Anda di halaman 1dari 17

PERMASALAHAN SOSIAL INDONESIA

Krisis ekonomi yang melanda bangsa indonesia mengakibatkan timbulnya berbagai


hal yang tidak pasti, sehingga indikator ekonomi seperti tingkat suku bunga, laju inflasi,
fluktuasi nilai tukar rupiah, indeks harga saham gabungan, dan sebagainya sangat rentan
terhadap masalah sosial. Hal ini membuktikan bahwa aspek sosial dan aspek politik dapat
mengundang sentimen pasar yang bermuara pada instabilitas ekonomi. Kondisi seperti ini
tentunya berdampak sangat buruk bagi peta bisnis dan iklim investasi diindonesia, terutama
untuk mendapatkan kepercayaan investor asing untuk menanamkan modalnya diindonesia.
Upaya pemerintah untuk meyakinkan dunia internasional akan stabilitas sosial, politik, dan
keamanan belum menunjukkan tanda-tanda yang bearti karena tidak didukung oleh data dan
fakta yang sebenarnya. Bahkan, investor asing berencana untuk melakukan realokasi bisnis
dan investasinya ke negara-negara Asia Tenggara lainnya seperti Vietnam, Thailand, dan
Kamboja yang dianggap lebih kondusif untuk investasi.

PENGERTIAN AKUNTANSI SOSIAL

Akuntansi sosial dapat didefinisikan sebagai seperangkat aktivitas organisasi yang


berkaitan dengan pengukuran dan analisis kinerja sosial organisasi dan pelaporan hasil
kepada kelompok yang berkepentingan didalam maupun diluar organisasi. Mathew (1993)¹
mendefinisikan akuntansi sosial sebagai “pengungkapan sukarela dari informasi kualitatif
maupun kuantitatif yang dibuat perusahaan untuk menginformasikan atau memengaruhi
pembaca. Pengungkapan kuantitatif bisa bersifat finansial maupun nonfinansial.”Gray dkk
(1996)² mendefenisikan akuntansi sosial sebagai akuntansi untuk serangkaian peristiwa
sosial dan lingkungan, dan bukan sekadar memperhitungkan kejadian ekonomi. Selanjutnya,
Gray(2000) mendefiniskan akuntansi sosial sebagai berikut.

“persiapan dan publikasi akun tentang interaksi, kegiatan dan aktivitas sosial,
lingkungan, karyawan, komunitas, pelanggan, dan pihak lain dari organisasi, dan jika
mungkin, konsekuensi dari interaksi dan aktivitas tersebut.”

Pendangan lebih khusus dan sangta kalkulatif disampaikan oleh Belkaoui


(2006:349)³. Belkaoui mengartikan akuntansi sosial dan lingkungan sebagai proses untuk
memilih variabel, mengukur, dan menghasilkan pengukuran dari kinerja sosial dalam
tingkatan organisasi, yang secara sistematis mengembangkan informasi yang berguna untuk
evaluasi kinerja sosial organisasi tersebut, dan mengomunikasikan bahwa informasi untuk
kelompok sosial itu adalah suatu hal yang penting, untuk internal maupun eksternal
organisasi. Kemudian Zarkasyi (2007:10) mendefiniskan akuntansi sosial dan lingkungan
adalah suatu usaha untuk mengganti kerugian dengan pertimbangan bahwa organisasi
memengaruhi, melalui tindakannya, pada lingkungan eksternal (secara positif dan negatif)
sehingga harus memperhitungkan dampak sebagai bagian dari keseluruham akuntansi sebagai
tindakannya. Tidak bisa dipungkiri bahwa akuntansi mempunyai perhatian dalam caranya
untuk tidak membebaskan manusia dan organisasinya tumbuh begitu saja dengan tidak
memedulikan sosial dan lingkungannya.
Secara garis besar aspek akuntansi sosial terdiri dari lingkungan, tenaga kerja, dan
masyarakat disekitar perusahaan. Aspek tersebut dapat dibedakan antara yang dapat diukur
secara moneter dan yang tidak dapat diukur secara moneter. Beberapa aspek akuntansi
pertanggungjawaban sosial yang dapat diukur secara sosial juga terdapat dalam akuntansi
konvesional.

Walaupun akuntansi sosial berfokus pada kinerja pemerintah dan pelaku bisnis, bab
ini akan berkonsentrasi pada akuntansi sosial sebagaimana diterapkan pada kegiatan bisnis.
Dalam hal ini, akuntansi sosial bearti mengidentifikasi, mengukur, dan melaporkan hubungan
antara bisnis dan lingkungannya. Lingkungan bisnis meliputi sumber daya alam, komunitas
dimana bisnis tersebut beroperasi, orang-orang yang diperkerjakan, pelanggan, pesaing, dan
perusahaan serta kelompok lain yang berurusan dengan bisnis tersebut. Proses pelaporan
dapat bersifat internal maupun eksternal.

Selama ini perusahaan dianggap sebagai lembaga yang dapat memberikan banyak
keuntungan bagi masyarakat. Menurut pendekatan teori akuntansi tradisional, perusahaan
harus memaksimalkan laba agar dapat memberikan sumbangan yang maksimum kepada
masyarakat. Model akuntansi dan ekonomi tradisional berfokus pada produksi dan distribusi
barang dan jasa kepada masyarakat. Akuntansi sosial memperluas model ini dengan
memasukkan dampak aktivitas perusahaan terhadap masyarakat. Misalnya, pabrik kertas
tidak hanya menghasilkan bubur kayu dan produk kertas melainkan juga limbah padat dan
pencemaran udara serta air. Dilain pihak, pabrik tersebut mungkin memberikan kontribusi
kepada komunitas dengan memperbolehkan karyawan mengambil waktu luang untuk
pekerjaan sosial atau dengan mendanai beasiswa universitas untuk siswa-siswa yang
berprestasi. Ditinjau dari perspektif ini, akuntansi sosial dapat dilihat sebagai pendekatan
yang berguna untuk mengukur dan melaporkan kontribusi perusahaan kepada komunitas.

Namun, seiring dengan perjalanan waktu, masyarakat semakin menyadari adanya


dampak sosial yang ditimbulkan oleh perusahaan dalam menjalankan operasinya untuk
mencapai laba yang maksimal, yang semakin lama semakin besar dan semakin sulit untuk
dikendalikan. Oleh karena itu, masyarakat juga menuntut agar perusahaan senantiasa
memperhatikan dampak sosial yang ditimbulkkannya dan berupaya mengatasinya.

