KELOMPOK 6 :
Rheisya T A. 191411054
Rosyidah K M. 191411057
Yanis Fitrianti 191411063
Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih
banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu penulis mengharapkan kritik
serta saran dari pembaca untuk makalah ini supaya makalah ini nantinya dapat menjadi makalah
yang lebih baik lagi. Kemudian penulis ingin memohon maaf yang sebesar-besarnya apabila
terdapat banyak kesalahan pada makalah ini. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada semua
pihak khususnya dosen pembimbing mata kuliah Pendidikan Agama yang telah membimbing dalam
menulis makalah ini. Demikian semoga makalah ini dapat bermanfaat, terimakasih.
Penulis,
DAFTAR ISI
Kata pengantar
Daftar isi
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
3.1. Kesimpulan
3.2. Saran
Daftar Pustaka
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kata modernitas nampaknya sudah tidak asing lagi di telinga kita. Modernitas
menjadi Bahasa yang umum digunakan terutama pada kemajuan zaman sekarang ini. Ketika
kita membicarakan tentang modernitas akan terlintas pemikiran mengenai pola dan gaya
hidup pada masa kini. Lalu bagaimana pandangan islam terhadap modernitas?
Modernitas sendiri merupakan jargon yang digunakan dalam ilmu humaniora dan
ilmu social untuk menyebut sebuah periode sejarah dan campuran norma, perilaku, dan
praktik social budaya tertentu yang muncul di Eropa pasca abad pertengahan dan
berkembang di seluruh dunia sejak saat itu. Meski turut mencakup berbagai proses sejarah
dan fenomena budaya yang saling berkaitan, modernitas juga dapat mengacu pada
pengalaman subjektif dan eksistensial terhadap suasana yang ada serta dampaknya terhadap
kebudayaan manusia, lembaga, dan politik. (Berman 2010, 15-36)
Charles Baudelaire diakui sebagai pencipta istilah “modernitas” dalam esainya tahun
1864, “The Pinter of Modern Life”. Ia menciptakan istilah tersebut untuk menyebut
pengalaman hidup yang cepat usai di tengah kota dan tugas seniman untuk menggambarkan
pengalaman tersebut. Artinya, modernitas mengacu pada hubungan terhadap waktu,
hubungan yang ditandai oleh terputusnya seseorang dengan masa lalu, keterbukaan terhadap
hal-hal baru pada masa depan, dan naiknya tingkat kesadaran terhadap hal-hal unik pada
masa kini (Kompridis 2006, 32-59).
1.3. Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini yaitu;
1.3.1 Mengetahui seperti apa modernisasi dalam kehidupan
1.3.2 Memahami dampak positif dan negatif dari modernisasi
1.3.3 Mengetahui bagaimana tanggapan Islam mengenai modernisasi
BAB II
PEMBAHASAN
Pada zaman modern seperti sekarang ini, ukuran maju tidaknya suatu bangsa justru diukur
dari penguasaan bangsa itu terhadap IPTEK. Jika suatu bangsa itu menguasai IPTEK, maka
bangsa tersebut dikategorikan sebagai bangsa yang maju. Sebaliknya, jika suatu bangsa itu
tertinggal dalam penguasaan IPTEK, maka bangsa itu dipandang sebagai bangsa yang belum
maju atau biasa disebut bangsa tertinggal atau disebut bangsa berkembang. Supaya bangsa
Indonesia masuk ke dalam kelompok bangsa yang maju, maka kita wajib berusaha sekuat
tenaga untuk menguasai IPTEK dan mengejawantahkan IPTEK untuk kemaslahatan
umat manusia.
1. Bidang Seni
Seni merupakan ekspresi kesucian hati. Hati yang bening melahirkankarya seni yang
beradap, sedangkanhati yang kotor tentu melahirkan karya seni yang tidak beradap. Hidup
dengan seni menjadikan hidup menjadi indah, damai, dan nyaman. Adapun hidup tanpa
seni, menyebabkan hidup menjadi kering, gersang, dan tidak nyaman. Seni itu indah dan
keindahan adalah sifat Tuhan. Cinta kepada keindahan berarti cinta kepada Tuhan ini
disebabkan Tuhan mencintai keindahan. Dengan cintanya kepada Tuhan, Manusia dapat
mewujudkan keindahan dalam kehidupannya.
