Anda di halaman 1dari 22

POLA PENGEBORAN DAN PELEDAKAN

1. Pola pemboran
Pola pemboran yang biasa diterapkan pada tambang terbuka biasanya
menggunakan dua macam pola pemboran yaitu :
 Pola pemboran segi empat (square pattern)
 Pola pemboran persegi panjang (square rectangular pattern)
 Pola pemboran selang-seling (staggered)
Pola pemboran segi empat adalah pola pemboran dengan penempatan lubang-
lubang tembak antara baris satu dengan baris berikutnya sejajar dan membentuk segi
empat ( Gambar 2). Pola pemboran segi empat yang mana panjang burden dengan
panjang spasi tidak sama besar disebut square rectangular pattern (Gambar3).
Sedangkan pola pemboran selang-seling adalah pola pemboran yang penempatan
lubang ledak pada baris yang berurutan tidak saling sejajar (Gambar 4), dan untuk pola
pemboran selang-seling yang mana panjang burden tidak sama dengan panjang spasi
disebut staggered rectangular pattern (Gambar 5).
Dalam penerapannya, pola pemboran sejajar adalah pola yang umum, karena
lebih mudah dalam pengerjaannya tetapi kurang bagus untuk meningkatkan mutu
fragmentasi yang diinginkan, maka penggunaan pola pemboran selang-seling lebih
efektif.

Bidang Bebas

B
● S ● ● ● ● ● ● ● ● Baris 1

● ● ● ● ● ● ● ● ● Baris 2

● ● ● ● ● ● ● ● ● Baris 3

● ● ● ● ● ● ● ● ● Baris 4

S=B

GAMBAR 2.
POLA PEMBORAN SEGIEMPAT (SQUARE PATTERN)
Bidang Bebas

● ● ● ● ● ● ● ● ● Baris 1
● ● ● ● ● ● ● ● ● Baris 2
● ● ● ● ● ● ● ● ● Baris 3
● ● ● ● ● ● ● ● ● Baris 4

S≠B

GAMBAR 3.
POLA PEMBORAN PERSEGI PANJANG (SQUARE RECTANGULER PATTERN)

Bidang Bebas

B
● ● ● ● ● ● ● ● ● Baris 1
S
● ● ● ● ● ● ● ● Baris 2

● ● ● ● ● ● ● ● ● Baris 3

● ● ● ● ● ● ● ● Baris 4

S=B

GAMBAR 4.
POLA PEMBORAN SELANG-SELING PERSEGI (STAGGERED SQUARE PATTERN)
Bidang Bebas

● ● ● ● ● ● ● ● ● Baris 1
● ● ● ● ● ● ● ● Baris 2
● ● ● ● ● ● ● ● ● Baris 3
● ● ● ● ● ● ● ● Baris 4

S≠B

GAMBAR 5.
POLA PEMBORAN SELANG-SELING PERSEGI PANJANG (STAGGERED
RECTANGULER PATTERN)

Pada pengeboran bukaan bawah tanah umumnya hanya terdapat satu bidang bebas, yaitu pemuka
kerja atau face. Untuk itu, perlu dibuat tambahan bidang bebas yang disebut cut. Secara umum
terdapat empat tipe cut yaitu :
1. Center cut disebut juga pyramid atau diamond cut, yaitu pola pemboran yang merupakan
variasidari wedge cut dimana ujung dari lubang ledak mengarah pada titik pusat dari face yang
berbentuk pyramid.

2. Wedge cut atau V- cut, angled cut yaitu pembuatan lubang tembak yang membentuksudut ±
60° terhadap bidang bebas (free face).
3. Fan Cut, yaitu pola pemboran yang merupakan setengah dari wedge cut.Pola ini sangat baik
digunakan pada vein yang tipis.

