DISUSUN OLEH:
1506730666
UNIVERSITAS INDONESIA
PENDAHULUAN
Apakah kalian mengira bahwa setiap informasi yang dijelaskan oleh orang lain itu
adalah benar? Berbagai informasi dan berita yang kita dapatkan dan pelajari setiap harinya,
baik itu dari teman sejawat, atasan, ataupun guru atau para ahli sekalipun, pasti tidak
sepenuhnya tepat. Semua ilmu dan informasi yang kita terima harus kita kaji lagi dengan
seksama berdasarkan bukti-bukti yang ada, baik yang mendukung maupun yang tidak. Hal
itulah yang penting dalam memahami suatu informasi atau kabar yang baru, dalam berbagai
topik.
Sama halnya apabila kita ingin mempelajari Psikologi. Saat kita mempelajari ilmu
psikologi, kita tidak akan secara ajaib mendapatkan ilmu bagaimana caranya “membaca” emosi
dan pikiran orang lain, atau mengetahui cara “mempengaruhi” orang lain secara bawah sadar.
Maka dari itu ada baiknya kita mengkaji dan mendalami arti kata “Psikologi” itu sendiri.
ISI
Alasan yang pertama, dalam suatu Ilmu, wajib adanya penelitian atau research, dan
salah satu syarat atau kriteria mendasar penelitian adalah, penelitian harus terkait dengan hal-
hal yang dapat kita observasi, dan apabila psikologi adalah ilmu mengenai pikiran atau batin
seseorang, maka pikiran dan batin seakan-akan dapat diobservasi, padahal nyatanya tidak.
Alasan selanjutnya adalah, apabila kita merujuk pikiran atau benak seseorang dalam konteks
keilmuan, maka kita secara tersirat menafsirkan bahwa “pikiran” atau “benak” seseorang itu
adalah suatu objek atau benda, dimana nyatanya aktivitas mental itu adalah suatu proses.
Maka dari itu, dimulai dari tahun 1920-an, para pakar dan ahli psikologi memberi
pengertian baru terhadap psikologi menjadi “Ilmu yang mengkaji secara sistematik mengenai
pengalaman dan perilaku.”
Poin yang kedua adalah Poin Perkembangan yang Tergantung pada Pengukuran yang Baik.
Poin ini menekankan bahwa, dalam suatu ilmu, tercapainya suatu kemajuan atau
perkembangan disebabkan oleh adanya perhitungan atau pengukuran data yang baik. Pada ilmu
psikologi, pengertian mengenai topik-topik seperti proses sensorik dan ingatan manusia dapat
lebih mudah dipahami oleh para pakar dan ahli psikologi sebab mereka secara objektif lebih
mudah diukur. Sementara, pemahaman dalam penelitian mengenai topik-topik seperti emosi
dan kepribadian lebih sulit untuk mendapatkan definisi yang jelas sebab sulitnya mendapatkan
pengukuran yang akurat.
Poin yang ketiga dan terakhir adalah, Poin Kepercayaan Kita Akan Suatu Kesimpulan
Harus Searah dengan Kekuatan dari Buktinya. Ilmu psikologi tentunya akan membahas
berbagai macam kasus-kasus yang sering ditemukan di kehidupan nyata seperti “Apakah kita
boleh memukul anak kita sebagai hukuman baginya?” atau “Apakah anak dibawah usia remaja
boleh memainkan video game yang isinya kekerasan?” Pastinya akan ada banyak opini dalam
membicarakan topik-topik ini. Akan tetapi, seringkali opini tersebut tidak selaras dengan
kuatnya bukti nyata yang tersedia. Sangatlah penting untuk kita membedakan opini yang
berdasarkan bukti yang kuat, dengan opini yang berdasarkan bukti yang lemah.
3. ISU-ISU DAN KONTROVERSI DALAM PSIKOLOGI
Psikologi muncul pada akhir tahun 1800-an sebagai suatu upaya untuk mengaplikasikan
metode ilmiah pada isu-isu yang berhubungan dengan filosofi pikiran manusia. Semenjak awal
berdirinya ilmu psikologi, terdapat tiga persoalan yang cukup besar dalam psikologi.
Isu yang pertama adalah persoalan antara dua konsep yang bertolak belakang, yakni konsep
Determinisme melawan konsep Kehendak Bebas (Free Will). Pendekatan ilmiah dalam suatu
ilmu pengetahuan memiliki konsep bahwa semua hal terjadi karena suatu sebab. Hal ini disebut
sebagai pemahaman sebab dan akibat (cause and effect). Maka dari itu, dalam ilmu psikologi
terdapat suatu paham yang disebut determinisme, dimana semua hal yang terjadi ada sebab,
atau determinan-nya, yang dapat diobservasi atau diukur seseorang (Kalat, 2015).
Beberapa ahli memiliki opini sendiri-sendiri mengenai isu ini. Beberapa pakar mengatakan
bahwa kehendak bebeas itu adalah suatu ilusi (Wegner, 2002). Ada juga beberapa pakar yang
mengatakan bahwa seorang individual memang dapat membuat suatu keputusan, dimana
sesuatu dari dalam diri sendiri yang menginisiasi keputusan tersebut (Baumeister, 2008).
Sampai hari ini, para pakar dan ahli masih terus mengkaji ulang manakah paham yang paling
tepat.
Isu yang kedua adalah persoalan antara pikiran dan otak, atau yang biasa disebut the Mind-
Brain Problem. Pertanyaan besar yang harus dijawab saat mendiskusikan isu ini adalah, apabila
kita hidup dalam dunia yang terdiri dari zat-zat, unsur-unsur, dan energy, maka apa itu benak
pikiran? Lalu apa itu kesadaran, dan mengapa kesadaran itu ada? Pertanyaan filosofis mengenai
bagaimana pengalaman berhubungan dengan otak, hal ini lah yang disebut Mind-Brain
Problem (Kalat, 2015).
Terdapat dua pendapat dalam isu antara benak pikiran dan otak, yang pertama yakni
dualisme, yang menyatakan bahwa benak pikiran itu terpisah dari tubuh manusia, tapi dapat
mengendalikan otak manusia dan mempengaruhi tubuh manusia. Akan tetapi, paham ini
bertentangan dengan hukum konservasi materi dan energi, yang merupakan dasar dari ilmu
fisika dasar, yang menjadi fondasi dasar kehidupan kita di dunia ini.
Maka dari itu, kebanyakan pakar psikologi lebih memilih paham monisme, yang
mengatakan bahwa benak pikiran itu adalah suatu bagian dari otak kita itu sendiri, melalui
pengalaman yang kita miliki.