Anda di halaman 1dari 53

TUGAS REMIDI MIKROBIOLOGI FARMASI

“ MODUL HEMATOLOGI I ”

Oleh :

MUHAMMAD RIZQY ALMASHURI

(18650215)

PROGRAM STUDI S1 FARMASI

UNIVERSITAS KADIRI

KEDIRI

2019
MODUL I

HEMOSTATIS

Hemostasis berasal dari kata haima yang berarti darah dan stasis yang berarti berhenti,
merupakan proses kompleks yang berlangsung secara terus menerus dalam mencegah
kehilangan darah secara spontan, serta menghentikan perdarahan akibat kerusakan sistem
pembuluh darah. Setiap kerusakan endotel pembuluh darah merupakan rangsangan yang poten
untuk pembentukan bekuan darah. Proses yang terjadi secara lokal berfungsi untuk menutup
kebocoran pembuluh darah,membatasi kehilangan darah yang berlebihan dan memberi
kesempatan untuk perbaikan pembuluh darah. Terdapat beberapa mekanisme kontrol dari
proses hemostasis antara lain sifat antikoagulan dari sel endotel normal,adanya inhibitor
faktorkoagulan aktif dalam sirkulasidan produksi enzim fibrinolitik untuk melarutkan bekuan
(Riddle,2007).

Gangguan hemostasis adalah suatu gangguan pada mekanisme dalam penghentian dan
pencegahan perdarahan. Jika terjadi luka pada pembuluh darah maka akan terjadi vasokontriksi
pembuluh darah, kemudian trombosit berkumpul dan melekat pada pembuluh darah yang luka
membentuk sumbat trombosit. Faktor koagulasi akan diaktifkan sehingga membentuk benang
fibrin yang membuat sumbat trombosit menjadi non permeable maka dari itu perdarahan dapat
dihentikan. Gangguan hemostasis terdiri dari BT, APTT, PT, TAT, D.Dimer.

Permeabilitas, fragilitas dan vasokonstriksi merupakan sifat yang dimiliki oleh


pembuluh darah. Peningkatan permeabilitas mengakibatkan keluarnya darah dari pembuluh
darah berupa peteki, purpuradan ekimosis yang besar. Peningkatan fragilitas pembuluh
darahmemungkinkan terjadinya rupturyang menimbulkan petekie, purpura (terutama pada kulit
dan mukosa), ekimosis yang besarserta perdarahan hebat pada jaringan yang lebih
dalam.Vasokonstriksi dapat mengakibatkan obstruksi yang bersifat parsial maupun total,
iskemiadan akhirnya berbentuk trombus. Vasokonstriksi ini bersifat dibawah kontrol lokal
(suhu, pH, pCO2), neural (saraf simpatis) dan humoral. Factor humoral yang mengendalikan
vasokonstriksi terutama substansi yang dilepas oleh trombosit seperti epinefrin, norepinefrin,
ADP (adenosine difosfat), kinin dan tromboksan. Produksi degradasi fibrin yang dilepas
sewaktu system fibrinolysis bekerja pada fibrin dapat memodulasi vasokonstriksi
(suharti,2009).

3
Trombosit dalam proses hemostasis berperan sebagai penambal kebocoran dalam
system sirkulasi dengan membentuk sumbat trombosit pada daerah yang mengalami kerusakan.
Trombosit bukanlah sel lengkap tetapi fragmen kecil sel yang dilepaskan dari tepiluar sel
sumsum tulang yang sangat besar yang dikenal sebagai megakariosit. Satu megakariosit
biasanya memproduksi sekitar 1000 trombosit. Megakariosit berasal dari sel punca tak
berdiferensiasi yang sama dengan yang menghasilkan turunan eritrosit dan leukosit. Trombosit
pada hakikatnya adalah vesikel yang terlepas yang mengandung sebagian sitoplasma
megakariosit terbungkus dalam membrane plasma (sherwood,2009).

Agar dapat membentuk sumbat trombosit maka trombosit harus mengalami beberapa
tahap reaksi yaitu aktivasi trombosit, adhesi trombosit pada daerah yang mengalami kerusakan,
aggregasi trombosit dan reaksi granulasi. Trombosit akan teraktivasi jika terpapar dengan
berbagai protein koagulan yang dihasilkan oleh sel endotel yang rusak. Adhesi trombosit pada
jaringan ikat subendotel terjadi melalui interaksi antara reseptor glikoprotein membrane
trombosit dengan protein subendotel terutama faktor von willebrand sedangkan aggregasi
trombosit terjadi melalui interaksi antar reseptor trombosit dengan fibrinogen sebagai mediator.
Degranulasi trombositakan melepaskan berbagai senyawa yang terdapat dalam granul
sitoplasma trombosit) serotonin, katekolamin, histamine, ADP, ATP, siklik AMP, ion kalsium
dan kalium, faktor trombosit 3 dan 4, B-tromboglobulin, PDGF, plasminogen, fibrinogen,
protein plasma, tromboksan A2). Senyawa-senyawa ini akan menstimulasi aktivasi dan
aggregasi trombosit lebih lanjut hingga menghasilkan sumbat trombosit yang stabil,
mengaktifkan membrane fosfolipid dan memfasilitasi pembentukan komplek protein koagulasi
yang terjadi secara berurutan (Oesman,2007).

Proses Koagulasi

4
Seperti pada gambar proses pembekuan darah terdiri dari serangkaian reaksi enzimatik
yang melibatkan protein plasma yang disebut sebagai faktor pembekuan darah, fosfolipid dan
ion kalsium. Faktor pembekuan beredar dalam darah sebagai prekursor yang akan diubah
menjadi enzim bila diaktifkan. Enzim ini akan mengubah prekursor selanjutnya menjadi enzim.
Jadi mula-mula faktor pembekuan darah bertindak sebagai substrat dan kemudian sebagai
enzim. Proses pembekuan darah dimulai melaluidua jalur yaitu jalur intrinsikyang dicetuskan
oleh adanya kontak faktor pembekuan dengan permukaan asing yang bermuatan negative dan
melibatkan faktor XII, faktor XI, faktor IX, faktor VIII, high molecular eight kininogen (HMK),
pre kalikrein (PK) dan ion kalsiumserta jalur ekstrinsik yang dicetuskan oleh tromboplastin
jaringan dan melibatkan faktor VII, ion kalsium. Rangkaian reaksi koagulasi ini akan
membentuk thrombin dan mengubah fibrinogen menjadi benang-benang fibrin yang tidak larut.
Fibrin sebagai hasil akhir dari proses pembekuan darah akan menstabilkan sumbatan trombosit
(Riddle,2007).
Pembekuan darah merupakan proses autokatalitik dimana sejumlah kecil enzim yang
terbentuk pada tiap reaksi akanmenimbulkan enzim dalam jumlah besar pada reaksi
selanjutnya. Oleh karena itu perlu ada mekanisme kontrol untuk mencegah aktivasi dan
pemakaian faktor pembekuan darah secara berlebihan yaitu melalui aliran darah, mekanisme
pembersihan seluler dan inhibitor alamiah. Aliran darah akan menghilangkan dan
mengencerkan faktor pembekuan darah yang aktif dari tempat luka yang selanjutnya faktor
pembekuan darah yang aktif ini akan dibersihkan dari sirkulasi darah oleh hati. Dalam keadaan
normal plasma darah mengandung sejumlah protein yang dapat menghambat enzim proteolitik
yang disebut sebagai inhibitor seperti antitrombin alfa 2 makroglobulin, alfa 1 antitripsin, C1
esterasi inhibitor, protein C, protein S. inhibitor ini berfungsi untuk membatasi reaksi koagulasi
agar tidak berlangsung secara berlebihan sehingga pembentukan fibrin hanya terbatas disekitar
daerah yang mengalami cedera. Antitrombin akan menghambat aktivitas faktor XIIa, faktor
XIa, faktor Xa, faktor IXa, faktor VIIa, plasmin dan kalikrein. Protein C yang diaktifkan oleh
thrombin dengan kofaktor trombomodulin akan memecah F.Va dan faktor VIIIa menjadi
bentuk yang tidak aktif dengan adanya kofaktor protein S. Alfa 1 antitripsin akan berperan
dalam menginaktifkan thrombin, faktor XIa, kalikrein dan HMK. C1 inhibitor akan
menghambat komponen pertama dari sistem komplemen, faktor XIIa, faktor Xia dan kalikrein
(Oesman,2007).
Untuk membatasi dan selanjutnya mengeliminasi bekuan darah maka sistem fibrinolisis
mulai bekerja sesaat setelah terbentuknya bekuanfibrin. Deposisi fibrin akan merangsang
aktivasi plasminogen menjadi plasmin oleh aktivator plasminogen seperti tissue plasminogen
activator(t-PA), urokinase plasminogen activator(u-PA), faktor XIIa dan kalikrein. Plasmin
5
yang terbentuk akan memecah fibrinogen dan fibrin menjadi fibrinogen degradation product
(FDP). Dengan proses ini fibrin yang tidak diperlukan dilarutkan sehingga hambatan terhadap
aliran darah dapat dicegah. Untuk menghindari terjadinya aktivitas fibrinolysis yang
berlebihan, tubuh mempunyai mekanisme control berupa inhibitor activator plasminogen (PAI-
1) yang akan menginaktivasi t-PA maupun u-PAdan alfa 2 antiplasmin yang akan menetralkan
aktivitas plasmin yang masuk sirkulasi (Tambunan,2006). Proses hemostasis yang berlangsung
untuk memperbaiki kerusakan pada pembuluh darah dapat dibagi atas beberapa tahapan, yaitu
hemostasis primer yang dimulai dengan aktivasi trombosit hinggaterbentuknya sumbat
trombosit (Spronk,2004). Hemostasis sekunder dimulai dengan aktivasi koagulasi hingga
terbentuknya bekuan fibrin yang menggantikan sumbat trombosit. Hemostasis tertier dimulai
dengan diaktifkannya sistem fibrinolysis hingga pembentukan kembali tempat yang luka
setelah perdarahan berhenti (Sukrisman,2006).

6
MODUL II

KOMPONEN DARAH DAN JENIS PEMERIKSAAN LAB TERKAIT KOMPONEN


DARAH

Darah adalah cairan berwarna merah, yang terdapat dalam tubuh orang dewasa yang
volumenya kurang lebih 5 liter. Darah mengalir ke seluruh tubuh melalui pembuluh arteri dan
vena, fungsinya adalah mengantarkan oksigen dan sari makanan ke sel-sel yang membutuhkan.
Darah terdiri atas beberapa jenis korpuskula yang membentuk 45% bagian dari darah. Bagian
55% yang lain berupa cairan kekuningan yang membentuk medium cairan darah yang disebut
plasma darah.
Darah manusia adalah cairan jaringan tubuh, yang terdiri atas komponen korpuskula
(45%) dan komponen plasma (55%). Fungsi utamanya adalah mengangkut oksigen yang
diperlukan oleh sel-sel di seluruh tubuh. Darah juga menyuplai jaringan tubuh dengan nutrisi,
mengangkut zat-zat sisa metabolisme, dan mengandung berbagai bahan penyusun sistem imun
yang bertujuan mempertahankan tubuh dari berbagai penyakit. Hormon-hormon dari sistem
endokrin juga diedarkan melalui darah. Bagi tenaga kesehatan, darah merupakan sumber
informasi yang tak terhingga nilainya untuk mengetahui kondisi kesehatan seseorang.
Darah bukan sekadar cairan yang mengalir ke seluruh tubuh, tapi merupakan media
pembawa nutrisi dan oksigen penting yang dibutuhkan sel dan jaringan. Darah membawa
produk-produk limbah kembali ke sistem eksresi untuk proses pembuangan. Itu sebabnya
pemeriksaan darah banyak dilakukan untuk diagnosis penyakit.
Beberapa pemeriksaan yang paling sering dilakukan pada darah adalah pemerikasaan
darah lengkap dan analisis elektrolit plasma. Analisis elektrolit plasma dilakukan dengan
pengukuran terhadap natrium, klorida, kalium dan bikarbonat, juga kalsium, magnesium dan
fosfat. Pemeriksaan lainnya mengukur jumlah protein (biasanya albumin), gula (glukosa) dan
bahan limbah racun yang secara normal disaring oleh ginjal (kretinin dan urea-nitrogen darah).
Sebagian besar pemeriksaan darah lainya membantu memantau fungsi organ lainnya.
Karena darah membawa sekian banyak bahan yang penting untuk fungsi tubuh, pemeriksaan
darah bisa digunakan untuk mengetahui apa yang terjadi di dalam tubuh. Selain itu,
pemeriksaan darah relatif mudah dilakukan. Misalnya, dengan pengukuran enzim-enzim hati
dan protein dalam darah lebih mudah dilakukan dibandingkan dengan mengambil contoh hati.
Walaupun demikian, dalam dunia medis pemeriksaan darah di laboratorium tersebut
dikategorikan sebagai pemeriksaan penunjang, bukan patokan utama. Yang harus diutamakan

7
adalah pemeriksaan kondisi fisik pasien itu sendiri, hasil laboratorium pemeriksaan darah hanya
untuk membantu diagnose.

Bagaimana Pemeriksaan Darah Dilakukan ?

Darah diambil lewat tusukan jari atau pembuluh darah di lengan menggunakan jarum.
Kemudian sampel darah dimasukkan ke dalam botol kecil khusus dan dibawa ke laboratorium.
Sampel darah diperiksa di bawah mikroskop atau diuji dengan bahan kimia, tergantung pada
jenis dan tujuan pemeriksaan. Prosedur pengambilan darah berlangsung sekitar 5-10 menit.

