“ MODUL HEMATOLOGI I ”
Oleh :
(18650215)
UNIVERSITAS KADIRI
KEDIRI
2019
MODUL I
HEMOSTATIS
Hemostasis berasal dari kata haima yang berarti darah dan stasis yang berarti berhenti,
merupakan proses kompleks yang berlangsung secara terus menerus dalam mencegah
kehilangan darah secara spontan, serta menghentikan perdarahan akibat kerusakan sistem
pembuluh darah. Setiap kerusakan endotel pembuluh darah merupakan rangsangan yang poten
untuk pembentukan bekuan darah. Proses yang terjadi secara lokal berfungsi untuk menutup
kebocoran pembuluh darah,membatasi kehilangan darah yang berlebihan dan memberi
kesempatan untuk perbaikan pembuluh darah. Terdapat beberapa mekanisme kontrol dari
proses hemostasis antara lain sifat antikoagulan dari sel endotel normal,adanya inhibitor
faktorkoagulan aktif dalam sirkulasidan produksi enzim fibrinolitik untuk melarutkan bekuan
(Riddle,2007).
Gangguan hemostasis adalah suatu gangguan pada mekanisme dalam penghentian dan
pencegahan perdarahan. Jika terjadi luka pada pembuluh darah maka akan terjadi vasokontriksi
pembuluh darah, kemudian trombosit berkumpul dan melekat pada pembuluh darah yang luka
membentuk sumbat trombosit. Faktor koagulasi akan diaktifkan sehingga membentuk benang
fibrin yang membuat sumbat trombosit menjadi non permeable maka dari itu perdarahan dapat
dihentikan. Gangguan hemostasis terdiri dari BT, APTT, PT, TAT, D.Dimer.
3
Trombosit dalam proses hemostasis berperan sebagai penambal kebocoran dalam
system sirkulasi dengan membentuk sumbat trombosit pada daerah yang mengalami kerusakan.
Trombosit bukanlah sel lengkap tetapi fragmen kecil sel yang dilepaskan dari tepiluar sel
sumsum tulang yang sangat besar yang dikenal sebagai megakariosit. Satu megakariosit
biasanya memproduksi sekitar 1000 trombosit. Megakariosit berasal dari sel punca tak
berdiferensiasi yang sama dengan yang menghasilkan turunan eritrosit dan leukosit. Trombosit
pada hakikatnya adalah vesikel yang terlepas yang mengandung sebagian sitoplasma
megakariosit terbungkus dalam membrane plasma (sherwood,2009).
Agar dapat membentuk sumbat trombosit maka trombosit harus mengalami beberapa
tahap reaksi yaitu aktivasi trombosit, adhesi trombosit pada daerah yang mengalami kerusakan,
aggregasi trombosit dan reaksi granulasi. Trombosit akan teraktivasi jika terpapar dengan
berbagai protein koagulan yang dihasilkan oleh sel endotel yang rusak. Adhesi trombosit pada
jaringan ikat subendotel terjadi melalui interaksi antara reseptor glikoprotein membrane
trombosit dengan protein subendotel terutama faktor von willebrand sedangkan aggregasi
trombosit terjadi melalui interaksi antar reseptor trombosit dengan fibrinogen sebagai mediator.
Degranulasi trombositakan melepaskan berbagai senyawa yang terdapat dalam granul
sitoplasma trombosit) serotonin, katekolamin, histamine, ADP, ATP, siklik AMP, ion kalsium
dan kalium, faktor trombosit 3 dan 4, B-tromboglobulin, PDGF, plasminogen, fibrinogen,
protein plasma, tromboksan A2). Senyawa-senyawa ini akan menstimulasi aktivasi dan
aggregasi trombosit lebih lanjut hingga menghasilkan sumbat trombosit yang stabil,
mengaktifkan membrane fosfolipid dan memfasilitasi pembentukan komplek protein koagulasi
yang terjadi secara berurutan (Oesman,2007).
Proses Koagulasi
4
Seperti pada gambar proses pembekuan darah terdiri dari serangkaian reaksi enzimatik
yang melibatkan protein plasma yang disebut sebagai faktor pembekuan darah, fosfolipid dan
ion kalsium. Faktor pembekuan beredar dalam darah sebagai prekursor yang akan diubah
menjadi enzim bila diaktifkan. Enzim ini akan mengubah prekursor selanjutnya menjadi enzim.
Jadi mula-mula faktor pembekuan darah bertindak sebagai substrat dan kemudian sebagai
enzim. Proses pembekuan darah dimulai melaluidua jalur yaitu jalur intrinsikyang dicetuskan
oleh adanya kontak faktor pembekuan dengan permukaan asing yang bermuatan negative dan
melibatkan faktor XII, faktor XI, faktor IX, faktor VIII, high molecular eight kininogen (HMK),
pre kalikrein (PK) dan ion kalsiumserta jalur ekstrinsik yang dicetuskan oleh tromboplastin
jaringan dan melibatkan faktor VII, ion kalsium. Rangkaian reaksi koagulasi ini akan
membentuk thrombin dan mengubah fibrinogen menjadi benang-benang fibrin yang tidak larut.
Fibrin sebagai hasil akhir dari proses pembekuan darah akan menstabilkan sumbatan trombosit
(Riddle,2007).
Pembekuan darah merupakan proses autokatalitik dimana sejumlah kecil enzim yang
terbentuk pada tiap reaksi akanmenimbulkan enzim dalam jumlah besar pada reaksi
selanjutnya. Oleh karena itu perlu ada mekanisme kontrol untuk mencegah aktivasi dan
pemakaian faktor pembekuan darah secara berlebihan yaitu melalui aliran darah, mekanisme
pembersihan seluler dan inhibitor alamiah. Aliran darah akan menghilangkan dan
mengencerkan faktor pembekuan darah yang aktif dari tempat luka yang selanjutnya faktor
pembekuan darah yang aktif ini akan dibersihkan dari sirkulasi darah oleh hati. Dalam keadaan
normal plasma darah mengandung sejumlah protein yang dapat menghambat enzim proteolitik
yang disebut sebagai inhibitor seperti antitrombin alfa 2 makroglobulin, alfa 1 antitripsin, C1
esterasi inhibitor, protein C, protein S. inhibitor ini berfungsi untuk membatasi reaksi koagulasi
agar tidak berlangsung secara berlebihan sehingga pembentukan fibrin hanya terbatas disekitar
daerah yang mengalami cedera. Antitrombin akan menghambat aktivitas faktor XIIa, faktor
XIa, faktor Xa, faktor IXa, faktor VIIa, plasmin dan kalikrein. Protein C yang diaktifkan oleh
thrombin dengan kofaktor trombomodulin akan memecah F.Va dan faktor VIIIa menjadi
bentuk yang tidak aktif dengan adanya kofaktor protein S. Alfa 1 antitripsin akan berperan
dalam menginaktifkan thrombin, faktor XIa, kalikrein dan HMK. C1 inhibitor akan
menghambat komponen pertama dari sistem komplemen, faktor XIIa, faktor Xia dan kalikrein
(Oesman,2007).
Untuk membatasi dan selanjutnya mengeliminasi bekuan darah maka sistem fibrinolisis
mulai bekerja sesaat setelah terbentuknya bekuanfibrin. Deposisi fibrin akan merangsang
aktivasi plasminogen menjadi plasmin oleh aktivator plasminogen seperti tissue plasminogen
activator(t-PA), urokinase plasminogen activator(u-PA), faktor XIIa dan kalikrein. Plasmin
5
yang terbentuk akan memecah fibrinogen dan fibrin menjadi fibrinogen degradation product
(FDP). Dengan proses ini fibrin yang tidak diperlukan dilarutkan sehingga hambatan terhadap
aliran darah dapat dicegah. Untuk menghindari terjadinya aktivitas fibrinolysis yang
berlebihan, tubuh mempunyai mekanisme control berupa inhibitor activator plasminogen (PAI-
1) yang akan menginaktivasi t-PA maupun u-PAdan alfa 2 antiplasmin yang akan menetralkan
aktivitas plasmin yang masuk sirkulasi (Tambunan,2006). Proses hemostasis yang berlangsung
untuk memperbaiki kerusakan pada pembuluh darah dapat dibagi atas beberapa tahapan, yaitu
hemostasis primer yang dimulai dengan aktivasi trombosit hinggaterbentuknya sumbat
trombosit (Spronk,2004). Hemostasis sekunder dimulai dengan aktivasi koagulasi hingga
terbentuknya bekuan fibrin yang menggantikan sumbat trombosit. Hemostasis tertier dimulai
dengan diaktifkannya sistem fibrinolysis hingga pembentukan kembali tempat yang luka
setelah perdarahan berhenti (Sukrisman,2006).
6
MODUL II
Darah adalah cairan berwarna merah, yang terdapat dalam tubuh orang dewasa yang
volumenya kurang lebih 5 liter. Darah mengalir ke seluruh tubuh melalui pembuluh arteri dan
vena, fungsinya adalah mengantarkan oksigen dan sari makanan ke sel-sel yang membutuhkan.
Darah terdiri atas beberapa jenis korpuskula yang membentuk 45% bagian dari darah. Bagian
55% yang lain berupa cairan kekuningan yang membentuk medium cairan darah yang disebut
plasma darah.
Darah manusia adalah cairan jaringan tubuh, yang terdiri atas komponen korpuskula
(45%) dan komponen plasma (55%). Fungsi utamanya adalah mengangkut oksigen yang
diperlukan oleh sel-sel di seluruh tubuh. Darah juga menyuplai jaringan tubuh dengan nutrisi,
mengangkut zat-zat sisa metabolisme, dan mengandung berbagai bahan penyusun sistem imun
yang bertujuan mempertahankan tubuh dari berbagai penyakit. Hormon-hormon dari sistem
endokrin juga diedarkan melalui darah. Bagi tenaga kesehatan, darah merupakan sumber
informasi yang tak terhingga nilainya untuk mengetahui kondisi kesehatan seseorang.
Darah bukan sekadar cairan yang mengalir ke seluruh tubuh, tapi merupakan media
pembawa nutrisi dan oksigen penting yang dibutuhkan sel dan jaringan. Darah membawa
produk-produk limbah kembali ke sistem eksresi untuk proses pembuangan. Itu sebabnya
pemeriksaan darah banyak dilakukan untuk diagnosis penyakit.
