Anda di halaman 1dari 13

2.1.

YOGHURT
Pengertian yoghurt menurut SNI 2981:2009 adalah produk yang diperoleh dari fermentasi susu
atau susu rekonstitusi dengan menggunakan bakteri Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus
thermophillus dan atau bakteri asam laktat lain yang sesuai, dengan atau tanpa penambahan bahan pangan
lain dan bahan tambahan pangan yang diizinkan. Proses pembuatan yoghurt menurut Buckle et al. (1987)
dalam Ambawathy (2007) dimulai dari pemanasan susu pada suhu 90 oC selama 15-30 menit, lalu
didinginkan sampai suhu 43oC dan inokulasi kultur sebanyak 2% (Lactoacillus bulgaricus dan
Streptococcus thermophillus). Suhu ini dipertahankan selama tiga jam hingga diperoleh tingkat keasaman
yang dikehendaki yaitu 0.85-0.90% asam laktat dan pH 4,0-4,5. Syarat mutu yoghurt menurut SNI
2981:2009 disajikan pada Tabel 1. Oberman (1985) dalam Ambawathy (2007) menyatakan bahwa
komposisi produk fermentasi bergantung pada kondisi awal dan metabolisme spesifik dari pertumbuhan
kultur mikroorganisme.
Proses fermentasi yogurt mengubah laktosa yang terdapat dalam susu menjadi asam laktat.
Penggunaan starter yogurt sebanyak 2–5% dari bahan yang digunakan. Penggunaan inokulasi starter
(Lactoacillus bulgaricus dan Streptococcus thermophillus) memungkinkan terjadinya perubahan laktosa
dan produksi asam laktat yang berakibat pada penurunan pH, sehingga kadar asam yogurt relatif tinggi
dan terbentuknya gumpalan yogurt (Robinson, 1990). Kadar asam yang dihasilkan oleh gabungan kedua
jenis kultur ini lebih tinggi dibandingkan dengan menggunakan kultur secara individual. Bahan yang
diproduksi selama proses fermentasi tidak hanya membantu proses pertumbuhan kultur starter, tetapi juga
mempengaruhi karakteristik sensori yogurt yaitu aroma, rasa dan tekstur (Capela , 2006 dalam Zain,
2010).

Bahan baku utama pembuatan yoghurt adalah susu segar. Menurut SNI 01-3141-1998 tentang susu
segar menyebutkan bahwa susu murni adalah cairan yang berasal dari puting sapi yang sehat dan bersih
diperoleh dengan cara yang benar yang kandungan alamiahnya tidak dikurangi atau ditambah sesuatu
apapun dan belum mendapat perlakuan apapun. Sedangkan susu segar adalah susu murni dan tidak
mendapat perlakuan apapun kecuali proses pendinginan tanpa mempengaruhi kemurniaannya. Syarat
mutu susu segar disajikan pada Tabel 2 berikut.

Tabel 1. Syarat mutu yoghurt (SNI 2981:2009)

No Satua
Kriteria uji Yog- Yog-hurt Yog-hurt Yog- Yog-hurt Yog-hurt
. n
hurt rendah tanpa hurt rendah tanpa

3
lemak lemak lemak lemak
1 Keadaan
1. Penampakan
- Cairan kental-padat Cairan kental-padat
1
1. Bau
- Normal/khas Normal/khas
2
1. Rasa
- Asam/khas Asam/khas
3
1. Konsistensi
- Homogen Homogen
4
Kadar lemak (b/b) Min Maks Min Maks
2 % 0.6 – 2.9 0.6 – 2.9
3.0 0.5 3.0 0.5
Total padatan susu
3 % Min 8.2 Min 8.2
bukan lemak
Protein (N x 6,38)
4 % Min 2.7 Min 2.7
(b/b)
5 Kadar abu % Maks 1.0 Maks 1.0
Keasaman (dihitung
6 sebagai asam laktat % 0.5 – 2.0 0.5 – 2.0
(b/b)
7 Cemaran logam
7. Timbal (Pb)
mg/kg Maks 0.3 Maks 0.3
1
7. Tembaga (Cu)
mg/kg Maks 20.0 Maks 20.0
2
7. Timah (Sn)
mg/kg Maks 40.0 Maks 40.0
3
7. Raksa (Hg)
mg/kg Maks 0.03 Maks 0.03
4
8 Arsen mg/kg Maks 0.1 Maks 0.1

4
9 Cemaran mikroba
Bakteri coliform APM/
9. g atau
Maks 1.0 Maks 10
1 koloni
/g
9. Salmonella
- Negatif/25 g Negatif/25 g
2
9. Listeria
- Negatif/25 g Negatif/25 g
3 monocytogenes
Jumlah bakteri starter Koloni
10 Min 107 -
/g
Sumber : Standar Nasional Indonesia, 2009

