Anda di halaman 1dari 30

Makalah

EKOLOGI HEWAN

“Hewan dan Lingkungan”

Oleh :

Kelompok I

Wiji Estu Lestari A22117051

Martavina Yustina Pala A22117055

Rahmayanti A22117066

Adianingsih A22117072

Nurul Pratiwi A22117076

Wahyu lestari A22117078

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI


JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS TADULAKO
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur Kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala rahmat,
karunia terutama kesempatan yang diberikan-Nya, sehingga penyusun dapat
menyelesaikan makalah ini dengan baik. Tanpa adanya kesempatan, mustahil
penyusun dapat menyelesaikan penulisan makalah ini secara tuntas, walaupun
masih banyak terdapat kekurangan.
Selama proses membuat makalah ini, penyusun memperoleh banyak
bantuan dari berbagai pihak, baik secara langsung maupun secara tidak langsung
dalam membuat makalah ini. Untuk itu dari hati yang paling dalam kami
menyampaikan ucapan terima kasih kepada Dosen Mata Kuliah Ekologi Hewan,
yang telah memberikan kami tugas ini yang memuat tentang “Hewan dan
Lingkungan” sebagai tugas kelompok guna menambah ilmu dan wawasan.
Segala kritikan dan masukan yang membangun dari semua pihak, akan
menjadi pengalaman yang sangat berharga bagi penulis demi kesempurnaan
makalah ini.

Palu, 10 Februari 2020

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ ii

DAFTAR ISI .......................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................ 3

2.1 Ciri utama hewan sebagai makhluk heterotroph………………………3

2.2 hewan poikiloterem dan hemoiterem…………………………………12

2.3 konsep waktu-suhu………………………….…………………………13

2.4 Kondisi dan sumberdaya sebagai lingkungan………………………...14

2.5 Faktor pembatas dan kisaran toleransi…………………………….…16

2.6 Spesies sebagai indicator ekologi…………………………….………..20

BAB III PENUTUP .............................................................................................. 25

3.1 Kesimpulan .................................................................................................. 25

3.2 Saran ............................................................................................................ 25

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 27

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ekologi adalah ilmu yang mempelajari interaksi antara organisme dengan


lingkungannya dan yang lainnya.Berasal dari kata Yunani oikos ("habitat") dan
logos ("ilmu").Ekologi diartikan sebagai ilmu yang mempelajari baik interaksi
antar makhluk hidup maupun interaksi antara makhluk hidup dan
lingkungannya.Istilah ekologi pertama kali dikemukakan oleh Ernst Haeckel (1834
- 1914). Dalam ekologi, makhluk hidup dipelajari sebagai kesatuan atau sistem
dengan lingkungannya.
Lingkungan bagi hewan adalah semua faktor biotic dan abiotik yang ada di
sekitarnya dandapat mempengaruhinya. Dalam konsep rantai makanan, hewan
ditempatkan sebagai konsumen, sedangkan tumbuhan sebagai produsen.Hewan
disebut sebagai makhluk hidup yang heterotrof.
Setiap organisme di muka bumi menempati habitatnya masing-masing.Dalam
suatuhabitat terdapat lebih dari satu jenis organisme dan semuanya berada dalam
satu komunitas.Komunitas menyatu dengan lingkungan abiotik dan membentuk
suatu ekosistem. Dalamekosistem hewan berinteraksi dengan lingkungan biotic ,
yaitu hewan lain, tumbuhan serta mikroorganisme lainnya. Interaksi tersebut dapat
terjadi antar individu, antar populasi danantar komunitas.
Setiap organisme harus mampu beradaptasi untuk menghadapi kondisi
faktor lingkungan abiotik.Hewan tidak mungkin hidup pada kisaran faktor abiotik yang seluas-
luasnya.Pada prinsipnya masing-masing hewan memiliki kisaran toleransi tertentu
terhadapsemua semua faktor lingkungan.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana ciri utama hewan sebagai makhluk heterotroph ?


2. Apa itu hewan poikiloterem dan hemoiterem?
3. Bagaimana konsep waktu-suhu ?

1
4. Bagaiman kondisi dan sumberdaya sebagai lingkungan ?
5. Ap faktor pembatas dan kisaran toleransi ?
6. Bagaimana spesies sebagai indicator ekologi ?

1.2 Tujuan

Tujuan dari makalah ini yaitu, mengetahui Ciri utama hewan sebagai
makhluk heterotroph, hewan poikiloterem dan hemoiterem, konsep waktu-
suhu, Kondisi dan sumberdaya sebagai lingkungan, Faktor pembatas dan
kisaran toleransi, serta Spesies sebagai indicator ekologi

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Ciri Utama Hewan Sebagai Makhluk Heterotrof


A. Ciri-ciri hewan sebagai mahluk heterotrof
Ciri utama mahluk heterotrof adalah bahwa untuk dapat melaksanakan
fungsi kehidupan harus memperolah bahan organik dengan cara memakan mahluk
lain. Mahluk lain yang dimakan dapat berujud mahluk autotrof atau disebut
produsen atau dapat berujut mahluk heterotrof lain.
Berdasarkan jenis makanannya, hewan heterotrof yang merupakan
konsumen utama dalam ekosistem, dapat dibedakan manjadi tiga kelompok, yaitu
herbivora, karnivora, dan omnivora.
 Herbivora
Kata herbivora berasal dari kata herbi yang berarti tumbuhan dan vorare
yang berarti makan. Jadi, herbivora berarti hewan pemakan tumbuhan. Hewan-
hewan pemakan tumbuhan biasanya mempunyai gigi geraham yang kuat dan
giginya berlapiskan email yang tebal. Di samping itu, herbivora mempunyai usus
yang relatif lebih panjang. Contoh hewan pemakan tumbuhan, antara lain burung
merpati, burung gelatik, sapi, kerbau, kuda, zebra, kambing dan jerapah.
Adanya herbivora merupakan pengontrol pertumbuhan dan perkembangan
produsen. Apabila tidak ada herbivora, kemungkinan besar tumbuhan akan
berkembang tidak terkendali. Pada akhirnya, tumbuhan akan merugikan karena
tanahnya menjadi tandus akibat diserap terus menerus oleh tumbuhan.