Komponen darah yang diperiksa tergantung pada tujuan pemeriksaan. Apabila


dilakukan secara menyeluruh, dikenal dengan tes hitung darah lengkap. Lantas, apa saja
komponen yang dicek saat pemeriksaan darah ?

1. Sel Darah Merah, Hemoglobin, dan Hematokrit

Hasil pemeriksaan sel darah merah (eritrosit), hemoglobin, dan hematokrit yang rendah
bisa menjadi tanda anemia. Kondisi ini disebabkan oleh banyak faktor, seperti rendahnya
asupan vitamin dan zat besi atau kehilangan darah karena kondisi medis tertentu. Sedangkan
hasil pemeriksaan sel darah merah, hemoglobin, dan hematokrit yang tinggi bisa menjadi tanda
polisitemia vera atau penyakit jantung.

2. Sel Darah Putih

Sel darah putih (leukosit) rendah bisa menjadi tanda leukopenia. Kondisi ini terjadi
karena penyakit autoimun, masalah sumsum tulang, hingga kanker. Konsumsi obat-obatan
tertentu bisa menurunkan kadar sel darah putih dalam tubuh. Sedangkan sel darah putih tinggi
bisa menjadi tanda infeksi, peradangan, gangguan sistem kekebalan, penyakit sumsum tulang,
dan efek samping obat-obatan.

3. Keping Darah (Trombosit)

Kadar trombosit (keping darah) rendah menandakan trombositopenia, sedangkan kadar


trombosit tinggi menandakan trombositosis. Diperlukan pemeriksaan penunjang untuk
mendiagnosis penyebab rendah atau tingginya kadar trombosit dalam tubuh.

8
Apakah Hasil Tes Darah Akurat?

Hasil tes darah umumnya akurat, tapi bukan tes diagnostik yang pasti. Maksudnya, tindak lanjut
tes darah tergantung pada kondisi medis yang dialami. Misalnya pada kondisi sehat atau tidak
ada gejala penyakit, hasil tes darah lebih rendah atau lebih tinggi dibandingkan normal tidak
perlu dikhawatirkan. Jika kamu sedang menjalani pengobatan kanker, hasil tes hitung darah
lengkap di luar batas normal bisa menjadi pertimbangan dokter mengubah rencana perawatan.
Pada kasus tertentu, dokter dapat merujuk kamu ke dokter spesialis gangguan darah
(hematologis).

9
MODUL III

PEMERIKSAAN PENDARAHAN DAN PEMBEKUAN

Pemeriksaan koagulasi mencakup pemeriksaan fungsi pembekuan darah, (apakah


faktor-faktor pembekuan darah cukup), atau sudah sesuai dengan pengobatan yang diberikan
oleh dokter. Pemeriksaan ini penting untuk memonitor bila ada pendarahan atau untuk
memonitor pengobatan dengan obat-obatan pengencer darah.

Skrining koagulasi dilakukan untuk mengetahui adanya kelainan pendarahan yang


terjadi dalam tubuh manusia. Adanya kelainan perdarahan ditandai dengan kecenderungan
untuk mudah mengalami perdarahan, yang bisa terjadi akibat kelainan pada pembuluh darah
maupun kelainan pada darah. Kelainan yang terjadi bisa ditemukan pada faktor pembekuan
darah dan trombosit. Dalam keadaan normal, darah terdapat di dalam pembuluh darah (arteri,
kapiler dan vena). Jika terjadi perdarahan, darah keluar dari pembuluh darah tersebut, baik ke
dalam maupun ke luar tubuh. Sehingga tubuh mencegah atau mengendalikan perdarahan
melalui beberapa cara (homeostatis).

Homeostatis adalah cara tubuh untuk mengentikan perdarahan pada pembuluh darah
yang mengalami cedera. Hal ini melibatkan 3 proses utama:

1. konstriksi (pengkerutan) pembuluh darah


2. aktivitas trombosit (partikel berbentuk seperti sel yang tidak teratur, yang terdapat di
dalam darah dan ikut serta dalam proses pembekuan)
3. aktivitas faktor-faktor pembekuan darah (protein yang terlarut dalam plasma). Kelainan
pada proses ini bisa menyebabkan perdarahan atau pembekuan yang berlebihan, dan
keduanya bisa berakibat fatal.

Salah satu komponen elemen darah adalah trombosit atau keeping-keping darah yang
memiliki peran dalam proses penjendalan (koagulasi) darah. Proses koagulasi darah
dimaksudkan agar apabila terjadi kerusakan pembuluh darah, maka tidak terjadi kehilangan
darah yang sebanyak-banyaknya.

Pada kondisi tertentu seperti: hemofilia dapat terjadi kelainan atau gangguan koagulasi
darah sehingga darah sukar menjendal dan akibatnya tubuh dapat kehilangan darah. Untuk itu,
pemeriksaan koagulasi sangat diperlukan.

10
Pemeriksaan atau Skrining Koagulasi antara lain :

1. Pemeriksaan Rumple Leed

2. Jumlah Trombosit

3. Waktu Pendarahan

4. Waktu Pembekuan

5. Retraksi Bekuan & Konsistensi Bekuan

6. Lysis bekuan

7. PPT

8. APPT

Pemeriksaan Rumple Leed bertujuan untuk mendeteksi kelainan system vaskuler dan
trombosit. Metode yang biasa digunakan adalah DUKE atau metode IVY.

11
MODUL IV

Pemeriksaan Bleeding Time (Ivy, Duke), Clothing Time (Lee & White, Metode
Kapiler) PT / APTT

Darah terdiri atas dua komponen utama yaitu plasma darah yang merupakan bagian cair
darah yang sebagian besar terdiri atas air, elektrolit dan protein darah, sedangkankan butir darah
terdiri atas eritrosit, leukosit dan trombosit.

Komponen penyusun darah ada 2 yaitu bagian yaitu :

1. Plasma darah
mempunyai fungsi pengangkut gas dan sari makanan disamping itu plasma darah juga
mengandung fibrinogen yang berfungsi dalam pembekuan darah. Plasma darah merupakan
bagian yang cair dari darah yang mempunyai atau terdiri dari air (91-92%), protein 8-9%,
substansi lain selain protein seperti garam amonium urea, asam urat, kreatinin, kreatin, asam
amino, santin, dan hiposantin. Darah beredar dalam pembuluh darah arteri,vena,dan kapiler.

2. Sel darah
adalah merupakan 45% volume darah. Sel darah terdiri atas sel darah merah (eritrosit), sel darah
putih (leukosit), dan keping darah (trombosit) (Pearce, 2004).

 Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan bleeding time ?


2. Apa yang dimaksud dengan clotting time ?
3. Apa saja metode yang digunakan untuk pemeriksaan Bleeding Time (BT) dan
berapa nilai normalnya ?
4. Apa saja metode yang digunakan untuk pemeriksaan Clotting time (CT) dan berapa
nilai normalnya ?
5. Apa saja faktor - faktor yang mempengaruhi pembekuan darah ?

12
A. Pengertian Bleeding Time (BT)
Bleeding time adalah proses terjadinya perdarahan berkepanjangan setelah trauma
superfisial yang terkontrol, merupakan petunjuk bahwa ada defisiensi trombosit. Masa
perdarahan memanjang pada kedaan trombositopenia (<100.000/mm3 ada yang mengatakan <
75.000 mm3), penyakit Von Willbrand, sebagian besar kelainan fungsi trombosit dan setelah
minum obat aspirin (Tjokronegoro, 1992).
Pembuluh kapiler yang tertusuk akan mengeluarkan darah sampai luka itu tersumbat oleh
trombosit yang menggumpal. Bila darah keluar dan menutupi luka , terjadilah pembekuan dan
fibrin yang terbentuk akan mencegah perdarahan yang lebih lanjut . Pada tes ini darah yang
keluar harus dihapus secara perlahan-lahan sedemikian rupa sehingga tidak merusak trombosit.
Setelah trombosit menumpuk pada luka, perdarahan berkurang dan tetesan darah makin lama
makin kecil (Tjokronegoro, 1992).

B. Pengertian Clotting Time (CT)


Clotting Time adalah waktu yang di perlukan darah untuk membeku atau waktu yang di
perlukan saat pengambilan darah sampai saat terjadinya pembekuan. Hal ini menunjukkan
seberapa baik platelet berinteraksi dengan dinding pembuluh darah untuk membentuk
pembekuan darah. Trombin waktu membandingkan tingkat pasien pembentukan gumpalan
dengan sampel dari normal plasma dikumpulkan. Trombin yang ditambahkan pada sampel
plasma. Jika plasma tidak segera membeku, itu berarti kekurangan (fibrinogen kuantitatif) atau
cacat kualitatif (fibrinogen disfungsional). Reptilase memiliki tindakan yang mirip dengan
trombin tetapi tidak seperti trombin tidak dihambat oleh heparin. Trombin waktu dapat
diperpanjang oleh: heparin, produk degradasi fibrin, antikoagulan lupus (Pramudianti, 2011)

Dalam bidang tes koagulasi, Clotting time adalah salah satu yang paling prosedural
sederhana. Setelah membebaskan plasma dari seluruh darah dengan sentrifugasi, Trombin yang
ditambahkan pada sampel plasma. bekuan ini terbentuk dan terdeteksi optikal atau mekanis
dengan alat koagulasi. Waktu antara penambahan trombin dan pembentukan gumpalan dicatat
sebagai Clotting time (Pramudianti, 2011).

a. Metode Pemeriksaan Bleeding Time (BT)


1) Metode Ivy
Metode Ivy adalah format tradisional untuk tes ini. Dalam metode Ivy, tekanan
darah manset ditempatkan di lengan atas dan meningkat sampai 40 mmHg. Sebuah
pisau bedah atau pisau bedah yang digunakan untuk melakukan tusukan luka di

13
bagian lengan bawah. Perangkat, pisau otomatis pegas paling umum digunakan
untuk membuat potongan berukuran standar. Kawasan ditikam dipilih sehingga
tidak ada vena superfisialis. Ini pembuluh darah, karena ukuran mereka, mungkin
kali pendarahan lagi, terutama pada orang dengan pendarahan cacat. Waktu dari
ketika luka menusuk dibuat sampai pendarahan semua telah berhenti diukur dan
disebut waktu perdarahan (Bleeding Time). Setiap 30 detik, handuk kertas
digunakan untuk membersihkan dari darah. Tes ini selesai ketika pendarahan telah
berhenti sepenuhnya. Nilai Normal untuk metode ini adalah 1 – 6 menit (Hoffbrand,
2013).
2) Metode Duke
Untuk metode Duke, dibuat di kuping telinga atau ujung jari yang ditusuk untuk
menyebabkan perdarahan. Seperti dalam metode Ivy, tes ini waktunya dari awal
pendarahan sampai pendarahan benar-benar berhenti. Kerugian dengan metoda
Duke adalah bahwa tekanan pada vena darah di daerah menusuk tidak konstan dan
hasil yang dicapai kurang dapat diandalkan. Keuntungan dengan metode Duke
adalah bahwa bekas luka tidak tetap setelah ujian. Metode lain dapat menyebabkan
bekas luka, garis rambut kecil di mana luka tersebut dibuat. Namun, ini adalah
sebagian besar perhatian kosmetik. Daerah yang akan ditusuk harus dibersihkan
dengan alkohol. Alkohol harus ditinggalkan dikulit cukup lama untuk membunuh
bakteri pada tempat luka. Alkohol harus dikeluarkan sebelum menusuk lengan
karena alkohol akan berdampak buruk hasil tes oleh pembekuan menghambat. Nilai
Normal untuk metode ini adalah 1- 3 (Hoffbrand, 2013).

b. Metode Pemeriksaan Clotting Time


1) Metode Duke
Pada metode ini menggunakan darah kapiler yang dimasukkan kedalam
tabung kapiler hingga terisi penuh. Setiap 30 detik sekali dilakukan pematahan pada
tabung kapiler per 1 cm. Petahan ini dihentikan jika terjadi pembekuan darah
dimana hal tersebut ditandai dengan terbentuk nya benang fibrin pada pematan
terakhir. Pada metode ini Nilai normalnya adalah 6 menit (Sutedjo, 2006).

2) Metode Objek Glass


Cara ini sangat kasar dan hanya boleh dipakai dalam keadaan darurat jika cara
tabung atau cara dengan kapiler tidak dapat dilakukan. Cara ini menggunakan darah
yang diteteskan pada object glass yang kering dan bersih sebanyak 2 tetesan besar

14
berdiameter 5 mm secara terpisah dan setiap 30 detik darah diangkat menggunakan
lidi dan dicatat waktu saat terlihat adanya benang fibrin, setelah itu dilakukan hal
yang sama pada tetesan yang kedua secara bersamaan. Kemudian hentikan
stopwatch setelah terlihat adanya benang fibrin pada tetesan kedua. Waktu
pembekuan adalah saat adanya benang fibrin dalam tetes darah yang kedua
terhitung mulai dari darah masuk ke semprit, nilai normal untuk metode slide adalah
2-6 menit. Sumber kesalahan terjadi pada pencampuran darah dengan
tromboplastin jaringan yang meliputi pungsi vena yang tidak berhasil baik, busa
dalam semprit, object glass yang basah dan kotor, serta pemakaian obat yang dapat
mempengaruhi hasil (Gandasoebrata, 2001).