Tabel 2. Syarat Mutu Susu Segar (SNI 01-3141-1998)

Karakteristik Syarat
o
Berat jenis (pada suhu 27,5 C) minimum 10.280
Kadar lemak minimum 3%
Kadar bahan kering tanpa lemak minimum 8%
Kadar protein minimum 2.7%
Warna, bau,rasa dan kekentalan tidak ada perubahan
Derajat asam 6-7oSH
Uji alkohol 70% Negatif
Uji katalase maksimum 3(cc)
Angka refraksi 36-38
Angka reduktase 2-5 jam
Cemaran mikroba maksimum
Total kuman 1,000,000 cfu/ml
Salmonella Negatif
E.coli (patogen) Negatif
Coliform 20/ml
Streptococcus Group B Negatif
Staphylococcus aureus 100/ml
Jumlah radang maksimum 400.000/ml

5
Cemaran logam berbahaya maksimum:
Timbal (Pb) 0,3 ppm
Seng(Zn) 0,5 ppm
Merkuri (Hg) 0,5 ppm
Arsen (As) 0,5 ppm
Residu: sesuai dengan peraturan keputusan
Antibiotika bersama Mentri Kesehatan dan
Petisida/insektisida Menteri Pertanian berlaku
Kotoran dan benda asing Negatif
Uji pemalsuan Negatif
Titik beku -0,520 oC s/d -0,560oC
Uji peroxidase Positif
Sumber : Standar Nasional Indonesia, 1999

2.2. BAKTERI ASAM LAKTAT


Bakteri Asam Laktat (BAL) merupakan bakteri gram positif, katalase positif, tidak membentuk
spora, anaerobik hingga mikrofilik. Kemampuan biosintesanya sangat terbatas sehingga non motil dan
perolehan energinya semata-mata hanya bergantung pada metabolisme secara fermentatif. Bakteri asam
laktat dikelompokkan menjadi heterofermentatif apabila produk akhirnya terutama adalah asam laktat dan
heterofermentatif apabila asam laktat yang dihasilkannya bersama-sama dengan asam asetat,
karbondioksida dan senyawa diasetil (Tamime dan Robinson, 1999).
Pemanfaatan BAL pada produksi pangan semakin mengalami peningkatan terutama untuk
memfermentasi. Menurut Misgiyarta dan Widowati (2000) BAL yang digunakan dalam fermentasi perlu
diseleksi untuk memperoleh isolat yang memiliki kemampuan unggul, sehingga memiliki kelebihan-
kelebihan:
1. Memiliki kemampuan adaptasi tinggi terhadap kondisi lingkungan sehingga memiliki tingkat
efisiensi yang tinggi.
2. Ketersediaan mikroba terjamin, sebab bersumber dari lingkungan alam Indonesia yang dapat
diisolasi dari banyak sumber.
3. Memungkinkan dimanfaatkan secara luas oleh masyarakat dengan biaya yang relatif murah
untuk industri besar, maupun industri kecil, karena ketersediaan yang cukup serta biaya relatif
murah.
Pada produk probiotik seperti susu fermentasi (yoghurt, kefir, dan dadih), beberapa BAL
dimanfaatkan sebagai bakteri probiotik yang dapat memfermentasi komponen susu membentuk asam
laktat, bakteriosin dan komponen flavor lainnya (Tamime dan Robinson, 1999). Probiotik didefinisikan
sebagai bakteri hidup yang secara aktif meningkatkan kesehatan konsumen, dengan menyeimbangkan
mikroflora dalam saluran pencernaan jika dikonsumsi pada kondisi hidup dalam jumlah yang cukup
(Fuller 1992). Berbagai senyawa hasil metabolisme bakteri probiotik seperti asam laktat, H2O2,
bakteriosin bersifat antimikroba dan berbagai enzim seperti laktase dapat membantu mengatasi intoleransi

6
terhadap laktosa, serta bile salt hydrolase dapat menurunkan kolesterol serta aktivitas antikarsinogenik
dan stimulasi sistem imunitas (Nagao et al., 2000; Schrezenmeir dan de Vrese, 2001).
Syarat probiotik adalah tidak patogen, toleran terhadap asam dan garam empedu, mempunyai
kemampuan bertahan pada proses pengawetan dan dapat bertahan pada penyimpanannnya serta memiliki
kemampuan memberi efek kesehatan yang sudah terbukti (Shortt, 1999). Syarat minimum jumlah
kandungan probiotik pada produk terfermentasi pada negara-negara di Eropa dan Jepang adalah 106-108
CFU/ml, sedangkan jumlah viabilitas sel dalam produk yoghurt minimum sebesar 105-106 CFU/ml
(Robinson, 1987; Kurmann dan Rasic, 1991).