Dalam dunia modern, seni menjadi bagian penting dari modernitas. Dengan
dukungan perangkat canggih, refleksi dan produk kesenian merambah ruang- ruang
keluarga dan masyarakat, termasuk dalam dunia pendidikan tinggi dengan membawa
berbagai nilai baru. Seni dapat menjadi pisau bermata dua bila di satu sisi dapat menjadi
pencerah jiwa manusia dalam kehidupan dan di satu sisi lagi dapat mengancamnilai- nilai
hakiki kemanusiaan.
2. Bidang Ekonomi
Segala bentuk transaksi yang berkaitan dengan produksi, distribusi, dan pemasaran
barang dan jasa yang mendatangkan keuntungan finasial itu merupakan kegiatan ekonomi.
Menurut AM Saefudin (1997) ada enam pokok perekonomian, yaitu:
a. Barang dan jasa yang di produksi.
b. Sistem produksi yang akan digunakan untuk menghasilkan barang dan jasa tersebut.
c. Sistem distribusi yang berlaku diantara para pelaku ekonomi.
d. Efisiensi dalam menggunakan faktor- faktor produksi.
e. Antisipasi terhadap fluktuasi pasar mulai dari inflasi, resesi, depresi,dan lain- lain.
f. Ikhtiar manajemen produksi dan distribusi agar efisien.
Prinsip ekonomi konvensional berbeda dengan prinsip ekonomi Islam. Ekonomi
konvensional berprinsip “berkorban sekecil-kecilnya untuk mendapatkan keuntungan yang
sebesar-besarnya”. Prinsip ekonomi tersebut dipergunakan oleh pedagang dan pengusaha
semata-mata untuk mencari keuntungan. Dengan modal seadanya pedagang dan
pengusaha berusaha memenuhi kebutuhan yang sebesar-besarnya atau dengan alat sekecil-
kecilnya. Pedagang dan pengusaha berusaha memenuhi kebutuhan secra maksimal.
Dalam Islam, ekonomi ialah berkorban secara tidak kikir dan tidak boros dalam
rangka mendapatkan keuntungan yang layak. Dengan demikian, pengorbanan tidak boleh
sekecil- kecilnya ataupun tertentu saja, melainkan pengorbanan yang tepat harus sesuai
dengan dengan keperluan yang sesungguhnya sehingga mutu produksi dapat terjamin.
Kekuatan ekonomi sangat berpengaruh terhadap eksistensi dan wibawa suatu
bangsa. Dengan ekonomi yang kuat dan stabil, satu negara dapat membantu negara lain,
memajukan negara lain, dan mempunyai daya tawar politikterhadap negara lainnya.
Setelah perang dingin antara Blok Timur dan Blok Barat berakhir, maka kriteria negara
kuat beralih dari ukuran kuat secara militer ke ukuran kuat secara ekonomi. Sebuah negara
dipandang kuat, bukan karena kekuatan militernya tetapi karena kekuatan ekonominya.
Sebaliknya negara itu dianggap lemah, manakala ekonominya tidak maju, tidak stabil, dan
tidak kuat, meskipun, misalnya, secara militer kuat. Sistem ekonomi di dunia sekarang ini
cenderung liberal.Karena sistem ekonomi dunia ada yang berkiblat ke sosialis dan ada
yang berkiblat ke liberalis yang melahirkan sistem kapitalis. Sistem ekonomi Islam tidak
kapitalis tetapi juga tidak sosialis. Islam mempunyai sistem tersendiri yang berbeda dari
kedua sistem.
3. Bidang Politik
Politik dalam Islam disebut siyāsah, merupakan bagian integral (tak terpisahkan)
dari fikih Islam. Salah satu objek kajian fikih Islam adalah siyāsah atau disebut fikih
politik. Fikih politik secara global membahas masalah-masalah ketatanegaraan (siyāsah
dusturiyyah), hukum internasional (siyāsah dauliyyah), dan hukum yang mengatur politik
keuangan negara (siyāsah māliyyah).
a. Siyāsah dusturiyah (hukum tata negara). Materi yang dikaji tentang cara dan metode
suksesi kepemimpinan, kriteria seorang pemimpin, hukum mewujudkan
kepemimpinan politik, pembagian kekuasaan (eksekutif, legislatif dan yudikatif),
institusi pertahanan keamanan, institusi penegakan hukum (kepolisian) dan lain-
lainnya.
b. Siyāsah dauliyyah (hukum politik yang mengatur hubungan internasional). Objek
kajiannya adalah hubungan antar-negara Islam dengan sesama negara Islam,
hubungan negara Islam dengan negara non-muslim, hubungan bilateral dan
multilateral, hukum perang dan damai, genjatan senjata, hukum kejahatan perang
dan lain-lain.
c. Siyāsah māliyah (hukum politik yang mengatur keuangan negara). Kontens yang
dibahas adalah sumber-sumber keuangan negara, distribusi keuangan negara,
perencanaan anggaran negara dan penggunaannya, pengawasan dan
pertanggungjawaban penggunaan keuangan negara dan pilantropi Islam.
