UNIVERSITAS SRIWIJAYA
FAKULTAS TEKNIK
Keterangan:
Jangan kerjasama!!!
Karena take home test maka jawaban harus selengkap mungkin!!!
Jawaban harus disebutkan referensinya
Kerjakan pada lembar soal ini dan boleh menambah kertas jawaban tambahan jika diperlukan!!!
1. Coalbed methane (CBM) adalah bentuk gas alam yang terjadi di lapisan batubara. Selama
proses coalification, sejumlah besar gas (terutama metana) terbentuk secara biologis dalam
endapan batubara dan dilepaskan selama ekstraksi batubara.
(https://www.studentenergy.org/topics/coal-bed-methane)
CBM (Coalbed Methane) adalah gas metana yang terkandung dalam lapisan batubara. Pada
awal perkembangannya CBM merupakan gas yang cukup mengganggu dan dianggap sebagai
gas yang membahayakan bagi keselamatan para pekerja tambang batubara, dimana sering
mengakibatkan terjadinya ledakan dan kebakaran tambang batubara. Akan tetapi saat ini dengan
kemajuan teknologi, CBM bukan lagi gas yang menakutkan, melainkan telah dinyatakan
sebagai sumber energi baru yang banyak menarik perhatian dunia (Geologinesia, 2016)
Gas Metana Batubara (GMB) adalah gas alam dengan dominan gas metana disertai
sedikit kandungan hidrokarbon dan gas non-hidrokarbon lainnya di dalam batubara hasil
dari proses kimia dan fisika selama proses pembatubaraan. Gas metana memiliki kadar
kalori yang paling rendah dibandingkan gas alam lainnya sehingga menghasilkan gas
buang yang lebih ramah terhadap lingkungan dibandingkan gas alam lainnya. (Fx Tryono,
Yudi vol.5 No.3) \
Gas metan (CBM) adalah bentuk gas alami yang diekstrak dari lapisan batubara. Dalam
beberapa dekade terakhir telah menjadi sumber energi yang penting di Amerika Serikat,
Kanada, dan negara-negara lain. Australia memiliki deposito yang kaya di mana ia dikenal
sebagai gas lapisan batubara.Juga disebut gas metan, istilah ini mengacu pada metana
teradsorpsi ke dalam matriks padat batubara. Hal ini disebut 'gas manis' karena kurangnya
hidrogen sulfida. Keberadaan gas ini dikenal dari kejadian di tambang batubara bawah tanah, di
mana ia menyajikan risiko keamanan serius. gas metan, sering disebut sebagai CBM, berbeda
dari batu yang khas atau reservoir gas konvensional lainnya, seperti metana yang disimpan di
dalam batubara dengan proses yang disebut adsorpsi. metana ini dalam keadaan dekat-cair,
lapisan bagian dalam pori-pori dalam batubara (disebut matriks). Yang patah tulang terbuka di
batubara (disebut cleat) juga dapat berisi gas gratis atau dapat jenuh dengan air.( http://info-
pertambangan.blogspot.com/2012/10/coal-bed-methane-cbm.html)
2. CBM terbentuk secara alamiah melalui proses pembatubaraan (coalification). Pada lingkungan
geologi yang mendukung, gas metan dalam batubara dapat terakumulasi dalam jumlah yang
signifikan sehingga bernilai ekonomis untuk ditambang. Gas yang terbentuk dalam proses
pembatubaraan bukan hanya metana, tetapi juga ada CO2, nitrogen, dan beberapa jenis
hidrokarbon lainnya seperti etan, propan, ataupun butan. Secara umum gas-gas tersebut
dikenal sebagai coal seam gas (CSG). Hanya saja karena gas metan merupakan komponen
terbesar (>97%) dari semua gas yang terdapat dalam batubara maka penggunaan istilah
coalbed methane (CBM) menjadi umum digunakan. Ketika dieksploitasi, gas metan dari
batubara bisa berasal dari lapisan batubara sebelum dan sesudah ditambang, ketika aktif