2.2.1. Streptococcus thermophilus


Streptococcus thermophilus dibedakan dari genus Streptococcus lainnya berdasarkan suhu
pertumbuhannya yang dapat tumbuh pada suhu 45 oC dan mati pada suhu 10oC (Helferich dan Westhoff,
1980). Tamime dan Robinson (1999) menambahkan bahwa suhu optimal pertumbuhan Streptococcus
thermophilus adalah 37 – 45 oC. Bakteri ini berbentuk kokus dengan diameter 0.7-0.9 µm dan kadang-
kadang berbentuk rantai. Streptococcus thermophilus termasuk kelompok bakteri gram positif, katalase
negatif, anaerob fakultatif, dapat mereduksi litmus milk, tidak toleran terhadap konsentrasi garam lebih
dari 6.5%, tidak berspora, bersifat termodurik, dan menyukai suasana netral dengan pH optimal 6.5
(Helferich dan Westhoff, 1980).

Gambar 1. Morfologi bakteri Streptococcus thermophilus (www2.unibas.it)

Menurut Tamime dan Deeth (1980), Streptococcus thermophilus bersifat homofermentatif yang
memfermentasi laktosa, sukrosa, glukosa, fruktosa, dan pereduksi utamanya adalah L(+) asam laktat.
Streptococcus thermophilus memiliki keterbatasan dalam pemanfaatan glukosa, dan fungsi utamanya pada
industri susu fermentasi adalah mengkonversi laktosa menjadi asam laktat. Tidak seperti kebanyakan
bakteri gram positif lainnya, Streptococcus thermophilus lebih menyukai laktosa sebagai sumber karbon
dan penghasil energi dibanding glukosa. Peran utama Streptococcus thermophilus dalam industri susu
fermentasi adalah memiliki laju pengasaman yang lebih tinggi dibanding BAL lainnya (Iyer et al., 2009).
Kelemahan dari Streptococcus thermophilus adalah sensitif terhadap lingkungan asam lambung,
sehingga tidak dapat tumbuh di usus manusia (Iyer et al., 2009). Oleh karena itu Streptococcus
thermophilus tidak dapat digolongkan sebagai bakteri probiotik.

2.2.2. Lactobacillus bulgaricus


Lactobacillus bulgaricus adalah bakteri gram positif, membentuk koloni dengan diameter 1-3 µm,
tidak tumbuh pada 45 oC , mereduksi “litmus milk”, katalase negatif, tidak berspora dan bersifat
thermodurik (Kosikowski, 1982). Hutkins dan Nannen (1993) menjelaskan bahwa suhu optimal
Lactobacillus bulgaricus 40 – 45 oC dengan pH optimum pertumbuhan berkisar pH 5.5 -5.8. Bakteri

7
asam laktat ini bersifat anaerob, berbentuk batang, koloninya berbentuk pasangan, dan rantai sel-selnya
bersifat homofermentatif.

Gambar 2. Morfologi bakteri Lactobacillus bulgaricus (www.novinite.com)

Selama proses fermentasi susu, Lactobacillus bulgaricus memecah laktosa menjadi asam laktat
serta menghasilkan asetaldehid yang memberi aroma khas pada susu fermentasi. Lactobacillus bulgaricus
bersifat proteolitik yang mampu memecah protein sehingga mudah dicerna dan diserap saluran pencernaan
(Chaitow dan Tranev, 1990).

Tamime dan Deeth (1980) menyatakan bahwa Lactobacillus bulgaricus mempunyai aktivitas
proteolitik yang cukup tinggi. Aktifitas proteolitiknya yang penting di dalam susu adalah memecah kasein
dengan bantuan enzim protease. Enzim ini optimum pada pH 5.2-5.8 dan temperatur 45-50oC, pada pH
yang lebih rendah yaitu 4.5 protease tidak dihasilkan.
Dalam proses fermentasi yoghurt Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus thermophilus akan
menghasilkan interaksi yang saling menguntungkan. Streptococcus thermophilus akan menurunkan pH
medium yang akan memacu pertumbuhan Lactobacillus bulgaricus. Selanjutnya Lactobacillus bulgaricus
akan melepaskan asetal dehid, asam asetat, diasetil, valin, glisin, leusin, isoleusin, dan histidin ke dalam
medium yang membentuk flavor khas susu fermentasi (Tamime dan Robinson, 1999).
Lactobacillus bulgaricus memiliki kemampuan menghasilkan senyawa yang bersifat bakteriostatik
serta mampu menghasilkan senyawa flavor yang khas. Akan tetapi, Lactobacillus bulgaricus tidak tidak
dapat bertahan hidup pada saluran pencernaan manusia sehingga tidak termasuk probiotik (Yuguchi et al.,
1992).