3
 Mahluk hewan heterotrof atau disebut makrokonsumen primer adalah
 Mahluk hewan yang makan secara langsung tumbuhan atau bagian
tumbuhan, terutama dedaunan. Misalnya sapi, kerbau, domba, dll.
 Mahluk yang makan terutama hasil atau bagian tumbuhan yang
nonfotosintetik seperti misalnya pemakan biji, pemakan kacang-kacangan,
buah-buahan. Contoh tupai, hama wereng, dll.
 Hewan yang melulu makan(terutama) fungi dan bakteri. Hewan ini disebut
fungivora.
 Karnivora
Kata karnivora berasal dari kata carnis yang berarti daging, vorare yang
berarti memakan. Jadi, karnivora adalah hewan pemakan daging hewan lainnya.
Hewan pemakan daging biasanya mempunyai gigi taring yang kuat dan kuku atau
cakar yang tajam. Di samping itu, ususnya berukuran relatif pendek. Contoh hewan
karnivora antara lain burung elang, ikan hiu, harimau, singa, kucing, dan srigala.
Adanya karnivora juga merupakan pengontrol populasi herbivora.
Demikian seterusnya sehingga keberadaan setiap komponen merupakan sumber
makanan bagi komponen lain dan juga sekaligus sebagai pengontrol populasi
komponen lainnya. Dengan kondisi itulah, keseimbangan di dalam suatu ekosistem
tetap terjamin.

4
Mahluk hewan karnivora juga disebut pemangsa atau makrokonsumen
sekunder seperti insekta pemangsa serta ikan liar di kolam, laba-laba, burung, ular,
kadal, katak, mamalia pemangsa di padang rumput merupakan mahluk pemangsa
yang makan mahluk konsumen primer atau konsumen sekunder yang lain.

c. Omnivora
Kata omnivora berasal dari kata omnis yang berarti semua atau segala dan
vorare yang berarti makan. Jadi, omnivora berarti hewan pemakan segala macam
jenis makanan, artinya bisa berasal dari tumbuhan ataupun dari jenis hewan. Contoh
kelompok ini antara lain itik, ayam, dan tikus.
Manusia sebagai makhluk omnivora yang dilngkapi akal dan pikiran
mempunyai potensi besar sebagai perusak sekaligus sebagai pemelihara
lingkungan. Sebagai perusak apabila manusia selalu ingin memuaskan
kemauannya. Sebaliknya, akan menjadi pemelihara lingkungan apabila manusia
menyadari bahwa lingkungan bukan hanya untuk manusia, tetapi jutga untuk semua
kehidupan. Kesadaran bahwa kekayaan alam yang tersedia saat ini bukanlah milik
generasi sekarang, tetapi merupakan titipan generasi yang akan datang. Oleh karena
itulah generasi sekarang mempunyai kewajiban untuk melestarikannya.

5
B. Hewan Sebagai Organisme Heterotrof
Dalam konsep rantai makanan, hewan ditempatkan sebagai konsumen,
sedangkan tumbuhan sebagai produsen. Hal ini karena hewan tidak dapat
mensintesis makanannya sendiri dari bahan anorganik di lingkungannya. Untuk
memenuhi kebutuhannyaakan bahan – bahan organik berenergi tinggi guna
menyediakan energi untuk aktivitas hidup dan menyediakan bahan – bahan untuk
membangun tubuhnya, hewan mengambil bahan organik dari makhluk hidup lain,
baik tumbuhan atau hewan lain. Karena itulah hewan disebut sebagai makhluk
hidup yang heterotrof, sebagai lawan dari tumbuhan yang bersifat autotrof atau
dapat mensintesis makanannya sendiri yang berupa bahan organik dengan cara
melakukan fotosintesis.
 Dalam dunia hewan dapat dibedakan 3 macam nutrisi heterotrof yaitu :
 Tipe nutrisi holozoik. Dalam tipe makanan ini baik yang berupa tumbuhan
atau jenis hewan lain, pertama – tama harus dicari dan didapatkan dahulu,
baru kemudian dimakan sertaselanjutnya dicerna sebelum dapat diabsorpsi
dan dimanfaatkan oleh sel – sel tubuh hewan itu. Untuk mencari dan
mendapatkan makanan diperlukan peranan berbagai struktur indera, saraf
serta mekanisme otot. Selanjutnya, untuk mengubah substansi makanan itu
kedalam bentuk yang dapat diabsorpsi, diperlukan juga mekanisme dari
sistem pencernaan.
 Tipe nutrisi saprozoik. Dijumpai pada berbagai hewan protozoa, yang
memperoleh nutrien – nutrien organik yang diperlukan dari organisme –
organisme yang telah mati, membusuk, dan telah terurai. Nutrien – nutrien
6
tersebut diabsorpsi melalui membran sel dalam bentuk molekul – molekul
terlarut.
 Tipe nutrisi parasitik. Dijumpai pada hewan – hewan parasit. Hewan – hewan
ini mencerna partikel – partikel padat dari tubuh organisme inangnya atau
secara langsung mengabsorpsi molekul – molekul organik dari cairan atau
jaringan tubuh inangnya. Sebagai contoh dari fenomena ini adalah berbagai
jenis cacing parasit pada tubuh hewan atau manusia, misalnya cacing hati di
dalam hati, cacing pita dan cacing perut di dalam usus.
Dengan dasar yang lain, yakni ukuran hewan yang menentukan cara makannya,
hewan heterotrof dikelompokkan menjadi makrokonsumen dan mikrokonsumen.
1. Makrokonsumen disebut juga sebagai fagotrof, yakni kelompok hewan yang
mengambil bahan organik dari makhluk hidup lain dengan cara memakan,
misalnya kuda, kambing, harimau, ikan dan sebagainya.
2. Mikrokonsumen adalah kelompok hewan yang mengambil makanannya
dengan cara menguraikan jaringan dan mengabsorpsi bahan organiknya.
Termasuk kelompok ini adalah saprofot atau pengurai atau osmotrof, termasuk
juga parasit. Sebagai contoh adalah cacing parasit dan serangga pengurai di
tanah.
 Selain itu organisme yang heterotrof dapat dibagi ke dalam dua golongan yaitu:
1. Saprofit
Tumbuhan saprofit hidupnya dari sisa-sisa makhluk hidup lainnya, yaitu
dengan cara menguraikannya sehingga dinamakan pula dengan organisme pengurai
(dekomposer). Contoh, sebagian besar jamur dan bakteri, adapula tumbuhan paku
atau anggrek. Jenis tumbuhan saprofit menggunakan energi yang terdapat di dalam
sisa-sisa makhluk hidup yang telah mati tersebut.
2. Parasit
Organisme parasit sebagian besar seluruh kebutuhannya diambil dari
makhluk yang ditumpanginya, yaitu dari inangnya. Berdasarkan cara hidupnya,
dibagi menjadi 2 macam, yaitu :
a. Parasit Sejati (Parasit Obligat),