ditambang, dari tambang-tambang yang sudah ditinggalkan, atau juga dari batubara virgin di
bawah permukaan yang belum ditambang. Untuk membedakannya, dunia industri dan
akademis menggunakan berbagai istilah penamaan khusus. Pemakaian istilah CBM misalnya,
ditujukan lebih kepada gas metan yang terdapat pada lapisan batubara "virgin" (batubara
bawah permukaan yang belum dieksploitasi). Sedangkan gas metan yang keluar dari lapisan
batubara yang ditambang dikenal dengan nama CMM (Coal Mine Methane). ( Geologinesia,
2016)
Bahwa gas metana yang terdapat pada batubara ini mengalami transport dengan
jaringan rekahan (cleat) pada batubara yaitu serangkaian retakan yang sejajar yang biasanya
berorientasi tegak lurus terhadap perlapisan. Cleat ini umumnya dijumpai pada batubara
dengan rank sub-bituminus. Satu rangkaian retakan disebut face cleat, biasanya dominan
dengan bidang individu yang lurus dan kokoh sepanjang beberapa meter. Pola lainnya yang
disebut butt cleat, retakannya lebih pendek, sering melengkung dan cenderung berakhir
pada bidang face cleat. Jarak antar bidang cleat bervariasi dari 1 mm sampai sekitar 30 cm.
Pola cleat dapat juga dihubungkan dengan terjadinya ledakan gas dalam tambang
bawah tanah. Terjadinya cleat pada hubungannya dengan pola kekar pada lapisan pembawa
batubara, sehingga dapat digunakan untuk menghubungkan pula cleat dengan struktur
geologi suatu daerah . Face cleat tampaknya sangat umum sebagai hasil dari perpanjangan
rekahan dalam bidang sejajar dengan paleostress kompresif maksimum suatu daerah
(Nickelsen & Hough 1967. Hanes & Shepherd 1981)
Gas metana batubara terbentuk selama proses coalification, yaitu proses perubahan
material tumbuhan menjadi batubara. Bahan organik menumpuk di rawa-rawa sebagai
tumbuhan mati dan melapuk. Secara bertahap, sungai membawa sedimen ke rawa-rawa,
mengendapkan bahan organik. Berat dari lapisan sedimen mulai memadatkan bahan organik.
Seiring penebalan lapisan sedimen bertambah, kedalaman endapan bertambah, begitu pula
temperatur. Ini menimbulkan perubahan fisik dan kimia bahan organik, menghasilkan formasi
batubara dan produksi metana, karbon dioksida, nitrogen dan air. Seiring panas dan tekanan
bertambah, kandungan karbon (peringkat) dari batubara bertambah.
(https://studylibid.com/doc/1059593/1.-bagaimana-terbentuknya%3F-gas-metana-batubara)
Perbandingan antara gas metana yang dapat dihasilkan dengan kedalaman dan peringkat
batubara (Kim, 1977 dalam presentasi Saghafi, 2009)
Kelimpahan kandungan gas dalam batubara juga dipengaruhi oleh komposisi maseral dalam
batubara, yaitu mineral khas batubara. Potensi pembentukan gas metana secara langsung akan
berkaitan dengan komposisi maseral. Maseral yang mengandung banyak hydrogen akan lebih
banyak menghasilkan gas metana. Batubara yang kaya akan inertinit tidak akan menghasilkan
metana yang banyak karena inertinit relative berpotensi kecil untuk menghasilkan hidrokarbon.
Maseral inertinit dalam hamper semua batubara tidak cocok untuk proses hidrogenisasi karena
kandungan hydrogen yang rendah. Namun, maseral liptinit akan paling banyak menghasilkan
gas metana. Maseral liptinit cocok untuk proses hidrogenisasi karena liptinit mempunyai
kandungan hydrogen yang paling tinggi, disusul dengan maseral vitrinit yang terdapat dalam
batubara peringkat rendah dapat dengan mudah terhidrogenisasi.
