Anda di halaman 1dari 59

LAPORAN PENDAHULUAN GOUT, HIPERTENSI DAN

BENIGNA PROSTAT HIPERPLASIA

Diajukan untuk memenuhi tugas stase gerontik dari


Lucia Aryanti S.Kep.,Ners., M.Kep

Oleh
Kelompok 1.02

Putri Inka 4119083


Silna Rahmawati 4119063
Muhamad Setiadi 4119076
Chyntia Devianti 4119084
Fahri Al Ghifari 4119079
Indah Hersida 4119068
Ineu Rachmawati 4119084
Karmelina Ramdani 4119086
Siti Adriyanti 4119062
Rahmah Puji Rahayu 4119069
Widya Purnamasari 4119070

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN RAJAWALI
2019

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memeberikan
rahmat serta karunia-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaiakan
makalah ini yang alhamdulillah tepat pada waktunya yang berjudul “Laporan
pendahuluan gout, hipertensi, dan benigna prostat hiperplasia”. Diharapkan
makalah ini dapat memberikan informasi kepada kita semua.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena
itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami
harapkan demi kesempurnaan makalah ini.

Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah
berperan serta dalam menyusun makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga
Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita. Amin

17 Desember 2019

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .....................................................................................

DAFTAR ISI. ...................................................................................................

TINJAUAN TEORI

1. Komsep Penyakit Gout


1.1 Definisi ............................................................................................
1.2 Anatomi Fisiologi ............................................................................
1.3 Etiologi ............................................................................................
1.4 Klasifikasi .......................................................................................
1.5 Patofisiologi. ....................................................................................
1.6 Pathway. ..........................................................................................
1.7 Manifestasi Klinis. ...........................................................................
1.8 Pemeriksaan Diagnostik. .................................................................
1.9 Penatalaksanaant. .............................................................................
1.10 Komplikasi ......................................................................................
2. Konsep Asuhan Keperawatan Gerontik Gout
2.1 Pengkajian .......................................................................................
2.2 Diagnosa keperawatan ....................................................................
2.3 Intervensi ........................................................................................
3. Konsep Penyakit Hipertensi. .....................................................................
3.1 Definisi ............................................................................................
3.2 Etiologi ............................................................................................
3.3 Klasifikasi .......................................................................................
3.4 Patofisiologi. ....................................................................................
3.5 Pathway. ..........................................................................................
3.6 Manifestasi Klinis. ...........................................................................
3.7 Penatalaksanaan. ..............................................................................
3.8 Komplikasi ......................................................................................

ii
4. Konsep Asuhan Keperawatan Gerontik Hipertensi. .................................
4.1 Pengkajian .......................................................................................
4.2 Diagnosa keperawatan ....................................................................
4.3 Intervensi ........................................................................................

5. Konsep Penyakit Benigna Prostat Hiperplasia..........................................


5.1 Definisi ............................................................................................
5.2 Anatomi Fisiologi ............................................................................
5.3 Etiologi ............................................................................................
5.4 Klasifikasi .......................................................................................
5.5 Patofisiologi. ....................................................................................
5.6 Pathway. ..........................................................................................
5.7 Manifestasi Klinis.. ..........................................................................
5.8 Pemeriksaan Diagnostik. .................................................................
5.9 Penatalaksanaan ...............................................................................

6. Konsep Asuhan Keperawatan Gerontik Benigna Prostat Hiperplasia. .....


6.1 Pengkajian .......................................................................................
6.2 Diagnosa keperawatan ....................................................................
6.3 Intervensi ........................................................................................
DAFTAR PUSTAKA… ..................................................................................

iii
GOUT

1. KONSEP PENYAKIT
1.1 Definisi
Gout adalah peradangan akibat adanya endapan kristal asam urat pada sendi
dan jari. Awalnya, kata gout berasal dari bahasa Latin, yaitu gutta, yang berarti
tetesan. Sebab, menurut kepercayaan kuno, penyakit ini disebabkan oleh luka
yang jatuh tetes demi tetes ke dalam sendi. Pada zaman dahulu, penyakit ini
disangka disebabkan adanya racun yang menyerang pada persendian. Kejadiannya
secara perlahan-lahan, yaitu setetes demi setetes. Hingga akhirnya, pada abad ke
III, Galen menulis mengenai tofi, yaitu endapan natrium urat dalam jaringan
dibawah kulit. Sementara itu, Van Leuwenhoek, pada tahun 1679 sudah
mengetahu adanya kristal pada tofi pirai. (Padila, 2013)
Gout bisa diartikan sebagai sebuah penyakit dimana terjadi penumpukan
asam urat dalam tubuh secara berlebihan, baik akibat produksi yang meningkat,
pembuangan yang menurun, atau akibat peningkatan asupan makanan kaya purin.
Gout ditandai dengan serangan berulang dari arthritis (peradangan sendi) yang
akut, kadang-kadang disertai pembentukan kristal natrium urat besar yang
dinamakan tophus, deformitas (kerusakan) sendi secara kronis, dan cedera pada
ginjal. (Naga S. Sholeh, 2013 )

1.2 Anatomi Fisiologi


Sendi
Persendian terjadi saat permukaan dari dua tulang bertemu, adanya pergerakan
atau tidak bergantung pada sambungannya.
Klasifikasi fungsional persendian
a. Sendi sinatrosis atau sendi mati. Sendi ini dibungkus dengan jaringan ikat
fibrosa atau kartolago.
b. Amfiartrosis adalah sendi dengan pergerakan terbatas yang memungkinkan
terjadinya sedikit gerakan sebagai respons terhadap torsi dan kompresi
c. Diartrosis adalah sendi yang dapat bergerak bebas, disebut juga sendi sinovial.
Sendi ini memiliki rongga sendi yang berisi cairan sinovial, suatu kapsul sendi
(artikular) yang menyambng kedua tulang, dan ujung tulang pada sendi
sinovial dilapisi kartilago artikular (Sloane, 2003)

1.3 Etiologi
Gangguan metabolik dengan meningkatnya konsentrasi asam urat ini
ditimbulkan dari penimbunan kristal di sendi oleh monosodium urat (MSU, gout)
dan kalsium pirofosfat dihidrat (CPPD, pseudogout), dan pada tahap yang lebih
lanjut terjadi degenerasi tulang rawan sendi. (Nurarif A. Huda, 2015)

1.4 Klasifikasi

Penyakit gout dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu primer dan


sekunder.

a. Gout primer adalah gout yang disebabkan faktor genetik dan lingkungan.
Pada penyakit gout primer ini, 99% penyebabnya belum diketahui (idiopatik).
Namun, kombinasi faktor genetik dan hormonal diduga yang menjadi
penyebab terganggunya metabolisme. Akibatnya, produksi asam urat juga
ikut meningkat. Gout jenis ini juga dapat diakibatkan karena berkurangnya
pengeluaran asam urat dari tubuh.
b. Gout sekunder biasanya timbul karena adanya komplikasi dengan penyakit
lain (hipertensi dan artherosklerosis). Penyebab penyakit gout sekunder antara
lain karena meningkatnya produksi asam urat akibat nutrisi, yaitu
mengonsumsi makanan dengan kadar purin tinggi. Purin adalah salah satu
senyawa basa organik yang menyusun asam nukleat (asam inti dari sel) dan
termasuk dalam kelompok asam amino, unsur pembentuk protein. (Naga S.
Sholeh, 2013)

2
1.5 Patofisiologi
Adanya gangguan metabolisme purin dalam tubuh, intake bahan yang
mengandung asam urat tinggi, dan sistem ekskresi asam urat yang tidak adekuat
akan menghasilkan akumulasi asam urat yang berlebihan didalam plasma darah
(Hiperurecemia), sehingga mengakibatkan kristal asam urat menumpuk dalam
tubuh. Penimbunan ini menimbulkan iritasi lokal dan menimbulkan respon
inflamasi.

Hiperurecemia merupakan hasil :

- Meningkatnya produksi asam urat akibat metabolisme purine abnormal


- Menurunnya ekskresi asam urat
- Kombinasi keduanya
Gout sering menyerang wanita post menopause usia 50-60 tahun. Juga dapat
menyerang laki-laki usia pubertas dan atau usia diatas 30 tahun. Penyakit ini
paling sering mengenai sendi metatrsofalangeal, ibu jari kaki, sendi lutut dan
pergelangan kaki. (Padila, 2013)

3
1.6 Pathway

1.7 Manifestasi Klinis


Terdapat empat stadium perjalanan klinis gout yang tidak diobati :
1. Stadium pertama adalah hiperurisemia asimtomatik. Pada stadium ini asam
urat serum laki-laki meningkat dan tanpa gejala selain dari peningkatan asam
urat serum.
2. Stadium kedua arthritis gout akut terjadi awitan mendadak pembengkakan dan
nyeri yang luar biasa, biasanya pada sendi ibu jari kaki dan sendi
metatarsofalangeal.

4
3. Stadium ketiga setelah serangan gout akut adalah tahap interkritis. Tidak
terdapat gejala-gejala pada tahap ini, yang dapat berlangsung dari beberapa
bulan sampai tahun. Kebanyakan orang mengalami serangan gout berulang
dalam waktu kurang dari 1 tahun jika tidak diobati.
4. Stadium keempat adalah tahap gout kronik, dengan timbunan asam urat yang
terus meluas selama beberapa tahun jika pengobatan tidak dimulai.
Peradangan kronik akibat kristal-kristal asam urat mengakibatkan nyeri, sakit,
dan kaku, juga pembesaran dan penonjolan sendi bengkak. (Nurarif A. Huda,
2015)

Gejala dan tanda-tanda penyakit gout bisa dilihat sebagaimana berikut :

1. Hiperurisemia.
2. Arthritis pirai/gout akut, bersifat eksplosif, nyeri hebat, bengkak, merah,
teraba panas pada persendian, dan akan sangat terasa pada waktu bangun tidur
di pagi hari.
3. Terdapat kristal urat yang khas dalam cairan sendi.
4. Terdapat tofi dengan pemeriksaan kimiawi.
5. Telah terjadi lebih dari satu serangan akut.
6. Adanya serangan pada satu sendi, terutama sendi ibu jari kaki.
7. Sendi terlihat kemerahan.
8. Terjadi pembengkakan asimetris pada satu sendi.
9. Tidak ditemukan bakteri pada saat serangan dan inflamasi. (Naga S. Sholeh,
2013 )

1.8 Pemeriksaan Diagnostik


1. Kadar asam urat serum meningkat
2. Laju sedimentasi eritrosit (LSE) meningkat
3. Kadar asam urat urine dapat normal atau meningkat
4. Analisis cairan sinovial dari sendi terinflamasi atau tofi menunjukkan kristal
urat monosodium yang membuat diagnosis

