Anda di halaman 1dari 47

BAB I

LAPORAN KASUS

Ny. H, perempuan, 50 tahun, datang dengan gangguan buang air besar (BAB)
sejak kurang lebih 1 bulan. BAB dikatakan kecil-kecil dan disertai darah segar.
Pasien juga mengatakan bahwa terdapat rasa tidak puas saat BAB. Penurunan
berat badan disangkal. Riwayat kanker pada keluarga disangkal. Status gizi cukup.
Pada pemeriksaan fisik normal.
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan anemia ringan (Hb 10 g/dL). Pada
röntgen thoraks, ditemukan kesan multiple lesi noduler suspek tumor metastasis
ke paru.

Pasien kami diagnosis dengan tumor rekti 1/3 distal. Kami melakukan operasi
laparotomi dengan reseksi usus halus/ kolon dan pull-through dengan tahapan
sebagai berikut:
1. Pasien dibaringkan dengan posisi supine di bawah GA
2. Dilakukan disinfeksi dan drapping
3. Dilakukan insisi midline 2 jari di atas suprapubik hingga 2 jari di atas
umbilicus.
4. Insisi diperdalam secara tajam dan tumpul.
5. Identifikasi organ padat, hepar dan lien teraba dan tampak normal,
identifikasi hollow viscus, perabaan didapatkan massa tumor di distal 1/3
rektum.
6. Dilakukan buka proyeksi peritoneum den pembebasan bagian distal
sigmoid dan rektum.
7. Tampak dan teraba massa di 1/3 distal rektum.
8. Dilakukan prosedur reseksi tumor dan dilanjutkan dengan pull-through
sepanjang 10 cm keluar dari anus (stump).
9. Dilakukan penjahitan abdomen lapis demi lapis dengan meninggalkan satu
buah drain.

Lama operasi sekitar 2 jam 40 menit, dengan pendarahan 400 cc, tidak dilakukan
transfusi selama operasi dan tidak ada masalah hemodinamik intra operasi. Paska
operasi pasien dibawa ke ruangan. Lama perawatan di ruangan hari. Jaringan yang
sudah direseksi kemudian dibawa ke laboratorium untuk diperiksa leibh lanjut.
Hasil PA: adenokarsinoma rekti diferensiasi sedang dengan ujung reseksi dekat
masih mengandung sel tumor dan ujung reseksi jauh bebas tumor. Pasien
direncanakan untuk operasi pemotongan stump setiap satu bulan.

Gambar 1.1 Foto pasien setelah dilakukan teknik pull-through


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Rektum


Rektum merupakan bagian terakhir usus besar di antara kolon sigmoid dan kanalis
ani. Daerah rektum meliputi perbatasan rektosigmoid pada tingkat vertebra S-3
atau promontorium sakral dan berakhir pada tingkat cincin anorektal. Panjangnya
sekitar 12-15 cm dengan sebuah kaliber internal yang mirip dengan kolon sigmoid
pada bagian awalnya. Rektum berdilatasi dekat bagian akhirnya dan membentuk
ampula rektal.1,2

Gambar 2.1 Sudut pandang koronal dari sebagian posterior kavum pelvis yang
menunjukkan aspek anterior rektum.2

Kanalis ani merupakan segmen terakhir dari traktus gastrointestinal yang berada
di bawah lantai pelvis dalam regio perineum. Panjang kanalis ani pada orang
dewasa adalah 4-5 cm dengan dinding anterior yang lebih pendek daripada
dinding posteriornya.2
Gambar 2.2 Potongan skematik dari kanalis ani dan fosa isioanal kanan2

2.2 Kanker Rektal


2.2.1 Definisi
Kanker rektal merupakan tumor epitelium rektum yang ganas karena sudah
mempenetrasi mukosa muskularis sampai ke bagian submukosa. Adanya
keberadaan sel Paneth, sel neuroendokrin atau fokus kecil dari diferensiasi sel
skuamosa yang tersebar cocok dengan diagnosis adenokarsinoma.1
Kanker rektal merupakan salah satu jenis keganasan pada usus besar
yang bersama dengan kanker kolon sebagai kanker kolorektal (KKR) menempati
urutan ke-3 kanker yang paling sering ditemukan pada perempuan dan urutan ke-4
tersering pada laki-laki. Mengingat perbedaan asal-usul embrionik dari kolon dan
rektum, kanker yang timbul dari dua lokasi usus besar ini memiliki beberapa ciri
khas yang berbeda. Kolon berasal dari midgut, sedangkan rektum dari hindgut.
Gradien reseptor hormon serta fungsi keduanya pun berbeda. Rektum terpapar
feses yang terkonsentrasi lebih secara langsung. Selain itu, zat yang tidak tercerna
yang bergerak di sepanjang usus besar dilapisi dengan lendir alkali. Perbedaan
tingkat pH di usus besar dan rektum juga dapat mempengaruhi kerentanan
terhadap faktor lingkungan.1,3

2.2.2 Epidemiologi
Terdapat sekitar 875.000 kasus kanker kolorektal yang terjadi di seluruh dunia
pada tahun 1996, yang mewakili sebanyak 8,5% dari seluruh kasus kanker baru.
Insiden yang distandarisasi usia sangat bervariasi di seluruh dunia. Terdapat
perbedaan insiden hingga 20 kali lipat antara angka kejadian yang lebih tinggi di
negara-negara maju di Eropa, Amerika Utara dan Selatan, Australia maupun
Selandia Baru, serta Asia dan masih terdapat angka kejadian yang lebih rendah di
beberapa negara saat ini maju seperti Malaysia dan Korea serta di negara
berkembang seperti negara-negara Afrika, Asia dan Polinesia. Sekitar 30-40%
kasus kolorektal muncul dari rektum yang didefinisikan sebagai batas distal tumor
dalam 15 cm dari batas anus.3,4,5
Kanker rektal merupakan kanker usus besar kedua yang paling sering
ditemukan, dengan angka kejadian sebesar 28%, setelah kanker kolon proksimal
(42%). Kanker rektal sendiri sering dianggap sebagai bagian dari kanker
kolorektal pada penelitian-penelitian epidemiologi yang terkait. Angka kejadian
kolorektal memang berbeda di seluruh dunia, namun polanya hampir sama pada
laki-laki maupun perempuan. Perkiraan kasus kanker rektal tertinggi ditemukan di
Australia dan Selandia baru dengan 44,8/100.000 kasus pada laki-laki dan
32,2/100.000 kasus pada perempuan, sedangkan yang terendah ditemukan di
Afrika Barat (4,5 dan 3,8 per 100.000 kasus secara berturut-turut pada laki-laki
dan perempuan). Angka kematian adalah sebesar 4-10/100.000 per tahun dengan
angka kejadian yang lebih tinggi pada kaum laki-laki. Data terbaru menunjukkan
bahwa terdapat sekitar 40.000 kasus baru kanker rektal per tahun di Amerika
Serikat.1,4
Di Asia sendiri, ditemukan angka kejadian kanker rektal yang tinggi yang
disertai oleh peningkatan tren juga. Terdapat peningkatan sebanyak dua sampai
empat kali lipat pada negara-negara Asia Timur seperti Republik Rakyat Cina
(RRC), Jepang, Korea Selatan dan Singapura selama beberapa dekade terakhir.
Dari seluruh kelompok etnis di Asia, angka kejadian kanker rektal lebih tinggi
secara signifikan pada etnis Tionghua. Di RRC, terdapat peningkatan angka
insiden secara stabil dari tahun 1987-1989, dengan angka kejadian kanker rektal
yang disesuaikan usia yang meningkat dari 7,68 dan 6,51 menjadi 11,45 dan 8,28
per 100.000 untuk pria dan wanita, secara berurutan. Di Jepang sendiri, angka
kejadian kanker rektal mungkin sudah melebihi kanker gaster. Peningkatan
insiden yang cepat juga dilaporkan di Taiwan.7,8
Gambar 2.1 Insidens (biru) dan mortalitas (jingga) dari kanker kolorektal pada
laki-laki di beberapa negara6

Data Global Cancer Incidence, Mortality and Prevalence (GLOBOCAN)


tahun 2008 memperkirakan bahwa KKR adalah kanker ke 4 yang paling umum
ditemukan Asia Tenggara, dengan angka kejadian yang distandarisasi usia sebesar
6,9/ 100.000 dan terhitung hampir 100.000 kasus KKR (6% dari semua kanker di
Asia Tenggara). Di Indonesia, angka kejadian kanker rektal berada di peringkat
ke-5 pada laki-laki dan ke-8 pada perempuan. Sebuah penelitian menunjukkan
bahwa prevalensi laki-laki yang terkena kanker rektal tetap lebih tinggi daripada
prevalensi wanita, yaitu sebanyak 54% dan 46% secara berturut-turut. Puncak
kasus kanker rektal terjadi pada rentang usia 50-54 tahun.9,10
Dengan adanya peningkatan akses dan penggunaan skrining serta obat-
obatan standar untuk menangani kanker rektal, angka kejadian keseluruhan telah
menurun sekitar 3% per tahun selama dekade terakhir. Walaupun terdapat
penurunan kasus kanker rektal yang besar pada orang-orang berusia 65 tahun atau
lebih, yaitu sebesar -1,5% untuk kelompok usia 50-64 tahun dan sebesar 4,3%
untuk usia di atas 65 tahun, terdapat peningkatan kasus sebesar 1,8% per tahun
pada orang-orang yang berusia kurang dari 50 tahun. Usia rata-rata penderita
kanker rektal saat pertama kali didiagnosis lebih muda (63 tahun pada pria dan 65
tahun pada wanita) daripada usia rata-rata penderita kanker kolon. Terdapat juga
variasi yang signifikan dalam lokasi tumor berdasarkan usia, dengan penurunan
variais yang signifikan pada tumor rektal di usia yang lebih tua.1

