MPKT-B (SAINS)
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK
2016
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami sampaikan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan
rahmatnya sehingga makalah ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Dalam makalah
yang berjudul “Penurunan Permukaan Tanah di DKI Jakarta” ini, kami membahas mengenai
masalah penurunan permukaan tanah di DKI Jakarta yang saat ini tengah mengancam
wilayah DKI Jakarta untuk ke depannya. Masalah ini merupakan suatu hal yang penting yang
perlu diketahui supaya masyarakat dapat mengetahui dampak dan risiko dari penurunan
permukaan tanah. Tidak hanya itu, hal tersebut perlu dibahas agar masyarakat semakin
termotivasi untuk berusaha menjaga dan memanfaatkan alam sebagai tempat hidup di Bumi
dengan sebaik-baiknya.
Makalah ini kami buat dalam rangka memperdalam pemahaman mengenai masalah
yang berkaitan dengan penurunan permukaan tanah dan juga untuk memenuhi tugas PBL 2
mata kuliah MPKT-B. Dalam proses pengerjaan dan pendalaman materi “Penurunan
Permukaan Tanah di DKI Jakarta” ini, tentunya kami mendapatkan bimbingan, arahan,
koreksi, dan saran. Oleh sebab itu, kami mengucapkan terima kasih kepada Ibu Tri Wahyuni
S.Farm., Apt., M.Biomed. selaku dosen kami dalam mata kuliah MPKT-B.
Tidak lupa kami sampaikan terima kasih kepada teman-teman dan semua pihak yang
telah memberikan dukungan dalam menyelesaikan makalah ini. Kami menyadari bahwa
dalam penulisan makalah ini masih terdapat banyak kekurangan. Oleh sebab itu, kami sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Semoga makalah ini dapat bermanfaat
bagi pembaca. Terima Kasih.
Home Group 2
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Manfaat yang ingin kami berikan dari penulisan makalah ini adalah untuk
menambah wawasan penulis dan pembaca mengenai masalah penurunan permukaan
tanah yang kerap terjadi di beberapa wilayah di Indonesia, khususnya di DKI Jakarta.
Dari wawasan tersebut, diharapkan kita dapat bersama-sama mengetahui dan
menerapkan upaya untuk mengatasi dan mencegah terjadinya penurunan permukaan
tanah yang lebih signifikan dan menciptakan lingkungan sekitar yang lebih baik.
1
BAB II
PEMBAHASAN
Penurunan muka tanah adalah salah satu fenomena deformasi permukaan bumi
secara vertikal disamping terjadi fenomena uplift. Dengan kata lain, deformasi
merupakan perubahan kedudukan atau pergerakan suatu titik yang dapat bersifat
absolut maupun relatif. Absolut berarti perilaku dari gerakan titik itu sendiri yang
diteliti dan dikaji, sedangkan relatif berarti yang dikaji adalah gerakan titik yang satu
terhadap titik yang lainnya (Kuang, 1996). Penurunan permukaan tanah (Land
Subsidence) adalah suatu proses gerakan penurunan muka tanah yang didasarkan atas
datum tertentu (kerangka referensi geodesi) dimana terdapat berbagai macam variabel
penyebabnya. Penurunan tanah alami terjadi secara regional yaitu meliputi daerah yang
luas atau terjadi secara lokal yaitu hanya sebagian kecil permukaan tanah. Hal ini
biasanya disebabkan oleh adanya rongga di bawah permukaan tanah, biasanya terjadi di
daerah yang berkapur (Whittaker and Reddish, 1989).
2
Struktur Permukaan Tanah
- Tanah Aluvial adalah tanah yang berasal dari endapan lumpur yang dibawa
melalui sungai-sungai.
- Tanah Latosol adalah tanah yang terbentuk dari batuan beku,sedimen,dan
metafomorf.