Beberapa pemeriksaan yang paling sering dilakukan pada darah adalah pemerikasaan
darah lengkap dan analisis elektrolit plasma. Analisis elektrolit plasma dilakukan dengan
pengukuran terhadap natrium, klorida, kalium dan bikarbonat, juga kalsium, magnesium dan
fosfat. Pemeriksaan lainnya mengukur jumlah protein (biasanya albumin), gula (glukosa) dan
bahan limbah racun yang secara normal disaring oleh ginjal (kretinin dan urea-nitrogen darah).
Sebagian besar pemeriksaan darah lainya membantu memantau fungsi organ lainnya.
Karena darah membawa sekian banyak bahan yang penting untuk fungsi tubuh, pemeriksaan
darah bisa digunakan untuk mengetahui apa yang terjadi di dalam tubuh. Selain itu,
pemeriksaan darah relatif mudah dilakukan. Misalnya, dengan pengukuran enzim-enzim hati
dan protein dalam darah lebih mudah dilakukan dibandingkan dengan mengambil contoh hati.
Walaupun demikian, dalam dunia medis pemeriksaan darah di laboratorium tersebut
dikategorikan sebagai pemeriksaan penunjang, bukan patokan utama. Yang harus diutamakan
7
adalah pemeriksaan kondisi fisik pasien itu sendiri, hasil laboratorium pemeriksaan darah hanya
untuk membantu diagnose.
Darah diambil lewat tusukan jari atau pembuluh darah di lengan menggunakan jarum.
Kemudian sampel darah dimasukkan ke dalam botol kecil khusus dan dibawa ke laboratorium.
Sampel darah diperiksa di bawah mikroskop atau diuji dengan bahan kimia, tergantung pada
jenis dan tujuan pemeriksaan. Prosedur pengambilan darah berlangsung sekitar 5-10 menit.
Hasil pemeriksaan sel darah merah (eritrosit), hemoglobin, dan hematokrit yang rendah
bisa menjadi tanda anemia. Kondisi ini disebabkan oleh banyak faktor, seperti rendahnya
asupan vitamin dan zat besi atau kehilangan darah karena kondisi medis tertentu. Sedangkan
hasil pemeriksaan sel darah merah, hemoglobin, dan hematokrit yang tinggi bisa menjadi tanda
polisitemia vera atau penyakit jantung.
Sel darah putih (leukosit) rendah bisa menjadi tanda leukopenia. Kondisi ini terjadi
karena penyakit autoimun, masalah sumsum tulang, hingga kanker. Konsumsi obat-obatan
tertentu bisa menurunkan kadar sel darah putih dalam tubuh. Sedangkan sel darah putih tinggi
bisa menjadi tanda infeksi, peradangan, gangguan sistem kekebalan, penyakit sumsum tulang,
dan efek samping obat-obatan.
8
Apakah Hasil Tes Darah Akurat?
Hasil tes darah umumnya akurat, tapi bukan tes diagnostik yang pasti. Maksudnya, tindak lanjut
tes darah tergantung pada kondisi medis yang dialami. Misalnya pada kondisi sehat atau tidak
ada gejala penyakit, hasil tes darah lebih rendah atau lebih tinggi dibandingkan normal tidak
perlu dikhawatirkan. Jika kamu sedang menjalani pengobatan kanker, hasil tes hitung darah
lengkap di luar batas normal bisa menjadi pertimbangan dokter mengubah rencana perawatan.
Pada kasus tertentu, dokter dapat merujuk kamu ke dokter spesialis gangguan darah
(hematologis).
9
MODUL III
Homeostatis adalah cara tubuh untuk mengentikan perdarahan pada pembuluh darah
yang mengalami cedera. Hal ini melibatkan 3 proses utama:
Salah satu komponen elemen darah adalah trombosit atau keeping-keping darah yang
memiliki peran dalam proses penjendalan (koagulasi) darah. Proses koagulasi darah
dimaksudkan agar apabila terjadi kerusakan pembuluh darah, maka tidak terjadi kehilangan
darah yang sebanyak-banyaknya.
Pada kondisi tertentu seperti: hemofilia dapat terjadi kelainan atau gangguan koagulasi
darah sehingga darah sukar menjendal dan akibatnya tubuh dapat kehilangan darah. Untuk itu,
pemeriksaan koagulasi sangat diperlukan.
10
Pemeriksaan atau Skrining Koagulasi antara lain :
2. Jumlah Trombosit
3. Waktu Pendarahan
4. Waktu Pembekuan
6. Lysis bekuan
7. PPT
8. APPT
Pemeriksaan Rumple Leed bertujuan untuk mendeteksi kelainan system vaskuler dan
trombosit. Metode yang biasa digunakan adalah DUKE atau metode IVY.
11
MODUL IV
Pemeriksaan Bleeding Time (Ivy, Duke), Clothing Time (Lee & White, Metode
Kapiler) PT / APTT
Darah terdiri atas dua komponen utama yaitu plasma darah yang merupakan bagian cair
darah yang sebagian besar terdiri atas air, elektrolit dan protein darah, sedangkankan butir darah
terdiri atas eritrosit, leukosit dan trombosit.
1. Plasma darah
mempunyai fungsi pengangkut gas dan sari makanan disamping itu plasma darah juga
mengandung fibrinogen yang berfungsi dalam pembekuan darah. Plasma darah merupakan
bagian yang cair dari darah yang mempunyai atau terdiri dari air (91-92%), protein 8-9%,
substansi lain selain protein seperti garam amonium urea, asam urat, kreatinin, kreatin, asam
amino, santin, dan hiposantin. Darah beredar dalam pembuluh darah arteri,vena,dan kapiler.
2. Sel darah
adalah merupakan 45% volume darah. Sel darah terdiri atas sel darah merah (eritrosit), sel darah
putih (leukosit), dan keping darah (trombosit) (Pearce, 2004).
Rumusan Masalah
12
A. Pengertian Bleeding Time (BT)
Bleeding time adalah proses terjadinya perdarahan berkepanjangan setelah trauma
superfisial yang terkontrol, merupakan petunjuk bahwa ada defisiensi trombosit. Masa
perdarahan memanjang pada kedaan trombositopenia (<100.000/mm3 ada yang mengatakan <
75.000 mm3), penyakit Von Willbrand, sebagian besar kelainan fungsi trombosit dan setelah
minum obat aspirin (Tjokronegoro, 1992).
Pembuluh kapiler yang tertusuk akan mengeluarkan darah sampai luka itu tersumbat oleh
trombosit yang menggumpal. Bila darah keluar dan menutupi luka , terjadilah pembekuan dan
fibrin yang terbentuk akan mencegah perdarahan yang lebih lanjut . Pada tes ini darah yang
keluar harus dihapus secara perlahan-lahan sedemikian rupa sehingga tidak merusak trombosit.
Setelah trombosit menumpuk pada luka, perdarahan berkurang dan tetesan darah makin lama
makin kecil (Tjokronegoro, 1992).
Dalam bidang tes koagulasi, Clotting time adalah salah satu yang paling prosedural
sederhana. Setelah membebaskan plasma dari seluruh darah dengan sentrifugasi, Trombin yang
ditambahkan pada sampel plasma. bekuan ini terbentuk dan terdeteksi optikal atau mekanis
dengan alat koagulasi. Waktu antara penambahan trombin dan pembentukan gumpalan dicatat
sebagai Clotting time (Pramudianti, 2011).
13
bagian lengan bawah. Perangkat, pisau otomatis pegas paling umum digunakan
untuk membuat potongan berukuran standar. Kawasan ditikam dipilih sehingga
tidak ada vena superfisialis. Ini pembuluh darah, karena ukuran mereka, mungkin
kali pendarahan lagi, terutama pada orang dengan pendarahan cacat. Waktu dari
ketika luka menusuk dibuat sampai pendarahan semua telah berhenti diukur dan
disebut waktu perdarahan (Bleeding Time). Setiap 30 detik, handuk kertas
digunakan untuk membersihkan dari darah. Tes ini selesai ketika pendarahan telah
berhenti sepenuhnya. Nilai Normal untuk metode ini adalah 1 – 6 menit (Hoffbrand,
2013).
2) Metode Duke
Untuk metode Duke, dibuat di kuping telinga atau ujung jari yang ditusuk untuk
menyebabkan perdarahan. Seperti dalam metode Ivy, tes ini waktunya dari awal
pendarahan sampai pendarahan benar-benar berhenti. Kerugian dengan metoda
Duke adalah bahwa tekanan pada vena darah di daerah menusuk tidak konstan dan
hasil yang dicapai kurang dapat diandalkan. Keuntungan dengan metode Duke
adalah bahwa bekas luka tidak tetap setelah ujian. Metode lain dapat menyebabkan
bekas luka, garis rambut kecil di mana luka tersebut dibuat. Namun, ini adalah
sebagian besar perhatian kosmetik. Daerah yang akan ditusuk harus dibersihkan
dengan alkohol. Alkohol harus ditinggalkan dikulit cukup lama untuk membunuh
bakteri pada tempat luka. Alkohol harus dikeluarkan sebelum menusuk lengan
karena alkohol akan berdampak buruk hasil tes oleh pembekuan menghambat. Nilai
Normal untuk metode ini adalah 1- 3 (Hoffbrand, 2013).
14
berdiameter 5 mm secara terpisah dan setiap 30 detik darah diangkat menggunakan
lidi dan dicatat waktu saat terlihat adanya benang fibrin, setelah itu dilakukan hal
yang sama pada tetesan yang kedua secara bersamaan. Kemudian hentikan
stopwatch setelah terlihat adanya benang fibrin pada tetesan kedua. Waktu
pembekuan adalah saat adanya benang fibrin dalam tetes darah yang kedua
terhitung mulai dari darah masuk ke semprit, nilai normal untuk metode slide adalah
2-6 menit. Sumber kesalahan terjadi pada pencampuran darah dengan
tromboplastin jaringan yang meliputi pungsi vena yang tidak berhasil baik, busa
dalam semprit, object glass yang basah dan kotor, serta pemakaian obat yang dapat
mempengaruhi hasil (Gandasoebrata, 2001).