Aksi protes terhadap perusahaan sering dilakukan oleh karyawan dan buruh dalam
rangkat menuntut kebijakan upah dan pemberian fasilitas kesejahteraan karena yang berlaku
sekarang dirasakan kurang mencerminkan keadilan. Aksi yang serupa juga tidak jarang
dilakukan oleh pihak masyarakat, sebagai konsumen maupun masyarakat dilingkungan
sekitar pabrik. Masyarakat sebagai konsumen sering kali melakukan protes terhadap hal-hal
yang berkaitan dengan mutu produk sehubungan dengan kesehatan, keselamatan, dan
kehalalan suatu produk bagi konsumennya. Sedangkan protes yang dilakukan masyarakat
disekitar pabrik biasanya berkaitan dengan pencemaran lingkungan yang disebabkan limbah
pabrik.

Laba neto telah dianggap secara tradisional sebagai kontribusi perusahaan kepada
komunitas. Akuntan sosial memandang hal ini sebagai fokus yang terlalu sempit. Mereka
beranggapan bahwa untuk mengukur kontribusi sosial suatu perusahaan dengan memadai,
biaya atau laba harus dimasukkan. Laba hanya ada karena beberapa biaya sosial, seperti
polusi air, tidak dimasukkan dalam perhitungan laba perusahaan tersebut.

Deskripsi tersebut menunjukkan adanya ketidakselarasan sosial antara perusahaan dan


masyarakat. Banyak keluhan telah dilontarkan kepada perusaahaan dan perusahaan dituntut
untuk lebih memperhatikan tanggung jawab sosialnya kepada masyarakat. Adanya
pergeseran dari arah pandangan tradisional kearah kesejahteraan sosial ini telah mendorong
lahirnya akuntansi sosial yang merupakan subdisiplin akuntansi yang memfokuskan
perhatiannya terhadap dampak sosial yang ditimbulkan oleh perusahaan kepada masyarakat,
baik biaya sosial (social cost) maupun manfaat sosial (social benefit).

TAHAPAN PERKEMBANGAN AKUNTANSI SOSIAL

Sejarah Perkembangan Akuntansi Sosial

Akuntansi sosial berkepentingan dengan identifikasi dan pengukuran manfaat sosial


dan biaya sosial-konsep yang biasanya diabaikan oleh akuntan tradisional. Untuk memahami
perkembangan akuntansi sosial, seseorang harus mengetahui bagaimana manfaat dan biaya
sosial telah diperlakukan dimasa lalu. Untuk tujuan bab ini, manfaat dan biaya sosial akan
didefinisikan sebagai dampak negatif dan positif dari perkembangan ekonomi, industrialisasi
dan perubahan teknologi.

Pada awal tahun 1900, para ekonomi telah mencoba untuk memasukkan manfaat dan
biaya sosial dalan model teori ekonomi mikro neoklasik. Meskipun mereka berusaha,
manfaat dan biaya sosial dianggap sebagai anomali dan sebagian besar, diabaikan oleh
mayoritas ekonomi. Akan tetapi, kemajuan telah dilakukan dalam analisis, pengukuran, serta
penyajian masalah manfaat dan biaya sosial. Hari ini, meskipun berada diluar arus utama
teori ekonomi, ekonomi lingkungan dan manajamen sumber daya alam adalah subdisiplin
yang aktif dalam ekonomi. Model akuntansi dasar (untuk tujuan keuangan dan manajerial).
Menggunakan teori ekonomi mikro untuk menentukan apa yang harus dimasukkan atau
dikeluarkan dari perhitungan akuntansi. Manfaat dan biaya sosial, oleh karena itu, telah
diabaikam secara tradisional oleh teoretikus dan praktisi akuntansi. Beberapa gerakan massa
pada tahun 1960-an, terutama yang ditujuakn untuk membuat pemerintan dan bisnis lebih
responsif terhadap kebutuhan masyarakat,memiliki andil dalam memfokuskan perhatian pada
biaya dan manfaat sosial.

Pada tahun 1960-an juga terdapat pertumbuhan dalam gerakan lingkungan ketika
lebih banyak orang menyadari dampak industrialisasi pada kualitas udara, air, dan tanah.
Undang-undang disahkan untuk melindungi sumber daya alam ini dan mengendalikan
pembuangan limbah beracun. Hukum menetapkan standar untuk emisi polusi dan
mengenakan denda kepada siapa pun yang melanggarnya. Para pelaku bisnis diminta untuk
mengendalikan emisi polusi dan bekerja sama dengan pemerintah untuk mengembangkan dan
menerapkan rencana untuk mengurangi polusi.
Konsumen menjadi lebih tegas pada tahun 1960-an, sehingga menimbulkan gerakan
hak konsumen. Kelompok konsumen berusahaa untuk membuat para pelaku bisnis dan
prodouk mereka lebih responsif terhadap kebutuhan konsumen. Usaha dilakukan untuk
membuat produk yang berbahaya atau tidak sehat diperbaiki atau ditarik dari pasar. Pesan
“teliti sebelum membeli” tidak dianggap sebagai praktik bisnis normal. Berbagai buku
mengenai keselamatan produk dan mutu membantu mendorong undang-undang perlindungan
hak konsumen.

Dengan menetapkan undang-undang dalam bidang ini, pemerintah memaksa individu


dan para pelaku bisnis untuk menjadi lebih responsif terhadap kebutuhan sosial. Walaupun
pelaksanaan undang-undangan ini cenderung lemah, fakta bahwa undang-undang tersebut ada
dan mengenakan sanksi untuk mendorong kepatuhan. Secara bertahap, undang-undang
tersebut telah membawa dampak positif, terdapat banyak perusahaan yang peka terhadap
lingkunhan. Hal ini tampak dari munculnya akun yang terkait dengan kegiatan sosial pada
laporan keuangannya.

FASE-FASE PERKEMBANGAN AKUNTANSI SOSIAL

Fase Pertama Howard Bowen

Sebagaimana dijelaskan sukoharsono (2010) dalam tulisannya menyatakan Howard Bowen


(1908-1989) adalah seorang historian ekonomi Amerika yang memberikan inspirasi
kemunculan akuntansi sosial dan lingkungan. Bowen mengawali kariernya di University of
lowa, hingga keposisi presidn Grinnell College, the University of lowa, Kontribusi Bowen
adalah dengan publikasi buku yang berjudul Social Responsibilitu of Businessmen tahun
1953. Bowen (/1953) meletakkan dasar konsep ini dengan mengatakan :

“...ini mengacu pada kewajiban pengusaha untuk menerapkan kebijakan tersebut,


untuk membuat keputusan tersebut, atau mengikuti garis tindakan yang diinginkan
berdasarkan tujuan dan nilai masyarakat kita...”

