Menyusun Indikator Mutu Rumah Sakit
Menyusun Indikator Mutu Rumah Sakit
22 July 2015
Pendahuluan
Indikator, standar, dan mutu adalah tiga hal yang berbeda. Suatu pelayanan dikatakan bermutu dalam
dimensi tertentu apabila indikator pelayanan mencapai atau melampaui suatu standar tertentu. Mutu,
dengan demikian tidak akan tercapai tanpa suatu perencanaan dan wawasan yang terkait dengan mutu
tersebut. Dengan kata lain, bila kita menginginkan pelayanan yang bermutu di rumah sakit, maka
manajemen rumah sakit perlu memperluas wawasan mengenai mutu pelayanan tersebut dan
merencanakan serangkaian aksi untuk mencapai suatu tingkat/standar tertentu. Pencapaian atas aksi-
aksi tersebut diukur dengan indikator.
Indikator, dengan demikian, perlu dirancang bersama dengan serangkaian proses yang akan diambil
dalam upaya peningkatan mutu. Memimpin serangkaian proses ini, termasuk menyusun indikator,
menjadi sangat penting. Memimpin sistem mikro klinik dalam meningkatkan mutu sudah pernah saya
bahas dalam tulisan ini. Maksud tulisan ini adalah membahas beberapa hal yang sering ditanyakan para
pimpinan sistem mikro klinis dalam menyusun indikator mutu pelayanan. Sebagai tambahan yaitu
gagasan untuk melakukan analisis lebih lanjut dengan bantuan ilmu statistika.
Indikator Mutu
Indikator mutu klinis adalah pengukuran manajemen klinis dan/atau luaran pelayanan (Collopy 2000)
dan diwujudkan dalam angka (Takaki et al. 2013). Indikator mutu, dengan demikian, selalu merupakan
pengukuran kuantitatif atau semi kuantitatif yang memiliki numerator (pembilang) dan denominator
(penyebut / pembagi). Umumnya, denominator adalah populasi tertentu dan numerator adalah
kelompok dalam populasi yang memiliki karakteristik tertentu.
Agency for Healthcare Research and Quality (AHRQ) di Amerika Serikat mempublikasikan empat
kelompok indikator mutu, yaitu prevention quality indicator, inpatient quality indicator, patient safety
indicator, dan pediatric quality indicator (dapat diakses di sini). Sementara itu, Joint Commission
International juga menerbitkan International Hospital Inpatient Quality Measures yang terdiri dari
sepuluh kelompok indikator klinis (dapat diunduh di sini). Contoh dari kedua sumber tersebut sering
dipakai bergantian dalam ceramah mengenai akreditasi rumah sakit di Indonesia.
Di Indonesia, penetapan indikator dipandu Peraturan Menteri Kesehatan No. 129 Tahun 2008 tentang
Standar Pelayanan Minimal (SPM) Rumah Sakit. Dalam lampiran Permenkes tersebut, diatur 21 jenis
pelayanan dan 107 indikator yang telah ditetapkan standar minimalnya dengan nilai tertentu.
Kementrian Kesehatan menetapkan standar ini menjadi tolak ukur pelayanan rumah sakit badan layanan
umum daerah.
Terlepas dari beberapa nilai standar dalam SPM tersebut yang tidak dapat dilampaui, acuan tersebut
memberikan sistematika yang baik dalam membuat indikator. Setiap indikator dijelaskan dengan
beberapa aspek seperti judul indikator, definisi operasional, tujuan, dimensi mutu, numerator,
denominator, frekuensi pengukuran, sumber data, dan penanggung jawab pengumpulan data.
Pengukuran dapat dilakukan bila tahu apa yang diukur. Dengan demikian, judul dan definisi operasional
indikator telah jelas. Definisi operasional yang dimaksud di sini termasuk definisi operasional numerator
dan denominator. Dimensi mutu sesuai permenkes mengacu pada dimensi mutu World Health
Organization (WHO), yaitu efektif, efisien, mudah diakses, diterima/berpusat pada pasien, tidak
berpihak, dan aman (World Health Organization 2006). Maksud masing-masing dimensi mutu disajikan
dalam tabel 1.
Dalam Permenkes disebut bahwa numerator adalah jumlah pasien yang mengalami infeksi dalam satu
bulan. Selanjutnya, denominator dalam lampiran tersebut tidak jelas disebutkan namun kemungkinan
adalah jumlah pasien yang dioperasi dalam satu bulan. Di sini jelas, bahwa angka yang dimaksud dalam
permenkes ini adalah angka insidensi. Menilik keterangannya, muncul beberapa pertanyaan misalnya:
Apakah ini dihitung untuk seluruh rumah sakit atau untuk satu bangsal tertentu? Data ini menunjukkan
mutu pelayanan rawat inap atau menunjukkan mutu layanan sterilisasi atau menunjukkan mutu layanan
pembedahan?
