Anda di halaman 1dari 34

Presentasi Kasus Rehabilitasi Medik

LAKI-LAKI 23 TAHUN DENGAN ANKYLOSING SPONDILITIS

oleh:

MARCELL CLAUDIO G99172108

ALFIN RIZKI RAMADHAN G991903002

ADILLA SHAFRYANTYO PURNOMO G991905002

Pembimbing

DR. Dr. Noer Rachma, Sp.KFR

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN REHABILITASI MEDIK

FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR. MOEWARDI

SURAKARTA

2019
BAB I
STATUS PASIEN

I. ANAMNESIS
A. Identitas Pasien
Nama : Tn. AP
Umur : 23 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Belum bekerja
Alamat : Grobogan, Jawa Tengah
Tanggal Periksa : 9 Oktober 2019
No. RM : 0142xxxx

B. Keluhan Utama
Badan bungkuk

C. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke poliklinik rehabilitasi medik RSUD Dr. Moewardi
dengan keluhan badan bungkuk. Keluhan dirasakan sejak kurang lebih 7
tahun yang lalu saat pasien masih studi di SMK jurusan Teknik Informatika.
Keluhan dirasakan makin memberat dan kemudian 2 tahun setelahnya
muncul keluhan nyeri punggung bawah. Nyeri dirasakan seperti pegal-
pegal. Nyeri bertambah ketika berjalan dan bangun di pagi hari. Nyeri
dirasakan berkurang saat pasien istirahat. Pasien mengaku intensitas nyeri
tidak bertambah berat sampai sekarang. Nyeri menjalar dari punggung ke
kaki disangkal. Rasa kebas pada kedua kaki disangkal. BAK dan BAB tidak
ada keluhan. Riwayat trauma disangkal. Karena keluhan tersebut pasien
memeriksakan diri ke RS Orthopedi Solo dan dilakukan beberapa
pemeriksaan. Pasien sempat mendapat fisioterapi di Purwodadi.
Satu tahun setelahnya, keluhan badan bungkuk dan nyeri punggung
bawah tidak membaik, nyeri punggung masih dirasakan hilang timbul.
Pasien mengaku dari pinggang ke sampai leher makin terasa kaku serta sulit
dan nyeri bila digerakkan. Pasien tidak dapat menengok kanan-kiri serta
menunduk dan mengadah. Pasien tidak dapat duduk di kursi dengan tegak.
Pasien juga mengeluhkan paha kanannya tidak dapat ditekuk sehingga
pasien sulit berjalan. Pasien juga mengaku lebih cepat merasa lelah.
Keluhan seperti demam, sesak napas, nyeri dada, gangguan penglihatan,
gangguan BAK dan BAB disangkal. Pasien kemudian dirawat di RSDM
dari tanggal 12 Maret 2019 s/d 20 Maret 2019 oleh bagian saraf dan
penyakit dalam sub rheumatologi. Diagnosis ankylosing spondilitis
ditegakkan dan pasien mendapatkan pengobatan Methotrexate tablet 7,5
mg/minggu, rutin kontrol poliklinik penyakit dalam sub rheumatologi
sampai sekarang.

D. Riwayat Penyakit Dahulu


1. Riwayat trauma : disangkal
2. Riwayat alergi : disangkal
3. Riwayat operasi : disangkal
4. Riwayat mondok : (+) di RSDM tanggal 12 Maret 2019 – 20
Maret 2019

E. Riwayat Penyakit Keluarga


1. Riwayat keluhan serupa: disangkal
2. Riwayat alergi : disangkal

F. Riwayat Sosial Ekonomi


Pasien adalah anak pertama dari 3 bersaudara. Pasien tinggal bersama
ibu tirinya. Pasien lulusan dari SMK jurusan teknik informatika. Pasien
belum bekerja, namun masih mengerjakan program komputer. Pasien makan
3 kali sehari, porsi sedang dengan lauk pauk tempe, tahu, telur, ikan, daging
ayam atau sapi. Pasien tidak punya kegemaran khusus pada makanan
tertentu. Pasien berobat di RSUD Dr. Moewardi dengan BPJS.

G. Riwayat Kebiasaan
1. Riwayat merokok : disangkal
2. Riwayat NAPZA : disangkal
3. Riwayat minum minuman keras : disangkal
4. Riwayat olah raga teratur : sebelum sakit, jogging

II. PEMERIKSAAN FISIK


A. Status Generalis
Keadaan Umum : tampak sakit sedang, kesan gizi kurang
Kesadaran : Compos Mentis (GCS E4V5M6)
B. Tanda Vital
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Nadi : 93x/menit, isi cukup, irama teratur, simetris
Respirasi : 22x/menit
Suhu : 36,50C
C. Kulit
Warna kuning, ikterik (-), turgor kurang (-), hiperpigmentasi (-).
D. Kepala
Bentuk mesocephal, rambut hitam, uban (-), lurus, mudah rontok (-),
mudah dicabut (-), moon face (-), atrofi M.temporalis (-).
E. Mata
Conjungtiva palpebra pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), katarak (-/-),
perdarahan palpebra (-/-), pupil isokor dengan diameter (3mm/3mm), reflek
cahaya langsung dan tak langsung (+/+), edema palpebra (-/-).
F. Telinga
Deformitas (-/-), sekret (-/-), darah (-/-)
G. Hidung
Nafas cuping hidung (-), deformitas (-), sekret (-/-), epistaksis (-/-)
H. Mulut
Sianosis (-), gusi berdarah (-), kering (-), pucat (-), lidah kotor (-), papil
lidah atrofi (-), stomatitis (-), luka pada sudut bibir (-)

