Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bola mata manusia berbentuk bulat dengan panjang maksimal 24 mm. Bola
mata dibungkus oleh 3 lapis jaringan, salah satu di antaranya adalah retina. Retina
merupakan lapisan bola mata paling dalam yang merupakan lapis membran
neurosensoris yang akan merubah sinar menjadi rangsangan pada saraf optik dan
diteruskan ke otak. Retina berbatas dengan koroid dan sel pigmen epitel retina.
Terdapat rongga yang potensial antara retina dan koroid sehingga retina dapat
terlepas dari koroid yang disebut sebagai ablasio retina (retinal detachment).1

Ablasio retina adalah suatu keadaan terpisahnya sel kerucut dan batang
retina dari sel epitel pigmen retina. Lepasnya retina atau sel kerucut dan batang
dari koroid atau sel pigmen epitel akan mengakibatkan gangguan nutrisi retina
dari pembuluh darah koroid yang bila berlangsung lama akan mengakibatkan
gangguan fungsi yang menetap dan menyebabkan kebutaan.1,2

Ablasio retina merupakan kondisi yang mengancam penglihatan dengan


prevalensi diperkirakan 1 dari 10.000 populasi setiap tahunnya. Ablasio retina
regmatogenosa memiliki angka kejadian sekitar 12,4 kasus per 100.000
penduduk.3,4,5 Mata yang berbakat untuk terjadinya ablasio retina adalah mata
dengan miopia tinggi, pasca retinitis dan retina yang memperlihatkan degenerasi
di bagian perifer, 50% ablasi yang timbul pada afakia terjadi pada tahun pertama.1

Ablasio retina bila tidak segera dilakukan tindakan akan mengakibatkan


cacat penglihatan atau kebutaan. Sehingga, deteksi dan identifikasi faktor risiko
serta lesi predisposisi secara dini penting dilakukan untuk mencegah kecacatan
maupun kebutaan pada mata.

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Histologi Retina


Bola mata berbentuk bulat dengan panjang maksimal 24 mm. Bola mata di
bagian depan (kornea) mempunyai kelengkungan yang lebih tajam sehingga
terdapat bentuk dengan 2 kelengkungan yang berbeda.1

Bola mata dibungkus oleh 3 lapis jaringan, yaitu:1,6

1. Sklera, merupakan jaringan ikat yang kenyal dan memberikan bentuk


pada mata, merupakan bagian terluar yang melindungi bola mata.
Bagian terdepan sklera disebut kornea yang bersifat transparan yang
memudahkan sinar masuk ke dalam bola mata. Kelengkungan kornea
lebih besar disbanding sklera.
2. Jaringan uvea, merupakan jaringan vaskular. Jaringan sklera dan uvea
dibatasi oleh ruang yang potensial mudah dimasuki darah bila terjadi
perdarahan pada ruda paksa yang disebut perdarahan suprakoroid.

Jaringan uvea ini terdiri atas iris, badan siliar dan koroid. Pada iris
didapatkan pupil yang oleh 3 susunan otot dapat mengatur jumlah sinar
masuk ke dalam bola mata. Otot dilatator terdiri atas jaringan ikat
jarang yang tersusun dalam bentuk yang dapat berkontraksi yang
disebut sebagai sel mioepitel.

3. Retina, terletak paling dalam dan mempunyai susunan lapis sebanyak


10 lapis yang merupakan lapis membran neurosensoris yang akan
merubah sinar menjadi rangsangan pada saraf optik dan diteruskan ke
otak. Terdapat rongga yang potensial antara retina dan koroid sehingga
retina dapat terlepas dari koroid yang disebut ablasio retina.

2
a. Anatomi Retina
Retina atau selaput jala, merupakan bagian mata yang mengandung
reseptor yang menerima rangsangan cahaya. Retina merupakan selembar tipis
jaringan saraf yang semitransparan dan multilapis yang melapisi bagian dalam
dua per tiga posterior dinding bola mata. Retina membentang ke depan hampir
sama jauhnya dengan korpus siliare dan akhirnya di tepi ora serrata. Pada
orang dewasa, ora serrata berada sekitar 6,5 mm di belakang garis Schwalbe
pada sistem temporal dan 5,7 mm di belakang garis ini pada sisi nasal.
Permukaan luar retina sensorik bertumpuk dengan membran Bruch, khoroid,
dan sklera. Retina menpunyai tebal 0,1 mm pada ora serrata dan 0.23 mm pada
kutub posterior. Ditengah-tengah retina posterior terdapat makula. Di tengah
makula terdapat fovea yang secara klinis merupakan cekungan yang
memberikan pantulan khusus bila dilihat dengan oftalmoskop.1,6

Gambar 1. Anatomi Retina6

Retina berbatas dengan koroid dengan sel pigmen epitel retina dan terdiri
atas lapisan:1
1. Lapis fotoreseptor merupakan lapis terluar retina yang terdiri atas sel
batang yang mempunyai bentuk ramping dan sel kerucut.
2. Membran limitan eksterna yang merupakan membran maya.