4. Burn cut disebut juga cylinder cut, yaitu pola peledakan dimana lubang ledak tegak lurus
terhadap bidang vertikal atau pada free face. Pola ini sangat cocok untuk batu yang keras dan
regas seperti batu pasir (sandstone) atau batuan beku dan tidak cocok untuk struktur berlapis.
2. GEOMETRI PELEDAKAN
Geometri peledakan yang akan mempengaruhi tingkat fragmentasi batuan dapat
dinyatakan seperti pada (gambar 6). Sedangkan geometri peledakan terdiri dari:
a. Burden (B)
Burden adalah jarak dari lubang tembak dengan bidang bebas yang terdekat,
dan arah di mana perpindahan akan terjadi. Pada daerah ini energi ledakan adalah yang
terkuat dan yang pertama kali bereaksi pada bidang bebas. Jarak burden yang baik
adalah jarak yang memungkinkan energi secara maksimal dapat bergerak keluar dari
kolom isian menuju bidang bebas dan dipantulkan kembali dengan kekuatan yang
cukup untuk melampaui kuat tarik batuan sehingga akan terjadi penghancuran.
Nilai burden yang optimum akan menghasilkan fragmentasi yang sesuai dan
perpindahan dari pecahan batuan sesuai dengan yang diinginkan. Jarak burden yang
terlalu kecil dapat menyebabkan terjadinya batuan terbang dan suara yang keras.
Sedangkan jarak burden yang terlalu besar akan menghasilkan fragmentasi yang kurang
baik, dan akan menyebabkan batuan di sekitar burden tidak akan hancur. Menurut R.L.
Ash, harga burden tergantung pada harga burden ratio dan diameter lubang bor.
Besarnya burden ratio antara 20 – 40 dengan harga Ks standard adalah 30. Sedangkan
harga Ks standard sebesar 30 terjadi pada kondisi sebagai berikut :
 Densitas batuan = 160 lb/cuft
 Specific gravity bahan peledak = 1,20
 Kecepatan detonasi bahan peledak = 12.000 fps
Pada kondisi batuan yang berbeda dan penggunaan bahan peledak yang
berbeda, maka harga Ks turut berubah. Untuk mengatasi perubahan angka Ks perlu
dihitung terlebih dahulu harga faktor penyesuaian pada kondisi batuan dan bahan
peledak yang berbeda
1. Faktor penyesuaian terhadap bahan peledak (AF1) adalah :
1/ 3
 SG.Ve2 
Af1 =  2
 SGstd.Vestd 
Di mana :
SG = berat jenis bahan peledak yang digunakan
Ve = kecepatan detonasi bahan peledak yang digunakan
SGstd = berat jenis bahan peledak standard, 1,20.
Vestd = kecepatan detonasi bahan peledak standard, 12.000 fps.
2. Faktor penyesuaian terhadap batuan (AF2) adalah :
1/ 3
 Dstd 
Af2 =  D 
 
Di mana
Dstd = kerapatan batuan standard, 160 lb/cuft
D = kerapatan batuan yang diledakkan
Sehingga harga Kb yang terkoreksi adalah :
Kb = Kbstandard x Af1 x Af2
Di mana :
Kb = burden ratio yang telah dikoreksi
Kbstd = burden ratio standard
Untuk menentukan burden, maka menggunakan rumus :

Kb x De
B = meter
12
Di mana :
B = burden
Kb = burden ratio
De = diameter lubang tembak, inchi
12 = faktor perubah kedalam satuan meter