15
C. Faktor – Faktor yang mempengaruhi Pembekuan Darah
Menurut (Pramudianti, 2011) faktor – faktor yang mempengaruhi Pembekuan darah ada
13 faktor yaitu :
1. Faktor I
Fibrinogen: sebuah faktor koagulasi yang tinggi berat molekul protein plasma dan
diubah menjadi fibrin melalui aksi trombin. Kekurangan faktor ini menyebabkan masalah
pembekuan darah afibrinogenemia atau hypofibrinogenemia.
2. Faktor II
Prothrombin: sebuah faktor koagulasi yang merupakan protein plasma dan diubah
menjadi bentuk aktif trombin (faktor IIa) oleh pembelahan dengan mengaktifkan faktor
X (Xa) di jalur umum dari pembekuan. Fibrinogen trombin kemudian memotong ke
bentuk aktif fibrin. Kekurangan faktor menyebabkan hypoprothrombinemia.
3. Faktor III
Jaringan Tromboplastin: koagulasi faktor yang berasal dari beberapa sumber yang
berbeda dalam tubuh, seperti otak dan paru-paru; Jaringan Tromboplastin penting dalam
pembentukan prothrombin ekstrinsik yang mengkonversi prinsip di Jalur koagulasi
ekstrinsik. Disebut juga faktor jaringan.
4. Faktor IV
Kalsium : Sebuah faktor koagulasi yang diperlukan dalam fase pembekuan darah.
5. Faktor V
Proaccelerin: sebuah faktor koagulasi penyimpanan yang relatif labil dan panas, yang
hadir dalam plasma, tetapi tidak dalam serum, dan fungsi baik di intrinsik dan ekstrinsik
koagulasi jalur. Proaccelerin mengkatalisis pembelahan prothrombin trombin yang aktif.
Kekurangan faktor ini, sifat resesif autosomal, mengarah pada kecenderungan berdarah
yang langka yang disebut parahemophilia, dengan berbagai derajat keparahan.
Disebut juga akselerator globulin.
6. Faktor VI
Sebuah faktor koagulasi sebelumnya dianggap suatu bentuk aktif faktor V, tetapi tidak
lagi dianggap dalam skema hemostasis.
7. Faktor VII
Proconvertin : sebuah faktor koagulasi penyimpanan yang relatif stabildan panas dan
berpartisipasi dalam Jalur koagulasi ekstrinsik. Hal ini diaktifkan oleh kontak dengan
16
kalsium, dan bersama dengan mengaktifkan faktor III itu faktor X. Defisiensi faktor
Proconvertin, yang mungkin herediter (autosomal resesif) atau diperoleh (yang
berhubungan dengan kekurangan vitamin K), hasil dalam kecenderungan perdarahan.
Disebut juga serum prothrombin konversi faktor akselerator dan stabil.
8. Faktor VIII
Antihemophilic faktor, sebuah faktor koagulasi penyimpanan yang relatif labil dan
berpartisipasi dalam jalur intrinsik dari koagulasi, bertindak (dalam konser dengan faktor
von Willebrand) sebagai kofaktor dalam aktivasi faktor X. Defisiensi, sebuah resesif
terkait-X sifat, penyebab hemofilia A. Disebut juga antihemophilic globulin dan faktor
antihemophilic A.
9. Faktor IX
Tromboplastin Plasma komponen, sebuah faktor koagulasi penyimpanan yang relatif
stabil dan terlibat dalam jalur intrinsik dari pembekuan. Setelah aktivasi, diaktifkan
Defisiensi faktor X. hasil di hemofilia B. Disebut juga faktor Natal dan faktor
antihemophilic B.
10. Faktor X
Stuart faktor, sebuah faktor koagulasi penyimpanan yang relatif stabil dan
berpartisipasi dalam baik intrinsik dan ekstrinsik jalur koagulasi, menyatukan mereka
untuk memulai jalur umum dari pembekuan. Setelah diaktifkan, membentuk kompleks
dengan kalsium, fosfolipid, dan faktor V, yang disebut prothrombinase; hal ini dapat
membelah dan mengaktifkan prothrombin untuk trombin. Kekurangan faktor ini dapat
menyebabkan gangguan koagulasi sistemik. Disebut juga Prower Stuart-faktor. Bentuk
yang diaktifkan disebut juga thrombokinase.
11. Faktor XI
Tromboplastin plasma yg di atas, faktor koagulasi yang stabil yang terlibat dalam jalur
intrinsik dari koagulasi; sekali diaktifkan, itu mengaktifkan faktor IX. Lihat juga
kekurangan faktor XI. Disebut juga faktor antihemophilic C.
17
13. Faktor XIII
Fibrin-faktor yang menstabilkan, sebuah faktor koagulasi yang merubah fibrin
monomer untuk polimer sehingga mereka menjadi stabil dan tidak larut dalam urea, fibrin
yang memungkinkan untuk membentuk pembekuan darah. Kekurangan faktor ini
memberikan kecenderungan seseorang hemorrhagic. Disebut juga fibrinase dan
protransglutaminase. Bentuk yang diaktifkan juga disebut transglutaminase.
18
MODUL V
Agregometer Chrono-Log.
19
D. PROSEDUR PEMERIKSAAN AGREGASI TROMBOSIT
1. Pembuatan Platelet Rich Plasma (RPP) dan Platelet poor Plasma (PPP) Sebanyak
9,0 ml darah dimasukkan kedalam tabung sitrat yang berisi 1 mL Na sitrat 3.2%.
Pembuatan PRP dilakukan dengan mensentrifugasi darah dengan kecepatan 1000 rpm
selama 15 menit atau 100 g selama 15 menit. Plasma yang diperoleh adalah PRP,
kemudian dipindahkan ke dalam tabung plastik. Jumlah trombosit PRP harus 200.000-
300.000/ μL. Jika jumlah trombosit <100.000/μL sulit untuk melakukan setting optical
baseline.
Sisa darah dalam tabung sitrat yang telah dipisahkan PRPnya, disentrifus lagi 3500 rpm
selama 15 menit atau 2400 g selama 20 menit. Plasma yang diperoleh adalah PPP.
Kemudian dimasukkan 500 μL kedalam kuvet pemeriksaan.
Pemeriksaan
a. Nyalakan alat, tunggu sampai suhu incubation wells pada alat mencapai suhu
370C. Nyalakan komputer, ketik data pasien.
b. Siapkan PRP dan PPP. Masukkan 5 kuvet kedalam lubang incubation wells, 4
kuvet diisi dengan PRP sebanyak 500 μL dan 1 kuvet sebagai blanko diisi
dengan PPP sebanyak 500 μL.
c. 4 kuvet yang berisi 500 μL PRP dimasukkan sebutir magnet yang berfungsi
sebagai pengaduk.
e. Satu kuvet yang berisi PPP dan stir bar dipindahkan ke lubang optical chamber,
kemudian PPP set switch ditekan ke angka 1.
f. 4 kuvet yang berisi PRP secara berurutan dimasukkan ke lubang optical chamber
PRP kemudian tombol stirrer dijalankan.
h. Buat garis baseline untuk menentukan batas atas dan bawah pada trace 1,2,3 dan
4 pada agregometer.
20
Tabung PRP 500 μL (Trace 1) ADP, Konsentrasi 10 μM 5 μL
Tabung PRP 500 μL (Trace 2) ADP, Konsentrasi 5 μM 5 μL
Tabung PRP 500 μL (Trace 3) ADP, Konsentrasi 2 μM 5 μL
Tabung PRP 500 μL (Trace 4) ADP, Konsentrasi 1 μM 5 μL
k. Hasil agregasi akan tampak pada layar secara otomatis dinyatakan dalam persen.
Setelah darah membeku, bekuan darah mengerut dan pada proses pengerut, sejumlah
serum diperas keluar dari bekuan sehingga bekuan menjadi kenyal.
21
C. ALAT PEMERIKSAAN RETRAKSI BEKUAN DAN VOLUME CAIRAN
BEKUAN
Alat yang digunakan untuk pengambilan darah, antara lain; Spuit 5cc, Torniquette,
Kapas alkohol, Kapas kering, Micropore, sedangkan untuk pemeriksaan RB dan VCB;
Tabung centrifuge berskala, Lidi kayu. Selain itu, diperlukan juga alat pemeriksaan nilai
hematokrit, yaitu pipa kapiler hematokrit, sentrifus mikro Ht, mikro-Ht reader
a. Alat disiapkan.
b. Darah vena diambil sebanyak 5cc, lalu dimasukkan ke dalam tabung sentrifus
berskala yang telah diletakkan lidi kayu di dalamnya, lalu volumenya dicatat.
Volume darah disisakan sedikit untuk dilakukan pemeriksaan hematokrit (untuk
penghitungan VCB).
c. Tabung dibiarkan pada suhu kamar selama 2-3 jam suhu ruang atau semalaman pada
suhu 4OC.
d. Setelah diinkubasi, tabung dimiringkan lalu bekuan darah yang menempel pada lidi
diangkat secara hati-hati melalui dinding tabung.
e. Serum beserta sel-sel yang masih tertinggal dalam tabung dicatat volumenya.
f. volume serum tersebut dihitung dalam bentuk % dari volume darah awal, lalu
dilaporkan sebagai retraksi bekuan.
Rumus :
𝑣𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑠𝑒𝑟𝑢𝑚
Retraksi bekuan = x 100%
𝑣𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑑𝑎𝑟𝑎ℎ 𝑎𝑤𝑎𝑙
22
E. INTERPRETASI HASIL PEMERIKSAAN RETRAKSI BEKUAN DAN
VOLUME CAIRAN BEKUAN
Konsistensi : Kenyal
Faktor-faktor teknis yang perlu diperhatikan agar pada pemeriksaan RB dan VCB antara
lain, pencatatan volume awal darah pada tabung reaksi berskala harus benar
diperhatikan skalanya, waktu serta suhu inkubasi, pengamatan volume serum ketika
bekuan darah diambil, serta perhitungan RB dan VCB. Pemeriksaan nilai hematokrit
juga harus dilakukan sesuai prosedur dengan memperhatikan proses pra analitik analitik
serta paska analitik. Pembentukkan bekuan dipengaruhi jumlah trombosit, fungsi
trombosit, proses pembentukkan benang fibrin dan jumlah eritrosit. Apabila nilai
hematokrit rendah, maka jumlah serum yang diperas menjadi lebih banyak.
