Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN KEGIATAN

KUNJUNGAN SPESIFIK KOMISI VII DPR RI


KE PT WILMAR NABATI INDONESIA
PROVINSI JAWA TIMUR

MASA PERSIDANGAN I TAHUN 2018-2019


19 – 21 OKTOBER 2018

SEKRETARIAT KOMISI VII DEWAN PERWAKILAN RAKYAT


REPUBLIK INDONESIA
2018
BAGIAN I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Sejak 1 September 2018 pemerintah telah memberlakukan kebijakan
mandatori perluasan bahan bakar minyak solar dengan campuran 20 persen
minyak sawit alias B20. Program mandatori Bahan Bakar Nabati (BBN) jenis
biodiesel sebagai campuran Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis minyak solar pada
sektor PSO, Non PSO, industri dan komersial, serta pembangkit listrik
merupakan program yang dilaksanakan untuk mendukung percepatan
pengembangan energi baru dan terbarukan. Tidak hanya mengurangi konsumsi
bahan bakar fosil dan memberikan penghematan devisa melalui pengurangan
impor solar, implementasi mandatori BBN diharapkan dapat memperbaiki
kualitas lingkungan, membuka lapangan kerja, serta meningkatkan pemanfaatan
ekonomi sawit.
Melalui optimalisasi dan perluasan pemanfaatan B20 ini, diperkirakan
penyerapan biodiesel untuk sektor PSO dan nonPSO tahun 2018 sebesar 3,92
juta KL dengan proyeksi penghematan sekitar USD 2 miliar pada sisa 4 bulan
terakhir tahun 2018. Pada periode September-Desember 2018 Pemerintah
menetapkan pengadaan B20 sebanyak 940.407 KL
Program B20 tersebut akan diproduksi oleh 19 Badan Usaha (BU)
produsen biodiesel jenis fatty acid methyl ester (FAME), diantaranya adalah PT
Wilmar Nabati Indonesia dan akan disalurkan ke pengguna melalui 11 Badan
Usaha (BU) penyalur BBM, diantaranya, PT Pertamina (persero) dan PT AKR
Corporindo Tbk,
Pemerintah juga menetapkan sanksi bagi BU BBM yang tidak menyalurkan
B20 sebesar Rp 6.000 per liter. Begitu pun dengan BU BBN yang tidak
menyalurkan FAME atau unsur nabati juga bisa dikenai sanksi Rp 6.000 per
liter. Bagi BU BBM dan BBN yang tidak mengikuti ketentuan mandatori
perluasan B20 juga bisa kena sanksi pencabutan izin usaha.
Untuk memayungi kebijakan B20 tersebut pemerintah telah menerbitkan 4
(empat) peraturan:
1. Peraturan Presiden (Perpres) No 66 Tahun 2018 tentang perubahan kedua
atas Perpres No 61 Tahun 2015 tentang Penghimpunan dan Penggunaan
Dana Perkebunan Kelapa Sawit
2. Peraturan Menteri ESDM Nomor 41 Tahun 2018 tentang Penyediaan dan
Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati Jenis Biodiesel dalam Rangka
Pembiayaan oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) Kelapa
Sawit
3. Keputusan Menteri (Kepmen) ESDM Nomor 1935 K/10/MEM/2018 tentang
Perubahan atas Keputusan Menteri ESDM Nomor 1803 K/10/MEM/2018
