Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Stroke merupakan gangguan saraf permanen karena terganggunya

peredaran darah ke otak, yang terjadi sekitar 24 jam atau lebih. Sindrom klinis ini

terjadi secara mendadak serta bersifat progresif sehingga menimbulkan kerusakan

otak secara akut dengan tanda klinis yang terjadi secara fokal dan atau global

(Lingga, 2013). Penyakit stroke adalah salah satu dari penyakit tidak menular

yang masih menjadi masalah keehatan yang penting di Indonesia. Morbiditas dan

mortalitas penyakit stroke semakin meningkat dalam waktu bersamaan, dimana di

Indonesia peningkatan kasus dapat berdampak negatif terhadap ekonomi dan

produktivitas bangsa, karena pengobatan stroke membutuhkan waktu lama dan

memerlukan biaya yang besar (Kemenkes, 2014).

Data World Health Organization (WHO) tahun 2012 menunjukkan

sekitar 17,7 juta orang di seluruh dunia meninggal akibat penyakit jantung dan

pembuluh darah. Dari seluruh kematian akibat penyakit kardiovaskuler, sebesar

7,4 juta disebabkan oleh Penyakit Jantung Koroner dan 6,7 juta disebabkan oleh

stroke. (Kemenkes, 2017). Prevalensi penderita stroke berdasarkan diagnosis di

Indonesia tahun 2018 adalah 10,9 permil. Angka kejadian stroke akan bertambah

seiring dengan bertambahnya umur dimana kasus tertinggi berada pada umur ≥75

tahun. (Riskesdas, 2018).

1
2

Data Badan Penyelenggara Kesehatan (BPJS) tahun 2015 menyatakan

bahwa stroke menghabiskan biaya pelayanan kesehatan sebesar Rp1,15 triliun

dan meningkat menjadi Rp 1,27 triliun pada tahun 2016. Hal ini berarti terjadi

peningkatan pembiayaan sebesar 10,4% untuk stroke dalam kurun waktu 1 tahun.

Rumah sakit merupakan sarana atau penyedia layanan kesehatan yang

paling utama dan merupakan bagian dari mata rantai rujukan layanan kesehatan

yang sangat dibutuhkan masyarakat, dalam rangka meningkatkan kesejahteraan

masyarakat secara umum (Muhith, 2014). Mutu pelayanan keperawatan sebagai

indikator kualitas pelayanan kesehatan menjadi salah satu faktor penentu citra

institusi pelayanan kesehatan di mata masyarakat. Hal ini terjadi karena

keperawatan merupakan kelompok profesi dengan jumlah terbanyak, paling

depan dan terdekat dengan penderitaan, kesakitan, serta kesengsaraan yang

dialami pasien dan keluarganya (Muhith, 2017).

Perawat merupakan tenaga kesehatan yang paling banyak dan paling

lama kontak dengan pasien. Asmuji (2012), menyebutkan bahwa 40% tenaga

yang ada di rumah sakit adalah tenaga keperawatan, dan sebanyak 90%

pelayanan yang ada di rumah sakit merupakan pelayanan keperawatan. Peran dan

tugas perawat dalam pelayanan kesehatan di rumah sakit cukup dominan.

Menurut Muhith (2014), seorang perawat profesional merupakan suatu kesatuan

dari berbagai kemampuan yang harus dimiliki, salah satunya adalah kemampuan

perawat dalam memberikan asuhan keperawatan harus dapat mencerminkan


3

penampilan profesionalnya yang dapat dilihat penampilan luar dan penampilan

pribadinya yang keduanya saling melengkapi. Penampilan luar dapat dilihat dari

cara berpakaian yang rapi, sopan, menarik dan make up secukupnya. Sedangkan

penampilan dalam dapat ditunjukan dari penguasaan komunikasi terapeutik atau

interpersonal yang baik pada pasien, sesama perawat maupun profesi yang lain.

Komunikasi interpersonal antara perawat dengan pasien merupakan hal

yang penting dilakukan oleh para perawat yang bekerja di Rumah Sakit Jiwa.