2.3 Faktor Risiko


Seperti kebanyakan penyakit, faktor risiko kanker rektal dibagi menjadi faktor
yang dapat dimodifikasi maupun yang tidak dapat dimodifikasi. Beberapa faktor
yang tidak dapat dimodifikasi didapat saat lahir maupun dalam perjalanan hidup
seseorang, seperti riwayat kanker rektal atau polip adenoma pada individual
maupun kelurga serta riwayat penyakit inflamasi kronis pada usus besar. Namun,
riwayat keluarga tampaknya lebih berisiko menyebabkan kanker kolon daripada
kanker rektal. Etnis berkulit putih dikatakan memiliki faktor risiko yang lebih
tinggi terkena kanker rektal dibandingkan dengan kelompok etnis berkulit
hitam.3,4,11,12
Baik usia maupun jenis kelamin merupakan faktor penting yang tidak
dapat dimodifikasi dalam kanker rektal. Peningkatan yang bermakna secara
statistik juga dilaporkan dengan adanya peningkatan tinggi badan. Terdapat efek
yang berbeda yang pada pria dan wanita menurut indeks masa tubuh (IMT).
Sebuah ulasan sistematik yang melaporkan setiap peningkatan 5 kg/m 2
berhubungan dengan peningkatan insiden KKR sebanyak 24% dan 9% pada laki-
laki dan perempuan secara berturut-turut. Terlebih lagi, terdapat peningkatan
risiko pada kategori BMI tertinggi pada perempuan untuk kanker rektal. 3,4,11,12
Faktor yang dapat dimodifikasi meliputi diet dan aktivitas fisik.
Konsumsi makanan-makanan yang mengandung magnesium yang rendah dapat
meningkatkan risiko terjadinya kanker rektal. Sebuah penelitian menunjukkan
bahwa tidak terdapat hubungan antara konsumsi daging sapi, daging babi maupun
daging domba, daging olahan serta alkohol terhadap risiko terjadinya kanker
rektal. Konsumsi makanan tersebut lebih terlihat berhubungan dengan kanker
kolon. Terdapat hubungan antara rendahnya aktivitas fisik pada kanker rektal,
walaupun hubungan tersebut lebih kuat pada kanker kolon. Hubungan yang
sedikit lebih kuat dilaporkan pada faktor merokok dan kanker rektal daripada
kanker kolon. Risiko kanker rektal 20% lebih tinggi pada pasien-pasien dengan
diabetes melitus daripada pasien non-diabetes.1
Konsumsi sayur-sayuran, penggunaan obat-obatan anti-inflamasi non-steroid
(non-steroidal anti-inflammatory drugs; NSAID), serta terapi pengganti estrogen
dikatakan memiliki hubungan terbalik dengan risiko kanker rektal. Selain itu,
inflamasi kronis dari penyakit-penyakit pada saluran percenaan seperti, kolitis
ulseratif mauoun penyakit Crohn, juga merupakan faktor etiologi dari
perkembangan kanker rektal. Radiasi juga merupakan faktor etiologi pada
neoplasia kolorektal yang juga diketahui namun jarang ditemukan.4

2.4 Klasifikasi dan Stadium Tumor


Klasifikasi dan penentuan stadium tumor digunakan untuk melihat seberapa jauh
perkembangan kanker dan pilihan terapi yang terbaik untuk stadium tumor
tersebut. Pada tahun 1929, C. Dukes mengusulkan sistem klasifikasi untuk kanker
rektal yang akhirnya menjadi sebuah contoh untuk sistem staging yang digunakan
saat ini. Klasifikasi ini meliputi dua fitur histopatologis yaitu (1) kedalaman
penetrasi ke dinding mukosa dan (2) ada atau tidak adanya metastasis di nodus
limfa regional.5,11
Tabel 2.1 Klasifikasi Dukes’ yang Dimodifikasi13

Stadium Karakteristik
A Tumor terbatas pada lapisan mukosa
B1 Tumor terbatas pada lapisan submukosa, tidak ada
keterlibatan nodus limfa.
B2 Tumor sampai pada lapisan otot, tidak ada keterlibatan nodus
limfa.
C1 Tumor tidak melebihi dinding usus, terdapat metastasis nodus
limfa
C2 Tumor melebihi dinding usus dan terdapat metastasis nodus
limfa

Saat ini, sistem klasifikasi yang dipakai adalah sistem TNM yang dikeluarkan
oleh American Joint Committee on Cancer (AJCC) yang berdasarkan tiga buah
informasi, yaitu5:
1. Ukuran atau seberapa luas tumor (T)
2. Penyebaran ke nodus limfa terdekat (N)
3. Penyebaran atau metastasis ke tempat yang jauh (M)

Tabel 2.2 Klasifikasi TNM AJCC Kanker Rektal Edisi Ke-811


T – Tumor Primer
Tx Tumor primer tidak dapat dinilai
T0 Tidak ditemukan tumor primer
Tis Karsinoma in situ: invasi lamina propriaa
T1 Tumor menginvasi submukosa
T2 Tumor menginvasi muskularis propria
T3 Tumor menginvasi subserosa atau ke dalam jaringan perikolorektal
non-peritoneal
T4 Tumor menginvasi organ-organ atau strukturb,c,d lain secara
langsung dan/ atau menembus peritoneum viseral
T4a Tumor menembus peritoneum viseral
T4b Tumor menginvasi organ atau struktur lain secara langsung
N – Nodus Limfa Regional
Nx Nodus limfa regional tidak dapat dinilai
N0 Tidak ditemukan metastasis nodus limfa
N1 Metastasis pada 1-3 nodus limfa regional
N1a Metastasis pada 1 nodus limfa regional
N1b Metastasis pada 2-3 nodus limfa regional
N1c Tumor menginvasi subserosa atau ke dalam jaringan lunak
perikolorektal non-peritoneal tanpa metastasis nodus limfa regional
N2 Metastasis pada ≥4 nodus limfa regional
N2a Metastasis pada 4-6 nodus limfa regional
N2b Metastasis pada ≥7 nodus limfa regional
M – Metastasis Jauh
M0 Tidak ditemukan metastasis jauh
M1 Metastasis jauh
M1a Metastasis terbatas pada satu organ (hepar, paru, ovarium, nodus
limfa non-regional) tanpa metastasis peritoneal
M1b Metastasis pada lebih dari satu organ
M1c Metastasis ke peritoneum dengan atau tanpa keterlibatan organ lain
a
Tis meliputi sel kanker yang terbatas pada lamina propria mukosal (intramukosa)
tanpa penyebaran melalui mukosa muskularis ke dalam submuskosa.
b
Menginvansi melalui peritoneum viseral dan meliputi permukaan
c
Invasi langsung pada T4b meliputi invasi dari organ lainnya atau segmen-segmen
kolorektum melalui serosa, seperti yang dikonfirmasi pada pemeriksaan
mikroskopik, atau untuk tumor-tumor di retroperitoneal atau subperitoneal,
invasi langsung dari organ lain atau struktur melalui perluasan melebihi
muskularis propria.
d
Tumor yang menempel organ atau struktur lain, secara makroskopis, diklasifikasi
cT4b. Namun, apabila tidak ada tumor pada perlengketan, secara mikroskopis,
klasifikasi seharusnya pT1-3, tergantung pada kedalaman anatomis invasi
dinding.
e
Deposit tumor (satelit) merupakan nodul makroskopik atau mikroskopik tunggal
kanker dalam area drainase limfa jaringan adiposa perikolorektal dari sebuah
karsinoma primer yang terpisah dari primernya dan tanpa bukti histologis dari
nodus limfa residual atau struktur vascular atau neural yang dapat diidentifikasi.
Apabila sebuah dinding pembuluh darah dapat diidentifikasi pada pengecatan
hematoksilin dan eosin (H&E), pengecatan elastis atau lainnya, seharusnya
diklasifikan sebagai invasi vena (V1/2) atau invasi limfatik (L1). Secara serupa,
apabila struktur neural dapat diidentifikasi, lesi tersebut seharusnya diklasifikasi
sebagai invasi perineural (Pn1). Keberadaan deposit tumor tidak mengubah
kategori T tumor primer, namun mengubah status nodus (N) menjadi pN1c
apabila seluruh nodus limfa regional bersifat negatif terhadao pemeriksaan
patologis.

Tabel 2.3 Kelompok Stadium Kanker Rektal11


Stadium
0 Tis N0 M0
I T1, T2 N0 M0
II T3, T4 N0 M0
IIA T3 N0 M0
IIB T4a N0 M0
IIC T4b N0 M0
III T berapa pun N1, N2 M0
IIIA T1, T2 N1 M0
T1 N2a M0
IIIB T1, T2 N2b M0
T2, T3 N2a M0
T3, T4a N1 M0
IIIC T3, T4 N2b M0
T4a N2a M0
T4b N1, N2 M0
IV T berapapun N berapapun M1
IVA T berapapun N berapapun M1a
IVB T berapapun N berapapun M1b
IVC T berapapun N berapapun M1c

2.5 Histopatologi
Karakteristik yang mendefinisikan adenokarsinoma kolorektal adalah invasi
melalui mukosa muskularis ke dalam submukosa. Lesi dengan karakteristik
morfologis adenokarsinoma yang terbatas pada epitel atau menginvasi lamina
propria saja dan kurangnya invasi melalui mukosa muskularis ke dalam
submukosa hampir tidak memiliki risiko metastasis. Oleh karena itu, penggunaan
istilah “neoplasia intraepitel stadium tinggi” lebih tepat daripada
“adenokarcinoma in situ”, dan istilah “neoplasia intramukosa” lebih tepat
daripada “adenokarsinoma intramukosa”. Penggunaan istilah yang diusulkan ini
membantu untuk menghindari pengobatan yang berlebih.3
Hampir seluruh adenokarsinoma kolorektal merupakan struktur glandular
pembentuk kelenjar dengan ukuran dan konfigurasi yang berbeda.
Adenokarsinoma yang terdiferensiasi dengan baik atau sedang biasanya memiliki
sel epithelial yang besar dan tinggi, serta lumnia kelenjarnya sering mengandung
debris seluler.3

