Anda di halaman 1dari 12

3

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi

Abses serebri atau abses otak adalah suatu proses infeksi dengan
pernanahan yang terlokalisir diantara jaringan otak yang disebabkan oleh
berbagai macam variasi bakteri, fungus dan protozoa (Hakim, 2005).
Abses otak juga merupakan kumpulan bahan supuratif pada parenkim otak
yang disebabkan oleh bakteri piogenik dan dapat terjadi pada semua umur dimana
pria terkena 2 kali lebih sering dibanding wanita dengan insiden 1 per 100.000
penduduk (Gilrey, 1992; Johnson, 1997).
Abses serebri dapat juga didefinisikan sebagai infeksi intraserebral fokal
yang dimulai sebagai serebritis yang lokalisatorik dan berkembang menjadi
kumpulan pus yang dikelilingi oleh kapsul otak disebabkan oleh berbagai macam
variasi bakteri, fungus dan protozoa (Sudewi, 2011).

2.2 Etiologi

Penyebab abses otak adalah bakteri piohenik yang menyebar ke otak


secara perkontinuitatum atau hematogen. Bakteri yang dapat diisolir dari abses
otak adalah: bakteri aerob (Staphylococcus aureus, Streptococcus pneumoni,
Streptococcus viridans, Haemophylus influenza, Baccilus gram negative), bakteri
anaerob (Bacterioides fragillis, Microaerophylic cocci, Actinomyces israelii,
Bacteroides Sp., Fusobacterium). Bakteri aerob lebih sering dibanding anaerob
terutama golongan Streptococcus (32,1%), disusul Baccilus gram negative
(!5,7%), Staphylococcus aureus (13,4%) (Gilrey, 1992).
Sebagian besar abses otak berasal langsung dari penyebaran infeksi telinga
tengah, sinusitis (paranasal, ethmoidalis, sphenoidalis dan maxillaries). (Britt,
1985; Yang, 1981).
 Abses dapat timbul akibat penyebaran secara hematogen dari infeksi paru
sistemik (empyema, abses paru, bronkhiektase, pneumonia), endokarditis
4

bakterial akut dan subakut dan pada penyakit jantung bawaan Tetralogi Fallot
(abses multiple, lokasi pada substansi putih dan abu dari jaringan otak)
(Garfield, 1977).
 Abses otak yang penyebarannya secara hematogen, letak absesnya sesuai
dengan peredaran darah yang didistribusi oleh arteri cerebri media terutama
lobus parietalis, atau cerebellum dan batang otak (Britt, 1985;. Garfield, 1977)
 Abses dapat juga dijumpai pada penderita penyakit immunologik seperti
AIDS, penderita penyakit kronis yang mendapat kemoterapi/steroid yang dapat
menurunkan sistem kekebalan tubuh (Britt, 1985; Fischbein, et al., 1974;
Keogh, 1977).
 Penyebab abses yang jarang dijumpai, osteomyelitis tengkorak, sellulitis,
erysipelas wajah, abses tonsil, pustula kulit, luka tembus pada tengkorak
kepala, infeksi gigi luka tembak di kepala, septicemia (Keogh, 1977).
Berdasarkan sumber infeksi dapat ditentukan lokasi timbulnya abses di lobus
otak (Yang, 1981; Fischbein, et al., 1974; Choudhury, et al., 1977)
 Infeksi sinus paranasal dapat menyebar secara retrograd thrombophlebitis
melalui klep vena diploika menuju lobus frontalis atau temporal Bentuk
absesnya biasanya tunggal, terletak superficial di otak, dekat dengan sumber
infeksinya.
 Sinusitis frontal dapat menyebabkan abses di bagian anterior atau inferior
lobus frontalis.
 Sinusitis sphenoidalis dapat menyebabkan abses pada lobus frontalis atau
temporalis.
 Sinusitis maxillaris dapat menyebabkan abses pada lobus temporalis.
 Sinusitis ethmoidalis dapat menyebabkan abses pada lobus frontalis.
 Infeksi pada telinga tengah dapat menyebar ke lobus temporalis.
 Infeksi pada mastoid dan kerusakan tengkorak kepala karena kelainan bawaan
seperti kerusakan tegmentum timpani atau kerusakan tulang temporal oleh
kolesteoma dapat menyebar kedalam cerebellum.
 Infeksi parasit (Schistosomiasis, Amoeba, Fungus (Actinomycosis, Candida
5

albicans) dapat menimbulkan abses, tetapi hal ini sangat jarang terjadi.

