DISUSUN OLEH
(1706026166)
Paralel
FAKULTAS HUKUM
PROGRAM STUDI SARJANA PARALEL
DEPOK
FEBRUARI 2020
A. Perjanjian Internasional yang Telah Diratifikasi oleh Indonesia menjadi Peraturan
Perundang-undangan
1. UU Nomor 2 Tahun 1976 Tentang Pengesahan Konvensi Tokyo 1963, Konvensi The
Hague 1970, dan Konvensi Montreal 1971
Konvensi Tokyo 1963, Konvensi The Hague 1970, dan Konvensi Montreal
1971 merupakan usaha bersama antar Negara untuk mencegah dan memberantas
kejahatan penerbangan dan tindak pidana lainnya yang dilakukan di dalam pesawat
udara.
10. UU Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengesahan International Convention for the
Suppression of the Financing of Terrorism 1999 (Konvensi Internasional
Pemberantasan Pendanaan Terorisme)
Tindak pidana terorisme merupakan kejahatan internasional yang menimbulkan
bahaya terhadap keamanan dan perdamaian dunia serta kemanusiaan dan peradaban
sehingga pencegahan dan pemberantasannya memerlukan kerja sama antarnegara.
Pengesahan konvensi tersebut merupakan wujud Pemerintah Negara Republik
Indonesia sebagai bagian dari masyarakat internasional yang ikut bertanggung jawab
dalam memelihara perdamaian dan keamanan internasional serta ikut aktif dalam
pemberantasan pendanaan tindak pidana terorisme.
11. UU Nomor 7 Tahun 2006 Tentang Pengesahan United Nations Convention Against
Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003)
Tindak pidana korupsi bukan lagi merupakan masalah lokal, akan tetapi
merupakan fenomena transnasional yang mempenganrhi seluruh masyarakat dan
perekonomian sehingga adanya kerja sama internasional untuk pencegahan dan
pemberantasannya termasuk pemulihan atau pengembalian aset-aset hasil tindak
pidana korupsi menjadi penting. Indonesia ikut aktif dalam upaya mnasyarakat
internasional untuk pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi dengan turut
serta menandatangani United Nations Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003).
12. UU Nomor 14 Tahun 2009 Tentang Pengesahan Protokol Untuk Mencegah, Menindak,
Dan Menghukum Perdagangan Orang, Terutama Perempuan dan Anak-Anak,
Melengkapi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Tindak Pidana
Transnasional Yang Terorganisasi
Pengesahan Protokol tersebut merupakan perwujudan komitmen Indonesia
untuk melaksanakan Protokol untuk Mencegah, Menindak, dan Menghukum
Perdagangan Orang, Terutama Perempuan dan Anak-Anak, Melengkapi Konvensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Tindak Pidana Transnasional yang
Terorganisasi.
16. UU Nomor 1 Tahun 2012 Tentang Pengesahan Traktat Pelarangan Menyeluruh Uji
Coba Nuklir (Comprehensive Nuclear-Test-Ban Treaty)
Tujuan Traktat Pelarangan Menyeluruh Uji Coba Nuklir adalah untuk
mengurangi senjata nuklir secara global melalui usaha-usaha yang sistematis dan
progresif dengan tujuan menghapuskan senjata nuklir dan perlucutan senjata nuklir
secara umum di bawah pengawasan internasional yang tegas dan efektif. Menurut
Traktat ini, setiap Negara Pihak dilarang melakukan segala uji coba ledakan senjata
nuklir atau ledakan nuklir lainnya dan melarang serta mencegah semua ledakan nuklir
semacamnya yang berada di wilayah yurisdiksi atau pengawasannya.
17. UU Nomor 6 Tahun 2012 Tentang Pengesahan Konvensi Internasional Mengenai
Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya
Dengan ditandatanganinya Konvensi ini, maka telah menunjukkan komitmen
Indonesia untuk untuk melindungi, menghormati, memajukan dan memenuhi hak-hak
seluruh pekerja migran dan anggota keluarganya, yang pada akhirnya diharapkan dapat
memenuhi kesejahteraan para pekerja migran dan anggota keluarganya. Tujuan
Konvensi ini adalah untuk menetapkan standar-standar yang menciptakan suatu model
bagi hukum serta prosedur administrasi dan peradilan masing-masing negara pihak.
Terobosan utama Konvensi ini adalah bahwa orang-orang yang memenuhi kualifikasi
sebagai pekerja migran dan anggota keluarganya, sesuai ketentuan-ketentuan
Konvensi, berhak untuk menikmati hak asasi manusia, apapun status hukumnya.
18. UU Nomor 9 Tahun 2012 Tentang Pengesahan Protokol Opsional Konvensi Hak-Hak
Anak Mengenai Keterlibatan Anak dalam Konflik Bersenjata
Keterlibatan anak dalam konflik bersenjata merupakan pelanggaran terhadap
hak-hak anak. Oleh karena itu, dengan mempertimbangkan berbagai akibat yang sangat
merugikan anak, masyarakat internasional bersepakat untuk melakukan tindakan-
tindakan yang diperlukan untuk melindungi anak sebagaimana tercantum dalam
Optional Protocol to the Convention on the Rights of the Child on the Involvement of
Children in Armed Conflict (Protokol Opsional Konvensi Hak-hak Anak mengenai
Keterlibatan Anak dalam Konflik Bersenjata). Protokol Opsional ini bertujuan untuk
mencegah dan melindungi anak dari keterlibatan dalam konflik bersenjata.