Gambar 2.3 A Adenokarsinoma terdiferensiasi baik. B Adenokarsinoma


terdiferensiasi sedang. C Adenokarsinoma terdiferensiasi buruk; lesi ini
merupakan MSI-H dan menunjukkan banyak limfosit intraepitel. D Karsinoma
tidak terdiferensiasi.3
2.5.1 Adenokarsinoma Musinosa
Istilah ini digunakan apabila > 50% dari lesi terdiri dari musin. Tumor dengan
komponen musinosa yang signifikan (> 10%) tetapi <50% biasanya disebut
adenokarsinoma dengan karakteristik musinosa atau diferensiasi musinosa. Varian
ini ditandai oleh kumpulan musin ekstraseluler yang mengandung epitel ganas
sebagai struktur asinar, strip-strip sel atau sel-sel tunggal. Sejumlah sel tumor
individual yang bervariasi, termasuk sel signet-ring, dapat dilihat.3,14
Prognosis dari adenokarsinoma musinosa dibandingkan dengan
adenokarsinoma konvensional telah menjadi kontroversi di antara penelitian-
penelitian yang berbeda. Banyak adenokarsinoma musinosa terjadi pada pasien
dengan kanker kolorektal non-poliposis herediter (Hereditary Non-Polyposis
Colorectal Cancer; HNPCC) atau sindroma Lynch. Banyak karsinoma dengan
instabilitas mikrosatelit berfrekuensi tinggi (Microsatelite Instability-High; MSI-
H), seperti HPNCC, memiliki histopatologis tipe ini.3,14

Gambar 2.4 Adenokarsinoma musinus yang menunjukkan musin ekstraseluler


dalam jumlah banyak.14
Gambar 2.5 Adenokarsinoma musinosa. A Potongan permukaan yang tampak
seperti kaca. B Adenokarsinoma musinosa di bawah neoplasia intraepitel stadium
tinggi pada colitis ulseratif. C Tumor yang terdiferensiasi baik dengan danau
musin yang besar. D Deposit musin multilocular dengan adenokarsinoma
terdiferensiasi baik.14
2.5.2 Karsinoma Sel Cincin Signet

Gambar 2.6 Karsinoma sel signet-ring14


Kasus adenokarsinoma sel cincin signet (signet-ring) jarang terjadi pada
kolorektal, hanya mewakili <1% dari seluruh karsinoma kolorektal. Karsinoma ini
merupakan varian dari adenokarsinoma yang didefinisikan oleh keberadaan> 50%
dari sel-sel tumor dengan musin intrasitoplasmik yang menonjol. Sel signet-ring
memiliki sebuah vakuola musin besar yang mengisi sitoplasma dan menggeser
nukleus ke perifer.5,14
Sel signet-ring dapat terjadi di kolam musin adenokarsinoma lendir atau
dalam proses infiltratif difus dengan musin ekstraseluler yang sedikit. Secara
definisi, karsinoma sel signet-ring terdiferensiasi buruk (stadium tinggi) dan
memiliki keluaran yang lebih buruk daripada adenokarsinoma konvensional.
Beberapa karsinoma ini merupakan tumor MSI-H dan dapat berlaku sebagai
tumor stadium rendah secara biologis.5,14

Gambar 2.7 A Karsinoma sel signet-ring yang muncul pada sebuah adenoma; sel
signet-ring intermukosa yang dekat dengan kelenjar adenomatosa. B Sel signet-
ring yang menginfiltrasi propria muskularis. C Metastasis nodus limfa oleh
karsinoma sel signet-ring.14
2.5.3 Karsinoma Adenoskuamosa
Tumor ini menunjukkan baik karakteristik dari karsinoma skuamosa maupun
karakteristik adenokarsinoma, baik sebagai area terpisah dalam tumor atau
tercampur. Untuk sebuah lesi dapat diklasifikasikan sebagai adenoskuamosa,
seharusnya terdapat lebih dari sekadar fokus kecil diferensiasi skuamosa yang
hanya muncul di saat-saat tertentu. Karsinoma sel skuamosa murni sangat jarang
di usus besar.5,14

2.5.4 Karsinoma Meduler


Karsinoma meduler sangat jarang ditemui, hanya sekitar 5-8 kasus per 100.000
kasus yang sudah didiagnosis. Angka kejadian rata-rata kasus karsinoma meduler
hanya sebesar 3,47 (±0.75) per 10 juta populasi. Varian langka ini ditandai dengan
lapisan-lapisan sel ganas dengan nukleus vesikular, nukleolus yang menonjol dan
terdapat banyak sitoplasma merah muda yang menunjukkan infiltrasi limfosit
intraepitel yang menonjol. Hal tersebut selalu berhubungan kuat dengan MSI-H
dan memiliki prognosis yang baik ketika dibandingkan dengan karsinoma
kolorektal yang terdiferensiasi buruk dan tidak terrdiferensiasi lainnya.5,14

Gambar 2.8 Karsinoma meduler dengan tepi menonjol14


Gambar 2.9 Karsinoma meduler terdiferensiasi buruk pada pemeriksaan histologi
dan limfosit penginfiltrasi tumor.14

2.5.5 Karsinoma Tidak Terdiferensiasi


Tumor langka ini kekurang bukti morfologis mengenai diferensiasi melebihi
daripada tumor epitel dan memiliki variabel fitur histologis {1946}. Walaupun
tidak terdiferensiasi, tumor ini secara genetik berbeda dan biasanya terkait dengan
MSI-H.5

2.5.6 Varian lain


Karsinoma yang memiliki komponen sel gelendong (spindle) lebih tepat disebut
karsinoma sel spindle atau karsinoma sarkomatoid. Sel-sel spindle ini secara fokal
bersifat imunoreaktif terhadap sitokeratin. Istilah “karsinosarkoma” berlaku untuk
tumor ganas yang mengandung baik elemen karsinomatosa dan mesenkimal
heterologous. Varian histopatologis lainnya dari KKR meliputi pleomorfik (giant
cell), koriokarsinoma, berpigmentasi, sel jernih, sel punca (stem cell), dan kaya sel
Paneth (karsinoma sel kripte). Campuran dari jenis histopatologis dapat
ditemukan.5

2.6 Lesi Prekursor


Perjalanan alamiah kanker rektal serta hubungannya dengan akumulasi perubahan
genetik yang mendasarinya telah dipelajari secara meluas selama satu dekade
terakhir. Beberapa lesi precursor yang dapat menjadi kanker rektal meliputi
aberrant crypt foci (ACF), adenoma, polip hyperplasia (metaplasia), polip
juvenile, dan polip Peutz-Jeghers.5

2.6.1 Aberrant Crypt Foci


Prekursor morfologis neoplasia epithelial yang paling awal adalah fokus kripte
yang menyimpang atau ACF. Pemeriksaan mikroskopis dari lapisan-lapisan
mukosa yang didiseksi dari dinding usus dan diwarnai dengan pewarna biru
metilen, atau pemeriksaan mukosa dengan endoskopi pembesaran, menunjukkan
bahwa ACF memiliki kripte kaliber yang membesar dan epitelium yang menebal
denga nisi musin yang berkurang. Mikroskopi menunjukkan dua tipe utama, yaitu
(1) ACF dengan karakteristik polip hyperplasia dan sebuah mutasi proto-onkogen
ras dengan frekuensi tinggi, dan (2) ACF displasia (mikro-adenoma) berhubungan
dengan mutasi gen adenomatous polyposis coli (APC). Perkembangan dari ACF
melalui adenoma menjadi karsinoma menandakan karsinogenesis pada usus
besar.5

2.6.2 Adenoma
Lesi prekursor ini didefinisikan oleh keberadaan neoplasia intraepitel. Secara
histologis, lesi ini dikarakterisasi oleh hiperseluleritas dengan nukleus
hiperkromatik yang membesar, derajat stratifikasi nuklear yang beragam, dan
hilangnya polaritas. Nukleusnya dapat berbentuk gelendong atau membesar dan
ovoid.5
Inaktivasi jalur APC/beta-katenin umumnya memulai proses adenoma
dan berakibat pada proliferasi epitel yang meluas pada epitelium displastik dari
dasar kripte menuju ke permukaan luminal. Polip merupakan hasil dari
pembelahan kripte yang dipercepat akibat mutasi gen APC. Derajat glandular atau
kompleksitas vilus, perluasan stratifikasi nuklear, dan tingkat keparahan morfologi
nuklear abnormal dapat menentukan apakah sebuah neoplasia intraepitelium
merupakan stadium rendah atau stadium lanjut.5
Gambar 2.10 Adenoma tubulovilus. Berpedunkulasi dengan tangkai panjang dari
mukosa non-neoplastik5

2.6.3 Polip Hiperplasia (Metaplasia)


Polip ini merupakan penojolan mukosa yang ditandai dengan kripte bergerigi dan
panjang yang dibatasi oleh epitelium proliferatif pada dasarnya dengan lempeng
epithelial berlipat dan sel goblet yang besar pada kripte atas dan pada permukaan
luminal.5
Nukleus epithelial pada bagian yang bergerigi memiliki ukuran yang
kecil, bentuk reguler, bulat dan terletak pada dasar sel yang bergabung dengan
membran dasar, yang biasanya menebal di bawah sel epithelial permukaan.
Sitoplasmanya mengandung vakuola musin yang menonjol yang biasanya
berukuran lebih besar dari sel goblet normal. Zona proliferatif biasanya
menunjukkan selularitas dan aktivitas mitotik yang meningkat, yang sering kali
disalah-artikan sebagai adenoma. Polip hiperplasia dapat bersifat neoplastik
namun memiliki sebuah pathogenesis yang membedakannya dari sekuens
adenoma-adenokarsinoma akibat tidak adanya inaktivasi jalur APC/beta-katenin.5
Gambar 2.11 Polip hyperplasia. A Bertangkai. B Zona proliferatif dalam yang
pendek dan zona matang bergerigi superfisial.5
2.6.4 Polip Juvenile
Polip ini biasanya berbentuk bulat, berlobul dan bertangkai serta dianggap jinak.
Tumor ini paling banyak terjadi pada anak-anak. Permukaan polip anak-anak
(polip juvenile) biasanya tererosi dan rapuh, and potongan permukaan
menunjukkan kista yang berisi musin. Pada histologi, stroma dalam jumlah
banyak tersusun oleh jaringan granulasi edematosa yang mengelilingi kelenjar
sistik yang berisi musin.
Gambar 2.12 Polip juvenile. A Permukaan tererosi yang halus dengan sejumlah
kista retensi mucus, tipikal pada polip juvenile sporadik. B Stroma terinflamasi
yang melebar dengan kelenjar terdistorsi yang menunjukkan atipia reaktif.5
Kelenjar-kelenjar ini dibatasi oleh sel epitel kuboid sampai kolumner dengan
perubahan reaktif. Pasien-pasien polip juvenile dengan sindroma poliposis
juvenile mungkin memiliki penampakan makroskopis dan mikroskopis dari polip
juvenile sporadik, namun mereka biasanya memiliki pola pertumbuhan yang
seperti daun dengan stroma yang lebih sedikit, kelenjar terdilatasi yang lebih
sedikit dan kelenjar kecil berproliferasi yang lebih banyak daripada polip
sporadik.5