2.3 Patofisiologi

Abses serebri dapat terjadi akibat penyebaran perkontinuitatum dari fokus


infeksi di sekitar otak maupun secara hematogen dari tempat yang jauh, atau
secara langsung seperti trauma kepala dan operasi kraniotomi. Abses yang terjadi
oleh penyebaran hematogen dapat pada setiap bagian otak, tetapi paling sering
pada pertemuan substansia alba dan grisea; sedangkan yang perkontinuitatum
biasanya berlokasi pada daerah dekat permukaan otak pada lobus tertentu
(Sudewi, 2011).
Pada tahap awal abses serebri terjadi reaksi radang yang difus pada
jaringan otak dengan infiltrasi lekosit disertai udem, perlunakan dan kongesti
jaringan otak, kadang-kadang disertai bintik perdarahan. Setelah beberapa hari
sampai beberapa minggu terjadi nekrosis dan pencairan pada pusat lesi sehingga
membentuk suatu rongga abses. Astroglia, fibroblas dan makrofag mengelilingi
jaringan yang nekrotikan. Mula-mula abses tidak berbatas tegas tetapi lama
kelamaan dengan fibrosis yang progresif terbentuk kapsul dengan dinding yang
konsentris. Tebal kapsul antara beberapa milimeter sampai beberapa sentimeter.
Beberapa ahli membagi perubahan patologi abses serebri dalam 4 stadium yaitu
(Misbch, et al., 2006) :
1. Stadium serebritis dini (Early Cerebritis)
Terjadi reaksi radang local dengan infiltrasi polymofonuklear leukosit, limfosit
dan plasma sel dengan pergeseran aliran darah tepi, yang dimulai pada hari
pertama dan meningkat pada hari ke 3. Sel-sel radang terdapat pada tunika
adventisia dari pembuluh darah dan mengelilingi daerah nekrosis infeksi.
Peradangan perivaskular ini disebut cerebritis. Saat ini terjadi edema di sekitar
otak dan peningkatan efek massa karena pembesaran abses.
2. Stadium serebritis lanjut (Late Cerebritis)
Saat ini terjadi perubahan histologis yang sangat berarti. Daerah pusat nekrosis
membesar oleh karena peningkatan acellular debris dan pembentukan nanah
karena pelepasan enzim-enzim dari sel radang. Di tepi pusat nekrosis didapati
6

daerah sel radang, makrofag-makrofag besar dan gambaran fibroblast yang


terpencar. Fibroblast mulai menjadi reticulum yang akan membentuk kapsul
kolagen. Pada fase ini edema otak menyebar maksimal sehingga lesi menjadi
sangat besar
3. Stadium pembentukan kapsul dini (Early Capsule Formation)
Pusat nekrosis mulai mengecil, makrofag menelan acellular debris dan
fibroblast meningkat dalam pembentukan kapsul. Lapisan fibroblast
membentuk anyaman reticulum mengelilingi pusat nekrosis. Di daerah
ventrikel, pembentukan dinding sangat lambat oleh karena kurangnya
vaskularisasi di daerah substansi putih dibandingkan substansi abu.
Pembentukan kapsul yang terlambat di permukaan tengah memungkinkan
abses membesar ke dalam substansi putih. Bila abses cukup besar, dapat robek
ke dalam ventrikel lateralis. Pada pembentukan kapsul, terlihat daerah
anyaman reticulum yang tersebar membentuk kapsul kolagen, reaksi astrosit di
sekitar otak mulai meningkat.
4. Stadium pembentukan kapsul lanjut (Late Capsule Formation)
Pada stadium ini, terjadi perkembangan lengkap abses dengan gambaran
histologis sebagai berikut:
 Bentuk pusat nekrosis diisi oleh acellular debris dan sel-sel radang.
 Daerah tepi dari sel radang, makrofag, dan fibroblast.
 Kapsul kolagen yang tebal.
 Lapisan neurovaskular sehubungan dengan serebritis yang berlanjut.
 Reaksi astrosit, gliosis, dan edema otak di luar kapsul.
Abses dalam kapsul substansia alba dapat makin membesar dan meluas ke
arah ventrikel sehingga bila terjadi ruptur, dapat menimbulkan meningitis
(Sudewi, 2011).
Infeksi jaringan fasial, selulitis orbita, sinusitis etmoidalis, amputasi
meningoensefalokel nasal dan abses apikal dental dapat menyebabkan abses
serebri yang berlokasi pada lobus frontalis. Otitis media, mastoiditis terutama
menyebabkan abses serebri lobus temporalis dan serebelum, sedang abses lobus
parietalis biasanya terjadi secara hematogen (Sudewi, 2011).
7