23
MODUL VI
A. HEMOFILIA
Hemofilia adalah kelainan hemostasis yang disebabkan oleh kekurangan faktor koagulasi
dan menimbulkan kecenderungan perdarahan. Sebagian besar hemofilia merupakan kelainan
bawaan resesif pada kromosom X yang menyebabkan defisiensi faktor koagulasi, yaitu
defisiensi faktor VIII yang menyebabkan hemofilia A (hemofilia klasik) dan defisiensi faktor
IX yang me-nyebabkan hemofilia B (Christmas disease). Prevalensi hemofilia A di dunia
adalah sekitar 1 dari 5,000 pria, dan hemofilia B sekitar 1 dari 30,000 pria. Jenis hemofilia yang
lebih jarang yaitu hemo-filia C yang disebabkan oleh defisiensi faktor XI bawaan, dan hemofilia
didapat (acquired hemophil-ia) yang merupakan penyakit autoimun di mana tubuh
mengembangkan antibodi (inhibitor) ter-hadap faktor VIII sehingga menurunkan aktivitas
faktor tersebut.
Penderita hemofilia membawa risiko perdarahan yang beragam sesuai dengan derajat
keparahan hemofilia. Penderita hemofilia ringan hanya membawa risiko perdarahan
berkepanjan-gan pada tindakan operasi, sedangkan penderita hemofilia berat dapat mengalami
perdarahan spontan berulang yang dapat menyebabkan kerusakan sendi berat hingga
memerlukan operasi.
Di Indonesia, jumlah kasus hemofilia diperkirakan berjumlah 25,000 orang, namun yang
ter-catat pada Perhimpunan Hemofilia dan Transfusi Darah Indonesia (PHTDI) hanya 1,025
pasien per tahun 2016. Rendahnya tingkat deteksi hemofilia disebabkan sarana dan fasilitas
diagnostik belum memadai di semua rumah sakit, masih minimnya tenaga medis ahli dalam
bidang penyakit gangguan pembekuan darah, dan rendahnya tingkat pengetahuan masyarakat
Indonesia mengenai hemofilia. Meskipun mayoritas kasus hemofilia kemungkinan belum
terdeteksi, beban ekonomi perawatan hemofilia telah menempati urutan ketujuh penyakit
katastropik yang memakan biaya terbanyak dari BPJS Kesehatan, yaitu diperkirakan lebih dari
Rp 214 milyar pada tahun 2017. Penge-tahuan mengenai kelainan darah ini perlu ditingkatkan
untuk kemudian memungkinkan pengem-bangan sistem penatalaksanaan pasien dan
meningkatkan kualitas hidup para penderita penyakit hemofilia.
24
B. Deteksi Hemofilia
Gejala hemofilia meliputi perdarahan terutama di jaringan lunak, sendi (khususnya pada
perge-langan kaki, siku dan lutut) dan otot. Perdarahan berulang pada sendi menyebabkan
kerusakan sendi kronis dan berkurangnya mobilitas sendi. Pada hemofilia didapat, perdarahan
sendi lebih jarang ditemui, dan perdarahan lebih sering terjadi pada kulit, otot atau jaringan
lunak, dan mukosa.
Pada pemeriksaan laboratorium, profil koagulasi penderita hemofilia berupa APTT yang
me-manjang dengan PT yang normal. Diagnosa hemofilia ditegakkan dengan pemeriksaan
aktivitas faktor VIII (FVIII:C) untuk hemofilia A atau aktivitas faktor IX untuk hemofilia B.
Berdasarkan hasil aktivitas faktor VIII dan IX, derajat keparahan hemofilia dibagi menjadi
hemofilia berat (kadar faktor 1 IU/dL atau < 1% dari normal), sedang (1-5 IU/dL atau 1-5%)
dan ringan (5-40 IU/dL atau 5-40%). Uji Bethesda dilakukan untuk mendeteksi adanya inhibitor
pada hemofilia didapat.Aktivitas faktor VIII (FVIII:C) dapat diuji dengan menggunakan one-
stepatau two-step chromo-genic assay. Namun beberapa penelitian melaporkan korelasi yang
kurang baik di mana sebagian pasien yang dikategorikan sebagai hemofilia berat berdasarkan
uji FVIII:C ternyata hanya mengalami perdarahan ringan.
Aktivitas faktor VIII yang sangat rendah (0-2 IU/dL) dapat digambarkan dengan lebih
akurat menggunakan tes hemostasis yang bersifat global seperti thrombin generation assayatau
thromboelastography. Pengembangan terbaru pada uji APTT memungkinkan analisa bentuk
gelom-bang bekuan (clot waveform analysisatau CWA), yang memberikan gambaran lebih
detail mengenai kinetik proses pembentukan bekuan, termasuk kecepatan, percepatan dan
perlambatan maksimum dari proses pembentukan bekuan, tanpa menggunakan pemeriksaan
tambahan di luar APTT. CWA yang memberikan gambaran global pembekuan darah telah
dilaporkan bermanfaat dalam mem-bedakan dan memprediksi derajat hemofilia dan dapat
digunakan untuk memantau terapi pengganti faktor pada hemofilia. Khususnya, parameter
min1 (kecepatan maksimum) dan min2 (akselerasi maksi-mum) dapat menunjukkan perbedaan
yang lebih jelas antara fenotipe hemofilia berat dan non-berat dibandingkan dengan waktu
pembekuan APTT (Gambar 1). Min2 juga menunjukkan korelasi yang lebih baik dengan
FVIII:C dibandingkan dengan waktu pembekuan APTT.
25
Aktivitas faktor IX diuji menggunakan one-stage clotting assay, atau dengan
chromogenic assay. Jika diperiksa pada saat kelahiran, aktivitas faktor IX dapat terlihat rendah
palsu karena terjadinya penurunan kadar faktor-faktor pembekuan vitamin K-
dependenttermasuk faktor IX, terutama pada bayi prematur. Maka pemeriksaan faktor IX harus
diulang kembali pada umur 6 bulan ke atas untuk menegakkan diagnosis hemofilia B.
Terapi pada pasien hemofilia berupa penggantian faktor koagulasi yang diberikan secara
intravena (intravenous factor replacement therapy). Terapi ini dapat diberikan saat perdarahan
ataupun sebagai profilaksis untuk mencegah terjadinya perdarahan. Konsentrat faktor VIII
dapat diberikan berupa plas-ma cryoprecipitatedari darah donor atau rekombinan FVIII.
rekombinan FVIII lebih aman karena bebas dari patogen dan memiliki half-lifeyang lebih
panjang.
Profilaksis primer adalah terapi yang diberikan sebelum terjadinya kerusakan sendi,
umumnya pada usia dini (<2 tahun) dan diberikan 2-3 kali seminggu dengan dosis minimal 10-
20 IU/kg dan berlang-sung jangka panjang. Profilaksis sekunder adalah terapi yang diberikan
setelah ditemukannya perdara-han berulang atau gejala kerusakan sendi. Namun pasien yang
menerima terapi konsentrat faktor dapat menyebabkan produksi inhibitor terhadap faktor
tersebut, yang merupakan penghambat kesuksesan terapi. Selain itu, ketersediaan konsentrat
faktor dan biaya terapi yang sangat tinggi juga menjadi kendala dalam penanganan pasien
hemofilia.
Hemofilia C diterapi menggunakan konsentrat faktor XI, FFP, fibrin gluedan obat
antifibrinolitik. He-mofilia didapat diterapi menggunakan activated prothrombin complex
concentrate(APCC) atau obat antifibrinolitik untuk perdarahan mukosa.
26
Perkembangan teknologi dan ilmu kedokteran memungkinkan pengembangan terapi
profilaksis di luar penggantian faktor yang mengarah kepada personalized medicine. Misalnya,
terapi untuk memblokir fungsi inhibitor koagulasi atau terapi gen. Maka, ke depannya
diharapkan para pasien hemofilia bisa mendapatkan terapi yang lebih tepat dan efisien sehingga
dapat meningkatkan kualitas hidup dan efisiensi biaya perawatan.
Konsensus International Working Group (IWG) tahun 2007 membuat definisi dan
klasifikasi ITP terbaru. Definisi ITP, yaitu keadaan trombosit <100.000/uL. Hal ini didasari tiga
pemikiran bahwa (1) kemungkinan perdarahan pada jumlah trombosit 100.000-150.000/uL
hanya sekitar 6,9%; (2) nilai normal trombosit pada etnik Non-Western adalah sekitar 100.000-
150.000 /uL; (3) adanya trombositopenia ringan “fisiologik” yang terjadi pada kehamilan.
Selain itu, klasifikasi ITP juga mengalami perubahan menjadi ITP newly diagnosed, ITP
persisten dan ITP kronik. Definisi ITP primer adalah keadaan trombositopenia yang tidak
diketahui penyebabnya. Definisi ITP sekunder adalah keadaan trombositopenia yang
disebabkan oleh penyakit primer. Penyakit primer yang sering berhubungan dengan ITP, antara
lain, penyakit autoimun (terutama sindrom antibodi antifosfolipid), infeksi virus (termasuk
Hepatitis C dan human immunodeficiency virus [HIV]), dan obat-obat tertentu.
B. Patofisiologi ITP
Penyakit ITP adalah penyakit autoimun yang disebabkan adanya destruksi trombosit
normal akibat adanya antibodi (antibody-mediated destruction of platelets) dan gangguan
produksi megakariosit. Penyakit ITP merupakan kelainan akibat disregulasi imun dengan hasil
akhir adanya hilangnya toleransi sistem imun terhadap antigen diri yang berada di permukaan
trombosit dan megakariosit. Sel T teraktivasi akibat pengenalan antigen spesifik trombosit pada
APC (antigen presenting cell) yang kemudian menginduksi ekspansi antigen-spesifik pada sel
B. Kemudian sel B menghasilkan autoantibodi yang spesifik terhadap glikoprotein yang
27
diekspresikan pada trombosit dan megakariosit. Trombosit yang bersirkulasi diikat oleh
autoantibodi trombosit kemudian terjadi pelekatan pada reseptor FC makrofag limpa yang
mengakibatkan penghancuran trombosit. Selain itu, terbentuk juga autoantibodi anti
megakariosit yang mengurangi kemampuan megakariosit untuk menghasilkan trombosit.