3
3. Lapis nukleus luar, merupakan susunan lapis nukleus sel kerucut dan
batang
Ketiga lapis di atas avaskular dan mendapat metabolisme dari kapiler
koroid.
4. Lapis pleksiform luar, merupakan lapis aselular dan merupakan
tempat sinapsis sel fotoreseptor dengan sel bipolar dan sel horizontal.
5. Lapis nukleus dalam, merupakan tubuh sel bipolar, sel horizontal dan
sel Muller. Lapis ini mendapat metabolisme dari arteri retina sentral.
6. Lapis pleksiform dalam, merupakan lapis aselular tempat sinaps sel
bipolar, sel amakrin dengan sel ganglion.
7. Lapis sel ganglion yang merupakan lapis badan sel dari neuron kedua.
8. Lapis serabut saraf, merupakan lapis akson sel ganglion menuju ke
saraf optik. Di dalam lapisan-lapisan ini terletak sebagian besar
pembuluh darah retina.
9. Membran limitan interna, merupakan membran hialin antara retina
dan badan kaca.

Gambar 2. Bagan Skematik Mata Manusia dengan Pembesaran pada Retina6,7

4
Gambar 3. Gambaran Mikroskopik Lapisan Retina7

Warna retina biasanya jingga, kadang pucat pada anemia dan iskemia,
merah pada hiperemia. Pembuluh darah di dalam retina merupakan cabang arteri
oftalmika, arteri retina sentral masuk ke retina melalui papil saraf optk yang akan
memberikan nutrisi pada retina dalam. Lapisan luar retina atau sel kerucut dan
batang mendapat nutrisi dari koroid. Retina menerima darah dari dua sumber:
khoriokapiler yang berada tepat di luar membrana Bruch, yang mendarahi
sepertiga luar retina, termasuk lapisan pleksiformis luar dan lapisan inti luar,
fotoreseptor, dan lapisan epitel pigmen retina, serta cabang-cabang dari arteri
retina sentralis yang memperdarahi dua per tiga sebelah dalam.1,6,7

2.2 Definisi Ablasio Retina

Ablasio retina adalah suatu keadaan terpisahnya sel kerucut dan batang
retina dari sel epitel pigmen retina. Pada keadaan ini, sel epitel pigmen masih
melekat erat dengan membran Bruch. Lepasnya retina atau sel kerucut dan batang
dari koroid atau sel pigmen epitel akan mengakibatkan gangguan nutrisi retina
dari pembuluh darah koroid yang dapat mengancam penglihatan dan bila

5
berlangsung lama akan mengakibatkan kebutaan dan gangguan fungsi yang
menetap.1,2,3 Sesungguhnya, antara sel kerucut dan sel batang retina tidak terdapat
suatu perlekatan struktural dengan koroid atau pigmen epitel, sehingga merupakan
titik lemah yang potensial untuk lepas secara embriologis.1

Gambar 4. Ablasio Retina3

2.3 Epidemiologi Ablasio Retina

Ablasio retina adalah kondisi yang mengancam penglihatan dengan angka


kejadian sekitar 1 dari 10.000 populasi tiap tahunnya. Sebagian besar, populasi
umum di Amerika Serikat memiliki robekan pada retina dan 6% di antaranya
memiliki lubang atrofik jinak asimptomatik tanpa disertai gejala patologi dan
tidak menyebabkan ablasio retina.3 Sumber lain menunjukkan bahwa kejadian
ablasio retina idiopatik di AS berdasarkan usia sekitar 12,5 kasus per 100.000
penduduk per tahun atau sekitar 28.000 kasus tiap tahunnya. Kelompok tertentu
memiliki prevalensi yang lebih tinggi daripada yang lain. Pasien dengan miopia
tinggi (>6 dioptri) dan individu dengan afakia (pengangkatan katarak tanpa
implan lensa) memiliki risiko lebih tinggi. Ekstraksi katarak yang diperberat oleh
hilangnya vitreous selama operasi dapat meningkatkan kejadian ablasio retina
hingga 10%.4

Seiring dengan bertambahnya usia, ablasio retina (RD) menjadi semakin


umum terjadi. Ablasio retina biasanya terjadi pada orang berusia 40-70 tahun.

6
Namun, cedera paintball pada anak-anak dan remaja dapat menjadi penyebab
umum cidera mata, termasuk ablasio retina traumatik.4

2.4 Klasifikasi Ablasio Retina

Dikenal 3 bentuk ablasio retina, yaitu:1,4

1. Ablasio retina regmatogenosa


2. Ablasio retina eksudatif
3. Ablasio retina traksi (tarikan)

a. Ablasio Retina Regmatogenosa


1. Definisi
Pada ablasio retina regmatogenosa, ablasio terjadi akibat adanya
robekan pada retina sehingga cairan masuk ke belakang antara sel pigmen
epitel dengan retina. Terjadi pendorongan retina oleh badan kaca cair
(fluid vitreous) yang masuk melalui robekan atau lubang pada retina ke
rongga subretina sehingga mengapungkan retina dan terlepas dari lapis
epitel pigmen koroid.1,8,9

2. Etiologi dan Faktor Risiko


Penyebab paling umum dari ablasio retina regmatogenosa adalah
degenerasi badan vitreous (vitreous body).8 Pelepasan badan vitreous
posterior adalah penyebab paling sering yang dapat menyebabkan
pembentukan robekan pada retina.9
Ablasio retina regmatogenosa terjadi pada mata yang mempunyai
faktor predisposisi untuk terjadi ablasio retina. Trauma hanya merupakan
faktor pencetus untuk terjadinya ablasio retina pada mata yang berbakat.
Mata yang berbakat untuk terjadinya ablasio retina adalah mata dengan
miopia tinggi, pasca retinitis, katarak, trauma dan retina yang
memperlihatkan degenerasi di bagian perifer, 50% ablasi yang timbul pada
afakia terjadi pada tahun pertama.1,8