- Tanah yang rawan akan penurunan adalah tanah aluvial
3
4. Pusat : Jalan Gunung Sahari, Jalan MH Thamrin dan Cikini dengan penurunan rata-
rata 7cm/ tahun
5. Utara : Muara Angke, Muara Baru, Pantai Indah Kapuk dan Kelapa Gading dengan
penurunan rata-rata 14 cm/tahun
4
3. Penurunan akibat beban bangunan (settlement).
1. Penurunan secara alami, karena kondisi batuan yang mengalami pelapukan dan
kondisi ini diperburuk dengan kecenderungan meningkatnya muka air laut
sampai hampir di sebagian besar kota-kota dunia akibat pemanasan global
(global warming).
2. Penurunan karena adanya penyedotan air tanah secara berlebihan. Pengambilan
air bawah tanah menjadi penyebab utama penurunan permukaan tanah di
jakarta. berdasarkan data departemen energi dan sumber daya mineral tahun
2007, jumlah air tanah terekstraksi mencapai titik tertinggi pada tahun 1995. dari
3000-3500 pompa terpasang, terekstraksi 30-35 juta meter kubik air. tahun
berikutnya jumlah sumur pompa terus meningkat tapi jumlah air terekstraksi
semakin menurun. tahun 2007 jumlah pompa yang terpasang 3700 sedangkan
jumlah air yang terekstraksi sebesar 20 juta meter kubik.
3. Penurunan akibat beban dari gedung-gedung yang ada di Jakarta.
5
seperti berkurangnya kualitas hidup dan lingkungan (kondisi sanitasi dan kesehatan) di
wilayah terdampak.
Dampak penurunan permukaan tanah di wilayah DKI Jakarta ini terbagi menjadi
4 kategori berdasarkan jenis kerusakannya, yaitu :
6
2.6 Solusi Mengatasi Masalah Penurunan Permukaan Tanah di DKI Jakarta
7
langkah pengecegahan yang tepat sebelum benar-benar menimbulkan akibat yang fatal
terhadap masyarakat di sekitar wilayah tersebut.
a. Sistem Ekstensometer, yaitu alat yang digunakan untuk memantau penurunan tanah
pada tiap lapisan yang diperkirakan mengalami penurunan.
b. Sistem Sumur Pantau yang digunakan untuk memantau penurunan muka air tanah pada
beberapa lapisan akuifer.
c. Sistem Piezometer yang digunakan untuk memantau nilai tekanan air pori pada
beberapa lapisan yang mengalami penurunan.
Penurunan muka air tanah pada prinsipnya terjadi karena proses kompaksi pada lapisan -
lapisan tanah di bawahnya. Jadi besar penurunan muka tanah di permukaan bisa diamati dengan
mengukur kompaksi lapisan tanah di bawahnya. Kompaksi ditentukan atas dasar perubahan jarak
antara dua horizontal lapisan dan diukur secara terus-menerus pada sumur pantau ( Sumaryo, 1997
dalam Khaerudin, 2003 ).
Alat yang digunakan untuk mengukur kompaksi lapisan tanah ini adalah ekstensometer, dengan
prinsip kerjanya yaitu mengukur perubahan jarak antara permukaan tanah dengan jarak sumur.
Suatu alat pemberat diletakkan di dasar sumur yang kemudian dihubungkan dengan suatu kabel
atau pipa melalui katrol ke suatu pemberat di permukaan tanah ( counter weight ). Sehingga besar
kompaksi / penurunan tanah ini ditunjukkan oleh perubahan panjang kawat yang berada didalam
sumur dan kemudian direkam oleh suatu alat perekam.
Beberapa sumur pantau dibangun di sekitar daerah yang diperkirakan mengalami penurunan
muka tanah. Ekstensometer dipasang pada sumur-sumur tersebut dengan kedalaman tertentu,
biasanya sampai menembus ke lapisan akuifer. Alat ini dipasang dalam waktu yang relatif lama dan
digunakan untuk merekam kompaksi atau penurunan muka tanah secara kontinyu.