Berdasarkan penelitian Swanburg (dalam Nursalam, 2016), bahwa lebih dari 80

% waktu yang digunakan untuk berkomunikasi, 16% untuk membaca dan 4 %

untuk menulis. Waktu terbanyak yang digunakan oleh perawat adalah melakukan

komunikasi dengan cara mendengar dan berbicara, maka jelas bahwa perawat

harus mempunyai ketrampilan komunikasi interpersonal yang baik. Perawat yang

mampu melakukan komunikasi interpersonal dengan pasien akan membantu

kesembuhan pasien. Berdasarkan hasil studi pendahuluan pada bulan Juli 2017

dengan melakukan pengawasan pada perawat di Instalasi Psikogeriatri RSJ. Dr.

Radjiman Wediodiningrat Lawang dengan mengambil sampel sebanyak 5 orang

dari 34 perawat yang ada diperoleh hasil bahwa 2 orang (40%) perawat kurang

terbuka dalam memberikan penjelasan, 2 orang (40%) kurang berperilaku

suportif dengan pasien dan 1 orang (20%) yang menunjukkan sikap yang empati.

Hasil studi pendahuluan tersebut memberikan gambaran bahwa komunikasi

interpersonal perawat yang kurang baik dalam memberikan pelayanan terhadap

pasien.
4

Salah satu faktor yang mempengaruhi kemampuan komunikasi

interpersonal perawat adalah kecerdasan emosional. Menurut Goleman (2016),

bahwa kecerdasan emosi seseorang menyumbang pengaruh besar terhadap

komunikasi interpersonal seseorang. Orang yang cerdas emosi akan mampu

mengenali emosi, mengendalikan emosi, memotivasi diri, empati dan hubungan

sosial, dengan adanya kemampuan untuk mengenali emosi, mengendalikan

emosi, memotivasi diri, empati dan hubungan sosial maka akan mampu

melakukan komunikasi dengan orang lain. Perawat yang mempunyai kecerdasan

emosi yang tinggi akan mampu melakukan komunikasi interpersonal. Perawat

yang mempunyai kecerdasan emosi yang tinggi akan mampu mengenali

emosinya, dengan mampu mengenali emosi akan mampu mengendalikan emosi

sehingga perawat akan merawat pasien dengan baik. Perawat yang cerdas emosi

juga mampu memotivasi diri, mengenali emosi orang lain dan mampu melakukan

hubungan dengan orang lain. Dengan kemampuannya dalam memotivasi diri,

mengenali orang lain dan mampu melakukan hubungan dengan orang lain maka

perawat akan mampu melakukan komunikasi interpersonal dengan pasien.

Sedangkan pada perawat yang mempunyai kecerdasan emosi yang rendah maka

mereka tidak mampu mengenali emosi orang lain, kurang mampu memotivasi

diri dan mereka kurang mampu melakukan hubungan sosial dengan orang lain,

hal ini menimbulkan perawat kurang mampu melakukan komunikasi

interpersonal dengan pasien.

Untuk mengatasi perawat yang kurang mampu melakukan komunikasi

interpersonal dengan pasien adalah dengan mengikutkan pelatihan pentingnya


5

komunikasi interpersonal dalam kegiatan Bimbingan Teknis MPKP (Model

Praktek Keperawatan Profesional), atau bagi karayawan yang berprestasi baik

diusulkan untuk mengikuti seminar, studi banding atau mengikuti tugas belajar.

Dengan demikian perawat jadi dipacu untuk mengembangkan kecerdasan

emosionalnya dan juga kemampuan komunikasi interpersonalnya. Berangkat dari

masalah tersebut di atas peneliti tertarik untuk meneliti tentang hubungan

kecerdasan emosi dengan komunikasi interpersonal perawat di Instalasi

Psikogeriatri RSJ. Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang

1.2 Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah ada hubungan stress

hospitalisasi dengan gangguan tidur pada pasien stroke di Ruang Metro RSJ. Dr.