b. Spasi (S)
Spasi dapat diartikan sebagai jarak terdekat antara antara dua lubang tembak
yang berdekatan dalam satu baris. Yang perlu diperhatikan dalam memperkirakan spasi
adalah apakah ada interaksi di antara isian yang saling berdekatan. Besar spasi dapat
ditentukan dengan rumus sebagai berikut :
S = B x Ks
Di mana :
S = spasi, meter.
B = burden, meter.
Ks = spacing ratio
Hal yang perlu diperhatikan dalam penentuan spasi yaitu apakah ada interaksi
antar muatan yang berdekatan. Bila masing-masing lubang tembak diledakkan sendiri-
sendiri, dengan interval waktu yang panjang, maka tidak akan terjadi interaksi
gelombang energi antar muatan yang berdekatan sehingga memungkinkan setiap
lubang tembak akan meledak dengan sempurna. Jika interval waktu diperpendek atau
lubang tembak diledakkan secara serentak akan terjadi efek ledakan yang kompleks.
Besar Ks menurut interval waktu yang dipergunakan adalah :
 long interval delay Ks = 1
 short interval delay Ks = 1 – 2
 normal Ks = 1,2 – 1,8
Berdasarkan cara urutan peledakannya penentuan spasi adalah sebagai berikut 6) :
 Untuk pola peledakan serentak maka S = 2B
 Untuk pola peledakan beruntun dengan delay interval lama maka S = B
 Untuk pola peledakan dengan ms delay, maka S antara 1B sampai 2B
 Jika terdapat kekar yang tidak saling tegak lurus, maka S antara 1,2B sampai 1,8B
c. Stemming (T)
Stemming adalah tempat material penutup di dalam lubang bor di atas kolom
isian bahan peledak. Fungsi stemming adalah agar terjadi stress balance dan untuk
mengurung gas-gas hasil ledakan agar dapat menekan batuan dengan kekuatan yang
besar. Sedangkan di dalam penggunaan stemming yang perlu diperhatikan adalah
panjang stemming dan ukuran material stemming.
 Panjang stemming
Stemming yang pendek dapat menyebabkan pecahnya batuan pada bagian atas, tapi
mengurangi fragmentasi keseluruhan karena gas hasil ledakan menuju atmosfir
dengan mudah dan cepat, juga akan menyebabkan terjadinya flyrock, overbreak pada
bagian permukaan dan juga akan menimbulkan airblast. Panjang stemming dapat
ditentukan dengan menggunakan rumus :
T = B x Kt
dimana :
T = stemming, meter
Kt = stemming ratio (0,75 – 1,00)
 Ukuran material stemming
Ukuran material stemming sangat berpengaruh terhadap hasil peledakan, apabila
bahan stemming terdiri dari butiran-butiran halus hasil pemboran, kurang memiliki
gaya gesek terhadap lubang tembak sehingga udara yang bertekanan tinggi akan
dengan mudah mendorong material stemming tersebut, sehingga energi yang
seharusnya untuk menghancurkan batuan, banyak yang hilang keluar melalui lubang
stemming.
Untuk mencegahnya maka digunakan bahan yang berbutir kasar dan keras. Bahan
ini mempunyai karakteristik sebagai berikut :
o Mempunyai bentuk susunan butir yang saling berkait dengan kuat.
o Membentuk sambungan pasak dengan dinding lubang tembak, sehingga
mencegah keluarnya gas secara prematur.
Adapun persamaan yang digunakan untuk menentukan ukuran material stemming
optimum7) adalah sebagai berikut :
Sz = 0,05 Dh
dimana :
Sz = ukuran material stemming optimum
Dh = diameter lubang tembak
d. Sub drilling (J)
Subdrilling adalah tambahan kedalaman dari lubang bor di bawah lantai jenjang
yang dibuat agar jenjang yang dihasilkan sebatas dengan lantainya dan lantai yang
dihasilkan rata. Bila jarak subdrilling terlalu besar maka akan menghasilkan efek
getaran tanah, sebaliknya bila subdrilling terlalu kecil maka akan mengakibatkan
problem tonjolan pada lantai jenjang (toe) karena batuan tidak akan terpotong sebatas
lantai jenjangnya. Panjang subdrilling dapat ditentukan dengan menggunakan rumus
sebagai berikut :
J = B x Kj
di mana :
J = subdrilling, meter
Kj = subdrilling ratio (0,2 – 0,3)
e. Tinggi jenjang (L)
Secara spesifik tinggi jenjang maksimum ditentukan oleh peralatan lubang bor
dan alat muat yang tersedia. Tinggi jenjang berpengaruh terhadap hasil peledakan
seperti fragmentasi batuan, ledakan udara, batu terbang, dan getaran tanah. Penentuan
ukuran tinggi jenjang berdasarkan pada stiffness ratio. Rumus yang digunakan adalah :
L = 5 x De
Di mana,
L = Tinggi Jenjang minimum
De = Diameter lubang ledak

f. Kedalaman lubang tembak (H)