7
3. Klasifikasi
Ablasio retina regmatogenosa dapat diklasifikasikan berdasarkan
patogenesis, morfologi dan lokasi.8
a. Berdasarkan patogenesisnya
1. Tears, disebabkan oleh traksi vitreoretina dinamik dan memiliki
predileksi di superior dan lebih sering di temporal daripada nasal.
2. Holes, disebabkan oleh atrofi kronik dari lapisan sensori retina,
dengan predileksi di daerah temporal dan lebih sering di superior
daripada inferior, dan lebih berbahaya dari tears.
b. Berdasarkan morfologi
1. U-tearsm, terdapat flap yang menempel pada retina di bagian
dasarnya.
2. Incomplete U-tears, dapat berbentuk L atau J
3. Operculated tears, seluruh flap robek dari retina
4. Dialyses, robekan sirkumferensial sepanjang ora serrata
5. Giant tears.

Gambar 5. Morfologi Robekan pada Ablasio Retina Regmatogenosa8

c. Berdasarkan Lokasi
1. Oral, berlokasi pada vitreous base
2. Post oral, berlokasi di antara batas posterior dari vitreous base
dan equator
3. Equatorial

8
4. Post equatorial: di belakang equator
5. Macular, di fovea.

4. Patofisiologi
Ablasio retina regmatogenosa terjadi akibat adanya rhegma atau
robekan pada lapisan retina sehingga cairan vitreous masuk ke dalam
ruang subretina. Pada tipe ini, gaya yang mencetuskan lepasnya perlekatan
retina melebihi gaya yang mempertahankan perlekatan retina. Tekanan
yang mempertahankan perlekatan retina, antara lain tekanan hidrostatik,
tekanan onkotik, dan transpor aktif. Hal yang mempertahankan perlekatan
retina yaitu (1) Tekanan intraokular memiliki tekanan hidrostatik yang
lebih tinggi pada vitreus dibandingkan koroid. (2) Koroid memiliki
tekanan onkotik yang lebih tinggi karena mengandung substansi yang
lebih dissolved dibandingkan vitreus. (3) Pompa pada sel epitel pigmen
retina secara aktif mentranspor larutan dari ruang subretina ke koroid.
Robekan retina terjadi sebagai akibat dari interaksi traksi dinamik
vitreoretina dan adanya kelemahan di retina perifer dengan faktor
predisposisi nya yaitu degenerasi. Synchysis, yaitu pada traksi vitreoretina
dinamik, terjadi likuefaksi dari badan vitreus yang akan berkembang
menjadi lubang pada korteks vitreus posterior yang tipis pada fovea.
Cairan synchytic masuk melalui lubang ke ruang retrohialoid. Akibatnya
terjadi pelepasan permukaan vitreus posterior dari lapisan sensori retina.
Badan vitreus akan menjadi kolaps ke inferior dan ruang retrohialoid terisi
oleh cairan synchitic. Proses ini dinamakan acute rhegmatogenous PVD
with collapse (acute PVD).1,9
Ablasio retina regmatogenosa juga dapat terjadi sebagai akibat dari
degenerasi badan vitreous. Badan vitreous hampir seluruhnya (98%)
mengandung air dan distabilkan oleh kolagen fibril yang meluas ke lapisan
dalam retina. Degenerasi vitreous telah dimulai sejak tahun pertama
kehidupan. Seiring dengan bertambahnya usia, kolagen fibril akan
mengalami pengerasan. Hilangnya elastisitas vitreous secara pogresif

9
menyebabkan pemisahan vitreous dari retina. Proses ini digambarkan
sebagai pelepasan vitreous posterior (Posterior Vitreal Detachment).
Robekan yang disebabkan oleh PVD biasanya berbentuk huruf U,
berlokasi di superior fundus dan sering berhubungan dengan perdarahan
vitreus sebagai hasil dari ruptur pembuluh darah retina perifer.8,9

Gambar 6. Struktur Anatomi Mata Normal dan Ablasio Retina. a) Mata


normal dengan badan vitreous yang utuh. b) dan c) Mata dengan ablasio
retina regmatogenosa. Traksi pada vitreous menyebabkan robekan di
retina sehingga cairan memasuki ruang subretinal yang menyebabkan
terjadinya ablasio retina.8

Sebagian besar, robekan terjadi di daerah perifer retina. Hal tersebut


dapat berhubungan dengan degenerasi retina perifer. Terdapat berbagai
macam degenerasi, antara lain:8,9
a. Degenerasi lattice
Biasa ditemukan pada pasien dengan sindrom Marfan, sindrom
Stickler, sindrom Ehler-Danlos. Ditandai dengan bentuk retina yang

10
sharply demarcated, circumferentially orientated spindle shaped
areas. Biasanya terdapat bilateral dan lebih sering di daerah temporal
dan superior.
b. Degenerasi snailtrack
Degenerasi ini berbentuk snowflakes atau white frost like
appearance.

c. Degenerasi retinoschisis
Pada degenerasi ini terjadi pemisahan antara lapisan sensori
retina menjadi 2 lapisan, yaitu lapisan koroidal dan lapisan vitreus.
Kejadian ini banyak berhubungan dengan hipermetropia.
d. “White-with-pressure”, “White-without-pressure”.