Kemudian, secara kolektif dijadikan landasan awal mendefinisikan tanggung jawab sosial
bagi kewajiban pelaku bisnis untuk menetapkan tujuan bisnis yang selaras dengan tujuan
(objectives) dan nilai masyarakat (society values). Konsep ini meronttokan paham ekonomi
yang dengan pengorbanan sekecil-kecilnya untuk memperoleh hasil yang sebesar-besarnya.
Jadi, sudah lama hukum ekonomi yang selalu kita dengar disekitar kita ini telah rontok.
Janganlah kita pakai lagi pemahaman hukum ekonomi ini, berkorban sedikit untuk hasil yang
sebesarnya. Nilai sosial dan lingkungan harus menjadi tujuan organisasi. Sekalipun masa itu
belum sangat bearti dalam perkembangannya, tetapi American Accounting Association
(1971) mencatat bahwa fase ini mulai bermunculan gagasan, konsep, proposal, dan
pendekatan untuk memperkenalkan awal akuntansi sosial dan lingkungan. Asosiasi ini
berpandangan bahwa non-financial measures (pengukuran nonkeuangan) adalah penting
untuk efektivitas operasional organisasi.
Fase Kedua Keith Davis

Menyambung apa yang digagas oleh Bowen (1953), Davis (1960) memperkenalkan
tulisannya tentang “Con Business Afford to ignore its Social Responsibilities?” Davis secara
tajam berpandangan bahwa tanggung jawab sosial harus dimiliki oleh organisasi.

“keputusan dan tindakan bisnis diambil untuk alesan yang setidaknya sebagai
melampaui kepentingan ekonomi atau teknis langsung perusahaan..............(Davis, 1960)”.

Dengan pernyataan ini Davis menegaskan adanya tanggung jawab sosial organisasi
diluar tanggung jawab ekonomi semata. Argumen Davis menjadi sangat relevan, karena pada
masa tersebut (1960-an) pandangan mengenai tanggung jawab sosial organisasi masih sangat
didominasi oleh pemikiran ekonomi klasik. Pada saat itu, ekonomi klasik memandang para
pelaku bisnis itu memiliki tanggung jawab sosial sebatas penggunaaan sumber daya
organisasi mereka secara efisien, untuk menghasilkan barang dan jasa dengan harga yang
terjangkau oleh masyarakat. Tanggung jawab sosial mereka sebatas masyarakat dapat
membeli dengan harga yang telah diciptakan secara efisien. Apabila hal tersebut berjalan
dengan baik maka organisasi akan mendapatkan keuntungan atas penjualan dan kemudia
organisasi akan mampu melakukan tanggung jawab sosialnya, seperti :

a. Menciptakan lapangan kerja


b. Memberi kontribusi untuk pemerintahan dengan cara membayar pajak
c. Menghasilkan barang dengan harga yang rasional

Para ekonom klasik ini secara kuat berpandangan bahwa memupuk laba semaksimal
mungkin adalah cara klasik mereka dalam berbisnis.

Fase Ketiga US Committe for Economic Development

Committe for Economic Development (CED) adalah organisasi nirlaba dan nonpartisan
Amerika yang beranggotakan 200 senior eksekutif perusahaan (corporate executives) dan
pemimpin universitas terkemuka membuat laporan sangat fenomenal tahun 1971 berjudul
“Social Responsibilities of Business Corporations.” Laporan tersebut menggunakan tiga
lingkaran konsentris (three concentric circles), yaitu:

“Pertama, lingkaran dalam mencakup fungsi ekonomi dasar pertumbuhan, produk,


pekerjaan, kedua lingkaran perantara menunjukkan bahwa fungsi ekonomi harus dilakukan
dengan kesadaran yang sensitif untuk mengubah nilai dan prioritas sosial. Ketiga, lingkaran
luar digariskam baru muncul dan tanggung jawab masif amorf (amorphous) dimana bisnis
diasumsikan untuk lebih terlibat secara aktif dalam memperbaiki lingkungan sosial.....”
(Carroll 1991)

Tiga lingkaran konsentris ini dapat dipahami dimana :

1. Inner circle of responsibilities (lingkaran tanggung jawab terdalam). Pada lingkaran


ini organisasi bisnis diharapkan mampu melaksanakan pertumbuhan ekonomi.
Menghasilkan barang/jasa dan menyediakan aktivitas pekerjaan kepada masyarakat.
2. Intermediate circle of responsibilities (lingkaran tanggung jawab menengah).
Menunjukkan tanggung jawab untuk melaksanakan fungsi ekonomi sementara pada
saat yang sama memiliki kepekaan kesadaran terhadap perubahan nilai dan prioritas
sosial seperti meningkatnya perhatian terhadap konsevasi lingkungan hidup,
hubungan dengan karyawan, meningkatnya ekspektasi konsumen untuk memperoleh
informasi produk yang jelas, serta perlakuan yang adil terhadap karyawan ditempat
bekerja.
3. Outer circle of responsibilities (lingkaran tanggung jawab terluar). Mencakup
kewajiban perusahaan untuk lebih aktif dalam meningkatkan kualitas lingkungan
sosial. Pada tahun 1971, ditandai dengan pemahaman yang komprehensif terhadap
akuntansi sosial dan lingkungan dalam kehidupan bisnis, sebagai akibat three
concentric circles.
“.. Hari ini jelas bahwa syarat kontrak sosial antara masyarakat dan bisnis sebenarnya
berubah secara substansial dan penting. Bisnis diminta untuk memikul tanggung
jawab yang lebih luas kepada masyarakat daripada sebelumnya dan untuk melayani
berbagai nilai kemanusiaan yang lebih luas. Perusahaan bisnis, pada dasarnya,
diminta untuk berkontribuso lebih pada kualitas kehidupan Amerika daripada hanya
memasok jumlah barang dan jasa...”