Kedalaman lubang tembak biasanya ditentukan berdasarkan kapasitas produksi
yang diinginkan dan kapasitas dari alat muat. Sedangkan untuk menentukan kedalaman
lubang tembak dapat digunakan rumus sebagai berikut :
H = Kh x B
dimana :
H = kedalaman lubang tembak, meter
Kh = Hole depth ratio (1,5 – 4,0)
g. Kolom isian (PC)
Panjang kolom isian dapat dihitung dengan menggunakan rumus :
PC = H – T
dimana :
PC = panjang kolom isian, meter
H = kedalaman lubang tembak, meter
T = stemming, meter
Keterangan :
B = Burden

S • S = Spasi

T = Stemming
B T PC = Kolom isian
J = Sub Drilling
L PC H = Kedalaman
H lubang tembak
L = Tinggi jenjang
J P = Primer
P

GAMBAR 7
GEOMETRI PELEDAKAN MENURUT R.L.ASH 3)

3. POLA PELEDAKAN
Pola peledakan merupakan urut-urutan waktu peledakan antara lubang tembak
dalam satu baris dan antara satu dengan yang lainnya. Pola peledakan ditentukan
tergantung arah mana pergerakan material yang diharapkan. (Gambar 3.7)
Setiap baris lubang tembak yang akan diledakkan harus memiliki ruang yang
cukup di muka bidang bebas yang sejajar dengan lubang tembak untuk terdesak, pecah,
mengembang dan tidak terlontar keatas.
 Berdasarkan arah runtuhan batuan , pola peledakan diklasifikasikan sebagai
berikut:

1. Box Cut , yaitu pola peledakan yang arah runtuhan batuannya ke depan dan
membentuk kotak.

2. “ V “ Cut , yaitu pola peledakan yang arah runtuhan batuannya ke depan.

3. Corner Cut , yaitu pola peledakkan yang arah runtuhan batuannya kesalah satu sudut
dari bidang bebasnya.

 Adapun macam-macam pola peledakan berdasarkan urutan waktu


peledakan adalah sebagai berikut :
 Pola peledakan di mana lubang-lubang tembak diledakkan dengan waktu penundaan
atau beruntun dalam satu baris.
 Pola peledakan serentak dalam satu baris dan beruntun antara baris satu dengan baris
yang lain.
Bidang bebas

1 1 1 1 1 1
2 2 2 2 2
3 3 3 3
Pola peledakan tunda antar baris dan serentak dalam satu baris

Bidang bebas

3 2 1 0 1 2 3
4 3 2 1 2 3 4
5 4 3 2 3 4 5
Pola peledakan tunda dalam satu baris

GAMBAR 7. POLA PELEDAKAN

Menurut R.L. Ash dengan adanya tiga bidang bebas, kuat tarik batuan dapat
dikurangi sehingga akan dapat meningkatkan jumlah retakan dengan syarat lokasi dua
bidang bebasnya mempunyai jarak yang sama terhadap lubang tembak.

 Rangkaian Peledakan

Rangkaian Peledakan merupakan bentuk atau susunan yang dilakukan agar peledakan

yang dilakukan dapat berjalan sesuai dengan yang diinginkan.

Ada tiga elemen dasar rangkaian peledakan :

1. Detonator listrik

Pada dasarnya detonator listrik terdiri dari sebuah metal shell yang di dalamnya terdapat

power charge dan sebuah electrical ignition element yang dihubungkan dengan insulated
wires yang disebut leg wire. Dan pada garis besarnya detonator listrik dapat di bagi menjadi

dua macam yaitu :

 detonator tanpa element delay



 Dellay detonator

2. Kawat rangkaian

 Legwire yaitu 2 kawat yg menjadi satu dengan detonator



 Connecting wire yaitu kawat yang mempunyai isolasi untuk menghubungkan

legwire dengan firing line



 Firing line yaitu kawat yg digunakan untuk menghubungkan sumber tenaga

listrik dengan rangkaian detonator



 Buswire yaitu perpanjangan dari firing line dimana masing-masing detonator

(rangkaian seri atau parallel) dihubungkan.



