Anda di halaman 1dari 51

LAPORAN KASUS

BELAJAR BERDASARKAN MASALAH (BBM)


INTERPROFESSIONAL EDUCATION (IPE)

SKENARIO
“ Jauhi Virusnya, Rangkul Korbannya”

Oleh :
KELOMPOK IX

Muhamad Rifqi Maulidi 1610912310029


Erwinda Safitri 1610912220010
Ade Olga Oktaviana 1610912320001
Tri Maya Ayunda Putri 1610912220036
Yusril Gunawan 1610911110049
Nadiah 1610911120031
Stevi Sihaloho 1610911220049
Yuhyen 1710913210025
Siti Rohimah 1710913120010
Yunita 1710913120011

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARBARU
2019

LAPORAN KASUS
BELAJAR BERDASARKAN MASALAH (BBM)
INTERPROFESSIONAL EDUCATION (IPE)
SKENARIO
“ Jauhi Virusnya, Rangkul Korbannya “

Disusun Oleh :
KELOMPOK IX

Muhamad Rifqi Maulidi 1610912310029


Erwinda Safitri 1610912220010
Ade Olga Oktaviana 1610912320001
Tri Maya Ayunda Putri 1610912220036
Yusril Gunawan 1610911110049
Nadiah 1610911120031
Stevi Sihaloho 1610911220049
Yuhyen 1710913210025
Siti Rohimah 1710913120010
Yunita 1710913120011

Telah disahkan dan diterima dengan baik oleh :

Banjarbaru, November 2019


Koordinator Tutor,

Dr. dr. Triawanti, M.Kes Rismia Agustina, M.Kep


NIP. 197109121997022001 NIP. 198408122014042001

DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL........................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN............................................................... ii
DAFTAR ISI....................................................................................... iii

ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Skenario.................................................................... 1
B. Analisa Kasus............................................................. 1
BAB II TINJAUAN DAN ANALISIS
A.Tinjauan Kasus Berdasarkan Sasaran Belajar............. 27
B.Analisis Kasus Secara Mendalam dan Bersitasi......... 33
C.Rekomendasi dan Solusi............................................. 42
BAB III PENUTUP
A.Simpulan ..................................................................... 45
B.Saran............................................................................ 46
DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PEDAHULUAN

A. Skenario
“Jauhi Virusnya, Rangkul Korbannya”
Kasus HIV/AIDS di sebuah kabupaten selalu meningkat di setiap
tahunnya. Salah satu upaya yang dilakukan oleh dinas kesehatan setempat
melalui puskesmas adalah gencar melakukan skrining tes HIV terutama pada
ibu hamil sebagai kelompok berisiko. Dari 510 orang yang dites didapatkan 112
orang yang positif HIV. Umumnya mereka mengaku memiliki pasangan yang
tinggal berjauhan. Dari 112 orang tersebut, didapatkan 5 orang ibu hamil yang
terinfeksi HIV yang didampingi oleh petugas dan dirujuk ke layanan PDP
(pengobatan, dukungan dan perawatan). Akan tetapi, tidak semua patuh
menjalankan terapi karena takut menerima stigma dan diskriminasi, serta
belum merasakan gejala penyakitnya. Ibu hamil penderita HIV disarankan
untuk melakukan persalinan secara sectio caesaria di rumah sakit dan
mendapat pengobatan serta perawatan khusus. Asupan gizi yang baik juga
diperlukan. Selain itu juga dilakukan konseling, baik pada penderita maupun
keluarganya. Program pencegahan HIV/AIDS pada kelompok berisiko lain
dilakukan berupa promosi untuk menggunakan alat pelindung pada saat
melakukan hubungan seks berisiko, namun untuk program penjangkauan
belum dapat dilaksanakan secara optimal oleh dinas kesehatan. Kepala Dinas
Kesehatan kemudian mengundang berbagai profesi kesehatan dan profesi lain
yang terkait guna menanggulangi permasalahan tersebut.

B. Analisa Kasus
Langkah 1 Identifikasi Masalah
1. Skrining

1
2

Skrining atau deteksi dini adalah rangkaian prosedur yang dilakukan untuk
mendeteksi potensi gangguan kesehatan atau penyakit tertentu yang
mana dilakukan dalam masyarakat.
2. Stigma
Pandangan masyarakat dari sisi negatif
3. Sectio Caesaria
Adalah suatu persalinan buatan, dimana janin dilahirkan melalui suatu
insisi pada dinding perut dan dinding rahim dengan syarat rahim dalam
keadaan utuh serta berat janin diatas 1000 gram atau umur kehamilan > 28
minggu
4. Kelompok Berisiko
Kelompok yang berisiko terserang penyakit tertentu

Langkah 2 Daftar Masalah


1. Bagaimana skrining tes HIV pada kelompok berisiko?
Tes HIV idealnya dilakukan di laboratorium yang tersedia di fasilitas layanan
kesehatan. Jika layanan tes tidak tersedia di fasilitas tersebut, maka tes
dapat dilakukan di laboratorium rujukan. Metode tes HIV yang digunakan
sesuai dengan Pedoman Pemeriksaan Laboratorium HIV Kementerian
Kesehatan. Tes HIV wajib menggunakan reagen tes HIV yang sudah
diregistrasi dan dievaluasi oleh institusi yang ditunjuk Kementerian
Kesehatan, dapat mendeteksi baik antibodi HIV-1 maupun HIV-2. Tes cepat
harus dilakukan sesuai prosedur yang ditetapkan oleh pabriknya (ada dalam
kotak reagensia). Hasil tes cepat dapat ditunggu oleh pasien. Tes cepat
dapat dilakukan di luar sarana laboratorium, tidak memerlukan peralatan
khusus dan dapat dilaksanakan di fasilitas kesehatan primer oleh paramedis
terlatih. Tes cepat tidak dianjurkan untuk jumlah pasien yang banyak.
2. Kenapa ibu hamil diutamakan untuk melakukan skrining HIV?
Transmisi vertikal merupakan metode penularan infeksi HIV dari seorang
ibu kepada bayinya melalui salah satu tahapan yaitu pada saat intrauterin,
intrapartum, atau pasca-natal (saat menyusui). Transmisi vertikal berperan
3

sebagai metode penularan utama (92%) infeksi HIV pada anak berusia <13
tahun. Transmisi intrauterin terjadi melalui penyebaran hematogen
melewati plasenta atau ascending infection ke cairan dan membran amnion.
Transmisi saat persalinan terjadi melalui kontak mukokutan antara bayi
dengan darah ibu, cairan amnion, dan sekret servikovaginal saat melewati
jalan lahir. Transmisi saat persalinan juga dapat terjadi melalui ascending
infection dari serviks serta transfusi fetal maternal saat uterus berkontraksi
pada saat persalinan. Sehingga karena melihat dari resiko penularan antara
ibu hamil terhadap bayinya sangat tinggi yaitu 92% maka pada ibu hamil
perlu dilakukan skrining.
3. Apa tujuan pelayanan PDP dan bagaimanakah sistemnya?

4. Alasan Sectio Caesaria pada ibu hamil yang terdeteksi HIV?


Karena awal infeksi HIV biasanya terjadi dengan cara paparan cairan tubuh
yang berasal dari orang yang terinfeksi HIV dan persalinan dengan sectio
caesaria ini dinilai dapat meminimalkan terpaparnya janin terhadap darah
maternal akibat pecahnya selaput plasenta dan sekresi maternal atau saat
janin melewati jalan lahir.
5. Gizi yang diperlukan untuk ibu hamil yang terinfeksi HIV?
Gizi yang baik adalah penting buat kita semua, apalagi waktu hamil. Gizi
buruk terbukti meningkatkan angka penularan HIV dari ibu-ke-bayi. Gizi
yang baik membantu tubuh menyerang infeksi, mengurangi masalah
kelahiran (berat badan bayi rendah, kematian bayi), membantu khasiat
ARV, dan dapat mengurangi efek samping obat. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa ada manfaat pada Odha perempuan bila dipakai
tambahan vitamin waktu hamil. Multi-vitamin (vitamin B1, B2, B6, dan B12,
niacin, vitamin C, vitamin E, dan asam folat) diberi pada perempuan hamil
dapat memperpanjang masa tanpa gejala. Sebaliknya, manfaat penggunaan
tambahan vitamin A belum jelas, dan kelebihan tidak membantu
4

6. Apa kendala program pada kasus sehingga menjadi tidak optimal?


Salah satu program yang dilakukan selama penjangkauan adalah penilaian
perilaku beresiko yang diberikan sebagai upaya untuk memperkuat dan
membangun pelaksanaan pengurangan risiko infeksi HIV. Dalam Pedoman
Layanan Komprehensif HIV-AIDS & IMS Di Lapas, Rutan dan Bapas
dinyatakan bahwa pelayanan komprehensif berkesinambungan merupakan
upaya pemerintah untuk mendekatkan layanan terkait HIV/AIDS dan Infeksi
Menular Seksual kepada masyarakat yang membutuhkan. Pelaku pelayanan
komprehensif berkesinambungan dalam program penanggulangan
HIV/AIDS adalah ODHA termasuk keluarga, teman, warga masyarakat yang
peduli HIV / AIDS, lembaga pemerintah, lembaga non pemerintah dan pihak
swasta yang peduli HIV / AIDS. Keterlibatan stakeholders untuk
memberikan dukungan, bantuan dan pendampingan terhadap ODHA.
Peranan stakeholders ini sangat berpengaruh bagi keberlangsungan hidup,
kesehatan dan kesejahteraan ODHA. Tanpa keikutsertaan stakeholders
dalam pelayanan komprehensif berkesinambungan terhadap ODHA maka
program tidak akan berjalan secara optimal
7. Bagaimana menanggulangi permasalahan pada kasus?
Pokok-pokok kegiatan untuk menanggulangi kasus HIV/AIDS antara lain:
a. Kegiatan Pencegahan IMS dan HIV/AIDS
b. Komunikasi, Informasi, Edukasi
c. Surveilans / Monitoring dan evaluasi
d. Dukungan pengobatan dan perawatan
e. Testing dan Konseling
f. Pendidikan dan pelatihan
g. Penelitian dan pengembangan
h. Pelembagaan Program
i. Peraturan dan Perundangan Kerjasama internasional
8. Faktor-faktor apa yang menyebabkan ketidakpatuhan pada terapi ARV?
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan terapi adalah:
a. Fasilitas layanan kesehatan
5