2.3. ENKAPSULASI
Enkapsulasi merupakan teknik penyalutan suatu bahan sehingga bahan yang disalut dapat
dilindungi dari pengaruh lingkungan. Bahan penyalut disebut enkapsulan sedangkan yang
disalut/dilindungi disebut core (Young et al.,1995; Frazier dan Westhoff, 1998; Victor dan Heldman,
2001). Enkapsulasi adalah pembentukan kapsul yang menyelubungi probiotik dari kondisi lingkungan
yang ekstrim (Victor dan Heldman, 2001).
Teknik enkapsulasi banyak diaplikasikan pada bidang industri bahan pangan karena mampu
mengawetkan makanan relatif lebih lama sehingga mengurangi resiko kerusakan bahan makanan oleh
mikroba (Victor dan Heldman, 2001). Young et al. (1995); Frazier dan Westhoff (1998); Victor dan
Heldman (2001) menjelaskan bahwa enkapsulasi pada bakteri dapat memberikan kondisi yang mampu
melindungi mikroba dari pengaruh lingkungan yang tidak menguntungkan, seperti panas dan bahan kimia.
Susu skim adalah salah satu bahan penyalut yang umum digunakan, terutama sebagai penyalut matriks
yang diaplikasikan secara oral.

8
Mikroenkapsulasi adalah suatu teknologi pengemasan material padat, cair ataupun gas dalam
miniatur pengkapsulan yang dapat melepaskan bahan terkapsul pada laju terkontrol dibawah pengaruh
kodisi spesifik (Anal, et al., 2007). Mikroenkapsulasi pada beberapa bakteri probiotik dilakukan untuk
meningkatkan viabilitas sel dalam lingkungan asam lambung yang dapat mencapai pH 2. Chandramouli et
al. (2003) menyatakan enkapsulasi dapat meningkatkan viabilitas bakteri probiotik dibandingkan dengan
sel bebas tanpa enkapsulasi. Bahan-bahan yang dapat digunakan sebagai enkapsulan adalah lemak, lilin,
turunan gliserol, gula, pati alami dan pati termodifikasi, dekstrin, gum, protein, skim, gelatin, dan turunan
selulosa (Vidhyalakshmi et al., 2009). Beberapa penelitian dilaporkan bahwa mikroenkapsulasi
menggunakan kalsium-alginat-polimer pati resisten (Godward dan Kailasapathy, 2003; Sultana et al.,
2000), polimer kappakaragenan (Adhikari et al., 2000) dan polimer protein whey (Picot dan Lacroix,
2004) dapat meningkatkan viabilitas bakteri probiotik pada yoghurt selama penyimpanan. Dave et al.
(1997) dalam Adhikari (2000) menyatakan bahwa penambahan suplemen seperti cystein, bubuk whey,
konsentrat protein whey dan hidrolis asam kasein dapat meningkatkan ketahanan bifidobacteria, namun
hanya dalam jumlah yang kecil. Sedangkan Sultana et al. (2000) mengenkapsulasi L. acidophilus and
Bifidobacterium spp. menggunakan kalsium-alginat-polimer pati resisten menunjukkan penurunan 0.5 log
CFU/ml dibandingkan dengan sel bebas selama delapan minggu masa penyimpanan yoghurt. Crittenden et
al. (2001) menyatakan penambahan bahan pendorong pertumbuhan atau prebiotik seperti pati dan
oligosakarida dapat meningkatkan ketahanan bakteri. Beberapa jenis pati yang dapat digunakan sebagai
prebiotik antara lain pati resisten dan maltodekstrin.

2.3.1. High Amylose Corn Starch


Menurut Berry (1986) dalam Sajilata et al. (2006) pati dapat diklasifikasikan menjadi tiga jenis
berdasarkan respon pati tersebut saat diinkubasi dengan enzim. Jenis pati pertama adalah Rapidly
Digestible Starch (RDS). Rapidly Digestible Starch (RDS) adalah jenis pati yang dapat dihidrolisis
sepenuhnya oleh enzim amilase menjadi molekul-molekul glukosa dalam waktu 20 menit. Jenis kedua
adalah Slowly Digestible Starch (SDS). Seperti juga RDS, Slowly Digestible Starch (SDS) dapat
sepenuhnya dihidrolisis oleh enzim amilase, namun karena satu dan lain hal, hidrolisisnya memakan
waktu lebih lama. Jenis pati ketiga adalah Resistant Starch (RS) atau pati resiten yaitu fraksi kecil dari pati
yang resisten (tahan) terhadap hidrolisis oleh enzim α-amilase dan enzim pululanase yang diberikan secara
in vitro. Pati resisten atau RS tidak terhidrolisis setelah 120 menit inkubasi (Englyst, et al., 1992). Pati
yang sampai ke usus besar akan difermentasi oleh mikroflora usus. Oleh karena itu, sekarang pati resisten
didefinisikan sebagai fraksi dari pati yang dapat lolos dari pencernaan pada usus halus. Secara kimia, RS
adalah selisih dari kadar pati total dengan RDS dan SDS (Sajilata et al., 2006).
Pati resisten (resistant starch) adalah bagian dari pati yang tidak dapat dicerna oleh usus halus
manusia yang sehat dan pencernaan tidak mengalami gangguan. Menurut Gonzales, et al. (2004) dalam
Anggraini (2007) pati resisten dibagi menjadi 4 tipe berdasarkan keberadaan pati secara alami dan
keberadaannya dalam makanan. Pati resisten tipe I (RS tipe I) adalah jenis pati yang secara fisik
terperangkap di dalam matriks sel, seperti pada biji legumes (polong-polongan). Pati resisten tipe II (RS
tipe II) adalah granula pati yang secara alami tahan terhadap enzim pencernaan seperti pati pisang mentah
dan pati kentang mentah. Pati resisten tipe III (RS tipe III) adalah pati hasil retrogradasi yang terbentuk
akibat pemanasan suhu tinggi yang disusul dengan penyimpanan pada suhu rendah. Pati resisten tipe IV
(RS tipe IV) adalah pati yang dimodifikasi secara kimia.