Gambar 7. Degenerasi Vitreoretinal8


5. Manifestasi Klinis
Tanda dini retina mengancam untuk lepas adalah adanya floater atau
biasa disebut sebagai Muscae Volitantes (benda kecil berterbangan) di
depan lapang penglihatan, disusul pijaran kilat terang disertai turunnya
penglihatan. Penyebabnya adalah penipisan retina dan terjadinya trauma.1,8

11
Ablasio retina akan memberikan gejala terdapatnya gangguan penglihatan
yang kadang-kadang terlihat sebagai tabir yang menutup dan terdapatnya
riwayat pijaran api (fotopsia) pada lapangan penglihatan. Ablasio retina
yang berlokalisasi di daerah superotemporal sangat berbahaya karena
dapat mengangkat makula. Penglihatan akan turun secara mendadak bila
lepasnya retina mengenai makula lutea.1 Selanjutnya, melalui pemeriksaan
oftalmologis dapat ditemukan adanya gambaran khas berupa Tobacco
Dust atau Schaffer Sign yang merupakan robekan retina pada
funduskopi.1,8

b. Ablasio Retina Eksudatif


1. Definisi
Ablasio retina eksudatif terjadi akibat tertimbunnya eksudat di
bawah retina dan mengangkat retina. Pada kondisi ini, tidak terjadi
robekan atau tarikan pada retina. Penimbunan cairan subretina sebagai
akibat keluarnya cairan dari pembuluh darah retina dan koroid
(ekstravasasi).1,9

2. Etiologi dan Faktor Risiko


Kerusakan permeabilitas vaskular koroid dan disfungsi epitel pigmen
retina akibat proses inflamasi dan degeneratif adalah kondisi patologis
utama yang dapat menyebabkan ablasio retina eksudatif.1,10 Kelainan ini
juga dapat terjadi pada skleritis, koroiditis, penyakit Coat, tumor
retrobulbar, radang uvea, idiopati dan toksemia gravidarum.1 Penelitian
juga menunjukkan bahwa ablasio retina eksudatif 7 kali lebih sering terjadi
pada wanita dengan gangguan hipertensi pada kehamilan, sindrom
HELLP, preeklampsia dan eklampsia.11,12 Hipoksia retina pada anemia
aplastik juga telah dikaitkan dengan kejadian ablasio retina eksudatif.13

12
3. Patofisiologi
Dalam kondisi normal, cairan mengalir dari ruang vitreous ke
koroid. Arah aliran dipengaruhi oleh hiperosmolaritas relatif koroid
terhadap vitreous dan epitel pigmen retina yang secara aktif memompa ion
dan air dari vitreous ke dalam koroid. Ablasio retina eksudatif ditandai
dengan adanya akumulasi cairan pada ruang subretina dimana tidak terjadi
robekan retina dan traksi. Asal cairan ini dari pembuluh darah retina,
koroid, atau keduanya. Hal ini dapat terjadi pada penyakit vaskular, radang
atau neoplasma pada retina, epitel berpigmen dan koroid dimana cairan
bocor keluar pembuluh darah dan terakumulasi di bawah retina.9
Selama epitel pigmen retina mampu memompa cairan yang bocor ini
ke sirkulasi koroid, tidak ada akumulasi dalam ruang subretina dan tidak
akan terjadi ablasio retina. Akan tetapi, jika proses berlanjut dan aktivitas
pompa epitel pigmen normal terganggu atau jika aktivitas epitel pigmen
berkurang karena hilangnya epitel pigmen atau penurunan suplai
metabolik (seperti iskemia), kemudian cairan mulai berakumulasi dan
terjadi ablasio retina. Tipe ablasio retina ini dapat juga disebabkan oleh
akumulasi darah pada ruang subretina (ablasio retina hemoragika).1,9

Gambar 8. Patofisiologi Ablasio Retina Eksudatif9

4. Manifestasi Klinis

Gejala dapat berupa berkurangnya penglihatan dari ringan sampai


berat. Pasien mungkin juga mengeluhkan adanya merah dan nyeri pada
mata. Ablasi ini dapat hilang atau menetap bertahun-tahun setelah
penyebabnya berkurang atau hilang.1,9

13
c. Ablasio Retina Traksi
1. Definisi
Ablasio retina traksional terjadi akibat adanya tarikan (traksi) oleh
jaringan parut pada badan kaca yang menyebabkan retina terangkat dari
epitel pigmennya sehingga terjadi ablasio retina. Ablasio tipe ini
merupakan jenis tersering kedua setelah ablasio retina regmatogenosa.1,9,14

2. Etiologi dan Faktor Risiko


Penyebab utama dari ablasio retina tipe traksi yaitu retinopati
diabetes proliferatif, retinopathy of prematurity, proliferative sickle cell
retinopathy, trauma dan perdarahan badan kaca akibat bedah atau
infeksi.1,14