Sistem layanan yang berbelit, sistem pembiayaan kesehatan yang


mahal, tidak jelas dan birokratik adalah penghambat yang berperan
sangat signifikan terhadap kepatuhan, karena hal tersebut
menyebabkan pasien tidak dapat mengakses layanan kesehatan
dengan mudah.
b. Karakteristik Pasien
Meliputi faktor sosiodemografi seperti umur, jenis kelamin, ras / etnis,
penghasilan, pendidikan dan faktor psikososial seperti kesehatan jiwa,
penggunaan napza, lingkungan dan dukungan sosial, pengetahuan dan
perilaku terhadap HIV dan terapinya.
c. Paduan terapi ARV
Meliputi jenis obat yang digunakan dalam paduan, bentuk paduan (FDC
atau bukan FDC), jumlah pil yang harus diminum, kompleksnya paduan
(frekuensi minum dan pengaruh dengan makanan), karakteristik obat
dan efek samping.
d. Karakteristik penyakit penyerta
Meliputi stadium klinis dan lamanya sejak terdiagnosis HIV, jenis infeksi
oportunistik penyerta, dan gejala yang berhubungan dengan HIV.
Adanya infeksi oportunistik menyebabkan penambahan jumlah obat
yang harus diminum sehingga mempengaruhi kepatuhan berobat pada
pasien.
e. Hubungan pasien dan tenaga kesehatan
Karakteristik hubungan pasien-tenaga kesehatan yang dapat
mempengaruhi kepatuhan meliputi: kepuasan dan kepercayaan pasien
terhadap tenaga kesehatan dan staf klinik, pandangan pasien terhadap
kompetensi tenaga kesehatan, komunikasi yang melibatkan pasien
dalam proses penentuan keputusan, nada afeksi dari hubungan
tersebut (hangat, terbuka, kooperatif, dll) dan kesesuaian kemampuan
dan kapasitas tempat layanan dengan kebutuhan pasien
9. Bagaimana epidemiologi HIV untuk saat ini?
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh World Organization (WHO) pada
tahun 2008, lebih dari 15,7 juta wanita dan 2,1 juta anak dibawah umur 15
6

tahun hidup dengan AIDS. Di Amerika Serikat sendiri, tercatat 71% terinfeksi
HIV terjadi pada wanita berumur 25 sampai 44 tahun dan 20% dari kasus
tersebut mengidentifikasi wanita berkulit hitam. Sebanyak 80% kasus
disebabkan oleh hubungan heteroseksual, 20% akibat terkontaminasi jarum
suntik dan sisanya melalui transfusi darah dan transmisi perinatal.
HIV tipe 1 lebih banyak ditemukan di Amerika Serikat, sedangkan HIV tipe 2
merupakan virus endemik di Afrika, Portugal dan Perancis. Meskipun
demikian, kedua jenis virus ini akan berkembang menjadi AIDS dan
menyebabkan kematian.
10. Bagaimana pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak?
 Menjalani terapi kombinasi atau terapi antiretroviral (highly active
antiretroviral therapy/HAART) selama masa kehamilan. Sekitar 1 dari 4
bayi yang lahir dari ibu yang positif mengidap HIV dan tidak menjalani
terapi ini akan tertular HIV.
 Bayi menerima pengobatan antiretroviral pada saat proses persalinan
dan setelah lahir.
 Menyusui bayi dengan ASI tetap disarankan oleh WHO, namun
diharapkan ibu menjalani pengobatan antiretroviral secara
berkelanjutan, untuk mencegah penularan HIV pada bayi.
Jika ibu dengan HIV telah mendapat pengobatan secara teratur
hingga virus tidak lagi terdeteksi dalam darah melalui pemeriksaan viral
load, maka ibu dapat dipertimbangkan untuk bisa melahirkan dengan
proses normal, tanpa meningkatkan risiko penularan HIV kepada bayi.
Namun pada sebagian kasus lain, dokter mungkin akan mememberikan
rekomendasi ibu hamil untuk melahirkan dengan operasi caesar untuk
mengurangi risiko penularan. Hal ini dilakukan jika sebelumnya sang ibu
tidak menjalani terapi kombinasi dan jika kadar virus masih dapat terdeteksi
dalam darah.
11. Apa dampak HIV/AIDS untuk kesehatan?
7

Gejala pertama dari HIV mirip dengan infeksi virus lainnya, yaitu:
 Demam
 Sakit kepala
 Kelelahan
 Nyeri otot
 Kehilangan berat badan
 Pembengkakan kelenjar getah bening di tenggorokan, ketiak, atau
pangkal paha
Jika HIV dibiarkan, kondisi ini bisa mengarah pada AIDS dengan gejala
yang lebih parah. Berikut berbagai gejala AIDS yang biasanya muncul,
yaitu:
 Sariawan, luka pada lidah atau mulut yang disebabkan oleh infeksi
jamur
 Infeksi jamur vagina yang parah atau berulang
 Penyakit radang panggul kronis
 Infeksi parah dan sering mengalami kelelahan ekstrem tanpa sebab,
bersamaan dengan sakit kepala dan/atau pusing
 Turunnya berat badan lebih dari 5 kg yang tidak disebabkan karena
olahraga atau diet
 Lebih mudah mengalami memar
 Diare yang lebih sering
 Sering demam dan berkeringat di malam hari
 Pembengkakan atau mengerasnya kelenjar getah bening di
tenggorokan, ketiak, atau pangkal paha
 Batuk kering terus-menerus
 Sering mengalami sesak napas
 Perdarahan pada kulit, mulut, hidung, anus, atau vagina tanpa
penyebab yang pasti
 Ruam kulit yang sering atau tidak biasa
8

 Mati rasa parah atau nyeri pada tangan dan kaki


 Hilangnya kendali otot dan refleks, kelumpuhan, atau hilangnya
kekuatan otot
 Kebingungan (linglung) atau perubahan kepribadian
12. Apa saja kebutuah psikososial dan spiritual untuk ODHA?
13. Apa peran dari setiap profesi kesehatan untuk ODHA?
*Peran Perawat dalam Pemberian ARV
Penggunaan obat ARV Kombinasi
1. Manfaat penggunaan obat dalam bentuk kombinasi adalah:
– Memperoleh khasiat yang lebih lama untuk memperkecil kemungkinan
terjadinya resistensi
– Meningkatkan efektifitas dan lebih menekan aktivitas virus. Bila timbul
efek samping, bisa diganti obat lainnya dan bila virus mulai resisten
terhadap obat yang sedang digunakan, bisa memakai kombinasi lain.
2. Efektivitas obat ARV kombinasi:
– ARV kombinasi lebih efektif karena mempunyai khasiat ARV yang lebih
tinggi dan menurunkan viral load lebih tinggi dibanding penggunaan satu
jenis obat saja.
– Kemungkinan terjadinya resistensi virus kecil, akan tetapi bila pasien lupa
minum obat dapat menimbulkan terjadinya resistensi
– Kombinasi menyebabkan dosis masing-masing obat lebih kecil, sehingga
kemungkinan efek samping lebih kecil.
a) Saat memulai menggunakan ARV
Menurut WHO tahun 2002, ARV bisa dimulai pada orang dewasa
berdasarkan kriteria sebagai berikut:
1. Bila pemeriksaan CD4 bisa dilakukan
Pasien stadium IV (menurut WHO), tanpa memperhatikan hasil tes CD4
Pasien stadium I, II, III (menurut WHO) dengan hasil perhitungan loimfosit
total < 200.
9

2. Bila pemeriksaan CD4 tidak dapat dilakukan:


Pasien stadium IV (menurut WHO), tanpa memperhatikan hasil hitung
limfosit total
Pasien stadium I, II, III (menurut WHO) dengan hasil perhitungan limfosit
total < 1000 – 1200/
3. limfosit total < 1000 – 1200/ dapat diganti dengan CD4 dan dijumpai
tanda-tanda HIV. Hal ini kurang penting pada pasien tanpa gejala (stadium I
menurut WHO) hendaknya jangan dilakukan pengobatan karena belum ada
petunjuk tentang beratnya penyakit
4. pengobatan juga dianjurkan untuk pasien stadium III yang lanjut,
termasuk kambuh, luka pada mulut yang sukar sembuh dan infeksi pada
mulut yang berulang dengan tidak memperhatikan hasil pemeriksaan CD4
dan limfosit total (Depkes, 2003).
b) Cara memilih obat
1. Pertimbangan dalam memilih obat adalah hasil pemeriksaan CD4, viral
load dan kemampuan pasien mengingat penggunaan obatnya.
Pertimbangan yang baik adalah memilih obat berdasarkan jadwal kerja dan
pola hidup.
2. Kebanyakan orang lebih mudah mengingat obat yang diminum sewaktu
makan

c) Efek samping obat


1. Efek samping jangka pendek adalah: mual, muntah, diare, sakit kepala,
lesu dan susah tidur. Efek samping ini berbeda-beda pada setiap orang,
jarang pasien mengalami semua efek samping tersebut. Efek samping
jangka pendek terjadi segera setelah minum obat dan berkurang setelah
beberap minggu. Selama beberapa minggu penggunaan ARV,
diperbolehkan minum obat lain untuk mengurangi efek samping.
10

2. Efek samping jangka panjang ARV belum banyak diketahui


3. Efek samping pada wanita: efek samping pada wanita lebih berat dari
pada pada laki-laki, salah satu cara mengatasinya adalah dengan
menggunakan dosis yang lebih kecil. Beberapa wanita melaporkan
menstruasinya lebih berat dan sakit, atau lebih panjang dari biasanya,
namun ada juga wanita yang berhenti sama sekali menstruasinya.
Mekanisme ini belum diketahui secara jelas.
d) Kepatuhan minum obat
1. Kepatuhan terhadap aturan pemakaian obat membantu mencegah
terjadinya resistensi dan menekan virus secara terus menerus.
2. Kiat penting untuk mengingat minum obat:
– Minumlah obat pada waktu yang sama setiap hari
– Harus selalu tersedia obat di tempat manapun biasanya pasien berada,
misalnya di kantor, di rumah, dll
– Bawa obat kemanapun pergi (di kantong, tas, dll asal tidak memerlukan
lemari es)
– Pergunakan peralatan (jam, HP yang berisi alarm yang bisa diatur agar
berbunyi setiap waktunya minum obat .
14. Bagaimana cara menghilangkan stigma negatif dari masyarakat?
Tempat layanan kesehatan yang diskriminatif : Lembaga yang diharapkan
memberikan perawatan dan dukungan, pada kenyataannya merupakan
tempat pertama di mana orang mengalami stigma dan diskriminasi.
Misalnya, memberikan mutu perawatan medis yang kurang baik, menolak
memberikan pengobatan. Masih saja ada rasa takut tertular yang
melatarbelakangi sikap-sikap tersebut. Contoh dari stigma dan diskriminasi
yang dihadapi mereka adalah: isolasi, pemberian label nama atau metode
lain yang mengidentifikasikan seseorang sebagai HIV positif, pelanggaran
kerahasiaan, perlakuan yang negatif dari staf, penggunaan kata-kata dan
11

bahasa tubuh yang negatif oleh pekerja kesehatan, juga akses yang
terbatas untuk fasilitas-fasilitas rumah sakit.
Akses untuk perawatan: ODHA seringkali tidak menerima akses yang sama
seperti masyarakat umum dan banyak yang juga tidak mempunyai akses
untuk pengobatan ARV, mengingat tingginya harga obat-obatan tersebut.
Bahkan ketika pengobatan ARV tersedia, beberapa kelompok mungkin
tidak bisa mengaksesnya, misalnya karena persyaratan tentang
kemampuan mereka untuk mengonsumsi sebuah zat obat, yang mungkin
terjadi pada kelompok pengguna narkoba suntikan.
Diskriminasi HAM: Penghilangan kesempatan ODHA untuk bekerja, dalam
pelayanan kesehatan bahkan perlakuan yang berbeda pada ODHA oleh
petugas kesehatan.
Peradilan moral yang tidak sesuai: Sikap yang menyalahkan ODHA karena
penyakitnya dan menganggap sebagai orang yang tidak bermoral serta
keengganan untuk melibatkan ODHA dalam suatu kelompok atau
organisasi. Termasuk juga penghilangan kesempatan ODHA untuk bekerja
dan membuka status HIV dan AIDS seseorang pada orang lain tanpa seizin
penderita.
Start small. Mulailah dari hal-hal kecil untuk membantu menurunkan
diskriminasi dan stigma pada ODHA, antara lain:
 Jadilah contoh yang baik. Terapkan apa yang sudah kita ketahui,
pikirkanlah kata-kata yang kita gunakan dan bagaimana
memperlakukan ODHA, lalu cobalah untuk mengubah pikiran dan
tindakanmu.
 Berbagilah pada orang lain mengenai hal-hal yang sudah kita ketahui
dan ajaklah mereka untuk membicarakan tentang stigma dan
bagaimana mengubahnya. Berikan pengertian bahwa stigma itu
melukai orang lain.
12

 Mengatakan stigma sebagai sesuatu yang “salah” dan “buruk” tidaklah


cukup. Bantulah orang yang bertindak melakukan perubahan. Setuju
pada tindakan yang harus dilakukan, mengembangkan rencana dan
lakukan.
15. Mengapakah keluarga harus terlibat dalam konseling kasus HIV?
Karena keluarga merupakan wadah yang dapat memberi dukungan
terutama dari orang tua. peran bagi keluarga itu sendiri adalah dengan
memberi dukungan kepada penderita berupa nasehat kepada penderita
agar tidak terlalu membebani diri dengan kondisi yang dialami saat ini,
memberi motivasi agar tetap semangat menjalani hidup dan mengingatka
penderita untuk tetap selalu meminum obat, mengingatkan atau
mengantar penderita untuk kontrol ke klinik VCT.