tentang Penetapan Badan Usaha Bahan Bakar Nabati Jenis Biodiesel dan
Alokasi Besaran Volume untuk Pengadaan Bahan Bakar Nabati Jenis
Biodiesel pada PT Pertamina (Persero) dan PT AKR Corporindo Tbk
Periode Mei-Oktober 2018.
4. Keputusan Menteri (Kepmen) ESDM Nomor 1936 K/10/MEM/2018 tentang
Pengadaan Bahan Bakar Nabati Jenis Biodiesel untuk Pencampuran Jenis
Bahan Bakar Minyak Umum Periode September-Desember 2018
tertanggal 27 Agustus 2018.
Keempat peraturan tersebut secara lengkap memayungi pelaksanaan
kebijakan perluasan mandatori biodiesel B20, mulai dari aspek penghimpunan
dana sawit yang digunakan untuk membiayainya, hingga teknis pelaksanaan di
lapangan, termasuk mengenai sanksi bagi pihak terkait yang tidak
melaksanakannya.
Namun demikian, dalam implementasinya, program B20 ini terdapat
beberapa kendala, baik produsen FAME maupun penyalur. Ketersediaan
pasokan BBN dan terlambatnya suplai FAME atau atau bahan campuran
biodiesel 20 persen (B20) dari beberapa BU BBN di lokasi-lokasi pencampuran
misalnya di Terminal Bahan Bakar Minyak (TBBM) BU BBM, seperti PT
Pertamina (Persero) menjadi masalah terbesar. Berdasarkan data PT
Pertamina, hingga 25 September 2018, PT Pertamina baru menerima pasokan
sejumlah 224.607 kiloliter (KL) atau sekitar 62 persen dari target periode 1-25
September 2018 sebesar 359.734 KL. Padahal, PT Pertamina mengklaim
sebanyak 112 TBBM dan penyalur PT AKR Corporindo Tbk yang tersebar di
seluruh Indonesia telah siap menyalurkan biodiesel yang tahun ini diperkirakan
akan mencapai 3,02 juta KL.
Selain itu, hingga kini, pemerintah tidak tegas menjatuhkan sanksi pada BU
penyalur BBM maupun BU BBN tidak memenuhi target pemenuhan
implementasi program B20. Hal ini dikarenakan masalah keterlambatan
pengiriman pasokan FAME ke BU BBM disebabkan oleh beberapa faktor. Salah
satunya, masalah koordinasi dan pengadaan kapal yang membutuhkan waktu.
Kemudian, untuk mengefisienkan waktu pengiriman, pemerintah perlu
melakukan evaluasi alokasi pengadaan FAME ke BU BBM yang telah ditetapkan
sebelumnya. Artinya, pemasok biodiesel ke badan usaha penyalur BBM
diupayakan yang terdekat agar pengiriman pasokan bisa lebih cepat.
Mempertimbangkan sisi pentingnya pengawasan terhadap implementasi
kebijakan mandatori perluasan B20, Komisi VII DPR RI memandang perlu untuk
melakukan Kunjungan Kerja Spesifik ke PT Wilmar Nabati Indonesia di Provinsi
Jawa Timur. Kunjungan ini diharapkan dapat memberikan informasi penting
terkait kendala-kendala yang dihadapai dalam implementasi kebijakan B20
tersebut untuk kemudian ditindaklanjuti oleh Komisi VII DPR RI dalam Rapat
Kerja dan Rapat Dengar Pendapat bersama mitra-mitra terkait sesuai dengan
fungsinya.