3) Metode Tabung reaksi


Metode tabung menggunakan 4 tabung masing-masing terisi 1 ml darah
lengkap, kemudian tabung perlahan-lahan dimiringkan setiap 30 detik supaya darah
bersentuhan dengan dinding tabung sekaligus melihat sudah terjadinya gumpalan
padat (Sacher dan McPherson, 2000). Masa pembekuan darah itu ialah masa
pembekuan rata-rata dari tabung kedua, ketiga dan keempat. Masa pembekuan itu
dilaporkan dengan dibulatkan sampai setengah menit. Nilai normal untuk metode
tabung (modifikasi Lee dan White) adalah 6 –12 menit (Gandasoebrata, 2001).
Pemeriksaan waktu pembekuan saat ini jarang dilakukan, dan telah
digantikan dengan aPTT. Sensitivitas PT dan aPTT dengan adanya defisiensi faktor
pembekuan tergantung cara pemeriksaan dan derajat pemanjangan, serta adanya
defisiensi faktor pembekuan dapat berbeda bermakna antar reagen. Sumber
kesalahan pencampuran darah dengan tromboplastin jaringan meliputi pungsi vena
yang tidak berhasil baik, busa dalam semprit atau 5 tabung, menggoyang-
goyangkan tabung yang tidak sedang diperiksa, semprit atau tabung kotor, serta
pemakaian obat yang mempengaruhi hasil. Semakin lebar tabung, semakin lama
waktu pembekuan (Pramudianti, 2011).
Penetapan masa pembekuan dengan menggunakan darah lengkap sebenarnya
satu tes yang kasar, membutuhkan waktu yang lama, ketelitian yang buruk dan
sensitif hanya pada defisiensi faktor pembekuan yang berat, tapi diantara tes-tes
yang mengggunakan darah lengkap cara ini dianggap yang terbaik (Gandasoebrata,
2001).

15
C. Faktor – Faktor yang mempengaruhi Pembekuan Darah
Menurut (Pramudianti, 2011) faktor – faktor yang mempengaruhi Pembekuan darah ada
13 faktor yaitu :
1. Faktor I
Fibrinogen: sebuah faktor koagulasi yang tinggi berat molekul protein plasma dan
diubah menjadi fibrin melalui aksi trombin. Kekurangan faktor ini menyebabkan masalah
pembekuan darah afibrinogenemia atau hypofibrinogenemia.

2. Faktor II
Prothrombin: sebuah faktor koagulasi yang merupakan protein plasma dan diubah
menjadi bentuk aktif trombin (faktor IIa) oleh pembelahan dengan mengaktifkan faktor
X (Xa) di jalur umum dari pembekuan. Fibrinogen trombin kemudian memotong ke
bentuk aktif fibrin. Kekurangan faktor menyebabkan hypoprothrombinemia.

3. Faktor III
Jaringan Tromboplastin: koagulasi faktor yang berasal dari beberapa sumber yang
berbeda dalam tubuh, seperti otak dan paru-paru; Jaringan Tromboplastin penting dalam
pembentukan prothrombin ekstrinsik yang mengkonversi prinsip di Jalur koagulasi
ekstrinsik. Disebut juga faktor jaringan.

4. Faktor IV
Kalsium : Sebuah faktor koagulasi yang diperlukan dalam fase pembekuan darah.

5. Faktor V
Proaccelerin: sebuah faktor koagulasi penyimpanan yang relatif labil dan panas, yang
hadir dalam plasma, tetapi tidak dalam serum, dan fungsi baik di intrinsik dan ekstrinsik
koagulasi jalur. Proaccelerin mengkatalisis pembelahan prothrombin trombin yang aktif.
Kekurangan faktor ini, sifat resesif autosomal, mengarah pada kecenderungan berdarah
yang langka yang disebut parahemophilia, dengan berbagai derajat keparahan.
Disebut juga akselerator globulin.

6. Faktor VI
Sebuah faktor koagulasi sebelumnya dianggap suatu bentuk aktif faktor V, tetapi tidak
lagi dianggap dalam skema hemostasis.

7. Faktor VII
Proconvertin : sebuah faktor koagulasi penyimpanan yang relatif stabildan panas dan
berpartisipasi dalam Jalur koagulasi ekstrinsik. Hal ini diaktifkan oleh kontak dengan
16
kalsium, dan bersama dengan mengaktifkan faktor III itu faktor X. Defisiensi faktor
Proconvertin, yang mungkin herediter (autosomal resesif) atau diperoleh (yang
berhubungan dengan kekurangan vitamin K), hasil dalam kecenderungan perdarahan.
Disebut juga serum prothrombin konversi faktor akselerator dan stabil.

8. Faktor VIII
Antihemophilic faktor, sebuah faktor koagulasi penyimpanan yang relatif labil dan
berpartisipasi dalam jalur intrinsik dari koagulasi, bertindak (dalam konser dengan faktor
von Willebrand) sebagai kofaktor dalam aktivasi faktor X. Defisiensi, sebuah resesif
terkait-X sifat, penyebab hemofilia A. Disebut juga antihemophilic globulin dan faktor
antihemophilic A.

9. Faktor IX
Tromboplastin Plasma komponen, sebuah faktor koagulasi penyimpanan yang relatif
stabil dan terlibat dalam jalur intrinsik dari pembekuan. Setelah aktivasi, diaktifkan
Defisiensi faktor X. hasil di hemofilia B. Disebut juga faktor Natal dan faktor
antihemophilic B.

10. Faktor X
Stuart faktor, sebuah faktor koagulasi penyimpanan yang relatif stabil dan
berpartisipasi dalam baik intrinsik dan ekstrinsik jalur koagulasi, menyatukan mereka
untuk memulai jalur umum dari pembekuan. Setelah diaktifkan, membentuk kompleks
dengan kalsium, fosfolipid, dan faktor V, yang disebut prothrombinase; hal ini dapat
membelah dan mengaktifkan prothrombin untuk trombin. Kekurangan faktor ini dapat
menyebabkan gangguan koagulasi sistemik. Disebut juga Prower Stuart-faktor. Bentuk
yang diaktifkan disebut juga thrombokinase.

11. Faktor XI
Tromboplastin plasma yg di atas, faktor koagulasi yang stabil yang terlibat dalam jalur
intrinsik dari koagulasi; sekali diaktifkan, itu mengaktifkan faktor IX. Lihat juga
kekurangan faktor XI. Disebut juga faktor antihemophilic C.

12. Faktor XII


Hageman faktor: faktor koagulasi yang stabil yang diaktifkan oleh kontak dengan kaca
atau permukaan asing lainnya dan memulai jalur intrinsik dari koagulasi dengan
mengaktifkan faktor XI. Kekurangan faktor ini menghasilkan kecenderungan trombosis.

17
13. Faktor XIII
Fibrin-faktor yang menstabilkan, sebuah faktor koagulasi yang merubah fibrin
monomer untuk polimer sehingga mereka menjadi stabil dan tidak larut dalam urea, fibrin
yang memungkinkan untuk membentuk pembekuan darah. Kekurangan faktor ini
memberikan kecenderungan seseorang hemorrhagic. Disebut juga fibrinase dan
protransglutaminase. Bentuk yang diaktifkan juga disebut transglutaminase.

18
MODUL V

PEMERIKSAAN AGREGASI TROMBOSIT DAN RETRAKSI BEKUAN

A. PRINSIP PEMERIKSAAN AGREGASI TROMBOSIT


Pemeriksaan agregasi tombosit dilakukan menggunakan metoda turbidimetrik menurut
Born yang didasarkan pada perubahan transmisi cahaya. Sebelum penambahan platelet agonist
(agregator), transmisi cahaya yang melalui PRP rendah karena trombosit masih tersuspensi
dalam PRP. Setelah penambahan agonist maka trombosit akan mengalami agregasi kemudian
agregat trombosit akan mengendap, sehingga plasma menjadi jernih dan akhirnya transmisi
cahaya meningkat.

B. TUJUAN PEMERIKSAAN AGREGASI TROMBOSIT


Untuk mendeteksi abnormalitas fungsi trombosit

C. ALAT PEMERIKSAAN AGREGASI TROMBOSIT


Pada modul ini diinformasikan pemeriksaan aggregasi trombosit menggunakan alat
Chrono-log. Alat yang digunakan pada pemeriksaan ini antara lain : Agregometer Chrono-Log
model 490, kuvet dan stir bar,Tabung sitrat berisi 1 mL Na-sitrat 3,2%, Sentrifuge swing rotor,
Pipet volumetrik 5 mL, Cup Eppendorf 500 mL, mikropipet 500 μL, mikropipet adjustable 10-
100 mL, Stopwatch.
Reagensia yang dipergunakan adalah larutan salin (NaCl 0,9%) steril non pirogen
dengan osmolaritas 308 mOsm/L (Otsuka), Reagen komersial yang mengandung 2,5 mg ADP
lyophilized (Chrono-Par & Chrono-Lume) yang dilarutkan dengan 5 mL larutan saline sehingga
konsentrasinya menjadi 10 mM, kemudian dibagi masing-masing berisi 40 mL larutan ADP
pada cup Eppendorf.

Agregometer Chrono-Log.

19
D. PROSEDUR PEMERIKSAAN AGREGASI TROMBOSIT

1. Pembuatan Platelet Rich Plasma (RPP) dan Platelet poor Plasma (PPP) Sebanyak
9,0 ml darah dimasukkan kedalam tabung sitrat yang berisi 1 mL Na sitrat 3.2%.
Pembuatan PRP dilakukan dengan mensentrifugasi darah dengan kecepatan 1000 rpm
selama 15 menit atau 100 g selama 15 menit. Plasma yang diperoleh adalah PRP,
kemudian dipindahkan ke dalam tabung plastik. Jumlah trombosit PRP harus 200.000-
300.000/ μL. Jika jumlah trombosit <100.000/μL sulit untuk melakukan setting optical
baseline.
Sisa darah dalam tabung sitrat yang telah dipisahkan PRPnya, disentrifus lagi 3500 rpm
selama 15 menit atau 2400 g selama 20 menit. Plasma yang diperoleh adalah PPP.
Kemudian dimasukkan 500 μL kedalam kuvet pemeriksaan.
Pemeriksaan
a. Nyalakan alat, tunggu sampai suhu incubation wells pada alat mencapai suhu
370C. Nyalakan komputer, ketik data pasien.

b. Siapkan PRP dan PPP. Masukkan 5 kuvet kedalam lubang incubation wells, 4
kuvet diisi dengan PRP sebanyak 500 μL dan 1 kuvet sebagai blanko diisi
dengan PPP sebanyak 500 μL.

c. 4 kuvet yang berisi 500 μL PRP dimasukkan sebutir magnet yang berfungsi
sebagai pengaduk.

d. Kelima kuvet tersebut diinkubasi selama 3 menit pada suhu 370C.

e. Satu kuvet yang berisi PPP dan stir bar dipindahkan ke lubang optical chamber,
kemudian PPP set switch ditekan ke angka 1.

f. 4 kuvet yang berisi PRP secara berurutan dimasukkan ke lubang optical chamber
PRP kemudian tombol stirrer dijalankan.

g. Inkubasi kelima kuvet tersebut selama 3 menit pada suhu 370C.

h. Buat garis baseline untuk menentukan batas atas dan bawah pada trace 1,2,3 dan
4 pada agregometer.

i. Siapkan reagen ADP kemudian masukkan larutan ADP berbagai konsentrasi


sebagai berikut :

20
Tabung PRP 500 μL (Trace 1) ADP, Konsentrasi 10 μM 5 μL
Tabung PRP 500 μL (Trace 2) ADP, Konsentrasi 5 μM 5 μL
Tabung PRP 500 μL (Trace 3) ADP, Konsentrasi 2 μM 5 μL
Tabung PRP 500 μL (Trace 4) ADP, Konsentrasi 1 μM 5 μL

j. Biarkan grafik berjalan selama 13 menit

k. Hasil agregasi akan tampak pada layar secara otomatis dinyatakan dalam persen.

E. INTERPRETASI HASIL PEMERIKSAAN AGREGASI TROMBOSIT


ADP 1,2,5 dan 10 μM berturut-turut : 3-15%, 11 – 36%, 25 – 68% dan 49 – 84%

F. FAKTOR- FAKTOR YANG DAPAT MEMPENGARUHI HASIL


PEMERIKSAAN AGREGASI TROMBOSIT
Faktor-faktor teknis yang perlu diperhatikan agar pada tes agregasi trombosit
didapatkan hasil yang sesuai karena bila diabaikan menghambat pembentukan transmisi
cahaya antara lain : darah diambil dalam keadaan puasa 10 – 12 jam, tabung yang
digunakan terbuat dari bahan plastik atau gelas belapis silikon, pemeriksaan harus
dikerjakan dalam waktu kurang dari 3 jam setelah pengambilan darah, jumlah trombosit
normal, Plasma tidak hemolisis dan keruh serta kadar trigliserida normal.

A. PRINSIP PEMERIKSAAN RETRAKSI BEKUAN DAN VOLUME CAIRAN


BEKUAN

Setelah darah membeku, bekuan darah mengerut dan pada proses pengerut, sejumlah
serum diperas keluar dari bekuan sehingga bekuan menjadi kenyal.