Langkah 3 Klarifikasi Masalah


1. Bagaimana skrining tes HIV pada kelompok beresiko?
Tes HIV idealnya dilakukan di laboratorium yang tersedia di fasilitas layanan
kesehatan. Jika layanan tes tidak tersedia di fasilitas tersebut, maka tes
dapat dilakukan di laboratorium rujukan. Metode tes HIV yang digunakan
sesuai dengan Pedoman Pemeriksaan Laboratorium HIV Kementerian
Kesehatan. Tes HIV wajib menggunakan reagen tes HIV yang sudah
diregistrasi dan dievaluasi oleh institusi yang ditunjuk Kementerian
Kesehatan, dapat mendeteksi baik antibodi HIV-1 maupun HIV-2. Tes cepat
harus dilakukan sesuai prosedur yang ditetapkan oleh pabriknya (ada
dalam kotak reagensia). Hasil tes cepat dapat ditunggu oleh pasien. Tes
cepat dapat dilakukan di luar sarana laboratorium, tidak memerlukan
peralatan khusus dan dapat dilaksanakan di fasilitas kesehatan primer oleh
paramedis terlatih. Tes cepat tidak dianjurkan untuk jumlah pasien yang
banyak.
2. Mengapa ibu hamil perlu melakukan skrining?
13

Transmisi vertikal merupakan metode penularan infeksi HIV dari seorang


ibu kepada bayinya melalui salah satu tahapan yaitu pada saat intrauterin,
intrapartum, atau pasca-natal (saat menyusui). Transmisi vertikal berperan
sebagai metode penularan utama (92%) infeksi HIV pada anak berusia <13
tahun. Transmisi intrauterin terjadi melalui penyebaran hematogen
melewati plasenta atau ascending infection ke cairan dan membran
amnion. Transmisi saat persalinan terjadi melalui kontak mukokutan antara
bayi dengan darah ibu, cairan amnion, dan sekret servikovaginal saat
melewati jalan lahir. Transmisi saat persalinan juga dapat terjadi melalui
ascending infection dari serviks serta transfusi fetal maternal saat uterus
berkontraksi pada saat persalinan. Sehingga karena melihat dari resiko
penularan antara ibu hamil terhadap bayinya sangat tinggi yaitu 92% maka
pada ibu hamil perlu dilakukan skrining.
3. Tujuan pelayanan PDP dan bagaimana sistemnya?
PDP merupakan singkatan dari perawatan, dukungan dan pengobatan
(Care, Support and Treatment), adalah suatu layanan terpadu dan
berkesinambungan untuk memeberikan dukungan baik aspek manajerial,
medis, psikologis maupun sosial yang bertujuan mengurangi atau
menyelesaikan permasalahan yang dihadapi ODHA selama perawatan dan
pengobatan. Layanan PDP baru berkembang di Indonesia sejak program 3
by 5 diluncurkan WHO pada tahun 2004. Meskipun layanan PDP dengan
skala kecil telah berjalan di kota besar sejak munculnya kasus HIV/AIDS,
pemerataan layanan PDP ke masyarakat berjalan secara bertahap. Pada
tahun 2004, pemerintah juga telah menetapkan 25 rumah sakit sebagai
pelaksana layanan PDP. Untuk meningkatkan kompetensi RS tersebut,
pemerintah telah melakukan pelatihan nasional baik untuk dokter,
perawat, konselor, serta tenaga kesehatan lain. Dengan semakin
meningkatnya kasus ODHA dan meningkatnya jumlah RS dan provinsi yang
melaporkan adanya kasus ODHA serta kebutuhan untuk meningkatkan
akses dan mutu layanan, pengembangan RS layanan PDP semakin
14

mendesak. Layanan PDP juga merupakan salah satu bentuk dari layanan
komprehensiv HIV dan IMS berkesinambungan. Pelaksanaaan PDP
diharapkan terstruktur baik dari segi struktur organisasi maupun
pembagian tugas dan kewajiban yang harus dijalankan. Penetapan lokasi
layanan dan penunjukan tim yang bertugas, menunjukan keseriusan
manajemen dalam memberikan layanan terhadap pasien ODHA yang
berobat ke rumah sakit. Hal ini perlu dicontoh oleh rumah sakit atau
penyedia layanan lainnya dalam melayani pasien ODHA.
4. Mengapa pada ibu hamil yang terinfeksi HIV disarankan melakukan
persalinan dengan sectio caesaria?
Karena awal infeksi HIV biasanya terjadi dengan cara paparan cairan tubuh
yang berasal dari orang yang terinfeksi HIV dan persalinan dengan sectio
caesaria ini dinilai dapat meminimalkan terpaparnya janin terhadap darah
maternal akibat pecahnya selaput plasenta dan sekresi maternal atau saat
janin melewati jalan lahir.
5. Apa saja gizi yang diperukan oleh ibu hamil yang terinfeksi HIV?
Gizi yang baik adalah penting buat kita semua, apalagi waktu hamil. Gizi
buruk terbukti meningkatkan angka penularan HIV dari ibu-ke-bayi. Gizi
yang baik membantu tubuh menyerang infeksi, mengurangi masalah
kelahiran (berat badan bayi rendah, kematian bayi), membantu khasiat
ARV, dan dapat mengurangi efek samping obat. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa ada manfaat pada Odha perempuan bila dipakai
tambahan vitamin waktu hamil. Multi-vitamin (vitamin B1, B2, B6, dan B12,
niacin, vitamin C, vitamin E, dan asam folat) diberi pada perempuan hamil
dapat memperpanjang masa tanpa gejala. Sebaliknya, manfaat
penggunaan tambahan vitamin A belum jelas, dan kelebihan tidak
membantu
6. Apa yang menjadi kendala program penjangkauan pada kasus sehingga
menjadi tidak optimal?
Salah satu program yang dilakukan selama penjangkauan adalah penilaian
perilaku beresiko yang diberikan sebagai upaya untuk memperkuat dan
15

membangun pelaksanaan pengurangan risiko infeksi HIV. Dalam Pedoman


Layanan Komprehensif HIV-AIDS & IMS Di Lapas, Rutan dan Bapas
dinyatakan bahwa pelayanan komprehensif berkesinambungan
merupakan upaya pemerintah untuk mendekatkan layanan terkait
HIV/AIDS dan Infeksi Menular Seksual kepada masyarakat yang
membutuhkan. Pelaku pelayanan komprehensif berkesinambungan dalam
program penanggulangan HIV/AIDS adalah ODHA termasuk keluarga,
teman, warga masyarakat yang peduli HIV / AIDS, lembaga pemerintah,
lembaga non pemerintah dan pihak swasta yang peduli HIV / AIDS.
Keterlibatan stakeholders untuk memberikan dukungan, bantuan dan
pendampingan terhadap ODHA. Peranan stakeholders ini sangat
berpengaruh bagi keberlangsungan hidup, kesehatan dan kesejahteraan
ODHA. Tanpa keikutsertaan stakeholders dalam pelayanan komprehensif
berkesinambungan terhadap ODHA maka program tidak akan berjalan
secara optimal
7. Bagaimana menanggulangi kasus HIV?
Pokok-pokok kegiatan untuk menanggulangi kasus HIV/AIDS antara lain:
j. Kegiatan Pencegahan IMS dan HIV/AIDS
k. Komunikasi, Informasi, Edukasi
l. Surveilans / Monitoring dan evaluasi
m. Dukungan pengobatan dan perawatan
n. Testing dan Konseling
o. Pendidikan dan pelatihan
p. Penelitian dan pengembangan
q. Pelembagaan Program
r. Peraturan dan Perundangan
s. Kerjasama internasional
8. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kepatuhan terapi?
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan terapi adalah:
f. Fasilitas layanan kesehatan
Sistem layanan yang berbelit, sistem pembiayaan kesehatan yang
mahal, tidak jelas dan birokratik adalah penghambat yang berperan
sangat signifikan terhadap kepatuhan, karena hal tersebut
16

menyebabkan pasien tidak dapat mengakses layanan kesehatan


dengan mudah.
g. Karakteristik Pasien
Meliputi faktor sosiodemografi seperti umur, jenis kelamin, ras / etnis,
penghasilan, pendidikan dan faktor psikososial seperti kesehatan jiwa,
penggunaan napza, lingkungan dan dukungan sosial, pengetahuan dan
perilaku terhadap HIV dan terapinya.
h. Paduan terapi ARV
Meliputi jenis obat yang digunakan dalam paduan, bentuk paduan (FDC
atau bukan FDC), jumlah pil yang harus diminum, kompleksnya paduan
(frekuensi minum dan pengaruh dengan makanan), karakteristik obat
dan efek samping.
i. Karakteristik penyakit penyerta
Meliputi stadium klinis dan lamanya sejak terdiagnosis HIV, jenis infeksi
oportunistik penyerta, dan gejala yang berhubungan dengan HIV.
Adanya infeksi oportunistik menyebabkan penambahan jumlah obat
yang harus diminum sehingga mempengaruhi kepatuhan berobat pada
pasien.
j. Hubungan pasien dan tenaga kesehatan
Karakteristik hubungan pasien-tenaga kesehatan yang dapat
mempengaruhi kepatuhan meliputi: kepuasan dan kepercayaan pasien
terhadap tenaga kesehatan dan staf klinik, pandangan pasien terhadap
kompetensi tenaga kesehatan, komunikasi yang melibatkan pasien
dalam proses penentuan keputusan, nada afeksi dari hubungan
tersebut (hangat, terbuka, kooperatif, dll) dan kesesuaian kemampuan
dan kapasitas tempat layanan dengan kebutuhan pasien
9. Bagaimana epidemiologi HIV saat ini?
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh World Organization (WHO)
pada tahun 2008, lebih dari 15,7 juta wanita dan 2,1 juta anak dibawah umur 15
tahun hidup dengan AIDS. Di Amerika Serikat sendiri, tercatat 71% terinfeksi
HIV terjadi pada wanita berumur 25 sampai 44 tahun dan 20% dari kasus
tersebut mengidentifikasi wanita berkulit hitam. Sebanyak 80% kasus
17

disebabkan oleh hubungan heteroseksual, 20% akibat terkontaminasi jarum


suntik dan sisanya melalui transfusi darah dan transmisi perinatal.
HIV tipe 1 lebih banyak ditemukan di Amerika Serikat, sedangkan HIV
tipe 2 merupakan virus endemik di Afrika, Portugal dan Perancis. Meskipun
demikian, kedua jenis virus ini akan berkembang menjadi AIDS dan
menyebabkan kematian.
10. Bagaimana pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak?
 Menjalani terapi kombinasi atau terapi antiretroviral (highly active
antiretroviral therapy/HAART) selama masa kehamilan. Sekitar 1 dari 4
bayi yang lahir dari ibu yang positif mengidap HIV dan tidak menjalani
terapi ini akan tertular HIV.