B. DASAR HUKUM KUNJUNGAN


Kunjungan Kerja Spesifik Komisi VII DPR RI dilaksanakan berdasarkan Hasil
1. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2018 perubahan atas UU No.14 tahun
2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
2. Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 1/DPR
RI/I/2014 tentang Tata Tertib DPR RI.
3. Keputusan Rapat Internal Komisi VII DPR RI tanggal 20 Agustus 2018
tentang Agenda kerja Masa Persidangan I Tahun Sidang 2018-2019.

B. MAKSUD DAN TUJUAN KEGIATAN


Maksud dan tujuan diadakannya Kunjungan Kerja Spesifik Komisi VII DPR RI
ke PT Wilmar Nabati Indonesia di Provinsi Jawa Timur adalah mengetahui
produksi biodiesel jenis FAME serta masalah-masalah yang dihadapi dalam
implementasi kebijakan mandatori perluasan B20. Hasil kegiatan Kunjungan
Kerja Spesifik Komisi VII DPR RI diharapkan bisa menjadi referensi untuk
ditindaklanjuti dalam Rapat Kerja dan Rapat dengar Pendapat Komisi VII DPR
RI dengan mitra terkait.

C. WAKTU DAN LOKASI KEGIATAN


Waktu pelaksanaan Kunjungan Kerja Spesifik Komisi VII DPR RI ke PT Wilmar
Nabati Indonesia di Provinsi Jawa Timur adalah tanggal 19 – 20 Oktober 2018.
Adapun agenda tim Kunjungan Kerja Spesifik Komisi VII DPR RI selama
berada di PT Wilmar Nabati Indonesia adalah sebagai berikut :
1. Peninjauan lapangan PT Wilmar Nabati Indonesia
2. Pertemuan dengan Dirjen Migas, Dirjen EBTKE Kementerian ESDM RI
Eselon I Kementerian LHK RI, Direktur Utama PT Wilmar Nabati Indonesia,
Direksi PT Pertamina (Persero), Direksi PT AKR Corporindo Tbk.
(Jadwal Terlampir)

V. SASARAN DAN HASIL KEGIATAN


Sasaran dari kegiatan kunjungan spesifik Komisi VII DPR RI ke Provinsi
Jawa Timur adalah melihat langsung untuk memperoleh informasi secara
komprehensif terutama kegiatan produksi biodiesel jenis FAME di PT Wilmar
Nabati Indonesia di Provinsi Jawa Timur dan masalah implementasi kebijakan
mandatori perluasan B20 secara umum.
Hasil kegiatan kunjungan spesifik Komisi VII DPR RI diharapkan bisa
menjadi rekomendasi untuk ditindaklanjuti dalam rapat-rapat Komisi VII DPR RI
dengan mitra terkait, khususnya dalam melaksanakan fungsi legislasi,
pengawasan dan anggaran.

F. METODOLOGI PELAKSANAAN KEGIATAN


Pelaksanaan kegiatan kunjungan lapangan Komisi VII DPR RI dilakukan dengan
tahapan sebagai berikut:
1. Persiapan (menghimpun data dan informasi awal sebagai informasi
sekunder, koordinasi dengan pihak terkait, dan persiapan administrasi
kegiatan)
2. Pelaksanaan kegiatan, dilakukan pertemuan dengan berbagai instansi dan
melihat langsung objek kunjungan.
3. Pelaporan, berisi seluruh rangkaian kegiatan dan hasil kegiatan beserta
rekomendasinya.
4. Pembahasan dan tindaklanjut hasil-hasil kunjungan lapangan pada rapat-
rapat Komisi VII DPR RI.

G. ANGGOTA TIM KUNJUNGAN LAPANGAN


Kunjungan kerja spesifik Komisi VII DPR RI diikuti oleh Anggota Komisi VII DPR
RI, yang merupakan representasi dari tiap-tiap fraksi, sebagaimana terlampir.

DAFTAR NAMA ANGGOTA


KUNJUNGAN SPESIFIK KOMISI VII DPR RI
KE PT WILMAR NABATI INDONESIA DI PROVINSI JAWA TIMUR
MASA PERSIDANGAN I TAHUN SIDANG 2018-2019
TANGGAL 19 s/d 21 September 2018

NO NAMA NO. FRAKSI JABATAN


. ANGG.