B. TUJUAN PEMERIKSAAN RETRAKSI BEKUAN DAN VOLUME CAIRAN


BEKUAN
Untuk menilai fungsi trombosit

21
C. ALAT PEMERIKSAAN RETRAKSI BEKUAN DAN VOLUME CAIRAN
BEKUAN

Alat yang digunakan untuk pengambilan darah, antara lain; Spuit 5cc, Torniquette,
Kapas alkohol, Kapas kering, Micropore, sedangkan untuk pemeriksaan RB dan VCB;
Tabung centrifuge berskala, Lidi kayu. Selain itu, diperlukan juga alat pemeriksaan nilai
hematokrit, yaitu pipa kapiler hematokrit, sentrifus mikro Ht, mikro-Ht reader

D. PROSEDUR PEMERIKSAAN RETRAKSI BEKUAN DAN VOLUME CAIRAN


BEKUAN

a. Alat disiapkan.

b. Darah vena diambil sebanyak 5cc, lalu dimasukkan ke dalam tabung sentrifus
berskala yang telah diletakkan lidi kayu di dalamnya, lalu volumenya dicatat.
Volume darah disisakan sedikit untuk dilakukan pemeriksaan hematokrit (untuk
penghitungan VCB).

c. Tabung dibiarkan pada suhu kamar selama 2-3 jam suhu ruang atau semalaman pada
suhu 4OC.

d. Setelah diinkubasi, tabung dimiringkan lalu bekuan darah yang menempel pada lidi
diangkat secara hati-hati melalui dinding tabung.

e. Serum beserta sel-sel yang masih tertinggal dalam tabung dicatat volumenya.

f. volume serum tersebut dihitung dalam bentuk % dari volume darah awal, lalu
dilaporkan sebagai retraksi bekuan.

g. Perhatikan konsistensi bekuan(kenyal / lembek dan rapuh) dan dilaporkan konsistensi


tersebut.

h. Pemeriksaan nilai hematokrit dilakukan pada sampel (untuk pemeriksaan volume


cairan bekuan).

Rumus :
𝑣𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑠𝑒𝑟𝑢𝑚
Retraksi bekuan = x 100%
𝑣𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑑𝑎𝑟𝑎ℎ 𝑎𝑤𝑎𝑙

Volume bekuan = 100 % - retraksi bekuan

Volume cairan bekuan = volume bekuan – nilai hematocrit.

22
E. INTERPRETASI HASIL PEMERIKSAAN RETRAKSI BEKUAN DAN
VOLUME CAIRAN BEKUAN

Retaksi bekuan : 40-60 %

Konsistensi : Kenyal

Volume cairan bekuan : 0-20 %

F. FAKTOR- FAKTOR YANG DAPAT MEMPENGARUHI HASIL


PEMERIKSAAN RETRAKSI BEKUAN DAN VOLUME CAIRAN BEKUAN

Faktor-faktor teknis yang perlu diperhatikan agar pada pemeriksaan RB dan VCB antara
lain, pencatatan volume awal darah pada tabung reaksi berskala harus benar
diperhatikan skalanya, waktu serta suhu inkubasi, pengamatan volume serum ketika
bekuan darah diambil, serta perhitungan RB dan VCB. Pemeriksaan nilai hematokrit
juga harus dilakukan sesuai prosedur dengan memperhatikan proses pra analitik analitik
serta paska analitik. Pembentukkan bekuan dipengaruhi jumlah trombosit, fungsi
trombosit, proses pembentukkan benang fibrin dan jumlah eritrosit. Apabila nilai
hematokrit rendah, maka jumlah serum yang diperas menjadi lebih banyak.

23
MODUL VI

Pemeriksaan hemostasis dengan penyakit-penyakit Hemofilia, ITP,


DIC, Penyakit dengan terapi antikoagulan

A. HEMOFILIA
Hemofilia adalah kelainan hemostasis yang disebabkan oleh kekurangan faktor koagulasi
dan menimbulkan kecenderungan perdarahan. Sebagian besar hemofilia merupakan kelainan
bawaan resesif pada kromosom X yang menyebabkan defisiensi faktor koagulasi, yaitu
defisiensi faktor VIII yang menyebabkan hemofilia A (hemofilia klasik) dan defisiensi faktor
IX yang me-nyebabkan hemofilia B (Christmas disease). Prevalensi hemofilia A di dunia
adalah sekitar 1 dari 5,000 pria, dan hemofilia B sekitar 1 dari 30,000 pria. Jenis hemofilia yang
lebih jarang yaitu hemo-filia C yang disebabkan oleh defisiensi faktor XI bawaan, dan hemofilia
didapat (acquired hemophil-ia) yang merupakan penyakit autoimun di mana tubuh
mengembangkan antibodi (inhibitor) ter-hadap faktor VIII sehingga menurunkan aktivitas
faktor tersebut.

Penderita hemofilia membawa risiko perdarahan yang beragam sesuai dengan derajat
keparahan hemofilia. Penderita hemofilia ringan hanya membawa risiko perdarahan
berkepanjan-gan pada tindakan operasi, sedangkan penderita hemofilia berat dapat mengalami
perdarahan spontan berulang yang dapat menyebabkan kerusakan sendi berat hingga
memerlukan operasi.

Di Indonesia, jumlah kasus hemofilia diperkirakan berjumlah 25,000 orang, namun yang
ter-catat pada Perhimpunan Hemofilia dan Transfusi Darah Indonesia (PHTDI) hanya 1,025
pasien per tahun 2016. Rendahnya tingkat deteksi hemofilia disebabkan sarana dan fasilitas
diagnostik belum memadai di semua rumah sakit, masih minimnya tenaga medis ahli dalam
bidang penyakit gangguan pembekuan darah, dan rendahnya tingkat pengetahuan masyarakat
Indonesia mengenai hemofilia. Meskipun mayoritas kasus hemofilia kemungkinan belum
terdeteksi, beban ekonomi perawatan hemofilia telah menempati urutan ketujuh penyakit
katastropik yang memakan biaya terbanyak dari BPJS Kesehatan, yaitu diperkirakan lebih dari
Rp 214 milyar pada tahun 2017. Penge-tahuan mengenai kelainan darah ini perlu ditingkatkan
untuk kemudian memungkinkan pengem-bangan sistem penatalaksanaan pasien dan
meningkatkan kualitas hidup para penderita penyakit hemofilia.

24
B. Deteksi Hemofilia

Gejala hemofilia meliputi perdarahan terutama di jaringan lunak, sendi (khususnya pada
perge-langan kaki, siku dan lutut) dan otot. Perdarahan berulang pada sendi menyebabkan
kerusakan sendi kronis dan berkurangnya mobilitas sendi. Pada hemofilia didapat, perdarahan
sendi lebih jarang ditemui, dan perdarahan lebih sering terjadi pada kulit, otot atau jaringan
lunak, dan mukosa.

Pada pemeriksaan laboratorium, profil koagulasi penderita hemofilia berupa APTT yang
me-manjang dengan PT yang normal. Diagnosa hemofilia ditegakkan dengan pemeriksaan
aktivitas faktor VIII (FVIII:C) untuk hemofilia A atau aktivitas faktor IX untuk hemofilia B.
Berdasarkan hasil aktivitas faktor VIII dan IX, derajat keparahan hemofilia dibagi menjadi
hemofilia berat (kadar faktor 1 IU/dL atau < 1% dari normal), sedang (1-5 IU/dL atau 1-5%)
dan ringan (5-40 IU/dL atau 5-40%). Uji Bethesda dilakukan untuk mendeteksi adanya inhibitor
pada hemofilia didapat.Aktivitas faktor VIII (FVIII:C) dapat diuji dengan menggunakan one-
stepatau two-step chromo-genic assay. Namun beberapa penelitian melaporkan korelasi yang
kurang baik di mana sebagian pasien yang dikategorikan sebagai hemofilia berat berdasarkan
uji FVIII:C ternyata hanya mengalami perdarahan ringan.

Aktivitas faktor VIII yang sangat rendah (0-2 IU/dL) dapat digambarkan dengan lebih
akurat menggunakan tes hemostasis yang bersifat global seperti thrombin generation assayatau
thromboelastography. Pengembangan terbaru pada uji APTT memungkinkan analisa bentuk
gelom-bang bekuan (clot waveform analysisatau CWA), yang memberikan gambaran lebih
detail mengenai kinetik proses pembentukan bekuan, termasuk kecepatan, percepatan dan
perlambatan maksimum dari proses pembentukan bekuan, tanpa menggunakan pemeriksaan
tambahan di luar APTT. CWA yang memberikan gambaran global pembekuan darah telah
dilaporkan bermanfaat dalam mem-bedakan dan memprediksi derajat hemofilia dan dapat
digunakan untuk memantau terapi pengganti faktor pada hemofilia. Khususnya, parameter
min1 (kecepatan maksimum) dan min2 (akselerasi maksi-mum) dapat menunjukkan perbedaan
yang lebih jelas antara fenotipe hemofilia berat dan non-berat dibandingkan dengan waktu
pembekuan APTT (Gambar 1). Min2 juga menunjukkan korelasi yang lebih baik dengan
FVIII:C dibandingkan dengan waktu pembekuan APTT.

25
Aktivitas faktor IX diuji menggunakan one-stage clotting assay, atau dengan
chromogenic assay. Jika diperiksa pada saat kelahiran, aktivitas faktor IX dapat terlihat rendah
palsu karena terjadinya penurunan kadar faktor-faktor pembekuan vitamin K-
dependenttermasuk faktor IX, terutama pada bayi prematur. Maka pemeriksaan faktor IX harus
diulang kembali pada umur 6 bulan ke atas untuk menegakkan diagnosis hemofilia B.

C. Penanganan klinis hemophilia

Terapi pada pasien hemofilia berupa penggantian faktor koagulasi yang diberikan secara
intravena (intravenous factor replacement therapy). Terapi ini dapat diberikan saat perdarahan
ataupun sebagai profilaksis untuk mencegah terjadinya perdarahan. Konsentrat faktor VIII
dapat diberikan berupa plas-ma cryoprecipitatedari darah donor atau rekombinan FVIII.
rekombinan FVIII lebih aman karena bebas dari patogen dan memiliki half-lifeyang lebih
panjang.

Profilaksis primer adalah terapi yang diberikan sebelum terjadinya kerusakan sendi,
umumnya pada usia dini (<2 tahun) dan diberikan 2-3 kali seminggu dengan dosis minimal 10-
20 IU/kg dan berlang-sung jangka panjang. Profilaksis sekunder adalah terapi yang diberikan
setelah ditemukannya perdara-han berulang atau gejala kerusakan sendi. Namun pasien yang
menerima terapi konsentrat faktor dapat menyebabkan produksi inhibitor terhadap faktor
tersebut, yang merupakan penghambat kesuksesan terapi. Selain itu, ketersediaan konsentrat
faktor dan biaya terapi yang sangat tinggi juga menjadi kendala dalam penanganan pasien
hemofilia.

Hemofilia C diterapi menggunakan konsentrat faktor XI, FFP, fibrin gluedan obat
antifibrinolitik. He-mofilia didapat diterapi menggunakan activated prothrombin complex
concentrate(APCC) atau obat antifibrinolitik untuk perdarahan mukosa.
26
Perkembangan teknologi dan ilmu kedokteran memungkinkan pengembangan terapi
profilaksis di luar penggantian faktor yang mengarah kepada personalized medicine. Misalnya,
terapi untuk memblokir fungsi inhibitor koagulasi atau terapi gen. Maka, ke depannya
diharapkan para pasien hemofilia bisa mendapatkan terapi yang lebih tepat dan efisien sehingga
dapat meningkatkan kualitas hidup dan efisiensi biaya perawatan.

A. Definisi dan klasifikasi ITP


Penyakit ITP merupakan kelainan perdarahan yang disebabkan oleh penurunan jumlah
trombosit. Saat awal, ITP merupakan singkatan dari idiopathic thrombocytopenic purpura
karena belum diketahui penyebabnya. Dengan perkembangan ilmu diketahui ternyata
penyebabnya adalah kelainan imun sehingga singkatan ITP berubah menjadi immune
thrombocytopenic purpura. Di beberapa literatur terakhir sering disebut sebagai immune
thrombocytopenia.

Konsensus International Working Group (IWG) tahun 2007 membuat definisi dan
klasifikasi ITP terbaru. Definisi ITP, yaitu keadaan trombosit <100.000/uL. Hal ini didasari tiga
pemikiran bahwa (1) kemungkinan perdarahan pada jumlah trombosit 100.000-150.000/uL
hanya sekitar 6,9%; (2) nilai normal trombosit pada etnik Non-Western adalah sekitar 100.000-
150.000 /uL; (3) adanya trombositopenia ringan “fisiologik” yang terjadi pada kehamilan.

Selain itu, klasifikasi ITP juga mengalami perubahan menjadi ITP newly diagnosed, ITP
persisten dan ITP kronik. Definisi ITP primer adalah keadaan trombositopenia yang tidak
diketahui penyebabnya. Definisi ITP sekunder adalah keadaan trombositopenia yang
disebabkan oleh penyakit primer. Penyakit primer yang sering berhubungan dengan ITP, antara
lain, penyakit autoimun (terutama sindrom antibodi antifosfolipid), infeksi virus (termasuk
Hepatitis C dan human immunodeficiency virus [HIV]), dan obat-obat tertentu.

B. Patofisiologi ITP
Penyakit ITP adalah penyakit autoimun yang disebabkan adanya destruksi trombosit
normal akibat adanya antibodi (antibody-mediated destruction of platelets) dan gangguan
produksi megakariosit. Penyakit ITP merupakan kelainan akibat disregulasi imun dengan hasil
akhir adanya hilangnya toleransi sistem imun terhadap antigen diri yang berada di permukaan
trombosit dan megakariosit. Sel T teraktivasi akibat pengenalan antigen spesifik trombosit pada
APC (antigen presenting cell) yang kemudian menginduksi ekspansi antigen-spesifik pada sel
B. Kemudian sel B menghasilkan autoantibodi yang spesifik terhadap glikoprotein yang
27
diekspresikan pada trombosit dan megakariosit. Trombosit yang bersirkulasi diikat oleh
autoantibodi trombosit kemudian terjadi pelekatan pada reseptor FC makrofag limpa yang
mengakibatkan penghancuran trombosit. Selain itu, terbentuk juga autoantibodi anti
megakariosit yang mengurangi kemampuan megakariosit untuk menghasilkan trombosit.
Terjadi produksi autoantibody (A) yang meningkatkan penghancuran trombosit oleh makrofag
limpa (B) dan menurunnya produksi trombosit akibat antibodi anti-megakariosit (C).