5
5. Sinar X sendi menunjukkan massa tofaseus dan destruksi tulang dan
perubahan sendi. (Nurarif A. Huda, 2015)

1.9 Penatalaksanaan
Apabila terjangkit penyakit ini, maka harus dilakukan pengobatan sebagai berikut
:
1. Obat anti peradangan nonsteroid.
2. Jika penyakit ini mengenai 1-2 sendi, suatu larutan kristal kortikosteroid bisa
disuntikkan langsung ke dalam sendi.
3. Obat pereda nyeri ditambahkan untuk mengendalikan nyeri.
4. Obat-obatan seperti probenesid atau sulfnipirazon berfungsi untuk
menurunkan kadar asam urat dalam darah. (Naga S. Sholeh, 2013)

1.10Komplikasi
1. Tofus
2. Deformitas sendi
3. Nefrolithiasis dapat terjadi sebelum atau sesudah serangan pertama gout
4. Nefropati gout → gagal ginjal
5. Hipertensi. (Mubin, H, 2008)

2. Konsep Asuhan Keperawatan Gerontik Gout


2.1 Pengkajian
1. Biodata

2. Nama, umur, jenis kelamin, status, alamat, pekerjaan, penanggung

jawab.Data dasar pengkajian pasien tergantung padwa keparahan dan

keterlibatan organ-organ lainnya (misalnya mata, jantung, paru-paru,

ginjal), tahapan misalnya eksaserbasi akut atau remisi dan keberadaaan

bersama bentuk-bentuk arthritis lainnya.

6
3. Riwayat Kesehatan

a. Adanya keluhan sakit dan kekakuan pada tangan, atau pada tungkai.

b. Perasaan tidak nyaman dalam beberapa periode/waktu sebelum pasien

mengetahui dan merasakan adanya perubahan pada sendi.

4. Pemeriksaan fisik

a. Inspeksi dan palpasi persendian untuk masing-masing sisi (bilateral),

amati warna kulit, ukuran, lembut tidaknya kulit, dan pembengkakan.

b. Lakukan pengukuran passive range of mation pada sendi-sendi

sinovial

1) Catat bila ada deviasi (keterbatasan gerak sendi)

2) Catat bila ada krepitasi

3) Catat bila terjadi nyeri saat sendi digerakkan

4) Lakukan inspeksi dan palpasi otot-otot skelet secara bilateral

c. Catat bia ada atrofi, tonus yang berkurang

d. Ukur kekuatan otot

e. Kaji tingkat nyeri, derajat dan mulainya

f. Kaji aktivitas/kegiatan sehari-hari

5. Aktivitas/istirahat

Gejala : Nyeri sendi karena gerakan, nyeri tekan, memburuk dengan stres

pada sendi; kekakuan pada pagi hari, biasanya terjadi bilateral dan

simetris.

Limitasi fungsional yang berpengaruh pada gaya hidup, waktu senggang,

pekerjaan, keletihan.

7
Tanda : Malaise

Keterbatasan rentang gerak; atrofi otot, kulit, kontraktor/ kelaianan pada

sendi.

6. Kardiovaskuler

Gejala : Fenomena Raynaud jari tangan/ kaki (mis: pucat intermitten,

sianosis, kemudian kemerahan pada jari sebelum warna kembali normal).

7. Integritas ego

Gejala : Faktor-faktor stres akut/ kronis: mis; finansial, pekerjaan,

ketidakmampuan, faktor-faktor hubungan.

8. Keputusan dan ketidakberdayaan (situasi ketidakmampuan)

Ancaman pada konsep diri, citra tubuh, identitas pribadi (misalnya

ketergantungan pada orang lain).

9. Makanan/ cairan

Gejala ; Ketidakmampuan untuk menghasilkan/ mengkonsumsi makanan/

cairan adekuat: mual, anoreksia

Kesulitan untuk mengunyah

Tanda : Penurunan berat badan

Kekeringan pada membran mukosa.

10. Hygiene

Gejala : Berbagai kesulitan untuk melaksanakan aktivitas perawatan

pribadi. Ketergantungan

11. Neurosensori

8
Gejala : Kebas, semutan pada tangan dan kaki, hilangnya sensasi pada jari

tangan.

Gejala : Pembengkakan sendi simetris

12. Nyeri/ kenyamanan

Gejala : Fase akut dari nyeri (mungkin tidak disertai oleh pembengkakan

jaringan lunak pada sendi).

13. Keamanan

Gejala : Kulit mengkilat, tegang, nodul subkutan, Lesi kulit, ulkus kaki.

Kesulitan dalam ringan dalam menangani tugas/ pemeliharaan rumah

tangga.Demam ringan menetap Kekeringan pada mata dan membran

mukosa.

14. Interaksi social

Gejala : Kerusakan interaksi sosial dengan keluarga/ orang lain; perubahan

peran; isolasi.

15. Riwayat Psiko Sosial

16. Pasien dengan RA mungkin merasakan adanya kecemasan yang cukup

tinggi apalagi pada pasien yang mengalami deformitas pada sendi-sendi

karena ia merasakan adanya kelemahan-kelemahan pada dirinya dan

merasakan kegiatan sehari-hari menjadi berubah. Perawat dapat

melakukan pengkajian terhadap konsep diri klien khususnya aspek body

image dan harga diri klien.

9
2.2 Diagnosis Keperawatan
1. Nyeri akut/kronis berhubungkan dengan : agen pencedera; distensi jaringan

oleh akumulasi cairan/ proses inflamasi, destruksi sendi.

2. Kerusakan Mobilitas Fisik berhubungan dengan: Deformitas skeletal. Nyeri,

ketidaknyamanan, Intoleransi aktivitas, penurunan kekuatan otot.

3. Gangguan citra tubuh./perubahan penampilan peran berhubungan dengan

perubahan kemampuan untuk melaksanakan tugas-tugas umum, peningkatan

penggunaan energi, ketidakseimbangan mobilitas

4. Kurang perawatan diri berhubungan dengan kerusakan muskuloskeletal;

penurunan kekuatan, daya tahan, nyeri pada waktu bergerak, depresi.

2.3 Nursing Care Planning


1. Nyeri akut/kronis berhubungkan dengan : agen pencedera; distensi jaringan

oleh akumulasi cairan/ proses inflamasi, destruksi sendi.

Kriteria Hasil:

a. Menunjukkan nyeri hilang/ terkontrol,

b. Terlihat rileks, dapat tidur/beristirahat dan berpartisipasi dalam aktivitas

sesuai kemampuan.

c. Mengikuti program farmakologis yang diresepkan,

d. Menggabungkan keterampilan relaksasi dan aktivitas hiburan ke dalam

program kontrol nyeri.

10
Intervensi Rasional

Kaji nyeri, catat lokasi dan intensitas (skala Membantu dalam menentukan kebutuhan

0-10). Catat faktor-faktor yangmempercepat manajemen nyeri dan keefektifan program

dan tanda-tanda rasa sakit non verbal

Berikan matras/ kasur keras, bantal kecil,. Matras yang lembut/ empuk, bantal yang

Tinggikan linen tempat tidur sesuai besar akan mencegah pemeliharaan

kebutuhan kesejajaran tubuh yang tepat,

menempatkan stress pada sendi yang

sakit. Peninggian linen tempat tidur

menurunkan tekanan pada sendi yang

terinflamasi/nyeri

Tempatkan/ pantau penggunaan bantal, Mengistirahatkan sendi-sendi yang sakit

karung pasir, gulungan trokhanter, bebat, dan mempertahankan posisi netral.

brace. Penggunaan brace dapat menurunkan

nyeri dan dapat mengurangi kerusakan

pada sendi

Mencegah terjadinya kelelahan umum dan

Dorong untuk sering mengubah posisi,. kekakuan sendi. Menstabilkan sendi,

Bantu untuk bergerak di tempat tidur, mengurangi gerakan/ rasa sakit pada sendi

sokong sendi yang sakit di atas dan bawah,

hindari gerakan yang menyentak Panas meningkatkan relaksasi otot, dan

Anjurkan pasien untuk mandi air hangat mobilitas, menurunkan rasa sakit dan

atau mandi pancuran pada waktu bangun melepaskan kekakuan di pagi hari.

dan/atau pada waktu tidur.

Sediakan waslap hangat untuk mengompres Sensitivitas pada panas dapat dihilangkan

11
sendi-sendi yang sakit beberapa kali sehari. dan luka dermal dapat disembuhkan

Pantau suhu air kompres, air mandi, dan

sebagainya.

2. Kerusakan Mobilitas Fisik berhubungan dengan: Deformitas skeletal, nyeri,

ketidaknyamanan, Intoleransi aktivitas, penurunan kekuatan otot.

Kriteria Hasil :

a. Mempertahankan fungsi posisi dengan tidak hadirnya/ pembatasan

kontraktur.

b. Mempertahankan ataupun meningkatkan kekuatan dan fungsi dari dan/

atau konpensasi bagian tubuh.

c. Mendemonstrasikan tehnik/ perilaku yang memungkinkan melakukan

aktivitas

Intervensi Rasional

Evaluasi/ lanjutkan pemantauan tingkat Tingkat aktivitas/ latihan tergantung dari

inflamasi/ rasa sakit pada sendi perkembangan/ resolusi dari peoses

Pertahankan istirahat tirah baring/ inflamasi

duduk jika diperlukan jadwal aktivitas Istirahat sistemik dianjurkan selama

untuk memberikan periode istirahat eksaserbasi akut dan seluruh fase penyakit

yang terus menerus dan tidur malam yang penting untuk mencegah kelelahan

hari yang tidak terganggu mempartahankan kekuatan

Bantu dengan rentang gerak aktif/pasif, Mempertahankan/ meningkatkan fungsi

demikiqan juga latihan resistif dan sendi, kekuatan otot dan stamina umum.

isometris jika memungkinkan Catatan : latihan tidak adekuat

12
menimbulkan kekakuan sendi, karenanya

aktivitas yang berlebihan dapat merusak

sendi

Ubah posisi dengan sering dengan Menghilangkan tekanan pada jaringan dan

jumlah personel cukup. meningkatkan sirkulasi. Memepermudah

Demonstrasikan/ bantu tehnik perawatan diri dan kemandirian pasien.

pemindahan dan penggunaan bantuan Tehnik pemindahan yang tepat dapat

mobilitas, mencegah robekan abrasi kulit

Posisikan dengan bantal, kantung pasir, Meningkatkan stabilitas (mengurangi resiko

gulungan trokanter, bebat, brace cidera) dan memerptahankan posisi sendi

yang diperlukan dan kesejajaran tubuh,

mengurangi kontraktor

3. Gangguan citra tubuh./perubahan penampilan peran berhubungan dengan

perubahan kemampuan untuk melaksanakan tugas-tugas umum,

peningkatan penggunaan energi, ketidakseimbangan mobilitas.

