Anda di halaman 1dari 14

1.

Tinjauan Pustaka

A. Perilaku Seksual pada Remaja

Rendahnya pengetahuan tentang kesehatan reproduksi dan kontrol

dari orangtua dapat membuat remaja berperilaku seksual berisiko.

Menurut CDC (2019), dalam penelitian yang dilakukan pada beberapa

orang pelajar SMA di Amerika Serikat tahun 2011, sekitar 47,4% pelajar

pernah melakukan hubungan seksual (sexual intercourse), Sekita 33,7%

melakukan hubungan seksual dalam 3 bulan terakhir, 39,8% diantaranya

tidak menggunakan kondom saat melakukan hubungan seksual dan 76,7%

tidak menggunakan pil KB untuk mencegah kehamilan dimasa yang akan

datang dan 15,3% telah melakukan hubungan seksual dengan empat orang

atau lebih selama hidupnya.

1. Tahapan Perilaku Seksual

Tahapan perilaku seksual pranikah yaitu dari pola keintiman yang

dilakukan selama berpacaran yang bisa berakhir pada perilaku seks

pranikah dimulai dari berciuman, bercumbu ringan, bercumbu berat,

dan kemudian hubungan intim. Awalnya ciuman kering (dry kissing),

ciuman basah (wet kissing), menciumi leher (necking), setelah itu

saling menggesekkan alat kelamin (petting), mencoba menggesekkan

penis ke bibir vagina dan seterusnya hingga intercourse atau

bersenggama (CDC, 2019).

6
7

2. Faktor yang Mempengaruhi

Banyak faktor yang dapat mempengaruhi perilaku seksual

remaja. Secara umum perilaku seksual remaja dipengaruhi oleh

perubahan hormon seksual yang terjadi. Namun selain faktor

biologis, banyak hal, baik internal maupun eksternal, yang dianggap

mendorong remaja melakukan hubungan seks sebelum menikah di

bawah usia 20 tahun (PKBI DIY, 2018).

a. Faktor Internal

1) Dorongan seksual yang menggebu-gebu dan sulit dikendalikan.

2) Dorongan seksual afeksi (menyatakan/menerima ungkapan

kasih sayang melalui aktivitas seksual)

3) Dorongan agresif (keinginan untuk menyakiti diri/orang lain)

4) Terpaksa (diperkosa, dipaksa pacar)

5) Dorongan untuk mendapatkan fasilitas/material melalui

aktivitas tersebut

6) Dorongan atau keinginan untuk diakui dalam kelompok

7) Dorongan atau keinginan untuk mencoba atau membuktikan

fungsi atau kemampuan dari organ seksualnya

8) Kurangnya pemahaman remaja mengenai resiko melakukan

hubungan seks sebelum menikah di bawah usia 20 tahun.


8

b. Faktor Eksternal

1) Manusia memiliki kecenderungan untuk mengadopsi sikap

dan perilaku lingkungan sekitarnya, termasuk remaja yang

sedang dalam proses pencarian jati diri.

2) Kurangnya peran orang tua, baik dalam pemberian informasi

mengenai kesehatan reproduksi, komunikasi, dan proses

negosiasi antara orang tua dan anak.

3) Tekanan dari teman sebaya atau dari pacar

4) Pengaruh media seperti tayangan televisi, film porno, stensil,

dan sebagainya yang mempengaruhi aspek fisik dan psikologis

5) Tidak adanya ruang bagi remaja untuk mendapatkan akses

informasi yang benar mengenai kesehatan reproduksi dan

seksual

c. Faktor Pola Asuh Orang Tua

Perilaku remaja dipengaruhi perilaku orangtua dalam

mengasuh anak. Perilaku serta sikap orangtua dalam

berinteraksi dengan anaknya ini disebut pola asuh. Pola asuh

menjadi 4, yaitu authoritative, authoritarian, neglectful, dan

indulgent.

Pola asuh authoritative merupakan pola asuh yang

terbaik dalam mencetak anak yang percaya diri dan sukses di

sekolah. Pola asuh authoritarian mendidik anak menjadi


9

penurut dan takut mengemukakan pendapat. Sedangkan pola

asuh neglectful dan indulgent cenderung menjadikan anak tidak

menghargai orang lain dan tidak bertanggungjawab. Penelitian

yang dilakukan pada remaja di Amerika menemukan remaja

yang diberikan kebebasan penuh oleh orangtuanya memiliki

risiko tinggi terjadinya perilaku seksual. Namun penelitian ini

juga menemukan bahwa batasan keras terhadap remaja

meningkatkan terjadinya perilaku seksual, khususnya pada

remaja laki-laki. Demikian juga pola asuh overcontrolling dan

kurang disiplin berhubungan dengan peningkatan perilaku

seksual berisiko.