 Bayi menerima pengobatan antiretroviral pada saat proses persalinan


dan setelah lahir.
 Menyusui bayi dengan ASI tetap disarankan oleh WHO, namun
diharapkan ibu menjalani pengobatan antiretroviral secara
berkelanjutan, untuk mencegah penularan HIV pada bayi.
Jika ibu dengan HIV telah mendapat pengobatan secara teratur hingga
virus tidak lagi terdeteksi dalam darah melalui pemeriksaan viral load, maka
ibu dapat dipertimbangkan untuk bisa melahirkan dengan proses normal,
tanpa meningkatkan risiko penularan HIV kepada bayi.
Namun pada sebagian kasus lain, dokter mungkin akan mememberikan
rekomendasi ibu hamil untuk melahirkan dengan operasi caesar untuk
mengurangi risiko penularan. Hal ini dilakukan jika sebelumnya sang ibu tidak
menjalani terapi kombinasi dan jika kadar virus masih dapat terdeteksi dalam
darah
11. Dampak HIV/AIDS untuk kesehatan?
Gejala pertama dari HIV mirip dengan infeksi virus lainnya, yaitu:
 Demam
 Sakit kepala
18

 Kelelahan

 Nyeri otot

 Kehilangan berat badan

 Pembengkakan kelenjar getah bening di tenggorokan, ketiak, atau


pangkal paha

Jika HIV dibiarkan, kondisi ini bisa mengarah pada AIDS dengan gejala
yang lebih parah. Berikut berbagai gejala AIDS yang biasanya muncul, yaitu:

 Sariawan, luka pada lidah atau mulut yang disebabkan oleh infeksi jamur
 Infeksi jamur vagina yang parah atau berulang

 Penyakit radang panggul kronis

 Infeksi parah dan sering mengalami kelelahan ekstrem tanpa sebab,


bersamaan dengan sakit kepala dan/atau pusing

 Turunnya berat badan lebih dari 5 kg yang tidak disebabkan karena


olahraga atau diet

 Lebih mudah mengalami memar

 Diare yang lebih sering

 Sering demam dan berkeringat di malam hari

 Pembengkakan atau mengerasnya kelenjar getah bening di tenggorokan,


ketiak, atau pangkal paha

 Batuk kering terus-menerus

 Sering mengalami sesak napas


19

 Perdarahan pada kulit, mulut, hidung, anus, atau vagina tanpa penyebab
yang pasti

 Ruam kulit yang sering atau tidak biasa

 Mati rasa parah atau nyeri pada tangan dan kaki

 Hilangnya kendali otot dan refleks, kelumpuhan, atau hilangnya kekuatan


otot

 Kebingungan (linglung) atau perubahan kepribadian

12. Apa saja kebutuhan psikososial dan spiritual untuk HIV?


a. Spiritual
Keyakinan dan makna hidup
Pertanyaan mendasar pada dimensi ini adalah
1).apa arti penting hidup penderita
2). siapa yang telah memberikan arti hidup penderita sekarang.
Secara umum para penderita HIV/AIDS adalah mereka yang memiliki
kebiasaan tidak sehat seperti free seks dan pengguna narkoba jarum suntik.
Mereka adalah orang yang beragama, namun dalam kehidupannya mereka
masih melakukan hal-hal yang dilarang agama. Prinsip yang mereka pegang
sebelumnya adalah mencari kesenangan hidup sehingga melakukan free seks
atau mengkonsumsi narkoba suntik. Namun ketika terinfeksi HIV/AIDS ia
menjadi sadar bahwa perilakunya selama ini berakibat fatal yang merugikan
dirinya dan keluarganya. Sebelumnya mereka tidak pernah menghiraukan
bahaya free seks yang dilakukan kendati sebenarnya mereka juga sudah
mengetahuinya. Pasien HIV/AIDS yang umumnya para suami yang suka jajan
diluar cenderung akan memiliki kesadaran untuk berhenti dari kebiasaannya
tersebut. Namun, berbeda dengan para WTS yang cenderung tidak
mempedulikan penyakitnya, dimana mereka tetap melakukan pekerjaan
seperti biasanya meskipun mereka telah positif HIV/AIDS.
20

b. Dukungan sosial:
1. dukungan emosional, pasien merasa nyaman; dihargai; dicintai; dan
diperhatikan
2. dukungan informasi, meningkatnya pengetahuan dan penerimaan pasien
terhadap sakitnya
3. dukungan material, bantuan / kemudahan akses dalam pelayanan
kesehatan pasien
13. Bagaimana peran setiap profesi kesehatan untuk ODHA?
a. Peran Perawat dalam Pemberian ARV
Penggunaan obat ARV Kombinasi
1. Manfaat penggunaan obat dalam bentuk kombinasi adalah:
– Memperoleh khasiat yang lebih lama untuk memperkecil kemungkinan
terjadinya resistensi
– Meningkatkan efektifitas dan lebih menekan aktivitas virus. Bila timbul
efek samping, bisa diganti obat lainnya dan bila virus mulai resisten
terhadap obat yang sedang digunakan, bisa memakai kombinasi lain.

2. Efektivitas obat ARV kombinasi:


– ARV kombinasi lebih efektif karena mempunyai khasiat ARV yang lebih
tinggi dan menurunkan viral load lebih tinggi dibanding penggunaan satu
jenis obat saja.
– Kemungkinan terjadinya resistensi virus kecil, akan tetapi bila pasien lupa
minum obat dapat menimbulkan terjadinya resistensi
– Kombinasi menyebabkan dosis masing-masing obat lebih kecil, sehingga
kemungkinan efek samping lebih kecil.
d) Saat memulai menggunakan ARV
Menurut WHO tahun 2002, ARV bisa dimulai pada orang dewasa berdasarkan
kriteria sebagai berikut:
21

1. Bila pemeriksaan CD4 bisa dilakukan


Pasien stadium IV (menurut WHO), tanpa memperhatikan hasil tes CD4
Pasien stadium I, II, III (menurut WHO) dengan hasil perhitungan loimfosit
total < 200.
2. Bila pemeriksaan CD4 tidak dapat dilakukan:
Pasien stadium IV (menurut WHO), tanpa memperhatikan hasil hitung
limfosit total Pasien stadium I, II, III (menurut WHO) dengan hasil
perhitungan limfosit total < 1000 – 1200/
3. limfosit total < 1000 – 1200/ dapat diganti dengan CD4 dan dijumpai
tanda-tanda HIV. Hal ini kurang penting pada pasien tanpa gejala (stadium
I menurut WHO) hendaknya jangan dilakukan pengobatan karena belum
ada petunjuk tentang beratnya penyakit
4. pengobatan juga dianjurkan untuk pasien stadium III yang lanjut, termasuk
kambuh, luka pada mulut yang sukar sembuh dan infeksi pada mulut yang
berulang dengan tidak memperhatikan hasil pemeriksaan CD4 dan limfosit
total (Depkes, 2003).

e) Cara memilih obat


1. Pertimbangan dalam memilih obat adalah hasil pemeriksaan CD4, viral
load dan kemampuan pasien mengingat penggunaan obatnya.
Pertimbangan yang baik adalah memilih obat berdasarkan jadwal kerja
dan pola hidup.
2. Kebanyakan orang lebih mudah mengingat obat yang diminum sewaktu
makan
f) Efek samping obat
1. Efek samping jangka pendek adalah: mual, muntah, diare, sakit kepala,
lesu dan susah tidur. Efek samping ini berbeda-beda pada setiap orang,
jarang pasien mengalami semua efek samping tersebut. Efek samping
22

jangka pendek terjadi segera setelah minum obat dan berkurang setelah
beberap minggu. Selama beberapa minggu penggunaan ARV,
diperbolehkan minum obat lain untuk mengurangi efek samping.
2. Efek samping jangka panjang ARV belum banyak diketahui
3. Efek samping pada wanita: efek samping pada wanita lebih berat dari
pada pada laki-laki, salah satu cara mengatasinya adalah dengan
menggunakan dosis yang lebih kecil. Beberapa wanita melaporkan
menstruasinya lebih berat dan sakit, atau lebih panjang dari biasanya,
namun ada juga wanita yang berhenti sama sekali menstruasinya.
Mekanisme ini belum diketahui secara jelas.
g) Kepatuhan minum obat
1. Kepatuhan terhadap aturan pemakaian obat membantu mencegah
terjadinya resistensi dan menekan virus secara terus menerus.
2. Kiat penting untuk mengingat minum obat:
– Minumlah obat pada waktu yang sama setiap hari
– Harus selalu tersedia obat di tempat manapun biasanya pasien berada,
misalnya di kantor, di rumah, dll
– Bawa obat kemanapun pergi (di kantong, tas, dll asal tidak
memerlukan lemari es)
– Pergunakan peralatan (jam, HP yang berisi alarm yang bisa diatur agar
berbunyi setiap waktunya minum obat (Yayasan Kerti Praja, 1992).
14. Bagaimana cara menghilangkan stigma negatif masyarakat?
Tempat layanan kesehatan yang diskriminatif
Lembaga yang diharapkan memberikan perawatan dan dukungan, pada
kenyataannya merupakan tempat pertama di mana orang mengalami stigma
dan diskriminasi. Misalnya, memberikan mutu perawatan medis yang kurang
baik, menolak memberikan pengobatan. Masih saja ada rasa takut tertular
yang melatarbelakangi sikap-sikap tersebut.
23

Contoh dari stigma dan diskriminasi yang dihadapi mereka adalah:


isolasi, pemberian label nama atau metode lain yang mengidentifikasikan
seseorang sebagai HIV positif, pelanggaran kerahasiaan, perlakuan yang
negatif dari staf, penggunaan kata-kata dan bahasa tubuh yang negatif oleh
pekerja kesehatan, juga akses yang terbatas untuk fasilitas-fasilitas rumah
sakit.
Akses untuk perawatan
ODHA seringkali tidak menerima akses yang sama seperti masyarakat
umum dan banyak yang juga tidak mempunyai akses untuk pengobatan ARV,
mengingat tingginya harga obat-obatan tersebut. Bahkan ketika pengobatan
ARV tersedia, beberapa kelompok mungkin tidak bisa mengaksesnya, misalnya
karena persyaratan tentang kemampuan mereka untuk mengonsumsi sebuah
zat obat, yang mungkin terjadi pada kelompok pengguna narkoba suntikan.
Diskriminasi HAM
Penghilangan kesempatan ODHA untuk bekerja, dalam pelayanan
kesehatan bahkan perlakuan yang berbeda pada ODHA oleh petugas
kesehatan.
Peradilan moral yang tidak sesuai
Sikap yang menyalahkan ODHA karena penyakitnya dan menganggap
sebagai orang yang tidak bermoral serta keengganan untuk melibatkan ODHA
dalam suatu kelompok atau organisasi. Termasuk juga penghilangan
kesempatan ODHA untuk bekerja dan membuka status HIV dan AIDS
seseorang pada orang lain tanpa seizin penderita.
Start small. Mulailah dari hal-hal kecil untuk membantu menurunkan
diskriminasi dan stigma pada ODHA, antara lain:
 Jadilah contoh yang baik. Terapkan apa yang sudah kita ketahui,
pikirkanlah kata-kata yang kita gunakan dan bagaimana
memperlakukan ODHA, lalu cobalah untuk mengubah pikiran dan
tindakanmu.
24

 Berbagilah pada orang lain mengenai hal-hal yang sudah kita ketahui
dan ajaklah mereka untuk membicarakan tentang stigma dan
bagaimana mengubahnya. Berikan pengertian bahwa stigma itu
melukai orang lain.