C. Gambaran klinis ITP


Pasien ITP mempunyai gambaran klinis yang khas, yaitu terjadi pada anak usia 4-6 tahun
yang tampak “sehat” dengan gambaran perdarahan kulit seperti hematom dan petekiae.
Sebanyak 75% pasien datang dengan jumlah trombosit <20.000/ uL. Sebagian besar kasus
(hampir 2/3 kasus) mempunyai riwayat penyakit infeksi yang terjadi hingga 4 minggu
sebelumnya. Pemeriksaan fisis juga hanya mendapatkan perdarahan kulit akibat
trombositopenia. Gambaran darah tepi menunjukkan jumlah trombosit rendah tanpa sel blast.2

28
Frekuensi komplikasi ITP anak hanya 0,2% atau 1 per 500 kasus. Komplikasi perdarahan
intrakranial terjadi pada jumlah trombosit <10.000/uL. Komplikasi perdarahan berat hanya
terjadi pada 3% kasus ITP dengan jumlah trombosit <20.000/ uL berupa epistaksis, melena,
menorrhagia dan/atau perdarahan intrakranial yang membutuhkan perawatan dan/atau transfusi
darah. Bahkan, penelitian lain menemukan bahwa hanya 3 dari 505 kasus (0,6%) yang
mengalami perdarahan hebat.

Penelitian Yohmi dkk5 di RSCM (2007) mendapatkan gambaran klinis ITP adalah lebih
sering terjadi pada anak laki-laki (1,9 : 1), rerata usia 4,78 tahun. Komplikasi perdarahan yang
terjadi adalah petekiae (89%), episktaksis (18%), perdarahan mukosa mulut (12%), perdarahan
subkonjungtiva (8%), hematemesis/melena (6%), hematuria (5%).

Penelitian di Amerika Serikat6 mendapatkan gambaran klinis ITP, yaitu 52% anak laki-
laki, terutama usia 2-5 tahun (37,6%). Komplikasi perdarahan yang terjadi adalah epistaksis
(8,4%), hematuria (2,3%), menoragia (2,6%), perdarahan saluran cerna (2,2,%), perdarahan
intrakranial (0,3%). Sebagian besar tanpa perdarahan yang berat (85,8%).

Penelitian Tarantino dkk7 (2016) juga mendapatkan hasil yang tidak jauh berbeda.
Komplikasi perdarahan berat yang terjadi pada pasien ITP anak yaitu perdarahan intrakranial
(0,6%), perdarahan saluran cerna (0,4%), dan hematuria (1,3%). Delapanpuluh lima persen
pasien ITP anak tidak mengalami perdarahan.

D. Diagnosis ITP
Diagnosis ITP ditegakkan setelah penyebab trombositopenia lain dapat disingkirkan.
Beberapa infeksi perlu disingkirkan seperti HIV, Hepatitis C, Helicobacter Pylori, dan CMV.
Kecurigaan ke arah keganasan dan pengaruh obat seperti valproat, heparin juga harus
disingkirkan. Pemeriksaan antibodi antifosfolipid dan lupus anticoagulant harus diperiksa bila
gejala ITP menjadi persisten/kronik.8 Bila gambaran klinis sangat mendukung ke arah ITP,
maka pemeriksaan sumsum tulang tidak perlu dilakukan (Grade 1B). Pemeriksaan sumsum
tulang juga tidak dilakukan bila pasien tidak memberikan respon setelah diberikan IVIG (Grade
1B). Pemeriksaan sumsum tulang juga tidak dilakukan sebelum pemberian kortikosteroid atau
splenektomi (Grade 2C). Pemeriksaan sumsum tulang dilakukan bila ITP tidak memberikan
respons dalam waktu 3 bulan (mengarah ke ITP persisten).

29
A. Pemeriksaan Hematologi dan Hemostasis Dasar dalam Identifikasi Sepsis dan DIC

1. DISSEMINATED INTRAVASCULAR COAGULATION (DIC)


Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) adalah suatu keadaan dimana
bekuan-bekuan darah kecil tersebar di seluruh aliran darah, menyebabkan penyumbatan
pada pembuluh darah kecil dan berkurangnya faktor pembekuan yang diperlukan untuk
mengendalikan perdarahan. Secara klinis, DIC ditandai oleh thrombosis maupun
perdarahan. DIC dihasilkan oleh aktivasi koagulasi lokal atau sistemik yang tidak
terkendali, yang menyebabkan deplesi faktor-faktor koagulasi dan fibrinogen sampai
dengan trombositopenia karena trombosit diaktifkan dan dikonsumsi.
DIC merupakan komplikasi suatu penyakit. Berbagai penyakit yang mendasari DIC
yaitu, sepsis (koagulasi diaktifkan karena adanya lipopolisakarida), leukemia akut,
kanker, trauma, luka bakar, emboli cairan ketuban atau kematian pada kehamilan
(dilepasnya factor jaringan/tissue faktor). Aneurisma aorta dan hemangioma kavernosum
dapat memicu DIC melalui stasis vaskuler, bias gigitan ular dapat menyebabkan DIC
akibat adanya toksin eksogen.
Pada DIC awal, jumlah trombosit dan kadar fibrinogen masih dalam interval
normal, meskipun turun. Terjadi trombositopenia yang progresif (jarang sampai berat),
pemanjangan aPTT dan PT serta kadar fibrinogen yang rendah. Kadar D-dimer umumnya
akan meningkat akibat aktivasi koagulasi dan fibrin yang saling terhubung secara difus.
Tidak semua DIC digolongkan dalam darurat medis, hanya DIC fulminan atau akut,
sedang DIC dengan derajat yang terendah atau kompensasi bukan suatu keadaan darurat.
Namun perlu diwaspadai bahwa DIC derajat rendah dapat berubah menjadi DIC
fulminan, sehingga memerlukan pengobatan segera.

30
Sepsis adalah sindroma klinis yang berhubungan dengan disregulasi respon imun
terhadap infeksi, yang dapat menyebabkan kerusakan multipel organ dan kematian. Sepsis
dibedakan dengan systemic inflammatory response syndrome(SIRS) karena disebabkan oleh
infeksi. Sepsis merupa-kan penyebab kematian utama pada pasien intensive care unit(ICU).
Sebagian besar kasus sepsis bermuara dari infeksi bakteri, namun hingga 50% pasien sepsis
memberikan hasil kultur darah negatif. Kunci dari penanganan sepsis adalah diagnosa dini.
Seringkali diagnosa sepsis sulit dite-gakkan, terutama pada neonatus, karena gejala dan
gambaran laboratorium yang non-spesifik. Gejala klinis meliputi demam >38oC atau
hipotermia <36oC, detak jantung >90 bpm, respirasi >20 per menit atau PaCO2<32 mmHg.
Gambaran laboratorium pada pasien sepsis juga bersifat non-spesifik meliputi immatureWBC
>10%, leukositosis (WBC >12.000/uL) atau leukopenia (WBC <4.000/uL), hipokoagulasi
(INR >1,5 atau APTT >60 detik), hiperglikemia tanpa diabetes, dan lainnya. Tidak ada
biomarker yang dapat berdiri sendiri untuk penegakan diagnosa sepsis.

Kultur darah masih dianggap sebagai baku emas penegakan diagnosa sepsis dan
identifikasi patogen penyebabnya, namun memiliki beberapa keterbatasan seperti waktu
pemeriksaan yang lama dan kecenderungan negatif palsu. Beberapa penanda lainnya yaitu
interleukin-6,C-reactive protein(CRP) dan lipopolysaccharide binding protein(LBP), yang
semuanya berperan dalam reaksi inflamasi sebagai respon tubuh terhadap infeksi. Namun
ketiga penanda ini juga meningkat sebagai respon inflamasi dari trauma atau tindakan bedah,
sehingga kegunaannya pada pasien penyakit kritis (ICU) sangat terbatas.

Salah satu yang dapat menjadi alternatif untuk mendeteksi sepsis adalah deteksi neutrofil
imatur menggunakan hitung jenis manual dari apusan darah tepi dan penghitungan immature to
total neutrophil ratio(I/T rasio). Hal ini dikarenakan kejadian sepsis memicu keluarnya neutrofil
imatur ke dalam sirkulasi, sehingga pada sepsis terjadi peningkatan jumlah dan persentase
neutrofil imatur dalam darah. Selain pada neonatus dan wanita hamil, meningkatnya jumlah
granulosit ima-tur mengindikasikan respon awal terhadap infeksi, inflamasi atau peningkatan
aktivitas sumsum tulang. Pemeriksaan neutrofil imatur ini merupakan bagian dari pemeriksaan
darah lengkap dan tid-ak memerlukan tambahan sampel serta biaya layaknya penanda sepsis
lainnya, serta dapat dioto-masi dengan menggunakan alat hematology analyzerdengan
kemampuan 5-part differential.

31
B. Peranan IG pada diagnosa sepsis
Penghitungan immature granulocyte(IG) merupakan bagian dari hitung jenis pada alat
hema-tology otomatik XN-L Series dan XN-Series (Gambar 1). Dibandingkan dengan hitung
jenis manual, penghitungan IG dengan alat hematologi otomatik memberi kelebihan seperti
jumlah sampel terhi-tung yang lebih banyak, serta hasil yang didapat dengan lebih cepat,
objektif dan efisien. Pemeriksaan IG menggunakan XN-Series memberikan akurasi yang sangat
baik, identikal dengan I/T rasio sehingga dapat menjadi alternatif pemeriksaan mikroskopis
leukosit imatur untuk membantu diagnosa sepsis. Persentase IG yang tinggi (>3%) memberi
spesifisitas >90% untuk identifikasi sepsis.5Sebaliknya, per-sentase IG yang rendah (<2%)
dapat digunakan untuk mengeksklusi sepsis dengan spesifisitas yang tinggi (90,9%).6Selain
itu, dilaporkan bahwa jumlah IG memberikan performa diagnostik yang lebih baik dalam
membedakan antara sepsis dan SIRS, dibandingkan dengan CRP, LBP dan IL-6 (Gambar 2).
Maka, penghitungan IG menjadi pemeriksaan yang sangat bermanfaat dalam deteksi sepsis,
tanpa memerlukan sampel dan pemeriksaan tambahan di luar pemeriksaan darah lengkap.

32
Sepsis hampir selalu menimbulkan kelainan hemostasis, yang dapat berupa
hiperkoagulasi subklinis hingga aktivasi koagulasi sistemik yang disebut dengan disseminated
intravascular coagula-tion (DIC). Mekanisme terjadinya DIC pada sepsis dimediasi oleh reaksi
inflamasi dan unsur patogenik seperti aktivasi trombosit oleh virus atau kerusakan jaringan oleh
patogen. DIC dapat terjadi pada 25-50% pasien sepsis.7Risiko kematian pasien sepsis
meningkat dua kali lipat jika terjadi DIC.

C. Peranan CWA pada identifikasi sepsis dan DIC


Clot waveform analysis (CWA) merupakan informasi tambahan mengenai proses
pemben-tukan bekuan darah yang didapat melalui kurva perubahan transmisi cahaya dan
turunannya melalui metode pemeriksaan optik. Beberapa penelitian telah melaporkan bahwa
kejadian sepsis dan teruta-ma DIC memberi bentuk kurva biphasicyang unik pada kurva
koagulasi APTT (Gambar 3), dikarenakan terjadinya penurunan yang transmisi cahaya pada
fase pre-koagulasi. Keberadaan pola biphasic ini bersifat independen dari panjangnya waktu
pembekuan, reagen APTT yang digunakan, kadar faktor-faktor koagulasi, dan tidak
terpengaruh oleh pemberian terapi heparin. Mengingat pemeriksaan APTT merupakan salah
satu pemeriksaan standar yang diuji pada pasien dengan kecurigaan sepsis/DIC, pola kurva
biphasic yang dapat diperoleh dengan cepat dan mudah dapat membantu deteksi DIC dengan
lebih cepat dan akurat, untuk penanganan pasien yang lebih efisien. Pada pasien ICU, deteksi

33
sepsis dengan pola kurva biphasic menunjukkan sensitivitas yang tidak terlalu tinggi namun
spesifisi-tas yang lebih tinggi, sehingga memberi nilai prediktif negatif (negative predictive
value, NPV) yang tinggi hingga mencapai 91.0%. Dengan NPV yang tinggi ini, tidak
terdapatnya kurva biphasic pada tes APTT dapat digunakan untuk eksklusi kecurigaan sepsis
pada pasien ICU.Penggunaan kurva biphasic untuk mendeteksi DIC dilaporkan memiliki
sensitivitas tinggi yang mencapai 98%,8sehingga di antara pasien sepsis, kurva biphasic dapat
menjadi penanda DIC.

Penghitungan IG dapat dilakukan pada hematology analyzerSysmex XN-L Series dan


XN-Series, sedangkan CWA dapat dilakukan bersamaan dengan tes PT dan APTT pada
hemostasis analyz-erSysmex CS-2500 dan CS-5100.

References :

1. Adamzik M, et al. Comparison of thromboelastometry with procalcitonin, interleukin


6, and C-reactive protein as diagnostic testsfor severe sepsis in critically ill adults.
Crit Care2010;14(5):R178-10.1186/cc9284.

2. Buoro, et al. Immature granulocyte count on the new Sysmex XN-9000: performance
and diagnosis of sepsis in the intensive care unit. Signa Vitae2015;10(2):54-64.

