Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN PENDAHULUAN

A. Konsep Trauma Kepala Berat (TKB)

1. Definisi

Trauma kepala berat adalah trauma kepala yang mengakibatkan

penurunan kesadaran dengan skor GCS 3-8, mengalami amnesia > 24

jam (Haddad, 2012).

Menurut Brain Injury Association Of America (2009), trauma

kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat congenital

atau degenerative, tetapi disebabkan oleh benturan fisik dari luar yang

dapat mengakibatkan kerusakan kemampuan kognitif maupun fisik.

Trauma kepala adalah gangguan fungsi normal otak karena trauma

baik trauma tumpul maupun trauma tajam. Deficit neorologis terjadi

karena robekanya subtansia alba, iskemia, dan pengaruh massa karena

hemorogik, serta edema serebral disekitar jaringan otak (Batticaca,

2008).

2. Anatomi Fisiologi Sistem

a. Anatomi

Tengkorak dibentuk oleh beberapa tulang, masing-masing

tulang kecuali mandibula disatukan pada sutura. Sutura dibentuk oleh

selapis tipis jaringan fibrosa yang mengunci piringan tulang yang

bergerigi. Sutura mengalami osifikasi setelah umur 35 tahun. Pada

atap tengkorak, permukaan luar dan dalam dibentuk oleh tulang padat

dengan lapisan spongiosa yang disebut diploie terletak diantaranya.

Terdapat variasi yang cukup besar pada ketebalan tulang tengkorak


antar individu. Tengkorak paling tebal dilindungi oleh otot.

(Westmoreland, 1994).

Jenis-jenis Tulang tengkorak:

- Os Frontale

- Os Parietal dextra dan sinistra

- Os Occipital

- Os Temporal dextra dan sinistra

- Os Ethmoidale

- Os spenoidale

- Maxila

- Mandibula

- Os Zigomatikum dextra dan sinistra

- Os Platinum dextra dan sinistra

- Os Nasal dextra dan sinistra

- Os Lacrimale dextra dan sinistra

- Vomer

- Concha dextra dan sinistra

b. Fisiologi

Fungsi tengkorak (Westmoreland, 1994) adalah:

- Melindungi otak , indra penglihatan dan indra pendengaran

- Sebagai tempat melekatnya otot yang bekerja pada kepala

- Sebagai tempat penyangga gigi


3. Etiologi

Gambar 2.1 Penyebab Trauma Kepala

Trauma kepala dapat disebabkan oleh beberapa peristiwa,

diantaranya:

a. Kecelakaan lalu lintas.

b. Benturan pada kepala.

c. Jatuh dari ketinggian dengan dua kaki.

d. Menyelam di tempat yang dalam.

e. Olahraga yang keras.

f. Anak dengan ketergantungan.

Cedera pada trauma capitis dapat terjadi akibat tenaga dari luar (Arif Musttaqin, 2008)
berupa:
a. Benturan/jatuh karena kecelakaan

b. Kompresi/penetrasi baik oleh benda tajam, benda tumpul, peluru dan

ledakan panas. Akibat cedera ini berupa memar, luka jaringan lunak,

cedera muskuloskeletal dan kerusakan organ.

4. Patofisiologi

Fase pertama kerusakan serebral paska terjadinya trauma kepala

ditandai oleh kerusakan jaringan secara langsung dan juga gangguan


regulasi peredaran darah serta metabolisme otak. Pola ischaemia-like ini

menyebabkan asumsi asam laktat sebagai akibat dari terjadinya glikolisis

anaerob. Selanjutnya, terjadi peningkatan permeabilitas pembuluh darah

diikuti dengan pembentukan edema. Akibat berlangsungnya metabolism

anaerob, sel-sel otak kekurangan cadangan energy yang turut

menyebabkan kegagalan pompa ion di membrane sel yang bersifat

energy-dependent (Werner dan Engelhard, 2007). Fase kedua dapat

dijumpai depolarisasi membrane terminal yang diikuti dengan pelepasan

neurotransmitter eksitatori (glutamate dan asparat) yang berlebihan

(Werner dan Engelhard, 2007).