Terjadi produksi autoantibody (A) yang meningkatkan penghancuran trombosit oleh makrofag
limpa (B) dan menurunnya produksi trombosit akibat antibodi anti-megakariosit (C).
28
Frekuensi komplikasi ITP anak hanya 0,2% atau 1 per 500 kasus. Komplikasi perdarahan
intrakranial terjadi pada jumlah trombosit <10.000/uL. Komplikasi perdarahan berat hanya
terjadi pada 3% kasus ITP dengan jumlah trombosit <20.000/ uL berupa epistaksis, melena,
menorrhagia dan/atau perdarahan intrakranial yang membutuhkan perawatan dan/atau transfusi
darah. Bahkan, penelitian lain menemukan bahwa hanya 3 dari 505 kasus (0,6%) yang
mengalami perdarahan hebat.
Penelitian Yohmi dkk5 di RSCM (2007) mendapatkan gambaran klinis ITP adalah lebih
sering terjadi pada anak laki-laki (1,9 : 1), rerata usia 4,78 tahun. Komplikasi perdarahan yang
terjadi adalah petekiae (89%), episktaksis (18%), perdarahan mukosa mulut (12%), perdarahan
subkonjungtiva (8%), hematemesis/melena (6%), hematuria (5%).
Penelitian di Amerika Serikat6 mendapatkan gambaran klinis ITP, yaitu 52% anak laki-
laki, terutama usia 2-5 tahun (37,6%). Komplikasi perdarahan yang terjadi adalah epistaksis
(8,4%), hematuria (2,3%), menoragia (2,6%), perdarahan saluran cerna (2,2,%), perdarahan
intrakranial (0,3%). Sebagian besar tanpa perdarahan yang berat (85,8%).
Penelitian Tarantino dkk7 (2016) juga mendapatkan hasil yang tidak jauh berbeda.
Komplikasi perdarahan berat yang terjadi pada pasien ITP anak yaitu perdarahan intrakranial
(0,6%), perdarahan saluran cerna (0,4%), dan hematuria (1,3%). Delapanpuluh lima persen
pasien ITP anak tidak mengalami perdarahan.
D. Diagnosis ITP
Diagnosis ITP ditegakkan setelah penyebab trombositopenia lain dapat disingkirkan.
Beberapa infeksi perlu disingkirkan seperti HIV, Hepatitis C, Helicobacter Pylori, dan CMV.
Kecurigaan ke arah keganasan dan pengaruh obat seperti valproat, heparin juga harus
disingkirkan. Pemeriksaan antibodi antifosfolipid dan lupus anticoagulant harus diperiksa bila
gejala ITP menjadi persisten/kronik.8 Bila gambaran klinis sangat mendukung ke arah ITP,
maka pemeriksaan sumsum tulang tidak perlu dilakukan (Grade 1B). Pemeriksaan sumsum
tulang juga tidak dilakukan bila pasien tidak memberikan respon setelah diberikan IVIG (Grade
1B). Pemeriksaan sumsum tulang juga tidak dilakukan sebelum pemberian kortikosteroid atau
splenektomi (Grade 2C). Pemeriksaan sumsum tulang dilakukan bila ITP tidak memberikan
respons dalam waktu 3 bulan (mengarah ke ITP persisten).
29
A. Pemeriksaan Hematologi dan Hemostasis Dasar dalam Identifikasi Sepsis dan DIC
30
Sepsis adalah sindroma klinis yang berhubungan dengan disregulasi respon imun
terhadap infeksi, yang dapat menyebabkan kerusakan multipel organ dan kematian. Sepsis
dibedakan dengan systemic inflammatory response syndrome(SIRS) karena disebabkan oleh
infeksi. Sepsis merupa-kan penyebab kematian utama pada pasien intensive care unit(ICU).
Sebagian besar kasus sepsis bermuara dari infeksi bakteri, namun hingga 50% pasien sepsis
memberikan hasil kultur darah negatif. Kunci dari penanganan sepsis adalah diagnosa dini.
Seringkali diagnosa sepsis sulit dite-gakkan, terutama pada neonatus, karena gejala dan
gambaran laboratorium yang non-spesifik. Gejala klinis meliputi demam >38oC atau
hipotermia <36oC, detak jantung >90 bpm, respirasi >20 per menit atau PaCO2<32 mmHg.
Gambaran laboratorium pada pasien sepsis juga bersifat non-spesifik meliputi immatureWBC
>10%, leukositosis (WBC >12.000/uL) atau leukopenia (WBC <4.000/uL), hipokoagulasi
(INR >1,5 atau APTT >60 detik), hiperglikemia tanpa diabetes, dan lainnya. Tidak ada
biomarker yang dapat berdiri sendiri untuk penegakan diagnosa sepsis.
Kultur darah masih dianggap sebagai baku emas penegakan diagnosa sepsis dan
identifikasi patogen penyebabnya, namun memiliki beberapa keterbatasan seperti waktu
pemeriksaan yang lama dan kecenderungan negatif palsu. Beberapa penanda lainnya yaitu
interleukin-6,C-reactive protein(CRP) dan lipopolysaccharide binding protein(LBP), yang
semuanya berperan dalam reaksi inflamasi sebagai respon tubuh terhadap infeksi. Namun
ketiga penanda ini juga meningkat sebagai respon inflamasi dari trauma atau tindakan bedah,
sehingga kegunaannya pada pasien penyakit kritis (ICU) sangat terbatas.
Salah satu yang dapat menjadi alternatif untuk mendeteksi sepsis adalah deteksi neutrofil
imatur menggunakan hitung jenis manual dari apusan darah tepi dan penghitungan immature to
total neutrophil ratio(I/T rasio). Hal ini dikarenakan kejadian sepsis memicu keluarnya neutrofil
imatur ke dalam sirkulasi, sehingga pada sepsis terjadi peningkatan jumlah dan persentase
neutrofil imatur dalam darah. Selain pada neonatus dan wanita hamil, meningkatnya jumlah
granulosit ima-tur mengindikasikan respon awal terhadap infeksi, inflamasi atau peningkatan
aktivitas sumsum tulang. Pemeriksaan neutrofil imatur ini merupakan bagian dari pemeriksaan
darah lengkap dan tid-ak memerlukan tambahan sampel serta biaya layaknya penanda sepsis
lainnya, serta dapat dioto-masi dengan menggunakan alat hematology analyzerdengan
kemampuan 5-part differential.
31
B. Peranan IG pada diagnosa sepsis
Penghitungan immature granulocyte(IG) merupakan bagian dari hitung jenis pada alat
hema-tology otomatik XN-L Series dan XN-Series (Gambar 1). Dibandingkan dengan hitung
jenis manual, penghitungan IG dengan alat hematologi otomatik memberi kelebihan seperti
jumlah sampel terhi-tung yang lebih banyak, serta hasil yang didapat dengan lebih cepat,
objektif dan efisien. Pemeriksaan IG menggunakan XN-Series memberikan akurasi yang sangat
baik, identikal dengan I/T rasio sehingga dapat menjadi alternatif pemeriksaan mikroskopis
leukosit imatur untuk membantu diagnosa sepsis. Persentase IG yang tinggi (>3%) memberi
spesifisitas >90% untuk identifikasi sepsis.5Sebaliknya, per-sentase IG yang rendah (<2%)
dapat digunakan untuk mengeksklusi sepsis dengan spesifisitas yang tinggi (90,9%).6Selain
itu, dilaporkan bahwa jumlah IG memberikan performa diagnostik yang lebih baik dalam
membedakan antara sepsis dan SIRS, dibandingkan dengan CRP, LBP dan IL-6 (Gambar 2).
Maka, penghitungan IG menjadi pemeriksaan yang sangat bermanfaat dalam deteksi sepsis,
tanpa memerlukan sampel dan pemeriksaan tambahan di luar pemeriksaan darah lengkap.
32
Sepsis hampir selalu menimbulkan kelainan hemostasis, yang dapat berupa
hiperkoagulasi subklinis hingga aktivasi koagulasi sistemik yang disebut dengan disseminated
intravascular coagula-tion (DIC). Mekanisme terjadinya DIC pada sepsis dimediasi oleh reaksi
inflamasi dan unsur patogenik seperti aktivasi trombosit oleh virus atau kerusakan jaringan oleh
patogen. DIC dapat terjadi pada 25-50% pasien sepsis.7Risiko kematian pasien sepsis
meningkat dua kali lipat jika terjadi DIC.
33
sepsis dengan pola kurva biphasic menunjukkan sensitivitas yang tidak terlalu tinggi namun
spesifisi-tas yang lebih tinggi, sehingga memberi nilai prediktif negatif (negative predictive
value, NPV) yang tinggi hingga mencapai 91.0%. Dengan NPV yang tinggi ini, tidak
terdapatnya kurva biphasic pada tes APTT dapat digunakan untuk eksklusi kecurigaan sepsis
pada pasien ICU.Penggunaan kurva biphasic untuk mendeteksi DIC dilaporkan memiliki
sensitivitas tinggi yang mencapai 98%,8sehingga di antara pasien sepsis, kurva biphasic dapat
menjadi penanda DIC.
References :
2. Buoro, et al. Immature granulocyte count on the new Sysmex XN-9000: performance
and diagnosis of sepsis in the intensive care unit. Signa Vitae2015;10(2):54-64.
34
4. Nierhaus, et al. Revisiting the white blood cell count: immature granulocytes count
as a diagnostic marker to discriminate be-tween SIRS and sepsis –a prospective,
observational study. BMC Immunol2013 Feb 12;14:8.
6. Ayres LS, Sgnaolin V, Munhoz TP. Immature granulocytes index as early marker of
sepsis. Int J Lab Hematol2019 Jun;41(3):392-396.
8. Sevenet, P.O and Depasse, F. Clot waveform analysis: Where do we stand in 2017?
(Review). Intl J Lab Hem2017;39:561-568.
9. Toh CH. APTT revisited: detecting dysfunction in the hemostatic system through
waveform analysis. Thromb Haemost1999;82:684-687.
10. Toh CH, Giles AR. Waveform analysis of clotting test optical profiles in the diagnosis
and management of disseminated intravas-cular coagulation (DIC). Clin Lab
Haematol2002;24:321-327.
