yang memenuhi semua syarat dan kriteria tersebut?
Sedangkan jika seseorang tidak memenuhi syarat-syarat yang disebutkan di atas, maka semestinya ia
berpedoman kepada fatwa salah seorang mujtahid, yakni mengutip pendapat seorang mujtahid dalam
suatu masalah. Sedangkan orang yang menyerobot tingkatan yang tidak ia capai dan merasa telah
mencapai derajat mujtahid padahal sejatinya tidak, kemudian ia memberikan fatwa (berbicara tentang
agama) tanpa dasar ilmu, maka ia telah melakukan khianat ilmiah dan terjatuh dalam dosa besar. Allah
akan menyingkap kedoknya di dunia sebelum di akhirat sebagaimana ditegaskan oleh Imam asy-Syafi’i
rahimahullah:
Salah satu sebab menyebarnya kebodohan dalam ilmu agama dan beredarnya pemahaman-pemahaman
yang keliru tentang agama di tengah-tengah masyarakat adalah banyaknya orang yang berbicara agama
tanpa dasar ilmu, dan permintaan fatwa dari masyarakat kepada orang-orang yang tidak berilmu. Dalam
hadits yang shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bahwa beliau bersabda:
Dalam hadits ini, Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam menyatakan bahwa orang yang berfatwa tanpa
ilmu terjerumus dalam kesesatan dan menjerumuskan orang yang meminta fatwa kepadanya ke dalam
jurang kesesatan. Keduanya sama-sama tersesat. Hal ini dikarenakan orang yang berfatwa, dengan
kebodohannya, telah berfatwa tanpa dasar ilmu. Sedangkan orang yang meminta fatwa telah meminta
fatwa atau bertanya tentang hukum agama kepada orang yang tidak berhak dan tidak layak untuk
dimintai fatwa. Imam an-Nawawi rahimahullah menegaskan:
)ٰغي ْٰر ْال َعا ٰل ٰم الثِّٰقَ ٰة ( ُمقَ ٰدِّ َمةُ ْال َمجْ ُم ْوع
َ ََّل يَـ ُج ْو ُز ا ْستٰ ْفت َا ُء
“Tidak boleh meminta fatwa kepada selain orang yang berilmu (ulama) dan terpercaya (tsiqah).”
Ma’asyiral muslimin hafizhakumullah, Terakhir, marilah kita camkan apa yang diriwayatkan al-Hafizh Ibnu
Hajar al-‘Asqalani dalam takhrijnya terhadap kitab Mukhtashar Ibn al-Hajib al-Ashli bahwa Sayyidina Ali
karramallahu wajhah:
َيءٍ ََّل ٰع ْل َم ٰلي بٰ ٰه فَأَقُ ْو َل ََّل أَد ْٰري َ علَى ْال َكبٰ ٰد أ َ ْن أُسْأ َ َل
ْ ع ْن ش َ َوابَ ْردَهَا
“Alangkah tenteramnya hatiku, jika aku ditanya tentang sesuatu yang tidak aku ketahui jawabannya, lalu
aku mengatakan: ‘Aku tidak tahu’.” Sebagaimana kita tahu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa
sallam dalam sebuah hadits menyebut Sayyidina Ali sebagai sahabat yang paling banyak ilmunya. Jika
beliau yang ilmunya bagaikan samudra saja tidak gengsi dan malu untuk mengatakan ‘saya tidak tahu’
ketika tidak mengetahui jawaban atas sebuah pertanyaan, maka bagaimana dengan orang-orang yang
sangat terbatas ilmunya seperti kita?. Hadirin, marilah kita buang jauh-jauh rasa malu dan gengsi untuk
mengatakan ‘saya tidak tahu’ dari diri kita masing-masing pada saat kita tidak mampu menjawab
pertanyaan seputar agama, karena rasa malu dan gengsi itu tidak akan dapat menyelamatkan kita dari
dosa berfatwa tanpa dasar ilmu. Demikian khutbah yang singkat ini. Semoga bermanfaat bagi kita
semua.