Carroll (1979) menjelaskan komponen tanggung jawab sosial organisasi bisnis


kedalam empat kategori, yaitu :

1. Tanggung jawab ekonomi : tanggung jawab sosial pada kategori ini berlandaskan
bahwa motif profit adalah motif utama dalam membangun organisasi bisnis.
Organisasi bisnis pada dasarnya adalah tanggung jawab ekonomi karena lembaga
bisnis terdiri atas aktivitas ekonomi yang menghasilkan barang dan jasa bagi
masyarakat yang menguntungkan.
2. Tanggung jawab legal : tanggung jawab organisasi dalam menjalankan bisnis yaitu
dengan menaati hukum dan peraturan yang berlaku dimana hukum dan peraturan
tersebut pada hakikatnya dibuat oleh masyarakay melalui lembaga legislatif.
Tanggung jawab legal ini adalah koridor dan sistem untuk mengatur organisasi dalam
berbisnis.
3. Tanggung jawab etika : organisasi diharapkan menjalankan bisnisnya secara etis dan
norma moral masyarakat. Masing-masing pihak dalam menjalankan bisnis diatur
standar, etika, norma agar masing-masing puas dalam berbisnis.
4. Tanggung jawab diskresioner : tanggung jawab ini bersumber para pandangan bahwa
keberadaan organisasi diharapkan memberikan manfaat bagi masyarakat. Ekspektasi
masyarakat tersebut dipenuhi oleh organisasi melalui berbagai program yang bersifat
filantropis (kedermawanan)

Selain isu mengenai kapasitas organisasi dalam memberikan respons terhadap tekanan
sosial yang akab tercermin dalamcitra organisasi dimata publik, perkembangan akuntansi
sosial pada tahun 1970-an sampai 1980-an juga mencatat adanya kebutuhan baru dari
organisasi yang melaksanakan aktivitas pelaporan sosial dan lingkungan agar aktivitas sosial
dan lingkungan yang dilakukan menjadi terukur: oleh karena itu, peneliti seperti Carroll
:1979), Wartick dan Cochran (1985), dan Wood (1991) mengembangkan konsep yang
disebut dengan kinerja sosial perusahaan (Corporate Social Performance- CSP) yang
didalamnya mengadung dimensi yaitu :

1. Dimensi kategori tanggung jawab sosial (ekonomi, hukum, etika, dan diskresioner)
2. Dimensi kemampuan memberikan respons(responsiveness)
3. Dimensi dalam isu sosial tempat perusahaan terlibat (lingkungan, diskriminasi
pekerja, keamanan produk, keselamatan pekerja, dan pemegang saham )

Berkaitan dengan hal tersebut, Wood (1991) mendefiniskan CSP sebagai :


“... Prinsip sebuah organisasi bisnis adalah tanggung jawab sosial, proses responsif
sosial, dan kebijakan, program dan hasil yang dapat diamati karena berkaitan dengan
hubungan masyarakat perusahaan...”

Sebagaimana dapat dilihat dari definisi CSP tersebut, dampak pelaksanaan akuntansi
sosial dan lingkungan yang dapat diamati (observable outcome) merupakan isu penting dalam
model CSP yang membedakannya dengan konsep akuntansi sosial dan lingkungan generasi
awal. Hal ini sejalan dengan menguatnya tuntutan agar pelaksanaan akuntansi sosial dan
lingkungan dapat memberikan dampak yang terukur serta memberikan kontribusi terhadap
kinerja keuangan organisasi.

Fase Keempat Mandatori Regulasi Prancis Pertama di Dunia

Davis (1960) kemudian mempertegas argumennya dengan statemen tentang-iron low of


responsibility yang menjadi fase ini tumbuh sebagai penyemangat kemunculan akuntansi
sosial dan lingkungan. Davis menyatakan bahwa:

“... Tanggung jawab sosial pengusaha perlu sepadan dengan kekuatan sosial mereka
maka penghindaran tanggung jawab sosial mengarah pada erosi bertahap kekuatan
sosial...”

Argumen yang dibangun oleh Davis, menjadi cikal bakal untuk identifikasi kewajiban
organisasi bisnis yang akan mendorong munculnya konsep akuntansi sosial dan lingkungan
pada era tahun 1970-an. Selain itu, konsepsi Davis mengenai “iron law of responsibility”
menjadi acuan bagi pentingnya reputasi dan legitimasi publik atas keberadaan organisasi.
Negara amerika yang terlebih dahulu mengembangkan tanggung jawab ini, meskipun
regulasi belum dilaksanakan secara wajib (mandatory). Beberapa negara seperti jerman dan
eropa barat kemudian mengadopsi regulasi pertama yang dilakukan oleh amerika tentang
pelaporan tanggung jawab sosial ( social responsibility reporting) (peston, dkk. 1978) Prancis
adalah negara pertama yang pada tahun 1977 mewajibkan organisasi bisnis untuk melaporkan
kegiatan tanggung jawab sosialnya.

“...satu-satunya negara yang benar-benar memperkenalkan undang-undang yang


mewajibkan pelaporan sosial perusahaan saat ini adalah Prancis pada tahun 1977.
Undang-undang Prancis mengamanatkan sebuah laporan “yang terdiri dari daftar
indikator panjang yang terbuka untuk perawatan statistik menyeluruh dan banyak
interprestasi” dan ruang lingkupnya cukup sempit ini mencakup masalah karyawan,
tetapi tidak berdampak pada bisnis di lingkungan sosial atau lingkungan “walaupun
pekerjaan awal telah memberikan kemungkinan ini...”(Capron, 1997, hlm, 3)

Fase ini membawa perubahan yang sangat mendasar tentang beberapa persyaratan
mendetail tentang pelaporan akuntansi sosial dan lingkungan. Kendatipun hal ini masih
terbatas di Prancis, tetapi regulasi ini menjadi dasar kajian beberapa negara maju untuk mulai
memikirkan tentang implementasi akuntansi sosial dan lingkungan.

Fase Kelima Runtuhnya Ekonomi Sosialis

Runtuhnya ekonomi sosialias yang disongsong dengan ekonomi neoliberalisme yang


konservatif pada tahun 1980-an mengakibatkan stagnan pengembangan akuntansi sosial dan
lingkungan. Propaganda kedermawaan pemilik perusahaan besar mulai mengatur strategi
baru untuk ekstra hati-hati tehadap pengeluaran dana. Pemegang saham perusahaan besar
mengencangkan ikat mereka terhadap tanggung jawab sosialnya. Apalagi runtuhnya ekonomi
sosialis juga dibarengi dengan kinerja perusahaan besar ternama melorot tajam, seperti IBM,
General Motors, dan Westinghouse di Amerika. Pada saat yang bersamaan, terjadi pula
skandal keuangan oleh Maxwell dan Adir di inggris, hal ini berakibat munculnya regulasi
tentang tata kelola perusahaan (corporate governance) yang mengutamakan pemegang
saham.ini berdampak ketatnya pengendalian keuangan organisasi bisnis besar
dunia,sekalipun masa tersebut terjadi resistan dan pengendalian keuangan yang ketat, konsep
dan kerangka model akuntansi sosial dan pelaporannya tetap berjalan. Pada saat ini beberapa
konsep baru dengan nama baru mulai muncul. Istilah baru tersebut adalah Socially
Responsible Investing (SRI). SRI ini banyak digunakan pada umumnya di inggris.