A. Fisiologi koagulasi
Sistem hemostasis dipertahankan oleh interaksi antara sel endotel, protein koagulasi,dan
trombosit sebagai tiga unsur utama untuk menjaga fluiditas darah pada keadaan normal. Pada
keadaan cedera, ketiga unsur utama tersebut bekerjasama dalam sistem koagulasi. Sel endotel
merupakan lapisan dalam pembuluh darah yang non trombogenik. Fungsi sel endotel dalam
sistem hemostasis (Gambar 1) antara lain mensintesis tissue factor (TF), tempat penyimpanan
faktor von Willebrand, berperan pada sistem fibrinolisis dengan menghasilkan plasminogen
activator inhibitor (PAI-I) dan memiliki reseptor thrombomodulin. Apabila PAI-I berikatan
dengan thrombin dapat mengaktivasi thrombin activatable fibrinolytic inhibitor (TAFI), dan
berperan pada sistim antikoagulan dengan menghasilkan tissue factor pathway inhibitor (TFPI),
tissue plasminogen activator (tPA), prostacyclin (PGI2), mengaktivasi protein C. Pada
permukaan sel endotel terdapat heparin-like material yang merupakan kofaktor antitrombin.
Trombosit merupakan sel yang sangat berperan pada proses koagulasi.
Trombosit berinteraksi dengan komponen matriks ekstrasel disaat terjadinya cedera
sehingga terbentuk platelet plug sebagai penutup lesi pembuluh darah. Trombosit yang
35
teraktivasi juga menghasilkan berbagai agonis trombosit yang memperantarai kontraksi otot
polos sehingga terjadi vasokonstriksi.
Sejak tahun 1960-an diperkenalkan kaskade koagulasi melalui jalur intrinsik dan jalur
ekstrinsik. Model kaskade koagulasi memberi kesan bahwa kedua jalur tersebut bekerja
terpisah, namun manifestasi klinis menyangkal konsep tersebut. Sekitar limabelas tahun yang
lalu timbul hipotesis baru untuk memahami proses hemostasis. Model koagulasi berbasis sel
(cell-based model of coagulation) menyatakan bahwa koagulasi muncul pada tahapan yang
overlapping yaitu inisiasi, amplifikasi, dan propagasi (Gambar 2). Tahap inisiasi dimulai pada
sel yang dapat mengekspresikan tissue factor (TF). Membentuk kompleks dengan faktor VIIa
dan mengaktivasi faktor IXa dan Xa. Faktor Xa berikatan dengan faktor Va pada permukaan
sel dan menghasilkan trombin dengan jumlah sedikit. Faktor Xa segera diinhibisi sehingga tidak
dapat bergerak ke sel yang lain. Tahap amplifikasi dimulai setelah munculnya cedera, trombosit
keluar dari pembuluh darah sehingga terjadi perlekatan trombosit dengan thrombin yang
dihasilkan pada tahap inisiasi. Trombin mengaktivasi trombosit sehingga terjadi perubahan
permukaan dan pengeluaran faktor V yang sebagian aktif. Trombin juga mengaktivasi kofaktor
V dan VIII, serta mengaktivasi faktor XI menjadi factor XIa. Tahap propagasi berlangsung pada
permukaan trombosit yang teraktivasi. Pada tahap ini FIXa berikatan dengan VIIIa, jumlah
36
FIXa bertambah dari hasil ikatan trombosit dengan FXIa. mKompleks FIXa/VIIIa mengaktivasi
FXa pada trombosit dan segera berikatan dengan FVa sehingga mengubah protrombin menjadi
thrombin, selanjutnya pembentukan trombin mengubah fibrinogen menjadi fibrin.
Setelah bekuan fibrin terbentuk, harus terdapat mekanisme untuk membatasi jumlah
bekuan fibrin dan pelepasan bekuan saat cedera sembuh. Untuk mengontrol pembentukan
bekuan fibrin terdapat tiga mekanisme yaitu TFPI, mekanisme antitrombinheparin, dan jalur
antikoagulan protein C. Sedangkan yang bertanggung jawab dalam pelepasan dan degradasi
bekuan fibrin adalah sistem fibrinolisis. Plasmin berperan penting pada fibrinolisis dan
dikatalisasi oleh tPA atau urokinase-type plasminogen activator (uPA). Inhibitor pada sistem
fibrinolysis adalah PAI-1 dan antiplasmin.
37
B. Patofisiologi koagulasi pada sepsi
Gangguan koagulasi pada sepsis terjadi melalui tiga
mekanisme (Gambar 3),
1. Pembentukan trombin yang diperantarai TF Tranfer factor diekspresikan pada
permukaan sel endotel, monosit, dan platelet ketika sel-sel ini distimulasi oleh
toksin, sitokin atau mediator lain. Adanya endotoksin menyebabkan peningkatan
beberapa sitokin proinflamasi seperti tumor necrosis factor (TNF)- dan
interleukin (IL)-6. Sitokin IL-6 merupakan sitokin proinflamasi yang paling
berhubungan dengan klinis sepsis dan komplikasi. Pembentukan trombin yang
diperantarai oleh TF merupakan tahap penting dari patogenesis sepsis. Secara
fisiologis pembentukan ini segera dihambat oleh antitrombin, namun dengan
pembentukan trombin yang sangat cepat jalur inhibisi ini bisa fatigue sehingga
terjadi trombinemia. Setelah trombin terbentuk maka fibrinogen dipolimerasi
sehingga terbentuk bekuan fibrin dan terdeposisi di mikrosirkulasi. Deposisi fibrin
ini dapat menyebabkan disfungsi organ.
2. Gangguan mekanisme antikoagulan
Terdapat tiga mekanisme antikoagulan yang terganggu pada sepsis,yaitu :
a. Sistem antitrombin
Secara teori antitrombin memiliki peran penting dalam kekacauan koagulasi
pada sepsis, dibuktikan dengan jumlah antithrombin rendah pada sepsis. Jumlah
antithrombin berkurang disebabkan karena antithrombin digunakan untuk
menghambat formasi trombin, didegradasi oleh elastase yang dilepaskan sel
neutrofil serta gangguan sintesis antitrombin akibat gagal hati pada sepsis.
b. Sistem protein C
Protein C disintesis di hati dan diaktivasi menjadi activated protein C (APC)
yang berfungsi dalam menghambat FVIII dan FV. Pada sepsis, terjadi depresi
system protein C yang disebabkan oleh penggunaan yang berlebihan, gangguan
hati, perembesan vascular, dan aktivasi TNF-.
c. Tissue factor pathway inhibitor (TFPI)
Tissue factor pathway inhibitor disekresi oleh sel endotel dan berfungsi untuk
menghambat aktivasi FX oleh kompleks TF-FVIIa. Penurunan TFPI dapat
dijumpai pada sepsis.
2. Penghentian sistem fibrinolisis
Pada kondisi bakteremia dan endotoksemia dijumpai peningkatan aktivitas
fibrinolysis yang mungkin disebabkan oleh pelepasan plasminogen activator oleh
38
sel endotel. Keadaan tersebut diikuti dengan supresi aktivitas fibrinolisis secara
cepat oleh PAI-1. Jumlah PAI-1 yang tinggi dipertahankan sehingga menghentikan
kemampuan fibrinolisis yang mengakibatkan penumpukan bekuan fibrin pada
mikrosirkulasi.
Pada sepsis terjadi trombositopenia pada pasien berat. Faktor utama yang menyebabkan
penurunan jumlah trombosit pada sepsis adalah produksi trombosit yang terganggu,
peningkatan pemakaian maupun destruksi, atau sekuestrasi trombosit di limpa.
39
b. Antikoagulan
Penghentian koagulasi pada pasien DIC memberi manfaat secara teori. Keamanan
heparin pada pasien DIC yang cenderung mengalami perdarahan menjadi
perdebatan, walaupun pemberian heparin tidak terbukti meningkatkan insidens
komplikasi perdarahan.19 Pemberian heparin mungkin dapat berguna pada pasien
DIC akut dan tromboembolisme predominan seperti dengan purpura
fulminans.16,19 Penelitian agen antikoagulan baru dengan aktivitas penghambat
trombin secara langsung yaitu rekombinan hirudin pada kelinci dalam mengobati
DIC menunjukkan pengurangan konsumsi trombosit, fibrinogen, antitrombin, dan
protein C serta menurunkan mortalitas. Penggunaan rekombinan tersebut pada
manusia masih memerlukan penelitian lanjutan.
c. Pengembalian jalur antikoagulan
Antitrombin merupakan penghambat utama trombin, penggunaan pada DIC cukup
rasional. Penurunan jumlah antitrombin berhubungan dengan prognosis yang buruk
pada pasien sepsis. Studi di Italia memperlihatkan bahwa pemberian antitrombin
memiliki dampak yang menguntungkan dalam hal kelangsungan hidup. Namun
pada penelitian yang dilakukan pada 2144 pasien sepsis dan DIC tidak dijumpai
dampak yang sama.
Sistem protein C ikut terganggu pada DIC, dan APC tampak memiliki peran
dalam patogenesis sepsis yang berhubungan dengan disfungsi organ. Sebuah studi
yang dilakukan di sebelas negara pada kasus sepsis menunjukkan terdapat
perbaikan klinis pada pasien yang mendapat konsentrat APC. Penurunan mortalitas
40% dijumpai pada pasien yang mendapat dosis lebih tinggi, namun pemberian
konsentrat APC pada anak sepsis berat belum terbukti memberikan manfaat.
Penghambat mekanisme pembentukan trombin lainnya adalah TFPI.
Rekombinan TFPI telah luas diteliti pada pasien sepsis dan peningkatan kadar TFPI
dapat tercapai namun manfaatnya dalam menurunkan mortalitas dan perbaikan
disfungsi organ belum terbukti.
d. Agen lain
Rekombinan FVIIa mungkin dapat digunakan pada pasien dengan perdarahan berat
yang tidak respon terhadap terapi lain. Namun penelitian retrospektif terhadap
penggunaan rekombinan pada pasien anak sepsis dan DIC menunjukkan tidak ada
manfaat yang bermakna. Agen antifibrinolitik seperti asam traneksamat tidak boleh
diberikan kecuali sebelumnya telah diberi infus heparin.