3. Sumber tenaga berupa blasting machine

Adapun beberapa tipe dari rangkaian listrik yaitu,

Rangkaian seri merupakan rangkaian yang sangat sederhana dengan arus minimum yang

disuplai Blasting Machine pada setiap detonator sekitar 1,5 Ampere untuk menjamin tiap

detonator tersebut meledak sempurna. Prinsip peledakan adalah menghubungkan Legwire dari

satu lubang ke lubang lain secara menerus, sehingga apabila sala satu detonator mati, maka

seluruh rangkaian terputus dan akan berakibat gagal ledak ( Miss fire). Pada sisitem seri akan

diperoleh arus ( ampere ) yang rendah dan tegangan atau voltage tinggi. Apabila salasatu

kawat ada yang putus, maka seluruh rangkaian tidak dapat berfungsi. Umunya jumlah

detonator pada system seri kurang dari 50 bijih degnan panjang Leg Wire ( Kabel Utama )

tiap detonator 7 m.
2. Rangkaian parallel merupakan suatu rangkaian di mana setiap detonator mempunyai alur

alternative dalam rangkaian tersebut, sehingga apabila sala satu atau beberapa detonator mati,

detonator yang lainnya masih dapat meledak. Oleh sebab itu pengujian rangkaian menyeluruh

secara langsung sangat riskan, apabila setiap detonator belum di uji. Untuk peledakan

rangkaian parallel, arus minimum yang diperlukan per detonator sekitar 0.5 ampere.

3. Rangkaian Parallel – Seri

Rangkaian ini terdiri dari sejumlah rangkaian seri yang di hubungkan parallel. Umumnya

rangkaian ini di terapkan apabila peledakan memerlukan lebih dari 40 detonator dengan leg

wire setipa detonator lebih dari 7 meter,serta dipetimbangan bahwa apabilah seluruh lubang

ledak dihubungkan secara seri memerlukan power yang besar.


a. Waktu tunda
Pemakaian delay detonator sebagai waktu tunda untuk peledakan secara
beruntun. Keuntungan dari peledakan dengan memakai delay detonator adalah :
 Dapat menghasilkan fragmentasi yang lebih baik
 Dapat mengurangi timbulnya getaran tanah
 Dapat menyediakan bidang bebas untuk baris berikutnya.
Bila waktu tunda antar baris terlalu pendek maka beban muatan pada baris
depan menghalangi pergeseran baris berikutnya, material pada baris kedua akan
tersembur kearah vertikal dan membentuk tumpukan. Tetapi bila waktu tundanya
terlalu lama, maka produk hasil bongkaran akan terlempar jauh kedepan serta
kemungkinan besar akan mengakibatkan flyrock. Hal ini disebabkan karena tidak ada
dinding batuan yang berfungsi sebagai penahan lemparan batuan di belakangnya.
Untuk menentukan interval tunda antar baris tidak kurang dari 2 ms/ft dan tidak
lebih dari 6 ms/ft dari ukuran burden. Persamaan di bawah ini dapat digunakan untuk
menentukan besarnya interval waktu antar baris.
tr = Tr x B
Di mana :
tr = interval waktu antar baris, ms
Tr = konstanta waktu antar baris (Tabel 3.1)
B = burden, m
Tabel I
Interval Waktu Antar Baris 7)
Tr Constant (ms / m ) Result
7 Violent excessive airblast, backbreak, etc.
7 – 10 High pile close to face, moderate airblast, backbreak
10 – 20 Average pile height, average airblast and backbreak.
20 – 23 Scattered pile with minimum backbreak.
23 – 42 Blast casting