Patofisiologi cedera kepala dapat terbagi atas dua proses yaitu

cedera kepala primer dan cedera kepala sekunder, cedera kepala primer

merupakan suatu proses biomekanik yang terjadi secara langsung saat

kepala terbentur dan dapat memberi dampak kerusakan jaringan otat.

Pada cedera kepala sekunder terjadi akibat dari cedera kepala primer,

misalnya akibat dari hipoksemia, iskemia dan perdarahan.

Perdarahan cerebral menimbulkan hematoma misalnya pada

epidural hematoma, berkumpulnya antara periosteun tengkorak dengan

durameter, subdural hematoma akibat berkumpulnya darah pada ruang

antara durameter dengan subaraknoid dan intra cerebral, hematoma

adalah berkumpulnya darah didalam jaringan cerebral. Kematian pada

penderita cedera kepala terjadi karena hipotensi karena gangguan

autoregulasi, ketika terjadi autoregulasi menimbulkan perfusi jaringan

cerebral dan berakhir pada iskemia jaringan otak (Tarwoto, 2007)


5. Manifestasi Klinik

Tanda gejala pada TKB adalah:

a. Hilangnya kesadaran kurang dari 30 menit atau lebih

b. Kebingungan

c. Iritabel

d. Pucat

e. Mual dan muntah

f. Pusing kepala

g. Terdapat hematoma

h. Kecemasan

i. Sukar untuk dibangunkan

j. Bila fraktur, mungkin adanya cairan serebrospinal yang keluar dari

hidung (rhinorrohea) dan telinga (otorrhea) bila fraktur tulang

temporal.

6. Mekanisme Cedera

Mekanisme cedera /trauma kepala, meliputi:

a. Akselerasi

Jika benda bergerak membentur kepala yang tidak bergerak,

contohnya pada orang yang diam kemudian dipukul atau dilempar.

b. Deselerasi

Jika kepala yang bergerak membentur benda yang diam, contohnya

pada kepala yang menabrak dinding .

c. Deformitas

Perubahan atau kerusakan pada bagian tubuh yang terjadi akibat

trauma, contoh adanya fraktur pada tulang kepala, kompressi,


ketegangan atau pemotongan pada jaringan otak.

7. Klasifikasi Cedera Kepala

Klasifikasi Cedera Kepala ( Arif Muttaqin, 2008 )

a. Cedera Kepala Primer

Cedera Kepala Primer mencakup: Fraktur tulang, cedera fokal, cedera

otak difusa, yang masing-masing mempunyai mekanisme etiologis

dan fatofisiologis yang unik.

b. Kerusakan Otak Sekunder

Cedera kepala berat seringkali menampilkan gejala

abnormalitas/gangguan sistemik akibat hipoksia dan hipotensi, dimana

keadaan-keadaan ini merupakan penyebab yang sering pada kerusakan

otak sekunder.

c. Edema Serebral

Tipe yang terpenting pada kejadian cedera kepala adalah edema

vasogenik dan edema iskemik

d. Pergeseran Otak (Brain Shift)

Adanya sat massa yang berkembang membesar (Haematoma, abses

atau pembengkakan otak) disemua lokasi dalam kavitas Intra Kranial,

biasanya akan menyebabkan pergerakan dan distorsi otak.

8. Pemeriksaan penunjang

a. Foto polos kepala

Indikasi dilakukannya pemeriksaan meliputi jejas lebih dari 5 cm, luka

tembus (peluru/tajam), deformasi kepala (dari inspeksi dan palpasi),

nyeri kepala yang menetap, gejala fokal neurologis, gangguan

kesadaran.
b. CT-Scan

Indikasi CT-Scan adalah:

1) Nyeri kepala menetap atau muntah-muntah yang tidak menghilang

setelah pemberian obat-obatan analgesia.

2) Adanya kejang-kejang, jenis kejang fokal lebih bermakna terdapat

pada lesi intrakranial dibandingkan dengan kejang general.