40
MODUL VII
A. HEMOSTASIS PRIMER
Hemostasis adalah proses pembentukan bekuan darah di dinding pembuluh darah untuk
mencegah kehilangan darah ketika tetap mempertahankan darah dalam kondisi cair dalam
sistem vaskular yang merupakan sekumpulan mekanisme sistemik, kompleks dan saling
berhubungan, berkerja untuk mempertahankan keseimbangan antara koagulasi dan
antikoagulasi
Proses hemostasis termasuk proses yang rumit, dimana melibatkan interaksi dari dinding
pembuluh darah, trombosit, sistem koagulasi, dan fibrinolisis. Interaksi kompleks tersebut
menjadi dasar dari mekanisme proses penghentian perdarahan yaitu, (1) spasme pembuluh
darah, (2) pembentukan sumbat platelet, (3) pembekuan darah (koagulasi), dan (4) penutupan
pembuluh darah yang rusak secara permanen oleh jaringan fibrosa. Walaupun terkesan rumit
dan seolah bertahap, interaksi komponen hemostasis ini sebenarnya saling berpaut dan berkerja
secara efisien untuk menghentikan perdarahan. Ketika pembuluh darah rusak, beberapa respons
ditunjukkan oleh tiap-tiap komponen hemostasis. Respons pertama muncul dari pembuluh
darah yang menyempit (vasokonstriksi) untuk menanggapi gangguan keutuhan dindingnya.
Penyempitan pembuluh darah ini timbul akibat (1) spasme miogenik lokal, (2) autakoid
jaringan, dan (3) beberapa refleks tertentu. Respons ini berlangsung selama beberapa menit
hingga jam, waktu yang digunakan komponen hemostatik lain untuk berkerja melakukan
fungsinya.
Saat pembuluh darah rusak dan kehilangan keutuhan dindingnya, interaksi antara platelet
dan dinding pembuluh darah berubah dan memicu perlekatan platelet pada struktur pos intima
yang terpapar. Platelet yang melekat tersebut menghasilkan ADP (adenosine diphosphate) dan
juga menyebabkan platelet-platelet lain menghasilkan ADP menyebabkan mereka berkumpul
membentuk agregat dan akhinya membentuk sumbat platelet (platelet plug).
Sumbatan platelet ini hanya mampu menutup perdarahan sementara waktu dan harus
diperkuat lagi oleh proses lebih lanjut yaitu pembentukan bekuan darah (clot) yang akan
memperkokoh penutupan kerusakan pembuluh darah.
Dalam keadaan normal, darah berada dalam sistem pembuluh darah, dan berbentuk cair.
Keadaan ini dimungkinkan oleh faktor hemostasis yang terdiri dari hemostasis primer,
41
hemostasis sekunder dan hemostasis tersier. Hemostasis primer terdiri dari pembuluh darah dan
trombosit, disebut hemostasis primer karena pertama terlibat dalam proses penghentian darah
bila terjadi perdarahan, diawali dengan vasokontriksi pembilih darah dan pembentukan plak
trombosit yang menutup luka dan menghentikan perdarahan.
42
B. HEMOSTASIS SEKUNDER
Hemostasis merupakan sekumpulan mekanisme sistemik, kompleks dan saling
berhubungan, berkerja untuk mempertahankan keseimbangan antara koagulasi dan
antikoagulasi Hemostasis sekunder terdiri dari faktor pembekuan dan anti pembekuan, yang
akhir dari mekanisme hemostasis sekunder adalah terbentuknya benang fibrin.
Jika terjadi luka yang besar pada pembuluh darah atau jaringan lain, vasokonstriksi dan
sumbat trombosit belum cukup untuk mengkompensasi luka ini. Maka, terjadilah hemostasis
sekunder yang melibatkan trombosit dan faktor koagulasi. Hemostasis sekunder ini mencakup
pembentukan jaring-jaring fibrin. Hemostasis sekunder ini bersifat delayed dan long-term
response. Kalau proses ini sudah cukup untuk menutup luka, maka proses berlanjut ke
hemostasis tersier.
C. HEMOSTASIS TERSIER
Hemostasis tertier yaitu mekanisme hemostasis lanjut yang diperankan oleh darah,
dimana bekuan atau hemostatic plug yang sudah terbentuk akan dihancurkan dalam sistem
fibrinolysis. System fibrinolisis akan diaktifkan untuk melakukan penghancuran fibrin yang
sudah terbentuk agar tidak menjadi penghalang aliran darah dan menyebabkan lisis dari fibrin
dan dan endotel menjadi utuh kenbali.
43
Hemostasis tersier ini bertujuan untuk mengontrol agar aktivitas koagulasi tidak
berlebihan. Hemostasis tersier melibatkan sistem fibrinolisis.Pada proses mekanisme,
hemostasis ini adalah suatu proses fisiologis yang kompleks yang mempertahankan fluiditas
darah melalui mekanisme peroakoagulasi dan antikoagulasi yang ada dalam tubuh.
Ketidakseimbangan dari dua komponen ini akan mempredisposisikan pasien terhadap
perdarahan atau trombosis. Proses ini perlu dimengerti untuk memprediksikan konsekuensi
patologis dan klinis sebelum mengimplementasikan intervensi medis apapun.
Jenjang pembekuan
Bekuan mulai terbentuk dalam waktu 15-30 detik bila trauma pembuluh sangat hebat,dan
dala 1-2 menit bila traumanya kecil. Pembekuan darah berlangsung melalui dua jalur
yaitu jalur intrinsic dan jalur ekstrinsik.
44
kalikrein lagi dengan menimbulkan aktivasi timbal balik. Begitu terbentuk, factor xiia
mengaktifkan factor XI menjadi Xia, dan juga melepaskan bradikinin (vasodilator) dari
kininogen dengan berat molekul tinggi.
Factor Xia dengan adanya ion Ca2+ mengaktifkan factor IX, menjadi enzim serin
protease, yaitu factor IXa. Factor ini selanjutnya memutuskan ikatan Arg-Ile dalam factor X
untuk menghasilkan serin protease 2-rantai, yaitu factor Xa. Reaksi yang belakangan ini
memerlukan perakitan komponen, yang dinamakan kompleks tenase, pada permukaan
trombosit aktif, yakni: Ca2+ dan factor IXa dan factor X. Perlu kita perhatikan bahwa dalam
semua reaksi yang melibatkan zimogen yang mengandung Gla (factor II, VII, IXdan X), residu
Gla dalam region terminal amino pada molekul tersebut berfungsi sebagai tempat pengikatan
berafinitas tinggi untuk Ca2+. Bagi perakitan kompleks tenase,trombosit pertama-tama harus
diaktifkan untuk membuka fosfolipid asidik (anionic). Fosfatidil serin dan fosfatoidil inositol
yang normalnya terdapat pada sisi keadaan tidak bekerja. Factor VIII, suatu glikoprotein, bukan
merupakan precursor protease, tetapi kofaktor yang berfungsi sebagai resepto untuk factor IXa
dan X pada permukaan trombosit. Factor VIII diaktifkan oleh thrombin dengan jumlah yang
sangat kecil hingga terbentuk factor VIIIa, yang selanjutnya diinaktifkan oleh thrombin dalam
proses pemecahan lebih lanjut. ( Hoffbrand,2006)
Kaskade pembekuan darah jalur instrinsik terjadi kalau terdapat trauma jaringan sehingga
terdapat pelepasan faktor jaringan yang disebut juga tromboplastin jaringan. Faktor ini terutama
dibentuk oleh fosfolipid yang berasal dari membrane ditambah dengan kompleks lipoprotein
yang memiliki fungsi utama sebagai enzim proteolitik. Sedangkan pembekuan darah jalur
intrinsik dimulai dengan trauma di dalam darah sendiri yang menyebabkan aktivasi faktor XII
dan pelepasan fosfolipid trombosit. Selanjutnya terjadi pengaktivan jalur instrinsik. Kedua jalur
ini memiliki jalur bersama yang kemudian menyebabkan pembentukan thrombin dan benang-
benang fibrin.
45
Kaskade pembekuan darah, jalur intrinsik dan ekstrinsik serta jalur Bersama.
Proses konversi Fibrinogen menjadi Fibrin. Fibrinogen (factor 1, 340 kDa) merupakan
glikoprotein plasma yang bersifat dapat larut dan terdiri atas 3 pasang rantai polipeptida
nonidentik (Aα,Bβγ)2 yang dihubungkan secara kovalen oleh ikatan disulfida. Rantai Bβ dan y
mengandung oligosakarida kompleks yang terikat dengan asparagin. Ketiga rantai tersebut
keseluruhannya disintesis dihati: tiga structural yang terlibat berada pada kromosom yang sama
dan ekspresinya diatur secara terkoordinasi dalam tubuhmanusia. Region terminal amino pada
keenam rantai dipertahankan dengan jarak yangrapat oleh sejumlah ikatan disulfide, sementara
47
region terminal karboksil tampak terpisah sehingga menghasilkan molekol memanjang yang
sangat asimetrik. Bagian A dan B padarantai Aa dan Bβ, diberi nama difibrinopeptida A (FPA)
dan B (FPB), mempunyai ujung terminal amino pada rantainya masing-masing yang
mengandung muatan negative berlebihan sebagai akibat adanya residu aspartat serta glutamate
disamping tirosin O-sulfat yang tidak lazim dalam FPB. Muatannegatif ini turut memberikan
sifat dapat larut pada fibrinogen dalam plasma dan juga berfungsi untuk mencegah agregasi
denganmenimbulkan repulse elektrostatik antara molekul-molekul fibrinogen.
Thrombin(34kDa), yaitu protease serin yang dibentuk oleh kompleks protrobinase,
menghidrolisis4 ikatan Arg-Gly diantara molekul-molekul fibrinopeptida dan bagian α serta β
padarantai Aa dan Bβ fibrinogen. Pelepasan molekul fibrinopeptida oleh
thrombinmenghasilkan monomer fibrin yang memiliki struktur subunit (αβγ)2. Karena FPA
dan FPB masing-masing hanya mengandung 16 dan 14 residu, molekul fibrin akan
mempertahankan 98% residu yang terdapat dalam fibrinogen.
48
Jalur Pembekuan Darah
Sumber: Buku Fisiologi Manusia: Dari Sel ke Sistem, 2011.