19. UU Nomor 10 Tahun 2012 Tentang Pengesahan Protokol Opsional Konvensi Hak-Hak
Anak Mengenai Penjualan Anak, Prostitusi Anak, dan Pornografi Anak
Sebagai wujud komitmen Indonesia dalam upaya mencegah, memberantas, dan
menghukum pelaku tindak pidana penjualan anak, prostitusi anak, dan pornografi anak,
Pemerintah Indonesia telah menandatangani Optional Protocol to the Convention on
the Rights of the Child on the Sale of Children, Child Prostitution and Child
Pornography (Protokol Opsional Konvensi Hak-hak Anak mengenai Penjualan Anak,
Prostitusi Anak, dan Pornografi Anak) pada tanggal 24 September 2001. Protokol
Opsional ini bertujuan melindungi anak agar tidak menjadi korban dari tindak pidana
penjualan anak, prostitusi anak, dan pornografi anak. Protokol ini mengatur mengenai
upaya-upaya mencegah, memberantas, dan menghukum pelaku tindak pidana
penjualan anak, prostitusi anak, dan pornografi anak, baik di dalam negeri maupun
antarnegara.
20. Peraturan Presiden Nomor 30 Tahun 2012 Tentang Pengesahan Konvensi Internasional
dan Pencarian dan Pertolongan Maritim
Konvensi tersebut bertujuan untuk membentuk satu perangkat hukum yang
berlaku secara internasional dalam rangka meningkatkan pelayanan jasa Search and
Rescue di bidang pelayaran baik di wilayah perairan Indonesia maupun di luar wilayah
perairan Indonesia.
21. UU Nomor 15 Tahun 2016 Tentang Pengesahan Maritime Labour Convention, 2006
(Konvensi Ketenagakerjaan Maritim, 2006)
Konvensi Ketenagakerjaan Maritim 2006 menitikberatkan pada upaya Negara
Anggota Organisasi Ketenagakerjaan Internasional untuk memberikan perlindungan
bagi awak kapal serta industri pelayaran. UU No. 15 Tahun 2006 mengesahkan
Maritime Labour Convention, 2006 (Konvensi Ketenagakerjaan Maritim, 2006) yang
salinan naskah aslinya dalam bahasa Inggris dan bahasa Perancis serta terjemahannya
dalam bahasa Indonesia yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Undang-
Undang ini. Undang-undang ini disahkan dan diundangkan pada 6 Oktober 2016.
22. UU Nomor 16 Tahun 2016 Tentang Pengesahan Paris Agreement to the United Nations
Framework Convention on Climate Change (Persetujuan Paris Atas Konvensi
Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Perubahan Iklim)
Dalam hal perubahan iklim, Pemerintah Indonesia telah mengadopsi Paris
Agreement to the United Nations Framework Convention on Climate Change
(Persetujuan Paris atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa
mengenai Perubahan Iklim). Hal tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan
penandatanganan Persetujuan dimaksud pada tanggal 22 April 2016 di New York,
Amerika Serikat. Persetujuan Paris mengamanatkan peningkatan kerja sama bilateral
dan multilateral yang lebih efektif dan efisien untuk melaksanakan aksi mitigasi dan
adaptasi perubahan iklim dengan dukungan pendanaan, alih teknologi, peningkatan
kapasitas yang didukung dengan mekanisme transparansi serta tata kelola yang
berkelanjutan.
B. Undang-Undang yang Tidak Sesuai dengan Pasal 28I ayat (1) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia 1945
Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 berbunyi: "Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak
kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak
untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar
hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam
keadaan apapun". Ketentuan dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, tepatnya dalam Pasal 2 ayat (2), berbunyi: "Dalam hal tindak
pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu,
pidana mati dapat dijatuhkan". Pasal tersebut jelas telah melanggar salah satu hak yang
tercantum dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945, tepatnyaa hak untuk hidup.
Selain ketentuan dalam UU Nomor 31 Tahun 1999, terdapat pula ketentuan lain yang
mengandung hukuman pidana mati, seperti UU 15 Tahun 2003 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang yang kemudian diubah
dengan UU Nomor 5 Tahun 2018. Dalam UU Nomor 5 Tahun 2018, hukuman mati terdapat
pada pasal 6 yang berbunyi: "Setiap Orang yang dengan sengaja menggunakan Kekerasan
atau Ancaman Kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang
secara meluas, menimbulkan korban yang bersifat massal dengan cara merampas
kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan
kerusakan atau kehancuran terhadap Objek Vital yang Strategis, lingkungan hidup atau
Fasilitas Publik atau fasilitas internasional dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, pidana penjara seumur
hidup, atau pidana mati" serta pada Pasal 10A ayat (1) yang berbunyi: "Setiap Orang yang
secara melawan hukum memasukkan ke wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia,
membuat, menerima, memperoleh, menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai
persediaan padanya atau mempunyai dalam miliknya, menyimpan, mengangkut,
menyembunyikan, atau mengeluarkan dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
senjata kimia, senjata biologi, radiologi, mikroorganisme, nuklir, radioaktif atau
komponennya, dengan maksud untuk melakukan Tindak Pidana Terorisme dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 20 (dua puiuh) tahun,
pidana penjara seumur hidup, atau pidana mati".
DAFTAR REFERENSI