I. Limfonodi
Kelenjar limfe retroaurikuler, submandibuler, servikalis,
supraklavikularis, aksilaris dan inguinalis tidak membesar
J. Thorax
normochest, retraksi intercostal (-), sela iga melebar (-), ekspansi thorax
1 cm (inspirasi 80 cm, ekspirasi 79 cm).
K. Jantung
a. Inspeksi : ictus cordis tidak
tampak
b. Palpasi : ictus cordis
tidak kuat angkat
c. Perkusi : batas jantung
kesan tidak melebar
d. Auskultasi : Bunyi jantung I-
II intensitas normal, reguler, bising (-), gallop (-)
L. Pulmo
a. Inspeksi : pengembangan dada kanan=kiri
b. Palpasi : fremitus raba kanan=kiri
c. Perkusi : sonor/sonor
d. Auskultasi : SDV(+/+), Suara tambahan (-/-)
M. Trunk
a. Inspeksi : deformitas (-), skoliosis (-), kifosis (+),
lordosis (-)
b. Palpasi : massa (-), nyeri tekan (-), oedem (-)
c. Perkusi : nyeri ketok costovertebrae (-)
N. Abdomen
a. Inspeksi : dinding perut sejajar dinding dada
b. Auskultasi : bising usus (+) normal
c. Perkusi : timpani, pekak alih (-)
d. Palpasi : supel, nyeri tekan (-). Hepar dan lien
tidak membesar.

O. Ekstremitas
Extremitas superior Extremitas inferior
Dextra Sinistra Dextra Sinistra
Edema - - - -
Sianosis - - - -
Pucat - - - -
Akral dingin - - - -

P. Gait analysis
1. Inspeksi:
Postur saat gait: kifosis, Hip flexion dextra dan knee flexion dextra
(kompensasi pergeseran center of gravity ke anterior karena kifosis)
2. Heel strike (S) tidak ada, Hip hipomobile

Q. Range of Motion (ROM)


Neck Aktif Pasif

Flexi Terbatas nyeri Terbatas nyeri

Extensi Terbatas nyeri Terbatas nyeri

Rotasi ke kanan Terbatas nyeri Terbatas nyeri

Rotasi ke kiri Terbatas nyeri Terbatas nyeri


Extremitas Superiror Dextra Sinistra

Aktif Pasif Aktif Pasif

Shoulder Flexi penuh Penuh Penuh Penuh

Extensi Penuh Penuh Penuh Penuh

Abduksi Penuh Penuh Penuh Penuh

Adduksi Penuh Penuh Penuh Penuh

Internal rotasi Penuh Penuh Penuh Penuh

External rotasi Penuh Penuh Penuh Penuh

Elbow Flexi Penuh Penuh Penuh Penuh

Extensi Penuh Penuh Penuh Penuh

Supinasi Penuh Penuh Penuh Penuh

Pronasi Penuh Penuh Penuh Penuh

Wrist Flexi Penuh Penuh Penuh Penuh

Extensi Penuh Penuh Penuh Penuh

Ulnar deviasi Penuh Penuh Penuh Penuh

Radius deviasi Penuh Penuh Penuh Penuh

Finger MCP I flexi Penuh Penuh Penuh Penuh


MCPII,III,IVflexi Penuh Penuh Penuh Penuh
DIP II,III,IV flexi Penuh Penuh Penuh Penuh
PIP II,III,IV flexi Penuh Penuh Penuh Penuh
MCP I extensi Penuh Penuh Penuh penuh

Trunk ROM pasif ROM aktif

Flexi Terbatas nyeri Terbatas nyeri

Extensi Terbatas nyeri Terbatas nyeri


Rotasi Terbatas nyeri Terbatas nyeri

Extremitas Inferior Dextra Sinistra

Aktif Pasif Aktif Pasif

Hip Flexi Terbatas Terbatas Terbatas Terbatas


nyeri nyeri nyeri nyeri

Extensi Terbatas Terbatas Terbatas Terbatas


nyeri nyeri nyeri nyeri

Abduksi Terbatas Terbatas Terbatas Terbatas


nyeri nyeri nyeri nyeri

Adduksi Terbatas Terbatas Terbatas Terbatas


nyeri nyeri nyeri nyeri

Knee Flexi Penuh Penuh Penuh penuh

Extensi Penuh Penuh Penuh penuh

Ankle Dorsoflexi Penuh Penuh Penuh Penuh

Plantarflexi Penuh Penuh Penuh Penuh

R. Manual Muscle Testing (MMT)


Ekstremitas Superior Dextra Sinistra

Shoulder Flexor M.deltoideus anterior 5 5

M.biceps brachii 5 5

Extensor M.deltoideus anterior 5 5

M.teres major 5 5

Abduktor M.deltoideus 5 5

M.biceps brachii 5 5

Adduktor M.latissimus dorsi 5 5


M.pectoralis major 5 5

Rotasi internal M.latissimus dorsi 5 5

M.pectoralis major 5 5

Rotasi eksternal M.teres major 5 5

M.pronator teres 5 5

Elbow Flexor M.biceps brachii 5 5

M.brachialis 5 5

Extensor M.triceps brachii 5 5

Supinator M.supinator 5 5

Pronator M.pronator teres 5 5

Wrist Flexor M.flexor carpi radialis 5 5

Extensor M.extensor digitorum 5 5

Abduktor M.extensor carpi 5 5


radialis

Adduktor M.extensor carpi 5 5


ulnaris

Finger Flexor M.flexor digitorum 5 5

Extensor M.extensor digitorum 5 5

Extremitas Inferior Dextra Sinistra

Hip Flexor M.psoas major Sde Sde


ROM ROM
terbatas terbatas
dan nyeri dan
nyeri

Extensor M.gluteus maximus Sde Sde


ROM ROM
terbatas terbatas
dan nyeri dan
nyeri
Abduktor M.gluteus medius Sde Sde
ROM ROM
terbatas terbatas
dan nyeri dan
nyeri

Adduktor M.adductor longus Sde Sde


ROM ROM
terbatas terbatas
dan nyeri dan
nyeri

Knee Flexor Hamstring muscles 5 5

Extensor M.quadriceps femoris 5 5

Ankle Flexor M.tibialis 5 5

Extensor M.soleus 5 5

S. Status Ambulasi: Independen (dengan bantuan tripod)

T. Status Neurologis
1. Kesadaran : GCS E4V5M6
2. Fungsi luhur : dalam batas normal
3. Fungsi vegetatif : dalam batas normal
4. Fungsi sensorik :
- Rasa Eksteroseptik : suhu, nyeri, dan raba dalam
batas normal
- Rasa Propioseptik : getar, posisi, dan tekan dalam
batas normal
- Rasa Kortikal : stereognosis, barognosis
dalam batas normal