1. SYAIKHUL ISLAM ALI. Lc, M.Sosio 03 PKB KETUA TIM

2. DONY MARYADI OEKON 107 PDI'P ANGGOTA

3. Dr. Ir. H FADEL MUHAMMAD 317 GOLKAR ANGGOTA

4. IVAN DOLY GULTOM 262 GOLKAR ANGGOTA

5. Drs. KH. NAWAFIE SALEH, SE . MM 269 GOLKAR ANGGOTA

6. MAHYUDIN, ST, MM 307 GOLKAR ANGGOTA

7. BAMBANG HARYADI, SE 387 GERINDRA ANGGOTA

8. RAMSON SIAGIAN 362 GERINDRA ANGGOTA

9. SAYED ABUBAKAR S. ASSEGAF 404 DEMOKRAT ANGGOTA

10. H. TOTOK DARYANTO, S.E 489 PAN ANGGOTA

11. Ir. H TJATUR SAPTO EDY, MT 481 PAN ANGGOTA

12. PEGGI PATRICIA PATTIPI 83 PKB ANGGOTA

13. H. MUHAMMAD YUDI KOTOUCKY 123 PKS ANGGOTA

14. DR. KURTUBI, SE, M. Sp. M.Sc 26 NASDEM ANGGOTA

15. dr. ARI YUSNITA 31 NASDEM ANGGOTA


BAGIAN II
PELAKSANAAN KEGIATAN DAN HASIL KUNJUNGAN

Pertemuan dengan Dirjen Migas, Dirjen EBTKE Kementerian ESDM RI Eselon I


Kementerian LHK RI, Direktur Utama PT Wilmar Nabati Indonesia, Direksi PT
Pertamina (Persero), Direksi PT AKR Corporindo Tbk. dilanjutkan dengan
peninjaun lapangan PT Wilmar Nabati Indonesia. Dalam pertemuan tersebut
mendapat informasi dan catatan sebaga berikut.

1. Pemerintah melalui Kementerian ESDM telah menggalakkan program mandatori


pemanfaatan Bahan Bakar Nabati sejak tahun 2006, dengan tujuan utama yaitu
meningkatkan ketahanan energi nasional dengan mengoptimalkan sumber daya
hayati yang ada di Indonesia yang berpotensi dapat mengurangi ketergantungan
impor bahan bakar fossil, serta untuk mengurangi emisi gas buang.
2. Program mandatori telah dituangkan dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 32
Tahun 2008 tentang Penyediaan, Pemanfaatan, dan Tata Niaga Bahan Bakar
Nabati (Biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain sebagaimana telah diubah terakhir
kali dengan Peraturan Menteri ESDM Nomor 12 Tahun 2015.
3. Saat ini program mandatori telah berjalan untuk Bahan Bakar Nabati jenis
Biodiesel yang didukung adanya insentif dari BPDPKS, dimana mulai awal tahun
2016 persentase pencampuran Biodiesel ke dalam BBM jenis minyak solar yang
diterapkan sebesar 20% (B20) untuk sektor transportasi dan industri serta 30%
(B30) untuk sektor pembangkit listrik, dan mulai 1 September 2018 perluasan
mandatori B20 ke sektor Non PSO.