b. Pengisian bahan peledak


Fragmentasi batuan sangat tergantung pada jumlah bahan peledak yang
digunakan. Powder factor adalah suatu bilangan yang menyatakan berat bahan peledak
yang digunakan untuk menghancurkan batuan (kg/m3). Nilai powder factor sangat
dipengaruhi oleh jumlah bidang bebas, geometri peledakan, pola peledakan, dan
struktur geologi.
Bila pengisian ANFO terlalu banyak maka jarak stemming semakin kecil
sehingga akan mengakibatkan terjadinya flyrock dan airblast, sedang bila pengisian
ANFO kurang maka jarak stemming semakin besar sehingga akan menyebabkan
boulder dan backbreak di sekitar dinding jenjang.
Untuk mendapatkan powder factor, lebih dulu mengetahui jumlah bahan
peledak yang akan digunakan untuk setiap lubang tembak.
1. Loading density dapat dihitung dengan menggunakan rumus :
de = 0,508 De2 (SG)
dimana :
de = loading density, kg/m
De = diameter lubang tembak, inchi.
SG = berat jenis bahan peledak yang digunakan.
2. Jumlah bahan peledak yang digunakan dihitung menggunakan rumus :
E = de  Pc  N
Di mana :
de = loading density, kg / m.
Pc = panjang muatan/ panjang kolom isian lubang tembak, m.
N = jumlah lubang tembak.
E = jumlah bahan peledak yang digunakan, kg.

c. Powder Factor dan Volume Setara


Powder factor (Pf) adalah suatu bilangan untuk menyatakan jumlah material
yang diledakkan atau dibongkar oleh bahan peledak dalam jumlah tertentu, dapat
dinyatakan dalam ton/kg atau kg/ton. Untuk menghitung powder factor harus diketahui
luas daerah yang diledakkan (A), tinggi jenjang (L), panjang muatan dari seluruh
lubang ledak (Pc), loading density (de), dan densitas batuan (dr). Rumus untuk
menentukan powder factor adalah :
Pf = W / E
dimana :
Pf = powder factor, ton / kg.
W = jumlah batuan yang diledakkan, ton.
E = jumlah bahan peledak yang digunakan, kg.
Sedangkan jumlah batuan yang diledakkan dapat dihitung dengan rumus
sebagai berikut :
W = A  L  dr
Di mana :
A = luas batuan yang akan diledakkan, m3.
L = tinggi jenjang, meter.
dr = densitas batuan, ton / m3.
Volume setara adalah suatu angka yang menyatakan setiap meter atau feet
pemboran setara dengan sejumlah volume material atau batuan yang diledakkan, yang
dinyatakan dalam m3/meter, cuft/ft, atau ton.meter, ton/ft. Volume setara sangat
berguna untuk memperkirakan kemampuan dari alat bor yang digunakan untuk
membuat lubang tembak. Volume setara dihitung dengan menggunakan persamaan
sebagai berikut :
A L
Veq =
n H
dimana :
Veq = volume setara, m3/m
A = luas daerah yang akan diledakkan, m2
L = tinggi jenjang, m
n = jumlah lubang tembak dalam pola peledakan
H = kedalaman lubang tembak, m
W = batuan yang akan diledakkan

Tabel III
Harga Powder Factor untuk beberapa jenis batuan 4)
Type of Rock Powder Factor (kg/m3)
Massive high strength rocks 0,6 – 1,5
Medium strength rock 0,3 – 0,6
Highly fissured rocks, weathered or soft 0,1 – 0,3