3. MacQueen, et al. Comparing automated vs manual leukocyte differential counts for


quantifying the ‘left shift’ in the blood ofneonates. J Perinatol2016 Oct;36(10):843-8.

34
4. Nierhaus, et al. Revisiting the white blood cell count: immature granulocytes count
as a diagnostic marker to discriminate be-tween SIRS and sepsis –a prospective,
observational study. BMC Immunol2013 Feb 12;14:8.

5. Ansari-Lari, et al. Immature granulocyte measurement using the Sysmex XE-2100.


Am J Clin Pathol2003 Nov;120(5):795-9.

6. Ayres LS, Sgnaolin V, Munhoz TP. Immature granulocytes index as early marker of
sepsis. Int J Lab Hematol2019 Jun;41(3):392-396.

7. Levi, M. The coagulant response in sepsis. Clin Chest Med2008;29(4):627–642.

8. Sevenet, P.O and Depasse, F. Clot waveform analysis: Where do we stand in 2017?
(Review). Intl J Lab Hem2017;39:561-568.

9. Toh CH. APTT revisited: detecting dysfunction in the hemostatic system through
waveform analysis. Thromb Haemost1999;82:684-687.

10. Toh CH, Giles AR. Waveform analysis of clotting test optical profiles in the diagnosis
and management of disseminated intravas-cular coagulation (DIC). Clin Lab
Haematol2002;24:321-327.

A. Fisiologi koagulasi
Sistem hemostasis dipertahankan oleh interaksi antara sel endotel, protein koagulasi,dan
trombosit sebagai tiga unsur utama untuk menjaga fluiditas darah pada keadaan normal. Pada
keadaan cedera, ketiga unsur utama tersebut bekerjasama dalam sistem koagulasi. Sel endotel
merupakan lapisan dalam pembuluh darah yang non trombogenik. Fungsi sel endotel dalam
sistem hemostasis (Gambar 1) antara lain mensintesis tissue factor (TF), tempat penyimpanan
faktor von Willebrand, berperan pada sistem fibrinolisis dengan menghasilkan plasminogen
activator inhibitor (PAI-I) dan memiliki reseptor thrombomodulin. Apabila PAI-I berikatan
dengan thrombin dapat mengaktivasi thrombin activatable fibrinolytic inhibitor (TAFI), dan
berperan pada sistim antikoagulan dengan menghasilkan tissue factor pathway inhibitor (TFPI),
tissue plasminogen activator (tPA), prostacyclin (PGI2), mengaktivasi protein C. Pada
permukaan sel endotel terdapat heparin-like material yang merupakan kofaktor antitrombin.
Trombosit merupakan sel yang sangat berperan pada proses koagulasi.
Trombosit berinteraksi dengan komponen matriks ekstrasel disaat terjadinya cedera
sehingga terbentuk platelet plug sebagai penutup lesi pembuluh darah. Trombosit yang

35
teraktivasi juga menghasilkan berbagai agonis trombosit yang memperantarai kontraksi otot
polos sehingga terjadi vasokonstriksi.

Sejak tahun 1960-an diperkenalkan kaskade koagulasi melalui jalur intrinsik dan jalur
ekstrinsik. Model kaskade koagulasi memberi kesan bahwa kedua jalur tersebut bekerja
terpisah, namun manifestasi klinis menyangkal konsep tersebut. Sekitar limabelas tahun yang
lalu timbul hipotesis baru untuk memahami proses hemostasis. Model koagulasi berbasis sel
(cell-based model of coagulation) menyatakan bahwa koagulasi muncul pada tahapan yang
overlapping yaitu inisiasi, amplifikasi, dan propagasi (Gambar 2). Tahap inisiasi dimulai pada
sel yang dapat mengekspresikan tissue factor (TF). Membentuk kompleks dengan faktor VIIa
dan mengaktivasi faktor IXa dan Xa. Faktor Xa berikatan dengan faktor Va pada permukaan
sel dan menghasilkan trombin dengan jumlah sedikit. Faktor Xa segera diinhibisi sehingga tidak
dapat bergerak ke sel yang lain. Tahap amplifikasi dimulai setelah munculnya cedera, trombosit
keluar dari pembuluh darah sehingga terjadi perlekatan trombosit dengan thrombin yang
dihasilkan pada tahap inisiasi. Trombin mengaktivasi trombosit sehingga terjadi perubahan
permukaan dan pengeluaran faktor V yang sebagian aktif. Trombin juga mengaktivasi kofaktor
V dan VIII, serta mengaktivasi faktor XI menjadi factor XIa. Tahap propagasi berlangsung pada
permukaan trombosit yang teraktivasi. Pada tahap ini FIXa berikatan dengan VIIIa, jumlah

36
FIXa bertambah dari hasil ikatan trombosit dengan FXIa. mKompleks FIXa/VIIIa mengaktivasi
FXa pada trombosit dan segera berikatan dengan FVa sehingga mengubah protrombin menjadi
thrombin, selanjutnya pembentukan trombin mengubah fibrinogen menjadi fibrin.
Setelah bekuan fibrin terbentuk, harus terdapat mekanisme untuk membatasi jumlah
bekuan fibrin dan pelepasan bekuan saat cedera sembuh. Untuk mengontrol pembentukan
bekuan fibrin terdapat tiga mekanisme yaitu TFPI, mekanisme antitrombinheparin, dan jalur
antikoagulan protein C. Sedangkan yang bertanggung jawab dalam pelepasan dan degradasi
bekuan fibrin adalah sistem fibrinolisis. Plasmin berperan penting pada fibrinolisis dan
dikatalisasi oleh tPA atau urokinase-type plasminogen activator (uPA). Inhibitor pada sistem
fibrinolysis adalah PAI-1 dan antiplasmin.

37
B. Patofisiologi koagulasi pada sepsi
Gangguan koagulasi pada sepsis terjadi melalui tiga
mekanisme (Gambar 3),
1. Pembentukan trombin yang diperantarai TF Tranfer factor diekspresikan pada
permukaan sel endotel, monosit, dan platelet ketika sel-sel ini distimulasi oleh
toksin, sitokin atau mediator lain. Adanya endotoksin menyebabkan peningkatan
beberapa sitokin proinflamasi seperti tumor necrosis factor (TNF)-􀁄 dan
interleukin (IL)-6. Sitokin IL-6 merupakan sitokin proinflamasi yang paling
berhubungan dengan klinis sepsis dan komplikasi. Pembentukan trombin yang
diperantarai oleh TF merupakan tahap penting dari patogenesis sepsis. Secara
fisiologis pembentukan ini segera dihambat oleh antitrombin, namun dengan
pembentukan trombin yang sangat cepat jalur inhibisi ini bisa fatigue sehingga
terjadi trombinemia. Setelah trombin terbentuk maka fibrinogen dipolimerasi
sehingga terbentuk bekuan fibrin dan terdeposisi di mikrosirkulasi. Deposisi fibrin
ini dapat menyebabkan disfungsi organ.
2. Gangguan mekanisme antikoagulan
Terdapat tiga mekanisme antikoagulan yang terganggu pada sepsis,yaitu :
a. Sistem antitrombin
Secara teori antitrombin memiliki peran penting dalam kekacauan koagulasi
pada sepsis, dibuktikan dengan jumlah antithrombin rendah pada sepsis. Jumlah
antithrombin berkurang disebabkan karena antithrombin digunakan untuk
menghambat formasi trombin, didegradasi oleh elastase yang dilepaskan sel
neutrofil serta gangguan sintesis antitrombin akibat gagal hati pada sepsis.
b. Sistem protein C
Protein C disintesis di hati dan diaktivasi menjadi activated protein C (APC)
yang berfungsi dalam menghambat FVIII dan FV. Pada sepsis, terjadi depresi
system protein C yang disebabkan oleh penggunaan yang berlebihan, gangguan
hati, perembesan vascular, dan aktivasi TNF-􀁄.
c. Tissue factor pathway inhibitor (TFPI)
Tissue factor pathway inhibitor disekresi oleh sel endotel dan berfungsi untuk
menghambat aktivasi FX oleh kompleks TF-FVIIa. Penurunan TFPI dapat
dijumpai pada sepsis.
2. Penghentian sistem fibrinolisis
Pada kondisi bakteremia dan endotoksemia dijumpai peningkatan aktivitas
fibrinolysis yang mungkin disebabkan oleh pelepasan plasminogen activator oleh
38
sel endotel. Keadaan tersebut diikuti dengan supresi aktivitas fibrinolisis secara
cepat oleh PAI-1. Jumlah PAI-1 yang tinggi dipertahankan sehingga menghentikan
kemampuan fibrinolisis yang mengakibatkan penumpukan bekuan fibrin pada
mikrosirkulasi.

Pada sepsis terjadi trombositopenia pada pasien berat. Faktor utama yang menyebabkan
penurunan jumlah trombosit pada sepsis adalah produksi trombosit yang terganggu,
peningkatan pemakaian maupun destruksi, atau sekuestrasi trombosit di limpa.

C. Tata laksana gangguan koagulasi pada sepsis


Gangguan koagulasi pada sepsis akan dapat diatasi jika penyebab sepsis diatasi. Pada
gangguan koagulasi yang berat sampai tahap DIC pengobatan yang diberikan dapat berupa :
a. Terapi pengganti
Tujuan dari pemberian terapi pengganti adalahuntuk menggantikan defisiensi
akibat penggunaan konsentrat trombosit faktor koagulasi dan inhibitor, untuk
mencegah perdarahan.16 Pemberian konsentrat trombosit dan faktor koagulasi
tidak hanya didasari dengan hasil laboratorium namun kecenderungan pasien
mengalami perdarahan.

39
b. Antikoagulan
Penghentian koagulasi pada pasien DIC memberi manfaat secara teori. Keamanan
heparin pada pasien DIC yang cenderung mengalami perdarahan menjadi
perdebatan, walaupun pemberian heparin tidak terbukti meningkatkan insidens
komplikasi perdarahan.19 Pemberian heparin mungkin dapat berguna pada pasien
DIC akut dan tromboembolisme predominan seperti dengan purpura
fulminans.16,19 Penelitian agen antikoagulan baru dengan aktivitas penghambat
trombin secara langsung yaitu rekombinan hirudin pada kelinci dalam mengobati
DIC menunjukkan pengurangan konsumsi trombosit, fibrinogen, antitrombin, dan
protein C serta menurunkan mortalitas. Penggunaan rekombinan tersebut pada
manusia masih memerlukan penelitian lanjutan.
c. Pengembalian jalur antikoagulan
Antitrombin merupakan penghambat utama trombin, penggunaan pada DIC cukup
rasional. Penurunan jumlah antitrombin berhubungan dengan prognosis yang buruk
pada pasien sepsis. Studi di Italia memperlihatkan bahwa pemberian antitrombin
memiliki dampak yang menguntungkan dalam hal kelangsungan hidup. Namun
pada penelitian yang dilakukan pada 2144 pasien sepsis dan DIC tidak dijumpai
dampak yang sama.
Sistem protein C ikut terganggu pada DIC, dan APC tampak memiliki peran
dalam patogenesis sepsis yang berhubungan dengan disfungsi organ. Sebuah studi
yang dilakukan di sebelas negara pada kasus sepsis menunjukkan terdapat
perbaikan klinis pada pasien yang mendapat konsentrat APC. Penurunan mortalitas
40% dijumpai pada pasien yang mendapat dosis lebih tinggi, namun pemberian
konsentrat APC pada anak sepsis berat belum terbukti memberikan manfaat.
Penghambat mekanisme pembentukan trombin lainnya adalah TFPI.
Rekombinan TFPI telah luas diteliti pada pasien sepsis dan peningkatan kadar TFPI
dapat tercapai namun manfaatnya dalam menurunkan mortalitas dan perbaikan
disfungsi organ belum terbukti.
d. Agen lain
Rekombinan FVIIa mungkin dapat digunakan pada pasien dengan perdarahan berat
yang tidak respon terhadap terapi lain. Namun penelitian retrospektif terhadap
penggunaan rekombinan pada pasien anak sepsis dan DIC menunjukkan tidak ada
manfaat yang bermakna. Agen antifibrinolitik seperti asam traneksamat tidak boleh
diberikan kecuali sebelumnya telah diberi infus heparin.

40
MODUL VII

Kaskade hemostasis meliputi ; Hemostasis primer, Hemostasis sekunder, Factor


intrinsic, Factor ektrinsic, Factor bersama, Fibrinolisis

A. HEMOSTASIS PRIMER
Hemostasis adalah proses pembentukan bekuan darah di dinding pembuluh darah untuk
mencegah kehilangan darah ketika tetap mempertahankan darah dalam kondisi cair dalam
sistem vaskular yang merupakan sekumpulan mekanisme sistemik, kompleks dan saling
berhubungan, berkerja untuk mempertahankan keseimbangan antara koagulasi dan
antikoagulasi
Proses hemostasis termasuk proses yang rumit, dimana melibatkan interaksi dari dinding
pembuluh darah, trombosit, sistem koagulasi, dan fibrinolisis. Interaksi kompleks tersebut
menjadi dasar dari mekanisme proses penghentian perdarahan yaitu, (1) spasme pembuluh
darah, (2) pembentukan sumbat platelet, (3) pembekuan darah (koagulasi), dan (4) penutupan
pembuluh darah yang rusak secara permanen oleh jaringan fibrosa. Walaupun terkesan rumit
dan seolah bertahap, interaksi komponen hemostasis ini sebenarnya saling berpaut dan berkerja
secara efisien untuk menghentikan perdarahan. Ketika pembuluh darah rusak, beberapa respons
ditunjukkan oleh tiap-tiap komponen hemostasis. Respons pertama muncul dari pembuluh
darah yang menyempit (vasokonstriksi) untuk menanggapi gangguan keutuhan dindingnya.
Penyempitan pembuluh darah ini timbul akibat (1) spasme miogenik lokal, (2) autakoid
jaringan, dan (3) beberapa refleks tertentu. Respons ini berlangsung selama beberapa menit
hingga jam, waktu yang digunakan komponen hemostatik lain untuk berkerja melakukan
fungsinya.