7
yaitu parasit yang hidupnya benar-benar sebagai parasit, dimana seluruh
kebutuhannya diambil dari tumbuhan yang ditumapanginya (inang). Contoh, tali
putri (Cuscuta) yang mengambil makanan dari tanaman inang (berupa tanaman
pagar) dengan menggunakan akar isap atau haustorium.
b. Parasit sebagian (Parasit Fakultatif),
yaitu parasit yang hidupnya tidak hanya sebagai parasit tetapi dapat juga
sebagai saprofit. Contoh, benalu. Benalu ini berdaun hijau sehingga dapat
melakukan asimilasi, hanya air dan zat-zat makanan yang berasal dari dalam tanah
diserap melalui tumbuhan inang.
Selain kedua parasit di atas ada pula organisme yang parasit hidup pada
parasit lainnya. Coba Anda bayangkan, tentu sangat merugikan tumbuhan
inangnya. Contohnya visum yang tumbuh pada benalu, ini dinamakan dengan
hiperparasit.
Jenis-Jenis Interaksi atau hubungan antar organisme hetetrotof antara Lain:
 Produsen.
Produsen terdiri dari organisme autotrof, yaitu organisme yang dapat
menyusun bahan organic dari bahan organic sebagai bahan makanannya.
Penyusunan bahan organic itu berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan energi
yang diperlukan untuk aktivitas metabolisme dan aktivitas hidup lainnya.
Organisme autotrof adalah; sebagian besar adalah organisme berklorofil, yang
sebagian besar terdiri dari tumbuhan hijau dan sebagian kecil berupa bakteri.
 Konsumen.
Konsumen adalah komponen biotic yang terdiri dari organisme heterotrof,
yaitu organisme yang tidak dapat memanfaatkan energi secara langsung untuk
memenhuhi kebutuhan energinya. Organisme heterotrof sebagai organisme yang
tidak dapat menyusun bahan organic dari bahan anorganik. Energi kimia dan bahan
organic yang diperlukan dipenuhi dengan cara mengkonsumsi energi kimia dan
bahan organic yang diproduksi oleh tumbuhan hijau (produsen). Organisme yang
tergolong konsumen adalah; Herbivore, yaitu memakan tumbuhan. Misalnya sapi,
kuda, kambing, kerbau, kupu-kupu, belalang dan siput. Karnivor, adalah hewan
pemakan hewan lain baik herbivore maupn sesame karnivor. Karnivor pada
8
umumnya adalah hewan buas (harimau, singa, ular), dan hewan pemakan bangkai
(komodo, burung hantu, dll). Predator juga termasuk sebagai karnivor. Omnivor,
adalah hewan pemakan segalanya baik tumbuhan maupun hewan yang sudah mati,
misalnya kucing, ayam, musang , tikus dan lain-lain. Detritivor, adalah organisme
yang berperan sebagai pengurai (mikroorganisme) seperti bakteri.
 Predator
Predator adalah hewan yang makan hewan lain dengan cara berburu dan
membunuh. Hewan yang dimangsanya adalah hewan yang masih hidup.
Contohnya adalah kucing makan tikus, capung makan serangga.
 Parasit. Parasit,
adalah hewan yang hidup pada hewan lain. Hidupnya sangat mempengaruhi
inangnya karena semua zat makanan dari inang diserapnya untuk memenuhi
kebutuhannya. Parasit berupa hewan kecil dan organisme kecil yanmg termasuk
jamur dan bakteri pathogen.
 Parasitoid
Parasitoid adalah serangga yang pada fase dewasanya hidup bebas, tetapi
pada fase larva berkembang di dalam tubuh (telur, larva dan pupa) serangga lain
yang merupakan inangnya. Serangga parasitoid pada umumnya termasuk pada
ordo Hymenoptera dan Diptera. Hewan dewasa parasitoid meletakkan telurnya di
dekat atau pada tubuh serangga lain (telur, larva dan pupa). Ketika telur parasitoid
yang diletakkan pada tubuh inangnya menetas, selam fase larva itu belum dewasa
akan hidup terus dalam tubuh inang. Larva tersebut akan makan sebagian atau
seluruh tubuh dari inang sehingga menyebakan kematian bagi inangnya.
 Pengurai. Pengurai,
adalah organisme yang berperan sebagai pengurai. Cara mengkonsumsi
makanan tidak dapat menelan dan mencerna makanan di dalam sel tubuhnya,
melainkan harus mengeluarkan enzim pencerna keluar sel untuk dapat
menguraikan makanannya yang berupa organic mati menjadi zat-zat yang
molekulnya kecil sehingga dapat diserap oleh sel.

9
 Mikrobivor.
Mikrobivor adalah hewan-hewan kecil yang makan mikroflora (bakteri dan
fungi). Hewan ini berupa protozoa dan nematoda.
 Detritivor.

Detritivor adalah hewan yang makan detritus, yaitu bahan-bahan organic


mati yang berasal dari tubuh tumbuhan dan hewan. Hewan yang tergolong detritus
antara lain; rayap, anjing tanah dan cacing tanah.

 Kompetisi.
Kompetisi adalah hubungan antara dua individu untuk memperebutkan satu
macam sumberdaya, sehingga hubungan itu bersifat merugikan bagi salah satu
pihak. Sumberdaya berupa; makanan, energi dan tempat tinggal. Persaingan ini
terjadi pada saat populasi meledak sehingga hewan akan berdesak-desakan di suatu
tempat tertentu. Dalam kondisi demikian biasanya hewan yang kuat akan mengusir
yang lemah dan akan menguasai tempat itu sedangkan yang lemah akan
beremigrasi atau mati bahkan punah.
 Simbiosis.
Hubungan interspesifik ada yang berifat simbiosis ada yang non simbiosis.
Hubungan simbiosis adalah hubungan antara dua individu dari dua jenis organisme
yang keduanya selalu bersama-sama. Contoh dari simbiosis adalah Flagellata yang
hidup dalam usus rayap. Flagellata itu mencerna selulosa kayu yang dimakan
rayap. Dengan demikian rayap dapat menyerap karbohidrat yang berasal dari
selulosa itu. Hubungan nonsimbiosis adalah hubungan antara dua individu yang
hidup secara terpisah, dan hubungan terjadi jika keduanya bertematau berdekatan.
Contohnya adalah kupu-kupu dengan tanaman bunga. Bunga akan terbantu dalam
penyerbukan yang disebabkan terbawanya serbuk sari bunga oleh kaki kupu-kupu
dengan tidak sengaja ke bunga yang lain pada saat kupu-kupu mengisap nectar dari
bunga tersebut. Simbiosis sebagai hidup bersama antara dua individu dari dua jenis
organisme, baik yang menguntungkan maupun yang merugikan.