3. Patofisiologi

Pada ablasio retina traksi, tarikan muncul secara aktif dengan


menarik retina sensorik menjauhi epitel pigmen di bawahnya dari adanya
membran vitreosa, epiretina atau subretina yang terdiri dari fibroblas dan
sel glia atau sel epitel pigmen retina. Pada ablasio retina akibat traksi pada
diabetes, kontraksi korpus vitreum menarik jaringan fibrovaskular dan
retina di bawahnya ke arah anterior menuju dasar korpus vitreum. Pada
awalnya, pelepasan mungkin terbatas di sepanjang arcade-arkade vaskular,
tetapi dapat terjadi perkembangan sehingga kelainan melibatkan retina
midperifer dan makula.9,14

Gambar 9. Patofisiologi Ablasio Retina Traksi9

14
4. Manifestasi Klinis

Ablasio retina karena traksi khas memiliki permukaan yang lebih


konkaf dan cenderung lebih lokal, biasanya tidak meluas ke ora seratta.
Pada ablasio ini, lepasnya jaringan retina akibat tarikan jaringan parut pada
badan kaca mengakibatkan penglihatan turun secara perlahan tanpa
disertai rasa sakit.1,9,14

2.5. Diagnosis Ablasio Retina


Diagnosis ablasio retina ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
oftalmologi dan pemeriksaan penunjang.1,8,9,15
a. Anamnesis
Gejala yang sering dikeluhkan penderita adalah:1,8,9,15
1. Floaters (terlihatnya benda melayang-layang) yang terjadi karena
adanya kekeruhan di vitreous oleh adanya darah, pigmen retina
yang lepas atau degenerasi vitreous itu sendiri. Penderita juga
melihat adanya tabir atau bayangan yang datang dari perifer
(biasanya dari sisi nasal) meluas dalam lapang pandang. Tabir ini
bergerak bersama-sama dengan gerakan mata.
2. Photopsia/Light Flashe (kilatan cahaya) tanpa adanya sumber
cahaya di sekitarnya, yang umumnya terjadi sewaktu mata
digerakkan dalam keremangan cahaya atau dalam keadaan gelap.
3. Penurunan tajam penglihatan. Pasien mengeluh penglihatannya
sebagian seperti tertutup tirai yang semakin lama semakin luas.
Pada keadaan yang lebih lanjut, dapat terjadi penurunan tajam
penglihatan yang berat.
4. Pasien melihat seperti ada tirai tipis berbentuk parabola yang naik
perlahan-lahan dari mulai bagian bawah bola mata dan akhirnya
menutup pandangan.
5. Selain itu, dari anamnesis perlu ditanyakan adanya riwayat trauma,
riwayat pembedahan sebelumnya (seperti ekstraksi katarak,
pengangkatan corpus alienum intraokuli), riwayat penyakit mata

15
sebelumnya (uveitis, perdarahan vitreus, ambliopia, glaukoma dan
retinopati diabetik), riwayat keluarga dengan penyakit mata serta
penyakit sistemik yang berhubungan dengan ablasio retina,
misalnya diabetes, tumor, leukemia, eklamsia dan prematuritas.

b. Pemeriksaan Fisik (Pemeriksaan Oftalmologi)1,8,9,15


1. Pemeriksaan visus. Tajam penglihatan akan sangat terganggu bila
makula lutea ikut terangkat.
2. Pemeriksaan lapang pandang. Akan terjadi defek lapang pandang
seperti tertutup tabir dan dapat terlihat skotoma relatif sesuai
dengan kedudukan ablasio retina.
3. Pemeriksaan slit lamp; anterior segmen biasanya normal,
pemeriksaan vitreous untuk mencari tanda pigmen atau “Tobacco
Dust”, ini merupakan patognomonis dari ablasio retina pada 75%
kasus.

Gambar 10. Tobacco Dust pada Ablasio Retina Regmatogenosa8

4. Pemeriksaan tekanan bola mata. Pada ablasio retina, tekanan


intraokuli menurun dan dapat meninggi bila telah terjadi
neovaskular glaukoma pada ablasi yang telah lama.
5. Pemeriksaan funduskopi. Retina yang mengalami ablasio
berwarna pucat dan tampak sebagai membran abu-abu merah

16
muda yang menutupi gambaran vaskuler koroid. Gambaran
koroid yang normal tidak tampak. Terlihat retina dengan lipatan-
lipatan/lekukan-lekukan bewarna putih dan bentuk yang berubah-
ubah bila kepala digerakkan. Lipatan ini menetap bila disebabkan
tarikan oleh badan kaca, walaupun kedudukan kepala berubah.
Terlihat pembuluh darah retina yang berkelok-kelok sesuai
dengan lekukan retina. Bila bola mata bergerak akan terlihat
retina yang terlepas bergoyang.
Pada ablasio yang rata, dengan oftalmoskop tampak retina
tidak bergelombang, hanya sedikit berubah warna menjadi warna
abu-abu seperti awan, kadang-kadang gambaran koroid masih
terlihat. Pembuluh darahnya berwarna lebih gelap, lebih berkelok-
kelok dan refleks cahaya (-).1,8

A B C
Gambar 11. Gambaran Klinis Ablasio Retina pada Pemeriksaan Funduskopi. A.
Ablasio Retina Regmatogenosa. B. Ablasio Retina Eksudatif. C. Ablasio Retina
Traksi9

c. Pemeriksaan Penunjang13,14,15
1. Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk mengetahui adanya penyakit
penyerta antara lain glaukoma, diabetes melitus, maupun kelainan darah.
2. Pemeriksaan ultrasonografi dilakukan bila retina tidak dapat tervisualisasi
oleh karena perubahan kornea, katarak, atau perdarahan.