2.7 Neoplasia pada Penyakit Inflamasi Usus Kronis


Risiko terjadinya KKR meningkat pada pasien-pasien dengan riwayat penyakit
inflamasi usus (inflammatory bowel disease; IBD), termasuk kolitis ulseratif dan
penyakit Crohn. Durasi dan luasnnya inflamasi merupakan dua faktor penting
yang mempengaruhi risiko pada kolitis ulseratif. Terdapat bukti bawha perjalanan
alamiah KKR yang berhubungan dengan kolitis kronis berbeda dari adenoma
biasa baik secara morfologi dan terhadap tipe serta sekuens perubahan genetik.1,5
2.7.1 Kolitis Ulseratif
Perkembangan karsinoma tampaknya terjadi pada waktu yang berbeda terhadap
perkembangan neoplasia intraepithelial sehingga mempersulit kolitis kronis. Oleh
karena invasi dapat berhubungan dengan neoplasia intraepitel yang menunjukkan
perubahan morfologis yang relatif ringan, neoplasia interepitel stadium tinggi
didiagnosis pada koliitis dengan basis abnormalitas yang kurang berat daripada
kriteria neoplasia intraepitel stadium tinggi pada adenoma. Lesi dapat berbentuk
datar atau berada dalam bentuk “lesi atau massa yang berhubungan dengan
displasia” (dysplasia associated lesion or mass; DALM), yang biasanya
berhubungan dengan karsinoma sinkronus yang muncul di bawah permukaan
displastik. DALM dianggap sebagai lesi stadium tinggi dan baik DALM dari
stadium displasia manapun dan displasia datar berhubbungan dengan karsinoma
invasif pada sekitar 40% kasus.5
Usaha-usaha sudah dilakukan untuk mengidentifikasi lesi displastik awal
pada kolitis ulseratif dengan penanda proliferasi siklus sel. Alfa II topoisomerase
dan Ki-67 ditunjukkan dapat meningkatkan ekspresi di atas ambang batas secara
signifikan pada displasia yang berhubungan dengan kolitis ulseratif. Sel yang
positif Ki-67 ditemukan baik pada permukaan dan pada dasar kripte,
menunjukkan adanya deregulasi fundamental dari kelompok sel proliferatif.
Mutasi TP53 tampaknya merupakan kejadian awal dan sudah ada dalam neoplasia
intraepithelial yang berhubungan dengan kolitis ulseratif, berlawanan dengan
sekuens adenoma-karsinoma pada karsinoma kolorektal sporadik. Beberapa
mutasi TP53 sudah diobservasi pada mukosa non-displastik inflamasi kronis.5,15
Perubahan pada p53 ditemukan sampai pada 85% kasus dari kanker yang
berhubungann dengan kolitis. Terlebih lagi, perubahan p53 sudah diamati pada
biopsi mukosa yang mengalami inflamasi pada lebih dari 50% pasien kolitis
ulseratif yang tidak memiliki kanker, menunjukkan adanya peran penting dari
inflamasi pada mutasi-mutasi ini.15
Respon imun dan stres oksidatif memainkan peran penting dalam inisiasi
dan perkembangan karsinogenesis, yang berkontribusi pada mekanisme molekuler
yang telah disebutkan sebelumnya yang mengarah ke kanker. Lingkungan mikro
inflamasi IBD, yang terdiri dari berbagai sel imun, sel epitel, sel stroma, sitokin,
dan kemokin, memiliki banyak kesamaan dengan lingkungan mikro kanker,
menunjukkan mediator inflamasi yang sama dan mekanisme yang
mempromosikan baik IBD maupun perkembangan kanker. Mediator-mediator ini,
yang diproduksi oleh sel-sel inflamasi, meliputi tumor necrosis factor alfa (TNF-
α), ILs-1, 6, 12, 13, 17, 22, dan 23. Interaksi antara pensinyalan sitokin-sitokin ini
dan respon imun memainkan peran utama dalam peradangan dan kanker yang
berhubungan dengan kolitis.15

2.7.2 Penyakit Crohn


Neoplasia intraepithelial derajat rendah maupun derajat tinggi selalui dikaitkan
dengan proporsi karsinoma Crohn yang tinggi, baik yang berdekatan dengan lesi
invasif atau yang jauh dari lesi tersebut. Lesi displastik polipoid yang didiagnosis
sebagai DALM pada kolitis ulseratif juga hampir sama pada penyakit Crohn.
Adenokarsinoma musinosa lebih sering terlihat pada penyakit Crohn daripada
pada KKR sporadis. Terdapat peningkatan frekuensi adenokarsinoma dalam
fistula perianal, dan karsinoma sel skuamosa pada mukosa anal. Mutasi TP53 dan
c-KRAS telah diamati sebelumnya pada neoplasia intraepitel terkait Crohn
daripada dalam urutan adenoma-karsinoma kanker kolorektal sporadis5

2.8 Genetik Molekuler


Perkembangan sebagian besar karsinoma kolorektal diyakini mulai pada sel epitel
kolorektal dengan inaktivasi mutasi gen supresor APC. Inaktivasi ini memiliki
banyak konsekuensi, termasuk gangguan homeostasis E-cadherin dan disregulasi
transkripsi gen. Akumulasi klonal dari perubahan genetik tambahan kemudian
terjadi, termasuk aktivasi proto-onkogen seperti c-myc dan ras, dan inaktivasi gen
supresor tambahan. Gen yang biasanya tidak aktif selama perkembangan meliputi
gen pada kromosom 18 dan gen TP53 padalengan pendek dari kromosom 17.5
Produk gen TP53 yang bermutasi, sebagai gantinya, gagal meregulasi
berbagai gen yang diregulasi oleh p53 wild-type secara normal, termasuk
p21WAF1/CIP1 inhibitor kinase yang dependen terhadap siklin yang membuat
kompleks dengan antigen nuklear sel yang berproliferasi, dan gen-gen yang
mengarah ke apoptosis, termasuk BAX. Bagi sejumlah gen supresor, inaktivasi
dari satu alel sering disebabkan oleh hilangnya seluruh atau sebagian kromosom
di mana gen tersebut berada. Berbagai lokus kromosom lain memiliki frekuensi
kehilangan pada KKR yang tinggi karena instabilitas kromosom, tetapi gen target
tersebut belum diketahui.5
Beberapa KKR dibedakan dengan insersi atau delesi nukleotida yang
ekstensif dalam sejumlah sekuens yang tidak stabil secara intrinsik dalam DNA
tumor, yang dinamakan instabilitas mikrosatelit (microsatellite instability; MSI),
juga disebut mutasi somatik yang ditemukan di bebagai tempat, kesalahan
replikasi DNA (replication errors; RER), atau instabilitas nukleotida.5
MSI dikenal sebagai perubahan genom dalam sekuens DNA berulang.
Instabilitas ini ditemukan pada hampir semua keganasan dari pasien dengan
HNPCC dan sekitar 15% kanker sporadis. MSI disebabkan oleh kerusakan dalam
mekanisme perbaikan ketidakcocokan nukleotida (mismatch repair; MMR).
Enzim perbaikan ketidakcocokan biasanya mengenali kesalahan dalam
pencocokan nukleotida dari strand kromosom komplementer dan memulai eksisi
segmental untai yang baru disintesis untuk memastikan replikasi strand yang
sesuai.15
Terdapat sebuah panel dari lima kirosatelit yang direkomendasikan untuk
digunakan sebagai standar referensi untuk karsinoma usus besar, yaitu BAT25,
BAT26, D5S346, D2S123, D17S250. Apabila terdapat dua atau lebih dari penanda
ini yang menunjukkan MSI, lesi diklasifikasikan sebagai MSI-H. Apabila hanya
terdapat satu penanda yang menunjukkan MSI, maka akan diklasifikasikan
sebagai instabilitas mikrosatelit frekuensi rendah (MSI-L); jika tidak ada penanda
yang menunjukkan MSI, itu diklasifikasikan sebagai mikrosatelit stabil
(microsatellite stable; MSS). Apabila menggunakan lebih dari lima penanda,
kriteria tersebut harus dimodifikasi untuk mencerminkan persentase penanda yang
menunjukkan MSI. Dengan demikian, lesi MSI-H akan menunjukkan MSI pada
lebih dari 30-40% dari penanda yang diuji. Karsinoma MSI-H adalah karakteristik
HNPCC yang disebabkan oleh karena mutasi germline dari salah satu kelompok
gen perbaikan ketidakcocokan DNA yang diikuti oleh inaktivasi somatik dari alel
lainnya.5,15
Akumulasi perubahan selama perkembangan baik neoplasma herediter
maupun sporadik ditandai oleh MSI-H meliputi mutasi pada mikrosatelit dalam
wilayah pengkodean dari beberapa gen, seperti reseptor tipe II untuk TGF-beta1
dan BAX. Berbeda dengan kanker MSS, kanker MSI-H menunjukkan instabilitas
nukleotida daripada kromosom. Delesi alel jarang terjadi.5,15
Studi terbaru menunjukkan hubungan fungsional antara MMR DNA yang
rusak dan jalur pensinyalan Wnt. Sekitar 25% dari KKR sporadis dengan MMR
yang cacat (MSI-H) terbukti mengandung mutasi frameshift pada gen AXIN2,
yang mengarah pada stabilisasi β-katenin dan aktivasi β-katenin / T-cell factor
(TCF). Hal ini berhubungan dengan akumulasi dalam nukleus sel tumor yang
tidak ada pada KKR tanpa defisiensi MMR dan tanpa adanya mutasi APC. Protein
mutan AXIN2 tampak lebih stabil daripada produk gen wild-type dan
menunjukkan efek dominan-negatif.5
2.9 Skrining
Deteksi kanker sejak dini, ketika ukuran masih kecil dan belum terjadi
penyebaran, memungkinkan untuk dilakukannya beberapa pilihan perawatan yang
lebih banyak. Perkumpulan Kanker Amerika (American Cancer Society; ACS)
merekomendasikan agar orang yang memiliki risiko rata-rata terkena kanker
kolorektal memulai skrining teratur pada usia 45 tahun. Hal ini dapat dilakukan
dengan tes sensitif yang mencari tanda-tanda kanker pada feses (tes berbasis
feses), atau pemeriksaan visual untuk melihat rektum. Orang sehat dengan
harapan hidup lebih dari 10 tahun disarankan melanjutkan skrining kanker
kolorektal secara teratur hingga usia 75 tahun. Bagi orang berusia 76-85 tahun,
keputusan untuk diskrining harus didasarkan pada preferensi seseorang, harapan
hidup, kesehatan secara keseluruhan, dan riwayat skrining sebelumnya. Orang
yang berusia di atas 85 tahun tidak lagi disarankan mendapatkan skrining kanker
kolorektal.2
Beberapa pilihan pemeriksaan yang dipakai dalam skrining kanker rektal
adalah (1) pemeriksaan berbasis feses dan (2) pemeriksaan visual dari rektal.
Pemeriksaan berbasis feses dapat meliputi pemeriksaan pemeriksaan rektal digital
atau colok dubur, imunokimia fekal (fecal immunochemical test; FIT),
pemeriksaan darah samar fekal berbasis guaiac (guaiac-based fecal occult blood
test; gFOBT) setiap tahun, dan pemeriksaan DNA feses tertarget banyak (multi-
targeted stool DNA test; MT-sDNA) setiap 3 tahun. Pemeriksaan visual untuk
skrining yang dapat dilakukan adalah kolonoskopi setiap 10 tahun, kolonografi
computed tomography (CT) atau yang dikenal sebagai kolonoskopi visual setiap 5
tahun, barium enema dengan kontras ganda setiap 5 tahun, dan sigmoidoskopi
fleksibel (flexible sigmoidoscopy; FSIG) setiap 5 tahun.2,14
Adapun individual yang disarankan untuk melakukan skrining kanker
rektal adalah individual dengan risiko sedang dan tinggi terkena kanker. Berikut
merupakan yang termasuk kriteria risiko sedang12:
1. Berusia ≥50 tahun;
2. Tidak memiliki riwayat kanker rektal maupun IBD;
3. Tidak memiliki riwayat keluarga dengan kanker rektal; dan
4. Terdiagnosis adenoma atau kanker rektal setelah individual berusia 60
tahun.