5. Fungsi motorik dan reflek

a. Kekuatan
5/5/5 5/5/5
sde 4/5/5
b. Tonus
N N
N N
c. Reflek fisiologis
+2 +2
sde +2
d. Reflek patologis
- -
6. Nervi craniales - -
a. N. II, III : Reflek cahaya (+/+), pupil isokor (3 mm/3
mm)
b. N. III, IV, VI : Gerak bola mata dalam batas normal
c. N. VII, XII : dalam batas normal

U. Status Mentalis
a. Deskripsi Umum :
1. Penampilan : Sesuai umur, perawatan diri baik
2. Kesadaran Kuantitatif : Composmentis GCS: E4 V5 M6
Kesadaran Kualitatif : Sadar penuh
3. Perilaku dan aktivitas Psikomotorik : terdapat hambatan gerakan
4. Pembicaraan :
Kuantitas : cukup
Kualitas : intonasi baik, artikulasi baik, volume cukup
5. Sikap terhadap pemeriksa : kooperatif

b. Alam Perasaan
1. Mood : eutimik
2. Afek : bahagia
3. Keserasian : serasi
4. Empati : dapat dirabarasakan

c. Gangguan Persepsi :
1. Halusinasi : tidak ada
2. Ilusi : tidak ada
3. Depersonalisasi : tidak ada
4. Derealisasi : tidak ada
d. Proses Pikir
1. Bentuk Pikir : realistis
2. Arus Pikir : koheren
3. Isi Pikir :
a. Waham : tidak ada
b. Preokupasi : tidak ada
c. Fobia : tidak ada
d. Obsesi : tidak ada
e. Kesadaran Kognisi : baik
1. Orientasi
a. Waktu : baik
b. Tempat : baik
c. Orang : baik
d. Situasi : baik
2. Daya Ingat
a. Segera : baik
b. Pendek : baik
c. Panjang : baik
3. Pikiran Abstrak : baik
4. Visuospasial : baik
5. Konsentrasi : baik
6. Perhatian : baik
7. Pengetahuan dasar : baik
8. Bakat kreatif : baik
9. Kemampuan menolong diri sendiri : baik
f. Daya Nilai
1. Nilai Sosial : baik
2. Uji Daya Nilai : baik
3. Penilaian realita : baik
g. Tilikan diri : Baik
Derajat :5
h. Taraf Kepercayaan : Dapat dipercaya
V. Foto Klinis Pasien
II. PEMERIKSAAN PENUNJANG
A. Pemeriksaan Laboratorium darah (25 April 2019)
Hb : 11,4 g/dl ()
Hct : 35 %
AL : 11,7 ribu/ul ()
AT : 418 ribu/ul
AE : 4,97 juta/ul
MCV : 70,94 /um ()
MCH : 22,9 pg ()
MCHC : 32,2 g/dl ()
Eosinofil: 1,73 %
Basofil : 0,65 %
Netrofil : 56,85 %
Limfosit : 32,53 %
Monosit : 8,25% ()
Laju endap darah: 51 mm/jam ()
hs-CRP : 3,54 mg/dl ()
Kesan: Anemia mikrositik hipokromik, peningkatan LED dan hs-CRP

B. Pemeriksaan MRI cervical polos (15 Maret 2019)


1. Gambaran shiny corner sign di superior dan inferior endplate vertebra
yang tervisualisasi menyokokng gambaran Ankylosing Spondilitis
2. Paracervical muscle spasme
3. Levoskoliosis servikal
4. Tidak tampak kompresi, listhesis, maupun stenosis

III. ASSESMENT
Ankylosing Spondilitis

IV. DAFTAR MASALAH


a. Masalah Medis
1. Stiffness dan nyeri pada regio cervical, thorakolumbosakral, dan hip
joints
2. Kifosis dengan paravetebral muscle spasm
3. Cepat lelah (fatigue)
4. Deformitas pada ekstremitas inferior dextra (eksorotasi hip joint)

b. Problem Rehabilitasi Medis


1. Fisioterapi : Stifness dan nyeri pada regio cervical,
thorakolumbosakral, dan hip joints, spasme otot
paravetebral, nyeri dan kaku pada ekstremitas inferior
dextra et sinistra, fatigue
2. Terapi okupasi : Penurunan aktivitas karena nyeri dan sitffness pada
ekstremitas superior et inferior dan regio vetebrae
cervical sampai sacrum.
3. Sosiomedik : Memerlukan bantuan orang lain untuk melakukan
aktivitas sehari-hari. Jamban di rumah pasien jenis
leher angsa (jongkok)
4. Orthesa-protesa : Deformitas pada spine (kifosis)
5. Psikologis : Beban pikiran akibat berkurangnya mobilitas dan
kemandirian pasien karena ankylosing spondilitis,
Usia pasien produktif.

V. PENATALAKSANAAN
A. Terapi Medikamentosa
1. Methotrexate 7,5 mg/minggu
2. Paracetamol 1000 mg po bila nyeri

B. Terapi Rehabilitasi Medis


1. Fisioterapi :
 Bed positioning
Tidur dalam posisi miring ke kanan/kiri dengan bed yang rata,
tanpa menggunakan bantal
 Latihan ROM aktif pasif
Latihan ROM pada ekstremitas superior, inferior, dan trunk untuk
mencegah kontraktur, memperkuat otot

 Latihan peregangan (stretching)