10
 Pemisahan
Kegiatan Hidup. Peristiwa ini adalah hubungan kompetitif antara satu
hewan dengan hewan yang lain dapat berkembang menjadi kegiatan pemisahan
hidup (partition). Dalam hubungan ini hewan-hewan yang hidup di suatu habitat
mengadakan spesialisasi dalam hal jenis makanan atau dalam metode dan tempat
memperoleh makanannya. Misalnya burung Flaminggo mempunyai kaki dan leher
yang panjang yang berfungsi dalam hal pengambilan makanannya berupa
organisme kecil dan di tempat berlumpur sehingga burung tersebut mudah
meraihnya.
 Kanibalisme.
Kanibalisme adalah sifat suatu hewan untuk menyakiti dan membunuh
bahkan memakannya terhadap individu lain yang masih sejenis. Contoh belalang
sembah betina membunuh belalang jantan setelah melakukan perkawinan, ayam
dalam satu kandang yang berdesak-desakan sehingga ruangan dan makananya
terbatas menyebabkan persaingan yang hebat.
 Amensalisme.
Hubungan antara dua jenis organisme yang satu menghambat atau
merugikan yang lain, tetapi dirinya tidak berpengaruh apa-apa dari organisme yang
dihambat atau dirugikan.
 Komansalisme.
Hubungan antara dua jenis organisme yang satu memberi kondisi yang
menguntungkan bagi yang lain sedangkan dirinya tidak terpengaruh oleh kehadiran
organisme yang lain itu.
Mutualisme. Hubungan antara dua jenis organisme atau individu yang saling
menguntungkan tanpa ada yang dirugikan

11
2.2 Hewan Poikiloterm Dan Homoiterm

1. Hewan berdarah dingin (Poikiloterm)


Hewan poikiloterm adalah hewan yang sangat bergantung pada suhu di
lingkungan luarnya untuk meningkatkan suhu tubuhnya karena panas yang
dihasilkan dari keseluruhan sistem metabolismenya hanya sedikit.
Suhu tubuh hewan ini berubah sesuai dengan suhu lingkungannya. Hewan
ini akan aktif bila suhu lingkungan panas dan akan pasif (berdiam di suatu tempat)
bila suhu lingkungan rendah. Hal yang menyebabkan hewan tersebut tidak dapat
menghasilkan panas yang cukup untuk tubuhnya adalah karena darah dari hewan
poikiloterm ini biasanya bercampur antara darah bersih dan darah kotor.
Ini disebabkan karena belum sempurnanya katup pada jantung hewan
tersebut. Hewan yang tergolong poikiloterm antara lain :
a. Pisces
b. Amphibi
c. Reptilia
2. Hewan berdarah panas (Homoiterm)
Hewan homoiterm, adalah hewan yang suhu tubuhnya berasal dari produksi
panas di dalam tubuh, yang merupakan hasil samping dari metabolisme jaringan.
Suhu tubuh hewan ini relatif konstan, tidak terpengaruh oleh suhu
lingkungan disekitarnya. Hal ini karena darah bersih dan darah kotor pada hewan
ini sudah tidak bercampur lagi karena katup pada jantungnya sudah sempurna.

12
Hewan yang tergolong homoiterm ini antara lain :
a. Avesb
b. Mamalia

2.3 Konsep Waktu – Suhu


Konsep waktu suhu merupakan keterkaitan antara suhu lingkungan dengan
waktu tumbuh dan berkembangnya suatu organisme. Organisme yang termasuk
dalam konsep waktu suhu ini adalah hewan poikiloterm dan hewan homoioterm.
Pada hewan homoioterm, karena dapat menyesuaikan dengan suhu lingkungan
maka hewan homoiterm akan melakukan adaptasi. Sedangkan hewan poikiloterm
seperti ulat bulu merupakan hewan yang suhu tubuhnya dipengaruhi oleh
perubahan suhu lingkungan. Oleh karena itu apabila suhu lingkungan berada di
bawah batas minimum maka diperlukan waktu yang lama untuk hewan
poikilotermis tersebut untuk tumbuh dan berkembang. Sebaliknya apabila suhu
lingkungannya berada di atas batas minimum maka waktu yang diperlukan untuk
tumbuh dan berkembangnya semakin singkat. Dan konsep waktu suhu ini berkaitan
dengan adanya peledakan ulat bulu di probolinggo pada tahun 2010 karena ulat bulu
merupakan hewan poikiloterm yang suhu tubuhnya dipengaruhi oleh suhu
lingkungan luar. Selain itu, terjadi fluktuasi suhu di probolinggo yang
menyebabkan semakin cepatnya pertumbuhan ulat bulu. Fluktuasi suhu ini
disebabkan karena ketidakstabilan suhu udara didaerah probolinggo karena musim
hujan yang terlalu panjang sehingga membuat kelembaban udara menjadi tinggi.
Dan hal ini membuat pertumbuhan ulat bulu makin cepat karena suhunya cocok
untuk melakukan pertumbuhan dengan waktu yang cepat. Dan juga hanya terdapat
satu jenis varietas pohon mangga yang banyak terdapat di daerah probolinggo
sehingga menurunkan stabilitas lingkungan dan memutus atau menyederhanakan
rantai makanan pada tingkat rantai energi secara menyeluruh sehingga terjadi
peledakan populasi ulat bulu.
Dalam hal ini suhu sangat berpengaruh dalam tumbuh dan berkembangnya
hewan poikiloterm dikarenakan suhu dapat mengatur pertumbuhan dan penyebaran
organisme. Suhu yang terlalu tinggi dapat mengakibatkan rusaknya enzim, protein,
vitamin, sel, jaringan, organ dan dapat merusak permeabilitas membran serta
13
hormon. Sebaliknya, suhu yang dapat menghambat kerja enzim, menghambat kerja
hormon,dan menghambat metabolisme. Pengaruh berbagai suhu terhadap hewan
ektoterm mengikuti suatu pola tipikal, walaupun ada perbedaan dari spesies ke
spesies yang lain. Pada intinya ada tiga kisaran yang menarik perhatian ialah:
• Suhu rendah berbahaya
• Suhu tinggi berbahaya
• Suhu diantara suhu tinggi dan suhu rendah.
Ada pengertian tentang koesein suhu yang diberi symbol dengan huruf Q10’
misalnya Q10 = 2.5, berarti tiap-tiap kenaikan suhu 1°C menaikkan lau reaksi
metabolisme 2.5 kali. Jadi mahluk ektoterm memasukkan sumberdaya dan
melaksanakan metabolisme henya secara lambat pada suhu yang rendah, tetapi pada
suhu yang lebih tinggi metabolisme akan lebih cepat. (Nova,2012).
Sedangkan menurut Yuliantoro dalam jurnalnya yang berjudul Ulat Bulu
Tanaman Mangga Di Probolinggo: Identifikasi, Sebaran, Tingkat Serangan,
Pemicu, Dan Cara Pengendalian, faktor pemicu utama ledakan ulat bulu di
probolinggo berhubungan dengan konsep waktu – suhu. Faktor pemicu utama
ledakan populasi ulat bulu adalah perubahan ekosistem yang ekstrem pada
agroekosistem mangga. Perubahan tersebut dipicu oleh beberapa hal, yakni musim
hujan yang panjang pada tahun 2010-2011 yang menyebabkan kenaikan
kelembaban udara. Suhu yang berfluktuasi berdampak terhadap iklim mikro yang
mendukung perkembangan ulat bulu. Selain itu penyebab yang lain yaitu
penanaman hanya satu varietas mangga, penggunaan input kimia seperti seperti
pestisida dan pupuk ikut menjadi pemicu ledakan populasi ulat bulu. Dan juga
didukung oleh letupan abu vulkanik gunung bromo yang mengakibatkan penurunan
keanekaragaman hayati, termasuk arthropoda kompetitor dan musuh alaminya yaitu
predator, parasitoid, patogen dan serangga
2.4 Kondisi Dan Sumber Daya Sebagai Lingkungan
Lingkungan bagi hewan adalah semua faktor biotic dan abiotik yang ada di
sekitarnya dandapat mempengaruhinya. Hewan hanya dapat hidup, tumbuh dan
berkembang biak dalam suatu lingkungan yang menyediakan kondisi dan sumber