Saat pembuluh darah rusak dan kehilangan keutuhan dindingnya, interaksi antara platelet
dan dinding pembuluh darah berubah dan memicu perlekatan platelet pada struktur pos intima
yang terpapar. Platelet yang melekat tersebut menghasilkan ADP (adenosine diphosphate) dan
juga menyebabkan platelet-platelet lain menghasilkan ADP menyebabkan mereka berkumpul
membentuk agregat dan akhinya membentuk sumbat platelet (platelet plug).

Sumbatan platelet ini hanya mampu menutup perdarahan sementara waktu dan harus
diperkuat lagi oleh proses lebih lanjut yaitu pembentukan bekuan darah (clot) yang akan
memperkokoh penutupan kerusakan pembuluh darah.
Dalam keadaan normal, darah berada dalam sistem pembuluh darah, dan berbentuk cair.
Keadaan ini dimungkinkan oleh faktor hemostasis yang terdiri dari hemostasis primer,
41
hemostasis sekunder dan hemostasis tersier. Hemostasis primer terdiri dari pembuluh darah dan
trombosit, disebut hemostasis primer karena pertama terlibat dalam proses penghentian darah
bila terjadi perdarahan, diawali dengan vasokontriksi pembilih darah dan pembentukan plak
trombosit yang menutup luka dan menghentikan perdarahan.

42
B. HEMOSTASIS SEKUNDER
Hemostasis merupakan sekumpulan mekanisme sistemik, kompleks dan saling
berhubungan, berkerja untuk mempertahankan keseimbangan antara koagulasi dan
antikoagulasi Hemostasis sekunder terdiri dari faktor pembekuan dan anti pembekuan, yang
akhir dari mekanisme hemostasis sekunder adalah terbentuknya benang fibrin.

Jika terjadi luka yang besar pada pembuluh darah atau jaringan lain, vasokonstriksi dan
sumbat trombosit belum cukup untuk mengkompensasi luka ini. Maka, terjadilah hemostasis
sekunder yang melibatkan trombosit dan faktor koagulasi. Hemostasis sekunder ini mencakup
pembentukan jaring-jaring fibrin. Hemostasis sekunder ini bersifat delayed dan long-term
response. Kalau proses ini sudah cukup untuk menutup luka, maka proses berlanjut ke
hemostasis tersier.

C. HEMOSTASIS TERSIER
Hemostasis tertier yaitu mekanisme hemostasis lanjut yang diperankan oleh darah,
dimana bekuan atau hemostatic plug yang sudah terbentuk akan dihancurkan dalam sistem
fibrinolysis. System fibrinolisis akan diaktifkan untuk melakukan penghancuran fibrin yang
sudah terbentuk agar tidak menjadi penghalang aliran darah dan menyebabkan lisis dari fibrin
dan dan endotel menjadi utuh kenbali.
43
Hemostasis tersier ini bertujuan untuk mengontrol agar aktivitas koagulasi tidak
berlebihan. Hemostasis tersier melibatkan sistem fibrinolisis.Pada proses mekanisme,
hemostasis ini adalah suatu proses fisiologis yang kompleks yang mempertahankan fluiditas
darah melalui mekanisme peroakoagulasi dan antikoagulasi yang ada dalam tubuh.
Ketidakseimbangan dari dua komponen ini akan mempredisposisikan pasien terhadap
perdarahan atau trombosis. Proses ini perlu dimengerti untuk memprediksikan konsekuensi
patologis dan klinis sebelum mengimplementasikan intervensi medis apapun.

 Jenjang pembekuan
Bekuan mulai terbentuk dalam waktu 15-30 detik bila trauma pembuluh sangat hebat,dan
dala 1-2 menit bila traumanya kecil. Pembekuan darah berlangsung melalui dua jalur
yaitu jalur intrinsic dan jalur ekstrinsik.

D. Jalur intrinsik/ intrinsic pathway.


Lintasan intinsik melibatkan factor XII, XI, IX, VIII dan X, prekalikrein, kininogen
dengan berat molekul tinggi (High Molecular Weight Kininogen (HMWK)), ionCa2+ dan
fosfolipid trombosit. Lintasan ini membentuk factor Xa (aktif). Lintasan ini dimulai dengan
“fase kontak” dengan prekalikrein, kininogen dengan berat molekultinggi, factor XII dan XI
terpajan pada permukaan pengaktif yang bermuatan negative. Secara in vivo, kemungkinan
protein tersebut teraktif pada permukaan sel endotel. Kalau komponen dalam fase kontak terakit
pada permukaan pengaktif, factor XII akan diaktifkan menjadi factor XIIa pada saat proteolisis
oleh kalikrein. Factor XIIa ini akan menyerang prekalikrein untuk menghasilkan lebih banyak

44
kalikrein lagi dengan menimbulkan aktivasi timbal balik. Begitu terbentuk, factor xiia
mengaktifkan factor XI menjadi Xia, dan juga melepaskan bradikinin (vasodilator) dari
kininogen dengan berat molekul tinggi.

Factor Xia dengan adanya ion Ca2+ mengaktifkan factor IX, menjadi enzim serin
protease, yaitu factor IXa. Factor ini selanjutnya memutuskan ikatan Arg-Ile dalam factor X
untuk menghasilkan serin protease 2-rantai, yaitu factor Xa. Reaksi yang belakangan ini
memerlukan perakitan komponen, yang dinamakan kompleks tenase, pada permukaan
trombosit aktif, yakni: Ca2+ dan factor IXa dan factor X. Perlu kita perhatikan bahwa dalam
semua reaksi yang melibatkan zimogen yang mengandung Gla (factor II, VII, IXdan X), residu
Gla dalam region terminal amino pada molekul tersebut berfungsi sebagai tempat pengikatan
berafinitas tinggi untuk Ca2+. Bagi perakitan kompleks tenase,trombosit pertama-tama harus
diaktifkan untuk membuka fosfolipid asidik (anionic). Fosfatidil serin dan fosfatoidil inositol
yang normalnya terdapat pada sisi keadaan tidak bekerja. Factor VIII, suatu glikoprotein, bukan
merupakan precursor protease, tetapi kofaktor yang berfungsi sebagai resepto untuk factor IXa
dan X pada permukaan trombosit. Factor VIII diaktifkan oleh thrombin dengan jumlah yang
sangat kecil hingga terbentuk factor VIIIa, yang selanjutnya diinaktifkan oleh thrombin dalam
proses pemecahan lebih lanjut. ( Hoffbrand,2006)

Kaskade pembekuan darah jalur instrinsik terjadi kalau terdapat trauma jaringan sehingga
terdapat pelepasan faktor jaringan yang disebut juga tromboplastin jaringan. Faktor ini terutama
dibentuk oleh fosfolipid yang berasal dari membrane ditambah dengan kompleks lipoprotein
yang memiliki fungsi utama sebagai enzim proteolitik. Sedangkan pembekuan darah jalur
intrinsik dimulai dengan trauma di dalam darah sendiri yang menyebabkan aktivasi faktor XII
dan pelepasan fosfolipid trombosit. Selanjutnya terjadi pengaktivan jalur instrinsik. Kedua jalur
ini memiliki jalur bersama yang kemudian menyebabkan pembentukan thrombin dan benang-
benang fibrin.

45
Kaskade pembekuan darah, jalur intrinsik dan ekstrinsik serta jalur Bersama.

E. Jalur Ekstrinsik/ Ekstrinsic Pathway


Disebut ekstrinsik karena tromboplastin jaringan (tissue factor) berasal dari luar darah.
Lintasan ekstrinsik melibatkan factor jaringan, factor VII,X serta Ca2+ danmenghasilkan factor
Xa. Produksi factor Xa dimulai pada tempat cedera jaringan dengan ekspresi factor jaringan
pada sel endotel. Factor jaringan berinteraksi dengan factor VIIdan mengaktifkannya; factor
VII merupakan glikoprotein yang mengandung Gla, beredar dalam darah dan disintesis di hati.
Factor jaringan bekerja sebagai kofaktor untuk factor VIIa dengan menggalakkan aktivitas
enzimatik untuk mengaktifkan factor X. factor VII memutuskan ikatan Arg-Ile yang sama
dalam factor X yang dipotong oleh komplekstenase pada lintasan intrinsic. Aktivasi factor X
menciptakan hubungan yang pentingantara lintasan intrinsic dan ekstrinsik.Interaksi yang
penting lainnya antara lintasan ekstrinsik dan intrinsic adalah bahwa kompleks factor jaringan
dengan factor VIIa juga mengaktifkan factor IX dalam lintasan intrinsic. Sebenarna,
pembentukan kompleks antara factor jaringan dan factor VIIa kini dipandang sebagai proses
penting yang terlibat dalam memulai pembekuan darah secara in vivo. Makna fisiologik tahap
awal lintasan intrinsic, yang turut melibatkan factor XII, prekalikrein dan kininogen dengan
46
berat molekul besar.Sebenarnya lintasan intrinsic bisa lebih penting dari fibrinolisis
dibandingkan dalamkoagulasi, karena kalikrein, factor XIIa dan Xia dapat memotong
plasminogen, dan kalikrein dapat mengaktifkan urokinase rantai-tunggal. Inhibitor lintasan
factor jaringan (TFPI: tissue factor fatway inhibitior) merupakan inhibitor fisiologik utama
yang menghambat koagulasi. Inhibitor ini berupa protein yang beredar didalam darah dan
terikat lipoprotein. TFPI menghambat langsung factor Xa dengan terikat pada enzim tersebut
didekat tampak aktifnya. Kemudian kompleks factor Xa-TFPI ini manghambat kompleks factor
VIIa-faktor jaringan (Hoffbrand,2006).

F. Lintasan Terakhir (Bersama)


Pada lintasan terakhir yang sama, factor Xa yang dihasilkan oleh lintasan intrinsik dan
ekstrinsik, akan mengaktifkan protrombin(II) menjadi thrombin (IIa) yang kemudian mengubah
fibrinogen menjadi fibrin. Pengaktifan protrombin terjadi pada permukaan trombosit aktif dan
memerlukan perakitan kompelks protrombinase yang terdiri atas fosfolipid anionic platelet,
Ca2+, factor Va, factor Xa dan protrombin. Factor V yang disintesis di hati, limpa serta ginjal
dan ditemukan di dalam trombosit serta plasma berfungsi sebagai kofaktor dengan kerja mirip
factor VIII dalam kompleks tenase. Ketika aktif menjadi Va oleh sejumlah kecil thrombin,
unsure ini terikat dengan reseptor spesifik pada membrane trombosit dan membentuk suatu
kompleks dengan factor Xa serta protrombin. Selanjutnya kompleks ini diinaktifkan oleh kerja
thrombin lebih lanjut, dengan demikian akan menghasilkan sarana untuk membatasi
pengaktifan protrombin menjadi thrombin. Protrombin (72 kDa) merupakan glikoprotein
rantai-tunggal yang disintesis di hati. Region terminal-amino pada prothrombin mengandung
sepeuluh residu Gla, dan tempat protease aktif yang bergantung pada serin berada dalam region-
terminal karboksil molekul tersebut. Setelah terikat dengan kompleks factor Va serta Xa pada
membrane trombosit, protrombin dipecah oleh factor Xa pada dua tapak aktif untuk
menghasilkan molekul thrombin dua rantai yang aktif, yang kemudian dilepas dari permukaan
trombosit. Rantai A dan B pada thrombin disatukan oleh ikatan disulfide.

Proses konversi Fibrinogen menjadi Fibrin. Fibrinogen (factor 1, 340 kDa) merupakan
glikoprotein plasma yang bersifat dapat larut dan terdiri atas 3 pasang rantai polipeptida
nonidentik (Aα,Bβγ)2 yang dihubungkan secara kovalen oleh ikatan disulfida. Rantai Bβ dan y
mengandung oligosakarida kompleks yang terikat dengan asparagin. Ketiga rantai tersebut
keseluruhannya disintesis dihati: tiga structural yang terlibat berada pada kromosom yang sama
dan ekspresinya diatur secara terkoordinasi dalam tubuhmanusia. Region terminal amino pada
keenam rantai dipertahankan dengan jarak yangrapat oleh sejumlah ikatan disulfide, sementara

47
region terminal karboksil tampak terpisah sehingga menghasilkan molekol memanjang yang
sangat asimetrik. Bagian A dan B padarantai Aa dan Bβ, diberi nama difibrinopeptida A (FPA)
dan B (FPB), mempunyai ujung terminal amino pada rantainya masing-masing yang
mengandung muatan negative berlebihan sebagai akibat adanya residu aspartat serta glutamate
disamping tirosin O-sulfat yang tidak lazim dalam FPB. Muatannegatif ini turut memberikan
sifat dapat larut pada fibrinogen dalam plasma dan juga berfungsi untuk mencegah agregasi
denganmenimbulkan repulse elektrostatik antara molekul-molekul fibrinogen.
Thrombin(34kDa), yaitu protease serin yang dibentuk oleh kompleks protrobinase,
menghidrolisis4 ikatan Arg-Gly diantara molekul-molekul fibrinopeptida dan bagian α serta β
padarantai Aa dan Bβ fibrinogen. Pelepasan molekul fibrinopeptida oleh
thrombinmenghasilkan monomer fibrin yang memiliki struktur subunit (αβγ)2. Karena FPA
dan FPB masing-masing hanya mengandung 16 dan 14 residu, molekul fibrin akan
mempertahankan 98% residu yang terdapat dalam fibrinogen.