Kesalahpahaman terhadap Islam sering muncul dari ranah politik. Tidak sedikit
orang menilai bahwa Islam disebarkan tiada lain dengan politik kekerasan bukan dengan
cara dakwah dan kultural. Perang, jihad, negara Islam disalahpahamisebagai metodologi
dan tujuan akhir.
4. Bidang Pendidikan
Nabi Muhammad SAW bersabda dalam hadisnya, “Tuhanku telah mendidik aku, dan
Tuhanku memberikan pendidikan dengan cara yang amat baik kepadaku”. Sehingga tujuan
pendidikan dalam Islam adalah merealisasikan ubudiah kepada Allah baik secara individu
maupun masyarakat dan mengimplementasikan khilafah dalam kehidupan untuk kemajuan
umat manusia. Untuk mewujudkan tujuan luhur tersebut, menurut An-Nahlawi, Islam
mengemukakan tiga metode yaitu:
a. Paedagogis psikologis yang lahir dalam dirinya. Pendorongnya adalah rasa khauf
dan cinta kepada Allah, serta ketaatan untuk melaksanakan syariat-Nya karena ingin
menghindarkan kemurkaan dan azab-Nya serta mendapat pahala-Nya.
b. Saling menasihati antar-individu dan masyarakat agar menepati kebenaran dan
menetapi kesabaran. Masyarakat, yang cinta kepada syariat Allah dan segala
kehormatannya, tidak akan pernah membiarkan kemungkran dan tidak akan pernah
membenarkan pengabaian salah satu pokok-pokok ajaran Islam seperti salat, zakat,
puasa, haji dan jihad.
c. Menggunakan jalur kekuasaan untuk mengamankan hukum bagi masyarakat muslim
sehingga keamanan berjalan stabil dan masyarakat menikmati keadilan hukum.
Ketiga metode tersebut saling mendukung dalam merealisasikan nilai-nilai Islami di
dalam kehidupan individu dan masyarakat. Kehidupan serupa ini, oleh An-Nahlawi
dinyatakan akan lebih mungkin mencapai kesempurnaan, kemajuan budaya, kesenangan,
kegotong-royongan, ketentraman, dan istikamah.
Kata manusia dalam Al- Quran menggunakan tiga kata yang mempunyai makna
tersendiri yaitu:
a. Basyar
Menunjuk bahwa manusia sebagai makhluk biologis. Sebagai makhluk
biologis manusia memerlukan sandang, pangan, papan, perlu menikah, berkeluarga
dan keperluan lainnya serta berbagai kebutuhan materi. Nabi Muhammad sendiri
dinyatakan dalam Al- Quran sebagai manusia biasa (basyar) yang mempunyai
kebutuhan seperti manusia lainnya yaitu butuh sandang, pangan, papan, keluarga dan
lain-lain. Hanya saja Nabi Muhammad saw. dipilih Tuhan sebagai utusan
(Rasulullah) untuk menyampaikan risalah Tuhan. Itulah sebabnya, nabi digelari al-
Musthafayang artinya manusia suci pilihan Tuhan.
b. Insān
Kata insān menunjuk manusia sebagai makhluk spiritual, makhluk rohani.
Kebutuhan rohani manusia hanya akan terpenuhi dengan agama karena agama
adalah fitrah manusia dan jati diri manusia. Dengan agama, manusia hidup sesuai
dengan fitrahnya sekaligus terpenuhi kebutuhan rohaninya. Sebaliknya, tanpa agama
kehidupan manusia menjadi kering kerontang, gersang dan hampa karena tidak
terpenuhi kebutuhan rohaninya. Tanpa terpenuhi kebutuhan rohani, hidup manusia
tak ada ubahnya laksana binatang yang tak mempunyai akal. Yang diperjuangkannya
hanyalah untuk bisa makan, minum, tidur dan menikah.
c. An-nās
An-nās menunjuk manusia sebagai makhluk sosial. Makhluk sosial artinya
bahwa manusia tidak akan mampu mencapai tujuan hidupnya tanpa keterlibatan
orang lain.