14
daya serta terhindar dari faktor-faktor yang membahayakan.Begon membedakan
faktor lingkungan bagi hewan ada 2 kategori, yaitu;

1. Kondisi
Kondisi adalah faktor-faktor lingkungan abiotik yang keadaannya berbeda dan
berubah sesuai dengan perbedaan tempat dan waktu.Hewan bereaksi terhadap
kondisi lingkungan, yang berupa perubahan-perubahan morfologi, fisiologi dan
tingkah laku. Kondisi lingkungan antara lain berupa.; temperature,kelembaban, Ph,
salinitas, arus air, angina, tekanan, zat-zat organic dan anorganik.
2. Sumber daya
Sumber daya adalah segala sesuatu yang dikonsumsi oleh organisme, yang
dapat di bedakan atas materi, energi dan ruang. Sumberdaya digunakan untuk
menunjukkan suatufaktor abiotik maupun biotikyang diperlukan oleh hewan,
karena tersedianya di lingkungan berkurang apabila telah dimanfaatkan oleh
hewan. Setiap hewan akan bervariasi menurut ruang (tempat) dan waktu. Oleh
karena itu setiap hewan senantiasa berusaha untuk selaludapat beradaptasi terhadap
setiap perubahan lingkungan tersebut. Dalam penyesuaian diritersebut hanya hewan
yang mampu beradaptasi dengan lingkungan yang dapat bertahanhidup, sementtara
yang tidak mampu beradaptasi akan mati atau beremigrasi bahkan
akan punah.Perubahan lingkungan terhadap waktu, secara garis besarnya terdiri
atas 3, yaitu;
a) Perubahan Siklik, perubahan yang terjadinya berulang-ulang secara berirama,
seperti malam dan siang, laut pasang dan surut, kemarau danpenghujan, dll.
Perubahan siklik dapat berskala harian, bulanan, musiman,tahunan
b) Perubahan Terarah , suatu perubahan yang terjadi berangsur-angsur,terus
menerus dan progresif dan menuju ke suatu arah tertentu. Prosesnya bisalama.
Contohnya mendangkalnya danau Limboto di Gorontalo
c) Perubahan Eratik,,suatu perubahan yang tidak berpola dan tidak menunjukkan
arah perubahannya. Contohnya; pengendapan Lumpur Lapindo diJawa Timur
(Ponorogo), kebakaran hutan, letusan gunung berapi dan lain-lain.

15
2.5 Faktor Pembatas Dan Kisaran Toleransi
Setiap mahluk hidup terdedah pada berbagai factor lingkungan abiotik yang
selalu dinamis atau berubah-ubah baik dalam skala ruang maupun skala waktu
(berfluktasi). Oleh karena itu setiap mahluk hidup harus mampu mengadaptasikan
dirinya untuk menghadapi kondisi factor lingkungan abiotik tersebut . namun,
demikian mahluk hidup, khususnya dalm hal ini hewan, tidak mungkin hidup pada
kisaran factor abiotik yang seluas luasnya , pada prinsipnya , bahwa masing-masing
hewan memiliki kisaran toleransi tertentu terhadap semua factor lingkungan .
prinsip yang sama dinyatakan sebagai hokum toleransi shelford, yang bunyinya”
bahwa setaip organism mempunyai suatu minimum dan maksimum akologis, yang
merupaakan batas atas dari kisaran toleransi organism itu terhadap kondisi factor
lingkungannya”.
Apabila organisme terdedah pada suatu kondisi factor lingkungannya yang
mendakati batas kisaran toleransinya, maka organismenya mengalami keadaan
cekaman(sters) fisiologis, dengan kata lain organisme berada dalam kondisi kritis
yang yang menentukan lulus hidup tidaknya, sebgai contoh hewan yang didedahkan
pada suhu ekstrim rendah akan menunjukan kondisi kritis berupa hipotermia,
sedang pada suhu ekstrim tinggi akan menyebabkan gejala hipertemia. Apabila
kondisi suhu lingkungan suhu yang mendekati batas-batas kisaran toleransi hewan
itu berlangsung lama dan tidak segera berubah menjadi baik, maka hewan itu akan
mati, setiap kondisi factor lingkungan yang besarannya atau intensitasnya
mendekati batas kisaran toleransi organism. Akan beroprasi sebagai factor
pembatas yang berperan sangat menentukan kelulusan hidup organism. Pada
gamar 2.7 diberikan diagram hubungan antara aktifitas suatu hewan dengan suatu
konndisi lingkungan.
Tidak mudah untuk menentukan batas-batas kisaran toleransi suatu hewan
terhadap suatu factor lingkungan .terlebih-lebih lagi dalam lingkungan alami.
Setiap organism terdedah sekaligus pada sejumlah factor lingkungan dan oleh
adanya suatu factor interaksi factor maka sesuatu factor lingkungan dapat saja
merubah factor lingkungan lain. Misalnya , suatu individu hewan akan merusak
efek suhu tinggi yang lebih keras apabila kelembaban udara yang relative rendah .
16
dengan perkataan lain hewan akan lebih tahan terhadap suhu tinggi apabila udara
kering dibandingkan dengan pada kondisi udara yang lembab.

Pada gambar di atas; dalam kisaran optimum (a) kinerja hewan maksimal,
b-c = batas-batas kondisi sekitar kisaran optimum yang diperlukan untuk
berkembang biak, d-e = batas-batas kondisi untuk pertumbuhan, f-g = batas
kelulusan hidupan. Dari gambar tersebut dapat disimpulkan bahwa persyaratan
kondisi lingkungan untuk terjadinya perkembangbiakan harus lebih baik dari pada
untuk pertumbuhan, dan persyaratan kondisi untuk pertumbuhan masih lebih baik
dari pada untuk kelulus-hidupan semata.
Dalam laboratorium pun batas-batas kisaran toleransi hewan terhadap
sesuatu faktor lingkungan tidak mudah menentukannya.Salah satu penyebabnya
ialah sulit untuk menentukan secara tepat kapan hewan mati.Cara yang biasa
dilakukan ialah dengan memperhitungkan adanya variasi individual batas-batas
kisaran toleransi itu ditentukan atas dasar terjadinya kematian pada 50% dari jumlah
individu setelah didedahkan pada suatu kondisi faktor lingkungan selama rentang
waktu tertentu. Untuk sesuatu kondisi suhu, misalnya, ditentukan LT50 – 24 jam
atau LT50 – 48 jam (LT = Lethal Temperature). Untuk konsentrasi suatu zat dalam
lingkungan bisanya ditentukan dengan LC50 – X jam (LC = Lethal Concentration);
X dapat 24, 48, 72 atau 96 jam) dan untuk sesuatu dosis ditentukan LD50 – X jam.