9
Menurut Asp NG (1992) high amylose corn starch (Hi-Maize) termasuk dalam jenis pati resisten
tipe II (RS tipe II). Pati resisten ini memiliki kandungan amilosa yang tinggi dan memiliki karekteristik
suhu gelatinisasi yang tinggi yaitu di atas 120oC. Pati kentang mentah juga termasuk dalam golongan pati
resiten tipe II (RS II), tetapi pati ini memiliki suhu gelatinisasi yang rendah yaitu sekitar 60oC. Beberapa
penelitian in vivo pada hewan dan manusia menunjukkan bahwa pati resisten memiliki potensi sebagai
bahan prebiotik. Penelitian dengan menggunakan pati resisten yang beramilosa tinggi menunjukkan bahwa
granula-granula pati tersebut membentuk pola pelekatan yang khusus pada usus bagian atas, baik pada
usus babi maupun manusia, dan diperkirakan dapat meningkatkan viabilitas dari probiotik dengan cara
menyediakan permukaan untuk melekat bagi prebiotik (Topping, et al., 1997). Penelitian Brown, et al.
(1998) menunjukkan bahwa tikus yang diberi ransum yang mengandung Bifidobacterium longum hidup
dan pati resisten beramilosa tinggi mengekskresikan bifidobakteria dalam jumlah yang lebih banyak
daripada tikus yang tidak diberi pati resisten.

Gambar 3. Penampakan high amylose corn starch (www.kingarturecompany.com)

2.3.2. Maltodekstrin
Pati adalah polisakarida yang terbentuk dari sejumlah molekul glukosa dengan ikatan α-glikosidik.
Pati terdiri atas dua fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas. Fraksi terlarut disebut amilosa dan
fraksi tidak terlarut disebut amilopektin (Winarno, 1992). Struktur amilosa merupakan struktur lurus
dengan ikatan α-(1.4)-glukosidik, sedangkan amilopektin merupakan struktur bercabang terdiri atas ikatan
α-(1.4)-glukosidik dengan titik percabangan α-(1.6)-glukosidik (Wilbrahan dan Matta, 1992).

Gambar 4. Struktur amilosa dan amilopektin (www.fmcbiopolymer.com)

Menurut Fogarty (1983) dalam Sunarti et al. (2004) pati mudah mengalami hidrolisis yang
diakibatkan oleh asam dan enzim. Hidrolisis asam mengakibatkan rusaknya daerah amorph dan akan
memotongan ikatan α-(1.4)-D-glukosidik dari amilosa dan α-(1.6)-D-glukosidik dari amilopektin,