17
3. Teknik pencitraan seperti foto orbita, CT scan, atau MRI tidak
diindikasikan untuk membantu diagnosis ablasio retina tetapi dapat
dibutuhkan untuk mendeteksi benda asing intraokuli dan tumor.

2.6. Diagnosis Banding

Penyakit utama yang merupakan diagnosis banding ablasio retina khususnya


tipe regmatogenosa adalah retinoschisis. Retinoschisis menyebabkan skotoma
absolut sedangkan ablasio retina menyebabkan skotoma relatif. Tobaco dust dan
atau perdarahan jarang ditemukan pada vitreus dengan retinoschisis sedangkan hal
tersebut sering ditemukan pada ablasio retina. Retinoschisis memiliki permukaan
yang halus dan biasanya muncul berbentuk kubah. Sebalikannya ablasio retina
muncul dengan permukaan yang tidak rata. Pada kasus ablasio retina yang lama,
retina dapat muncul halus dan tipis hampir sama dengan retinoschisis. Pada
ablasio retina yang lama, biasanya epitel pigmen retina di bawah garis demarkasi
dan makrosit mengalami atrofi sedangkan pada retinoschisis normal.9,15
Degenerasi makula eksudatif juga menyerupai tampilan pada ablasio retina
eksudatif. Pada degenerasi makula eksudatif, membrane neovaskular koroid yang
bersifat patologis berkembang di bawah retina. yang dapat menyebabkan
kebocoran pada cairan dan pembuluh darah. Pada kondisi ini, pasien dapat
mengeluhkan gejala berupa pandangan buram dan kesulitan dalam membaca.9

2.7. Tatalaksana

Retina mendapatkan oksigen dan nutrien dari koroid yang mendasarinya


(lapisan vaskuler). Saat ablasio retina muncul, retina yang lepas mulai mengalami
disfungsi dan akhirnya nekrosis (mati) yang merupakan akibat apabila retina tidak
dikembalikan pada tempatnya semula pada koroid. Oleh karena itu, ablasio retina
merupakan tindakan darurat di mana retina yang terlepas harus segera dikenali
dan diberikan penanganan yang cepat dan tepat. Apabila robekan retina ditemukan
sebelum ablasio terjadi, hal tersebut dapat ditangani dan dicegah agar retina tidak
terlepas lebih lanjut. Pengobatan yang diberikan secara cepat akan

18
mengurangkaan gejala permanen. Biasanya, hasil pembedahan akan baik.
Penyembuhan dapat terjadi hingga berbulan-bulan.1,15
Pengobatan pada ablasio retina adalah pembedahan. Sebelum pembedahan,
pasien dirawat dengan mata ditutup. Pembedahan dilakukan secepat mungkin dan
sebaiknya antara 1-2 hari. Pengobatan ditujukan untuk melekatkan kembali bagian
retina yang lepas dengan krioterapi atau laser. Krioterapi ini dapat berupa:1,9,15

a. Krioterapi permukaan (surface diatermy)


b. Krioterapi setengah tebal sklera (partial penetrating diatermy) sesudah
reseksi sklera.

Hal ini dapat dilakukan dengan/tanpa mengeluarkan cairan subretina.


Pengeluaran dilakukan di luar daerah reseksi dan terutama di daerah di mana
ablasio paling tinggi. Laser dapat digunakan untuk menangani robekan retina.
Laser tersebut dapat membuat “luka bakar” baru disekitar robekan yang pada
akhirnya akan membentuk jaringan parut dan menahan retina pada jaringan di
bawahnya. Hal ini mencegah cairan vitreus agar tidak masuk melalui robekan dan
melepaskan retina.1

Gambar 12. Penggunaan Laser pada Ablasio Retina

Berbagai teknik bedah lainnya, yaitu:

a. Retinopeksi pneumatik

Prosedur ini dilakukan untuk memperbaiki ablasio retina tipe


regmatogenosa khususnya yang memiliki robekan tunggal terletak di

19
bagian superior retina (straight forward rhegmatogenous retinal
detachment). Prosedur ini meliputi injeksi gelembung gas ke dalam bagian
tengah bola mata (kavitas vitreus) baik sebelum atau sesudah lubang pada
retina dirawat dengan laser atau cryoterapy untuk mempertahankan retina
pada posisinya dan menutup lubang secara permanen. Gelembung gas
tersebut harus diposisiskan di atas lubang agar dapat mencegah cairan
masuk ke lubang sementara retina menyembuh. Keuntungan utama dari
prosedur ini adalah dapat dilakukan di praktik dokter tanpa harus lama
menginap di rumah sakit dan juga dapat dihindari komplikasi dari prosedur
sclera buckling walaupun tentunya memiliki komplikasi tersendiri.
Sedangkan keburukannya adalah prosedur ini memerlukan posisi kepala
yang tetap selama 7-10 hari mendatang dan memiliki angka kesuksesan
yang lebih rendah dibandingkan prosedur sclera buckling.1,3,15