17
Kisaran toleransi terhadap suatu faktor lingkungan tertentu pada berjenis-
jenis hewan yang berbeda dapat berbeda pula. Jenis hewan yang satu mungkin lebar
kisaran toleransinya (e u r i-), jenis hewan lain mungkin sempit (s t e n o-). Ikan
mujair misalnya mempunyai kisaran toleransi yang relatif lebar terhadap salinitas
(= eurihalin), sedang berjenis-jenis ikan laut yang memiliki kisaran toleransi
terhadap kadar garam yang sempit (stenohalin). Sempit dalam pengertian hanya
dapat hidup pada kadar garam rendah (oligohalin) atau hanya dapat hidup pada
kadar yang tinggi (polihalin).
Demikian pula halnya suatu jenis hewan tertentu dapat berbeda-beda
kisaran toleransinya terhadap berbagai faktor lingkungan yang berbeda.Misalnya
hewan itu bersifat stenohidris dan oligohidris (kisaran toleransi terhadap rentangan
suhu lebar).Jenis-jenis hewan yang kisaran toleransinya untuk banyak faktor-faktor
lebar, biasanya mempunyai daerah penyebaran yang relatif luas.

Seperti sudah disinggung terdahulu, kondisi faktor lingkungan yang


optimum atau paling disukai hewan atau preferendum, akan menghasilkan kinerja
biologis yang paling tinggi. Preferendum untuk suatu faktor lingkungan relatif
mudah ditentukan di laboratorium. Tidak demikian halnya di lingkungan alami.
Terkonsentrasinya dalam jumlah banyak dari individu-individu suatu spesies
hewan di suatu tempat dalam jumlah banyak dari individu-individu suatu spesies
hewan di suatu tempat dalam habitat alaminya, belum tentu menunjukkan bahwa
kondisi dari satu atau beberapa faktor lingkungan di tempat itu merupakan
preferendum sebenarnya.Kehadiran pesaing atau predator dapat menyebabkan
18
terhalangnya populasi hewan untu mendiami tempat dengan kondisi faktor-faktor
lingkungan penting di kisaran-kisaran optimumnya.
Bergerombolnya sejumlah rusa di suatu pojok atau bagian savana mungkin
bukan menggambarkan ketersediaan makanan yang banyak atau kondisi
lingkungan lainnya yang optimum, tetapi mungkin juga disebabkan oleh kehadiran
pesaing atau predatornya di bagian yang lain.
Hewan yang berada dalam stadia muda hasil berbiak (telur, larva, anak)
pada umumnya mempunyai kisaran toleransi yang sempit untuk sejumlah faktor
lingkungan.Hal ini karena ketahanan tubuhnya terhadap tekanan kondisi faktor
lingkungan yang ektrim tidak sekuat pada hewan dewasa.Demikian halnya dengan
hewan yang sedang dalam masa berbiak, kisaran toleransinya lebih sempit bila
dibandingkan dengan yang tak bebiak, kisaran toleransinya lebih sempit bila
dibandingkan dengan yang tak berbiak.Hewan yang berbiak membutuhkan kondisi
lingkungan berada di sekitar kondisi preferendumnya atau kondisi optimum yang
paling disukainya.Karena relatif sempitnya kisaran-kisaran toleransi stadia muda
hewan dan hewan yang sedang berbiak terhadap berbagai faktor lingkungan, maka
perubahan kondisi faktor-faktor lingkungan itu relatif tinggi peluangnya untuk
beroperasi sebagai faktor pembatas.Karena itu maka musim perkembangbiakan
hewan seringkali dianggap sebagai perioda kritis.
Kisaran toleransi ditentukan secara herediter, namun demikian dapat
mengalami perubahan oleh terjadinya proses aklimatisasi (di alam) atau aklimasi
(di laboratorium). Aklimatisasi adalah usaha dilakukan manusia untuk
menyesuaikan hewan terhadap kondisi faktor lingkungan di habitat buatan yang
baru.Aklimasi adalah usaha yang dilakukan manusia untuk menyesuaikan hewan
terhadap kondisi satu faktor lingkungan tertentu dalam laboratorium sebagai
contoh, untuk penelitian tentang pengaruh suatu bahan terhadap kehidupan ikan,
maka peneliti harus mengaklimatisasikan ikan-ikan sampel tersebut di kolam
buatan yang baru di laboratorium untuk beberapa waktu, sampai ikan-ikan tersebut
telah terbiasa dengan kondisi barunya. Dalam hal ini, faktor-faktor lingkungan yang
harus dihadapi oleh ikan mungkin berupa, luasnya area kolam, jenis dan kondisi
air, pencahayaan, suhu lingkungan, jenis dan makanan, keasaman air, kadar mineral
19
atau salinitas. Jika tidak dilakukan aklimatisasi terlebih dahulu pada ikan-ikan
sampel, maka kematian hewan atau pengaruh yang ditimbulkan oleh bahan dedahan
tersebut, bisa berarti tidak semata-mata karena pengaruh bahan tersebut, tetapi juga
karena ikan belum terbiasa dan stres menghadapi kondisi lingkungan barunya.Jika
aklimatisasi ini hanya dilakukan untuk satu faktor tertentu, misalnya suhu
lingkungan, maka lebih tepat disebut aklimasi.