Head stretch, Chest dan shoulder stretch, paravetebral muscle
stretch, leg extensor dan pelvic flexor stretch
 Cryotherapi Lumbosacral
Mengurangi nyeri karena spasme otot paravetebral
 Transcutaneous electrical nerve stimulation lumbosacral
Mengurangi nyeri karena spasme otot paravetebral, relaksasi otot
paravetebral sehingga membantu pasien dalam latihan ROM dan
stretching.
 Latihan pernapasan
Untuk meningkatkan ekspansi thorax yang berkurang akibat kifosis,
mencegah komplikasi seperti fibrosis pulmo, serta memperbaiki
oksigenasi pasien. Latihan yang dianjurkan kepada pasien:
- Meningkatkan laju pernapasan dua kali lipat, inspirasi melalui
hidung dan ekspirasi melalui mulut
- Membiasakan untuk inspirasi melalui hidung dan ekspirasi
melalui mulut
- Pernapasan thoracoabdominal
- Deep breathing (inspirasi dalam melalui hidung, ekspirasi
perlahan melalui mulut)

2. Terapi okupasi :
Latihan ROM shoulder, lengan, dan jari-jari tangan (dextra et sinistra),
terkait kegiatan sehari-hari pasien dengan komputer (mengetik)

3. Sosiomedik :
Motivasi dan Edukasi pasien dan keluarga yang merawat agar tetap
semangat berlatih dan sabar. Membuat bangku kusus yang dilubangi
bagian tengahnya untuk mempermudah pasien buang air besar (BAB)
sehingga meminimalisir risiko jatuh.

4. Orthesa-Prosthesa:
Menggunakan thoracolumbosacral orthesa (TLSO) untuk support
beban tulang belakang selama beraktivitas sehari-sehari untuk
mencegah deformitas tulang belakang yang lebih lanjut. Memberikan
pasien alat bantu jalan dengan tripod, untuk mengurangi beban pada
ekstremitas inferior dextra.

5. Psikologis :
a. Memberikan dukungan mental, motivasi dan konseling pada
pasien untuk tidak menyerah dan putus asa dalam menghadapi
penyakitnya.
b. Edukasi pada pasien dan keluarga tentang penyakitnya.
c. Aktifitas rekreasional
VI. IMPAIRMENT, DISABILITY, DAN HANDICAP
Impairment :
 Ankylosing spondilitis
Disability :
 Keterbatasan melakukan ADL
Index Bartel
Mandi :1
Makan :1
Perawatan Diri :1
Berpakaian :0
BAK :1
BAB :1
Penggunaan Toilet :1
Transfer :1
Mobilitas :1
Total :8
Intepretasi : Ketergantungan Berat
Handicap :
 Tidak bisa bekerja di luar
 Kegiatan sosial terhambat

VII. GOAL
Tujuan Jangka Pendek
- Pemeliharaan sistem pernapasan dan postur tubuh
- Mencegah kontraktur dengan mobilisasi ROM dan gerak aktif pasif
general sebatas toleransi nyeri
- Pemeliharaan dan meningkatkan luas gerak sendi
- Meningkatkan kekuatan otot dengan memonitor kekuatan otot hingga
latihan aktif dapat dimulai
- Meningkatkan pengetahuan dan pemahaman keluarga mengenai
penyakit ankylosing spondilitis

Tujuan Jangka Panjang


- Mengembalikan fungsi social dan kepercayaan diri pasien
- Melaksanakan ADL semaksimal mungkin
- Meningkatkan aktifitas fisik dan fungsional
VIII. PROGNOSIS
Ad vitam :dubia ad bonam
Ad sanam :dubia ad malam
Ad fungsional :dubia
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
SPONDILITIS ANKILOSIS

A. Definisi
Spondilitis ankilosis (SA) merupakan penyakit inflamasi kronik,
bersifat sistemik, ditandai dengan kekakuan progresif, dan terutama
menyerang sendi tulang belakang (vertebra) dengan penyebab yang tidak
diketahui. Penyakit ini dapat melibatkan sendi-sendi perifer, sinovia, dan
rawan sendi, serta terjadi osifikasi tendon dan ligamen yang akan
mengakibatkan fibrosis dan ankilosis tulang. Terserangnya sendi sakroiliaka
merupakan tanda khas penyakit ini. Ankilosis vertebra biasanya terjadi pada
stadium lanjut dan jarang terjadi pada penderita yang gejalanya ringan. Nama
lain SA adalah Marie Strumpell disease atau Bechterew's disease1,2

B. Etiologi
Patogenesis pada SA tidak begitu dipahami, tetapi SA merupakan
penyakit yang diperantari oleh sistem imun, dibuktikan dengan adnya
peningkatan IgA dan berhubungan erat dengan HLA B27.3 Secara imunologi
terdapat interaksi antara class I HLA molecule B27 dan Limfosit T. Tumor
necrosis factor (TNF-α) teridentifikasi sebagai pengatur sitokin.4
Kecenderungan terjadinya SA dipercayai sebagai penyakit yang
diturunkan secara genetik, dan mayoritas (hampir 90%) penderita SA lahir
dengan suatu gen yang disebut dengan HLA B27. Pada pemeriksaan darah
dapat ditemukan adanya HLA B27 gene marker yang dapat menjelaskan
adanya hubungan HLA B27 dengan SA. Adanya gen HLA B27 ini hanya
menunjukan adanya kecenderungan yang meningkat terhadap terjadinya SA
ini meskipun ada faktor lain yang mempengaruhi seperti lingkungan. Akhir-
akhir ini, dua gen lain telah teridentifikasi berhubungan dengan SA, yaitu
ARTS1 dan Il23R yang mempunyai peran dalam mempengaruhi fungsi
imunitas.4
C. Epidemiologi
Di Amerika Serikat, prevalensi spondilitis ankilosis sebesar 100-200
per 100.000 penduduk, yang merupakan penyakit spondiloartitis terbanyak.
Namun, prevalensi spondilitis ankilosis di Jerman mencapai 1% hingga 5%
sedangkan di Prancis 0,49%.5
Spondilitis ankilosis biasanya mulai sejak dekade kedua hingga ketiga
kehidupan dengan median usia 23 tahun. Pada 5% pasien, gejala timbul pada
usia lebih dari 40 tahun. Usia yang rinci sulit ditentukan karena diagnosis
seringkali tidak dikenali selama bertahun-tahun.5
Prevalensi spondilitis ankilosis antara pria dan wanita berbanding 2:1
hingga 3:1. Spondilitis ankilosis pada wanita seringkali timbul lebih ringan
gejalanya.5

D. Faktor Risiko
Penyakit ini sering dimulai pada usia antara 20-40 tahun, tapi dapat
pula dimulai sebelum usia 10 tahun. Pada umumnya pria lebih banyak
menderita Pada umumnya pria lebih banyak menderita dari pada wanita
dengan perbandingan laki-laki : wanita kurang lebih 5:1, bahkan ada yang
menyebutkan 2-10:1. Faktor-faktor risiko ini meliputi riwayat keluarga
dengan spondilitis ankilosa dan jenis kelamin laki-laki.5,6,7.