Gambar 13. Prosedur Retinopeksi Pneumatik15

b. Scleral buckling

Posedur pembedahan ini telah dipergunakan lebih dari 60 tahun dan


biasanya dipergunakan untuk menangani ablasio retina tipe
regmatogenosa. Operasi pemasangan scleral buckle merupakan prosedur
yang paling umum untuk memperbaiki ablasio retina. Prosedur ini meliputi
lokalisir posisi keseluruhan robekan retina, menangani semua robekan

20
retina dengan cryoprobe dan mempertahankan dengan menggunakan
gesper atau eksplan sklera (scleral buckle).1,3,15,16
Gesper yang digunakan biasanya adalah sebuah busa silikon atau
silikon padat. Tipe dan bentuk gesper bervariasi tergantung lokasi dan
jumlah robekan retina. Gesper tersebut dipasang pada dinding luar bola
mata (sklera) untuk menciptakan sebuah indentasi atau efek gesper di
dalam mata. Gesper diposisikan di bawah muskulus rektus sehingga dapat
menekan robekan retina dan secara efektif menutup robekan dan
dipertahankan pada tempatnya dengan jahitan yang minimalis pada sklera
mata. Setelah robekan tertutup, cairan di bawah retina biasanya secara
spontan akan kembali pada posisinya semula dalam 1 sampai 2 hari
(menghilangkan traksi vitreus). Pada banyak kasus dilakukan drainase
terhadap cairan yang berada di bawah retina pada bagian retina yang
terlepas dan kemudian menutup lubang yang terjadi dengan laser atau
cryoterapy.1,3,9,15,16

Gambar 14. Prosedur Scleral Buckling16

c. Vitrektomi

Prosedur ini dikenal juga dengan sebutan Trans Pars Plana


Vitrectomy (TPPV) dan telah digunakan sejak 20 tahun yang lalu untuk
menangani ablasio retina tipe traksi pada pasien diabetes tapi dapat juga

21
dipergunakan untuk ablasio retina tipe regmatogenosa khususnya kasus-
kasus yang berhubungan dengan traksi vitreus atau perdarahan pada
vitreus dengan melepaskan tarikan jaringan parut atau fibrosis di dalam
badan kaca.1,17
Prosedur tersebut meliputi pembuatan insisi kecil pada dinding bola
mata agar dapat memasukkan alat yang disebut vitrector ke dalam kavitas
vitreus (bagian tengah bola mata). Langkah pertama yang dilakukan adalah
menghilangkan vitreus humor menggunakan vitreus cutter. Kemudian
tergantung pada tipe dan penyebab ablasio retina, berbagai macam
instrumen (gunting, forcep, laser, dll) dan teknik (eksisi lingkaran yang
mengalami traksi, pertukaran gas-cairan, pemberian minyak silikon, dll)
dipergunakan untuk mengembalikan retina pada lapisan di bawahnya.
Pelepasan traksi vitreoretina, jika diperlukan penyuntikan perfluorocarbon
atau cairan dan udara/gas yang dapat mempertahankan posisinya, jika
dibutuhkan tamponade retina lebih lama.1,17

Gambar 15. Prosedur Vitrektomi17

2.8 Komplikasi

Ablasio retina dapat menimbulkan beberapa komplikasi, seperti glaukoma


neovaskular dengan ptisis bulbi. Bila retina tidak dapat direkatkan kembali, maka
mata akan terus menurun penglihatannya dan menyebabkan kebutaan. Komplikasi

22
pembedahan pada ablasio retina akan menimbulkan perubahan fibrotik pada
vitreous (vitreoretinopati proliferative/PVR), PVR dapat menyebabkan traksi pada
retina dan ablasio retina lebih lanjut.1,3,9

2.9 Prognosis
Prognosis tergantung luasnya robekan retina, jarak waktu terjadinya ablasio,
diagnosisnya dan tindakan bedah yang dilakukan. Terapi yang cepat memberikan
prognosis yang lebih baik. Prognosis lebih buruk bila mengenai makula atau jika
telah berlangsung lama. Jika makula melekat dan pembedahan berhasil
melekatkan kembali retina perifer, maka hasil penglihatan sangat baik dan
robekan yang lebih luas pada vitreus dapat dicegah. Jika makula lepas lebih dari
24 jam sebelum pembedahan, maka tajam penglihatan sebelumnya mungkin tidak
dapat pulih sepenuhnya. Namun, bagian penting dari penglihatan dapat kembali
pulih dalam beberapa bulan. Prognosis pasca bedah tergantung dari keadaan
makulanya, jika sudah terlepas biasanya hasil tidak sempurna, tetapi jika makula
masih melekat tindakan bedah harus segera dilakukan dan akan mendapatkan
hasil yang lebih baik.1,3,9

23
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Ablasio retina adalah keadaan terpisahnya sel kerucut dan batang retina dari
sel epitel pigmen retina yang mengakibatkan gangguan nutrisi retina dari
pembuluh darah koroid dan dapat mengancam penglihatan dan bila berlangsung
lama akan mengakibatkan kebutaan dan gangguan fungsi yang menetap.