Tujuan pendidikan dikatakan berhasil manakala proses pendidikan dilakukan dengan
cara yang benar secara Qurani dan menyentuh ketiga ranah yang ada dalam diri manusia
yaitu akal, hati, dan jasmani. Menurut Ibnu Sina manusia terdiri dari dua unsur. Pertama,
al-jism artinya jasmani manusia. Dalam bahasan sebelumnya disebut manusia sebagai
makhluk biologis atau dapat disebut makhluk jasmani. Kedua an-nafs. An-nafs
mempunyai dua daya, yaitu daya untuk berpikir namanya al-‟aql, berpusat di kepala, dan
daya untuk merasa namanya al-Qalb, berpusat di hati. Pendidikan yang benar harus
menyentuh ketiga aspek tersebut sehingga muncullah istilah at-Tarbiyah al-„Aqliyyah
melahirkan kecerdasan intelektual, at-Tarbiyyah al-Qalbiyyah (pendidikan hati)
melahirkan kecerdasan spiritual dan emosional, dan at-Tarbiyah al-Jasmaniyah artinya
pendidikan jasmani melahirkan kesehatan jasmani. Dalam pribahasa bahasa Arab
disebutkan bahwa “Akal yang sehat terdapat dalam jasmani yang sehat”. Pernyataan
tersebut menunjukkan betapa ketiga aspek tersebut saling mendukung dan saling
melengkapi, tidak bisabekerja sendiri-sendiri.
Pendidikan harus menyentuh tiga ranah tersebut yakni akal, hati dan fisik. Jika akal
saja yang didik dan hati diabaikan, maka akan lahir manusia cerdas secara intelektual,
tetapi tidak mempunya hati, alias tidak memiliki moral religius. Sebaliknya, jika hatinya
saja yang dididik, tentu akan lahir manusia berkarakter dan bermoral, tetapi miskin secara
intelektual. Demikian juga, kalau hanya jasmani yang didik, maka akan lahir manusia
superman secara fisik, tetapi miskin secara intelektual dan spiritual. Jika ketiga ranah yang
didik, maka akan lahir insan kamil (manusia paripurna). Harus Anda pahami bahwa
pendidikan Qurani pasti benar secara ilmiah. Sebaliknya, pendidikan yang benar secara
ilmiah, akan benar pula secara Qurani. Antara keduanya tidak boleh bertentangan.
Al-Qur’an tidak menyuruh manusia untuk memusuhi dunia, tidak pula menghabiskan
waktu semata-mata hanya untuk ritus ibadah saja kepada Allah. Al-Qur’an juga tidak ambisius
pada pencapaian dunia secara total dan penumpukan material harta sebanyak-banyaknya dan
lupa pada Tuhannya. Namun, keunikan Al-Qur’an adalah terletak pada keseimbangan dan
keadilan dalam segala hal, antara akal dan hati, antara dunia dan akhirat, serta antara menerima
dan memberi.
Metodologi ilmu pengetahuan empirisme yang telah menggeser sedikit demi sedikit
terhadap pemahaman metafisik, bahkan menurunkan agama dari pengaruh kehidupan dunia,
sehingga dengan ini manusia meninggalkan aturan dan kepercayaan terhadap Tuhan, padahal di
sisi lain sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa manusia bukanlah makhluk
material semata, namun juga makhluk ruh dan jasad.
Qarun yang diceritakan dalam Al-Qur’an mengingatkan manusia akan sosok makhluk
penuh gelimang harta, namun sayangnya memiliki paradigma yang salah dalam kehidupan
dunia, ia mengira dunia tidak lain penumpukan harta dan tidak ada kaitannya dengan kekuasaan
Tuhan (Q.S. 88: 81).