3) Penurunan GCS lebih dari 1 dimana factor-faktor ekstrakranial

telah disingkirkan (karena penurunan GCS dapat terjadi karena

syok, febris, dll).

4) Adanya fraktur impresi dengan lateralisasi yang tidak sesuai.


5) Luka tembus akibat benda tajam dan peluru.

6) Perawatan selama 3 hari tidak ada perubahan yang membaik dari

GCS (Sthavira, 2012).

c. Magnetic Resonance Imaging (MRI)

MRI digunakan untuk pasien yang memiliki abnormalitas status

mental yang digambarkan oleh CT-Scan. MRI telah terbukti lebih

sensitive daripada CT-Scan, terutama dalam mengidentifikasi lesi

difus non hemoragig cedera aksonal.

d. X-Ray

X-Ray berfungsi mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur),

perubahan struktur garis (perdarahan /edema), fragmen tulang (Rasad,

2011).

e. BGA ( Blood Gas Analyze)

Mendeteksi masalah pernafasan (oksigenasi) jika terjadi peningkatan

tekanan intra kranial (TIK).


f. Kadar elektrolit

Mengoreksi keseimbangan elektrolit sebgai akibat peningkatan

tekanan intra kranial (Musliha, 2010).

9. Komplikasi

Komplikasi trauma kepala berat dapat meliputi :

a. Perdarahan intra cranial

b. Kejang

c. Parese saraf cranial


d. Meningitis atau abses otak

e. Infeksi

f. Edema cerebri

g. Kebocoran cairan serobospinal

10. Penatalaksanaan

a. Resusitasi jantung paru ( circulation, airway, breathing = CAB)

Pasien dengan trauma kepala berat sering terjadi hipoksia, hipotensi

dan hiperkapnia akibat gangguan kardiopulmoner. Oleh karena itu

urutan tindakan yang benar adalah:

1) Sirkulasi (circulation)

Hipotensi menyebabkan iskemik yang dapat mengakibatkan

kerusakan sekunder. Hipotensi disebabkan oleh hipovolemia akibat

perdarahan luar, ruptur organ dalam, trauma dada disertai

temponade jantung atau pneumotoraks dan syok septic. Tindakan

adalah menghentikan perdarahan, perbaikan fungsi jantung dan

mengganti darah yang hilang dengan plasma atau darah.


2) Jalan nafas (airway)

Bebaskan jalan nafas dari lidah yang turun ke belakang dengan

posisi kepala ekstensi dengan memasang orofaryngeal airway

(OPA) atau pipa endotrakheal, bersihkan sisa muntahan, darah,

lendir atau gigi palsu. Isi lambung dikosongkan melalui pipa

nasogastrik untuk menghindarkan aspirasi muntahan.

3) Pernafasan (breathing)
Gangguan pernafasan dapat disebabkan oleh kelainan sentral dan

perifer. Kelainan sentral dalah depresi pernafasan pada lesi medulla

oblongata, pernafasan cheyne stokes, ataksik dan central

neurogenic hyperventilation. Penyebab perifer adalah aspirasi,

trauma dada, edema paru, emboli paru, infeksi. Gangguan

pernafasan dapat menyebabkan hipoksia dan hiperkapnia. Tindakan

dengan pemberian O2 kemudian cari dan atasi factor penyebab dan

kalau perlu memakai ventilator.

b. Penanganan kasus-kasus cedera kepala di unit gawat darurat

didasarkan atas patokan pemantauan dan penanganan terhadap “6

B”(Arif Muttaqin 2008), yakni:

1) Breathing

Perlu diperhatikan mengenai frekuensi dan jenis pernafasan

penderita. Adanya obstruksi jalan nafas perlu segera dibebaskan

dengan tindakan-tindakan : suction, inkubasi, trakheostomi.

Oksigenasi yang cukup atau hiperventilasi bila perlu, merupakan

tindakan yang berperan penting sehubungan dengan edema cerebri.