Radjiman Wediodiningrat Lawang?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Mengetahui Hubungan Stress Hospitalisasi Dengan Gangguan Tidur

Pada Pasien Stroke Di Ruang Metro RSJ. Dr. Radjiman Wediodiningrat

Lawang

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mengidentifikasi stress hospitalisasi di pada pasien stroke di Ruang Metro

RSJ. Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang


6

2. Mengidentifikasi gangguan tidur pada pasien stroke di Ruang Metro RSJ.

Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang

3. Menganalisis hubungan stress hospitalisasi dengan gangguan tidur pada

pasien stroke di Ruang Metro RSJ. Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat praktis

1. Bagi Lokasi Penelitian

Penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan untuk meningkatkan

kualitas asuhan keperawatan dalam mengatasi gangguan tidur pada pasien

stroke di RSJ. Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang

2. Bagi Tenaga Kesehatan

Dapat dijadikan sebagai bahan kajian perawat dalam mengatasi gangguan

tidur pada pasien stroke

1.4.2 Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai dasar pengembangan ilmu

keperawatan, khususnya dalam hal yang berhubungan dengan gangguan tidur

pada pasien stroke serta dapat digunakan sebagai referensi bagi peneliti

selanjutnya.

1.5 Penelitian Terdahulu


7

Penelitian terdahulu adalah salah satu dasar diadakan penelitian

sesudahnya, dan untuk melihat apakah hasil penelitian tersebut sama dan

relevan jika diterapkan pada objek penelitian lainnya. Beberapa hasil penelitian

terdahulu yang relevan adalah sebagai berikut :

Tabel 1.1. Penelitian Terdahulu

No Nama / Variabel Hasil Perbedaan


tahun

1 Hubungan Variabel Terdapat hubungan


tingkat stress independen: signifikan antara tingkat
dengan Tingkat stress stress dengan kejadian
kejadian sleep paralysis pada
sleep mahasiswa FIK-UI
paralysis Angkatan 2008 dengan
Variabel
pada nilai p = 0,015
dependen:
mahasiswa
kejadian sleep
FIK-UI
paralysis
Angkatan
2008
Ruby
Larasaty
(2012)

2 Hubungan Variabel Tidak ada hubungan yang


tingkat stress independen: signifikan antara tingkat
dengan Tingkat stress stress dengan gangguan
gangguan tidur pada mahasiswa
tidur pada yang menyelesaikan
mahasiswa skripsi di fakultas
Variabel
skripsi di rumpun Science-
dependen:
salah satu Technology UI dengan
Gangguan tidur
fakultas nilai p= 0,675
rumpun
Science-
Technology
UI

Resti Putri
Wulandari
8

(2012)
9

Lingga, Lanny. 2013. All About Stroke Hidup Sebelum dan Pasca Stroke. Gramedia:

Jakarta

https://www.ahajournals.org/doi/pdf/10.1161/CIR.0000000000000659. Heart Disease

and Stroke Statistics— 2019 Update A Report From the American Heart Association

http://www.p2ptm.kemkes.go.id/dokumen-ptm/germas-cegah-stroke

Sleep duration is also associated with stroke risk.

In a meta-analysis of 11 studies, long sleep, mostly

defined as self-reported sleep of ≥8 to 9 hours per

night, was associated with incident stroke, with

an HR of 1.45 (95% CI, 1.30–1.62) after adjustment for demographics, vascular risk

factors, and

comorbidities.240 In this same meta-analysis, short

sleep, defined as sleep ≤5 to 6 hours per night,

was also associated with incident stroke (HR, 1.15

[95% CI, 1.07–1.24]) after adjustment for similar

factors.

• In a 2017 meta-analysis that included 20 reports


10

related to stroke outcomes, there was an approximate U‐shaped association between

sleep duration and stroke risk, with the lowest risk at a

sleep duration of ≈6 to 7 hours daily. Both short

and long sleep duration were associated with

increased stroke risk of stroke. For every hour of

sleep reduction below 7 hours, after adjustment

for other risk factors, the pooled RR was 1.05

(95% CI, 1.01–1.09) and for each 1-hour increment of sleep above 7 hours, the RR was

1.18

(95% CI, 1.14–1.21).241

• In a meta-analysis of 10 studies, a J-shaped relationship was reported between sleep

duration

and stroke risk, with the lowest risk among those

with a sleep duration of 6 to 7 h/d.242

Anda mungkin juga menyukai