Kriteria Hasil :

a. Mengungkapkan peningkatan rasa percaya diri dalam kemampuan

untuk menghadapi penyakit, perubahan pada gaya hidup, dan kemungkinan

keterbatasan.

b. Menyusun rencana realistis untuk masa depan.

13
Intervensi Rasional

Dorong pengungkapan mengenai masalah

tentang proses penyakit, harapan masa Berikan kesempatan untuk

depan mengidentifikasi rasa takut/

Diskusikan arti dari kehilangan/ kesalahan konsep dan

perubahan pada pasien/orang terdekat. menghadapinya secara langsung

Memastikan bagaimana pandangaqn Mengidentifikasi bagaimana

pribadi pasien dalam memfungsikan gaya penyakit mempengaruhi persepsi

hidup sehari-hari, termasuk aspek-aspek diri dan interaksi dengan orang lain

seksual. akan menentukan kebutuhan

Diskusikan persepsi pasienmengenai terhadap intervensi/ konseling lebih

bagaimana orang terdekat menerima lanjut

keterbatasan. Isyarat verbal/non verbal orang

terdekat dapat mempunyai pengaruh

mayor pada bagaimana pasien

memandang dirinya sendiri

Nyeri konstan akan melelahkan, dan

Akui dan terima perasaan berduka, perasaan marah dan bermusuhan

bermusuhan, ketergantungan umum terjadi

Perhatikan perilaku menarik diri, Dapat menunjukkan emosional

penggunaan menyangkal atau terlalu ataupun metode koping

memperhatikan perubahan maladaptive, membutuhkan

intervensi lebih lanjut

14
Susun batasan pada perilaku mal adaptif. Membantu pasien untuk

Bantu pasien untuk mengidentifikasi mempertahankan kontrol diri, yang

perilaku positif yang dapat membantu dapat meningkatkan perasaan harga

koping. diri

4. Kurang perawatan diri berhubungan dengan kerusakan muskuloskeletal;

penurunan kekuatan, daya tahan, nyeri pada waktu bergerak, depresi.

Kriteria Hasil :

a. Melaksanakan aktivitas perawatan diri pada tingkat yang konsisten

dengan kemampuan individual.

b. Mendemonstrasikan perubahan teknik/ gaya hidup untuk memenuhi

kebutuhan perawatan diri.

c. Mengidentifikasi sumber-sumber pribadi/ komunitas yang dapat

memenuhi kebutuhan perawatan diri.

Intervensi Rasional

Diskusikan tingkat fungsi umum (0-4) Mungkin dapat melanjutkan aktivitas

sebelum timbul awitan/ eksaserbasi umum dengan melakukan adaptasi

penyakit dan potensial perubahan yang yang diperlukan pada keterbatasan

sekarang diantisipasi saat ini

Pertahankan mobilitas, kontrol terhadap Mendukung kemandirian

nyeri dan program latihan fisik/emosional

Kaji hambatan terhadap partisipasi Menyiapkan untuk meningkatkan

15
dalam perawatan diri. Identifikasi kemandirian, yang akan meningkatkan

/rencana untuk modifikasi lingkungan harga diri

Kolaborasi: Konsul dengan ahli terapi Berguna untuk menentukan alat bantu

okupasi. untuk memenuhi kebutuhan

individual. Mis; memasang kancing,

menggunakan alat bantu memakai

sepatu, menggantungkan pegangan

Kolaborasi: Atur evaluasi kesehatan di untuk mandi pancuran

rumah sebelum pemulangan dengan Mengidentifikasi masalah-masalah

evaluasi setelahnya. yang mungkin dihadapi karena tingkat

kemampuan aktual

16
HIPERTENSI

3. Konsep Penyakit Hipertensi


3.1 Definisi

Hipertensi dapat di definisikan sebagai elevasi segmen persisten dari


tekanan darah sistolik (TDS) 140 mmHg atau lebih dan tekanan darah diastolik
(TDD) 90 mmHg atau lebih. Ketika tekanan darah sistolik 140 mmHg atau lebih
tetapi tekanan darah diastolik tetap kurang dari 90 mmHg, klien didiagnosis
dengan hipertensi sistolik terisolasi atau isolated systolic hypertension (ISH). Jika
tekanan darah diastolik terus diatas 110 sampai 120 mmHg maka klien
didiagnosis dengan hipertensi resisten. Hal ini terjadi ketika hipertensi dibiarkan
tanpa pengobatan (Black dan Hawks, 2014)

Hipertensi adalah suatu keadaan dimana seseorang mengalami peningkatan


tekana darah di atas normal yang mengakibatkan peningkatakn angka kesakitan
(morbiditas) dan angka kematian/mortalitas. Tekanan darah 140/90 mmHg
didasarkan pada dua fase dalam setiap denyut jantung yaitu yaitu fase sistolik 140
menunjukkan fase darah yan sedang dipompa oleh jantung dan fase diastolik 90
menunjukkan fase darah yang kembali ke jantung (Triyanto, 2014).

Hipertensi dapat didefinisikan sebagai tekanan darah sistolik ≥140 mmHg


dan atau tekanan darah diastolik ≥90mmHg yang terjadi pada seorang klien pada
tiga kejadian terpisah (ignatavicius,1994). Menurut WHO dalam buku (Bustan,
2007), batasan tekanan darah yang masih dianggap normal adalah 140/90 mmHg,
sedangkan tekanan darah ≥160/95 mmHg dinyatakan sebagai hipertensi. Tekanan
darah diantara normotensi dan hiptertensi disebut borderline hypertension (Garis
Batas Hipertensi). Batasan WHO tersebut membedakan usia dan jenis kelamin.

Menurut beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa hipertensi


merupakan suatu keadaan dimana tekanan darah sistolik 140 mmHg dan tekanan
darah diastolik atau lebih yang diakibatkan adanya resistensi perifer pada
pembuluh darah sehingga aliran darah ke organ lain menurun.

17
3.2 Etiologi
Etiologi yang pasti dari hipertensi esensial belum diketahui. Namun,
sejumlah interaksi beberapa energi homeostatik saling terkait. Defek awal
diperkirakan pada mekanisme pengaturan cairan tubuh dan tekanan oleh ginjal.
Faktor hereditas berperan penting bilamana ketidakmampuan genetik dalam
mengelola kadar natrium normal. Kelebihan intake natrium dalam diet
meningkatkan volume cairan dan curah jantung. Pembuluh darah memberikan
reaksi atas peningkatan aliran darah melalui ontraksi atau peningkatan tekanan
perifer. Tekanan darah tinggi adalah hasil awal dari peningkatan curah jantung
yang kemudian dipertahankan pada tingkat lebih tinggi sebagai suatu timbal balik
peningkatan tekanan perifer.
Etiologi hipertensi sekunder pada umunya diketahui. Berikut ini beberapa
konsisi yang menjadi penyebab terjadinya hipertensi sekunder.
1) Penggunaan kontrasepsi hormonal (estrogen)
Oral kontrasepsi yang berisi estrogen dapat menyebabkan hipertensi melalui
mekanisme Renin-aldosteron-mediated volume expansion. Dengan
penghentian oral kontrasepsi, tekanan darah normal kembali setelah beberapa
bulan.
2) Penyakit parenkim dan vaskular ginjal
Merupakan penyebab utama hipertensi sekunder. Hipertensi renovaskular
berhubungan dengan penyempitan satu atau lebih arteri besar yang secara
langsung membawa darah ke ginjal. Sekitar 90% lesi arteri renal pada klien
dengan hipertensi disebabkan oleh arterosklerosis atau fibrous displasia
(pertumbuhan abnormal jaringan fibrous). Penyakit parenkim ginjal terkait
dengan infeksi, inflamasi, dan perubahan struktur, serta fungsi ginal.
3) Gangguan endokrin
Disfungsi medulla adrenal atau korteks adrenal dapat menyebabkan hipertensi
sekunder. Adrenal-mediated hypertension disebabkan kelebihanprimer
aldosterone, kortisol, dan katekolamin. Pada aldosteronisme primer,
kelebihan aldosteron menyebabkan hipertensi dan hypokalemia.
Aldosteronisme primer biasanya timbul dan benign adenoma korteks adrenal.

18
Pheochromocytomas pada medulla adrenal yang paling umum dan
meningkatkan sekresi katekolamin yang berlebihan. Pada Sindriom Cushing,
kelebihan glukortikotioid dan dieksresi dari korteks adrenal. Sindorm
Cushing’s mungkin disebabkan oleh hipertensi adrenokortikal atau adenoma
adrenokortikal.
4) Coarctation aorta
Merupakan penyempitan aorta kongenital yang mungkin terjadi beberapa
tingkat pada aorta toraksisk atau aorta abdominal. Penyempitan menghambat
aliran darah di atas area kontriksi.
5) Neurogenik: tumor otak, encephalitis, dan gangguan psikiatrik.
6) Kehamilan
7) Luka bakar
8) Pengingkatan volume intravaskular
9) Merokok
Nikotin dalam rokok merangsang pelepasa katekolamin. Peningkatan
katekolamin menyebabkan iritabilitas miokardial, peningkatan denyut
jantung, dan menyebabkan vasokontriksi, yang mana pada akhirnya
menigkatkan tekanan darah. (Wajan Juni, 2013).

3.3 Klasifikasi

Menurut Bustan (2013). Dikenal berbagai pengelompkkan hipertensi :

1) Menurut kausanya
a. Hipertensi esensil (hipertensi primer); hipertensi yang tidak jelas
penyebabnya.
b. Hipertensi sekunder; hipertensi yang disebabkan oleh penyakit tertentu.
2) Menurut ganguan tekanan darah.
a. Hipertensi sistolik; peningkatan tekanan darah sistolik saja.
b. Hipertensi diastolik; peninggian tekanan diastolik.
3) Menurut beratnya atau tingginya peningkatan tekanan darah
a. Hipertensi ringan : 130-140 mmHg.

19
b. Hipertensi sedang : 140-160 mmHg .
c. Hipertensi berat : >200 mmHg.