E. Patofisiologi
Proses patofisiologi yang terjadi pada spondilitis ankilosa ditandai
dengan adanya inflamasi dan terjadinya fusi. Hal tersebut dapat diilustrasikan
dalam gambar dibawah ini:8,9.
Gambar 1. Tulang Belakang Normal dan Tulang Belakang dengan Spondilitis
Ankilosa8
Sedangkan manifestasi terjadinya spondilitis ankilosa ditunjukkan
dalam skema sebagai berikut:

Gambar 2. Mekanisme Spondilitis ankilosis8


F. Manifestasi Klinis
Gejala klinik Spondilosis Ankilosa (SA) dapat dibagi dalam
manifestasi skeletal dan ekstraskeletal. Manifestasi skeletal berupa artritis
aksis, artritis sendi panggul dan bahu, artritis perifer, entensopati,
osteoporosis, dan fraktur vertebra. Manifestasi ekstraskeletal berupa iritis
akut, fibrosis paru, dan, amiloidosis.9,10
Gejala utama SA adalah sakroilitis. Perlangsungannya secara gradual
dengan nyeri hilang timbul pada pinggang bawah dan menyebar ke bawah
2-5,
pada daerah paha. 7-13. Keluhan konstitusional biasanya sangat ringan
seperti anoreksia, kelemahan, penurunan berat badan, dan panas ringan yang
biasanya terjadi pada awal penyakit.9,10.

Manifestasi pada Tulang


Keluhan yang umum dan karakteristik awal penyakit ialah nyeri
pinggang dan sering menjalar ke paha. Nyeri biasanya menetap lebih dari 3
bulan, diserati kaku pinggang pada pagi hari, dan membaik dengan aktivitas
fisik atau bila dikompres air panas. Nyeri pinggang biasanya tumpul dan sukar
ditentukan lokasinya, dapat unilateral atau bilateral. Nyeri bilateral biasanya
menetap, beberapa bulan kemudiandaerah pinggang bawah menjadi kaku dan
nyeri. Neri ini lebih terasa di daerah bokong dan bertambah hebat bila batuk,
bersin, atau pinggang mendadak terpuntir. Inaktivitas lama akan menambah
nyeri dan kaku. Keluhan nyeri dan kaku pinggang merupakan keluhan dari
75% kasus di klinik. 9,10.
Nyeri tulang juksa artikular dapat menjadi keluhan utama, misalnya
entesis yang dapat menyebabkan nyeri di sambungan kostosternal, prosesus
spinosus, krista iliaka, trokanter mayor, tuberositas tibia, atau tumit. Keluhan
lain dapat berasal dari sendi kostovertebra dan manubrium sternal yang
menyebabkan keluhan nyeri dada, sering disaladiagnosiskan sebagai angina.
9,10..
Manifestasi di Luar Tulang
Manisfestasi di luar tulang terjadi pada mata, jantung, paru, dan
sindroma kauda ekuina. Manifestasi di luar tulang yang paling sering adalah
uveitis anterior akut, biasanya unilateral, dan ditemukan 25-30% pada pasien
SA dengan gejala nyeri, lakrimasi, fotofobia, dan penglihatan kabur.
Manifestasi pada jantung dapat berupa insufisiensi aorta, dilatasi pangkal
aorta,, jantung membesar, gangguan konduksi. Pada paru dapat terjadi
fibrosis, umumnya setelah 20 tahun menderita SA, dengan lokasi pada bagian
atas, biasanya bilateral, dan tampak bercak-bercak linier pada pemeriksaan
radiologis, menyerupai tuberkulosis. 9,10.

G. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik spondilitis ankilosis dapat ditemukan:9,10,11.

Sikap/postur tubuh
Selama perjalanan penyakitnya, sikap tubuh yang normal akan hilang.
Lordosis lumbal yang menghilang umumnya merupakan tanda awal. Apabila
vertebra cervical terserang, maka pergerakan leher akan terbatas serta
menimbulkan rasa nyeri. Leher penderita mengalami pergeseran ke depan dan
hal ini dapat dibuktikan dengan cara : penderita diminta berdiri tegak, apabila
terjadi pergeseran maka occiput tidak dapat menempel pada dinding. 9,10,11

Mobilitas tulang belakang


Pertama kali yang diperiksa adalah apakah ada keterbatasan gerak. Biasanya
ditemukan adanya keterbatasan gerak pada tulang vertebra lumbal, yang dapat
dilihat dengan cara melakukan gerakan fleksi badan ke depan, ke samping dan
ekstensi. 9,10,11
Tes Schober atau modifikasinya, berguna untuk mendeteksi keterbatasan
gerak fleksi badan ke depan. Caranya : penderita diminta untuk berdiri tegak,
pada prosesus spinosus lumbal V diberi tanda (titik), kemudian 10 cm lurus di
atasnya diberi tanda ke dua. Kemudian penderita diminta melakukan gerakan
membungkuk (lutut tidak boleh dibengkokkan). Pada orang normal jarak
kedua titik tersebut akan bertambah jauh; bila jarak kedua titik tersebut tidak
mencapai 15 cm, hal ini menandakan bahwa mobilitas tulang vertebra lumbal
telah menurun (pergerakan vertebra lumbal mulai terbatas). Di samping itu
fleksi lateral juga akan menurun dan gerak putar pada tulang belakang akan
menimbulkan rasa sakit. 9,10,11