4. Saat ini terdapat 25 BU BBN yang aktif berproduksi dengan total kapasitas
terpasang sebesar 12,06 juta KL/Tahun, yang tersebar di pulau Sumatera, Jawa,
Bali, Kalimantan, dan Sulawesi. Produksi Biodiesel pada tahun 2017 sebesar
3.416.417 KL dengan realisasi domestik sebesar 2.571.569 KL dan ekspor
187.349 KL. Sedangkan untuk tahun 2018 (update data s.d. Agustus 2018)
produksi Biodiesel sebesar 3.495.833 KL dengan realisasi domestik 1.781.850
KL dan ekspor 1.088.883 KL.
5. PT Wilmar Nabati Indonesia (PT WINA) merupakan salah satu BU BBN Jenis
Biodiesel holding company milik Wilmar Group yang memiliki Izin Usaha Niaga
berdasarkan Kepdirjen EBTKE nomor 632 K/10/DJE/2015 tentang Perubahan
Atas Keputusan Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Nomor
23985.K/10/DJM.O/2010 tentang Izin Usaha Niaga Bahan Bakar Nabati (Biofuel)
Sebagai Bahan Bakar Lain. PT WINA memiliki unit produksi Biodiesel dengan
kapasitas terpasang sebesar 1.499.000 MT/Tahun atau setara 1.665.517
KL/Tahun. Selain PT WINA, Wilmar Group juga memiliki BU BBN jenis Biodiesel
lainnya yaitu:
a. PT Wilmar Bioenergi Indonesia, berlokasi di Dumai, Riau dan memiliki
kapasitas terpasang sebesar 1.395.000 MT/Tahun atau setara 1.603.448
KL/Tahun.
b. PT Multi Nabati Sulawesi, berlokasi di Bitung, Sulawesi Utara dan memiliki
kapasitas terpasang 414.000 MT/Tahun atau setara 475.862 KL/Tahun.
6. Berdasarkan Pengadaan Biodiesel PSO Periode Mei–Desember 2018, PT WINA
mendapatkan volume alokasi untuk menyuplai BU BBM:
a. PT Pertamina (Persero) dengan volume 281.452 KL;
b. PT AKR Corporindo Tbk. dengan volume 5.267 KL.
Untuk pengadaan Biodiesel Non PSO Periode September–Desember 2018, PT
WINA mendapatkan alokasi untuk menyuplai BU BBM:
a. PT Pertamina (Persero) dengan volume 86.248 KL;
b. PT AKR Corporindo Tbk dengan volume 38.619 KL;
c. PT Petro Andalan Nusantara dengan volume 12.000 KL.
7. Selain untuk kebutuhan domestik, PT WINA juga melaksanakan kegiatan ekspor
Biodiesel. Pada tahun 2017, PT WINA melakukan ekspor ke negara Vietnam
(1,95 KL), sedangkan pada tahun 2018 telah melakukan ekspor ke negara India
(1.931 KL) dan China (95.483 KL).
EKSPOR BIODIESEL TAHUN 2018