Dikenal sebagai berbagai macam batasan tingginya tekanan darah untuk


dapat disebut hipertensi. Untuk itu Menurut World Health Organization (WHO)
dalam buku Bustan (2013). Dipakai batasan berikut.
HT jika TDS >160 mmHg atau TDD >95mmHg.
Macam HT:
a. HT ringan: TTD 90-110.
b. HT sedang: TDD 110-130.
c. HT berat: >130.
Disini tampak bahwa WHO memakai tekanan diastolik sebagai bagian
tekanan yang dipake dalam kriteria diagnosis dan klasifikasi. Tekanan darah
manusia meliputi tekanan darah sistolik, tekanan darah dan waktu jantung
menguncup, dan tekanan darah diastolik yakni tekanan darah waktu jantung
istirahat. Selain untuk diagnosis dan klasifikasi, dalam hal patofisologi,
pengobatan dan prognosis makan tekanan diastolic memang lebih penting dari
pada sistolik.
Pentingnya perhatian terhadap diastolik dalam manajemen hipertensi
berkaitan dengan
1. Lebih tingginya prevalensi hipertensi diastolik.
2. Sangat penting ditegakkan dalam diagnosis.
3. Menjadi ukuran keberhasilan pengobatan hipertensi.
4. Menjadi pegangan dalam menentukan prognosis.
5. Menjadi pedoman evaluasi (kontrol) pengobatan.

Pentingnya batasan hipertensi ini sangat penting karena perubahan tingginya


hipetensi sangat mempengaruhi perhitungan prevalensinya dalam populasi. Sbagai
contoh, perubahan prevalensi hipertensi akibat perubahan batasan hipertensi pada
pendudukan lelaki putih Amerika Serikat, usia 67-74 tahun berikut ini:

20
Prevalensi Hipertensi
Tekanan Darah Presentase Populasi
(TDS/TDD) (Manusia)
>140/90 53
>160/95 24
>170/95 17

Keadaan ini juga berkaitan dengan pentingnya penentuan definsi


operasional dalam penelitian, yakni berkaitan dengan titik potong (cut-of-point)
dari apa yang disebut hipertensi. Dalam contoh diatas jika batasan hipertensi
sangat ‘stict’ (>170/95) maka prevalensi hipertensi hanya 17%. Sedangkan
dengan definisi >140/90 maka prevalensi mencapai 15%.

3.4 Patofisiologi

Terdapat 5 sistem control yang memainkan fungsi utama dalam menjaga


tekanan darah: 1) curah jantung, 2) resistensi perifer, 3) volume darah, 4)
kekentalan darah, dan 5) elastisitas arteri. Tekanan darah bergantung pada curah
jantung, oleh karena itu jika curah jantung meningkat maka darah yang
dipompakan terhadap dinding arteri akan adanya peningkatan frekuensi denyut
jantung, kontraksi otot jantung, atau volume darah. Resistensi perifer adalah
resistensi terhadap aliran darah yang ditentukan oleh otnus otot pembuluh darah
dan diamtetrrnya. Semakin kecil ukuran lumen pembuluh darah perifer, maka
semakin besar resistensinya terhadap aliran darah. Dengan meningkatnya
resistensi, maka tekanna arteri meningkat. Volume darah yang bersirkulasi dalam
sistem vaskular mempenagruhi teknanan darah. Jika terjadi peningkatan volume
darh, maka tekanan terhadap dinding arteri meniingkat. Kekentalan atau
viskosistas darah akan mempengaruhi kemudahan aliran darah melalui pembuluh
darah kecil. Dinding arteri pulmonal bersifat elastis dan meregang, darah yang
dipompakan akan melewati dinding yang kaku sehinngga terjadi peningkatana

21
tekanan sistemik. Tekanan sistolik meningkat lebih signifikan dibandingkan
dengan tekanan darah diastolic akibat penurunan elastisitas arteri. Tiap faktor
hemodinamika dapat saling memppengaruhi (Potter dan Perry, 2010).

Meningkatnya tekanan di dalam arteri bisa terjadi melalui beberapa cara


yaitu jantung memompa lebih kuat sehingga mengalirkan lebih banyak cairan
pada setiap detiknya arteri besar kehilangan kelenturannya dan menjadi kaku
sehingga mereka tidak dapat mengembang pada saat jantung memompa darah
melalui arteri tersebut. Darah pada setiap denyut jantung dipaksa untuk melalui
pembuluh yang sempit dari pada biasanya dan menyebabkan naiknya tekanan.
Inilah yang terjadi pada usia lanjut, dimana dinding arterinya telah menebal dan
kaku karena arterioskalierosis. Dengan cara yang sama, tekanan darah juga
meningkat pada saat terjadi vasokontriksi, yaitu jika arteri kecil (arteriola) untuk
hormone di dalam darah. Bertambahnya cairan dalam sirkulasi bisa terdapat
kelainan fungsi ginjal sehingga tidak mampu membuang sejumlah garam air dari
dalam tubuh. Volume darah dalam tubuh meningkat sehingga tekanan darah juga
meningkat.

Sebaliknya, jika aktivitas memompa jantung berkurang, arteri mengalami


pelebaran, banyak cairan keluar dari sirkulasi, faktor tersebut dilaksanakan oleh
perubahan didalam fungsi ginjal dan sistem saraf otonom (bagian sistem saraf
yang mengantar berbagai fungsi tubuh secara otomatis). Perubahan fungsi ginjal,
tekanan darah meningkat, ginjal akan menambah pengeluaran garam dan air, yang
akan menyebabkan berkurangnya volume darah dan mengembalikan tekanan
darah ke normal Triyanto, 2014).

22
3.5 Pathway

3.6 Manifestasi Klinis

Menurut balck dan Hawks (2014) pada tahap awal tahap perkembangan
hipertensi, tidak manifestasi yang dicatat oleh klien atau praktisi kesehatan. Pada
akhirnya tekanan darah akan naik, jika keadaan ini tidak “terdeteksi” selama
pemeriksaan rutin, klien akan tetap tidak sadar bahwa tekanan darahnya baik. Jika
ekadaan ini dibiarkan tidak terdiagnosis, tekanan darah akan terus naik,

23
manifestasi akan menjadi jelas dank lien pada akhirnya akan dating ke rumah
sakit dengan berbagai keluhan seperti:
1) Sakit kepala terus-menerus,
2) Kelelahan,
3) Pusing,
4) Berdebar-debar,
5) Sesak,
6) Pandagan kabur atau penglihatan ganda, serta mimisan.

3.7 Penatalaksanaan

Menurut Muttaqin (2009) tujuan penatalaksanaan medis pada klien


dengan hipertensi adalh mencegah terjadinya moebiditas dan mortalitas penyerta
dengan mencapai dan mempertahankan tekanan darah di bawah 140/90 mmHg.
Efektivitas setiap program ditentukan oleh derajat hipertensi, komplikasi, biaya
perawatan, dan kulaitas hidup sehubungan dnegan terapi.
1) Modifikasi gaya hidup
Beberapa penelitian menunjukkan pendekatan non farmakologi yang dapat
mengurangi hipertensi yaitu:
a. Teknik mengurangi stress
b. Penurunan berat badan
c. Pembatsan alkohol, natrium dan tembakau
d. Olagraga/latihan
e. Relaksasi merupakan intervensi wajib yang harus dilakukan pada setiap
terapi antihipertensi.
2) Terapi farmakologis
Obat-oba antihipertensi dapat dipakai sebagai obat tunggal atau campur
dengan obat lain. Obat-obatan ini dilkasifikasikan menjadi lima kategori,
yaitu:
a. Diuretik

24
Hidroklorotiazid adalah diuretik yang paling sering diresepkan untuk
mengobati hipertensi ringan. Bayak obat antihipertensi yang dapat
menyebabkan retensi cairan sehingga seringkali diuretik diberi bersama
antihipertensi.
b. Simtpatolitik
Penghambat (adrenergik bekerja di sentral simpatolitik , pengahambat
adrenergic alfa, dan penghambat neuron adrenergik diklasifikasikan
sebagai penekan simpatik, atau simpatolitik penghambat adrenergik bata,
dibahas sebelumnya, juga dianggap sebagai simpatolitik dan mneghambat
reseptor beta.
c. Penghambat adrenergik alfa
Golongan obat ini memblok reseptor adrenergik alfa 1, menyebabkan
vasodilatasi dan penutunan tekanan darah. Penghambat beta juga
menurunkan lipoprotein berdensitas sangat rendah (verylow-density
lipoprotein-VLDL) dan lipoprotein berdensitas rendah (low-desity
lipoproteins-LDL) yang bertanggung jawab dalam penimbunan lemak di
arteri (arteriosclerosis).
d. Pengahmbat neuron adrenergik-alfa (simpatolitik yangbekerja perifer)
Pengahmbat neuro adrenergik merupakan obat antihipertrndi yang kuat
yang menghambat norepinefrin menjadi berkurang dan menyebabkan naik
curah jantung maupun tahanan vascular perife mrnurun. Reserpin dan
guanetidin (dua obat yabg paling kuat) dipakai untuk pengendalian
hipertensi berat. Hipotensi ortostatik merupakakn efek samping yang
sering terjadi klien harus dinasiahtkan untuk bangkit perlahan-lahn dari
posisi baring atau posisi duduk. Obat-obatan dalam kelompok ini dapat
menyebabkan retensi natrium dan air.
e. Vasodilator Arteriol yang bekerja langsung
Vasodilator yang bekerja langsung adalah obat tahap III yang bekerja
dengan merelaksasikan oto-otot pembuluh darah, terutama arteri, shingga
menyebakan vasodilatasi. Dengan terjadinya vasodilatasi, tekanan darah
akan turun dan natrium serta air terteahan, sehingga terjadi edema perifer,

25
diuretik dapat diberikan bersmaa-sama dengan vasodilator yang bekerja
langsung untuk mengurangi edema. Refleks takikardia disebabkan oleh
vasodilatasi dan menurunnya tekanan darah.
f. Antagonis angiostensin (ACE Inhibitor)
Obat dalam golongan ini menghambat enzim perubahan angiotensisn
(ACE), yang nantinya akan menghambat pemebentukan angiostensin II
(vaskonstriktor) dan menghambat pelepasan aldosterone. Aldosterone
meningkatkan retensi natrium dan eksresi kalium. Jika aldosterone
dihambat, natrium dieksresikan bersama-sama dengan air. Kaptopil,
enalaprin, dan linsiropril adalah ketiga antagonis angiostensin. Obat-obat
ini dipakai pada klien dengan kadar renin serum yang tinggi.