2) Blood

Mencakup pengukuran tekanan darah dan pemeriksaan

laboratorium darah (Hb, leukosit). Peningkatan tekanan darah dan

denyut nadi yang menurun mencirikan adanya suatu peninggian

tekanan intracranial, sebaliknya tekanan darah yang menurun dan

makin cepatnya denyut nadi menandakan adanya syok

hipovolemik akibat perdarahan dan memerlukan tindakan transfusi.

3) Brain

Penilaian keadaan otak ditekankan terhadap respon-respon mata,

motorik dan verbal (GCS). Perubahan respon ini merupakan

implikasi perbaikan/perburukan kiranya perlu pemeriksaan lebih

mendalam mengenai keadaan pupil (ukuran, bentuk dan reaksi

terhadap cahaya) serta gerakan-gerakan bola mata.

4) Bladder

Kandung kemih perlu selalu dikosongkan (pemasangan kateter)

mengingat bahwa kandung kemih yang penuh merupakan suatu

rangsangan untuk mengedan sehingga tekanan intracranial

cenderung lebih meningkat.

5) Bowel

Produksi urine perlu dipantau selama pasien dirawat. Bila produksi

urine tertampung di vesika urinaria maka dapat meningkatkan

tekanan intra cranial (TIK).

6) Bone

Mencegah terjadinya dekubitus, kontraktur sendi dan sekunder

infeksi.
11. PHATWEY
B. Konsep Asuhan Keperawatan Pada Trauma Kepala Berat (TKB)

1. Pengkajian

a. Pengkajian Kegawatdaruratan Primary Survey

1) Airway dan Cervical control

Hal pertama yang dinilai adalah kelancaran airway. Meliputi

pemeriksaan adanya obstruksi jalan nafas yang dapat disebabkan

benda asing, fraktur tulang wajah, fraktur mandibula atau maksila,

fraktur larinks atau trachea. Dalam hal ini dapat dilakukan “chin

lift” atau “jaw thrust”. Selama memeriksa dan memperbaiki jalan

nafas, harus diperhatikan bahwa tidak boleh dilakukan ekstensi,

fleksi atau rotasi dari leher.

2) Breathing dan Ventilation

Jalan nafas yang baik tidak menjamin ventilasi yang baik.

Pertukaran gas yang terjadi pada saat bernafas mutlak untuk

pertukaran oksigen dan mengeluarkan karbon dioksida dari tubuh.

Ventilasi yang baik meliputi:fungsi yang baik dari paru, dinding

dada dan diafragma.

3) Circulation dan Hemorrhage control

a) Volume darah dan Curah jantung

Kaji perdarahan klien. Suatu keadaan hipotensi harus dianggap

disebabkan oleh hipovelemia. 3 observasi yang dalam hitungan

detik dapat memberikan informasi mengenai keadaan

hemodinamik yaitu kesadaran, warna kulit dan nadi.

b) Kontrol Perdarahan
4) Disability
Penilaian neurologis secara cepat yaitu tingkat kesadaran, ukuran

dan reaksi pupil.

5) Exposure dan Environment control

Dilakukan pemeriksaan fisik head toe toe untuk memeriksa jejas.

b. Secondary Survey

1) Kepala

Kelainan atau luka kulit kepala dan bola mata, telinga bagian luar

dan membrana timpani, cedera jaringan lunak periorbital

2) Leher

Adanya luka tembus leher, vena leher yang mengembang

3) Neurologis

Penilaian fungsi otak dengan Glasgow Coma Score (GCS)

4) Dada

Pemeriksaan klavikula dan semua tulang iga, suara nafas dan

jantung, pemantauan EKG

5) Abdomen

Kaji adanya luka tembus abdomen, pasang NGT dengan trauma

tumpul abdomen

6) Pelvis dan ekstremitas

Kaji adanya fraktur, denyut nadi perifer pada daerah trauma,

memar dan cedera yang lain

7) Aktivitas/istirahat

Gejala : Merasa lelah, lemah, kaku, hilang keseimbangan.

Gejala : Sakit kepala.