Infeksi pasca operasi saat ini lebih sering disebut sebagai infeksi daerah operasi (IDO) atau surgical site
infection (SSI). Infeksi ini lebih sering didiagnosis setelah pasien pulang dan merupakan hasil kontaminasi
pada daerah luka operasi pada akhir pembedahan (National Collaborating Centre for Women's and
Children's Health 2008). Bila mengikuti panduan permenkes tersebut, rumah sakit perlu menyediakan
dua sarana pengumpulan data, satu untuk mengumpulkan IDO yang baru ditemukan dan satu untuk
mengumpulkan jumlah pasien yang menjalani operasi pada bulan tersebut.
Dalam kerangka berpikir, indikator mutu pelayanan rawat inap, pimpinan ruang rawat inap bedah dapat
memodifikasi indikator ini untuk mendapatkan manfaat lebih. Mari kita simak tabel berikut.
Dengan modifikasi ini, pimpinan ruang rawat inap bedah memudahkan tim untuk mengumpulkan data
karena setiap hari cukup mendata ada berapa pasien pasca operasi yang dirawat dan ada berapa pasien
yang mengalami IDO. Jumlah tersebut ditambahkan mulai tanggal satu sampai akhir bulan dan
dimasukkan ke dalam rumus. Sekarang, rumah sakit tahu prevalensi IDO bulan tersebut dan sebagai
bonus, pimpinan ruang rawat inap bedah bisa menghitung berapa banyak sumber daya yang dipakai
untuk mengurus IDO dan apakah prevalensi ini menurun atau tidak dari bulan ke bulan (menunjukkan
mutu layanan luka pascaoperasi di ruang rawat inap bedah).
Statistika dapat membantu pimpinan rumah sakit untuk melihat apakah ada beda bermakna pada ruang
perawatan satu dengan yang lain pada indikator yang sesuai. Selain itu, pimpinan rumah sakit dapat
mengevaluasi juga apakah benar ada perubahan yang bermakna setelah intervensi perbaikan mutu
dilakukan di suatu unit kerja. Pengujian dengan statistika lebih lanjut dapat juga mengungkap apakah
benar suatu perlakukan meningkatkan mutu pelayanan tertentu.
Namun sebelum melakukan analisis tersebut, perlu dilakukan pemilihan uji statistik yang sesuai. Untuk
itu pada saat merancang indikator mutu perlu dipikirkan mengenai uji statistik tersebut. Mulai dari
apakah data yang dikumpulkan menggunakan sampel atau populasi. Populasi berarti semua dihitung.
Contoh IDO di atas memanfaatkan data populasi. Semua pasien yang menjalani operasi dihitung sebagai
denominator. Ada keuntungan dan kerugian masing-masing dalam memakai populasi atau sampel. Bila
populasinya tidak banyak, menggunakan sampel tentu tidak bijaksana.
Persiapan lainnya adalah menentukan tipe data. Apakah data tersebut merupakan data nominal,
ordinal, interval, atau rasio. Tipe data tertentu dapat memerlukan uji statistik yang berbeda dengan tipe
data lainnya untuk melihat hal yang sama.
Dengan penghitungan indikator yang telah dirancang dengan hati-hati ditambah dengan uji statistik
yang sesuai, pimpinan rumah sakit dan pimpinan unit kerja dapat menarik kesimpulan mengenai mutu
pelayanan. Tentu penarikan kesimpulan ini perlu kehati-hatian. Penurunan secara signifikan waktu
respon triase merah di instalasi gawat darurat tidak lantas disimpulkan bahwa ada perbaikan pelayanan
gawat darurat. Hasil ini dapat saja murni merupakan hasil modifikasi akses masuk pasien saja dan tidak
berhubungan sama sekali dengan mutu pelayanan instalasi gawat darurat secara umum.
Penutup
Indikator mutu rumah sakit adalah ukuran kuantitatif yang diukur untuk lebih memahami mutu
pelayanan di rumah sakit. Indikator perlu dirancang dengan seksama dengan mempertimbangkan
dimensi mutu yang ingin diukur, cara pengumpulan data, dan strategi analisisnya. Dengan hati-hati
merancang indikator mutu pelayanan, sumber daya bisa dihemat, hasil lebih akurat, dan pengambilan
keputusan di tingkat sistem mikro maupun sistem makro bisa lebih strategis.
Bahan Bacaan
Collopy, BT 2000, 'Clinical indicators in accreditation: an effective stimulus to improve patient care',
International Journal for Quality in Health Care, vol 12, no. 3, pp. 211-216.
Takaki, O, Takeuki, I, Takahashi, K, Izumi, N, Murata, K, Ikeda, M & Hasida, K 2013, 'Graphical
representation of quality indicators based on medical service ontology', Springer Plus, vol 2, no. 274, pp.
1-20.
World Health Organization 2006, Quality of care : a process for making strategic choices in health
systems , World Health Organization, Geneve, Switzerland.
National Collaborating Centre for Women's and Children's Health 2008, Surgical site infection:
prevention and treatment of surgical site infection, RCOG Press at the Royal College of Obstetricians and
Gynaecologists, London.
Penulis
Artikel ini ditulis dr. Robertus Arian Datusanantyo, M.P.H., alumni pascasarjana Ilmu Kesehatan
Masyarakat dengan minat Manajemen Rumah Sakit Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Saat
ini penulis sedang melanjutkan pendidikan dokter spesialis di Universitas Airlangga. Tulisan ini
merupakan opini pribadi.