2.6 Spesies Sebagai Indikator Ekologi


Spesies menjadi salah satu elemen yang menjadi indikator ekologi dalam
konservasi. Spesies indikator sendiri merupakan salah satu dari beberapa kriteria
dari spesies fokal yaitu spesies yang mendorong dibentuknya suatu kawasan
konservasi (Noss et al. 1999). Adapun beberapa kriteria dari spesies fokal, adalah:
Spesies indikator adalah spesies yang statusnya menunjukkan fungsi dari
status kelompok yang lebih besar dari spesies dan mencerminkan status kunci dari
suatu habitat, atau bertindak sebagai peringatan dini untuk mengantisipasi suatu
tekanan lingkungan (misalnya populasi rusa ekor putih (Odocoileus virginianus)
yang menunjukkan ketersediaan hutan padang rumput yang terbatas).
Spesies kunci (keystone spesies) memiliki efek lebih besar pada satu atau
lebih proses ekologi daripada kelimpahan atau biomassa yang diperkirakan
(misalnya burung pelatuk merah (Picoides borealis) menciptakan rongga di pohon
hidup yang memberikan perlindungan bagi 23 spesies lainnya.
Ecological engineers yaitu spesies yang mengubah habitat untuk kebutuhan
mereka sendiri namun juga dapat mempengaruhi habitat dan peluang spesies
lainnya (seperti kura-kura gopher (G. Polyphemus) menggali liang yang digunakan
juga oleh banyak spesies lain).
Umbrella spesies (spesies payung) memiliki persyaratan habitat yang luas
atau menggunakan beberapa habitat yang juga merupakan habitat dari banyak
spesies lainnya (misalnya burung hantu tutul utara (Strix occidentalis caurina) yang
menempati seluruh areal hutan).
Link Spesies memainkan peran penting dalam transfer materi dan energi di
dalam tingkatan tropik atau menyediakan link penting untuk transfer energi dalam
20
jejaring makanan yang kompleks. Misalnya, anjing padang rumput (Cynomys spp.)
yang hidup pada ekosistem padang rumput mengkonversi produktivitas tanaman
utama menjadi biomassa hewan yang pada gilirannya akan mendukung komunitas
predator yang beragam.
Ikan
Ikan sebagai salah satu komponen penyusun ekosistem akuatik, merupakan
salah satu organisme yang rentan terhadap perubahan lingkungan terutama yang
diakibatkan oleh aktivitas antropogenik baik langsung maupun tidak langsung yang
menyebabkan rusaknya habitat sehingga akhirnya akan mempengaruhi distribusi
dan penyebaran ikan di suatu perairan. Ikan adalah salah satu indikator dalam
biomonitoring sungai, yang dapat digunakan secara terpisah ataupun
contemporaneously.
Distribusi ekologis ikan adalah penyebaran suatu jenis ikan yang berkaitan
erat dengan faktor lingkungan. Distribusi ekologis ikan umumnya sangat
dipengaruhi oleh beberapa faktor lingkungan, diantaranya suhu (temperatur),
kedalaman, cahaya, pH, oksigen terlarut, musim, serta faktor ketersediaan makanan
di perairan, maupun tingkat kompetisi dan predasi. Distribusi ikan ditandai dengan
adanya perubahan komposisi di tiap-tiap lokasi sebagai akibat dari faktor
lingkungan tersebut (Bhukaswan, 1980). Selain mempengaruhi distribusi ekologis
ikan, faktor lingkungan juga dapat merangsang terjadinya perubahan metabolisme
dan respon fiisiologis dalam tubuh ikan seperti sekresi kelenjar hormon.
Komunitas ikan sebagai bagian komponen penyusun ekosistem sungai telah
sejak lama digunakan sebagai bioindikator untuk memantau kesehatan ekosistem
sungai dalam jangka waktu yang lama (Alonso et al. 2011). Dalam jejaring
makanan di perairan ikan menempati bagian atas rantai makanan, dan juga
dimanfaatkan untuk konsumsi manusia, sehingga dianggap berperan penting untuk
menilai kondisi ikan yang terkontaminasi bahan pencemar (Barbour et al. 1999).
Karena siklus hidup yang relatif panjang dan mobilitas aktif, ikan dapat menjadi
indikator yang baik dalam jangka panjang (beberapa tahun) untuk melihat efek dan
kondisi habitat yang luas (Barbour et al. 1999). Selain itu, dengan berbagai trofik

21
level, termasuk tingkat tertinggi yang ditempati oleh top predator, sruktur
komunitas ikan dapat mencerminkan kesehatan lingkungan perairan secara terpadu.
Komunitas ikan mampu merespon secara signifikan hampir semua jenis
gangguan antropogenik, termasuk eutrofikasi, acidifition, pencemaran kimia, arus,
perubahan fisik habitat akibat eksploitasi, aktivitas antropogenik, dan introduksi
spesies baru ke perairan. Dengan demikian ikan dapat memprediksi perubahan
lingkungan perairan (Barbour et al. 1999). Kepekaan ikan terhadap kualitas
lingkungan perairan menjadi dasar untuk menjadikannya sebagai bioindikator dan
biomonitoring untuk memantau kerusakan lingkungan.
Makroinvertebrata bentik
Kelompok utama invertebrata yang menyusun ekosistem perairan sungai
(lotik) mencakup tiga filum besar: (1) Annelida (cacing), (2) Mollusca (Siput,
kerang, dan remis) yang paling melimpah dan beragam, dan (3) Arthropoda
(krustasea dan serangga) yang mendominasi bagian hulu, dan akan berlimpah di
sepanjang aliran sungai. Oligochaeta adalah kelas dari filum annelida yang paling
melimpah dan beragam serta terkenal mampu hidup pada lingkungan rendah
oksigen. Kerang (bivalvia) merupakan kelas dari filum Mollusca yang sangat
sensitif terhadap perubahan kualitas air, sehingga sering digunakan sebagai
indikator kesehatan ekosistem sungai di seluruh dunia .
Secara umum komunitas makroinvertebrata bentik di kebanyakan badan
perairan tawar terwakili oleh tiga kelompok besar yakni: larva chironomid,
olighochaeta dan moluska. Oligochaeta dan moluska secara permanen hidup di
dasar, sedangkan chironomid, ketika dalam tahap larva insekta hanya
menghabiskan sebagian dari siklus hidupnya di dasar perairan. Banyak spesies dari
kelompok ini merupakan manifestasi respon langsung pada keberadaan dari
berbagai polutan yang berbeda di dalam massa air dan sedimen dasar, hal ini
menjadikannya sebagai indikator tingkat pencemaran suatu perairan .
Perubahan kualitas air akan mempengaruhi makroinvertebrata bentik baik
komposisi maupun besar populasinya di perairan. Ada beberapa jenis organisme
yang mempunyai daya tahan tinggi terhadap kualitas air yang jelek, sehingga
organisme tersebut dapat dipakai sebagai penentu kualitas air suatu perairan.
22
Makroinvertebrata bentik di perairan sungai memiliki peran penting karena
kemampuannya mendaur ulang bahan-bahan organik, seperti limbah rumah tangga,
pertanian dan perikanan serta sisa-sisa organisme mati yang berasal dari perairan
diatasnya atau dari sumber lain. Selain itu juga sebagai komponen penting mata
rantai kedua dan ketiga dalam rantai makanan komunitas akuatik (Odum 1971).
Dalam posisi trophic level di perairan sungai, makroinvertebrata bentik berperanan
dalam pengolahan detritus dan bahan organik yang terakumulasi di dasar perairan.
Selain itu, mereka bertindak sebagai materi makanan untuk jenjang trofik yang
lebih tinggi.
Banyak negara memiliki sejarah panjang menggunakan makroinvertebrata
untuk memantau status ekologi sungai ekosistem. Makroinvertebrata bentik
merupakan komponen kunci dari jejaring makanan di perairan yang
menghubungkan bahan organik dan sumber nutrisi (misalnya, serasah, alga dan
detritus) dengan tingkat trofik yang lebih tinggi (Wallace and Webster 1996 dalam
Li et al. 2010). Bioindikator untuk menilai kualitas air berdasar pada
makroinvertebrata menawarkan keuntungan lebih daripada penggunaan organisme
lain. Komunitas makroinvertebrata cenderung mempunyai keanekaragaman lebih
besar dibanding ikan atau komunitas biotik lain di dalam sungai yang sama, yang
membuat evaluasi dengan beberapa metrik keanekaragaman komunitas lebih
berarti. Makroinvertebrata relatif menetap, mudah untuk dikumpulkan, dan peka
terhadap gangguan manusia. Sebagai tambahan, relatif peka atau toleran dari
banyak makrozoobenthos yang sudah dikenal. Pada umumnya mereka
menyediakan pendekatan sederhana untuk memahami dan mengukur kesehatan
sungai dalam rangka mengevaluasi keseluruhan integritas ekologis dari sistem
perairan.
ODNR (1993) mengelompokkan makroinvertebrata bentik ke dalam tiga
kelompok berdasarkan toleransinya terhadap pencemaran perairan. Ketiga
kelompok tersebut adalah (1) kelompok organisme intoleran terhadap pencemaran.
Mereka pada umumnya dominan pada kualitas air bagus. (2) kelompok organisme
yang dapat hidup pada kisaran luas dari kondisi kualitas air, (3) kelompok