Gas Metana Batubara (GMB) merupakan gas hidrokarbon non konvensional yang
bersumber dari batubara dan disimpan dalam reservoir batubara. Reservoir GMB sangat
berbeda dengan reservoir minyak pada umumnya. GMB adalah gas metana yang disimpan
karena adsorpsi, Karakteristik GMBdengan gas konvensional, hal ini dapat dilihat sebagai
berikut:
4. Eksplorasi Gas Metana Batu bara (GMB) adalah kegiatan yang bertujuan
memperoleh informasi mengenai kondisi geologi untuk menemukan dan
memperoleh perkiraan cadangan GMB. Pada tahap awal kegiatan eksplorasi GMB
adalah mendeliniasi keberadaan batu bara berdasarkan data yang sudah ada seperti
peta geologi regional. Ada beberapa tahapan dalam kegiatan eksplorasi GMB, yaitu:
• Tahap 1: Studi Geologi dan Geofisika
• Tahap 2: Pengeboran Eksplorasi
• Tahap 3: Pilot or Feasibility Drilling
• Tahap 4: Pilot Production Testing
• Tahap 5: Pengembangan Produksi Komersial.
(Pusat Penelitian Pengembangan Minyak Gas dan Bumi, 2012)
Selain kajian geologi untuk mengetahui penyebaran batu bara dapat digunakan juga penelitian
geofi sika bawah permukaan berupa interpretasi data seismik untuk memetakan struktur batu
bara dan distribusi ketebalan secara lateral. Pada penelitian geofisika menggunakan data atribut
seismik analisis untuk mengetahui distribusi ketebalan (isopach map). Kegiatan tersebut
merupakan langkah awal untuk eksplorasi GMB yang lebih terarah. (Pusat Penelitian
Pengembangan Minyak Gas dan Bumi, 2012)
Pengeboran Eksplorasi
Dari kajian geologi dan geofisika dapat dihasilkan lokasi sweetness untuk menentukan titik
pemboran. Kegiatan pengeboran dilakukan untuk mengetahui data-data parameter reservoir
dan karakter batu bara di wilayah pengembangan GMB. Kegiatan yang dilakukan pada tahap
ini antara lain pengumpulan inti bor, pengukuran kandungan gas in place, serta analisis
karakter batu bara baik megaskopis maupun mikroskopis (laboratory analysis). Dari hasil
pengeboran eksplorasi dapat diketahui permeabilitas reservoir, gas compressibility factor,
desorbtion-isotherm, initial water saturation dan ketebalan net batu bara. (Pusat Penelitian
Pengembangan Minyak Gas dan Bumi, 2012)
Agar tekanan dalam reservoir berkurang, air harus dikeluarkan dengan cara
memompa air keluar dari lapisan batubara. Aliran air dapat menurunkan tekanan dalam
lapisan batubara. Lapisan batubara harus teraliri air dengan baik hingga pada titik gas
terdapat pada lapisan batubara. Hal ini dimaksudkan agar gas tersebut dapat mengalir
melalui matriks dan pori, serta keluar melalui rekahan atau bukaan yang terdapat pada
sumur. Gas metana batubara memiliki tingkat pelarutan yang sangat rendah dalam air,
sehingga gas metana batubara dapat dengan mudah terpisah dari air. Gas metana
batubara dapat pula bermigrasi secara vertikal dan lateral ke reservoir batupasir yang
saling berhubungan, selain juga melalui sesar dan rekahan. . (Penyelidik Bumi Pusat
Sumber Daya Geologi, Badan Geologi)
Pada saat pertama produksi, sumur gas metana batubara belum menghasilkan
gas dalam jumlah yang ekonomis. Pada tahap awal ini yang diproduksi adalah air.