 Mengatakan stigma sebagai sesuatu yang “salah” dan “buruk” tidaklah


cukup. Bantulah orang yang bertindak melakukan perubahan. Setuju
pada tindakan yang harus dilakukan, mengembangkan rencana dan
lakukan.
15. Mengapa keluarga terlibat konselling dalam kasus HIV?
Karena keluarga merupakan wadah yang dapat memberi dukungan
terutama dari orang tua. peran bagi keluarga itu sendiri adalah dengan
memberi dukungan kepada penderita berupa nasehat kepada penderita agar
tidak terlalu membebani diri dengan kondisi yang dialami saat ini, memberi
motivasi agar tetap semangat menjalani hidup dan mengingatka penderita
untuk tetap selalu meminum obat, mengingatkan atau mengantar penderita
untuk kontrol ke klinik VCT.

Langkah 4 Pohon Masalah

Fisik

Anamnesis Penunjang

HIV/AIDS

Epidemiologi
Etiologi
Definisi
Klinis Tata
Faktor
Fatofisiologi
Komplikasi
Laksana
Risiko
25

Pencegahan Program belum


optimal
Caring
Pelayanan
Prognosis Kesehatan Kurang

Deteksi dini kurang

Kepatuhan
berobat kurang

Langkah 5 Sasaran Belajar


1. Tujuan pelayanan PDP dan bagaimana sistemnya
2. Dampak HIV/AIDS untuk kesehatan
3. Apa saja kebutuhan psikososial dan spiritual untuk HIV/AIDS
4. Bagaimana cara menyamakan frekuensi antar profesi kesehatan
terhadap ODHA
5. Skrining HIV dari setiap profesi, peran setiap profesi saat melakukan
skrining HIV
26
BAB 2
TINJAUAN DAN ANALISIS

A. Tinjauan Kasus Berdasarkan Sasaran Belajar


3. Tujuan pelayanan PDP (Perawatan, Dukungan dan Pengobatan) bagi ODHA
dan bagaimana sistemnya?
Jawaban :
PDP merupakan singkatan dari perawatan, dukungan dan
pengobatan adalah suatu layanan terpadu dan berkesinambungan untuk
memberikan dukungan baik aspek manajerial, medis, psikologis maupun
sosial untuk mengurangi/menyesuaikan permasalahan yang dihadapi ODHA
selama perawatan dan pengobatan. Layanan PDP merupakan salah satu
bentuk layanan komprehensif HIV dan IMS yang berkesinambungan.
Layanan PDP memberikan layanan konseling berobat, tindakan
pencegahan, dukungan dan pemahaman yang baik, memberikan konseling
kepatuhan minum obat, melayani pengobatan untuk infeksi opurtunistik
dan sebagainya. Layanan PDP memiliki konsep, tujuan, strategi dan
kegiatan dalam penanggulangan HIV/AIDS yaitu memberikan perawatan,
pengobatan dan dukungan. Buku pedoman layanan PDP merupakan input
penting sebagai acuan dalam pelayanan PDP pada ODHA. Buku tersebut
seharusnya ada dan digunakan dalam sarana kesehatan yang menyediakan
pelayanan PDP (1)
Berikut tujuan dari pelayanan PDP bagi ODHA (2):
a. Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan klinis dalam
memberikan pelayanan kepada ODHA secara komprehensif dan
berkesinambungan
b. Mengoptimalkan hasil pengobatan dan pencegahan serta mengurangi
risiko penularan terhadap ODHA

27
28

c. Mampu menganalisa dampak HIV/AIDS terhadap keluarga, lingkungan


dan masyarakat serta penanganannya
d. Mampu melakukan asuhan keperawatan bagi ODHA
e. Membina hubungan saling percaya dan memberikan kenyamanan bagi
ODHA
f. Memberdayakan ODHA

11. Apa saja dampak HIV/AIDS untuk kesehatan?


Jawaban:
Setelah terinfeksi HIV, maka terdapat dampak bagi kesehatan
penderita yang akan terdapat gejala atau berupa manifestasi klinis yang
paling cepat 1 sampai 4 minggu setelah pajanan. Gejala yang timbul dapat
berupa malaise, demam, diare, limfadenopati, dan ruam makulopapular.
Beberapa orang mengalami gejala yang lebih akut, seperti meningitis dan
pneumonitis. Selama periode ini, kadar limfosit T CD4 yang tinggi dapat
terdeteksi di darah perifer. Pada fase akut terjadi penurunan limfosit T yang
dramatis dan kemudian terjadi kenaikan limfosit T karena mulai terjadi
respons imun. Jumlah limfosit T pada fase ini masih di atas 500sel/mm3 dan
kemudian akan mengalami penurunan setelah 6 minggu terinfeksi HIV.
Setelah terinfeksi HIV akan muncul gejala klinis yaitu demam, banyak
berkeringat pada malam hari, kehilangan berat badan kurng dari 10 %, diare,
lesi pada mukosa dan penyakit infeksi kulit berulang. Gejala-gejala ini
merupakan tanda awal yang kemudian munculya infeksi oportunistik (3).
Selain itu, dampak orang yang terjangkit HIV/AIDS juga berhubungan
dengan sosial, keluarga, hubungan teman dengan teman, relasi dan
jaringan kerja akan berubah kualitas dan kuantitasnya. Dampak psikologis
penderita HIV/AIDS berupa stigma dari masyarakat. Stigma yang dirasakan
mulai dari depresi, kecemasan, khawatir sikap publik, masalah citra negatif
dan sebagainya.cara mengatasinya dengan cara terapi untuk
mengembalikan kesejahteraan psikologis (4).
29

12. Apa saja kebutuhan psikospiritual pada ODHA?


Jawaban:
Stress psikososial-spiritual pasien terinfeksi HIV yang berlanjut, akan
mempercepat kejadian AIDS dan bahkan meningkatkan angka kematian.
Perawat merupakan faktor yang mempunyai peran penting pada
pengelolaan stres khususnya dalam memfasilitasi dan mengarahkan koping
pasien yang konstruktif agar pasien dapat beradaptasi dengan sakitnya dan
pemberian dukungan sosial, berupa dukungan emosional, informasi, dan
material (5).
a. Memfasilitasi strategi koping dapat dilakukan dengan cara, antara lain
(5):
1. Memfasilitasi sumber penggunaan potensi diri agar terjadi respons
penerimaan sesuai tahapan dari Kubler-Ross
2. Teknik Kognitif, penyelesaian masalah; harapan yang realistis; dan
pandai mengambil hikmah
3. Teknik Perilaku, mengajarkan perilaku yang mendukung
kesembuhan: kontrol & minum obat teratur; konsumsi nutrisi
seimbang; istirahat dan aktifitas teratur; dan menghindari konsumsi
atau tindakan yang menambah parah sakitnya
b. Memberikan dukungan sosial dapat dilakukan dengan beberapa cara,
antara lain:
1. dukungan emosional, pasien merasa nyaman; dihargai; dicintai; dan
diperhatikan
2. dukungan informasi, meningkatnya pengetahuan dan penerimaan
pasien terhadap sakitnya
3. dukungan material, bantuan / kemudahan akses dalam pelayanan
kesehatan pasien
Pemenuhan kebutuhan psikospiritual bagi ODHA juga dapat dilakukan
dengan konseling HIV/AIDS atau Voluntary Counselling Test, karena
konseling ini memiliki tujuan untuk meningkatkan pemahaman ODHA
30

tentang HIV dan penularannya serta memberikan dukungan total mulai dari
sosial, psikologis, spiritual hingga ekonomi. Hal ini disebabkan pada
kegiatan konseling kita dapat menggali atau mengetahui kebutuhan apa
saja yang diperlukan bagi klien ODHA, sehingga dalam aspek psikologis
emosional klien terfasilitasi dan dapat juga kita berikan dukungan
emosional dan sosial beserta keluarganya, serta dalam aspek spiritual dapat
dilakukan konseling spiritual oleh tokoh agama seperti rohaniawan atau
ustadz agar spiritualitas dan harapan hidupnya dapat meningkat (6).
Selain itu, dukungan psikososial dapat diberikan oleh pasangan dan
keluarga, kelompok dukungan sebaya, kader kesehatan, tokoh agama dan
masyarakat, tenaga kesehatan dan Pemerintah. Bentuk dukungan
psikososial tersebut dapat berupa empat macam, yaitu (7):
a. Dukungan emosional, berupa empati dan kasih sayang;
b. Dukungan penghargaan, berupa sikap dan dukungan positif;
c. Dukungan instrumental, berupa dukungan untuk ekonomi keluarga;
d. Dukungan informasi, berupa semua informasi terkait HIV-AIDS dan
seluruh layanan pendukung, termasuk informasi tentang kontak
petugas kesehatan/LSM/kelompok dukungan sebaya.
* Bagaimana cara menyamakan persepsi antar profesi kesehatan pada
ODHA?
Jawaban:
Terdapat beberapa faktor yang dapat memengaruhi stigma tenaga
kesehatan terhadap ODHA. Faktor yang memengaruhi stigma pada tenaga
kesehatan antar profesi yaitu stigma atau pikiran atas ketakutannya tertular
virus HIV. Selain itu, tenaga kesehatan juga dapat kurang terpapar informasi
terkait penularan HIV, serta sikap dan perilaku terkait stigmatisasi bahwa
HIV merupakan dampak perilaku amoral, sehingga pelayanan kesehatan
berupa perawatan dan pengobatan terhadap ODHA juga berpengaruh
kurang optimal. Pemberantasan stigma dapat dimulai dengan mengetahui
terlebih dahulu apa saja itu stigma ODHA pada tenaga kesehatan yang
31

dapat dioperasionalkan dengan mengukur atau menilai sejauh mana stigma


yang muncul terhadap pasien HIV/AIDS. Setelah itu, diberikan program
berupa edukasi dan informasi bagi para tenaga pelayanan kesehatan (8).

* Bagaimana peran setiap profesi dalam melakukan skrinning pada ODHA?