Tanda : Wajah menyeringai, respon menarik pada rangsangan

nyeri yang hebat, gelisah, tidak bisa istirahat, merintih.

8) Pernafasan

Tanda : Perubahan pola pernafasan (apnoe yang diselingi oleh

hiperventilasi nafas berbunyi)

9) Keamanan

Gejala : Trauma baru/trauma karena kecelakaan.

Tanda : Fraktur/dislokasi, gangguan penglihatan, gangguan

rentang gerak, tonus otot hilang, kekuatan secara umum mengalami

paralisis, demam, gangguan dalam regulasi suhu tubuh.

10) Interaksi sosial

Gejala : Mual, muntah dan mengalami perubahan selera.

Tanda : muntah, gangguan menelan.

11)Tanda : Apasia motorik atau sensorik, bicara tanpa arti, bicara berulang-ulang, disartria.

Eliminasi

Gejala : Inkontinensia, kandung kemih atau usus atau

mengalami gangguan fungsi.

12)Neurosensori

Gejala : Kehilangan kesadaran sementara, amnesia, vertigo,

sinkope, kehilangan pendengaran, gangguan pengecapan dan

penciuman, perubahan penglihatan seperti ketajaman.

Tanda : Perubahan kesadaran bisa sampai koma, perubahan

status mental, konsentrasi, pengaruh emosi atau tingkah laku dan

memoris.

13) Nyeri/kenyamanan Gejala : Sakit kepala.


Tanda : Wajah menyeringai, respon menarik pada rangsangan

nyeri yang hebat, gelisah, tidak bisa istirahat, merintih.

14)Pernafasan

Tanda : Perubahan pola pernafasan (apnoe yang diselingi oleh

hiperventilasi nafas berbunyi)

15)Keamanan

Gejala : Trauma baru/trauma karena kecelakaan.

Tanda : Fraktur/dislokasi, gangguan penglihatan, gangguan

rentang gerak, tonus otot hilang, kekuatan secara umum mengalami

paralisis, demam, gangguan dalam regulasi suhu tubuh.

16) Interaksi sosial

Tanda : Apasia motorik atau sensorik, bicara tanpa arti, bicara

berulang-ulang, disartria.

2. Diagnosa Keperawatan yang mungkin ada

Diagnosa keperwatan yang lazim muncul pada pasien dengan TKB

adalah:

a. Resiko ketidakefektifan perfusi jaringan cerebral berhubungan dengan

edema serebral, peningkatan tekanan intra cranial (TIK)

b. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan kegagalan otot

pernafasan
3. Intervensi Keperawatan

DIAGNOSA
NO NOC NIC
KEPERAWATAN
1 Resiko NOC : 1. Monitor TIK
ketidakefektifan Circulation status - Berikan info pada orang
perfusi jaringan Tissue Prefusion : terdekat pasien
cerebral cerebral - Monitor status neurologi
berhubungan - Monitor intake dan
dengan Kriteria Hasil :
edema output
cerebral 1. Perfusi jaringan 2. Manajemen edema
cerebral cerebral
- TIK normal - Monitor adanya
- Tidak ada nyeri kebingungan, keluhan
kepala pusing
- Tidak ada - Monitor status
kegelisahan pernafasan, frekuensi
- Tidak ada dan kedalaman
penurunan pernafasan
tingkat - Kurangi stimulus dalam
kesadaran lingkungan pasien
- Tidak ada - Berikan sedasi sesuai
gangguan refleks kebutuhan
saraf 3. Monitor neurologi
2. Status neurologi - Monitor tingkat
- Kesadaran kesadaran (GCS)
normal - Monitor refleks batuk
- TIK normal dan menelan
- Pola bernafas - Pantau ukuran
normal pupil,bentuk,
- Ukuran dan kesimetrisan
reaksi pupil 4. Monitor TTV
normal 5. Posisikan head up (30- 40
- Laju pernafasan derajat)
normal 6. Beri terapi O2 sesuai
- Tekanan darah anjuran medis
normal 7. Kolaborasi pemberian
terapi medis
2 Pola nafas tidak NOC : 1. Airway Management
efektif Respiratory status : - Monitor adanya keluhan
berhubungan Ventilation pusing, sakit kepala,
dengan kegagalan Respiratory status : mual, muntah, gelisah
otot pernafasan Airway patency - Beri posisi head up 30-
Vital sign Status 40 derajat untuk
Memaksimalkan
Kriteria Hasil : Ventilasi.
1. Irama pernafasan - Keluarkan sekret
normal dengan suction.
2. Frekuensi - Monitor alat Ventilator
pernafasan normal pada
3. TTV dalam batas pasien .
normal 2. Oxygen Therapy
4. Tidak ada tanda - Pertahankan jalan nafas
sesak yang paten
- Monitor aliran Oksigen
- Monitor adanya Tanda-
tanda Hypoventilasi
3.Vital Sign Monitoring
- Monitor TD,suhu,RR
- Identifikasi penyebab
dari perubahan Vital
Sign
3. Kolaborasi pemberian
Therapy medis
DAFTAR PUSTAKA