Pada tahap berikutnya volume air akan dikurangi (dewatering), agar gas dapat
diproduksi lebih tinggi. Setelah tahap ini, produksi umumnya akan stabil. Seiring
bertambahnya waktu, puncak produksi akan terjadi. Puncak produksi merupakan saat
produksi gas metana batubara mencapai titik maksimal, dan akan menjadi titik pada
saat produksi akan turun (decline). Volume gas yang diproduksi akan berbanding
terbalik dengan volume air. . (Penyelidik Bumi Pusat Sumber Daya Geologi, Badan
Geologi)
Dalam pengeboran produksi gas metana batubara, dapat digunakan bor dangkal
dengan jumlah yang banyak untuk mengejar target produksi. Cara lainnya adalah
dengan pengeboran horizontal. Pengeboran ini menyasar rekahan-rekahan utama
batubara (cleat) yang cenderung bersifat tegak lurus terhadap lapisan batubara. .
(Penyelidik Bumi Pusat Sumber Daya Geologi, Badan Geologi)
Kajian potensi gas metana batubara telah dilakukan oleh ARII (Advanced Resources
International, Inc). Publikasi oleh Stevens dan Sani pada konfrensi tahunan IPA
(Indonesian Petroleum Association) ke-28, tahun 2001 menyebutkan adanya sebelas
cekungan yang berpotensi untuk gas metana batubara, yaitu Cekungan Ombilin,
Sumatra Selatan, Sumatra Tengah, Bengkulu, Sulawesi Selatan, Barito, Pasir/Asem-
asem, Tarakan Utara, Jatibarang, Kutai, dan Berau. Potensi gas metana batubara
tersebut diestimasi sebesar 453 TCF. Akan tetapi potensi gas metana batubara tersebut
perlu ditinjau lebih jauh lagi karena ARII hanya melakukan kajian potensi berdasarkan
data-data sekunder. Hanya melalui eksplorasi yang menyeluruh potensi gas metana
batubara di cekungan-cekungan tersebut dapat benar-benar diketahui. (Muhammad
Abdurachman Ibrahim)
5. Kepala Perwakilan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi
(SKK Migas) Wilayah Kalimantan-Sulawesi Ngatijan mengatakan, untuk melakukan
eksploitasi CBM sehingga bisa diproduksi, perlu perlakuan khusus karena kandungan gas yang
terjebak dalam batubara tersebut tidak bisa serta-merta keluar. Operator migas perlu melakukan
dewatering sebelum mengalirkan gas keluar dari perut bumi. Selain itu, jumlah CBM yang
keluar juga tidak terlalu banyak sehingga harus dibor lagi untuk meningkatkan kapasitas
produksi. Dengan demikian, pengeboran tidak hanya dilakukan di satu tempat.
6. Dalam pelaksanaannya pembuangan air produksi gas CBM dilakukan berdasarkan hasil
studi Andal dan UKL/UPL yang dibuat pada saat pembuatan Masterplant produksi gas CBM.
Selama masa pengurasan (dewatering), air yang terproduksi sangat besar sekali, berdasarkan
data Lapangan Powder River Basin di Amerika Serikat pada awal dewatering air terproduksi
mencapai 800 bwpd (barrel water per day) sehingga diperlukan penanganan air terproduksi
secara tepat dan ekonomis.
Dengan jumlah yang demikian besar dan kualitas yang cukup baik membuat air terproduksi
memiliki berbagai kemungkinan dalam pemanfaatannya (untuk memasok irigasi pertanian,
enhanced oil recovery dan pasokan untuk bahan baku air minum). Kualitas air yang cukup baik
dapat dibuang langsung ke lingkungan sebagai penambah debit air untuk irigasi. Namun, untuk
pasokan air minum diperlukan teknologi yang cukup sehingga dapat memenuhi standar baku
mutu air minum. Pemanfaatan air tersebut tergantung pada kualitas air terproduksi, lokasi
sumur dan pengolahan air yang efektif. Umumnya ada 4 (empat) cara yang dilakukan oleh
pelaku bisnis CBM dalam penangan air akibat proses dewatering antara lain; Surface
Discharge, Infiltration Impoundments, Shallow Re-injection dan Reverse Osmosis.