Jawaban:
Skrining HIV pada medis dapat dilakukan dengan tes diagnostik HIV.
Tes diagnostik merupakan bagian dari proses klinis untuk menentukan
diagnosis. Diagnosis HIV dapat ditegakkan dengan pemeriksaan serologis
dan virologis (9):
a. Tes serologi
Tes serologi terdiri dari :
1) Rapid Immunochromatography Test (tes cepat)
Tes cepat dengan reagen yang sudah dievaluasi oleh institusi yang
ditunjuk Kementerian Kesehatan, dapat mendeteksi baik antibodi terhadap
HIV-1 maupun HIV-2. Tes cepat dapat dijalankan pada jumlah sampel yang
lebih sedikit dan waktu tunggu untuk mengetahui hasil kurang dari 20
menit bergantung pada jenis tesnya dan dilakukan oleh tenaga medis yang
terlatih.
2) Enzyme Immunoassay (EIA)
Tes ini mendeteksi antibodi untuk HIV-1 dan HIV-2. Reaksi antigen-
antibodi dapat dideteksi dengan perubahan warna.
b. Tes virologis
Tes virologis direkomendasikan untuk mendiagnosis anak berumur
kurang dari 18 bulan. Tes virologis yang dianjurkan: HIV DNA kualitatif dari
darah lengkap atau Dried Blood Spot (DBS), dan HIV RNA kuantitatif dengan
menggunakan plasma darah.
Selain itu, terdapat cara lain untuk melakukan skrinning atau deteksi
dini HIV/AIDS yang dapat dilakukan perawat, psikolog, serta petugas sosial
32

lainnya. Skrinning atau deteksi dini tersebut berupa kegiatan VCT atau
Voluntary Counselling Test yang kegiatannya terdiri dari pre-test konseling,
post-test konseling dan konseling berkelanjutan. VCT adalah suatu
pembinaan dua arah atau dialog yang berlangsung tak terputus antara
konselor dan kliennya berupa kelompok berisiko yang bertujuan untuk
mencegah penularan HIV dengan memberikan dukungan moral, informasi
terkait HIV/AIDS pada kelompok berisiko, sehingga setelah dilakukan
kegiatan ini orang-orang yang berada pada kelompok berisiko mau
dilakukan pemeriksaan diagnostik dan bercerita terkait masalah HIV/AIDS
karena sudah mengetahui dampak, pemeriksaan dan hal-hal lainnya
mengenai penyakit HIV/AIDS (6).
Kemudian, setelah dilakukan deteksi dini tersebut, dapat dilakukan
kolaborasi dengan peran tenaga kesehatan masyarakat, yaitu memberikan
edukasi dan informasi tentang HIV/AIDS kepada masyarakat khususnya ibu
rumah tangga dan keluarganya. Memberikan edukasi dapat dilakukan
dengan berbagai cara seperti penyuluhan atau promosi kesehatan. Peran
tenaga kesehatan sangat berpengaruh, sebab petugas sering berinteraksi,
sehingga pemahaman terhadap kondisi fisik maupun psikis lebih baik,
dengan sering berinteraksi akan sangat mempengaruhi rasa percaya dan
menerima kehadiran petugas bagi dirinya, serta edukasi dan konseling yang
diberikan tenaga kesehatan sangat besar artinya terhadap penderita HIV
(10).

B. Analisis Kasus Secara Mendalam dan Bersitasi


Berikut akan dijelaskan lebih lanjut analisis sesuai dengan skenario yakni:
Pada kalimat :
“Kasus HIV/AIDS di sebuah kabupaten selalu meningkat di setiap tahunnya.”
Dari kalimat pembuka skenario diatas dapat diketahui bahwa saat ini
kasus HIV/AIDS selalu meningkat dan bertambah di salah satu kabupaten
33

setiap tahun. HIV sendiri adalah singkatan dari “human immunodeficiency


virus” yaitu sejenis retrovirus (virus yang dapat menggandakan dirinya sendiri
pada selsel yang ditumpanginya) yang merusak sistem kekebalan tubuh
manusia atau sel-sel darah putih (sel darah putih juga disebut lifosit).
Sedangkan AIDS adalah singkatan dari acquired immuno deficiency syndrome,
yang secara harfiah berarti kumpulan gejala menurunnya kekebalan tubuh
yang diperoleh. AIDS melemahkan atau merusak system pertahanan tubuh ini,
sehingga akhirnya berdatanganlah berbagai jenis penyakit lain (11).
Masalah HIV/AIDS telah menjadi masalah global karena telah diketahui
bahwa sudah lebih dari 40 juta manusia di dunia hidup telah terinfeksi dengan
HIV. Secara nasional dinyatakan bahwa tidak ada perovinsi yang bebas dengan
HIV/AIDS bahkan diperkirakan saat ini HIV dan AIDS sudah menjangkit lebih
dari sebagian Kabupaten/Kota di Seluruh Indonesia (12).
Pada kalimat “Salah satu upaya yang dilakukan oleh dinas kesehatan
setempat melalui puskesmas adalah gencar melakukan skrining tes HIV terutama
pada ibu hamil sebagai kelompok berisiko”
Pada kalimat tersebut dapat diketahui bahwa Dinas Kesehatan
kabupaten tersebut sudah melaksanakan skrining tes HIV agar dapat
mengurangi jumlah pasien terinfeksi HIV, skrining dilakukan kepada semua
masyarakat namun yang lebih diutamakan adalah kepada kelompok yang
berisiko yaitu ibu hamil.
Screening HIV mempunyai makna melakukan pemeriksaan HIV pada
suatu populasi tertentu, sementara uji diagnostic HIV berarti melakukan
pemeriksaan HIV pada orang-orang dengan gejala dan tanda yang konsisten
dengan infeksi HIV. CDC menyatakan bahwa infeksi HIV memenuhi seluruh
kriteria untuk dilakukan screening, karena (13):
1. Infeksi HIV merupakan penyakit serius yang dapat didiagnosis sebelum
timbulnya gejala.
34

2. HIV dapat dideteksi dengan uji screening yang mudah, murah, dan
noninvasif.
3. Pasien yang terinfeksi HIV memiliki harapan untuk lebih lama hidup bila
pengobatan dilakukan sedini mungkin, sebelum timbulnya gejala.
4. Biaya yang dikeluarkan untuk screening sebanding dengan manfaat yang
akan diperoleh serta dampak negatif yang dapat diantisipasi.
Menurut UNAIDS/WHO terdapat empat jenis model screening HIV,
antara lain (14):
Pemeriksaan dan konseling HIV (voluntary counselling and testing)
1. Pemeriksaan HIV yang didorong oleh kemauan klien untuk mengetahui
status HIV-nya ini masih dianggap penting bagi keberhasilan program
pencegahan HIV.
2. Pemeriksaan HIV diagnostik, diindikasikan pada pasien dengan
tanda dangejala yang sejalan dengan penyakit-penyakit yang terkait HIV
atau AIDS, termasuk pemeriksaan terhadap tuberkulosis sebagai
pemeriksaan rutin
3. Pemeriksaan HIV dengan inisiatif dari tenaga kesehatan (ProviderInitiated
Testing and Counseling - PITC) dilakukan pada pasien yang:
- Sedang menjalani pemeriksaan terhadap penyakit menular seksual
(PMS)di klinik umum atau khusus infeksi menular seksual (IMS).
- Sedang hamil, untuk mengatur pemberian antiretroviral untuk
mencegah transmisi dari ibu ke bayi
- Dijumpai di klinik umum atau puskesmas di daerah dengan prevalens
HIV yang tinggi dan tersedia obat antiretroviral, namun tidak memiliki
gejala.
4. Screening HIV wajib UNAIDS/WHO mendukung diberlakukannya
Screening wajib bagi HIV dan penyakit yang dapat ditransmisikan lewat
darah bagi semua darah yang ditujukan untuk transfuse atau pengolahan
produk darah lainnya. Screening wajib dibutuhkan sebelum
35

dilakukannya prosedur-prosedur yang berkaitan dengan pemindahan


cairan
atau jaringan tubuh, seperti inseminasi buatan, graft kornea, dan
transplantasi
organ.
Pada kalimat “Dari 510 orang yang dites didapatkan 112 orang yang positif
HIV. Umumnya mereka mengaku memiliki pasangan yang tinggal berjauhan.”
Pada kalimat tersebut dapat diketahui bahwa 112 orang masyarakat di
kabupaten tersebut positif HIV dan sebagian besar dari 112 orang tersebut
memiliki pasangan yang tinggal berjauhan atau lebih sering tidak serumah.
Perempuan memiliki risiko yang rendah terinfeksi HIV karena tidak terbiasa
memiliki lebih dari satu pasangan seksual selama hidupnya, tetapi banyak dari
mereka masuk dalam kelompok rentan karena perilaku pasangan yang
tidak aman diluar pernikahannya serta menggunakan narkoba suntik.
Diperkirakan 90% perempuan yang hidup dengan HIV di Asia tertular akibat
hubungan seksual dari suami atau pacar tetapnya. Indonesia merupakan salah
satu Negara dengan epidemi HIV yang berkembang paling cepat dengan
penularan yang didominasi oleh hubungan heteroseksual (15)
Pada kalimat “Dari 112 orang tersebut, didapatkan 5 orang ibu hamil yang
terinfeksi HIV yang didampingi oleh petugas dan dirujuk ke layanan PDP
(Pengobatan, dukungan dan Perawatan.”
Pada kalimat tersebut dapat diartikan bahwa petugas kesehatan
langsung menanggulangi permasalahan HIV yang ada di kabupaten tersebut,
terlihat dari kalimat diatas yaitu 5 orang ibu hamil yang terinfeksi HIV dirujuk
ke layanan PDP (Pengobatan, dukungan dan Perawatan).
Petugas kesehatan merupakan komponen penting dalam pendekatan
berbagai pelayanan kesehatan kepada orang dengan HIV/AIDS. Petugas
kesehatan memiliki wewenang antara lain memberikan pelayanan kesehatan,
melaksanakan deteksi dini, melakukan rujukan dan memberikan penyuluhan
36

Infeksi Menular Seksual (IMS). Pentingnya mendeteksi dini HIV/AIDS dapat


memudahkan, mempercepat diagnosis, dan menentukan penatalaksanaan
kasus HIV selanjutnya. Oleh karena itu, petugas kesehatan harus memiliki
kemampuan dalam menganalisis suatu persoalan dan merumuskan formulasi
tindakan perencanaan yang efektif. Terlebih lagi dalam pelayanan terhadap
orang terifeksi HIV sehingga bisa melakukan langkah penanganan yang tepat
dan tidak jatuh ke stadium lanjut (15).
PDP merupakan singkatan dari perawatan, dukungan dan pengobatan
(Care, Support and Treatment), adalah suatu layanan terpadu dan
berkesinambungan untuk memeberikan dukungan baik aspek manajerial,
medis, psikologis maupun sosial untuk mengurangi atau menyelesaikan
permasalahan yang dihadapi ODHA selama perawatan dan pengobatan.
Layanan PDP baru berkembang di Indonesia sejak program diluncurkan WHO
pada tahun 2004. Meskipun layanan PDP dengan skala kecil telah berjalan di
kota besar sejak munculnya kasus HIV/AIDS, pemerataan layanan PDP ke
masyarakat berjalan secara bertahap. Pada tahun 2004, pemerintah juga telah
menetapkan 25 rumah sakit sebagai pelaksana layanan PDP. Pada tahun yang
sama pemerintah telah menyediakan obat ARV generik dan diberikan secara
gratis, terutama kepada ODHA yang miskin. Untuk meningkatkan kompetensi
RS tersebut, pemerintah telah melakukan pelatihan nasional baik untuk
dokter, perawat, konselor, serta tenaga kesehatan lain. Dengan semakin
meningkatnya kasus ODHA dan meningkatnya jumlah RS dan provinsi yang
melaporkan adanya kasus ODHA serta kebutuhan untuk meningkatkan akses
dan mutu layanan, pengembangan RS layanan PDP semakin mendesak.
Layanan PDP juga merupakan salah satu bentuk dari layanan komprehensif
HIV dan IMS berkesinambungan (1).
Pada kalimat “Akan tetapi, tidak semua patuh menjalankan terapi karena
takut menerima stigma dan diskriminasi, serta belum merasakan gejala
penyakitnya.”
37