Kriteria risiko tinggi atau meningkat meliputi individual yang12:


1. Memiliki riwayat polip adenomatosa;
2. Memiliki riwayat reseksi kuratif kanker rektal;
3. Memiliki riwayat keluarga tingkat pertama kanker rektal maupun adenoma
rektal;
4. Memiliki riwayat IBD yang kronis;
5. Didiagnosis atau dicurigai memiliki sindroma HNPCC atau sindroma
Lynch maupun FAP.

Rekomendasi skrining yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan Repubblik


Indonesia (Kemenkes RI) melalui pedoman penatalaksanaan KKR membagi
individual dengan risiko meningkat menjadi 3, yaitu (1) pasien-pasien yang
memiliki riwayat polip pada kolonoskopi sebelumnya, (2) pasien-pasien dengan
KKR, (3) pasien dengan riwayat keluarga menderita KKR.12

Tabel 2.4 Kategori risiko dan rekomendasi skrining yang dikeluarkan oleh
Kemenkes RI12

Kategori Risiko Usia Dimulai Rekomendasi


Risiko Meningkat – Pasien dengan Riwayat Polip pada Kolonoskopi
Sebelumnya
Pasien dengan polip - Kolonoskopi atau pilihan
hiperplastik kecil skrining lain dengan
interval yang dianjurkan
kepada individual
dengan risiko sedang
Pasien dengan 1 atau 2 5 sampai 10 tahun Kolonoskopi
buah adenoma tubuler setelah polipektomi awal
dengan low-grade
dysplasia
Pasien dengan 3-10 buah 3 tahun setelah Kolonoskopi, setiap 5
adenoma atau 1 buah polipektomi awal tahun
adenoma >1cm atau
adenoma dengan fitur
villous/ high-grade
dysplasia
Pasien dengan >10 <3 tahun setelah Kolonoskopi
adenoma pada satu kali polipektomi awal
pemeriksaan
Pasien dengan adenoma 2 sampai 6 bulan untuk Kolonoskopi.
sessile yang diangkat memastikan Komplet atau tidaknya
dalam satu waktu pengangkatan yang pengangkatan
komplet berdasarkan asesmen
endoskopik dan
patologik.
Risiko Meningkat – Pasien dengan Kanker Kolorektal
Pasien dengan knaker 3-6 bulan setelah reseksi Kolonoskopi
kolon dan rektum harus kanker, bila tidak
menjalani kliring didapatkan unresectable
perioperatif kualitas- metastasis
tinggi
Pasien setelah reseksi 1 tahun setelah reseksi Kolonoskopi
kuratif untuk kanker
kolon atau rektum
Risiko Meningkat – Pasien dengan Riwayat Keluarga
Terdapat riwayat kanker Usia 40 tahun atau 10 Kolonoskopi, setiap 5
kolorektal atau polip tahun sebelum kasus tahun
adenomatous pada termuda dalam keluarga
keluarga derajat pertama langsung
sebelum umur 60 tahun
atau 2 atau lebih
keluarga derajat pertama
pada umur bberapa saja
Terdapat riwayat kanker Usia 40 tahun Pilihan skrining dan
kolorektal atau polip interval dapat
adenomatous pada disesuaikan dengan
keluarga derajat pertama rekomendasi untuk
>60 tahun atau terdapat individual dengan risiko
dua anggota keluarga sedang
derajat kedua dengan
kanker kolorektal
Risiko Tinggi
Diagnosis genetik Usia 10-12 tahun Fleksibel sigmoidoskopi
familial adenomatous setiap 1 tahun untuk
polyposis (FAP) tanpa melihat ekspresi genetik
bukti pemeriksaan yang abnormal. Pikirkan
genetik pemeriksaan genetik.
Bila hasil pemeriksaan
genetik positif,
pertimbangkan
kolektomi
Diagnosis genetik atau Usia 20-25 tahun atau 10 Kolonoskopi setiap 1-2
klinis hereditary non- tahun sebelum kasus tahun. Pertimbangkan
polyposis colon cancer termuda dalam keluarga pemeriksaan genetik
(HNPCC) atau langsung untuk HNPCC
individual dengan risiko
meningkat HNPCC
Pasien dengan Risiko kanker dimulai 8 Kolonoskopi setiap 1-2
inflammatory bowel tahun setelah onset tahun. Biopsi untuk
disease (IBD), atau pancolitis atau 12-15 displasia
kolitis ulserartif kronis, tahun setelah onset
atau kolitis Crohn’s kolitis sebelah kiri

2.10 Diagnosis
Kanker rektal dapat dicurigai dari tanda dan gejala yang ada maupun dengan
pemeriksaan pada rektum. Setelah dicurigai, kolonoskopi atau studi pencitraan
diperlukan. Kanker rektal juga dapat ditemukan dengan skrining. Pemeriksaan
jaringan histologis kemudian diperlukan untuk mengkonfirmasi diagnosis diikuti
dengan pemeriksaan yang tepat.1,3

2.10.1 Tanda dan Gejala


Beberapa pasien dengan kanker rektal bersifat asimtomatik, khusunya ketika
keganasan baru diidentifikasi melalui skrining atau pengawasan (surveilans).
Adapun tanda dan gejala kanker rektal meliputi3,5,14:
 Hematokezia atau adanya perdarahan rektal dengan darah berwarna merah
segar;
 Tenesmus;
 Nyeri pada rektum dan pelvis;
 Perasaan lemah dan kelelahan (fatigue);
 Penurunan berat badan yang tidak diinginkan; dan
 Anemia

2.10.2 Pemeriksaan rektal digital


Tujuan dari pemeriksaan ini adalah untuk menentukan keutuhan otot sfingter ani
serta menentukan ukuran dan derajat fiksasi pada tumor yang terletak di 1/3
tengah dan distal rektum. Penilaian meliputi keadaan, mobilitas, serta ekstensi dan
ukuran tumor.12
Gambar 2.13 Alur penegakkan diagnosis kanker rektal berdasarkan pemeriksaan
rektal digital dan endoskopi dengan biopsi untuk konfirmasi hisopatologi. Tumor
dengan perluasan distal sampai ≤ 15 cm dari batas anal diklasifikasi sebagai tumor
rektal. Kanker dikategorikan sebagai lokasi rendah (sampai 5 cm), tengah (>5
sampai 10 cm) atau tinggi (>10 sampai 15 cm).11