10
sehingga ukuran molekul pati menjadi lebih rendah. Hidrolisis pati dengan enzim dapat dilakukan dengan
α-amilase. Hidrolisis amilosa dengan α-amilase terjadi dengan dua tahap. Tahap pertama degadrasi
amilosa menjadi maltosa dan maltotriosa yang terjadi secara acak. Tahap kedua terjadi pembentukan
glukosa dan maltosan sebagai hasil akhir dan tidak acak. Pada tahap ini pembentukan relatif sangat
lambat, sedangkan pada molekul amilopektin sebagai produk akhir dan tidak acak. Sedangkan pada
molekul amilopektin kerja α-amilase akan menghasilkan glukosa, maltosa dan satu seri α-limit dekstrin,
serta oligosakarida yang terdiri dari empat atau lebih glukosa yang mengandung ikatan α (1.6) glikosidik.
Selama proses hidrolisis, terjadi penurunan berat molekul pati yang ditunjukkan dengan adanya penurunan
viskositas dan meningkatnya gula pereduksi.
Produk komersil dari hidrolisis pati diklasifikasikan berdasarkan dekstrosa equivalen (DE).
Maltodekstrin didefinisikan sebagai produk hidrolisis pati yang mengandung α-D-glukosa unit yang
sebagian besar terikat melalui ikatan 1.4 glikosidik dengan DE kurang dari 20. Rumus umum malodekstrin
adalah [(C6H10O5)nH2O] (Kennedy et al., 1995). Maltodekstrin DE 5-10 dibuat menurut metode pati
singkong dihidrolisis dengan α-amilase (Termamyl 120L) yang mempunyai aktivitas 6147.66 unit/ml pada
suhu 85° C selama 65 menit. Untuk menghentikan aktivitas enzim ditambahkan HCl 0.1N sampai pH 3.7
– 3.9. Campuran yang diperoleh dikeringkan dalam oven pada suhu 40-45° C, kemudian dihaluskan, dan
terakhir diayak dengan ayakan mesh 100 (Anwar, 2002). Walaupun α-amilase bekerja dengan memotong
ikatan pati, namun diduga pati tidak terhidrolisis seluruhnya. Sebagian kecil pati dapat berupa resistant
starch yang tidak dapat dicerna oleh enzim pencernaan yang disebabkan strukturnya berupa kristal tidak
larut air.

Gambar 5. Penampakan maltodekstrin (www.wordpress.com)

Menurut Blancard dan Katz (1995) maltodekstrin biasanya dideskripsikan oleh DE (Dextrose
Equivalent). Maltodekstrin dengan DE yang rendah bersifat non-higroskopis, sedangkan maltodekstrin
dengan DE tinggi cenderung menyerap air (higroskopis). Maltodekstrin merupakan larutan terkonsentrasi
dari sakarida yang diperoleh dari hidrolisa pati dengan penambahan asam atau enzim. Kebanyakan produk
ini ada dalam bentuk kering dan hampir tidak berasa. Maltodekstrin pada dasarnya merupakan senyawa
hidrolisis pati yang tidak sempurna, terdiri atas campuran gula-gula dalam bentuk sederhana (mono dan
disakarida) dalam jumlah kecil, oligosakarida dengan rantai pendek dalam jumlah relatif tinggi serta
sejumlah kecil oligosakarida berantai panjang. Nilai DE maltodekstrin berkisar antara 3 – 20.
Blancard dan Katz (1995), menerangkan lebih lanjut sifat-sifat yang dimiliki maltodekstrin antara
lain mengalami dispersi cepat, memiliki sifat daya larut yang tinggi maupun membentuk film, membentuk
sifat higroskopis yang rendah, mampu membentuk body, sifat browning yang rendah, mampu
menghambar kristalisasi dan memiliki daya ikat kuat. Spesifikasi maltodekstrin disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Spesifikasi maltodekstrin komersil

11
Kriteria Spesifikasi

Kenampakan Bubuk putih agak kekuningan


Bau Bau seperti malt- dekstrin
Rasa Kurang manis, hambar
Kadar air 6%
DE (Dextrose Euquivalent) 10-20%
pH 4.5 – 6.5
Sulfated ash 0.6% (maksimum)
Total Plate Count (TPC) 1500 cfu/g
Sumber: Blancard dan Katz (1995)

Maltodekstrin sangat banyak aplikasinya antara lain sebagai bahan pengental sekaligus emulsifier.
Kelebihan maltodekstrin adalah bahan tersebut dapat dengan mudah larut pada air dingin. Aplikasi
penggunaan maltodekstrin contohnya pada minuman susu bubuk, minunan berenergi, minuman prebiotik
dan produk pangan. Aplikasi maltodekstrin pada produk pangan antara lain pada produk makanan beku
sbagai pengikat air (water holding capacity) dan berat molekul rendah sehingga dapat mempertahankan
produk beku, makanan rendah kalori, produk rerotian, misalnya cake, muffin, dan biskuit, digunakan
sebagai pengganti gula atau lemak.
Maltodekstrin merupakan salah satu jenis bahan pengganti lemak berbasis karbohidrat yang dapat
diaplikasikan pada produk frozen dessert seperti es krim, yang berfungsi membentuk padatan,
meningkatkan viskositas, tekstur, dan kekentalan. Maltodekstrin merupakan oligosakarida yang tergolong
dalam prebiotik (makanan bakteri Probiotik), sangat baik bagi tubuh. secara nyata dapat memperlancar
saluran pencernaan dengan membantu berkembangnya bakteri probiotik. Menurut Gibson (2005)
maltodekstrin, oligosakarida, inulin, galakto-oligosakarida, polidekstrosa merupakan beberapa komponen
prebiotik. Maltodekstrin digolongkan prebiotik dikarenakan maltodekstron mengandung oligoskarida.
Maltodekstrin memiliki efek prebiotik dengan ditunjukkannya pada peningkatan konsentrasi bakteri
menguntungkan dalam fekal termasuk bifidobacteria pada anjing. Kajian secara invitro pada tikus dan
mencit menunjukkan asam lemak rantai pendek dihasilkan dengan adanya maltodekstrin dan juga dapat
mencegah infeksi saluran pencernaan.