Dari hasil analisis univariat pola asuh orangtua

menunjukkan mayoritas pola asuh orangtua remaja dalam

penelitian Ungsianik & Yuliati (2017) pada Sekolah “M”

adalah authoritarian. Artinya, mayoritas orangtua remaja di

Sekolah “M” menerapkan pola asuh yang cenderung

memberikan batasan tegas terhadap anaknya. Di antara empat

pola asuh orangtua, hanya pola asuh permissive neglectful yang

memiliki kecenderungan perilaku seksual berisiko pada remaja.

Selisih angka tersebut juga terbilang cukup tinggi, yaitu 37,6%

(Ungsianik & Yuliati, 2017).


10

d. Faktor Sentuhan pada Daerah Erogenous

Selain itu penting juga untuk mengenali daerah

erogenous, yaitu merupakan sensor sentuhan atau tekanan yang

jika disentuh akan menyebabkan rangsangan seksual (PKBI

DIY, 2018). Misalnya: alat kelamin, bibir, pangkal paha. Daerah

erogenous bersifat individual, sehingga setiap orang memiliki

kepekaan yang berbeda-beda. Sebaiknya sentuhan pada daerah

erogenous dihindari karena akan membangkitkan dorongan

seksual. Jika dorongan seksual sudah meningkat, umumnya

kontrol diri maupun akal sehat mulai menurun fungsinya. Yang

lebih dominan adalah keinginan untuk memuaskan kebutuhan

seksual, akibatnya banyak hal-hal yang sebetulnya tidak

diinginkan terjadi (Mahmudah, Yaunin, & Lestari, 2016).

e. Faktor Pacaran

Pacaran bagi sebagian kalangan remaja sudah bukan hal

yang asing lagi. Bahkan banyak remaja memiliki anggapan

bahwa kalau masa remaja adalah masa berpacaran, jadi remaja

yang tidak berpacaran justru dianggap sebagai remaja yang kuno,

kolot, tidak mengikuti perubahan zaman dan dianggap kurang

pergaulan (Evi, Sudirman, & Suriah, 2016). Pacaran sehat sendiri

sering dimaknai sebagai suatu proses pacaran dimana keadaan

fisik, pada intinya dilarang kontak dalam tindakan kekerasan


11

fisik, tidak kontak fisik yang bisa memengaruhi pada perilaku

seksual yang berisiko (Evi et al., 2016).

Akibatnya sering terjadi perilaku seks di luar nikah,

dampak dari seks khususnya pada remaja, yaitu bahaya fisik yang

terdapat terjadi terkena bahaya kehamilan usia dini, infeksi

menular seksual, HIV dan AIDS.

Infeksi menular seksual (IMS) adalah penyakit yang dapat

ditularkan dari seseorang ke-pada orang lain melalui hubungan

seksual (WHO, 2018). Berdasarkan survei kesehatan reproduksi

yang dilakukan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana

Nasional (BKKBN), sekitar 92% remaja yang berpacaran, saling

berpegang-an tangan, ada 82% yang saling berciuman, dan 63%

remaja yang berpacaran tidak malu untuk saling meraba (petting)

bagian tubuh kekasih mereka yang seharusnya tabu untuk

dilakukan (Mahmudah et al., 2016). Ada perbedaan gaya pacaran

remaja sekarang de-ngan dulu. Remaja saat ini lebih permisif

untuk melakukan apapun demi menunjukkan keserius-an pada

pasangannya. Semua aktivitas itu yang akhirnya mempengaruhi

niat untuk melakukan seks lebih jauh (Evi et al., 2016).


12

3. Dampak Negatif Perilaku Seksual Pranikah pada Remaja

Perilaku seksual pranikah pada remaja ini dapat

menimbulkan dampak negatif bagi dirinya sendiri (Ungsianik &

Yuliati, 2017). Dampak negatif dari perilaku seksual pranikah

remaja seperti:

a. Kehilangan keperawanan dan keperjakaan,

b. Tertular dan menularkan penyakit menular seksual,

c. kawin paksa atau pernikahan usia dini,

d. kehamilan yang tidak diinginkan (DP2KBP3A, 2017).