d. Arah peledakan
Dalam suatu operasi peledakan, maka fragmentasi batuan yang dihasilkan akan
dipengaruhi oleh arah peledakannya. Sedangkan arah peledakan dipengaruhi oleh
struktur batuan yang ada. Struktur batuan yang banyak dijumpai di lapangan biasanya
adalah kekar.
Perambatan gelombang energi pada struktur batuan yang mengandung kekar
sebagian dipantulkan dan sebagian diteruskan. Dengan demikian energi yang
digunakan untuk memecah batuan akan berkurang sehingga fragmentasi batuan akan
menjadi tidak seragam.
Menurut R.L. Ash arah peledakan yang baik untuk menghasilkan fragmentasi
yang seragam yaitu arah peledakan menuju sudut tumpul yang merupakan perpotongan
antara arah umum, dengan demikian penggunaan energi bahan peledak akan lebih baik
karena tidak terjadi penerobosan energi. (Gambar 8)
Apabila arah penerobosan menuju kearah sudut runcing maka akan terjadi
penerobosan energi peledakan dari bahan peledak yang melalui rekahan-rekahan yang
ada. Hal ini akan mengakibatkan terjadinya pengurangan energi peledakan untuk
menghancurkan batuan, sebagai akibatnya akan terbentuk fragmentasi yang berbentuk
blok-blok

Arah Peledakan

Free face

• • • •
• • • • •
• • • •
• • • • •
= Arah peledakan menuju sudut tumpul

GAMBAR 8
ARAH PELEDAKAN MENUJU SUDUT TUMPUL

e. Fragmentasi Batuan
Fragmentasi hasil peledakan merupakan salah satu petunjuk untuk dapat
mengetahui keberhasilan dari suatu peledakan selain powder factor. Karena apabila dalam
suatu peledakan, powder factor tercapai tetapi tidak menghasilkan ukuran fragmentasi
yang diinginkan, maka peledakan tersebut belum bisa dikatakan berhasil.
Berdasarkan KUZNETZOV, 1973, ukuran fragmentasi, TNT, dan struktur geologi
batuan dapat digunakan untuk mencari powder factor. Dalam percobaannya pada batuan
di Kimberlite dengan berbagai ukuran diameter lubang tembak, pola peledakan dan
kecermatan pemboran. Persamaannya sebagai berikut :
0 ,8 0 , 63
V   E 
X = A .    Q 0,167   
Q  115 
Di mana :
X = ukuran rata-rata fragmentasi batuan, cm
A = faktor batuan (lampiran P)
V = volume batuan yang terbongkar, m3
Q = berat bahan peledak tiap lubang ledak, kg
E = relatif weight strenght (ANFO = 100)
Didalam persamaan yang dikemukakan oleh KUZNETZOV (1973), yang
dimodifikasi oleh CUNNINGHAM (1983), ada batasan-batasan yang harus diperhatikan.
Adapun batasan-batasan tersebut sebagai berikut :
1. Penerapan nisbah S/B untuk pemboran, tanpa ada waktu tunda tidak boleh lebih dari
dua.
2. Penyalaan dan pengaturan waktu tunda peledakan harus disusun sedemikian rupa,
sehingga upaya untuk mendapatkan hasil peledakan (fragmentasi) yang baik, dan tidak
terjadi misfire.
3. Bahan peledak harus menghasilkan energi yang cukup serta dalam perhitungan
menggunakan relative weight strength.
4. Perlu dilakukannya penyelidikan terhadap bidang ketidakmenerusan secara teliti. Hal
ini disebabkan karena tingkat fragmentasi sangat tergantung pada bidang
ketidakmenerusan, khususnya pada bidang ketidakmenerusan yang lebih rapat
dibandingkan dengan pola pemborannya.
Dalam berbagai penerapan yang lebih luas, persamaan KUZNETZOV (1973),
membuktikan sebagai metode yang mudah dan cukup realistis untuk dipakai di industri
pertambangan dengan berbagai perubahan ukuran lubang tembak dan jenis bahan peledak.
Ukuran rata-rata fragmentasi itu sendiri tidak cukup, sehingga perlu kemampuan untuk
memperoleh secara perkiraan kasar suatu kisaran untuk fragmentasi yang dibutuhkan
tanpa menjalankan program analisis pecah. Kurva ROSIN – RAMMLER secara umum
telah diakui sebagai rujukan penggambaran tingkat fragmentasi batuan hasil peledakan.
Suatu titik pada kurva tersebut, yaitu ukuran mesh dengan 50% kelolosan diberikan oleh
persamaan KUZNETZOV (1973). Faktor-faktor yang diperlukan untuk menentukan kurva
ROSIN – RAMMLER adalah eksponen “n” dalam persamaan :
x
Xc =
(0,693)1 / n
R = e- (x / Xc)n
Di mana :
R = perbandingan dari material yang tertinggal pada ayakan.
x = ukuran ayakan, mesh
Xc = x / (0,693)1/ n
n = indeks keseragaman