Ekspansi dada
Penurunan ekspansi dada dari yang ringan sampai sedang, sering dijumpai
pada kasus ankylosing spondylitis stadium dini dan jangan dianggap sebagai
stadium lanjut. Pada pengukuran ini perlu dilihat bahwa nilai normalnya
sangat bervariasi dan tergantung pada umur dan jenis kelamin. Sebagai
pedoman yang dipakai adalah : ekspansi dada kurang dari 5 cm pada penderita
muda disertai dengan nyeri pinggang yang dimulai secara perlahan-lahan,
harus dicurigai mengarah ke adanya ankylosing spondylitis. Pengukuran
ekspansi dada ini diukur dari inspirasi maksimal sesudah melakukan ekspirasi
maksimal. 9,10,11

Enthesitis
Adanya enthesitis dapat dilihat dengan cara menekan pada tempat-tempat
tertentu antara lain : ischial tuberositas, troc-hanter mayor, processus spinosus,
costochondral dan manu-briosternal junctions serta pada iliac fasciitis
plantaris juga merupakan manifestasi dari enthesitis. 9,10,11
Sacroilitis
Pada sacroiliitis penekanan sendi ini akan memberikan rasa sakit, akan tetapi
hal ini tidak spesifik karena pada awal penyakit atau pada stadium lanjut
sering kali tanda-tanda ini tidak ditemukan. Pada stadium lanjut tidak
ditemukan nyeri tekan pada sendi sacroiliaca oleh karena telah terjadi fibrosis
atau, bony Ankylosis9,10,11

H. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang pada spondilitis ankilosis meliputi:
1. Pemeriksaan Laboraturium
Tidak ada uji diagnostik yang patognomonik. Peninggian laju
endap darah ditemukan pada 75% kasus, tetapi hubungannya dengan
keaktifan penyakit kurang kuat. Serum C reactive protein (CRP) lebih
baik digunakan sebagai petanda keaktifan penyakit. Kadang-kadang,
ditemukan peninggian IgA. Faktor rematoid dan ANA selalu negatif.
Cairan sendi memberikan gambaran sama pada inflamasi. Anemia
normositik-normositer ringan ditemukan pada 15% kasus.
Pemeriksaan HLA B27 dapat digunakan sebagai pembantu diagnosis.
9,10.

2. Pemeriksaan Radiologi
Kelainan radiologis yang khas pada SA dapat dilihat pada
sendi aksial, terutama pada sendi sakroiliaka, diskovertebral,
apofisial, kostovertebral, dan kostotransversal. Perubahan pada sendi
S2 bersifat bilateral dan simetrik, dimulai dengan kaburnya gambaran
tulang subkonral, diikuti erosi yang memberi gambaran mirip pinggir
perangko pos. Kemudian, terjadi penyempitan celah sendi akibat
adanya jembatan interoseus dan osilikasi. Setelah beberapa tahun,
terjadi ankilosis yang komplit. 9,10.
Beratnya proses sakroilitis terdiri dari 5 tingkatan berdasarkan
radiologis, yaitu tingkat 0 (normal), tingkat 1 (tepi sendi menjadi
kabur), tingkat 2 (tingkat 1 ditambah adanya sclerosis periartikuler,
jembatan sebagian tulang atau pseudo widening, tingkat 3 (tingkat 2
ditambah adanya erosi dan jembatan tulang), serta tingkat 4 (ankilosa
yang lengkap). 9,10.
Akan terlihat gambaran squaring (segi empat sama sisi) pada
kolumna vertebra dan osifikasi bertahap lapisan superfisial anulus
fibrosus yang akan mengakibatkan timbulnya jembatan di antara
badan vertebra yang disebut sindesmofit. Apabila jembatan ini sampai
pada vertebra servikal, akan membentuk bamboo spine. Keterlibatan
sendi panggul memperlihatkan adanya penyempitan celah sendi yang
konsentris, ketidakteraturan subkhondral, serta formasi osteofit pada
tepi luar permukaan sendi, baik pada asetabulum maupun femoral.
Akhirnya, terjadi ankilosis tulang dan pada sendi bahu
memperlihatkan penyempitan celah sendi dengan erosi. 9,10.

I. Penatalaksanaan Medikamentosa
Pengobatan dengan Anti Inflamasi Non-Steroid (AINS) untuk
mengurangi nyeri, mengurangi inflamasi, dan memperbaiki kualitas hidup
pasien. Indometasin 75-150 mg perhari memegang rekor terbaik. Apabila
pasien tidak mampu mentolerir efek samping seperti gangguan lambung atau
gangguan SSP berupa sakit kepala dan pusing, maka AINS yang lain dapat
dicoba. 10,11.
Pasien yang tidak responsif dengan indometasin atau AINS yang baru
lainnya dapat dicoba dengan fenilbutazon 100-300 mg per hari. Tingginya
insiden agranulositosis atau anemia aplastik akibat efek samping obat ini
dibandingkan dengan AINS yang lain perlu disampaikan pada pasien dengan
jumlah eritrosit dan leukosit harus selalu dimonitor. 9,10.
Preparat emas dan penisilamin telah digunakan pada pasien dengan
poliartritis perifer. Publikasi studi klinik terakhir dari Sulfasalazin 2-3 gram
perhari, baik nyeri maupun kelainan spinal. 4,5.
Bila keluhan sangat mengganggu dalam kegiatan sehari-hari dapat
dipertimbangkan untuk dilakukan artroplasti atau koreksi deformitas spinal.
Tindakan ini sangat berguna untuk mengurangi keluhan akibat deformitas
tersebut. 9,10.
Pengobatan lain dapat digunakan Biologic Response Modifiers
(Remicade® = Infliximab; Enbrel® = Etanercept; Kineret® = Anakinra;
Humira® = Adalimumab; Mabtera® = Rituximab). AS yang tidak responsif
dengan AINS dapat digunakan protokol “Step-down Bridge” menggunakan
kombinasi 6 imunosupresan intravena dan oral (SBP-6-IMNs). AS yang
refrakter terhadap AINS adalah AS yang laju endap darah (LED), C-Reactive
Protein (CRP) dan Skor BASDAI-nya tidak membaik atau memburuk secara
bermakna meskipun telah diterapi dengan paling sedikit 2 AINS yang berbeda
dalam kurun waktu sedikitnya 2 bulan. Pada AS dengan LED, CRP, dan
BASDAI skor tinggi (> 4), inflamasi autoimun harus ditekan seluruhnya
sesegera mungkin.11
Metode terapi standar protokol “Step-down Bridge” menggunakan
kombinasi 6 imunosupresan intravena dan oral harian intravena 5 kali per
minggu yang terdiri dari:11
 Siklofofamid + Metilprednisolon + 5 Fluro Urasil harian + Metrotreksat
mingguan + tanpa kortikosteroid oral (metilprednisolon, prednison, atau
prednisolon), atau
 Siklofofamid + 5 Fluro Urasil + Metrotreksat mingguan tanpa
Metilprednisolon dan kortikosteroid oral.
Jumlah maksimum sesi intravena harian adalah 5 kali per minggu untuk
mencegah dosis kumulatif mingguan yang tinggi dan efek samping. Pada AS
refrakter siklofosfamid, Ifosfamid adalah suatu analog yang menggantikan
siklofosfamid. Pada kasus-kasus resisten, pasien tidak lagi imuno-naif
terhadap Siklofosfamid + Metilprednison + Metrotreksat mingguan. Walau
demikian, pasien-pasien ini masih imuno-naif terhadap kombinasi baru
Ifosfamide + 5 flourourasil intravena. Ini dapat kembali menimbulkan remisi
pada AS yang refrakter terhadap Siklofofamid + Metilprednisolon +
Metrotreksat mingguan (komunikasi pribadi).11
Dosis intravena
1. Siklofosfamid 25 – 100 mg per sesi +
2. Metilprednison 0 – 125 mg per sesi +
2. Metrotreksat 5 – 15 mg per sesi sekali seminggu +
3. 5 Flurourasil 25 – 100 mg per sesi) +