4. Penyimpangan Perilaku Seksual pada Remaja

Anak – anak yang tidak mendapatkan bimbingan

seksual dengan benar dan layak dari orang tuanya, bisa saja

berakhir dengan memuaskan keingin tahuannya sendiri dengan

cara yang menyimpang. Pengetahuan yang didapat dengan cara

menyimpang tersebut bisa membuat mereka mengalami

penyimpangan dalam perilaku seksualnya (Retno, 2017).

Remaja yang memiliki penyimpangan seksual perlu

diawasi dengan seksama dengan melihat berbagai tanda yang

muncul pada perilakunya sehari – hari. Orang tua perlu melihat

perilaku seksual berbeda yang ditampilkan oleh anak atau

remaja untuk mengetahui adanya gangguan perilaku seksual

pada remaja tersebut, antara lain:


13

a. Anak yang menyentuh dirinya sendiri secara seksual,

menyebabkan kesakitan fisik atau kerusakan serius.

Contohnya menyentuh bagian pribadinya sehingga lecet dan

memar.

b. Anak yang sering berusaha untuk melihat orang lain ketika

sedang tidak berpakaian, misalnya mengintip ke bawah pintu

kamar mandi, terutama pada anak lain.

c. Melakukan interaksi seksual dengan anak lain dan

melibatkan perilaku yang tidak patut seperti menyentuh (

terutama dengan anak yang lebih muda), kontak oral dengan

genital dan bahkan hubungan intim.

d. Perilaku seksual yang melibatkan pemaksaan, agresi, dan

kekasaran yang merupakan kekhawatiran terbesar dari

gangguan perilaku seksual remaja.

Jika orang dewasa yang menyiksa anak secara seksual

mungkin saja memiliki penyimpangan seksual tertentu,

masalahnya akan sangat berbeda pada anak – anak. Perilaku

seksual anak – anak biasanya terjadi karena alasan lain, misalnya

ketika anak merasa gelisah atau marah, bereaksi atas pengalaman

trauma tertentu atau mengalami dampak kekerasan pada anak,

terlalu ingin tahu mengenai hal – hal yang berbau seksual,


14

mencari perhatian, mencoba mengintimidasi yang lain, atau

hanya mencoba menenangkan dirinya sendiri (Retno, 2017).

Gangguan perilaku seksual pada remaja yang bisa

terjadi ada beberapa macam:

a. Gangguan Identitas Gender (Gender Identity Disorder

atau GID)

Gangguan ini berupa terjadinya konflik antara

anatomi gender yang dimiliki seseorang remaja dengan

identitas gendernya sendiri yang dapat berawal pada masa

kanak – kanak. Anak – anak dengan gangguan ini merasakan

bahwa anatomi gender mereka merupakan sumber stress yang

intensif, dan merupakan anak yang menolak anatomi tubuh

mereka sendiri dengan kuat. Contohnya, anak laki – laki yang

menolak organ kelamin mereka sendiri merupakan perilaku

abnormal (Retno, 2017). Gangguan perilaku seksual pada

remaja ini dapat menghilang ketika anak sudah lebih dapat

menerima identitas gendernya sendiri, atau tetap berlangsung

hingga dewasa dan menyebabkan anak mengembangkan

identitas sebagai transeksual (Retno, 2017). Ciri –

ciri gangguan identitas gender yaitu:

1) Anak mengekspresikan berulang bahwa ia behasrat untuk

menjadi anggota gender yang bukan dirinya.


15

2) Sering memilih pakaian yang bukan diperuntukkan

gendernya

3) Memiliki fantasi yang terus menerus mengenai keinginan

untuk menjadi anggota gender lainnya.