3.8 Komplikasi

Menurut Black dan Hawks (2014) hipertensi dapat menimbulkan beberapa


komplikasi seperti berikut;
1) Gagal ajntung
2) Stroke
3) Neuropati
4) Penyakit antiperipheal
5) Retinopati

4 Konsep Asuhan Keperawatan Gerontik Hipertensi


4.1 Pengkajian
1) Pengkajian Keperawatan
a. Aktifitas/Istirahat
Gejala: Kelemahan, letih, nafas pendek, gaya hidup monoton
Tanda : 1) Frekuensi jantung meningkat
2) Perubahan irama jantung
3) Takipnea

26
b. Sirkulasi
Gejala: Riwayat hipertensi, aterosklerosis, penyakit jantung koroner / katup
dan penyakit serebrovaskuler.
Tanda:
1. Kenaikan TD (pengukuran serial dari kenaikan tekanan darahdiperlukan
untuk diagnosis.
2. Nadi: Denyutan jelas dari kerotis, jugularis, radialis.
3. Ekstremitas: perubahan warna kulit, suhu dingin (vasokonstriksiperifer),
pengisian kapiler mungkin lambat/tertunda (vasokonstriksi)
4. Kulit pucat, sianosis dan diaforesis (kongesti, hipoksemia), kemerahan.
c. Integritas ego
Gejala:

1) Riwayat perubahan kepribadian, ansietas, depresi, euphoria, atau marah


kronik (dapat mengindikasikan kerusakan serebral)
2) Faktor-faktor stress multiple (hubungan keuangan yang berkaitan dengan
pekerjaan)
Tanda:

1) Letupan suasana hati, gelisah, penyempitan kontinu perhatian tangisan


yangmeledak
2) Gerak tangan empati, otot muka tegang (khususnya sektor mata), gerakan
fisik cepat, pernafasan menghela, peningkatan pola bicara.

d. Eliminasi
Gejala:Gangguan ginjal saat ini atau yang lalu (seperti infeksi/obstruksi atau
riwayat penyakit ginjal masa yang lalu).

e. Makanan/Cairan
Gejala:

27
1) Makanan yang disukai yang dapat mencakup makanan tinggi garam,
tinggi lemak, tinggi kolesterol (seperti makanan yang digoreng, keju,
telur), gula-gula yang berwarna hitam, kandungan tinggi kalori.
2) Mual, muntah
3) Perubahan berat badan akhir-akhir ini (meningkat/menurun)
4) Riwayat penggunaan diuretik
Tanda:
1) Berat badan normal atau obesitas
2) Adanya oedema
f. Neurosensori
Gejala:

1) Keluhan pening/pusing
2) Berdenyut, sakit kepala suboksipital (terjadi saat bangun dan menghilang
secara spontan setelah beberapa jam)
3) Episode kebas, dan atau kelemahan pada satu sisi tubuh
4) Gangguan penglihatan (diplopia, penglihatan kabur)
5) Episode epistaksis

g. Nyeri/ ketidaknyamanan
Gejala:
1) Angina (penyakit arteri koroner/keterlibatan jantung)
2) Nyeri hilang timbul pada tungkai/klaudikasi (indikasi arteriosklerosis
pada arteri ekstremitas bawah)
3) Sakit kepala oksipital berat seperti yang pernah terjadi sebelumnya
4) Nyeri abdomen atau massa (feokromositoma)

h. Pernafasan
Gejala:
1) dispneu yang berkaitan dengan aktifitas/ kerja
2) takipnea, ortopnea, dispnea nocturnal paroksismal
3) batuk dengan atau tanpa sputum

28
4) riwayat merokok
Tanda:
1) distress respirasi/penggunaan obat aksesori pernafasan
2) bunyi nafas tambahan (krekles/mengi)
3) Sianosis
i. Keamanan
Gejala:
1) gangguan koordinasi atau cara berjalan
2) episode parestesia unilateral transion
3) hipotensi postural
j. Pembelajaran/penyuluhan

Gejala:
1) faktor-faktor risiko keluarga: hipertensi, aterosklerosis, penyakit jantung,
diabetes mellitus, penyakit serebrovaskuler/ginjal.
2) Pengguaan pil KB atau hormone lain; penggunaan obat atau alkohol
(Doenges, 2000; Ruhyanudin, 2007).

4.2 Diagnosis keperawatan

Diagnosa keperawatan hipertensi yang muncul menurut (Doenges, 2000 ;


Ncithea, 2008) adalah sebagai berikut:

1) Resiko tinggi penurunan curah jantung berhubungan dengan vasokontriksi


pembuluh darah.
2) Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum, ketidak
seimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen.
3) Nyeri akut berhubungan dengan peningkatan tekanan vaskuler serebral.
4) Perubahan nutrisi lebih dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan masukan
berlebih sehubungan dengan kebutuhan metabolik.
5) Inefektif koping individu berhubungan dengan mekanisme koping tidak
efektif, harapan yang tidak terpenuhi, persepsi tidak realistik.

29
6) Kurang pengetahuan mengenai konndisi penyakitnya berhubungan dengan
kurangnya informasi

4.3 Intervensi

a. Resiko tinggi penurunan curah jantung berhubungan dengan vasokontriksi


pembuluh darah.
Intervensi:
1) Observasi tekanan darah
Rasional : Perbandingan dari tekanan memberikan gambaran yang lebih
lengkap tentang keterlibatan/bidang masalah vaskuler.
2) Catat keberadaan, kualitas denyutan sentral dan perifer
Rasional: Denyutan karotis, jugularis, radialis dan femoralis mungkin
teramati/palpasi. Dunyut pada tungkai mungkin menurun, mencerminkan
efek dari vasokontriksi.
3) Auskultasi tonus jantung dan bunyi napas.
Rasional : S4 umum terdengar pada pasien hipertensi berat karena adanya
hipertropi atrium, perkembangan S3 menunjukan hipertropi ventrikel dan
kerusakan fungsi, adanya krakels, mengi dapat mengindikasikan kongesti
paru sekunder terhadap terjadinya atau gagal jantung kronik).
4) Amati warna kulit, kelembaban, suhu, dan masa pengisian kapiler.
Rasional : Adanya pucat, dingin, kulit lembab dan masa pengisian kapiler
lambat mencerminkan dekompensasi/penurunan curah jantung.
5) Catat adanya demam umum/tertentu.
Rasional: dapat mengindikasikan gagal jantung, kerusakan ginjal atau
vaskuler.
6) Berikan lingkungan yang nyaman, tenang, kurangi aktivitas/keributan
ligkungan, batasi jumlah pengunjung dan lamanya tinggal.
Rasional: membantu untuk menurunkan rangsangan simpatis, meningkatkan
relaksasi.
7) Anjurkan teknik relaksasi, panduan imajinasi dan distraksi.

30
Rasional: Dapat menurunkan rangsangan yang menimbulkan stress,
membuat efek tenang, sehingga akan menurunkan tekanan darah.
8) Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian therapi anti
hipertensi, diuretik.
Rasional: Menurunkan tekanan darah.

b. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum, ketidak


seimbanganantara suplai dan kebutuhan O2.
1) Kaji toleransi pasien terhadap aktivitas dengan menggunakan parameter:
frekwensi nadi 20 per menit diatas frekwensi istirahat, catat peningkatan TD,
dipsnea, atau nyeri dada, kelelahan berat dan kelemahan, berkeringat, pusing
atau pingsan.
Rasional: Parameter menunjukan respon fisiologis pasien terhadap stress,
aktivitas dan indikator derajat pengaruh kelebihan kerja/jantung.
2) Kaji kesiapan untuk meningkatkan aktivitas contoh: penurunan
kelemahan/kelelahan, TD stabil, frekwensi nadi, peningkatan perhatian pada
aktivitas dan perawatan diri.
Rasional: Stabilitas fisiologis pada istirahat penting untuk memajukan tingkat
aktivitas individual.
3) Dorong memajukan aktivitas/toleransi perawatan diri. (Konsumsi oksigen
miokardia selama berbagai aktivitas dapat meningkatkan jumlah oksigen
yang ada.
Rasional: Kemajuan aktivitas bertahap mencegah peningkatan tiba-tiba pada
kerja jantung.
4) Berikan bantuan sesuai kebutuhan dan anjurkan penggunaan kursi mandi,
menyikat gigi/rambut dengan duduk dan sebagainya.
Rasional: teknik penghematan energi menurunkan penggunaan energi dan
sehingga membantu keseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen.
5) Dorong pasien untuk partisipasi dalam memilih periode aktivitas.
Rasional: Seperti jadwal meningkatkan toleransi terhadap kemajuan aktivitas
dan mencegah kelemahan.

31
c. Nyeri (akut): nyeri kepala berhubungan dengan peningkatan tekanan vaskuler
serebral.
Intervensi:
1) Pertahankan tirah baring selama fase akut.
Rasional: Meminimalkan stimulasi meningkatkan relaksasi.
2) Beri tindakan non farmakologi untuk menghilangkan sakit kepala, misalnya:
kompres dingin pada dahi, pijat punggung dan leher.
Rasional: Tindakan yang menurunkan tekanan vaskuler serebral dengan
menghambat/memblok respon simpatik, efektif dalam menghilangkan sakit
kepala dan komplikasinya.
3) Hilangkan/minimalkan aktivitas vasokontriksi yang dapat meningkatkan sakit
kepala : mengejan saat BAB, batuk panjang, dan membungkuk.
Rasional: Aktivitas yang meningkatkan vasokontriksi menyebabkan sakit
kepala pada adanya peningkatkan tekanan vakuler serebral.
4) Bantu pasien dalam ambulasi sesuai kebutuhan.
Rasional: Meminimalkan penggunaan oksigen dan aktivitas yang berlebihan
yang memperberat kondisi klien.
5) Beri cairan, makanan lunak. Biarkan klien itirahat selama 1 jam setelah
makan.
Rasional: menurunkan kerja miocard sehubungan dengan kerja pencernaan.
6) Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat analgetik, anti ansietas,
diazepam dll.
Rasional: Analgetik menurunkan nyeri dan menurunkan rangsangan saraf
simpatis.

d. Perubahan nutrisi lebih dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan masukan


berlebihan sehubungan dengan kebutuhan metabolik.
Intervensi:

32
1) Kaji pemahaman klien tentang hubungan langsung antara hipertensi dengan
kegemukan.
Rasional: Kegemukan adalah resiko tambahan pada darah tinggi, kerena
disproporsi antara kapasitas aorta dan peningkatan curah jantung berkaitan
dengan massa tumbuh.
2) Bicarakan pentingnya menurunkan masukan kalori dan batasi masukan lemak,
garam dan gula sesuai indikasi.
Rasional: Kesalahan kebiasaan makan menunjang terjadinya aterosklerosis
dan kegemukan yang merupakan predisposisi untuk hipertensi dan
komplikasinya, misalnya, stroke, penyakit ginjal, gagal jantung, kelebihan
masukan garam memperbanyak volume cairan intra vaskuler dan dapat
merusak ginjal yang lebih memperburuk hipertensi.
3) Tetapkan keinginan klien menurunkan berat badan.
Rasional: motivasi untuk penurunan berat badan adalah internal. Individu
harus berkeinginan untuk menurunkan berat badan, bila tidak maka program
sama sekali tidak berhasil.
4) Kaji ulang masukan kalori harian dan pilihan diet.
Rasional: mengidentifikasi kekuatan/kelemahan dalam program diitterakhir.
Membantu dalam menentukan kebutuhan inividu untuk
menyesuaikan/penyuluhan.
5) Dorong klien untuk mempertahankan masukan makanan harian termasuk
kapan dan dimana makan dilakukan dan lingkungan dan perasaan sekitar saat
makanan dimakan.
Rasional: memberikan data dasar tentang keadekuatan nutrisi yang dimakan
dan kondisi emosi saat makan, membantu untuk memfokuskan perhatian pada
faktor mana pasien telah/dapat mengontrol perubahan.
6) Intruksikan dan Bantu memilih makanan yang tepat , hindari makanan dengan
kejenuhan lemak tinggi (mentega, keju, telur, es krim, daging dll) dan
kolesterol (daging berlemak, kuning telur, produk kalengan, jeroan).
Rasional: Menghindari makanan tinggi lemak jenuh dan kolesterol penting
dalam mencegah perkembangan aterogenesis.