2.10.3 Pemeriksaan Penunjang


Beberapa jenis pemeriksaan penunjang yang digunakan untuk mendiagnosis dan
menentukan derajat tumor adalah1,12:
1. Endoskopi
Endoskopi dapat dilakukan dengan cara sigmoidoskopi atau kolonoskopi.
Keduanya merupakan modalitas yang sering digunakan untuk skrining
maupun menegakkan diagnosis. Walaupun sigmoidoskopi fleksibel
merupakan metode diagnosis yang akurat dalam penegakkan diagnosis
kanker rektal, kolonoskopi tetap dibutuhkan utnuk mengevaluasi bagian
lain dari kolon untuk polip atau tumor kolon yang sinkronus yang
ditemukan pada 4% pasien dengan kanker rektal. Kelebihan lainnya adalah
kolonoskopi dapat menyingkirkan tumor, mengambil biopsi lesi dan
mevisualisasikan adenoma yang datar atau non-polipoid di sepanjang usus
besar. Alat tersebut sangat akurat dengan angka kelolosan 2,3% untuk
kanker rektal dan sigmoid.1,12

2. Barium enema dengan kontras ganda


Barium enema dengan kontras ganda atau double contrast barium enema
(DCBE) merupakan alat skrining dan diagnosis yang dapat dilakukan
dengan atau tanpa sigmoidoskopi fleksibel. DCBE juga dibuktikan lebih
unggul daripada kriteria evaluasi respons pada tumor padat (response
evaluation criteria in solid tumors; RECIST) dalam mengevaluasi efek
kemoradioterapi dan memprediksi kecenderungan terjadinya kekambuhan
tumor. Namun, sayangnya DCBE kalah unggul dari kolonoskopi dalam hal
penegakkan diagnosis.1

3. Kolonografi CT (CT pneumokolon)


Kolonografi CT merupakan prosedur yang non-invasif dan bersifat aman.
Kolonografi CT memiliki kemampuan rekonstruksi multiplanar serta
melakukan 3D volume rendering. Selain menyediakan kemampuan
visualisasi endoluminal pada kolon dan rektum, kolonografi ini
mempermudah pemeriksaan organ ekstrakolon. Kolonografi CT
dibuktikan sebagai alat yang sensitif untuk deteksi lesi sinkronus saat
kolonoskopi lengkap tidak memungkinkan karena adanya alasan teknis
seperti kanker yang mengobstruksi atau intoleransi pasien.1,12
Gambar 2.14 Anamnesis dan pemeriksaan fisik termasuk pemeriksaan rektal
digital, darah lengkap, tes fungsi hepar dan renal, CEA dan CT scan toraks dan
abdomen seharusnya dilakukan untuk menentukan status fungsional dan adanya
metastasis.11

Jenis-jenis pemeriksaan penunjang lain yang dapat digunakan untuk


menentukan stadium tumor adalah magnetic resonance imaging (MRI) dan
ultrasound endoskopi (transrektal atau transvaginal). Transrectal ultrasound
(TRUS) dapat membedakan kanker terlokalisir yang melibatkan mukosa maupun
submukosa dari kanker yang melibatkan propria muskularis atau lemak perirectal.
MRI merupakan tes pencitraan akurat lainnya untuk evaluasi stadium kanker.
Selain itu, MRI dapat digunakan untuk mengevaluasi respons pengobatan dan
kekambuhan lokal.1
Gambar 2.15 Penentuan stadium T tumor rektal pada MRI menurut Smith dan
Brown. Klasifikasi stadium klinis yang baru dari AJCC sedikit berbeda dengan
klasifikasi MRI: T3a, <5 mm; T3b, 5-10 mm; T3c, >10 mm. MP= propria
muskularis16
Sejumlah serum penanda juga digunakan dalam mendiagnosis kanker
rektal, termasuk antigen carcinoembryonic (CEA) dan antigen karbohidrat 19-9
(CA 19-9). Oleh karena sensitivitasnya yang rendah untuk penyakit tahap awal
dan kemungkinan peningkatan kondisi medis non-kanker, kedua serum ini tidak
dapat digunakan sebagai skrining atau tes diagnostik kanker rektal. CEA juga
memiliki nilai dalam follow-up pasca perawatan, rencana perawatan bedah, dan
evaluasi prognosis.1

Tabel 2.5 Diagnosis kerja pada kanker rektal primer menurut European Society
for Medical Oncology (ESMO)11
Parameter Pilihan Metode
Lokasi (jarak dari batas Pemeriksaan rektal digital/ palpasi
anal) Sigmoidoskopi kaku (endoskopi fleksibel)

Verifikasi morfologis Biopsi

Stadium T
Awal Ultrasound endorektal (endorectal ultrasound;
ERUS)
MRI
Intermediate/ Lanjut ERUS

Infiltrasi sfingter MRI (ERUS, palpasi, pemeriksaan di bawah


anestesia)

Stadium N MRI (CT, ERUS)

Stadium M CT, MRI (atau ultrasound) hepar/ abdomen


CT thoraks
PET-CT apabila terdapat invasi vaskuler ekstramural
di tempat lain

Evaluasi seluruh Diskusi tim multidisiplin


pasien

2.11 Pembedahan dengan Teknik Pull-Through Koloanal


Pembedahan kanker rektal tradisional berhubungan dengan tingkat
kekambuhan lokal sebesar 5-20%. Namun, kombinasi pembedahan yang
berkualitas tinggi menggunakan eksisi mesorektal total (total mesorectal excision;
TME) bersama dengan penggunaan terapi neoadjuvan serta adjuvan dapat
mengurangi kekambuhan lokal secara signifikan serta meningkatkan
kelangsungan hidup. Tujuan para ahli bedah adalah untuk mencapai reseksi bebas
tumor mikroskopis. Namun, bahkan jika hal tersebut tercapai, kekambuhan lokal
masih mungkin terjadi.3
Pengangkatan tuntas tumor serta jaringan limfatik yang terkait
merupakan tujuan primer reseksi pembedahan. Tujuan lainnya meliputi
kontinuitas usus dan menjaga sfingter anorektal juga harus dipikirkan ketika
mungkin dapat dilakukan. Pilihan pembedahan untuk kanker rektal yang dapat
direseksi adalah eksisi lokal, prosedur yang menghindari terkenanya sfingter
(seperti reseksi anterior rendah, sangat rendah atau sangat-sangat rendah), dan
reseksi perineal abdomen. Salah satu teknik yang dipakai untuk pembedahan
kanker rektal adalah teknik pull-through dan reseksi konformal. 1
Sejarahnya, teknik pull-through (P-T) koloanal telah menjadi prosedur
bedah pertama yang diadopsi untuk memfasilitasi anastomosis bawah buatan
tangan. Teknik ini populer pada sekitar pertengahan abad ke-20. Teknik P-T
memiliki difusi yang buruk, terutama sebagai akibat dari penyederhanaan teknis
yang disebabkan oleh stapler. Penggunaan kembali teknik P-T juga telah diamati
sebagai pilihan dengan anastomosis yang ditangguhkan, untuk memungkinkan
dan melindungi anastomosis koloanal dalam situasi dengan risiko terbuka yang
lebih besar, menghindari pengalihan feses sementara.18
Gambar 2.16 Teknik pull-through yang dimodifikasi: skema eksisi, sehubunngan
dengan kanalis ani.18
Konsep restoratif dari teknik P-T, yang dilakukan dalam satu waktu
melalui akses posterior, diikuti oleh beberapa modifikasi: (1) dengan eversi sisa
rektum residual, anastomosis langsung dan reintroduksi di panggul atau, (2) tanpa
eversi, melalui akses posterior dan transanal, atau (3) dengan dua langkah,
abdominal dan perineal. Dengan diperkenalkannya prinsip-prinsip baru mengenai
radikalitas onkologis yang mengarah pada keberhasilan operasi Miles, P-T
berkembang secara signifikan berkat Babcock dan Bacon.18
Konsep yang dikembangkan adalah prosedur restoratif yang dapat
diperoleh setelah pengangkatan rektum, melalui anastomosis koloanal tertunda
(delayed coloanal anastomosis; D-CAA). Babcock biasa menyelesaikan reseksi
dengan akses posterior ke panggul, membelah sfingter dan levator ani, kemudian
ia melanjutkan rekonstruksi dengan menggunakan P-T, meninggalkan epitel anal.
Bacon sebagai gantinya, digunakan untuk menghilangkan mukosa saluran anal
bersama dengan sfingter internal, dengan tujuan mendapatkan sealing kolon yang
sudah di-eksteriorisasi yang lebih cepat dan lebih aman.18,19
Gambar 2.17 Skema pull-through yang dimodifikasi. Waktu rekonstruktif: D-
CAA tanpa eksisi atau eversi mukosa anal.18

Walaupun teknik ini tidak bebas dari morbiditas dan konsekuensi, teknik
P-T membawa keberhasilan sampai tahun 70-an dalam membuat pembangunan
anastomosis distal menjadi lebih mudah, dan juga memungkinkan pembuatan
anastomosis baik yang segera maupun yang tertunda. Rekonstruksi yang tertunda
dibuat dengan mempertahankan ujung distal tunggul kolik yang dieksternalisasi
melalui dan di luar anus, untuk waktu yang diperlukan untuk penyembuhan
anastomosis hulu di antara bagian kranial dari stump kolon dan residu rektum atau
kanalis ani. Prosedur ini memungkinkan untuk menghindari stoma protektif dan
meminimalkan risiko luka terbuka.18,19

2.11.1 Prosedur
Pasien ditempatkan pada posisi rendah Lloyd-Davies. Pada fase abdominal,
prosedur pada kanker rektal primer tidak berbeda dari reseksi anterior letak rendah
standar, yaitu: mobilisasi kolon kiri dari retroperitoneum dan omentum majus
hingga setengah dari kolon transversal; hemostasis dan pemotongan pembuluh
mesenterika inferior ke asalnya; insisi dari insersi mesokolon transversus sampai
ke batang pembuluh kolik pertengahan; hemostasis dan pemotongan pembuluh
kolik kiri dekat dengan vena mesenterika inferior; insisi pada daerah avaskuler
dari mesokolon transversus dekat arkus kolik kiri, untuk mendapatkan elongasi
maksimum dari kolon yang tersisa untuk rekonstruksi.18,20

Gambar 2.18 Kolon ditarik melalui anus.20


Pada reseksi ulang, transposisi kolon kiri mungkin tidak cukup lama di
panggul, dan memotong aksis vaskular kolik tengah menjadi sebuah keharusan.
Apabila suplai vaskuler dapat dipastikan dari pembuluh kolik kanan pada kasus-
kasus ini, akan lebih mudah untuk melakukan mobilisasi dan menurunkan kolon
transversus ke kanan usus halus, sehingga sebagian besar loop usus halus
dipindahkan menuju saluran parakolik kiri, tanpa perlu menderotasi sekum.
Apabila pembuluh kolik kanan tidak dapat dihindarkan akibat jangka pendek,
maka perlu untuk melakukan pembebasan total kolon residual, dengan
mengandalkan perfusi yang berasal dari aksis ileo-kolik. Sekum kemudian dirotasi
dan dibalikkan, dan kolon asendens proksimal dipindahkan setingkat perineum.18
Gambar 2.19 Kolon didorong kembali untuk dijahit ke garis dentat yang akan
direduksi lebih lanjut ketika jahitan diikat untuk menghasilkan anastomosis yang
bebas tegangan.20

Rektum didiseksi sampai ke dasar panggul dengan teknik TME standar.