Disamping lain Al-Qur’an juga menuntut manusia untuk bekerja keras dalam hidup dan
memberi peringatan kepada orang-orang pemalas (Q.S. 67: 15). Termasuk banyak ibadah
dalam Al-Qur’an yang memerlukan harta benda (Q.S. 22:27-28). Dari sini jelaslah sudah
bahwa Al-Qur’an memberikan para digma yang bertolak belakang dengan pengaruh
modernism berupa ekspoloitasi dan mengurah alam besar basaran, tampa mengindahkan
penghematan dan asas standat kebutuhan. Al-Qur’an melarang membelanjakan harta yang
semata-mata untuk kesenangan sehingga manusia benar-benar tergiur dan keranjingan untuk
menguasai dan menumpuk harta karena adanya anggapan harta bisa mewujudkan segalanya
(Q.S. 3:14, 57:20).
c.Westernisasi
Oleh karena itu maka Al-Qur’an mengharapkan kepada setiap mukmin memiliki
kepribadian yang menomor satukan kepentingan ketaatan kepada Tuhan dan mengutamakan
kepentingan umum (Q.S. 50:13-14). Semua bentuk pengaruh budaya luar yang bisa
memberikan kerusakan dan tidak sejalan terhadap nilai kebanaran Tuhan hendaklah dijauhkan,
hanya dengan cara demikianlah dunia ini mampu mempertahankan nilai kebenaran dan tidak
tercabik dengan arus modernisasi global yang terkadang memiliki pengaruh membahayakan
(Q.S. 28:77).
Keberadaan Al-Qur’an di muka bumi ini bukan hanya untuk kaum muslimin semata,
namun nilai pengaruhnya untuk segenap alam semesta. Kesemua manusia dihadapan Al-Qur’an
dalah sama-sama berhak untuk mendapatkan pelayanan perbuatan kebaikan. Kebaikan yang
menyeluruh dalam konsep Al-Qur’an akan bisa diterapkan dengan menghilangkan sifat
“keakuan” (egoistis) hingga selalu mencapai kebahagiaan bagi segenap umat manusia (Q.S.
49:13). Dengan mendekatkan diri pada prinsip-prinsip Al-Qur’an manusia akan berada pada
jalur rel yang aman, nyaman, saling tolong–menolong dan mencapai kesejahteraan antar
sesama.
e.Kriminalitas
Al-Qur’an yang diturunkan oleh Allah merupakan sumber hukum yang mampu
membentuk stabilitas kemanan (Q.S 26:192), bahkan menginspirasi untuk terbentuknya
undang-undang beberapa Negara di belahan dunia. Dalam hukum perundang-undangan yang
ada di dalam Al-Qur’an meletakkan asas hukum pada prinsip keadilan, dan tidak mentolerir
segala bentuk tindak kriminalitas (Q.S. 16:90, 3:159, 42:38, 49:13).
Al-Qur’an juga menjelaskan hubungan antar sesama manusia muslim dan non muslim
agar selalu menekankan terwujudnya perdamaian (Q.S. 2:109, 8:61,60:8-9 dan 16:91).
Bagaimana guna mewujudkan kedamaian tersebut sudah terangkum dalam syariat Islam
amplikatif.[34] Tidak heran kalau dalam ibadah haruslah memiliki pengaruh dalam membentuk
kesolehan sosial, sebagaimana salat mencegah dari perbuatan keji dan munkar, puasa dalam
menciptakan kepedulian membantu orang miskin, dan lain sebagainya. Yang pada puncaknya
kesempurnaan manusia tertinggi adalah yang paling banyak memberikan manfaat bagi orang
lain, dan dalam itulah Rasulullah diutus untuk menyempurnakan akhlak, hingga bentuk
kriminalitas yang ada di muka bumi ini sirna dengan adanya kebaikan antar sesama manusia,
itu bisa di wujudkan hanya dengan membumikan Al-Qur’an.
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
3.2. Saran
DAFTAR PUSTAKA
https://otodidakilmu.blogspot.com/2007/12/makna-modernitas-dan-tantangannya.html
https://www.pelajarjenius.com/2019/04/gejala-modernisasi-masyarakat-indonesia-berbagai-bidang-
kehidupan.html
https://media.neliti.com/media/publications/177281-ID-dinamika-dan-tantangan-masyarakat-
islam.pdf
https://www.academia.edu/36539812/Makalah_Bagaimana_Islam_Menghadapi_Tantangan_Moder
nisasi
https://id.scribd.com/doc/94183238/Dampak-Positif-Dan-Negatif-Modernisasi
https://www.kompasina.com/amp/jemilfirdaus/alquran-solusi-peradaban-modern-untuk-manusia-
abad-21_55289a29f17e616d698b4598