Demi terlaksananya program pemanfaatan buangan air produksi gas CBM perlu dilakukan
perencanaan bersama antara Pemerintah Daerah dan Perusahaan Pengelola CBM sehingga
manfaat yang dapat diperoleh dari penggunaan air produksi CBM dapat digunakan bagi
kepentingan masyarakat banyak, antara lain :
· Peningkatan hasil produksi tanaman, karena tidak lagi bergantung pada musim.
· Penghematan biaya Produksi Air Minum (PDAM) karena sumber air bakunya merupakan air
bersih.
· Meningkatnya kesejahteraan masyarakat di daerah tersebut.
· Terjadinya hubungan yang harmonis antara masyarakat, Pemerintah daerah dan perusahaan
Pengelola CBM
b. Infiltration Impoundments
Air terproduksi dari beberapa sumur dipompa ke kolam untuk diuapkan (evaporasi), penguapan
dibantu dengan alat penyemprot atau diresapkan kembali kedalam akuifer. Sebelum digunakan
untuk kebutuhan pertanian maupun rumah tangga terlebih dahulu di kumpulkan dalam sebuah
kolam. Kendala utama dalam pembuatan kolam ini adalah ketersediaan lahan yang akan
dipergunakan untuk membuat kolam tersebut karena area yang dibutuhkan dalam pembuatan
kolam yang cukup luas.
Jika kandungan airnya saline tentu dapat merusak vegetasi, dan jika tidak di filteralisasi (saring)
kadar garamnya tentu akan dapat mencemari air tanah. Kontroversi pembuangan air produksi
CBM di kolam (pool) yakni sebagai cara paling murah namun, dapat merusak lingkungan
karena mampu mengubah perilaku hidrologi area tersebut, mengancam ikan dan kehidupan air
lainnya, serta bisa mengubah iklim lokal karena mengandungan moisture Batubara yang tinggi.
Selain itu, juga dapat mengakibatkan erosi atau penurunan muka air tanah dan vegetasi yang
terkait dengannya. Tampungan produksi air CBM yang mengandung garam dapat mengandung
racun organik atau anorganik, seperti amonia atau hidrogen sulfida yang secara substansial
dapat merusak lingkungan.
c. Shallow Re-injection (Sumur Injeksi)
Air terproduksi dari beberapa sumur ditampung ke kolam kemudian dipompakan ke dalam
lapisan akuifer (lapisan Formasi batuan) yang mempunyai salinitas tinggi melalui sumur injeksi
ke dalam tanah pada kedalaman tertentu. Harga sumur injeksi ini juga cukup mahal yaitu
hampir sama dengan harga sumur CBM.
d. Reverse Osmosis (Osmosa Terbalik)
Reverse Osmosis (Osmosa Terbalik) atau hyperfiltration adalah proses pengolahan yang dapat
memisahkan kandungan senyawa organik dan anorganik dari air. Teknik ini banyak digunakan
untuk desalinasi air laut dan payau, pengolahan limbah indusri dan lain-lain. Prinsip osmosa
terbalik adalah memindahkan pelarut dari larutan encer ke larutan pekat, dengan mengalirkan
air (pelarut) melalui membrane semi permeable, tekanan yang digunakan harus lebih besar dari
tekanan osmotic (biasanya kira-kira tiga kali lebih besar). Membran yang digunakan pada
proses ini biasanya adalah membran yang porinya sangat kecil atau padat. Bahan membran
yang digunakan adalah selulosa asetat, komposit, polimida dengan modul tubular, spiral wound,
flat sheet atau hallow fiber.
(Sumber : Pengolahan Air Terproduksi, Khairiza Saputra)
7. A. Swabakar Batubara
Terjadinya swabakar batubara pada temporary stockpile yang ditimbun dengan waktu
yang lama akan menghasilkan proses metanisasi batubara. Proses metanisasi batubara
adalah karbon monoksida (CO) dan hidrogen (H2) membentuk gas metana dalam reaksi
eksotermis. Gas metana akan terbentuk secara cepat jika terjadi kenaikan suhu yang
sangat tinggi. Namun apabila terjadi pada suhu yang rendah, maka akan menyebabkan
perbedaan rasio antara gas hidrogen dan gas karbon monokisda.