Setelah batas superior otot puborektalis tercapai, diseksi menyatu secara
sirkumferensial menuju dinding rektum dan mengontrol total diseksi dengan
eksplorasi rektal menggunakan jari tangan.18
Apabila terdapat intervensi ulang untuk kekambuhan lokal atau reseksi
Hartmann yang rendah, diseksi panggul akan jauh lebih kompleks, dengan
mengingat kebutuhan untuk mengisolasi stump rektum kecil dari bekas luka yang
ada, biasanya ditutup oleh jatuhnya organ genito-urinaria ke belakang. Akan
terasa nyaman untuk pertama bekerja ke bagian posterior pada plana presakral dan
kemudian, setelah berada di bawah ureter, perpanjang diseksi menuju ke lateral
dan ke arah depan, sehingga dapat menghindari vena hipogastrik secara akurat.
Untuk memudahkan isolasi bidang anterior, probe tumpul (tipe Haegar) dengan
kaliber yang adekuat dapat diugunakan dengan cara didorong melalui anus atau
vagina. Jika panjang residu rektum yang intak tidak lebih dari 2 cm, kita dapat
melewati isolasi aspek eksternalnya dan bergantung pada mukosektomi selama
fase perineum.18
Gambar 2.20 Prosedur pull-through yang sudah selesai dilakukan: Empat jahitan
kardinal di antara lapisan eksternal dinding kolonik dan kanalis ani.18

Gambar 2.21 Aspek stump transanal tujuh hari pasca-pull-through.18

Kanalis ani yang intak dan dibiarkan pada tempatnya kemudian


diperlebar secara lembut dan insisi sirkumferensial setingkat garis pektinat
dilakukan. Apabila harus dilakukan untuk tujuan onkologis, sebagian kanalis ani
dapat direseksi namun dengan menjaga integritas mukosa dan sfingter internal
dari segmen paling distal untuk setidaknya 1 cm dari batas kulit. Diseksi
kemudian berlanjut ke atas pada plana intersfingterik sampai ujung abdominal
lainnya tercapai.18
Ketika isolasi selesai dilakukan, empat jahitan terinterupsi menggunakan
monofilament yang dapat diserap kembali diposisikan pada empat titik 39estorat
dari perbatasan internal kanalis ani, melalui sfingter.18

Gambar 2.22 Pemulihan segera tonus sfingterik pada akhir anastomosis koloanal
tertunda18

Spesimen pembedahan tidak terlalu besar dapat ditarik melalui amus


bersama dengan mesonya dan pembuluh darah mesenterik inferior. Perlu
diperhatikan bahwa mukosa kanalis ani tidak diinversi di luar atau lecet ketika
dilakukan P-T. Kolon yang diekteriorisasi kemudian dipotong sesuai dengan tipe
rekonstruksi yang sudah direncanakan.18
Apabila tidak ditemukan risiko yang dapat diprediksi, anastomosis
koloanal yang segera (immediate coloanal anastomosis; I-CAA) merupakan
pilihan utama. Konfigurasi yang biasanya dipakai untuk anastomosis adalah side-
to-end. Ketika memungkinkan, kantong J (J-pouch) sepanjang 5-6 cm dapat
ditambahkan. Pada kasus-kasus di mana kemungkinan terjadinya bekas insisi
terbuka tinggi, dan ketika harus menghindari stoma yang memproteksi, alternatif
yang dipakai adalah anastomosis koloanal tertunda (delayed coloanal
anastomosis; D-CAA): 5-10 cm dari stump kolon distal, dengan meso posterior
yang pendek, dibiarkan di luar anus untuk 7-10 hari, dan difiksasi pada titik-titik
40estorat. Kolon yang melewati batas anal kemudian direseksi dan anastomosis
diselesaikan.

2.11.2 Pull-Through dengan Anastomosis Koloanal Segera


Keterbatasan untuk pendekatan I-CAA adalah urutan onkologis dan anatomis:
pasase dari spesimen pembedahan melalui kanalis ani merupakan kontraindikasi
pada kasus kecurigaan maupun keterlibatan neoplastik dari batas reseksi
sirkumferensial (circumferential resection margin; CRM+). Namun hal ini jarang
terjadi sekarang karena adanya penurunan ukuran serta stadium tumor akibat
pengobatan neoadjuvan. Selain itu, transposisi transanal dari kolon yang
sebelumnya dimobilisasi tidak menunda pembuatan kantong dan mereduksinya
kembali ke dalam abdomen. Hal ini memberikan dua keuntungan: identifikasi
yang jelas dari situs yang sesuai untuk anastomosis yang bebas tegangan serta
pemeriksaan langsung terhadap suplai vaskuler untuk kolon distal sebelum
memotong mesokolon.18

2.11.3 Pull-Through dengan Anastomosis Koloanal Tertunda


Anastomosis intestinal teteap memiliki keterbatasan dalam penggunaannya serta
adanya kemungkinan untuk gagal walaupun saat ini terdapat kemajuann teknik
dan teknologi. Kemungkinan terjadinya kebocoran anastomosis berbanding
terbalik dengan jarak dari sebuah anastomosis ke anus. Risiko terjadinya
komplikasi sudah meningkat setiap tahun secara paradoks terhadap jumlah
prosedur restoratif yang dilakukan pada rekutm bagian tengah ke bawah.18
Insidens terjadinya kebocoran anastomosis yang dilaporkan bervariasi
dari 3-25% dan berhubungan dengan lokasi anastomosis yang berbeda, metode
yang digunakan untuk mendeteksi kebocoran serta model anastomosis dan
khususnya penggunaan stoma pelindung ketika anastomosis dibuat.18
Sebuah ulasan retrospektif 10 tahun yang terbaru mengenai prosedur P-T
dengan anastomosis yang tertunda menggunnakan teknik Turnbull-Cutatit untuk
patologi anorektal yang kompleks melaporkan hasil yang stabil dari prosedur ini,
relatif terhadap inkontinensi fekal dan fungsi perkemihan dan seksual, dapat
dibandingkan terhadap anastomosis koloanal yang dibuat secara manual.18
Komplikasi pasca-operasi hampir sama pada kedua pengamatan, bahkan
ketika kebocoran anastomosis dan abses pelvis didapatkan lebih dari dua kali lipat
pada I-CAA (6,8 vs 2,9), data ynag terkonfirmasi dari studi yang dilakukan
beberapa tahun sebelumnya. Tingginya angka kegagalan prosedur (25%)
tampaknya berhubungan dengan indikasi ekstensif dan tingkat keparahan
patologi, daripada tipe P-T yang digunakan. P-T tampaknya berhubungan dengan
ileostomy protektif.18
Pada sebuah analisis retrospektif yang dilakukan oleh Jarry dkk.,
mengenai teknik P-T dengan D-CAA sebagai pilihan utama pada 100 pasien
dengan kanker rektal melaporkan 3% mortalitas operatif, 36% morbiditas, dan
14% re-intervensi. Dari 36% morbiditas yang dilaporkan, 10% dari kasus
merupakan kebocoran anastomosis, fistula, dan sepsis pelvis. Hasil fungsional
dinilai baik atau memuaskan pada 40% kasus setelah 1 tahun dan 73% kasus
setelah 2 tahun.18
Jarry dkk., menilai bahwa J-pouch memperlama durasi operasi walaupun
kantong tersebut menurunkan frekuensi dan urgensi defekasi sementara.
Pembuatan J-pouch bukanlah teknik yang mudah digunakan dan dapat
menyebabkan kesulitan dalam pengosongan neorektum seiring waktu.18
Pada kondisi-kondisi sulit yang mempengaruhi rektum dan anus, pada
reintervensi pelvis, di mana terdapat peningkatan kebocoran anastomosis dan
ketika stump rektal yang cukup tidak dapat diselamatkan, D-CAA merupakan
teknik yang berharga.