Dikenal 3 bentuk ablasio retina, yaitu ablasio retina regmatogenosa, ablasio


retina eksudatif dan ablasio retina traksi (tarikan). Penyebab paling umum dari
ablasio retina regmatogenosa adalah degenerasi badan vitreous (vitreous body)
yang dapat menyebabkan pembentukan robekan pada retina. Ablasio retina
eksudatif terjadi akibat tertimbunnya eksudat di bawah retina dan mengangkat
retina, sedangkan ablasio retina traksional terjadi akibat adanya tarikan (traksi)
oleh jaringan parut pada badan kaca yang menyebabkan retina terangkat dari
epitel pigmennya.

Gejala yang sering dikeluhkan pasien meliputi floaters (terlihatnya benda


melayang-layang), photopsia/light flashe (kilatan cahaya) tanpa adanya sumber
cahaya di sekitarnya, penurunan tajam penglihatan dan pasien melihat seperti ada
tirai tipis yang berbentuk parabola.

Ablasio retina merupakan tindakan darurat di mana retina yang terlepas


harus segera dikenali dan diberikan penanganan yang cepat dan tepat agar retina
tidak terlepas lebih lanjut dan mencegah terjadinya komplikasi serta gejala
permanen. Pengobatan pada ablasio retina adalah pembedahan. Biasanya, hasil
pembedahan akan baik. Penyembuhan dapat terjadi hingga berbulan-bulan.

24
DAFTAR PUSTAKA

1. Ilyas, S dan Yulianti, S.R. (2017). Ilmu Penyakit Mata (Edisi Kelima).
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
2. Mattioli, S., Curti, S., Fazio, R.D., Cooke, R.M., Zanardi, F., Bonfiglioli,
R., Farioli, A. (2012). Occupational Lifting Tasks and Retinal Detachment
in Non-Myopics and Myopics: Extended Analysis of a Case-Control
Study. Safety and Health at Work; Vol. 3(1): 52–57.
3. Patel, S.J., Miller, A.M., Barash, A., Feldman B.H., Phelps, P.O., Karth,
P.A. (2015). Retinal Detachment. American Academy of Ophthalmology;
Vol. October 17.
4. Pandya, H.K. (2017). Retinal Detachment. Available from:
https://emedicine.medscape.com/article/798501-overview#a1 [Diakses
pada: 12 November 2017].
5. Wenick, A.S dan Baranano, D.E. (2012). Evaluation and Management of
Pediatric Rhegmatogenous Retinal Detachment. Saudi Journal of
Ophthalmology; Vol. 26: 255-263.
6. Hardy, R.A. (2010). Retina dan Tumor Intraokuler. In : Vaughan, D.G.,
Asbury, T., Riordan, E.P, John, W, Editor. Oftalmologi Umum Edisi 17.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
7. Dahl, A.A. (2017). Retina Anatomy. Available from:
https://emedicine.medscape.com/article/2019624-overview#a1 [Diakses
pada: 12 November 2017].
8. Feltgen, N dan Walter P. (2014). Regmatogenous Retinal Detachment-an
Ophthalmologic Emergency. Deutscher Arzteblatt International;Vol.3 (1-
2): 12-22.
9. Wu, L. (2017). Rhegmatogenous Retinal Detachment. Available from:
https://emedicine.medscape.com/article/1224737-overview [Diakses pada:
13 November 2017].
10. Saatci, A.O., Soylemezoglu, Z.O., Selver, O.E., Ecevit, M.C., Ada, E.
(2012). Unilateral, Recurrent Exudative Retinal Detachment in
Association with Pansinusitis. Bundesverband Deutscher Ophthalmo
Chirurgen; Vol.2: 1-3.
11. Pradeep, A.V., Rao, S., Kumar, R.R. (2014). Partial HELLP Syndrome
with Unilateral Exudative Retinal Detachment Treated Conservatively.
Saudi Journal of Ophthalmology; Vol.28: 329-331.
12. Chenkin, J., Heslop, C.L., Atlin, C.R., Romano, M., Jelic, T. (2016).
Bilateral Retinal Detachment Caused by Severe Preeclampsia Diagnosed

25
with Point-of Care Ultrasound. Canadian Journal of Emergency Medicine;
Vol.18(5): 395-398.
13. Meha, T., raja, A., Singh, S., Jaiswal, A.K. (2016). Bilateral Exudative
Retinal Detachment in a Case of Aplastic Anemia. Pediatric Oncall;
Vol.13(4): 1-3.
14. Dikopf, M.S., Patel, K.H., Setlur, V.J., Lim, J.L. (2015). Surgical
Outcomes of 25-Gauge Pars Plana Vitrectomy for Diabetic Tactional
Retinal Detachment. Eye; Vol.29(9): 1213-1219.
15. Kuhn, F dan Aylward, B. (2014). Rhegmatogenous Retinal Detachment: A
Reappraisal of Its Pathophysiology and Treatment. Ophthalmic Research;
Vol.51: 15-31.
16. Wilkinson, C.P., Feldman, B.H., Karth, P.A. (2015). Scleral Buckling for
Rhegmatogenous Retinal Detachment. American Academy of
Ophthalmology; Vol. October 17.
17. Mohamed, Y.H., Ono, K., Kinoshita, H., Uematsu, M., Tsuiki, E.,
Fujikawa, A., Kitaoka, T. (2016). Succes Rates of Vitrectomy in
Treatment of Rhegmatogenous Retinal Detachment. Journal of
Ophthalmology; Vol.2016: 1-9.

26

Anda mungkin juga menyukai