Aghakhani, N., Azami, M., Jasemi, M. et al.(2013). Epidemiology of Traumatic


Brain Injur in Urmia, Iran. Iranian Red Crescent Medical Journal,
vol.15(no.2), pp.173-4.

Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta:


Rineka Cipta.

Batticaca, F. B. 2008. Asuhan Keperawatan Pada Klien dengan Gangguan


Sistem Persyarafan. Jakarta: Salemba Medika.
Brain Injury Association of America. (2009). Types of Brain Injury.
http://www.biausa.org/pages/type of brain injury. html. [Accessed 20
Juni 2018].
Dharma, K.K. 2011. Metode Penelitian Keperawatan. Jakarta: Panduan
MelaksanakanMenerapkan Hasil Penelitian.
Deswani. 2009. Asuhan Keperawatan dan Berdikir Kritis. Jakarta: Salemba
Medika.

Haddad, S.H., & Arabi, Y.M. 2010. Critical care manajementof severe traumatic
brain injury in adults. Scan J Trauma ResuscEmerg Med 20 (12) :1-15.
Irawan H, Setiawan F, Dewi, DewantoG . (2010). Perbandingan Glasgow Coma
Scale dan Revised Trauma Score dalam Memprediksi Disabilitas Pasien
Trauma Kepala di Rumah Sakit Atma Jaya. Majalah Kedokteran
Indonesia.http://indonesia.digitaljournals.org/diakses 20 Juni 2018

Moleong, lexy j. 2010. Metodologi penelitian kualitatif. Bandung : Remaja Rosda


karya

Muttaqin, A. 2008. Pengantar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan


Sistem Persyarafan. Jakarta: Salemba Medika.

Musliha. 2010. Keperawatan Gawat Darurat. Yogyakarta: Nuha Medika.

NANDA. 2015. Nursing Diagnosis: Definition and Classification. Philadelphia:


NANDA International.
Nursalam. 2003. Konsep dan Penerapan Metodologi penelitian Ilmu
Keperawatan. Edisi 2. Jakarta: Salemba medika.
Roozenbeek, B., Maas, A.I.R. & Menon, D.K., 2013. Nature Reviews Neurology
.http://www.nature.com/nrneurol/journal/v9/n4/full/nrneurol.2013.22.html
diakses 10 Juni 2018.

Rasad Sjahriar. Radiologi Diagnostik. 2rd eds. New Delhi: Jaypee Brothers
Medical Publishers, 2004: 150-4, 604-7.

Tarwoto, Wartonah, Suryati, 2007. Keperawatan Medikal Bedah Gangguan


Sistem Persyarafan. Jakarta: SagungSeto.

Werner, C., dan K. Engelhard, 2007. Pathophysiology of Traumatic Brain Injury.


British Journal of Anaesthesy 99.

SIM RS RSUD Bahteramas,2017. Data kasus kecelakaan Instalasi Gawat


Darurat dan data kematianpasien Trauma Capitis Intensif Care Unit.

Anda mungkin juga menyukai