2.3.3. Alginat
Alginat merupakan bahan dasar yang umumnya digunakan untuk enkapsulasi. Garam alginat larut
dalam air, tetapi mengendap dan membentuk gel pada pH lebih rendah dari tiga. Alginat dapat membentuk
gel (formasi egg-box), film, manik (beads), pelet, mikropartikel, dan nano partikel (Ferreira et al., 2007).
Oleh karena itu, jel alginat dapat digunakan sebagai penyalut.
Alginat adalah fitokoloid atau hidrokoloid yang diekstraksi dari phaeophyceae (alga coklat).
Senyawa alginat merupakan suatu polimer linier yang terdiri atas dua satuan yang monomeric, ß -D -asam
manuronat dan a -L -asam guluronik (McHugh, 1987). Adapun ikatan monomer alginat dapat dilihat pada
Gambar 6.

12
Gambar 6. (A) monomer alginat (B) ikatan monomer pada alginate (www.fmcbiopolymer.com)

Kailasapathy (1996) menyatakan alginat adalah polisakarida alami yang diekstrak dari alga coklat
dan berfungsi meningkatkan viskositas dan daya ikat pada yoghurt. Kation divalent seperti ikatan
kalsium dengan alginat dapat meningkatkan viskositas atau bentuk gel tergantung pada konsentrasinya.
Enkapsulasi sel menggunakan sodium alginat telah banyak dilakukan seperti pengikatan kation
dengan kalsium pada yoghurt (Kailasapathy, 1996). Penggunaan sodium alginat memungkinkan kapsul
yang terdiri atas ruang kosong dapat mengikat ion kalsium pada matriks yoghurt. Ion sodium pada hydro-
gel alginat dapat digantikan oleh ion kalsium dan fenomena ini dapat meningkatkan daya retak koagulum
pada yoghurt. Interaksi antara protein susu dan peningkatan alginat dapat menurunkan nilai pH (Onsoyen,
1992). Williams, et al. (2004) melaporkan bahwa interaksi antara protein susu dan peningkatan alginat
dapat menurunkan nilai pH.
Proses enkapsulasi sinbiotik menggunakan sodium alginat yang dicampur kedalam larutan CaCl 2
menyebabkan Ca2+ bereaksi dengan monovalen anion karboksilat alginat membentuk jaringan tiga
dimensi, hal tersebut menyebabkan proses gelatinisasi semakin cepat sehingga viskositas kapsul yang
dihasilkan semakin baik (Winarno,1996). Bentuk jaringan tiga dimensi tersebut disajikan pada Gambar 7.

Gambar 7. Ikatan CaCl2 dengan alginate (www.fmcbiopolymer.com)

Winarno (1996) lebih lanjut menjelaskan Ca2+ memiliki dua ion positif yang akan bergabung
dalam dua gugus karboksil dan molekul algin, disamping itu ikatan sekunder mungkin saja terjadi diantara
ion kalsium itu sendiri dan gugus hidroksil polimer alginat, hal tesebut yang menyebabkan penambahan
sodium alginat dengan larutan CaCl2 menghasilkan gumpalan dengan ikatan menyilang yang bersifat
hidrofob.

2.3.4 Teknik Enkapsulasi


Beberapa teknik mikroenkapsulasi yang digunakan antara lain spray drying, freeze drying dan
fluidized bed drying. Ketiga teknik ini dapat mengkapsul kultur dan mengubahnya menjadi bentuk bubuk.