23
organisme toleran terhadap pencemaran. Mereka pada umumnya mendominansi
pada kondisi kualitas air jelek.
Struktur komunitas makroinvertebrata yang sering berubah merupakan
respon terhadap gangguan lingkungan yang dapat memprediksi kondisi perairan
dan dapat dijadikan sebagai dasar pengembangan biokriteria untuk mengevaluasi
pengaruh antropogenik (Li et al. 2010). Respon makroinvertebrata terhadap
perubahan lingkungan dapat terlihat dari indeks keragaman yang menurun,
dominasi oleh spesies oportunistik yang menurun (misalnya siklus hidup lebih
pendek, lebih cepat bereproduksi) dan ukuran individu dari spesies yang dominan
menjadi berkurang. Sebagai contoh, di sungai dan sungai tercemar oleh bahan
organik atau logam berat kekayaan spesies dan keanekaragaman dari komunitas
makroinvertebrata menjadi berkurang sebagai dampak dari pencemaran.
Fragmentasi Habitat
Fragmentasi habitat juga harus dihindari atau diminimalkan pada derah yang
memiliki nilai konservasi. Fragmentasi habitat biasanya disebabkan oleh
pembangunan koridor jalan yang sering membentuk penghalang fisik untuk
penyebaran dan proses rekolonisasi invertebrata dan menyebabkan kematian
langsung individu baik selama pembersihan lokasi dan selama tahap oprasional
proyek berjalan.
Luasnya area yang akan disurvei harus didasarkan terutama pada zona
pengaruh di mana dampak yang terkait dengan pembangunan jalan dan operasi
diantisipasi, termasuk efek hidrologi remote pada habitat lembab pada spesies
cenderung bergantung. Selain itu, karena sifat linear dari pembangunan jalan dapat
mengakibatkan efek fragmentasi habitat signifikan, pertimbangan juga harus
diberikan dengan jarak yang lebih dari spesies dapat bubar dan menjajah dan setiap
kemungkinan 'hambatan' efek yang mungkin timbul selama dan setelah konstruksi.
Selanjutnya, karena sifat kadang fana mereka sub-populasi, ketidakhadiran mereka
dari situs lain yang cocok di sekitar populasi yang ada pada tahun tertentu tidak bisa
memerintah-out penggunaan daerah di musim berikutnya. Sebagai habitat tersebut,
cocok tetapi saat ini kosong dekat populasi yang ada juga harus dipertimbangkan
nilai, karena ini habitat mungkin penting untuk kelangsungan hidup jangka panjang
dari populasi.

24
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

1) Ekologi adalah ilmu yang mempelajari interaksi antara organisme dengan


lingkungannya dan yang lainnya. Berasal dari kata Yunani oikos ("habitat") dan
logos ("ilmu"). Ekologi diartikan sebagai ilmu yang mempelajari baik interaksi
antar makhluk hidup maupun interaksi antara makhluk hidup dan
lingkungannya.
2) Lingkungan bagi hewan adalah semua faktor biotik dan abiotik yang ada
disekitar hewan dan dapat mempengaruhinya. Setiap hewan hanya dapat lulus
hidup tumbuh dan berkembang biak dalam suatu lingkungan yang menyediakan
kondisi yang cocok baginya dan sumberdaya yang diperlukannya , serta
terhindar dari faktor-faktor abiotik maupun biotik lingkungan yang
membahayakan kelulusan hidupnya
3) Hewan dikatakan sebagai heterotroph yaitu hewan tidak dapat mensintesis
makanannya sendiri dari bahan anorganik dilingkungannya memenuhi
kebutuhannya akan bahan-bahan organik berenergi tinggi, guna menyediakan
energi untuk aktifitas hidup dan menyediakan bahan-bahan untuk membangun
tubuhnya , hewan mengambil bahan organik dari mahkluk hidup lain , baik
tumbuhan maupun hewan lain .
4) Hewan ektotermi adalah hewan yang untuk menaikkan suhu
tubuhnyamemperoleh panas yang berasal dari lingkungan, sedangkan hewan
yang suhu tubuhnya berubah-ubah sesuai dengan perubahan suhu
lingkungandisebut sebagai hewan poikilotermi (poikilotherm, poikilothermic),
yang dalam istilah lain disebut hewan berdarah dingin.
5) Masing-masing hewan memiliki kisaran toleransi tertentu terhadap semua factor
lingkungan . prinsip yang sama dinyatakan sebagai hokum toleransi shelford,
yang bunyinya” bahwa setaip organism mempunyai suatu minimum dan
maksimum akologis, yang merupaakan batas atas dari kisaran toleransi
organism itu terhadap kondisi factor lingkungannya”.
25
6) Faktor lingkungan yang penting bagi hewan, antara lain suhu, air dan
kelembapan, cahaya matahri, gas-gas atsmosfer, arus dan tekanan, garam-garam
mineral dan pencemar.

3.2 Saran

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan


makalah ini. Oleh karena itu, kritik dan saran dari Dosen Pembimbing Ekologi
Hewan serta teman-teman sekalian yang sifatnya membangun sangat kami
harapkan demi perbaikan dan kesempurnaan makalah ini.

26
DAFTAR PUSTAKA

Darmawan,Agus. 2005. Ekologi Hewan. Malang : Universitas Negeri Malang


Dermawan, A., A. Rusandi., D. Sutono., Suraji., 2008. Kebijakan pengelolaan
kawasan konservasi perairan mendukung pengelolaan perikanan
berkelanjutan. Makalah Konferensi Nasional VI di Manado.

Begon, M., T.L. Harper & C.R. Townsend. 1986.Ecology: Individuals


Populationsand Communities

27

Anda mungkin juga menyukai