Dosis minimum perlu digunakan pada pasien yang sensitif atau pada
mereka dengan berat badan yang sangat rendah (< 35 Kg). Pasien yang
sensitif mungkin menderita efek samping dengan dosis 100 mg siklofosfamid
dan 5 flurourasil, 15 mg metrotreksat, dan 125 mg metilprednison, tapi tidak
pada dosis 75, 50 atau 25 mg siklofosfamid, 5 flurourasil atau dosis 5 mg
metrotreksat. 11
Sebenarnya metilprednisolon tidak mutlak dibutuhkan untuk mencapai
DiC dan RworalDs pada Nr-AS, tetapi secara relatif dibutuhkan untuk
tapering-off dan mencapai DiC pada pasien yang masih menggunakan
kortikosteroid oral saat datang. Akan tetapi kombinasi CyC + 5FU + MPS +
MTX mingguan (SBP-6-IMNs) memberikan: efikasi yang lebih cepat,
mengurangi jumlah total frekuensi sesi intravena; mengurangi ketergantungan
pada kortikosteroid yang masih diminum pasien saat datang. 11

Penurunan kadar terapi IV secara bertahap (Tapering Off)


Jika LED turun menjadi < 40, < 30 dan < 25 mm/1 jam (pria < 30, <
20, dan < 15 mm/1 jam), sesi IV diturunkan masing-masing menjadi 3, 2 dan
1 kali per minggu. Setelah CRP < 3 mg%, BASDAI < 1, dan LED < 25
(wanita) atau < 15 mm (pria) Nr-AS dikatakan telah mencapai DiC.
Kemudian sesi IV diturunkan menjadi 1 kali tiap dua minggu, 1 kali tiap 4
minggu, 1 kali tiap 8 minggu dan dihentikan. Pada beberapa pasien dengan
AS yang telah lama diderita, dosis final pada minggu ke-12 mungkin
dibutuhkan.11

J. Penatalaksanaan Non-Medikamentosa

Fisioterapi
Tujuan utama fisioterapi pada SA adalah untuk memperbaiki mobiltas
dan kekuatan serta mencegah atau menurunkan terjadinya abnormalitas kurva
tulang belakang. Fisioterapi mempunyai peranan terhadap manajemen SA
namun tidak dapat menggantikan pengobatan medikamentosa. Pengobatan
dan fisioterapi adalah bersifat koplementer satusama lain.9
Prinsip pengobatan utama pada SA adalah dengan menghilangkan
nyeri, mengurangi inflamasi, latihan fisik untuk perbaikan kekuatan otot, dan
memelihara postur tubuh. Penderita dianjurkan tidur terlentang menggunakan
kasur yang agak keras dengan sebuah bantal tipis. Menggunakan bantal yang
tebal atau beberapa bantal sebaiknya dihindari. Pada pagi hari, mandi air
hangat, diikuti latihan fisik untuk penguatan otot-otot belakang (sesuai dengan
petunjuk dokter atau dokter fisioterapi). Hal ini sebaiknya dilakukan di rumah
secara teratur. Tidur tengkurap selama beberapa menit dilakukan beberapa kali
dalam sehari merupakan tindakan yang bermanfaat dalam menjaga pergerakan
ekstensi spinal. 6,10.
Latihan fisik penting dilakukan karena penyakit ini cenderung terjadi
kelainan berupa fleksi spinal yang progresif. Oleh karena itu, otot-otot
ekstensor spinal harus diperkuat. Manuver lain yang perlu dilakukan adalah
bernapas dalam dan gerakan fleksi lumbal yang isometrik. Posisi postur tubuh
harus diperhatikan setiap saat. Kursi dengan sandaran yang keras dianjurkan,
tetapi diutamakan lebih banyak berjalan dari pada duduk.6,10.
Berenang merupakan latihan fisik yang terbaik selama otot-otot masih
boleh menahan dalam keadaan ekstensi. Fusi spinal merupakan komplikasi
dari spondilitis. Karena itu, postur harus dipertahankan dan menghindari
terjadinya kontraktur dalam posisi fleksi dari bahu dan lutut. Penderita
dianjurkan setiap saat tegak, seolah-olah tumit, bokong, pundak, bahu, dan
belakang kepala selalu bersandar pada dinding.6,10.