13
Enkapsulasi dengan cara ini dapat diterapkan pada produk namun kultur tidak terlindungi oleh lingkungan
produk atau selama melalui saluran lambung. Enkapsulasi dengan penjerapan hidrokoloid beads atau sel
immobile dalam matriks beads dapat melindungi sel dalam lingkungan saluran lambung (Krasaekoopt et
al., 2002).
Teknik enkapsulasi probiotik yang digunakan pada produk susu fermentasi diklasifikasikan
menjadi dua yaitu ekstrusi (droplet method) dan emulsi (sistem dua fase). Kedua teknik ini dapat
meningkatkan ketahanan bakteri probiotik hingga 80–95% (Audet et al., 1988; Rao et al., 1989; Sheu dan
Marshall, 1991; Sheu dan Marshall, 1993; Sheu, et al., 1993; Jankowski, et al., 1997; Kebary et al., 1998).
Metode ekstrusi dilakukan dengan cara meyiapkan larutan hidrokoloid natrium alginat dan
ditambahkan mikroorganisme probiotik, kemudian dimasukkan ke dalam jarum suntik atau syringe needle
dan meneteskannya ke dalam larutan CaCl2 sehingga terbentuk beads. Ukuran dan bentuk beads yang
dihasilkan bergantung pada diameter jarum. Pada enkapsulasi dengan metode emulsi, sebagian kecil
polimer (alginat) disuspensikan ke dalam minyak nabati seperti minyak kedelai, minyak bunga matahari,
minyak conola, atau minyak jagung, kemudian dihomogenisasi dalam bentuk water in oil (w/o). Emulsi
tersebut akan membentuk droplet. Ukuran beads pada metode emulsi ditentukan oleh ukuran droplet
emulsi yang terbentuk. Ukuran droplet emulsi dapat dikontrol dengan kecepatan pengadukan saat
emulsifikasi (Krasaekoopt et al., 2003). Kedua metode ini memiliki kelebihan dan kekurangan masing-
masing, adapun kelebihan dan kekurangannya disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Kelebihan dan kekurangan metode ekstrusi dan emulsi


Faktor pembanding Ekstrusi Emulsi
Kelayakan teknologi Susah untuk digandakan Mudah untuk digandakan
Biaya Rendah Tinggi
Kemudahan pengaplikasian Tinggi Rendah

Ketahanan mikroorganisme 80-90% 80-95%


Ukuran beads 2-5mm 25µm-2mm
Sumber: Krasaekoopt et al., 2003

Parameter keberhasilan teknik ini berbeda untuk setiap bahan yang akan dienkapsulasi.
Enkapsulasi dikatakan berhasil jika bahan yang dienkapsulasi memiliki viabilitas sel yang relatif tinggi
dan sifat-sifat fisiologis yang relatif sama dengan sebelum dienkapsulasi (Triana et al., 2006).

2.3.4. Enkapsulasi Bakteri Asam Laktat


Enkapsulasi adalah metode yang digunakan untuk meningkatkan daya tahan dan pelepasan kultur
bakteri (Sultana et al., 2000). Sun dan Griffths (2000), Anal dan Sigh (2007) menyatakan
mikroenkapsulasi merupakan alternatif cara meningkatkan resistensi mikroorganisme pada lingkungan
asam rendah selama penyimpanan atau garam empedu. Metode ini telah banyak diaplikasikan dalam
produk fermentasi. Beberapa panelitian yang telah dilakukan antara lain pengenkapsulan bakteri
Lactobacillus acidophilus dan Bifidobacterium spp. menggunakan teknik emulsi dengan bahan
enkapsulan kalsium alginat dan Hi-Maize starch (prebiotik) yang menunjukkan terjadinya penurunan

14
bakteri sebesar 0.5 log cfu/ml jika dibandingkan dengan sel bebas selama delapan minggu waktu
penyimpanan yoghurt di suhu 5oC (Sultana et al., 2000).

Penelitian Castila et al. (2009) mengengkapsulasi L. casei dengan metode emulsi dan bahan
alginat-pektin menunjukkan bahwa komposisi alginat-pektin terbaik pada semua parameter yang diujikan
adalah 1:4 dan 1:6, ketahanan bakteri L. casei dalam yoghurt dan simulasi getah lambung sebanding
dengan diameter dan seluruh properti tekstur beads, sedangkan ketahanan bakteri setelah melewati
simulasi getah lambung dan garam empedu berkorelasi positif dengan bentuk bulat beads. Enkapsulasi
bakteri pada L. casei (Lc-01) dan B. lactis (Bb-12) (0.1%) pada es krim sinbiotik menggunakan metode
emulsi dengan bahan enkapsulan 2% alginat dan 2% Hi-Maize menunjukkan peningkatan yang signifikan
dibandingkan dengan sel bebas, ketahan bakteri terenkapsulasi meningkat sebesar 30% selama masa
penyimpanan 180 hari dan suhu -20oC ( Homayouni et al., 2008). Penelitian Mandal et al. (2005)
menunjukkan bahwa ketahanan bakteri L. casei NCDC-298 yang dienkapsulasi menggunakan metode
emulsi pada pH rendah, konsentrasi garam empedu yang tinggi dan selama perlakuan panas memberikan
hasil maksimal sebanding dengan peningkatan konsentrasi alginat yang digunakan, konsentrasi alginat
terbaik adalah alginat 4%. Purwadhani et al. (2007) menyatakan bahwa enkapsulasi L. acidiphilus SNP 2
menggunakan teknik emulsi menghasilkan ketahanan bakteri yang lebih baik dibanding teknik ekstrusi,
jumlah sel probiotik dalam beads metode emulsi sebesar 1010 cfu/ml sedangkan jumlah bakteri dalam
beads metode ekstrusi sebesar 109 cfu/ml.

15

Anda mungkin juga menyukai