Berbagai kebijakan maupun program untuk mencegah dan


menanggulangi penyebaran HIV & AIDS sudah banyak dilakukan oleh berbagai
pihak, tidak saja oleh pemerintah, tetapi juga oleh lembaga-lembaga, baik
swadaya masyarakat, nasional, maupun internasional. Meskipun demikian,
masih ditemukan kendala-kendala yang menghambat kesuksesan jalannya
program-program tersebut. Salah satu kendala tersebut adalah adanya stigma
dan diskriminasi terhadap orang-orang yang diidentifikasi menderita HIV &
AIDS. Kondisi ini tentu saja dapat memengaruhi keefektifan program dalam
"memerangi" epidemi HIV & AIDS. Di kalangan masyarakat, masih ada
pendapat yang menganggap HIV & AIDS sebagai penyakit kutukan dari Tuhan
karena manusia telah melanggar norma-norma agama. Akibat dari adanya
stigma ini, sebagian orang yang terinfeksi HIV atau terkena AIDS
menyembunyikan status mereka (segan mengakui jika dirinya terinfeksi HIV)
karena khawatir diperlakukan diskriminatif oleh masyarakat (16).
Stigma adalah suatu proses dinamis yang terbangun dari persepsi yang
telah ada sebelumnya yang menimbulkan pelanggaran terhadap sikap,
kepercayaan dan nilai. Menurut Castro F (2005), stigma ini dapat mendorong
seseorang untuk mempunyai prasangka pemikiran, perilaku, dan atau
tindakan oleh pihak pemerintah, masyarakat, pemberi kerja, penyedia
pelayanan kesehatan, teman sekerja, para teman, dan keluarga-keluarga (17).
Maman et al dalam UNAIDS (2012) mengartikan diskriminasi sebagai
aksiaksi spesifik yang didasarkan pada berbagai stereotip negatif ini yakni aksi
-aksi yang dimaksudkan untuk mendiskredit dan merugikan orang.
Pengertian lain tentang diskriminasi dikemukakan oleh Busza dalam UNAIDS
(2012) bahwa diskriminasi adalah perbuatan atau perlakuan berdasarkan
stigma dan ditujukan kepada pihak yangterstigmatisasi. Menurut UNAIDS,
diskriminasi terhadap penderita HIV digambarkan selalu mengikuti stigma dan
merupakan perlakuan yang tidak adil terhadap individu karena status HIV
mereka, baik itu status sebenarnya maupun hanya persepsi saja (17).
38

Stigma yang dirasakan ODHA sebagian besar merasa terstigma dan


terdiskriminasi karena mereka merasa bersalah terkena penyakit HIVAIDS.
Selain itu mereka juga merasa khawatir orang akan menilai tidak baik ketika
orang lain mendengar mereka mengalami HIV/AIDS hal ini karena factor risiko
penyakit ini yang terkait dengan perilaku seksual yang menyimpang dan
penyalahgunaan narkotika dan obat berbahaya atau narkoba Hal ini
menyebabkan sebagian besar masyarakat berhati-hati kepada siapa anda
bercerita bahwa anda mengalami HIV/AIDS (17).
Pada kalimat “Ibu hamil penderita HIV disarankan untuk melakukan
persalinan secara sectio caesaria di rumah sakit dan mendapatkan pengobatan
serta perawatan khusus”
Pada kalimat tersebut ibu hamil yang menderita HIV disarankan untuk
melakukan persalinan secara sectio caesaria. Sectio Ceasarea adalah suatu
persalinan buatan, dimana janin dilahirkan melalui suatu insisi pada dinding
perut dan dinding rahim dengan syarat rahim dalam keadaan utuh serta berat
janin di atas 500 gram. Persalinan dengan operasi sectio caesareaditujukan
untuk indikasi medis tertentu, yangterbagi atas indikasi untuk ibu dan indikasi
untuk bayi. Persalinan sectio caesaria atau bedah caesar harus dipahami
sebagai alternatif persalinan ketika dilakukan persalinan secara normaltidak
bisa lagi. Meskipun 90% persalinan termasuk kategori normal atau
tanpakomplikasi persalinan, namun apabila terjadi komplikasi maka
penanganan selalu berpegang teguh pada prioritas keselamatan
ibu dan bayi.Operasi sectio caesarea ini merupakan pilihanpersalinan yang
terakhir setelah dipertimbangkan cara-cara persalinan pervaginam tidak layak
untuk dikerjakan (18)
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia memperkirakan jika di
Indonesia setiap tahun terdapat 9.000 ibu hamil positif Human
Immunodeficiency Virus yang melahirkan bayi, berarti akan lahir sekitar 3.000
bayi dengan Human Immunodeficiency Viruspositif tiap tahun. Ini akan terjadi
39

jika tidak ada intervensi. Resiko penularan Human Immunodeficiency Virusdari


ibu ke bayi berkisar 24-25%. Namun, resiko ini dapat diturunkan menjadi 1-2%
dengan tindakan intervensi bagi ibu hamil positif Human Immunodeficiency
Virus, yaitu melalui layanan konseling dan tes Human Immunodeficiency
Virussukarela, pemberian obat antiretroviral, persalinan sectio caesaria, serta
pemberian susu formula untuk bayi (19).
Pada kalimat “Asupan gizi yang baik juga diperlukan. Selain itu juga
dilakukan konseling, baik pada penderita maupun keluarga.”
Seperti pada penyakit kronik lainnya, pada penyakit HIV / AIDS, kualitas
hidup pasien juga merupakan hal yang penting untuk diperhatikan. Salah satu
tingkat keberhasilan dari terapi HIV bukan hanya dilihat dari tampilan klinisnya
saja, akan tetapi juga dilihat dari kualitas hidupnya. Implementasi dari terapi
ARV (Anti Retro Viral) bisa dikatakan berhasil bila kualitas hidupnya baik.
Kualitas hidup dapat didefinisikan sebagai persepsi individual terhadap
posisinya dalam kehidupan pada konteks sistem nilai dan budaya dimana
mereka tinggal dan dalam berhubungan dengan tujuannya, pengharapan,
norma-norma dan kepedulian menyatu dalam hal yang kompleks kesehatan
fisik seseorang, keadaan psikologis, level kemandirian, hubungan sosial,
kepercayaan-kepercayaan personal dan hubungannya dengan hal-hal yang
penting pada lingkungan. Banyak hal yang dapat mempengaruhi kualitas
hidup pasien HIV/AIDS antara lain, progresivitas penyakit, disabilitas pasien,
stigma sosial di masyarakat, jangka waktu pengobatan, efek samping dari
pengobatan tersebut (20).
Status gizi pasien HIV juga merupakan hal yang perlu diperhatikan dalam
penanganan pasien, selain pemberian ARV karena berkaitan dengan kualitas
hidup, progresivitas penyakit, kelangsungan hidup dan status fungsional dari
pasien. Status gizi yang buruk pada pasien HIV/AIDS disebabkan karena
asupan gizi yang tidak adekuat, adanya perubahan laju metabolisme tubuh,
perubahan mekanisme kerja traktus digestivus, interaksi obat dengan zat gizi.
40

Keadaan malnutrisi ini dapat menyebabkan turunnya imunitas, meningkatkan


resiko untuk terkena infeksi oportunistik, dan mempengaruhi absorbsi obat
ARV dalam tubuh. Tahap akhir dari keadaan malnutrisi ini adalah HIV wasting
syndrome. Oleh karena itu, status gizi yang buruk pada pasien HIV dapat
mempercepat progresivitas penyakit menjadi AIDS, mortalitas yang meningkat
dan penurunan waktu harapan hidup (20).
Dukungan keluarga, dukungan sosial dan relasi antar individu juga ikut
mempengaruhi fungsi sosial ODHA. Pasien HIV yang mendapat dukungan
keluarga dan sosial serta relasi antar individu yang baik akan merasa diterima
dalam lingkungan sosialnya, sehingga dapat melakukan tanggung jawab nya
dengan baik dalam lingkungan sosialnya. Untuk domain persepsi kesehatan
umum, nilainya sangat dipengaruhi oleh subjektivitas dari pasien. Bila pasien
memiliki motivasi yang tinggi untuk hidup, tidak menganggap penyakitnya
sebagai suatu beban, serta mendapat dukungan sosial dari keluarga maupun
dari masyarakat, maka ia akan mempunyai persepsi kesehatan umum yang
baik, meskipun pada kenyataannya status gizi nya buruk (20).
Pada kalimat “Program pencegahan HIV/AIDS pada kelompok berisiko lain
dilakukan berupa promosi untuk menggunakan alat pelindung pada saat
melakukan hubungan seks berisiko, namun untuk program penjangkauan belum
dapat dilaksanakan secara optimal oleh dinas kesehatan.”
Berbagai usaha telah dilakukan oleh organisasi dunia dan pemerintah
Indonesia dalam masalah penyebaran HIV/AIDS, penanganan tersebut bersifat
preventif, promotif, kuratif dan rehabilitatif. Upaya tersebut meliputi
peningkatan sosialisasi penggunaan kondom; peningkatan kontrol dari PSK
dalam area kerja dan perubahan kondisi sosial; serta penurunan angka
Penyakit Menular Seksual (PMS) juga peningkatan kesehatan. Di Indonesia,
pemerintah telah menetapkan beberapa kebijakan dan program
penanggulangan penyebaran HIV/AIDS. Pemerintah telah membuat komitmen
serius untuk meningkatkan surveilans seperti meningkatkan rawatan,
41

dukungan, dan pengobatan. Upaya pemberdayaan masyarakat dalam


pencegahan HIV/AIDS dilakukan oleh pemerintah melalui konseling dan
pendidikan kesehatan (21).
Pelayanan dilaksanakan di klinik IMS mencakup: (a) Melaksanakan
kegiatan pencegahan seperti promosi kondom dan seks yang aman, (b)
Melaksanakan pelayanan yang ditargetkan untuk kelompok beresiko tinggi,
(c) Memberikan layanan pemeriksaan dan pengobatan bagi mereka yang telah
tertular IMS, (d) Melaksanakan kegiatan penapisan untuk IMS Asintomatic
bagi semua populasi yang beresiko secara rutin sedikitnya sekali setiap 3 (tiga)
bulan, (e) Memberikan layanan konsling, pemeriksaan, dan pengobatan bagi
pasangan tetap klin pekerja seks melalui sistem partner notification, (f)
Menjalankan sistem monitoring dan surveilens, (g) Memberikan layanan KIE
tentang mitos penggunaan obat-obat bebas untuk mencegah atau mengobati
IMS (22).
Fenomena peningkatan dan penyebaran kasus infeksi menular seksual
yang terjadi demikian cepat menyebabkan bahwa penyakit infeksi menular
seksual yang sangat berpotensi meningkatkan risiko penularan HIV melalui
hubungan seksual sehingga sangat membutuhkan perhatian dalam
pencegahan dan penanggulangannya. Upaya tersebut tentunya harus
didukung dari tingkat pelayanan yang diberikan secara komprehensif (22).
Pada kalimat “Kepala Dinas Kesehatan kemudian mengundang berbagai profesi
kesehatan dan profesi lain yang terkait guna menanggulangi permasalahan
tersebut.”
Semakin meningkatnya jumlah penderita HIV-AIDS, maka semakin
dibutuhkan peran tenaga kesehatan dalam menanggulangi HIV- AIDS. Tenaga
kesehatan merupakan komponen penting dalam pendekatan pelayanan
kesehatan kepada Orang dengan HIV AIDS (ODHA). Dalam Undang-undang
Nomor 36 Tahun 2014, yang dimaksud dengan tenaga kesehatan adalah
”setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki
42

pengetahuan dan/ atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan


yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya
kesehatan.” Sedangkan dalam Permenkes No. 21 Tahun 2013 tentang
Penanggulangan HIV-AIDS pada bagian kedua pasal 43 menyatakan bahwa
sumber daya manusia dalam penanggulangan HIV dan AIDS meliputi tenaga
kesehatan dan nonkesehatan (23).
Menurut Batuman (1990), Bear (1996), Folkman & Lazarus (1988) dalam
Buku Asuhan Keperawatan Pada Pasien Terinfeksi HIV, menyebutkan bahwa
perawat merupakan faktor yang mempunyai peran penting pada pengelolaan
stres khususnya dalam memfasilitasi dan mengarahkan koping pasien yang
konstruktif agar pasien dapat beradaptasi dengan sakitnya dan pemberian
dukungan sosial, berupa dukungan emosional, informasi, dan material (23).