Respon Imunologik pada Abses serebri (Misbach, et al., 2006)


 Setelah kuman telah menerobos permukaan tubuh, kemudian sampai ke
susunan saraf pusat. Kuman yang bersarang di mastoid dapat menjalar ke
otak perkuntinuitatum. Invasi hematogenik melalui arteri intraserebral
merupakan penyebaran ke otak secara langsung.
 Ada penjagaan otak khusus terhadap bahaya yang datang melalui lintasan
hematogen, yang dikenal sebagai sawar darah otak atau blood brain barrier.
Pada toksemia dan septicemia, sawar darah otak terusak dan tidak lagi
bertindak sebagai sawar khusus. Infeksi jaringan otak jarang dikarenakan
hanya bakterimia saja, oleh karena jaringan otak yang sehat cukup resisten
terhadap infeksi. Kuman yang dimasukkan ke dalam otak secara langsung
pada binatang percobaan ternyata tidak membangkitkan abses serebri/ abses
serebri, kecuali apabila jumlah kumannya sangat besar atau sebelum inokulasi
intraserebral telah diadakan nekrosis terlebih dahulu. Walaupun dalam
banyak hal sawar darah otak sangat protektif, namun ia menghambat
penetrasi fagosit, antibody dan antibiotik. Jaringan otak tidak memiliki
fagosit yang efektif dan juga tidak memiliki lintasan pembuangan limfatik
untuk pemberantasan infeksi bila hal itu terjadi. Maka berbeda dengan proses
infeksi di luar otak, infeksi di otak cenderung menjadi sangat virulen dan
destruktif.

2.4 Gejala Klinis

Pada stadium awal gambaran klinik abses serebri tidak khas, terdapat
gejala-gejala infeksi seperti demam, malaise, anoreksi dan gejalagejala peninggian
tekanan intrakranial berupa muntah, sakit kepala dan kejang. Dengan semakin
besarnya abses serebri gejala menjadi khas berupa trias abses serebri yang terdiri
dari gejala infeksi (demam, leukositosis), peninggian tekanan intracranial (sakit
kepala, muntah proyektil, papil edema) dan gejala neurologik fokal (kejang,
paresis, ataksia, afaksia) (Robert, 2004).
Abses pada lobus frontalis biasanya tenang dan bila ada gejala-gejala
neurologik seperti hemikonvulsi, hemiparesis, hemianopsia homonim disertai
8

kesadaran yang menurun menunjukkan prognosis yang kurang baik karena


biasanya terjadi herniasi dan perforasi ke dalam kavum ventrikel (Robert, 2004).
Abses lobus temporalis selain menyebabkan gangguan pendengaran dan
mengecap didapatkan disfasi, defek penglihatan kwadran alas kontralateral dan
hemianopsi komplit. Gangguan motorik terutama wajah dan anggota gerak atas
dapat terjadi bila perluasan abses ke dalam lobus frontalis relatif asimptomatik,
berlokasi terutama di daerah anterior sehingga gejala fokal adalah gejala
sensorimotorik. Abses serebelum biasanya berlokasi pada satu hemisfer dan
menyebabkan gangguan koordinasi seperti ataksia, tremor, dismetri dan
nistagmus. Abses batang otak jarang sekali terjadi, biasanya berasal hematogen
dan berakibat fatal (Mardjono, et al., 2008).

2.5 Diagnosa

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, gambaran klinik,


pemeriksaan laboratorium disertai pemeriksaan penunjang lainnya. Selain itu
penting juga untuk melibatkan evaluasi neurologis secara menyeluruh, mengingat
keterlibatan infeksinya. Perlu ditanyakan mengenai riwayat perjalanan penyakit,
onset, faktor resiko yang mungkin ada, riwayat kelahiran, imunisasi, penyakit
yang pernah diderita, sehingga dapat dipastikan diagnosisnya (Mardjono, et al.,
2008).
Pada pemeriksaan neurologis dapat dimulai dengan mengevaluasi status
mental, derajat kesadaran, fungsi saraf kranialis, refleks fisiologis, refleks
patologis, dan juga tanda rangsang meningeal untuk memastikan keterlibatan
meningen (Mardjono, et al., 2008).
Pemeriksaan motorik sendiri melibatkan penilaian dari integritas sistem
muskuloskeletal dan kemungkinan terdapatnya gerakan abnormal dari anggota
gerak, ataupun kelumpuhan yang sifatnya bilateral atau tunggal (Mardjono, et al.,
2008).
Pada pemeriksaan laboratorium, terutama pemeriksaan darah perifer yaitu
pemeriksaan lekosit dan laju endap darah; didapatkan peninggian lekosit dan laju
endap darah. Pemeriksaan cairan serebrospinal pada umumnya memperlihatkan
9