G. Fibrinolisis
fibrinolisis merupakan mekanisme pecahnya benang fibrin (salah satu agen pembeku
darah yang diproduksi dalam darah sebagai produk akhir koagulasi). Darah juga
mengandungenzim fibrinolitik yang berguna mecegah pembentukan gumpalan atau pembekuan
darah pada area yang tidak terluka, sehingga tidak akan menghalangi aliran darah, dan juga
enzim ini akan menghancurkan fibrin bila luka telah sembuh. Trombosis merupakan
pembentukan gumpalan atau bekuan darah yang tidak normal, yang terjadi bila terdapat
gangguan pada jalur pembekuan darah dan pemecahan fibrin. Obat yang dapat mengaktifkan
kerja fibrinolisis dapat juga menyembuhkan penyakit seperti embolisme paru-paru, daninfark
myocardial yang disebabkan karena adanya gumpalan darah yang menghalangi aliran darah.
49
Mekanisme Fibrinolisis.
Mekanisme Fibrinolisis
50
MODUL VIII
Mutu adalah mendapatkan hasil yang benar secara langsung setiap saat dan tepat waktu,
menggunakan sumber daya yang efektif dan efisien. Ini penting dalam semua tahap proses
pemeriksaan laboratorium, mulai dari penerimaan sampel, pemeriksaan hingga pelaporan hasil
uji.
Jaminan mutu atau pemantapan mutu adalah suatu sistem manajemen yang dirancang
untuk mengawasi kegiatan-kegiatan pada seluruh tahap (desain produk, produksi, penyerahan
produk serta layanan), guna mencegah adanya masalah-masalah kualitas dan memastikan
bahwa hanya produk yang memenuhi syarat yang sampai ke tangan pelanggan.
Sebagai tenaga ATLM yang bertanggung jawab atas hasil pemeriksaan laboratorium
klinik, Anda harus menjamin bahwa hasil pemeriksaan laboratorium Anda valid dan dapat
digunakan oleh klinisi untuk mengambil keputusan klinis. Agar mendapatkan hasil
pemeriksaan laboratorium yang dapat dipercaya/ bermutu, maka setiap tahap pemeriksaan
laboratorium harus dikendalikan. Pengendalian pada setiap tahap ini ditujukan untuk
meminimalisir atau mencegah kesalahan-kesalahan yang terjadi di laboratorium. Kegiatan
pengendalian mutu secara terus menerus setiap hari untuk mendeteksi secara dini kesalahan
yang terjadi pada tiap tahapan sehingga diperoleh hasil pemeriksaan yang tepat dan teliti.
Kegiatan ini pada dasarnya adalah kegiatan pemantapan mutu yang bertujuan menghasilkan
pemeriksaan laboratorium yang bermutu. Secara garis besar pemantapan mutu terdiri dari
pemantapan mutu internal dan pemantapan mutu eksternal.
Ada tiga tahap pemantapan mutu internal (PMI) bidang hematologi yang dilakukan, yaitu:
1. Tahap Pra analitik
2. Tahap Analitik
3. Tahap Pasca analitik
Kegiatan ini dilaksanakan agar spesimen benar-benar representatif sesuai dengan keadaan
pasien, tidak terjadi kekeliruan jenis spesimen, dan mencegah tertukarnya spesimen-spesimen
pasien satu sama lainnya.
Tujuan pengendalian tahap pra analitik yaitu untuk menjamin bahwa spesimen-spesimen
yang diterima benar dan dari pasien yang benar pula serta memenuhi syarat yang telah
ditentukan.
Kesalahan yang terjadi pada tahap pra analitik adalah yang terbesar, yaitu dapat mencapai
60% - 70%. Hal ini dapat disebabkan dari spesimen yang diterima laboratorium tidak memenuhi
syarat yang ditentukan. Spesimen dari pasien dapat diibaratkan seperti bahan baku yang akan
diolah. Jika bahan baku tidak baik, tidak memenuhi persyaratan untuk pemeriksaan, maka akan
didapatkan hasil/ output pemeriksaan yang salah. Sehingga penting sekali untuk
mempersiapkan pasien sebelum melakukan pengambilan spesimen. Spesimen yang tidak
memenuhi syarat sebaiknya ditolak, dan dilakukan pengulangan pengambilan spesimen agar
tidak merugikan laboratorium.
B. TAHAP ANALITIK
Kegiatan laboratorium yang dilakukan pada tahap analitik meliputi:
1. Pemeriksaan spesimen
2. Pemeliharaan dan Kalibrasi alat
3. Uji kualitas reagen
4. Uji Ketelitian – Ketepatan (Qualty Control)
Tujuan pengendalian tahap analitik yaitu untuk menjamin bahwa hasil pemeriksaan
spesimen dari pasien dapat dipercaya/ valid, sehingga klinisi dapat menggunakan hasil
pemeriksaan laboratorium tersebut untuk menegakkan diagnosis terhadap pasiennya.
Walaupun tingkat kesalahan tahap analitik (sekitar 10% - 15%) tidak sebesar tahap pra
analitik, laboratorium tetap harus memperhatikan kegiatan pada tahap ini. Kegiatan tahap
analitik ini lebih mudah dikontrol atau dikendalikan dibandingkan tahap pra analitik, karena
semua kegiatannya berada dalam laboratorium. Sedangkan pada tahap pra analitik ada
hubungannya dengan pasien, yang kadang-kadang sulit untuk dikendalikan.
Laboratorium wajib melakukan pemeliharaan dan kalibrasi alat baik secara berkala atau
sesuai kebutuhan, agar dalam melaksanakan pemeriksaan spesimen pasien tidak mengalami
52
kendala atau gangguan yang berasal dari alat laboratorium. Kerusakan alat dapat menghambat
aktivitas laboratorium, sehingga dapat mengganggu performa/ penampilan laboratorium yang
pada akhirnya akan merugikan laboratorium itu sendiri.
Untuk mendapatkan mutu yang dipersyaratkan, laboratorium harus melakukan uji
ketelitian – ketepatan. Uji ketelitian disebut juga pemantapan presisi, dan dapat dijadikan
indikator adanya penyimpangan akibat kesalahan acak (random error). Uji ketepatan disebut
juga pemantapan akurasi, dan dapat digunakan untuk mengenali adanya kesalahan sistemik
(systemic error). Pelaksanaan uji ketelitian – ketepatan yaitu dengan menguji bahan kontrol
yang telah diketahui nilainya (assayed kontrol sera). Bila hasil pemeriksaan bahan kontrol
terletak dalam rentang nilai kontrol, maka hasil pemeriksaan terhadap spesimen pasien
dianggap layak dilaporkan.
Seperti pada tahap analitik, tingkat kesalahan tahap pasca analitik hanya sekitar 15% -
20%. Walaupun tingkat kesalahan ini lebih kecil jika dibandingkan kesalahan pada tahap pra
analitik, tetapi tetap memegang peranan yang penting. Kesalahan penulisan hasil pemeriksaan
pasien dapat membuat klinisi salah memberikan diagnosis terhadap pasiennya. Kesalahan
dalam menginterpretasikan dan melaporkan hasil pemeriksaan juga dapat berbahaya bagi
pasien.
Ketiga tahap kegiatan laboratorium ini sama-sama penting untuk dilaksanakan sebaik
mungkin, agar mendapatkan hasil pemeriksaan yang berkualitas tinggi, mempunyai ketelitian
dan ketepatan sehingga membantu klinisi dalam rangka menegakkan diagnosa, pengobatan atau
pemulihan kesehatan pasien yang ditanganinya.
Seperti kita ketahui bersama bahwa hematologi adalah salah satu bidang yang terdapat
dalam laboratorium klinik. Pemeriksaan hematologi menggunakan sampel darah manusia,
dengan tujuan ingin mengetahui jumlah,bentuk atau komponen yang terkandung dalam sel-sel
darah tersebut. Agar laboratorium hematologi dapat mengeluarkan hasil pemeriksaan yang
handal/realibel, maka harus dilakukan pemantapan mutu. Pemantapan mutu yang dilakukan
53
oleh laboratorium secara mandiri untuk menghasilkan pemeriksaan yang bermutu disebut
pemantapan mutu internal.
Sebagai tenaga ATLM yang bertanggung jawab akan hasil pemeriksaan laboratorium
hematologi, Anda harus memahami prosedur kerja pelaksanaan pemantapan mutu internal yang
meliputi pemeriksaan bahan kontrol, uji statistik dan evaluasi hasilnya. Oleh karena itu Anda
diharapkan mempunyai kompetensi dalam melakukan pemantapan mutu internal bidang
hematologi setelah mempelajari bab 9 ini.
Laboratorium hematologi telah mengalami revolusi teknologi setelah 20 tahun terakhir
dari metode manual berkembang menuju instrumen yang relatif sederhana sampai pada
instrumen multi-parameter yang kompleks. Meluasnya penggunaan analyzer darah lengkap
otomatis beserta perbaikan material kalibrator dan kontrol membawa dampak besar terhadap
efisiensi operasional laboratorium. Meskipun demikian, tetap diperlukan upaya untuk
mempertahankan akurasi dengan jalan mencegah atau memprediksi penyimpangan selama
pemakaian rutin. Upaya ini sekarang semakin mudah dilakukan dengan tersedianya berbagai
strategi dan perangkat statistik untuk membantu pelaksanaan program penjaminan mutu
(quality assurance/QA) dan kontrol kualitas (quality kontrol/QC) hematologi, yang bila
diterapkan secara teliti diharapkan hasil tes yang reliabel akan dapat dicapai.
Berbeda dengan kimia klinik, dimana pelaksanaan kontrol kualitas relarif telah mapan
dan berkembang luas, beberapa bahan kontrol kualitas bidang hematologi masih dihadapkan
pada masalah pada upaya standardisasi. Hal ini disebabkan sifat pengukuran dalam bidang
hematologi yang melibatkan komponen seluler yang hidup. Elemen-elemen dari pemeriksaan
darah lengkap (complete blood count/CBC) yang saat ini telah tersedia dan termasuk didalam
standar adalah pengukuran kadar hemoglobin, hematokrit, mean carpuscular volume (MCV),
hitung jumlah eritrosit (RBC), hitung jumlah trombosit (platelet count), dan hitung jumlah
leukosit (WBC). Idealnya material untuk kalibrasi dan QC sebaiknya berasal dari sumber yang
sama dan identik dengan bahan yang akan diperiksa. Darah segar mempunyai keterbatasan
dimana komponen-komponen sel darah akan mengalami kerusakan sesudah 24 jam.
54