Fase Keenam Balanca Scorecard

Fase ini merupakan bentuk kombinasi dan nonfinansial dalam menilai kinerja organisasi.
Diperkenalkan pertama kali tahun 1987 oleh Art Schneiderman, yang kemudian didesain
ulang secara komprehensif oleh Kaplan dan Norton (1990). Akuntansi sosial dan lingkungan
mendapatkan tempat tersendiri dalam kemunculan Balance Scorecard. Keempat perspektif
yang sangat fenomenal tersebut adalah sebagai berikut :

1. Keuangan
2. Pelanggan
3. Proses internal bisnis
4. Pembelajaran dan pertunbuhan

Awal tahun 1990-an merupakan booming model pelaporan akuntansi sosial dan
lingkungan dengan memanfaatkan konsep Balance Scorecard. Banyak perusahaan besar di
Amerika dan Eropa menggunakan konsep ini agar perusahaan mampu mengekspresikan
kepedulian organisasinya kepada stakeholder.
Fase Ketujuah Robert Hugh Gray

Kontribusi Gray (1992) untuk pengembangan akuntansi sosial dan lingkungan tidak
diragukan lagi. Publikasinya telah mewarnai konsep akuntansi sosial dan lingkungan sampai
gagasan accounting for sustainability. Gray (1993) mengidentifikasikann warna yang berbeda
terhadap metode akuntansi keberlanjutan. Metode tersebut adalah sebagai berikut :

1. Sustainable cost, metode ini memberikan penekanan pada biaya yang harus
dikeluarkan oleh organisasi pada akhir metode periode akuntansi, untuk
mengembalikan dampak lingkungan hidup seperti posisi semula.
2. Natural capital inventory accounting, metode ini memberikan perhatian serius
terhadap keberadaan modal alam (natural capital), sebagai penyertaan yang selalu ada,
3. Input-output analysis, metode ini melaporkan arus fisik pemanfaatan material dan
energi dan keluaran atas produk dan barang sisa dalam unit. Pada fase ini,
pemahaman akuntansi sosial dan lingkungan secara khusus didesain secara kuantitatif
dalam bentuk nilai moneter, sebagaimana melengkapi akuntansi konvensional selama
ini.

Fase Kedelapan John Elkington’s Triple Bottom Line

Elkington (1997) adalah peletak dasar konsep “triple bottom line.” Konsep ini
memberikan inspirasi yang lebih serius tentang perluasan akuntansi konvensional yang
“single bottom line,” yaitu keuangan. Istilah “triple bottom line” menjadi penting saat people,
planet, dan profit ditawarkan menjadi konsep akuntansi pertanggungjawaban sosial dan
lingkungan.

1. Profit (keuntungan perusahaan). Perusahaan tetap harus berorientasi untuk mencari


keuntungan ekonomi yang memungkinkan untuk terus beroperasi dan berkembang
2. People (kesejahteraan manusia/masyarat). Perusahaan harus memiliki kepedulian
terhadap kesejahteraan manusia. Beberapa perusahaan mengembangkan program
corporate social responsibility seperti pendidikan dan kesehatan. Penguatan kapasitas
ekonomi lokal dan bahkan ada perusahaan yang merancang berbagai skema
perlindungan sosial bagi warga tersebut.
3. Planet (keberlanjutan lingkungan hidup). Perusahaan peduli terhadap lingkungan
hidup dan keberlanjutan keragaman hayati. Beberapa program corporate social
responsibility yang berpijak pada prinsip ini biasanya berupa penghijauan lingkungan
hidup, penyediaan sarana air bersih, perbaikan pemukiman dan pengembangan
pariwisata.

Triple bottom line dengan “triple P” dapat disimpulkan bahwa “profit” sebagai wujud
aspek ekonomi, “planet”sebagai wujud aspek lingkungan, dan “people” sebagai aspek
sosial. Jika diperinci lebih lanjut dari ketiga aspek tripple bottom line, maka ketiga
aspek tersebut dapat diwujudkan dalam kegiatan sebagai berikut :
1. Aspek sosial, misalnya pendidikan, pelatihan, kesehatan, perumahan, penguatan
kelembagaan (secara internal, termasuk kesejahteraan karyawan) kesejahteraan sosial,
olahraga pemuda, wanita, agama, kebudayaan, dan sebagainya.
2. Aspek ekonomi, misalnya kewiraswastaan, kelompok usaha bersama/unit mikro kecil
dan menengah, agrobisnis. Pembukaan lapangan pekerjaan, infrastruktur ekonomi,
dan usaha produktif lain.
3. Aspek lingkungan, misalnya penghijauan, reklamasi lahan, pengelolaan air,
pelestarian alam, ekowisata penyehatan lingkungan, pengendalian polusi, serta
penggunaan produksi dan energi secara efisien.

Ketiga aspek tersebut tanpa kehadiran aspek spiritual yang implementasinya


dibutuhkan strategi tertentu. Adapun strategi dasar yang dapat digunakan dalam implementasi
akuntansi sosial dan lingkungan tersebut adalah sebagai berikut :

1. Penguatan kapasitas (capacity building)


2. Kemitraan (collaboration)
3. Penerapan inovasi

Sedangkan menurut Brodshaw dan Vogel (1981) menyatakan bahwa ada tiga
dimensidari garis besar ruang lingkup akuntansi sosial dan lingkungan, yaitu sebagai berikut:

1. Corporate philantrophy adalah usaha amal yang dilakukan oleh suatu organisasi,
dimana usaha amal ini tidak berhubungan secara langsung dengan kegiatan normal
organisasi.
2. Corporate responsibility adalah usaha wujud tanggung jawab sosial organisasi ketika
sedang mengejar profitabilitas sebagai tujuan organisasi.
3. Corporate policy adalah berkaitan erat dengan bagaimana hubungan organisasi
dengan pemerintah yang meliputi posisi organisasi dengan adanya berbagai kebijakan
pemerintah yang memengaruhi organisasi atau masyarakat secara keseluruhan.
Akuntansi sosial dan lingkungan pada fase ini mulai disibukkan dengan model
laporan yang memberikan kategori relasi aktivitas sehubungan dengan masyarakat,
ekonomi, dan lingkungan.

Fase Kesembilan Sustainability Reporting

Pada waktu yang hampir bersamaan dengan Elkington(1997), NGO CERES(Coalition for
Environmentally Responsible Economies) dan United Nations Environment Programmes
(UNEP) mendirikan GRI (Global Reporting Initiative), organisasi independen yang
membangun standar Sustainability Reporting. Guideline GRI pertama dikeluarkan tahun
1999 (GRI, 1997).