Volume
No Bulan Volume (KL)
(MT)

1 Februari 43,000 49,425

2 Maret 41,984 48,257

3 April 110,079 126,528

4 Mei 96,459 110,873

5 Juni 365,764 420,418

6 Juli 289,998 333,330

TOTAL 947,284 1,088,833

Volume
No Negara Volume (KL)
(MT)

1 Belgium 29,999 34,482

2 China 409,193 470,337

3 India 5,130 5,896

4 Italy 39,821 45,771

5 Republic of Korea 218 250

6 Malaysia 13,000 14,942

7 Netherlands 133,059 152,942

8 Peru 42,000 48,276

9 Spain 274,864 315,935

TOTAL 947,284 1,088,833


8. Saat ini PT WINA tidak melakukan kegiatan ekspor, produksi Fame 100 erswen
untuk kebutuhan distribusi mandatori B20 dengan harga sebesar Rp. 7341
9. Saat ini produksi dan stok CPO PT WINA sedang tinggi, dengan adanya
program perluasan B20 ini bisa menciptakan tambahan permintaan baru untuk
minyak sawit mentah di dunia.
Produksi Biodiesel PT WINA
Spesifikasi Produk Biodisel PPT WINA

10. 112 Terminal BBM PT Pertamina siap menyalurkan Biosolar. Estimasi


penyerapan FAME PT Pertamina tahun 2018 sebesar 3.279.356 KL dan
pertanggal 16 Oktober telah mencapai 20%. Sementara potensi penyaluran
FAME pada priode Januari-Desember 2019 sebesar 5.300.00 KL
11. Pemerintah sedang mengkaji adanya pelanggran, baik dari Badan Usaha BBN
maupun penyalur. Namun saat ini belum dapat menetapkan langkah atau sanksi
lebih jauh kepada badan usaha tersebut. Ini lantaran pemerintah masih
membuat prosedur penindakan, menyiapkan rekening pembayaran denda,
hingga tim yang akan mengevaluasi implementasi B20.
12. Pemerintah perlu melakukan tindakan tegas dan pengenaan sanksi terhadap
potensi pelanggaran program B20 ini, baik dari Badan Usaha BBN maupun
penyalur. Adapun sanksi yang diberikan sesuai Permen ESDM Nomor 41 Tahun
2018 yaitu denda sebesar Rp 6.000/liter hingga pencabutan izin operasional.
13. Dalam pelaksanaan distrubsi FAME belum memenuhi target yang ditetapkan
karena terdapat beberapa kendala, khususnya untuk distribusi ke PT Freeport
Indonesia dan PT PLN. Beberapa kendala umum, Pertama, adanya
keterbatasan jumlah kapal pengangkut FAME, sehingga perlu waktu untuk
mencari kapal. Kedua, pengiriman biodiesel yang menggunakan double handling
(penanganan ganda). Ketiga, proses administrasi di Direktorat Bea dan Cukai,
antrian sandar kapal, dan bongkar muat kapal, yang memerlukan waktu lama.
Keempat, durasi perjalanan yang sulit diprediksi. Kelima, sarana dan fasilitas
terminal BBM yang sulit terjangkau.
14. Pelaksaan program B20 masih terdapat penolakan dari kalangan industri,
khususnya industri otomotif/mobil truk karena produk biodiesel dapat
mengakibatkan kerusakan, penambahan emisi dan pemborosan pada mesin
serta tidak lolos dalam uji kendaraan (KIR). Untuk itu Pemerintah perlu
melakukan kajian serius untuk meningkatkan kualitas produk biodiesel dari
program mandatori B20 ini.
BAB III
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Hasil kunjungan spesifik ke PT Wilmar Nabati Indonesia di Provinsi Jawa Timur


terdapat beberapa kesimpulan dan rekomendasi sebagai berikut:
1. Tim kunjungan spesifik Komisi VII DPR RI mengaparesiasi program perluasan
mandatori B20 sebagai upaya mengurangi konsumsi bahan bakar fosil dan
memberikan penghematan devisa melalui pengurangan impor solar,
memperbaiki kualitas lingkungan, membuka lapangan kerja, serta meningkatkan
pemanfaatan ekonomi sawit.
2. Tim kunjungan spesifik Komisi VII DPR RI mendesak Dirjen EBTKE
Kementerian ESDM RI melakukan kajian serius untuk meningkatkan kualitas
produk biodiesel dari program mandatori B20 ini agar dapat diimplematasik ke
semua industri, khususnya industri otomotif.
3. Tim kunjungan spesifik Komisi VII DPR RI mendesak Dirjen Migas Kementerian
ESDM RI melakukan upaya untuk mengatasai kendala distribusi FAME dan
melakukan pengawasan serta tindakan tegas dan pengenaan sanksi terhadap
potensi pelanggaran program B20 ini, baik dari Badan Usaha BBN maupun
penyalur sesuai ketentuan Permen ESDM Nomor 41 Tahun 2018.
4. Tim kunjungan spesifik Komisi VII DPR RI merekomendasikan untuk
mengagendakan Rapat Dengar Pendapat atau Rapat Kerja dengan
Kementerian ESDM RI dan perusahaan penyalur serta pelaku industri untuk
melakukan pembahasan komprehensif terkait pengawasan implementasi
program perluasan mandatori B20.
BAB IV
PENUTUP

Demikian Laporan Kegiatan dalam rangka Kunjungan Kerja Spesifik Komisi


VII DPR RI ke PT Wilmar Nabati Indonesia di Provinsi Jawa Timur, sebagai bahan
masukan dan pertimbangan untuk ditindaklanjuti oleh Komisi VII DPR RI dalam
melaksanakan tugas dan fungsinya khususnya fungsi pengawasan.

Jakarta, Oktober 2018


Tim Kunjungan Kerja Spesifik
Komisi VII DPR RI
Ketua Tim,

SYAIKHUL ISLAM ALI. Lc, M.Sosio

Anda mungkin juga menyukai