33
7) Kolaborasi dengan ahli gizi sesuai indikasi.
Rasional: Memberikan konseling dan bantuan dengan memenuhi kebutuhan
diet individual.

e. Ketidakefektifan koping individu berhubungan dengan mekanisme koping


tidak efektif, harapan yang tidak terpenuhi, persepsi tidak realistik.
Intervensi:
1) Kaji keefektifan strategi koping dengan mengobservasi perilaku, Misalnya:
kemampuan menyatakan perasaan dan perhatian, keinginan berpartisipasi
dalam rencana pengobatan.
Rasional: Mekanisme adaptif perlu untuk megubah pola hidup seorang,
mengatasi hipertensi kronik dan mengintegrasikan terapi yang diharuskan
kedalam kehidupan sehari-hari).
2) Catat laporan gangguan tidur, peningkatan keletihan, kerusakan
konsentrasi, peka rangsangan, penurunan toleransi sakit kepala, ketidak
mampuan untuk mengatasi/menyelesaikan masalah.
Rasional: Manifestasi mekanisme koping maladaptife mungkin merupakan
indikator marah yang ditekan dan diketahui telah menjadi penentu utama TD
diastolik.
3) Bantu klien untuk mengidentifikasi stressor spesifik dan kemungkinan strategi
untuk mengatasinya.
Rasional: pengenalan terhadap stressor adalah langkah
pertama dalam mengubah respon seseorang terhadap stressor)
4) Libatkan klien dalam perencanaan perawatan dan beri dorongan partisipasi
maksimum dalam rencana pengobatan.
Rasional: keterlibatan memberikan klien perasaan kontrol diri yang
berkelanjutan. Memperbaiki keterampilan koping, dan dapat menigkatkan
kerjasama dalam regiment terapiutik.
5) Dorong klien untuk mengevaluasi prioritas/tujuan hidup. Tanyakan pertanyaan
seperti: apakah yang anda lakukan merupakan apa yang anda inginkan?.

34
Rasional: Fokus perhatian klien pada realitas situasi yang relatif terhadap
pandangan klien tentang apa yang diinginkan. Etika kerja keras, kebutuhan
untuk kontrol dan fokus keluar dapat mengarah pada kurang perhatian pada
kebutuhan-kebutuhan personal.
6) Bantu klien untuk mengidentifikasi dan mulai merencanakan perubahan hidup
yang perlu. Bantu untuk menyesuaikan ketimbang membatalkan tujuan
diri/keluarga.
Rasional: Perubahan yang perlu harus diprioritaskan secara
realistis untuk menghindari rasa tidak menentu dan tidak berdaya

f. Kurang pengetahuan mengenai kondisi penyakitnya berhubungan dengan


kurangnya informasi.
Intervensi:
1) Bantu klien dalam mengidentifikasi faktor-faktor resiko kardivaskuler yang
dapat diubah, misalnya: obesitas, diet tinggi lemak jenuh, dan kolesterol, pola
hidup monoton, merokok, dan minum alcohol (lebih dari 60 cc/hari dengan
teratur) pola hidup penuh stress.
Rasional: Faktor-faktor resiko ini telah menunjukan hubungan dalam
menunjang hipertensi dan penyakit kardiovaskuler serta ginjal.
2) Kaji kesiapan dan hambatan dalam belajar termasuk orang terdekat.
Rasional: Kesalahan konsep dan menyangkal diagnosa karena perasaan
sejahtera yang sudah lama dinikmati mempengaruhi minimal klien/orang
terdekat untuk mempelajari penyakit, kemajuan dan prognosis. Bila klien
tidak menerima realitas bahwa membutuhkan pengobatan kontinu, maka
perubahan perilaku tidak akan dipertahankan.
3) Kaji tingkat pemahaman klien tentang pengertian, penyebab, tanda dan
gejala, pencegahan, pengobatan, dan akibat lanjut.
Rasional: Mengidentifikasi tingkat pegetahuan tentang proses penyakit
hipertensi dan mempermudah dalam menentukan intervensi.

35
4) Jelaskan pada klien tentang proses penyakit hipertensi
(pengertian, penyebab, tanda dan gejala, pencegahan, pengobatan, dan akibat
lanjut) melalui pendkes.
Rasional: Meningkatkan pemahaman dan pengetahuan klien tentang proses
penyakit hipertensi (Doenges, 2000; Ncithea, 2008).

5 Konsep Penyakit Benigna Prostat Hiperplasia


5.1 Definisi

Benigna Prostate Hyperplasia (BPH) adalah suatu kondisi yang sering


terjadi sebagai hasil dar pertumbuhan dan pengendalian hormon prostat (Yuliana
Elin, 2011).

BPH adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat ( secara umum pada
pria lebih tua dari 50 tahun ) menyebabkan berbagai derajat obstruksi uretral dan
pembatasan aliran urinarius (Marilynn, E.D, 2000 : 671).

Hiperplasia prostat benigna adalah pembesaran progresif dari kelenjar


prostat (secara umum pria lebih tua dari 50 tahun) menyebabkan berbagai derajat
obstruksi urethral dan pembatasan aliran urinarius (Doengoes, Morehouse &
Geissler, 2000, hal 671).

Benigna Prostat Hiperplasi (BPH) adalah pembesaran jinak kelenjar prostat,


disebabkan oleh karena hiperplasi beberapa atau semua komponen prostat
meliputi jaringan kelenjar/jaringan fibromuskuler yang menyebabkan
penyumbatan uretra pars prostatika (Lab / UPF Ilmu Bedah RSUD dr. Sutomo,
1994 : 193).

BPH adalah suatu keadaan dimana prostat mengalami pembesaran


memanjang keatas kedalam kandung kemih dan menyumbat aliran urin dengan
cara menutupi orifisium uretra. (Smeltzer dan Bare, 2002).

5.2 Anatomi Fisiologi

36
Kelenjar prostat merupakan organ khusus pada lokasi yang kecil, yang
hanya dimiliki oleh pria. Kelenjar prostat terletak di bawah kandung kemih
(vesika urinaria) melekat pada dinding bawah kandung kemih di sekitar uretra
bagian atas. Biasanya ukurannya sebesar buah kenari dengan ukuran 4 x 3 x 2,5
cm dan beratnya kurang lebih 20 gram dan akan membesar sejalan dengan
pertambahan usia. Prostat mengeluarkan sekret cairan yang bercampur secret dari
testis, perbesaran prostate akan membendung uretra dan menyebabkan retensi
urin. Kelenjar prostat, merupakan suatu kelenjar yang terdiri dari 30-50 kelenjar
yang terbagi atas 4 lobus yaitu:

a. Lobus posterior

b. Lobus lateral

c. Lobus anterior

d. Lobus medial

Batas lobus pada kelenjar prostat:

a. Batas superior: basis prostat melanjutkan diri sebagai collum vesica urinaria,
otot polos berjalan tanpa terputus dari satu organ ke organ yang lain. Batas
inferior : apex prostat terletak pada permukaan atas diafragma urogenitalis.
Uretra meninggalkan prostat tepat diatas apex permukaan anterior.

b. Anterior : permukaan anterior prostat berbatasan dengan simphisis pubis,


dipisahkan dari simphisis oleh lemak ekstraperitoneal yang terdapat pada
cavum retropubica(cavum retziuz). Selubung fibrosa prostat dihubungkan
dengan permukaan posterior os pubis dan ligamentum puboprostatica.
Ligamentum ini terletak pada pinggir garis tengah dan merupakan kondensasi
vascia pelvis.

c. Posterior : permukaan posterior prostat berhubungan erat dengan permukaan


anterior ampula recti dan dipisahkan darinya oleh septum retovesicalis (vascia
Denonvillier). Septum ini dibentuk pada masa janin oleh fusi dinding ujung
bawah excavatio rectovesicalis peritonealis, yang semula menyebar ke bawah
menuju corpus perinealis.

37
d. Lateral : permukaan lateral prostat terselubung oleh serabut anterior m. levator
ani waktu serabut ini berjalan ke posterior dari os pubis. Ductus ejaculatorius
menembus bagisan atas permukaan prostat untuk bermuara pada uretra pars
prostatica pada pinggir lateral orificium utriculus prostaticus. Lobus lateral
mengandung banyak kelenjar.

Gambar: Anatomi Prostat

38
Fungsi Prostat

Kelenjar prostat ditutupi oleh jaringan fibrosa, lapisan otot halus, dan
substansi glandular yang tersusun dari sel epitel kolumnar. Kelenjar prostat
menyekresi cairan seperti susu yang menusun 30% dari total cairan semen, dan
memberi tampilan susu pada semen. Sifat cairannya sedikit alkali yang member
perlindungan pada sperma di dalam vagina yang bersifat asam. Sekret prostat
bersifat alkali yang membantu menetralkan keasaman vagina. Cairan prostat juga
mengandung enzim pembekuan yang akan menebalkan semen dalam vagina
sehingga semen bisa bertahan dalam serviks.