“...GRI dibentuk untuk mengembangkan dan menyebarkan pedoman pelaporan


keberlanjutan yang dapat diterapkan secara global, ini membantu organisasi dan pemangku
kepentingan mereka untuk melaporkan dimensi ekonomi, lingkungan dan sosial dari
aktivitas, produk, dan layanan mereka, dengan menggunakan enam ekstra indikator
keuangan.
GRI menyadari perlunyan indikator nonkeuanga untuk mengukur dampak perusahaan
dalam hal pembangunan berkelanjutan dan juga untuk menilai keseluruhan kinerjanya,
sebuah faktor yang berkontribusi terhadap profitabilitas masa depannya...”

GRI mengidentifikasikan enam ekstra indikator keuangan: aspek kemasyarakatan,


ekonomi, lingkungan, ketenagakerjaan, hak asasi manusia, tanggung jawab produk. Sampai
saat ini GRI telah mengeluarkan pedoman generasi, ketiga (GRI-G3) pada tahun 2006. Fase
ini membawa perkembangan akuntansi sosial dan lingkungan menjadi lebih baik dan menjadi
pola adopsi yang cukup luas. Model pelaporan GRI-G3 ini menginspirasi model pelaporan
akuntansi sosial dan lingkungan sebagai alternatif pelaporan akuntansi konvensional. Model
GRI ini disimpulkan dengan tanpa kehadiran aspek spiritual, yang banyak ahli dari banyak
lintas disiplin ilmu, mempunyai banyak terobosan pelaporan komprehensif aktivitas bisnis,
walaupun tanpa aspek spiritual yang ada didalamnya.

Fase Kesepuluh Sosiospiritualitas Akuntansi

Akuntansi telah memasuki fenomena baru “beyond materiality”(Sukaharsono, 2008).


Spiritualitas dipahami bahwa setiap individu dan organisasi (kelompok orang) mempunyai
tanggung jawab membangun peristiwa ekonomi, sosial, dan lingkungan dalam organisasinya
yang direlasikan dengan “holy spirit.” Holy spirit merupakan bentuk berbasis religiusitas dan
universalitas. Pada pembahasan ini lebih diutamakan holy spirit dalam bentuk universalitas
yang dapat dimaknai dengan kasih yang tulus (merciful), cinta yang tulus (trutful love),
kesadaran transendental, mampu melakukan kontemplasi diri, dan kejujuran. Lima dimensi
ini adalah indikator utama dalam proses pertanggungjawaban individu dan organisasi
disekelilingnya. Sosiospiritualitas akuntansi menjadi penting dalam upaya menanamkan holy
spirit dalam mengkreasi dan melaksanakan pertanggungjawaban terhadap peristiwa ekonomi,
sosial, dan lingkungan dalam kesatuan organisasi. Walaupun konvensi akuntansi
menggunakan “monetary unit” dalam pengukuran dan diskursus kebijakan, sosiospiritual
akuntansi dibangun dengan memanfaatan “multiple units of measurements” untuk menilai
kinerja individu dan organisasi. Multiple units of measurements ini pada dasarnya untuk
memberikan penilaian (assessment) terhadap lima unsur holy spirit. Kasih yang tulus
(merciful), cinta yang tulus (truthful love), kesadaran transedental, mampu melakukan
kontemplasi diri dan kejujuran.

Tanggapan Perusahaan

Sebelum tahun 1960-an, beberapa perusahaan telah dianggap sebagai “warga negara yang
baik.” Perusahaan tersebut memperoleh reputasi ini dengan menghasilkan produk berkualitas,
memperlakukan pekerja dengan rasa hormat, memberikan kontribusi kepada komunitas, atau
membantu fakir miskin. Sejak tahun 1960-an, banyak perusahaan lain yang sebelumnya
terkenal akan kepekaanya terhadap kebutuhan sosial menjadi lebih responsif secara sosial.
Manajemen mungkin telah menyadari bahwa perusahaan mereka adalah bagian dari
komunitas; bahwa agar perusahaan dapat bertahan hidup, komunitas harus menjadi tempat
yang sehat untuk hidup dan bekerja; serta bahwa orang-orang membutuhkan jaminan
keuangan untuk memberi barang yang dihasilkan oleh perusahaan. Dipihak lain, banyak
perusahaan dan asosisi industri berperang untuk mengubah peraturan pemerintah yang baru
atau mencoba untuk mengikisnya melalui ketidakpatuhan.

Secara keseluruhan, tingkat tanggung jawab sosial yang diterima oleh perusahan
memerlukan keputusan yang aktif. Manajemen harus memutuskan seberapa banyak solusi
yang akan dihasilkan dan seberapa banyak yang akan dibersihkan, siapa yang akan direktrut,
seberapa baik kondisi kerja akan ditingkatkan, dan seberapa banyak sumbangan yang akan
diberikan kepada kegiatan sosial. Jika manajemen menerima tanggungjawab sosial semata-
mata demi laba jangka pendek, adalah tidak mungkin bahwa suatu perusahaan akan
melakukan lebih dari apa yang diharuskan oleh undang-undang. Filosofi manajerial adalah
faktor utama dalam menentukan hubungan bisnis dengan komunitasnya.

Tanggapan Profesi Akuntan

Walaupun para akademisi dan praktisi akuntansi telah membahas bagaimana profesi mereka
dapat memberikan kontribusi pada tanggung jawab sosial perusahaan sebelum terjadi gerakan
pada tahun 1960-an, kemajuan utama dalam bidang ini dibuat sejak akhir tahun 1960-an
sampai awal tahun 1970-an. Dengan diberlakukannya undang-undang yang menetapkan
program sosial pemerintah, beberapa akuntan merasa bahwa mereka sebaiknya
menggunakan keahliannya untuk mengukur efektivitas dari program tersebut.

Secara ringkas, literator awal akuntansi sosial menyatakan bahwa akuntan diperlukan
untuk menghasilkan data mengenai tanggungjawab perusahaan dan bahwa ada pihak-pihak
lain yang berkepentingan (selain perusahaan) yang akan tertarik dengan data ini. Literator
awal ini bahkan tidak berkaitan dengan identifikasi pengukuran dan pelaporan data sosial.
Selanjutnya, literator tersebut mengembangkan kerangka teorites untuk akuntansi sosail,
termasuk skema pelaporan audit dan audit sosial aktual.

Akuntansi untuk Manfaat dan Biaya Sosial

Dasar bagi kebanyakan teori akuntansi sosial datang dari analisis yang dilakukan oleh A.C.
Pigou (1948) terhadap biaya dan manfaat sosial. Pigou adalah seorang ekonom neoklasik
yang memperkenalkan pemikiran mengenai biaya dan manfaat sosial kedalam ekonomi
mikro pada tahun 1920. Titik pentingnya adalah bahwa optimalitas pareto (titik dalam
ekonomi kesejahteraan dimana adalah mungkin untuk meningkatkan kesejahteraan seseorang
tanpa mengurangi kesejahteraan orang lain) tidak dapat dicapai selama produk sosial neto dan
produk pribadi neto tidak setara.