4) Tidak nyaman dengan gendernya sendiri dan tidak ingin

berperilaku sesuai peran gendernya.

b. Fetishisme

Fetisihisme yang merupakan ketergantungan kepada

benda – benda mati yang dapat menimbulkan gairah seksual

pada seseorang, masuk ke dalam kategori parafilia,

suatu gangguan seksual dalam psikologi abnormal (Retno,

2017). Parafilia yaitu penyimpangan pada hal – hal yang

membuat seseorang tertarik, berupa ketertarikan tidak wajar

atau aktivitas seksual yang tidak pada umumnya. Gangguan

ini terjadi berulang dan intens setidaknya dalam waktu enam

bulan dengan adanya fantasi, dorongan atau perilaku yang

menimbulkan gairak seksual yang berhubungan dengan

penggunaan benda – benda mati (Retno, 2017). Fethihisme

bisa berawal dari masa remaja, bahkan sejak masa usia dini.
16

c. Fetishisme Transvetik

Gangguan perilaku seksual pada remaja berupa gairah

seksual ketika seorang laki – laki mengenakan pakaian

perempuan, walaupun ia tidak merasa ingin menjadi seorang

perempuan (Pedoman Penggolongan dan Diagnosis

Gangguan Jiwa di Indonesia 3 (1993), 2017). Gangguan ini

sudah berlangsung setidaknya selama enam bulan pada laki –

laki heteroseksual yang merasakan gairah sehubungan

dengan penggunaan pakaian lawan jenisnya. Gangguan ini

biasanya diawali dengan peristiwa penggunaan pakaian

wanita secara waktu tertentu, dan tidak sepanjang waktu.

Ketahuilah dampak psikologis akibat seks bebas, gangguan

seksual dalam psikologi abnormal, ciri – ciri pubertas,

dan macam – macam trauma psikologis (Retno, 2017).

d. Voyeurisme

Merupakan kondisi dimana seseorang mendapatkan

kepuasan secara seksual dengan melihat orang lain tanpa busana

atau sedang berhubungan seksual tanpa diketahui obyeknya

tersebut (Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa

di Indonesia 3 (1993), 2017). Dengan kata lain, mendapatkan

kepuasan seksual dengan cara mengintip orang lain. Walaupun

demikian, gangguan perilaku seksual pada remaja berupa


17

voyeurisme biasanya tidak disebabkan oleh keinginan untuk

melakukan kontak seksual dengan objeknya tersebut. Gangguan

ini pada umumnya berawal dari masa remaja, berakar dari

keingin tahuan yang tinggi (Retno, 2017).

e. Froterisme

Merupakan gangguan yang berkaitan dengan menyentuh

secara seksual pada bagian tubuh orang lain yang sama sekali

tidak menduga akan terjadinya hal tersebut (Pedoman

Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia 3

(1993), 2017). Walaupun belum pernah dilakukan penelitian

secara mendalam, namun ada indikasi jika ini merupakan salah

satu gangguan perilaku seksual pada remaja karena dapat dimulai

sejak masa remaja (Retno, 2017).


18

DAFTAR PUSTAKA

CDC. (2019). Sexual Risk Behaviors Can Lead to HIV, STDS, & Teen

Pregnancy | Adolescent and School Health | CDC. Retrieved May 19, 2019,

from https://www.cdc.gov/healthyyouth/sexualbehaviors/

Evi, E., Sudirman, S., & Suriah, S. (2016). PERILAKU SEKSUAL PADA REMAJA

YANG BERPACARAN DI SMA NEGERI 2 KAIRATU KABUPATEN

SERAM BAGIAN BARAT. Media Kesehatan Masyarakat Indonesia, 9(4),

250–256. https://doi.org/10.30597/MKMI.V9I4.463

Mahmudah, Yaunin, Y., & Lestari, Y. (2016). Faktor-Faktor yang Berhubungan

dengan Perilaku Seksual Remaja di Kota Padang. Jurnal Kesehatan Andalas,

5(2). Retrieved from http://jurnal.fk.unand.ac.id

Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia 3 (1993).

(2017). Retrieved from http://kink.onesearch.id/Record/IOS9.123456789-4236

PKBI DIY. (2018). Perilaku Seksual Remaja. Retrieved May 19, 2019, from

https://pkbi-diy.info/perilaku-seksual-remaja/

Retno, D. (2017). 5 Jenis Gangguan Perilaku Seksual Pada Remaja yang Abnormal -

DosenPsikologi.com. Retrieved May 19, 2019, from

https://dosenpsikologi.com/gangguan-perilaku-seksual-pada-remaja

Ungsianik, T., & Yuliati, T. (2017). POLA ASUH ORANG TUA DAN PERILAKU
19

SEKSUAL BERISIKO PADA REMAJA. Jurnal Keperawatan Indonesia, 20(3),

185. https://doi.org/10.7454/jki.v20i3.504

WHO. (2018). WHO | Adolescent health. WHO. Retrieved from

http://www.who.int/topics/adolescent_health/en/

Anda mungkin juga menyukai