gambaran yang normal. Bisa didapatkan kadar protein yang sedikit meninggi dan
sedikit pleositosis, glukosa dalam batas normal atau sedikit berkurang, kecuali
bila terjadi perforasi dalam ruangan ventrikel (Mardjono, et al., 2008).
Foto polos kepala memperlihatkan tanda peninggian tekanan intrakranial,
dapat pula menunjukkan adanya fokus infeksi ekstraserebral; tetapi dengan
pemeriksaan ini tidak dapat diidentifikasi adanya abses. Pemeriksaan EEG
terutama penting untuk mengetahui lokalisasi abses dalam hemisfer. EEG
memperlihatkan perlambatan fokal yaitu gelombang lambat delta dengan
frekuensi 13 siklus/detik pada lokasi abses. Pnemoensefalografi penting terutama
untuk diagnostik abses serebelum. Dengan arteriografi dapat diketahui lokasi
abses di hemisfer. Saat ini, pemeriksaan angiografi mulai ditinggalkan setelah
digunakan pemeriksaan yang relatif noninvasif seperti CT scan. Dan scanning
otak menggunakan radioisotop tehnetium dapat diketahui lokasi abses; daerah
abses memperlihatkan bayangan yang hipodens daripada daerah otak yang normal
dan biasanya dikelilingi oleh lapisan hiperderns. CT scan selain mengetahui lokasi
abses juga dapat membedakan suatu serebritis dengan abses. Magnetic Resonance
Imaging saat ini banyak digunakan, selain memberikan diagnosis yang lebih cepat
juga lebih akurat (Robert,2004).
Gambar CT Scan Normal (Robert,2004).

Gambar CT- Scan Abses serebri (Robert,2004; Saraswati, 2016).


10

Gambaran CT-scan pada abses :


 Early cerebritis (hari 1-3): fokal, daerah inflamasi dan edema.
Gambaran CT-Scan :
Pada hari pertama terlihat daerah yang hipodens dengan sebagian gambaran
seperti cincin. Pada hari ketiga gambaran cincin lebih jelas sesuai dengan
diameter serebritisnya. Didapati mengelilingi pusat nekrosis.
 Late cerebritis (hari 4-9): daerah inflamasi meluas dan terdapat nekrosis dari
zona central inflamasi.
Gambaran CT-Scan :
Gambaran cincin sempurna, 10 menit setelah pemberian kontras perinfus.
Kontras masuk ke daerah sentral dengan gambaran lesi homogen 
menunjukkan adanya cerebritis.
11

 Early capsule stage (hari 10-14): gliosis post infeksi, fibrosis,


hipervaskularisasi pada batas pinggir daerah yang terinfeksi. Pada stadium ini
dapat terlihat gambaran ring enhancement.
Gambaran CT-Scan :
Hampir sama dengan fase cerebritis, tetapi pusat nekrosis lebih kecil dan
kapsul terlihat lebih tebal.
 Late capsule stage (hari >14): terdapat daerah sentral yang hipodens (sentral
abses) yang dikelilingi dengan kontras - ring enhancement (kapsul abses)
Gambaran CT-Scan :
Gambaran kapsul dari abses jelas terlihat, sedangkan daerah nekrosis tidak diisi
oleh kontras.
Pemeriksaan CT scan dapat dipertimbangkan sebagai pilihan prosedur
diagnostik, dikarenakan sensitifitasnya dapat mencapai 90% untuk mendiagnosis
abses serebri. Yang perlu dipertimbangkan adalah walaupun gambaran CT tipikal
untuk suatu abses, tetapi tidak menutup kemungkinan untuk didiagnosis banding
dengan tumor (glioblastoma), infark, metastasis, hematom yang diserap dan
granuloma (Adams & Victor, 1993).
Walaupun sukar membedakan antara abses dan tumor (glioblastoma,
metastasis) dari CT scan, ada beberapa parameter yang dapat digunakan untuk
membedakan keduanya antara lain : umur penderita, ketebalan ring (cicin tipis
hanya 3-6 mm) dan biasanya uniform, diameter ring, rasio lesi dan ring. Pada ½
kasus, kapsul bagian medial lebih tipis dari kapsul subkortikal. Hal ini
menunjukkan sedikitnya vaskularisasi dari massa putih dan menjelaskan mengapa
daughter abscess biasanya berkembang di medial (Adams & Victor, 1993).
Abses serebri yang hematogen ditandai dengan adanya fokus infeksi (yang
tersering dari paru), lokasi pada daerah yang diperdarahi oleh arteri serebri media
di daerah perbatasan massa putih dan abu-abu dengan tingkat mortalitas yang
tinggi. Sedangkan gambaran glioblastoma pada CT scan adalah adanya mixed
density tumor, ring enhancement yang berlekuk-lekuk disertai perifokal edema
yang luas (Adams & Victor, 1993).
12