Untuk mendapatkan nilai tersebut, hasil perhitungan dengan persamaan LOWNDS


yang dianalisis dan digambarkan berdasarkan persamaan regresinya dan nilai “n” sangat
tergantung pada ketepatan pemboran, nisbah burden dan ukuran lubang tembak, pola
pemboran, nisbah spasi dan burden serta nisbah panjang isian dan tinggi jenjang.
n = ( 2,2 – 14 B / d ) ( 1 – W / B ) ( 1 + ((S / b ) – 1 ) / 2 ) L / H
dimana :
d = diameter isian (mm)
B = burden (mm)
W = standar deviasi pemboran (m)
S = spacing (m)
H = tinggi jenjang

Peledakan dikatakan berhasil apabila banyaknya batuan hasil peledakan


(fragmentasi) lebih besar dari batuan hasil peledakan yang berupa bongkahan (boulder),
dimana jumlah bongkah batuan yang dihasilkan harus dibawah 15 %. (Mc. Gregor, 1967).
Sedangkan didalam perhitungan tingkat fragmentasi dilapangan, dapat dilakukan
dengan beberapa metode perhitungan, yang antara lain adalah, sebagai berikut ( Jimeno
C.L 1987) :
1. Metode photography
2. Metode photogrametry
3. Metode photography berkecepatan tinggi
4. Analisa produktifitas alat muat alat angkut
5. Analisa volume material pada pemecahan ulang
6. Analisa visual komputer
7. Analisa kenampakan kuantitatif
8. Analisa ayakan
9. Analisa produktifitas alat peremuk
Untuk pengukuran fragmentasi hasil peledakan, dilakukan dengan analisa
produktivitas alat muat dan alat angkut, dengan cara sebagai berikut :

Wp
Fr = x 100%
Wi
Di mana :
Fr = tingkat fragmentasi batuan hasil peledakan < 80 cm
Wp = berat batuan yang berukuran < 80 cm dalam satu kali peledakan (ton)
Wi = berat keseluruhan batuan yang diledakkan (ton)
Adapun tahapan-tahapannya adalah sebagai berikut :
1. Mengukur volume batuan hasil peledakan yang berukuran kurang dari 80 cm (Wp).
Hal ini dilakukan dengan cara batuan yang lebih kecil dari 80 cm kemudian diangkut ke
dump truck menuju ke unit peremuk batuan. Sedangkan untuk batuan yang lebih dari
80 cm atau bongkah batuan dipisahkan untuk dilakukan pemecahan ulang dengan
menggunakan rock breaker. Berat batuan yang masuk yang masuk ke unit peremuk
batuan, dihitung dengan mengalikan jumlah rit pengangkutan, dan berat rata-rata
muatan truk.
2. Mengukur volume batuan yang diledakkan (Wi)
3. Tingkat fragmentasi batuan.
Dari pengukuran tersebut di atas maka volume batuan yang tidak dapat diangkut
oleh alat muat dan alat angkut, maka dianggap sebagai bongkah batuan (boulder). Boulder
tersebut kemudian dikumpulkan pada suatu tempat kemudian dilakukan pemecahan ulang
dengan menggunakan rock breaker. Kemudian batuan tersebut setelah di breaker dan
mempunyai ukuran kurang dari 80 cm, maka bisa diangkut oleh dump truck menuju ke
unit peremuk, kemudian dilakukan pencatatan berapa kali dump truck tersebut melakukan
pengangkutan terhadap batuan hasil pemecahan ulang.

Anda mungkin juga menyukai