2.11.3 Pull-Through dengan Anastomosis Koloanal Tertunda dan Koloplasti


Terbalik
Koloplasti terbalik atau transverse coloplasty (TC) memiliki hasil yang
memuaskan ketika dibandingkan dengan J-pouch. Terlebbih lagi, kebutuhan ruang
yang sedikit membuat penggunaan TC lebih mudah pada pelvis yang sempit di
mana J-pouch tidak dapat dibuat. Terdapat beberapa ketakutan akan adanya
gangguan perfusi distal kolon terhadap TC, dengan peningkatan risiko untuk
integritas anastomosis, yang membatasi penggunaan TC.18
Gambar 2.23 Skema pull-through dengan kloloplasti terbalik.18

2.11.4 Keuntungan Teknik Pull-Through


Teknik P-T merupakan teknik pembedahan yang reliabel dan mudah dilakukan
kembali sehingga merupakan alternatif yang bermanfaat khususnya pada reseksi
restoratif yang ekstrim. Pada pasien-pasien dengan kondisi rektal yang kompleks,
teknik P-T dapat digunakan untuk menghindari diseksi perirektal sehingga dapat
mengurangi risiko perdarahan atau cedera struktur yang berhubungan dengan
rektum pada kondisi pelvis yang tidak bersahabat. Selain itu, P-T juga
menurunkan jaringan kolon yang sehat ke bawah fistula, dengan anastomosis
yang dilakukan secara distal terhadap lesi.18,20

2.11.5 Komplikasi Teknik Pull-Through


Adapun komplikasi dari teknik P-T meliputi komplikasi yang lebih awal muncul
serta komplikasi yang lebih lama muncul. Komplikasi awal setelah dilakukan
teknik P-T meliputi cedera ureter, abses pelvis, hematoma pelvis, abses
abdominal, abses presacral, ileus pasca-operasi, fistula enterokutaneus, infeksi
luka, dan infeksi saluran kemih. Sedangkan komplikasi yang lebih lama muncul
meliputi striktur anastomosis, fistula enterokutaneus, prolaps mukosal, abses
perianal, obstruksi usus halus, dan kekambuhan fistula.20
Sebagai bagian dari informed consent, seluruh pasien sudah
diberitahukan akan mengalami gangguan pencernaan setelah prosedur yang akan
meningkat selama 1-2 tahun. Gangguan tersebut dapat meliputi defekasi
terobstruksi, episode inkontinensia defekasi yang ringan sampai inkontinensia
total.20

2.12 Pembahasan
Kanker rektal merupakan kanker yang cukuup sering ditemukan dengan angka
kejadian sebesar 28%. Angka kejadian kanker rektal lebih tinggi pada negara-
negara barat seperti negara-negara di Eropa, Amerika Utara dan Selatan, maupun
Australia. Namun, saat ini terdapat peningkatan insiden pada negara-negara di
Asia seperti RRC, Jepang, dan Korea Selatan. Kanker rektal sendiri lebih banyak
ditemukan pada laki-laki daripada perempuan. Adapun beberapa faktor yang
mempengaruhi kanker rektal adalah riwayat kanker dalam keluarga, gaya hidup
dan diet.
Diagnosis kanker rektal ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang. Tiga pemeriksaan penunjang yang sering dipakai
dalam diagnosis adalah endoskopi, barium enema dengan kontras ganda serta
kolonografi CT. Penunjang lainnya yang dapat dipakai adalah MRI maupun
ultrasound endoskopi.
Pada pasien ini, didapati keluhan buang air besar (BAB) yang kecil yang
darah segar. Terdapat rasa tidak puas pada BAB (tenesmus +). Foto polos thoraks
pasien menunjukkan kesan adanya metastasis tumor ke paru.
BAB III
KESIMPULAN

Kanker rektal merupakan salah satu keganasan yang sering ditemukan dan
menyebabkan kematian. Angka kejadian kanker rektal banyak ditemukan pada
negara-negara barat seperti negara-negara di Eropa maupun di Amerika Utara. Hal
ini berkaitan dengan pola hidup dan diet yang banyak mengandung daging sapi,
daging babi serta daging olahan serta konsumsi alkohol maupun merokok.
Namun, seiring berjalannya waktu, angka kejadian kanker rektal sekarang
meningkat di negara-negara Asia seperti Republik Rakyat Cina (RRC), Jepang,
dan Korea Selatan.
Salah satu modalitas terapi untuk kanker rektal adalah pembedahan.
Terdapat berbagai teknik pembedahan yang dapat digunakan dalam terapi kanker
rektal, salah satunya adalah teknik pull-through (P-T). Teknik ini merupakan
teknik yang sudah lama dipakai dan sempat ditinggalkan oleh ahli bedah, namun
melihat keuntungan yang didapatkan, teknik ini kembali dipakai dalam terapi
kanker rektal. Teknik P-T biasanya dipakai untuk tumor lokasi rendah.
Anastomosis koloanal dapat dibuat secara langsung maupun tertunda, namun yang
seringkali ditemukan adalah anastomosis koloanal tertunda (D-CAA).
Adapun keuntungan teknik ini adalah risiko pendarahan dan cedera
struktur dekat rektum yang menurun karena terhindarnya diseksi perirektal. Selain
itu, teknik ini mudah untuk dilakukan kembali. Komplikasi dari prosedur ini
meliputi komplikasi awal seperti cedera ureter, abses pelvis, serta hematoma
pelvis dan komplikasi yang lebih lama muncul seperti prolaps mukosal, abses
perianal, dan obstruksi usus halus.
DAFTAR PUSTAKA

1. Fazeli MS, Keramati MR. Rectal cancer: a review. Med J Islam Repub
Iran. 2015; 29:171. Tersedia di
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC 44 31429/
2. Mahadevan V. Anatomy of the rectum and anal canal. Surgery. 2017; 35:
121-125. Tersedia di https://www.surgeryjournal.co.uk/article/S0263-9319
(16)30220-4/pdf
3. American Cancer Society. Colorectal Cancer Early Detection, Diagnosis,
and Staging. 2018. Tersedia di https://www.cancer.org/content/dam/CRC
/PDF/Public/8606.00.pdf
4. Kocaman O, Baysal B, Senturk H, Ince AT, Muslumanoglu M, Kocakoc E,
et al. Staging of rectal carcinoma: MDCT, MRI or EUS. Single center
experience. Turk J Gastroenterol. 2014;25(6):669-73. Tersedia di
http://turkjgastroenterol.org/sayilar/281/buyuk/669-73.pdf
5. Hamilton S.R., Aaltonen L.A. (Eds.): World Health Organization
Classification of Tumours. Pathology and Genetics of Tumours of the
Digestive System. 2000. IARC Press: Lyon. Hal: 105-199. Tersedia di
https://www.iarc.fr/wp-content/uploads/2018/07/bb2-chap6.pdf
6. National Cancer Institute. Colorectal Cancer Screening (PDQ®)-Patient
Version. https://www.cancer.gov/types/colorectal/patient/rectal-treatment-
pdq
7. Deng Y. Rectal Cancer in Asian vs. Western Countries: Why the Variation
in Incidence? Curr Treat Options Oncol. 2017;18(10):64. Tersedia di
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/28948490
8. Pourhoseingholi MA. Increased burden of colorectal cancer in Asia. World
J Gastrointest Oncol. 2012;4(4):68-70. Tersedia di https://www.ncbi.nlm.
nih.gov/pmc/articles/PMC3334381/
9. Kokki I, Papana A, Campbell H, Theodoratou E. Estimating the incidence
of colorectal cancer in South East Asia. Croat Med J. 2013;54(6):532-40.
Tersedia di https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3893985/
10. Khairina D, Suzanna E, Triana D, Kadir A, et al. Profile of Colorectal
Cancer in 14 Provinces in Indonesia. Journal of Global Oncology 4. 2018;
2. https://ascopubs.org/doi/abs/10.1200/jgo.18.64300
11. Glynne-Jones R, Wyrwicz L, Tiret E, Brown G, Rodel C, Cervantes A, et
al. Rectal cancer: ESMO Clinical Practice Guidelines for diagnosis,
treatment and follow-up. Ann Oncol. 2017;28(4): iv22-iv40. Tersedia di
https://www.esmo.org/Guidelines/Gastrointestinal-Cancers/Rectal-Cancer
12. Komite Penanggulangan Kanker Nasional. Panduan Penatalaksanaan
Kanker Kolorektal. 2017. Hal: 1-5. http://kanker.kemkes.go.id/guidelines
/PPKKolorektal.pdf
13. Akkoca AN, Yanik S, Ozdemir ZT, Cihan FG, Sayar S, Cincin TG, et al.
TNM and Modified Dukes staging along with the demographic
characteristics of patients with colorectal carcinoma. Int J Clin Exp Med.
2014;7(9):2828-35. Tersedia di https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles
/PMC4211795/
14. Fleming M, Ravula S, Tatishchev SF, Wang HL. Colorectal carcinoma:
Pathologic aspects. J Gastrointest Oncol. 2012;3(3):153-73. Tersedia di
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3418538/
15. Axelrad JE, Lichtiger S, Yajnik V. Inflammatory bowel disease and cancer:
The role of inflammation, immunosuppression, and cancer treatment.
World J Gastroenterol. 2016;22(20):4794-801. Tersedia di
https://www.ncbi. nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4873872/
16. Nougaret S, Reinhold C, Mikhael HW, et al. The Use of MR Imaging in
Treatment Planning for Patients with Rectal Carcinoma: Have You
Checked the “DISTANCE”? Radiology. 2013; 266(2): 330-344. Tersedia
di https://pubs.rsna.org/doi/pdf/10.1148/radiol.13121361
17. Chua TC, Chong CH, Liauw W, Morris DL. Approach to rectal cancer
surgery. Int J Surg Oncol. 2012; 2012: 247107. Tersedia di
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3389703/
18. Prete F, Prete FP. The pull-through: back to the future. G Chir. 2013;
34(11-12): 293-301. Tersedia di
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC 3926465/
19. Bianco F, Falato A, Belli A, De Franciscis S, De Leon Valdez JD, Romano
GM. Modified Pull-Through Technique With A Delayed High Coloanal
Anastomosis: No Stoma and Scarless Surgery for Low Rectal Cancer. Dis
Colon Rectum. 2017; 60(10): 1113. Tersedia di https://journals.lww.
com/dcrjournal/Citation/2017/10000/Modified_Pull_Through_Technique_
With_A_Delayed.18.aspx
20. Patsouras D, Yassin NA, Phillips RK. Clinical outcomes of colo-anal pull-
through procedure for complex rectal conditions. Colorectal Dis.
2014;16(4):253-8. Tersedia di https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/
24344638

Anda mungkin juga menyukai