Pengeluaran molekul fibrinopeptida akan memajankan tapak pengikatan yang


memungkinkan molekulmonomer fibrin mengadakan agregasi spontan dengan susunan
bergiliran secara teratur hingga terbentuk bekuan fibrin yang tidak larut. Pembentukan polimer
fibrin inilah yangmenangkap trombosit, sel darah merah dan komponen lainnya sehingga
terbentuk trombos merah atau putih. Bekuan fibrin ini mula-mula bersifat agak lemah dan
disatukan hanya melalui ikatan non kovalen antara molekul-molekul monomer fibrin. Selain
mengubah fibrinogen menjadi fibrin, thrombin juga mengubah factor XIII menjadi XIIIa yang
merupakan transglutaminase yang sangat spesifik dan membentuk ikatan silan secara kovalen
anatr molekul fibrin dengan membentuk ikatan peptide antar gugus amida residu glutamine dan
gugus ε-amino residu lisin, sehingga menghasilkan bekuan fibrin yang lebih stabil dengan
peningkatan resistensi terhadap proteolisis. (Litchman, 2005).

48
Jalur Pembekuan Darah
Sumber: Buku Fisiologi Manusia: Dari Sel ke Sistem, 2011.

G. Fibrinolisis
fibrinolisis merupakan mekanisme pecahnya benang fibrin (salah satu agen pembeku
darah yang diproduksi dalam darah sebagai produk akhir koagulasi). Darah juga
mengandungenzim fibrinolitik yang berguna mecegah pembentukan gumpalan atau pembekuan
darah pada area yang tidak terluka, sehingga tidak akan menghalangi aliran darah, dan juga
enzim ini akan menghancurkan fibrin bila luka telah sembuh. Trombosis merupakan
pembentukan gumpalan atau bekuan darah yang tidak normal, yang terjadi bila terdapat
gangguan pada jalur pembekuan darah dan pemecahan fibrin. Obat yang dapat mengaktifkan
kerja fibrinolisis dapat juga menyembuhkan penyakit seperti embolisme paru-paru, daninfark
myocardial yang disebabkan karena adanya gumpalan darah yang menghalangi aliran darah.

49
Mekanisme Fibrinolisis.

Fibrinolisis adalah mekanisme fisiologis yangbekerja secara konstan dengan


sistimpembekuan darah untuk menjamin lancarnyaaliran darah ke organ perifer atau jaringan
tubuh.
Koagulasi dan fibrinolisis merupakan mekanisme yang saling berkaitan erat sehingga
seorang tidak dapat membicarakan masalah koagulasi tanpa di sertai dengan fibrinolisis
demikian juga sebaliknya.dalam system koagulasis dan fibrinolisis terdapat system lain yang
mengatur agar kedua proses tidak langsung berlebihan .sistem tersebut terdiri dari faktor- faktor
penghambat ( inhibitor). Seluruh proses merupakan mekanisme terpadu antara aktifitas
pembuluh darah,fungsi trombosit ,interaksi antara prokoagulan dalam sirkulasi dengan
trombosit ,aktifasi fibrinolisis dan aktifitas inhibitor.

Mekanisme Fibrinolisis

50
MODUL VIII

Jaminan mutu pemeriksaan hematologic

Mutu adalah mendapatkan hasil yang benar secara langsung setiap saat dan tepat waktu,
menggunakan sumber daya yang efektif dan efisien. Ini penting dalam semua tahap proses
pemeriksaan laboratorium, mulai dari penerimaan sampel, pemeriksaan hingga pelaporan hasil
uji.
Jaminan mutu atau pemantapan mutu adalah suatu sistem manajemen yang dirancang
untuk mengawasi kegiatan-kegiatan pada seluruh tahap (desain produk, produksi, penyerahan
produk serta layanan), guna mencegah adanya masalah-masalah kualitas dan memastikan
bahwa hanya produk yang memenuhi syarat yang sampai ke tangan pelanggan.

Sebagai tenaga ATLM yang bertanggung jawab atas hasil pemeriksaan laboratorium
klinik, Anda harus menjamin bahwa hasil pemeriksaan laboratorium Anda valid dan dapat
digunakan oleh klinisi untuk mengambil keputusan klinis. Agar mendapatkan hasil
pemeriksaan laboratorium yang dapat dipercaya/ bermutu, maka setiap tahap pemeriksaan
laboratorium harus dikendalikan. Pengendalian pada setiap tahap ini ditujukan untuk
meminimalisir atau mencegah kesalahan-kesalahan yang terjadi di laboratorium. Kegiatan
pengendalian mutu secara terus menerus setiap hari untuk mendeteksi secara dini kesalahan
yang terjadi pada tiap tahapan sehingga diperoleh hasil pemeriksaan yang tepat dan teliti.
Kegiatan ini pada dasarnya adalah kegiatan pemantapan mutu yang bertujuan menghasilkan
pemeriksaan laboratorium yang bermutu. Secara garis besar pemantapan mutu terdiri dari
pemantapan mutu internal dan pemantapan mutu eksternal.
Ada tiga tahap pemantapan mutu internal (PMI) bidang hematologi yang dilakukan, yaitu:
1. Tahap Pra analitik
2. Tahap Analitik
3. Tahap Pasca analitik

A. TAHAP PRA ANALITIK


Kegiatan tahap pra analitik adalah serangkaian kegiatan laboratorium sebelum
pemeriksaan spesimen, yang meliputi:
1. Persiapan pasien
2. Pemberian identitas spesimen
3. Pengambilan dan penampungan spesimen
4. Penanganan spesimen
51
5. Pengiriman spesimen
6. Pengolahan dan persiapan specimen

Kegiatan ini dilaksanakan agar spesimen benar-benar representatif sesuai dengan keadaan
pasien, tidak terjadi kekeliruan jenis spesimen, dan mencegah tertukarnya spesimen-spesimen
pasien satu sama lainnya.
Tujuan pengendalian tahap pra analitik yaitu untuk menjamin bahwa spesimen-spesimen
yang diterima benar dan dari pasien yang benar pula serta memenuhi syarat yang telah
ditentukan.
Kesalahan yang terjadi pada tahap pra analitik adalah yang terbesar, yaitu dapat mencapai
60% - 70%. Hal ini dapat disebabkan dari spesimen yang diterima laboratorium tidak memenuhi
syarat yang ditentukan. Spesimen dari pasien dapat diibaratkan seperti bahan baku yang akan
diolah. Jika bahan baku tidak baik, tidak memenuhi persyaratan untuk pemeriksaan, maka akan
didapatkan hasil/ output pemeriksaan yang salah. Sehingga penting sekali untuk
mempersiapkan pasien sebelum melakukan pengambilan spesimen. Spesimen yang tidak
memenuhi syarat sebaiknya ditolak, dan dilakukan pengulangan pengambilan spesimen agar
tidak merugikan laboratorium.

B. TAHAP ANALITIK
Kegiatan laboratorium yang dilakukan pada tahap analitik meliputi:
1. Pemeriksaan spesimen
2. Pemeliharaan dan Kalibrasi alat
3. Uji kualitas reagen
4. Uji Ketelitian – Ketepatan (Qualty Control)

Tujuan pengendalian tahap analitik yaitu untuk menjamin bahwa hasil pemeriksaan
spesimen dari pasien dapat dipercaya/ valid, sehingga klinisi dapat menggunakan hasil
pemeriksaan laboratorium tersebut untuk menegakkan diagnosis terhadap pasiennya.
Walaupun tingkat kesalahan tahap analitik (sekitar 10% - 15%) tidak sebesar tahap pra
analitik, laboratorium tetap harus memperhatikan kegiatan pada tahap ini. Kegiatan tahap
analitik ini lebih mudah dikontrol atau dikendalikan dibandingkan tahap pra analitik, karena
semua kegiatannya berada dalam laboratorium. Sedangkan pada tahap pra analitik ada
hubungannya dengan pasien, yang kadang-kadang sulit untuk dikendalikan.
Laboratorium wajib melakukan pemeliharaan dan kalibrasi alat baik secara berkala atau
sesuai kebutuhan, agar dalam melaksanakan pemeriksaan spesimen pasien tidak mengalami
52
kendala atau gangguan yang berasal dari alat laboratorium. Kerusakan alat dapat menghambat
aktivitas laboratorium, sehingga dapat mengganggu performa/ penampilan laboratorium yang
pada akhirnya akan merugikan laboratorium itu sendiri.
Untuk mendapatkan mutu yang dipersyaratkan, laboratorium harus melakukan uji
ketelitian – ketepatan. Uji ketelitian disebut juga pemantapan presisi, dan dapat dijadikan
indikator adanya penyimpangan akibat kesalahan acak (random error). Uji ketepatan disebut
juga pemantapan akurasi, dan dapat digunakan untuk mengenali adanya kesalahan sistemik
(systemic error). Pelaksanaan uji ketelitian – ketepatan yaitu dengan menguji bahan kontrol
yang telah diketahui nilainya (assayed kontrol sera). Bila hasil pemeriksaan bahan kontrol
terletak dalam rentang nilai kontrol, maka hasil pemeriksaan terhadap spesimen pasien
dianggap layak dilaporkan.

C. TAHAP PASCA ANALITIK


Kegiatan laboratorium yang dilakukan pada tahap pasca analitik yaitu sebelum hasil
pemeriksaan diserahkan ke pasien, meliputi:
1. Penulisan hasil
2. interpretasi hasil
3. Pelaporan Hasil

Seperti pada tahap analitik, tingkat kesalahan tahap pasca analitik hanya sekitar 15% -
20%. Walaupun tingkat kesalahan ini lebih kecil jika dibandingkan kesalahan pada tahap pra
analitik, tetapi tetap memegang peranan yang penting. Kesalahan penulisan hasil pemeriksaan
pasien dapat membuat klinisi salah memberikan diagnosis terhadap pasiennya. Kesalahan
dalam menginterpretasikan dan melaporkan hasil pemeriksaan juga dapat berbahaya bagi
pasien.
Ketiga tahap kegiatan laboratorium ini sama-sama penting untuk dilaksanakan sebaik
mungkin, agar mendapatkan hasil pemeriksaan yang berkualitas tinggi, mempunyai ketelitian
dan ketepatan sehingga membantu klinisi dalam rangka menegakkan diagnosa, pengobatan atau
pemulihan kesehatan pasien yang ditanganinya.
Seperti kita ketahui bersama bahwa hematologi adalah salah satu bidang yang terdapat
dalam laboratorium klinik. Pemeriksaan hematologi menggunakan sampel darah manusia,
dengan tujuan ingin mengetahui jumlah,bentuk atau komponen yang terkandung dalam sel-sel
darah tersebut. Agar laboratorium hematologi dapat mengeluarkan hasil pemeriksaan yang
handal/realibel, maka harus dilakukan pemantapan mutu. Pemantapan mutu yang dilakukan

53
oleh laboratorium secara mandiri untuk menghasilkan pemeriksaan yang bermutu disebut
pemantapan mutu internal.
Sebagai tenaga ATLM yang bertanggung jawab akan hasil pemeriksaan laboratorium
hematologi, Anda harus memahami prosedur kerja pelaksanaan pemantapan mutu internal yang
meliputi pemeriksaan bahan kontrol, uji statistik dan evaluasi hasilnya. Oleh karena itu Anda
diharapkan mempunyai kompetensi dalam melakukan pemantapan mutu internal bidang
hematologi setelah mempelajari bab 9 ini.
Laboratorium hematologi telah mengalami revolusi teknologi setelah 20 tahun terakhir
dari metode manual berkembang menuju instrumen yang relatif sederhana sampai pada
instrumen multi-parameter yang kompleks. Meluasnya penggunaan analyzer darah lengkap
otomatis beserta perbaikan material kalibrator dan kontrol membawa dampak besar terhadap
efisiensi operasional laboratorium. Meskipun demikian, tetap diperlukan upaya untuk
mempertahankan akurasi dengan jalan mencegah atau memprediksi penyimpangan selama
pemakaian rutin. Upaya ini sekarang semakin mudah dilakukan dengan tersedianya berbagai
strategi dan perangkat statistik untuk membantu pelaksanaan program penjaminan mutu
(quality assurance/QA) dan kontrol kualitas (quality kontrol/QC) hematologi, yang bila
diterapkan secara teliti diharapkan hasil tes yang reliabel akan dapat dicapai.
Berbeda dengan kimia klinik, dimana pelaksanaan kontrol kualitas relarif telah mapan
dan berkembang luas, beberapa bahan kontrol kualitas bidang hematologi masih dihadapkan
pada masalah pada upaya standardisasi. Hal ini disebabkan sifat pengukuran dalam bidang
hematologi yang melibatkan komponen seluler yang hidup. Elemen-elemen dari pemeriksaan
darah lengkap (complete blood count/CBC) yang saat ini telah tersedia dan termasuk didalam
standar adalah pengukuran kadar hemoglobin, hematokrit, mean carpuscular volume (MCV),
hitung jumlah eritrosit (RBC), hitung jumlah trombosit (platelet count), dan hitung jumlah
leukosit (WBC). Idealnya material untuk kalibrasi dan QC sebaiknya berasal dari sumber yang
sama dan identik dengan bahan yang akan diperiksa. Darah segar mempunyai keterbatasan
dimana komponen-komponen sel darah akan mengalami kerusakan sesudah 24 jam.

54

Anda mungkin juga menyukai