Anda di halaman 1dari 2

Air mata memenuhi kedua bola mataku.

Perasaan mengharu biru menyesaki rongga


dadaku. Aku berdiri di depan tempat yang terkungkung kedzaliman selama sekian tahun. Berdiri
dengan bebas tanpa merasa takut ada peluru yang menembus tubuhku. Kuedarkan ekor mataku ke
sekeliling, dalam hati aku bergumam “Jika ini mimpi, maka aku tidak ingin terbangun lagi”.
Kucubit kedua pipiku, “sakit”. Pemandangan mengharukan ini nyata adanya.

Aku melangkah masuk melewati pintu gerbangnya. Menapaki jalan yang terbentang di
depanku. Anak-anak bermain penuh gembira, berlarian kesana kemari. Tertawa lepas, tawa yang
sejak lama hilang dari raut wajah mereka. Di sudut lain, kulihat sekelompok remaja sedang
bermuraja’ah. Ah, ini sungguh nyata. Senyata diriku yang dapat berdiri di tanah Para Nabi.

Sekian tahun, wajah-wajah ini hidup dalam kedzaliman. Ledakan bom dan granat
menghujam bumi, menghancurkan setiap bangunan yang berdiri tegak di atas bumi. Gedung-
gedung rubuh dan bertabrakan, menimpa setiap apa yang ada di bawahnya, tanpa terkecuali nyawa
manusia.

Bertahun lalu, rasa sakit dan luka mendalam membekas dalam jiwa mereka. Perang telah
merunggut semua yang mereka miliki. Harta benda bahkan sampai nyawa orang-orang terkasih
hilang oleh tangan-tangan kedzaliman. Roda kehidupan berubah menjadi pesakitan yang terjebak
dalam penjara terbesar yang ada di muka bumi.

Atas semua rasa sakit itu, kedua kaki mereka tetap teguh berdiri di tanah Para Nabi. Mereka
tetap memilih menjadi banteng pertama dan utama umat. Mereka gadaikan kehidupannya untuk
menjaga kekokohan Kiblat pertama umat Islam. Tekad mereka telah bulat, hidup mulia atau mati
syahid.

Di belahan bumi lainnya, ada saudara-saudara mereka yang tiada henti merapalkan do’a.
Menyebut nama mereka dalam setiap do’a dan mengharapkan kebebasan mereka dari setiap sendi
kedzaliman. Inilah ikatan yang dulu dijalin oleh Rasulullah. Ukhuwah Islamiyah membentuk
ikatan yang jauh lebih kental dan erat dari sekedar ikatan darah.

Dan di belahan bumi yang lainnya, seorang panglima perang tengah menghimpun
sekelompok pasukan. Itulah sebaik-baik pasukan yang pernah ada yang dipimpin oleh seorang
pemimpin terbaik yang pernah ada, layaknya Sultan Muhammad Al Fatih dan pasukannya yang
membebaskan Konstatinopel, ratusan abad lalu.
Di bawah panji-panji perang Rasulullah, mereka berangkat dengan gagah berani. Suara
takbir dan gendering perang bergemuruh dalam kesatuan pasukan. “Ahad..Ahad”, seru mereka
seperti ketika pasukan muslimin menaklukan Quraisy pada Perang Badar.

Memang begitulah kebathilan, ia datang dalam jumlah besar dan persenjataan lengkap
yang membuat mereka jumawa. Sedangkan yang haq datang dalam jumlah yang sedikit dan senjata
yang apa adanya. Tetapi, yang Haq selalu datang membawa cahaya. Cahaya yang datang perlahan
demi perlahan, menerangi dan menghapus kegelapan dari setiap jengkal bumi yang diusung oleh
kebathilan.

Salahuddin, beristirahatlah dengan tenang. Tak usahlah engkau risaukan orang-orang akan
mengusik tidur panjangmu lagi. Kami telah mewarisi tekad dan semangatmu. Ini adalah terakhir
kalinya Baitul Maqdis dibebaskan. Karena sungguh, ia tak akan jatuh lagi ke genggaman tangan
musuh-musuh Allah.

Hari ini tibalah hari yang begitu dinantikan jutaan muslim di penjuru dunia. Allah telah
mengizinkan umat muslim untuk sekali lagi membebaskan Baitul Maqdis. Dan sungguh, gemuruh
pasukan yang lain tengah berjalan ke utara. Jauh ke utara, ke ibukota Romawi Barat. Menuju
Roma, kota yang dijanjikan Rasulullah untuk dibebaskan umat Islam pada Perang Khandaq.
Begitukah? Akankah adzan akan berkumandang untuk pertama kalinya di kota Roma?.Bukankah
seperti kata pepatah, “Selalu ada jalan menuju Roma”.

Anda mungkin juga menyukai