2.6 Tatalaksana Sesuai Kompetensi Dokter Umum

Penatalaksanaan awal dari abses serebri meliputi diagnosis yang tepat dan
pemilihan antibiotik didasarkan pada pathogenesis dan organisme yang
memungkinkan terjadinya abses. Ketika etiologinya tidak diketahui, dapat
digunakan kombinasi dari sefalosporin generasi ketiga dan metronidazole. Jika
terdapat riwayat cedera kepala dan pembedahan kepala, maka dapat digunakan
kombinasi dari napciline atau vancomycine dengan sephalosforin generasi ketiga
dan juga metronidazole. Antibiotik terpilih dapat digunakan ketika hasil kultur
dan tes sentivitas telah tersedia (Adams & Victor, 1993).
Pada abses terjadi akibat trauma penetrasi,cedera kepala, atau sinusitis
dapat diterapi dengan kombinasi dengan napsiline atau vancomycin, cefotaxime
atau cetriaxone dan juga metronidazole. Monoterapi dengna meropenem yang
terbukti baik melawan bakteri gram negatif, bakteri anaerob, stafilokokkus dan
streptokokkus dan menjadi pilihan alternatif. Sementara itu pada abses yang
terjadi akibat penyakit jantung sianotik dapat diterapi dengan penissilin dan
metronidazole. Abses yang terjadi akibat ventrikuloperitoneal shunt dapat diterapi
dengan vancomycin dan ceptazidine.Ketika otitis media, sinusitis, atau mastoidits
yang menjadi penyebab dapat digunakan vancomycin karena strepkokkus
pneumonia telah resisten terhadap penissilin. Ketika meningitis citrobacter, yang
merupakan bakteri utama pada abses local, dapat digunakan sefalosporin generasi
ketiga, yang secara umum dikombinasikan dengan terapi aminoglikosida. Pada
pasien dengan immunocompromised digunakan antibiotik yang berspektrum luas
dan dipertimbangkan pula terapi amphoterids (Adams & Victor, 1993).
Tabel 2.1 Dosis dan Cara Pemberian Antibiotik pada Abses serebri
Drug Dose Frekwensi dan rute
Cefotaxime 2-3 kali per hari,
(Claforan) 50-100
IV
mg/KgBBt/Hari
Ceftriaxone (Rocephin) 2-3 kali per hari,
13

50-100 mg/KgBBt/Hari IV
Metronidazole (Flagyl) 3 kali per hari,

35-50 mg/KgBB/Hari IV
Nafcillin (Unipen, Nafcil) setiap 4 jam,

2 grams IV
Vancomycin setiap 12 jam,

15 mg/KgBB/Hari IV

Kebanyakan studi klinis menunjukkan bahwa penggunaan steroid dapat


mempengaruhi penetrasi antibiotik tertentu dan dapat menghalangi pembentukan
kapsul abses. Tetapi penggunaannya dapat dipertimbangkan pada kasus-kasus
dimana terdapat risiko potensial dalam peningkatan tekanan intrakranial. Dosis
yang dipakai 10 mg dexamethasone setiap 6 jam intravenous, dan ditapering
dalam 3-7 hari (Adams & Victor, 1993).
Pada penderita ini, kortikosteroid diberikan dengan pertimbangan adanya
tekanan intrakranial yang meningkat, papil edema dan gambaran edema yang luas
serta midline shift pada CT scan. Kortikosteroid diberikan dalam 2 minggu setelah
itu di tap-off, dan terlihat bahwa berangsur-angsur sakit kepala berkurang dan
pada pemeriksaan nervus optikus hari XV tidak didapatkan papil
edema. Penatalaksanaan secara bedah pada abses serebri dipertimbangkan dengan
menggunakan CT-Scan, yang diperiksa secara dini, untuk mengetahui tingkatan
peradangan, seperti cerebritis atau dengan abses yang multipel (Adams & Victor,
1993).
14

Anda mungkin juga menyukai