Analisis yang serupa dapat dibuat dalam hal biaya. Bagi pigou, biaya sosial terdiri
atas seluruh biaya untuk menghasilkan suatu produk, tanpa memerlukan siapa yang
membayarnya. Biaya yang dibayarkan oleh produsen disebut sebagai biaya pribadi. Selisih
antara biaya sosial dan biaya pribadi (disebut sebagai “biaya sosial yang tidak
dikompensasikan”) dapat disebabkan oleh banyak faktor.

Menurut pigou, optimalitas pareto hanya dapat dicapai jika manfaat sosial marginal
sama dengan biaya sosial marginal, perbedaan antara model pigou dengan model ekonomi
tradisional- dimana pendapatan marginal setara dengan biaya marginal-berasal dari
perbedaan antara manfaat sosial dan pribadi dengan biaya sosial dan pribadi. Jika perbedaan
neto antara kedua kelompok biaya dan manfaat tersebut adalah nol, maka tidak akan ada
alasan untuk mengharap hal itu akan terjadi. Akan tetapi, ekonom telah memperlakukan
perbedaan tersebut sebagai anomali minor yang sebaiknya diabaikan dalam model ekonomi
mikro dasar.

Teori Akuntansi Sosial

Berdasarkan analisis Pigou dan gagasan mengenai suatu “kontrak sosial,” K.V Ramanathan
(1976) mengembangkan suatu kerangka kerja teoretis untuk akuntansi atas biaya dan manfaat
sosial. Dalam pandangan ramanathan, perusahaan memiliki kontrak tidak tertulis untuk
menyediakan manfaat sosial neto kepada masyarakat, manfaat neto adalah selisih antara
kontribusi perusahaan kepada masyarakat dengan kerugian yang ditimbulkan oleh perusahaan
tersebut terhadap masyarakat.

Terdapat dua masalah utama dengan pendekatan Ramanathan. Pertama, untuk


menentukan kontribusi neto kepada masyarakat, beberapa jenis sistem nilai harus ditentukan.
Bagaimana entitas tersebut menentukan apa yang merupakan kontribusi atau apa yang
merupakan kerugian bagi masyarakat? Madu buat seseorang bisa menjadi racun bagi orang
lain. Beberapa kerugian seperti polusi secara universal dibenci dan memasukkannya dalam
laporan akuntansi dapat dibenarkan dengan relatif mudah. Akan tetapi, evaluasi atas pos-pos
lain dapat bergantung pada keyakinan manajemen.

Pengukuran

Salah satu alasan utama lambatnya kemajuan akuntansi sosial adalah kesulitan dalam
mengukur kontribusi dan kerugian. Proses tersebut terdiri atas tiga langkah, yaitu :

1. Menentukan apa yang menyusun biaya dan manfaat sosial


2. Mencoba untuk menguantifikasi seluruh pos yang relevan
3. Menempatkan nilai moneter pada jumlah akhir

Menentukan Biaya dan Manfaat Sosial

Memutuskan apa yang merupakan biaya dan manfaat sosial bukan hal yang mudah. Hal
tersebut tidak hanya melibatkan definisi yang tepat dari biaya dan manfaat sosial, tetapi juga
pemahaman mengenai berbagai sistem nilai. Para penganut paham pigou akan mendefiniskan
biaya sosial yang tidak dikompensasikan sebagai nonekonomi eksternal dan ekspoitasi
terhadap faktor-faktor produksi. Untuk menerjemahkan definisi ini kedalam terminologi
operasional, mungkin adalah lebih mudah untuk mendefinisikan biaya sosial yang tidak
dikompensasikan sebagai seluruh kerugian yang diderita oleh manusia sebagai akibat dari
aktivitas ekonomi untuk mereka yang tidak diberikan kompensasi secara penuh. Dalam studi
atas pengungkapan sosial yang dilakukan oleh perusahaan publik besar seperti Ernst&Ernst
(1978) menemukan bahwa pengungkapan tersebut terkait dengan enam pokok bahasan, yaitu:

1. Lingkungan
2. Energi
3. Praktik bisnis yang adil
4. Sumber daya manusia
5. Keterlibatan komunitas
6. Produk

Cara lain untuk mengidentifikasi asal biaya dan manfaat sosial adalah dengan
memeriksa proses distribusi dan produksi perusahaan individu guna mengidentifikasi
bagaimana kerugian dan kontribusi serta menemukan bagaimana hal itu terjadi. Jika satu
bagian dari proses produksi dan distribusi diperiksa-mungkin ditemukan produk sampingan
yang negatif diciptakan bersama dengan produk yang berguna. Pada titik ini, dalam proses
produksi biaya sosial, seperti polusi udara dan air, kemungkinan besar akan muncul, yang
mengarah pada dampak negatif yang tidak dikompensasikan terhadap umat manusia.

Kuantifikasi Terhadap Biaya dan Manfaat

Ketika aktivitas yang menimbulkan biaya dan manfaat sosial ditentukan melaui kerugian
serta kontribusi tertentu yang diidentifikasi, maka dari itu dampak terhadap manusia dapat
dihitung. Dampak tersebut dapat digolongkan sebagai langsung atau tidak langsung. Dampak
langsung, misalnya adalah penyakit paru-paru yang disebabkan oleh debu batu bara yang
terhirup oleh pekerja di tambang batu bara. Dampak tidak langsung adalah polusi air yang
mengotori sungai dan mematikan ikan-ikan didalamnya. Polusi tersebut dapat mengakibatkan
kerugian berupa hilangnya sumber makanan potensial (ikan), hilangnya kesempatan untuk
berekreasi (memancing, berenang, berperahu) dan konsekuensi estetika yang negatif. Untuk
mengukur kerugian yang sebenarnya, kehilangan yang dialami oleh orang-orang sebagai
akibat dari peristiwa ini harus dihitung.