C. Rekomendasi dan Solusi


1. Rekomendasi dan Solusi Dari Pemerintah
Permintah sebagai pelindung rakyat harus terdepat dalam memberi
solusi terhadap kasus HIV AIDs. Para klinisi di fasilitas layanan kesehatan
(Fasyankes )yang memberikan layanan tatalaksana HIV dan pengobatan serta
pencegahan harus sitematis dan terukur. Selanjutnya para pengelola program
pengendalian HIV/AIDS ditingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota dan
perencana kesehatan lain yang terlibat dalam program perawatan dan
pengobatan HIV harus berkoordinasi serta digunakan sebagai sebagai rujukan
yang jelas untuk perencanaan program pengobatan.
2. Rekomendasi dan Solusi Dari Masyarakat
Perkembangan epidemi HIV-AIDS di dunia telah menyebabkan HIV-AIDS
menjadi masalah global dan merupakan salah satu masalah kesehatan
masyarakat di Indonesia. Oleh karena itu masyarakat harus ikut membantu
dalam mencegah lewat informasi yang dibagikan kepada para orang tua agar
dapat mengontrol anak sehingga terhindar dari jerat narkoba dan seks bebas
43

yang menjadi pemicu utama penyebaran HIV. Dengan menghindari hal-hal


tersebut dapat terhindar dari terinfeksi virus HIV/AIDS. Hentikan stigma dan
diskriminasi terhadap penderita ODHA, itu akan menurunkan motivasi mereka
untuk hidup. Hilangkan pola pikir negatif pada penderita ODHA dengan
menggali informasi tentang HIV, cara pencegahannya dan tidak menjauhi
penderita HIV/AIDS
3. Rekomendasi dan Solusi Badan Organisasi Peduli HIV AIDS
Badan dan organisasi yang bekerja sama dengan pemerintah maupun
LSM yang memberikan layanan tatalaksana HIV danTerapi pengobatan HIV
harus terus berkampanye serta menggalakkan program-program yang ril
dimasyarakat seperti papua dan kalangan pekerja seks komersial serta para
pengguna narkoba.
4. Rekomendasi dan solusi untuk Para Penderita (ODHA)/ rentan terkena HIV
Penemuan obat antiretroviral pada tahun 1996 secara signifikan
membuka harapan dalam perawatan ODHA di negara-negara maju termasuk
Indonesia belakangan ini. Meskipun belum mampu secara total
menyembuhkan penyakit dan memiliki efek samping,namun secara dramatis
terapi ARV menurunkan angka kematian dan kesakitan, serta penting dalam
meningkatkan kualitas hidup ODHA. Oleh karena itu. Para penderita harus
segera melakukan pengobatan tersebut agat dapat meningkatkan harapan
hidup penderita. Para penderita HIV/AIDS diharapkan untuk aktif didalam
mengikuti program-program yang diperlukan penderita seperti program
pendampingan terapi ARV (antiretroviral) dan menghindari menurunnya
motivasi yang akan memperburuk kondisi penderita HIV/AIDS.
5. Rekomendasi dan Solusi Untuk Keluarga Penderita HIV/AIDS
Keluarga dan teman-teman penderita sangat berperan di dalam
memberikan motivasi bagi para penderita HIV/AIDS dalam menghadapi situasi
dan kondisi yang dialami oleh para ODHA. Keluarga diharapkan lebih
memberikan dukungan-dukungan baik dukungan secara materi maupun non
44

materi agar penderita tidak terlalu terganggu dengan penyakit yang


dialaminya.
BAB 3
PENUTUP

A. Simpulan
Dalam diskusi tutorial ini, kita telah mempelajari tentang konsep
penyakit HIV/AIDS. Dapat diketahui HIV sendiri adalah singkatan dari “human
immunodeficiency virus” yaitu sejenis retrovirus (virus yang dapat
menggandakan dirinya sendiri pada selsel yang ditumpanginya) yang merusak
sistem kekebalan tubuh manusia atau sel-sel darah putih (sel darah putih juga
disebut lifosit). HIV/AIDS dapat dilakukan deteksi dini dengan melakuakan
skrining pada kelompok-kelompok beresiko. setelah didapatkan positif dapat
di rujik ke pelayanan PDP merupakan singkatan dari perawatan, dukungan dan
pengobatan (Care, Support and Treatment), adalah suatu layanan terpadu dan
berkesinambungan untuk memeberikan dukungan baik aspek manajerial,
medis, psikologis maupun sosial untuk mengurangi atau menyelesaikan
permasalahan yang dihadapi ODHA selama perawatan dan pengobatan. Masih
tingginya stigma dan diskriminasi dari masyarakat maupun tenaga kesehatan
tentang HIV/AIDS yang perlu diperhatikan. Selain itu juga dilakuakan berbagai
kebijakan maupun program untuk mencegah dan menanggulangi penyebaran
HIV & AIDS oleh pemerintah dan juga peran penting dari berbagai profesi
bidang kesehatan juga ikut menanggulangi maslah HIV/AIDS.

45
46

B. Saran
Kami menyadari bahwa makalah kami banyak sekali kesalahan dan jauh
dari kata kesempurnaan. Untuk kritik dan saran diharapkan agar kami dapat
lebih baik lagi untuk kedepannya. Terkait masalah HIV/AIDS disarankan agar
masyarakat maupun tenaga kesehatan sendiri untuk tidak memberikan
stigama dan diskriminasi kepada ODHA dan memberikan dukungan-dukungan
kepada ODHA agar dapat memiliki semangat untuk berobat dan melanjutkan
hidupnya.
DAFTAR PUSTAKA

1. Mujiati, Jerico FP, Muhammad S. Evaluasi pelaksanaan layanan perawatan,


dukungan & pengobatan (PDP) HIV-AIDS di Jawa Barat dan Papua tahun
2012. Jurnal Kesehatan Reproduksi 2014; 5(2).

2. Prasiddha Handayani, Thukul. Perilaku ODHA dalam Pemeriksaan Berkala


Sebagai Upaya Perawatan dan Dukungan (Care and Support) di
Kabupaten Pemalang. Jurnal Promosi Kesehatan Indonesia. 2015; 1 (2).

3. Yuliyanasari, Nurma. Global Burden Desease-Human Immunodeficiency


Virus-Acquired Immune Deficiency Syndrome(HIV-AIDS). Surabaya: Fakultas
Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surabaya, 2017.

4. Pardita DPY, I Ketut S. Analisis dampak sosial, ekonomi dan psikologis


penderita HIV AIDS di kota Denpasar. Jurnal Buletin Studi Ekonomi 2014;
19(2): 193-199.

5. Dr. Nursalam, M.Nurs (Hons) Ninuk Dian K, S.Kep.Ns. ASUHAN


KEPERAWATAN PADA PASIEN TERINFEKSI HIV Penerbit: Salemba
Medika. Jakarta, 2007.

6. Hidayanti, Ema. Dimensi Psiko-Spiritual dalam Praktik Konseling bagi


Penderita HIV/AIDS di klinik VCT RS Panti Wiloso Citarum. Semarang: IAIN
Walisongo, 2012.

7. Kementerian Kesehatan RI. Pedoman Manajemen Program Pencegahan


Penularan HIV dan Sifilis dari Ibu ke Anak. Jakarta, 2015.

8. Angga W. Penilaian stigma petugas kesehatan pada orang dengan


HIV/AIDS (ODHA) pada salah satu puskesmas di Bandung. Ejournal UMM
2019; 10(1): 7-15.

9. Menkes RI. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor


HK.01.07/MENKES/90/2019 tentang Pedoman Nasional Pelayanan
Kedokteran Tata Laksana HIV. Jakarta; 2019.

10. Isni K. Dukungan keluarga, dukungan petugas kesehatan dan perilaku ibu
HIV dalam pencegahan penularan HIV/AIDS ke bayi. Jurnal Kesehatan
Masyarakat 2016; 11(2): 96-104.

11. Syahrina IA, Pranata AY. Stigma internal hubungannya dengan interaksi
sosial orang dengan hiv/aids di yayasan taratak jiwa hati Padang.
Psikovidya 2018; 22(1): 1-9
12. Mongan DJK, Maramis FRR, Ratag BT. Hubungan antara Pengetahuan dan
Sikap dengan Tindakan Pencegahan HIV/AIDSpada Masyarakat di
Kelurahan Sagerat Weru Kecamatan Matuari Kota Bitung. Jurnal KESMAS
2018; 7(5): 1-5.

13. Ripnowati D. Manajemen pelayanan penanggulangan hiv/aids dalam


upaya screening di Puskesmas Temayang Kabupaten Bojonegoro. Jurnal
manajerial bisnis 2019; 2(3): 230-243.

14. Dewi DMSK, Wulandari LPL, Wirawan DL. Determinan Sosial Kerentanan
Perempuan Terhadap Penularan Ims Dan Hiv. JPH Recode . 2018; 2(1): 19-
31.

15. Baroroh dkk. Analisis upaya penemuan kasus HIV AIDS di RSUD Kraton
Kabupaten Pekalongan. Jurnal Siklus 2017; 6(1): 169-175

16. Latifa A, Purwningsih SS. Peran masyarakat madani dalam mengurangi


stigma dan diskriminasi terhadap penderita HIV & AIDS. Jurnal
Kependudukan Indonesia 2011; 4(2): 51-76.

17. Lestari HEP. Stigma dan diskriminasi odha di Kabupaten Madiun. Jurnal
elektronik 2016; 4(3): 110-114.

18. Juliarti W, Ariani Y. Gambaran Faktor Indikasi Ibu Bersalin Sectio Ceasarea
Di Rsud Arifin Achmad Tahun 2013 Widya Juliarti1 , Yuli Ariani. Journal Of
Midwifery Science 2017; 1(2): 66-73.

19. Alexander, Pebrianti D. Hubungan pengetahuan dan sikap ibu hamil


dengan kesediaan pemeriksaan hiv dan aids. Jurnal kebidanan. 2016; 6(2):
142-151.

20. Anderson K, Pramudo Sg, Sofro Mau. Hubungan Status Gizi Dengan
Kualitas Hidup Orang Dengan Hiv/Aids Di Semarang. Jurnal Kedokteran
Diponegoro 2017; 6(2): 692-704.

21. Dewi NS. Pengaruh pendidikan kesehatan terhadap perubahan


pengetahuan dan sikap dalam pencegahan hiv/aids pada pekerja seks
komersial. Media Ners 2008; 2(1): 1-44.

22. Agustina, Munadi. Hubungan promosi penggunaan kondom, seks aman


terhadap pencegahan penyakit menular seksual di Puskesmas Kuta Alam
Banda Aceh. Jurnal Ilmu Kesehatan Masyarakat . 2016; 9(2): 135-133.

23. Mujiati, Lestary H, Sugiharti. Kecukupan tenaga kesehatan dan


permasalahannya dalam pelayanan kesehatan anak dengan HIV-AIDS di
Rumah Sakit pada Sepuluh Kabupaten/Kota Indonesia. Media Litbang
2017; 27(1): 1-8.

Anda mungkin juga menyukai