5.3 Etiologi

Penyebab hiperplasia prostat belum diketahui dengan pasti, ada beberapa


pendapat dan fakta yang menunjukan, ini berasal dan proses yang rumit dari
androgen dan estrogen. Dehidrotestosteron yang berasal dan testosteron dengan
bantuan enzim 5-α reduktase diperkirakan sebagai mediator utama pertumbuhan
prostat.Dalam sitoplasma sel prostat ditemukan reseptor untuk dehidrotestosteron
(DHT). Reseptor ini jumlahnya akan meningkat dengan bantuan estrogen. DHT
yang dibentuk kemudian akan berikatan dengan reseptor membentuk DHT-
Reseptor komplek. Kemudian masuk ke inti sel dan mempengaruhi RNA untuk
menyebabkan sintesis protein sehingga terjadi protiferasi sel. Adanya anggapan
bahwa sebagai dasar adanya gangguan keseimbangan hormon androgen dan
estrogen, dengan bertambahnya umur diketahui bahwa jumlah androgen
berkurang sehingga terjadi peninggian estrogen secara retatif. Diketahui estrogen
mempengaruhi prostat bagian dalam (bagian tengah, lobus lateralis dan lobus
medius) hingga pada hiperestrinism, bagian inilah yang mengalami hiperplasia

Menurut Purnomo (2000), hingga sekarang belum diketahui secara


pasti penyebab prostat hiperplasi, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa
hiperplasi prostat erat kaitannya dengan peningkatan kadar dehidrotestosteron
(DHT) dan proses penuaan.

39
Beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya hiperplasi
prostat adalah :

1. Adanya perubahan keseimbangan antara hormon testosteron dan estrogen


pada usia lanjut.

2. Peranan dari growth factor (faktor pertumbuhan) sebagai pemicu pertumbuhan


stroma kelenjar prostat.

3. Meningkatnya lama hidup sel-sel prostat karena berkurangnya sel yang mati.

4. Teori sel stem, menerangkan bahwa terjadi proliferasi abnormal sel stem
sehingga menyebabkan produksi sel stroma dan sel epitel kelenjar prostat
menjadi berlebihan.

Pada umumnya dikemukakan beberapa teori :


Teori Sel Stem, sel baru biasanya tumbuh dari sel srem. Oleh karena suatu
sebab seperti faktor usia, gangguan keseimbangan hormon atau faktor pencetus
lain. Maka sel stem dapat berproliferasi dengan cepat, sehingga terjadi hiperplasi
kelenjar periuretral.

Teori kedua adalah teori Reawekering (Neal, 1978) menyebutkan bahwa


jaringan kembali seperti perkembangan pada masa tingkat embriologi sehingga
jaringan periuretral dapat tumbuh lebih cepat dari jaringan sekitarnya.

Teori lain adalah teori keseimbangan hormonal yang menyebutkan bahwa


dengan bertanbahnya umur menyebabkan terjadinya produksi testoteron dan
terjadinya konversi testoteron menjadi setrogen. (Kahardjo, 1995).

5.4 Patofisiologi

Kelenjar prostat adalah salah satu organ genetalia pria yang terletak di
sebelah inferior buli-buli, dan membungkus uretra posterior. Bentuknya sebesar
buah kenari dengan berat normal pada orang dewasa ± 20 gram. Menurut Mc Neal
(1976) yang dikutip dan bukunya Purnomo (2000), membagi kelenjar prostat
dalam beberapa zona, antara lain zona perifer, zona sentral, zona transisional,

40
zona fibromuskuler anterior dan periuretra (Purnomo, 2000). Sjamsuhidajat
(2005), menyebutkan bahwa pada usia lanjut akan terjadi perubahan
keseimbangan testosteron estrogen karena produksi testosteron menurun dan
terjadi konversi tertosteron menjadi estrogen pada jaringan adipose di perifer.
Purnomo (2000) menjelaskan bahwa pertumbuhan kelenjar ini sangat tergantung
pada hormon tertosteron, yang di dalam sel-sel kelenjar prostat hormon ini akan
dirubah menjadi dehidrotestosteron (DHT) dengan bantuan enzim alfa reduktase.
Dehidrotestosteron inilah yang secara langsung memacu m-RNA di dalam sel-sel
kelenjar prostat untuk mensintesis protein sehingga terjadi pertumbuhan kelenjar
prostat.

Oleh karena pembesaran prostat terjadi perlahan, maka efek terjadinya


perubahan pada traktus urinarius juga terjadi perlahan-lahan.Perubahan
patofisiologi yang disebabkan pembesaran prostat sebenarnya disebabkan oleh
kombinasi resistensi uretra daerah prostat, tonus trigonum dan leher vesika dan
kekuatan kontraksi detrusor.Secara garis besar, detrusor dipersarafi oleh sistem
parasimpatis, sedang trigonum, leher vesika dan prostat oleh sistem simpatis. Pada
tahap awal setelah terjadinya pembesaran prostat akan terjadi resistensi yang
bertambah pada leher vesika dan daerah prostat. Kemudian detrusor akan
mencoba mengatasi keadaan ini dengan jalan kontraksi lebih kuat dan detrusor
menjadi lebih tebal. Penonjolan serat detrusor ke dalam kandung kemih dengan
sistoskopi akan terlihat seperti balok yang disebut trahekulasi (buli-buli balok).
Mukosa dapat menerobos keluar diantara serat aetrisor. Tonjolan mukosa yang
kecil dinamakan sakula sedangkan yang besar disebut divertikel. Fase penebalan
detrusor ini disebut Fase kompensasi otot dinding kandung kemih. Apabila
keadaan berlanjut maka detrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami
dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi retensi
urin.Pada hiperplasi prostat digolongkan dua tanda gejala yaitu obstruksi dan
iritasi. Gejala obstruksi disebabkan detrusor gagal berkontraksi dengan cukup
lama dan kuat sehingga kontraksi terputus-putus (mengganggu permulaan miksi),
miksi terputus, menetes pada akhir miksi, pancaran lemah, rasa belum puas
setelah miksi. Gejala iritasi terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna atau

41
pembesaran prostat akan merangsang kandung kemih, sehingga sering
berkontraksi walaupun belum penuh atau dikatakan sebagai hipersenitivitas otot
detrusor (frekuensi miksi meningkat, nokturia, miksi sulit ditahan/urgency,
disuria).

Karena produksi urin terus terjadi, maka satu saat vesiko urinaria tidak
mampu lagi menampung urin, sehingga tekanan intravesikel lebih tinggi dari
tekanan sfingter dan obstruksi sehingga terjadi inkontinensia paradox (overflow
incontinence). Retensi kronik menyebabkan refluks vesiko ureter dan dilatasi.
ureter dan ginjal, maka ginjal akan rusak dan terjadi gagal ginjal. Kerusakan
traktus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik mengakibatkan penderita
harus mengejan pada miksi yang menyebabkan peningkatan tekanan
intraabdomen yang akan menimbulkan hernia dan hemoroid. Stasis urin dalam
vesiko urinaria akan membentuk batu endapan yang menambal. Keluhan iritasi
dan hematuria. Selain itu, stasis urin dalam vesika urinaria menjadikan media
pertumbuhan mikroorganisme, yang dapat menyebabkan sistitis dan bila terjadi
refluks menyebabkan pyelonefritis (Sjamsuhidajat, 2005).

42
5.5 Pathway

43
5.6 Manifestasi Klinis

1. Gejala iritatif, meluputi:

a. Peningkaan frekuesnsi berkemih.

b. Nocturia (terbangun di malam hari untuk miksi)

c. Perasaan untuk ingin miksi yang sangat mendesak/tidak dapat di tunda


(urgensi).

d. Nyeri pada saat miksi (disuria).

2. Gejala obstruktif, meliputi:

a. Pancaran urin melemah.

b. Rasa tidak puas sehabis miksi, kandung kemih tidak kosong dengan baik.

c. Jika ingin miksi harus menunggu lama.

d. Volume urin menurundan harus mengedan saat berkemih.

e. Aliran urin tidak lancar/terputus-putus.

f. Waktu miksi memanjang yang akhirnya menjadi retensi urine dan


inkontinensia karena pernumpukan berlebih.

g. Pada gejala yang sudah lanjut, dapat terjadi azotemia (akumulasi produk
sampah nitrogen) dan gagal ginjal dengan etensi urun kronis dan volume
residu yang besar.

3. Gejala generalisata seperti keletihan, anoreksia, mual dan muntah, dan rasa
tidak nyaman pada epigastrik.

Berdasarkan keluhan dapat menjadi menjadi:

a. Derajat 1, penderita merasakan lemahnya pancara berkemih, kencing tidak


puas, frekuensi kencing bertambah terutama di malam hari.

b. Derajat 2, adanya retensi urin mak timbulah infeksi. Penderita akan


mengeluh pada saat miksi terasa panas (disuria) dan kencing malam
bertambah hebat.

44
c. Derajat 3, timbulnya retensi total. Bila sudah sampai tahap ini maka bisa
timbul aliran refluks ke atas, timbul infeksi askenden menjalar ke ginjal
dan dapat menyebabkan pielonefritis, hidronefrosis.

5.7 Pemeriksaan Diagnostik

Menurut Doenges (1999), pemeriksaan penunjang yang mesti dilakukan


pada pasien dengan BPH adalah :

1. Laboratorium
a. Sedimen Urin
Untuk mencari kemungkinan adanya proses infeksi atau inflamasi saluran
kemih.
b. Kultur Urin
Mencari jenis kuman yang menyebabkan infeksi atau sekaligus
menentukan sensitifitas kuman terhadap beberapa antimikroba yang
diujikan.
2. Pencitraan
a. Foto polos abdomen
Mencari kemungkinan adanya batu saluran kemih atau kalkulosa prostat
dan kadang menunjukan bayangan buii-buli yang penuh terisi urin yang
merupakan tanda dari retensi urin.
b. IVP (Intra Vena Pielografi)
Mengetahui kemungkinan kelainan ginjal atau ureter berupa hidroureter
atau hidronefrosis, memperkirakan besarnya kelenjar prostat, penyakit
pada buli-buli.
c. Ultrasonografi (trans abdominal dan trans rektal)
Untuk mengetahui, pembesaran prostat, volume buli-buli atau mengukur
sisa urin dan keadaan patologi lainnya seperti difertikel, tumor.
d. Systocopy
Untuk mengukur besar prostat dengan mengukur panjang uretra
parsprostatika dan melihat penonjolan prostat ke dalam rektum

45
5.8 Penatalaksanaan

1. Observasi

Yaitu pengawasan berkala pada klien setiap 3-6 bulan kemudian setiap tahun
tergantung keadaan klien

2. Medika mentosa

Terapi diindikasikan pada BPH dengan keluhan ringan, sedang dan berat
tanpa disertai penyakit. Obat yang digunakan berasal dari : phitoterapi
(misalnya : hipoxis rosperi, serenoa repens, dll) gelombang alfa blocker dan
golongan supresor androgen.