Pembedahan
Pembedahan mungkin dibutuhkan dalam beberapa kasus SA.
Mekanisme yang menyebabkan terjadinya osifikasi ligamen dan sendi
sehingga terjadi fusi pada columna vertebrae belum dijelaskan secara rinci.
Sebagai dampak dari fusi columna vertebrae ini terjadi keterbatasan dalam
gerakan dan elatisitas. Munurunnya fleksibilitas dapat berakibat akan
terjadinya berbagai kelainan pada tulang belakang seperti fraktur dan
dislokasi, atlanto-axial dan atlanto-occipital subluxiation, deformitas tulang
belakang, stenosis tilang belakang, dan kelainan pinggul. Ketika komplikasi
ini terjadi. Tindakan pembedahan mungkin dapat dibutuhkan.6,10.

K. Prognosis
Prognosis dari SA sangat bervariasi dan susah diprediksi. Secara
umum, penderita lebih cenderung dengan pergerakan yang normal daripada
timbulnya restriksi berat. Keterlibatan ekstraspinal yang progresif merupakan
determinan penting dalam menentukan prognosis. Beberapa survei
epidemiologis menunjukkan bahwa apabila penyakitnya ringan, berkurangnya
pergerakan spinal yang ringan, dan berlangsung dalam 10 tahun pertama maka
perkembangan penyakitnya tidak akan memberat. Keterlibatan sendi-sendi
perifer yang berat menunjukkan prognosis buruk. Sebagian besar penderita
dengan SA memperlihatkan keluhan serta perlangsungan yang ringan dan
dapat dikontrol sehingga dapat menjalankan tugas dan kehidupan sosial
dengan baik.12
Secara umum, wanita lebih ringan dan jarang progresif serta lebih
banyak memperlihatkan keterlibatan sendi-sendi perifer. Sebaliknya, bamboo
spine lebih sering terlihat pada pria2-5,12-15. Terdapat dua gambaran yang
secara langsung berpengaruh terhadap morbiditas, mortalitas, dan prognosis.
Keduanya dianggap sebagai akibat dari trauma, baik yang tidak disadari
maupun trauma berat. Awalnya, terjadi lesi destruksi pada salah satu
diskovertebra, biasa terjadi pada segmen spinal yang bisa dilokalisir, dan
ditandai dengan nyeri akut atau berkurangnya tinggi badan yang mendadak.
Skintigrafi dan tomografi tulang memperlihatkan kelainan, baik elemen
anterior maupun posterior. Imobilisasi yang tepat dan diperpanjang dapat
memberikan penyembuhan pada sebagian besar kasus. Komplikasi kedua
yang menyusul trauma berat maupun yang ringan berupa fraktur yang dapat
menyebabkan koropresi komplit atau inkomplit.12
DAFTAR PUSTAKA

Taurog JD, Lipsky P. Ankylosing spondylitis, reactive arthritis, and


undifferentiated spondyloarthropathy. In: Isselbacher KJ, Braunwald E,
Wilson JD, Marthin JB, Fauci AS, Kasper DL (Eds): Harrison's Principles
of Internal Medicine, 13th ed., Mc Graw-Hill Inc., International Edition,
1998, 1, 1664-69.
Weisman MH. Spondyloarthropathies. In: Stein JH, Hutton JJ, Kohler PO (Eds):
Internal Medicine, 4th ed., Mosby Year Book Inc., Missouri 1994, pp
2454-62.
J Sieper, J Braun et al : Ankylosing Spondylitis , an overview,Ann Rheum Dis
2002; 61. (suppl 3) iii 8-18.
Ckou CT, Factors effecting pathogenesis of AS, Chin Med J (Engl) 2001; 114 :
212-13.
Braun J, Bollow M, Remlinger G, et al. Prevalence of spondyloarthropathies in
HLA-B27 positive and negative blood donors. Arthritis Rheum
1998;41:58-67.
6. Hadi S . Spondiloartropati seronegatif, dalam Prijanto Poerjoto, Sugiri, Sutikno
T (eds) Pendidikan Kedokteran berkelanjutan ke II Ilmu Penyakit Dalam.
Balai Penerbit Universitas Diponegoro. Semarang. 1997: 31-5.
Sunarto. Diagnosis dan Penatalaksanaan Spondiloartropati Seronegatif, dalam
Hirlan, M Husein Gasse , Lestariningsih (eds) Pertemuan Ilmiah Tahunan
VII Perhimpunan Dokter Ahli Penyakit Dalam Cabang Semarang. Balai
Penerbit Universitas Diponegoro. Semarang. 2004: 144-7.
Isbagio H, Spondiloartropati Seronegatif dalam Sarwono waspaji, D Muin
Rahman, LA Lesmana, Djoko Widodo, Hari Isbagio, Idrus Alwi, Unggul
Budi Husodo (eds) Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I edisi ketiga .
Balai Penerbit FKUI. Jakarta. 1996: 143-6
Weisman MH. Spondylopathies. In:Stein JH Hutton JJ. Kohler PO (eds): Internal
Me22dicine, 4th ed., Mosby Year Book Inc., Missouri 1994, pp 2454-62.
Isbagio H. Spondiloartropati Seronegatif. Dalam: Noer HMS, Waspadji S,
Rachman AM, et al (Eds): Buku Ajar Penyakit Dalam I 3rd., Balai Penerbit
FKUI, Jakarta 1996, 142-5
Klippel J H, Seronegative Spondyloarthropathies, Ankylosing Spondylitis in
Primer on The Rheumatic Desease Edition 12. Arthritis Fondation. Atlanta
Georgia. 2001: 250-4.
Darmawan John. Terobosan dalam Pengobatan Spondilitis Ankilosis yang
Refrakter Terhadap AINS memakai Protokol Step-down Bridge (Kombinasi
6 Imunosupresan Intravena dan Oral). Semarang. (Diunduh dari :
http://www.lupusarthritisindonesia.org/id/download/mi-07.pdf 10-8-2011 )

Anda mungkin juga menyukai