B. Pembakaran Batubara
Begitu bahan bakar fosil dibakar untuk menghasilkan energi, maka karbon dalam bahan
bakar bereaksi dengan oksigen untuk membentuk gas karbon dioksida, CO2. Sebagian
besar gas ini dilepaskan ke atmosfer. Pembakaran batubara (yang terdiri dari karbon
'bebas') menghasilkan lebih banyak karbon dioksida per unit energi yang dihasilkan
daripada bahan bakar fosil lainnya. Dibandingkan dengan gas (yang sebagian besar terdiri
dari metana dengan senyawa karbon, CH4), batubara melepaskan 66% lebih banyak
CO2 per unit energi yang dihasilkan.
Tambang batubara melepaskan metana ke atmosfer. Metana dua puluh kali lebih kuat
daripada karbon dioksida sebagai gas rumah kaca.17 Di AS pada tahun 2006, 26% dari
pelepasan metana yang terkait energi adalah hasil langsung dari penambangan lapisan
batubara yang terkubur.18 Di seluruh dunia, sekitar 7% dari emisi metana tahunan berasal
dari tambang batubara.19 Metana ini dapat digunakan untuk menghasilkan energi dengan
lebih efisien daripada batubara itu sendiri.20Secara teoritik, metana dapat ditangkap dari
lapisan bawah tanah sebelum dilakukan penambangan terbuka, tetapi kalau pun pernah, hal
ini sangat jarang dilakukan. Lebih mudah menangkapnya dalam tambang bawah tanah .
(Sumber : http://www.downtoearth-indonesia.org/id/story/batubara-dan-perubahan-iklim)
C. Kegiatan Penambangan
Disamping itu, penambagan batubara juga menghasilkan gas metana, gas ini mempunyai
potensi sebagi gas rumah kaca. Kontribusi gas metana yang diakibatkan oleh aktivitas
manusia, memberikan kontribusi sebesar 10,5% pada emisi gas rumah kaca. ( Sumber :
http://www.nu.or.id/post/read/27867/dampak-penambangan-batubara-pada-lingkungan)
DAFTAR PUSTAKA
Alex, S. Maulana, Y. Harminuke, E. Kajian Gas Metana Batubara (CMM) Akibat
Spontaneous Combustion Pada Temporary Stockpile Bangko Barat PT. Bukit Asam
,Tbk Tanjung Enim
Bagaimana Terbentuknya Gas Metana Batubara
https://studylibid.com/doc/1059593/1.-bagaimana-terbentuknya%3F-gas-metana-
batubara (Diakss pada 18 April 2019)
Batubara dan Perubahan Iklim
http://www.downtoearth-indonesia.org/id/story/batubara-dan-perubahan-iklim
Coalbed Methane Sumber Energi dari Gas Metana Batubara
https://www.geologinesia.com/2016/12/cbm-coalbed-methane-sumber-enegi-dari-gas-
metana-batubara.html (Diakses pada 18 April 2019)
Coalbed Methane
https://www.studentenergy.org/topics/coal-bed-methane (Diakss pada 18 April 2019)
Dampak Penambangan Batubara Pada Lingkungan
http://www.nu.or.id/post/read/27867/dampak-penambangan-batubara-pada-lingkungan
(Diakss pada 18 April 2019)
Gas Metana Batubara
https://www.scribd.com/doc/153152808/Gas-Metana-Batubara (Diakss pada 18 April
2019)
Gas Metana Batubara Energi Alternatif non konvesional
http://geomagz.geologi.esdm.go.id/gas-metana-batubara-energi-alternatif-non-
konvensiona/ (Diakss pada 18 April 2019)
Herbitus, Joko K, Destri W. 2012. Gas Metana Batubara Energi Baru Untuk Rakyat. Pusat
Penelitian Pengembangan Minyak dan Gas Bumi.
Tryono,Yudi. Gas Metana Batubara dan Peranan Pusdiklat Migas. Jurnal Forum Teknologi.
Vol 05 No 3