3. Pembedahan

Indikasi:

a. Klien yang mengalami retensi urin akut atau pernah retensi urin akut

b. Dengan residual urin >100 ml

c. Klien dengan pengulit

d. Terapi medika mentosa tidak berhasil

e. Flowmetri menunjukan pola obstruktif

Pembedahan dapat dilakukan dengan:

1) TURP (Trans Uretral Reseksi Prostat 90-95 %).

2) Retropublic atau extravesical prostatectomy.

3) Perianal prostatectomy.

4) Suprapublic atau tranvesical prostatectomy.

4. Alternatif lain (misalnya kriyoterapi, hipertermia, termoterapi ,terapi


ultrasonic).

46
5.9 Komplikasi

1. Seiring dengan semakin beratnya BPH dapat terjadi obstruksi saluran kemih,
karena urin tidak mampu melewati prostat. Hal ini dapat menyebabkan infeksi
saluran kemih dan apabila tidak diobati, dapat mengakibatkan gagal ginjal.
(Corwin, 2000).

2. Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik


mengakibatkan penderita harus mengejan pada miksi yang mengakibatkan
peningkatan tekanan intra abdomen yang akan menimbulkan hernia dan
hemoroid. Stasis dalam vesiko urinaria akan membentuk batu endapan yang
menambah keluhan iritasi dan hematuria. Selain itu, stasis urin dalam vesiko
urinaria menjadikan media pertumbuhan mikroorganisme. Yang dapat
menyebabkan pyelonefritis(sjamsuhidrajat, 2005).

6 Konsep Asuhan Keperawatan Gerontik Benigna Prostat Hiperplasia


6.1 Pengkajian
A. Pengkajian
1. Meliputi Meliputi nama,umur, jenis kelamin, agama, suku,alamat, tanggal
masuk, tanggal pengkajian, diagnose medis.
2. Riwayat kesehatan
a. Keluhan utama
b. Keluhan saat pengkajian
c. Keluhan terdahulu
d. Riwayat kesehatan keluarga
3. Pola fungsi kesehatan
a. Aktifitas
b. Istirahat
c. Eliminasi
d. Nutrisi
4. Pemeriksaan fisik
a. Status kesehatan umum

47
- Keadaan umum
- Kesadaran
- TTV
- TB dan BB
b. Pemeriksaan fisik secara head to toe
5. Data psikologis
a. pendidikan
b. hubungan siosial
c. gaya hidup
d. peran dalam keluarga
6. Data penunjang
7. Pengobatan

6.2 Diagnosa keperawatan


1. Nyeri akut b/d spasmus kandung kemih dan insisi sekunder pada TURP.
2. Gangguan eliminasi urine

48
6.3 Intervensi

No. Diagnosa NOC (OUTCOME) NIC (INTERVENTION)


1. Nyeri akut Domain : merasa sehat Manajemen nyeri
Kelas : kepuasaan Aktifitas :
terhadap pelayanan 1. Tunjukan rencana
Kepuasaan klien : nyeri keseluruhan pada nyeri
Kriteria hasil : untuk menentukan
1. Mampu lokasi, karakteristik,
mengontrol nyeri durasi, nyeri,
2. Mampu memantau frekuaensi, kualitas
tingkat nyeri nyeri, intensitas atau
secara teratur kehebatan nyeri dan
3. Mampu memantau faktor penyebab
efek samping dari 2. Observasi non verbal
pengobatan 3. Yakinkan klien dengan
4. Mampu penuh perhatian untuk
melakukan pemberian analgetik
tindakan untuk 4. Gunakan terapi dengan
meringankan nyeri cara komunikasi untuk
5. Mampu mengatakan riwayat
melakukan nyeri dan
tinakan untuk menyampaikan
menyediakan persetujaun respon
kenyamanan pasien terhadap nyeri
6. Mampu 5. Mencari tahu tentang
melakukan pengetahuan klien
tindakan preventif tentang nyeri
dengan menemui 6. Lakukan pembicaraan
klien untuk dengan klien faktor
mamjemen nyeri yang menyebabkan

49
7. Berikan informasi nyeri semakin parah
tentang cara 7. Evaluasi dengan klien
meringankan nyeri dan tim kesehatan
8. Mampu bekerja tentang keefektifan
sama dengan tim tindakana pengontrolan
kesehatan lain nyeri terakhir kali yang
dalam manajemen telah dilakukan
nyeri 8. Sediakan informasi
Domain : merasa sehat tentang nyeri, seperti
Kelas : kesehatan dan penyebab nyeri, berapa
kualitas hidup lama nyeri akan terjadi
Kriteria hasil : dan pencegahan
1. Kesehatan fisik ketidaknyamanan dari
menjadi lebih baik tindakan
2. Konsistemsi 9. Kurangi atau hilangkan
pelayanan yang faktor penyebab atau
dibutuhkan klien peningkatan rasa nyeri (
dapat terpenuhi misal : ketakuatan,
Domain : merasa sehat kelemahan,monoton)
Kelas : status gejala 10. Pilih dan lakukan
tingkat ketidaknyamanan sebuah tindakan variasi
Kritria hasil : ( misal : pengobatan,
1. nyeri berkurang nonfarmakologi) untuk
2. Tidak lagi merasa mendukung
cemas meringankan nyeri
3. Klien tidak lagi secara tepat.
mengalami 11. Ajarkan tentang prinsip
bedrest dari manajemen nyeri
Mampu memposisikan 12. Anjurkan klien
tubuh dengan nyaman memantau nyeri pada
diri sendiri dan

50
rencanakan secara tepat
13. Ajarkan tentang
pengobatan pereda nyeri
14. Implementasikan
penggunaan control
analgetik pasien secara
tepat
15. Gunakan tindakan
pengontrolan nyeri
sebelum nyeri menjadi
hebat
16. Periksa tingkat
keidaknyamanan pada
klien, perubahan catatan
pada catatan medis,
informasikan dengan
tim kesehatan lainnya.
Distraksi :
1. Ajarkan klien untuk
memilih teknik relaksasi
2. Berikan teknik yang
konsisten dengan
tingkat kekuatan,
kemampuan sesuai usia,
tingkat perkembangan
dan penggunaan secara
efektif untuk yang
terakhir
3. Berikan teknik distraksi
secara mandiri dengan
dasar kesuksesan teknik

51
yang digunakan terakhir
kali dan usia atau
tingkat perkembangan
Evaluasi dan dokumentasiakn
respon terhadap distraksi
2. Gangguan Urinaria elimination 1. Monitoring eliminasi
eliminasi Indikator : urin termasuk frekuesni,
urin 1. Pengosongan konsistensi, volume dan
vesika urinaria warna secara tepat
secara menyeluruh 2. Catat waktu terakhir
2. Penurunan skla kali secara tepat
nyeri ketika BAK 3. Bantu klien dengan
3. Frekuensi urin mengembangakn
normal toileting secara rutin,
4. Tidak ada retensi secara tepat
urin 4. Intruksikan pasien
5. Tidak lagi untuk mengosongkan
mengalami BAK kandung kemih terlebih
pada malam hari dahulu yang
terlalu sering berhubungan dengan
produre yang
bersangkutan
5. Intruksikan pasien
untuk memonitor tanda
dan gejala infeksi
saluran kemih.

52
DAFTAR PUSTAKA

Azizah,Lilik Ma’rifatul. Keperawatan Lanjut Usia. Edisi 1. Garaha Ilmu.

Yogyakarta. 2011

Black JM, Hawks JH. Keperawatan Medikal Bedah: manajemen klinis untuk hasil
yang diharapkan (Nampira RA, Yudhistira, Eka SC editor Bahasa
Indonesia) 8th ed. 1. Singapura: Elsevier; 2014

Brunner dan Suddarth. 2000. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC.

Bustan, M. N. Epidemiologi Penyakit Tidak Menular. Jakarta: PT Rineka Cpta;


2007

Doengoes, Marilynn E.dkk. Rencana Aasuhan Keperawatan & Pedoman untuk


Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi III.Alih
Bahasa: I Made Kriasa. Jakarta. EGC; 2000.
Engram Barbara, 1998, Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah, Vol 3.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran, EGC.

Kushariyadi. Asuhan Keperawatan pada Klien Lanjut Usia. Salemba Medika.

Jakarta. 2010

Mubaraq, Chayatin, Santoso. Ilmu Keperawatan Komunitas Konsep Dan Aplikasi.

Salemba Medika. Jakarta. 2011

Muttaqin, Arif. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem


Kardiovaskular. Jakarta: Salemba Medika; 2009

Naga, Sholeh. (2013). Buku Panduan Lengkap Ilmu Penyakit Dalam. Yogyakarta
: DIVA Press

Ncithea. (19 Februari 2008). Kumpulan Askep: Askep Hipertensi.


http://askep.com/2008/02/askep/-hipertensi.html di unduh tanggal 17
Desember 2019.

53
Nurarif & Hardhi. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa
Nanda Nic-Noc. Jilid 2. Jogjakarta : Mediaction

Nurari. 2017. Gangguan pada sistem perkemihan dan penatalaksanaan


keperawatan. Yogyakarta : deepublish cv budi utama

Potter dan Perry. Fundamental Keperawatan. (Nggie AF, Albar M, editor Bahasa
Indonesia). 7th ed. Buku 2. Jakarta: Salemba Medika; 2010

Ruhyanudin, Faqih. Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Gangguan Sistem


Kardiovaskuler. Malang. Cetakan pertama. Universitas Muhammadiah
Malang; 2007.
Sloane, Ethel. (2003). Anatomi dan Fisiologi untuk Pemula. Jakarta : EGC

Stanley, Mickey. Buku Ajar Keperawatan Gerontik. Alih Bahasa; Nety Juniarti,

Sari Kurnianingsih. Editor; Eny Meiliya, Monica Ester. Edisi 2. EGC.

Jakarta. 2006

Tamher, S. Noorkasiani. Kesehatan Usia Lanjut dengan Pendekatan Asuhan

Keperawatan. Salemba Medika. Jakarta. 2011

Triyanto E. Penderita Hipertensi Secara Terpadu. Yogyakarta: Graha Ilmu; 2014


Udjianti, WJ. Keperawatan Kardiovaskular. Jakarta: Salemba Medika; 2013

Wijaya Andra Saferi, dkk. 2013. KMB 1 Keperawatan Medikal Bedah


Keperawatan Dewasa Teori dan Contoh Askep. Yogyakarta: Penerbit Nuha
Medika.

54
55

Anda mungkin juga menyukai