Walaupun perhitungan ini dapat dilakukan pada beberapa kasus, sering kali sulit
untuk memberikan lebih dari sekadar estimasi kasar atau ukuran pengganti. Dalam bagian
berikutnya, akan digunakan contoh mengenai produksi asbes dipabrik untuk menunjukkan
bagaimana kerugian dapat dihitung. Contoh tersebut akan diikuti dengan pembahasan
mengenai penggunaan ukuran penganti. Untuk mengukur kerugian dibutuhkan informasi
mengenai variabel utama, yaitu

1. Waktu
2. Dampak
3. Biaya Ekonomi
4. Kerugian Fisik
5. Kerugian Psikologis
6. Kerugian Sosial

Pelaporan Kinerja Sosial

Kerangka kerja akuntansi sosial belum secara penuh dikembangkan dan terdapat masalah
pengukuran yang serius mengenai biaya dan manfaat. Meskipun demikian, sejumlah penulis
telah menyarankan agar perusahaan melaporkan kinerja akuntansi sosial secara internal
maupun eksternal. Berbagai pendekatan pelaporan telah dibahas dalam literator akuntansi
sosial. Pendekatan tersebut meliputi audit sosial, laporan sosial yang terpisah, dan
pengungkapan sosial dalam laporan tahunan. Masing-masing dari pendekatan tersebut akan
dibahas dalam bagian ini.

Audit Sosial

Audit sosial merupakan suatu proses dimana organisasi dapat menentukan kewajaran kinerja
sosial, melaporkan dan mengembang kinerjanya. Audit sosial mengukur dampak sosial dan
perilaku relasi perusahaan. Audit sosial diharapkan dapat dipergunakan untuk menilai
dampak sosial dari kegiatan perusahaan, mengukur efektifitas program perusahaan yang
bersifat sosial dan melaporkan sampai seberapa jauh perusahaan memenuhi tanggung jawab
sosialnya.

Beberapa definisi audit sosial tersebut, audit sosial didefinisikan menjadi dua hal
besar. Pertama, audit sosial disamakan dengan akuntansi pertanggungjawaban sosial. Hal ini
sesuai dengan yang dikatakan oleh Gray dkk.(1997) bahwa audit sosial terkadang disamakan
dengan akuntansi pertanggungjawaban sosial. Kedua, audit sosial diartikan sebagai suatu
proses pembuktian kewajaran atas akuntansi pertanggungjawaban sosial.

Audit sosial adalah serupa dengan audit keuangan dalam hal bahwa audit sosial
mencoba untuk secara independen menganalisis perusahaan dan menilai kinerja. Akan tetapi,
terdapat perbedaan utama mengenai apa yang dianalisis. Dalam audit sosial, auditor
memeriksa operasi untuk menilai kinerja sosial dari perusahaan dan bukan kinerja
keuangannya. Oleh karena itu, telah disarankan bahwa akuntan tidak memiliki kualifikasi
untuk melakukan audit semacam itu sendiri, tetapi bahwa tim dari ilmuwan sosial (termasuk
akuntan) sebaliknya digunakan untuk mengukur dan menilai kinerja sosial dari perusahaan
tersebut.

Audit sosial telah berkembang karena sudah merupakan suatu kebutuhan bagi
stakeholder. Audit pertanggungjawaban sosial telah dilakukan diberbagai negara seperti
Kanada, Australia, Amerika, dan Inggris. Di Kanada, audit atas pertanggungjawaban sosial
perusahaan telah dilakukan oleh The Investment Committe of the United Church of Canada
tahun 1974. Dari hasil audit ini ditemukan bahwa audit pertanggungjawab sosial bermanfaat
untuk memberikan ukuran yang lebih akurat untuk kinerja non-eksekutif, memprediksi
kinerja sosial dimasa mendatang, melakukan perbandingan antarperusahaan, intraperusahaan,
dan interindustri.

Model Laporan Sosial

Salah satu tujuan siklus diatas adalah melakukan verifikasi dari pihak internal dan eksternal
yang independe. Perbedaan mendasar atas pelaksanaan audit atas akuntansi konvensional
adalah pada pengidentifikasi kepentingan stakeholder. Dalam audit konvensional tidak
ditemukan identifikasi kepentingan stakeholder sebab sudah ada standar tentang isi dan
bagaimana pelaporannya dalam akuntansi konvensional. Laporan eksternal terpisah yang
menggambarkan hubungan perusahaan dengan komunitasnya telah dikelurkan oleh banyak
perusahaan yang berada diindonesia dan dinegara-negara maju.
David Linowes (1968) telah mengembangkan laporan operasi sosioekonomi untuk
digunakan sebagai dasar untuk melaporkan informasi akuntansi sosial. Linowes membagi
laporan kedalam tiga kategori :

1. Hubungan dengan manusia


2. Hubungan dengan lingkungan
3. Hubungan dengan produk

Pengungkapan Dalam Laporan Tahunan

Banyak perusahaan menerbitkan laporan tahunan kepada pemegang saham yang berisi
beberapa informasi sosial. Ernst & Ernst melakukan survei atas pengungkapan sosial yang
dibuat oleh 500 perusahaan industri terkenal dalam laporan tahunanya dari tahun 1971
sampai tahun 1978. Ditemukan bahwa secara umum, jumlah perusahaan yang
mengungkapkan informasi sosial dan jumlah pengungkapan meningkat dengan stabil.

Sementara itu, untuk melihat praktik pengungkapan sosial dalam laporan tahunan dari
perusahaan diindonesia lebih lanjut, para peneliti akuntansi telah melakukan berbagai riset
mengenai hal ini. Riset yang dilakukan oleh Utomo (2000) mengenai praktik pengungkapan
sosial pada laporan tahunan perusahaan terhadap BI perusahaan publik (terdaftar di Bursa
Efek jakarta dan Bursa efek Surabaya direktori tahun 1998) menemukan bahwa perusahaan
telah banyak mengungkapkan tema ketenagakerjaan (29,87%) dibandingkan dengan tema
produk dan konsumen (20,74%) maupun tema kemasyarakatan (13,21%) Henny dan
Murtanto (2001) dalam risetnya juga menemukan hal yang sama mengenai praktik
pengungkapan sosial pada laporan tahunan dari perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek
Jakarta. Untuk mengetahui lebih terperinci mengenai informasi sosial yang diungkapkan
dalam laporan tahunan dari perusahaan di indonesia diuraikan pada tabel berikut ini.

Perkembangan Luar Negeri

Perusahaan eropa sudah memelopori pengungkapam sosial dalam laporan khusus maupun
laporan tahunan. Terlipat dalam laporan ini adalah :

1. Lapangan kerja
2. Gaji dan perubahan sosial
3. Kesehatan dan jaminan kerja
4. Kondisi kerja lainnya
5. Pelatihan
6. Hubungan industri
7. Pengaturan sosial lainnya yang relevan

Arah Riset

Riset dalam akuntansi sosial telah cukup ekstensif dan berfokus pada berbagai subjek
yang berkisar dari pengembangan kerangka kerja teoretis sampai ;

Anda mungkin juga menyukai