Anda di halaman 1dari 2

Gerakan Kembali ke ASI

ASI Pemberian Terbaik Tuhan bagi Bayi Anda


Selasa, 23 Dec 2003 21:25:16

Pdpersi, Jakarta - ?Ibu, kembalilah ke ASI. ASI adalah yang terbaik untuk anak anda.
Gerakan Kembali ke ASI pada Hari Ibu? Demikian bunyi poster yang diacungkan
seorang Ibu berkerudung biru di tengah bundaran Hotel Indonesia (HI) 23 Desember lalu,
sehari setelah peringatan Hari Ibu.

Jika pada masa krismon muncul Gerakan Ibu Peduli yang mendesak diturunkannya harga
susu, yang terkesan menguatkan anggapan bahwa banyak ibu di Indonesia yang sangat
bergantung pada susu formula pengganti Air Susu Ibu (ASI ). Kini, di masa yang juga
masih krisis, muncul gerakan yang juga terkait dengan susu. Namun, kali ini yang
menjadi tema utama justru adalah ASI.

Mengapa ASI kembali menjadi popular. Benarkah ibu-ibu di Indonesia telah semakin
akrab dengan susu formula dan melupakan ASI?

Kendati hingga kini belum ada angka tepat yang membandingkan jumlah ibu yang
menyusui dengan memberi ASI, namun coba longok ke sekitar anda. Berapa banyak ibu-
ibu yang anda kenal yang menyusui dengan ASI dan memberi susu formula?

Benarkah Ibu Enggan Memberi ASI?


Menurut Ir Neni Utami Adiningsih MT, peminat masalah anak, perempuan dan keluarga,
penggagas Forum Studi Pemberdayaan Keluarga, kalangan ibu harus terus dipahamkan
bahwa ASI merupakan makanan pertama dan utama di awal kehidupan seorang anak.
Bahkan kini pemerintah telah merevisi panduan pemberian ASI eksklusif (ASI tanpa
makanan tambahan) dari semula empat bulan menjadi enam bulan.

Neni menenggarai semakin banyak perempuan yang enggan menyusui. Ia mengkaitkan


hal itu dengan semakin meningkatknya keterlibatan kaum wanita dalam dunia kerja. Ia
mencontohkan data dari Lembaga Demografi Fak Ekonomi UI yang menunjukkan jika
pada 1971-1980 hanya 38,75% dari keseluruhan angkatan kerja adalah perempuan, pada
periode 1980-1990 sudah menjadi 51,65%.

Selain itu, terungkap bahwa jika pada 1971 hanya 37% buruh perempuan di industri
menengah dan besar sektor tembakau dan pakaian jadi. Namun pada 1996 (25 tahun
kemudian), sudah mencapai 50% di sektor tembakau, tekstil, pakaian jadi, sepatu, kimia,
plastik, elektronik dan peralatan profesional/ilmu pengetahuan.

?Belum lagi, bila menyimak tenaga kerja perempuan di sektor jasa. Sehingga, tidaklah
aneh bila kini angka penyerapan angkatan kerja perempuan justru lebih tinggi dari
lelaki,? ujar Neni.

Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 1997, memperlihatkan hanya 52% ibu yang
menyusui bayinya. Itu pun rata-rata hanya selama 1,7 bulan. Bahkan menurut data
Unicef, hanya 3 % ibu yang memberikan ASI secara ekslusif.

Dipastikan persentase tersebut jauh menurun bila dibandingkan dengan kondisi


sebelumnya. 15 tahun lalu, sebuah penelitian terhadap 460 bayi rawat gabung (rooming
in) di Rumah Sakit RSCM memperlihatkan bahwa 71,1% ibu memberi ASI sampai
bayinya usia 2 bulan, 20,2 persen di antaranya memberi ASI secara eksklusif.

Dari jumlah tersebut, ternyata ibu yang bekerja di ruang publiklah yang lebih dini
memberi susu formula, yaitu sebanyak 34,8%. Alasannya dominan, yakni agar bayinya
sudah terbiasa menyusu dari botol bila nanti ditinggalkan bekerja. Pada ibu yang bekerja
di ruang domestik ada 23,3 persen.

Akibat dari ketidakkontinyuan pemberian ASI tersebut, maka hanya 17,4% dari ibu yang
bekerja di ruang publik yang produksi ASI nya masih cukup ketika bayinya berusia 5-6
bulan. Angka ini lebih rendah dari persentase di kalangan ibu yang bekerja di ruang
domestik, yang mencapai 22,4 persen.

?Bertambahnya pendapatan keluarga atau status sosio ekonomi yang tinggi serta
lapangan pekerjaan bagi perempuan di ruang publik berhubungan erat dengan kecepatan
dimulainya pemberian susu botol. Artinya mengurangi kemungkinan menyusui bayi
untuk waktu yang lama,? ujar Neni.
www.pusat data dam informasi persi.12.06.2009.12.34

Anda mungkin juga menyukai