Emisi akustik adalah suara / bunyi yang dibangkitkan dari dalam material ( tanah ) yang
mengalami tegangan dan selanjutnya mengalami deformasi. Prinsip kerja dari metode emisi
akustik ini adalah gelombang bunyi yang ditimbulkan akibat adanya deformasi, akan
dideteksi oleh sebuah sensor yang disebut piezoelectric. Kemudian transduser mengubah
gelombang bunyi ini menjadi gelombang elektrik. Sinyal ini kemudian diperkuat
8
( amplified ), difilter dan direkam. Hasil rekaman kemudian dikorelasikan dengan material
yang diuji. Apabila tidak terdapat emisi gelombang bunyi yang terdeteksi berarti material
tersebut dalam keadaan stabil, tidak terjadi deformasi, dan juga sebaliknya.
Kelebihan dari sistem ini adalah mampu mendeteksi terjadinya deformasi lebih cepat
dibandingkan metode pemantauan yang lainnya ( Koerner, 1984 dalam Khaerudin, 2003 ),
karena sistem ini mempunyai sensitivitas yang tinggi dan sangat ekonomis untuk pemantauan
daerah yang luas.
9
Dalam aplikasi praktis, levelling di lakukan dengan bantuan instrumen
(alat ukur sipat datar) dan suatu bak ukur.
Instrumen Rambu-2
Titik
10
Dimana :
HA = Tinggi di titik A
HB = Tinggi di titik B
bb1 / bb2 = Bacaan rambu ke belakang rambu 1 atau rambu 2
bm1 / bm2 = Bacaan rambu ke muka rambu 1 atau rambu 2
2.7.3.2 Metode InSAR
InSAR memberikan pemahaman yang lebih baik dalam variasi spasial,
yang menjadi kelemahan dari metode GPS. Beberapa peneliti telah melakukan
penelitian terhadap pemantauan penurunan tanah, seperti (Hirose 2001), (Chang
2004), (Guoqing 2008), (Koehn 2009), (Abidin 2003), dll. Dalam kasus Jakarta,
metode InSAR sangat tepat untuk diterapkan. Sebagian besar tutupan lahan
adalah bahan yang baik untuk radar backscatter yang mengarah ke pengamatan
SAR yang baik.
Metode InSAR berbasiskan pada penggunaan citra satelit radar. Hasil
dari metode INSAR mengkonfirmasi dan melengkapi hasil dari metode –
metode sipat datar dan survey GPS tentang karakteristik fenomena penurunan
tanah. InSAR pada prinsipnya menggunakan perbedaan fase antara dua citra,
yang juga dinamakan interferogram (Ilham, 2009 dalam Edward,2011).
Perbedaan fase seperti yang Nampak pada interferogram ini pada
dasarnya disebabkan oleh beberapa faktor yaitu (Francis 1996 seperti dalam
Abidin 2008) :
1. Adanya perbedaan perbedaan relatif posisi satelit pada saat pengambilan
kedua citra.
2. Adanya perbedaan paralaks yang disebabkan oleh pencitraan objek dari
posisi satelit yang berbeda.
3. Adanya perbedaan kondisi permukaan tanah dan troposfer antara saat
pengambilan citra.
4. Adanya perubahan posisi titik – titik permukaan tanah (deformasi antara dua
saat pengambilan citra.
11
2.7.3.3 Metode Survey GPS
GPS (Global Positioning System) adalah sistem satelit navigasi dan
penentuan posisi yang dimiliki dan dikelola oleh Amerika Serikat. Sistem ini
didesain untuk memberikan posisi dan kecepatan tiga dimensi serta informasi
mengenai waktu, secara kontinyu di seluruh dunia tanpa tergantung waktu dan
cuaca, kepada banyak orang secara simultan. Pada saat ini, sistem GPS sudah
banyak digunakan orang di seluruh dunia dalam berbagai bidang aplikasi. Di
Indonesia pun, GPS sudah banyak diaplikasikan, terutama yang terkait dengan
aplikasi – aplikasi yang menurut informasi tentang posisi dan perubahan posisi.
Dilihat dari mekanisme pengaplikasiannya, metode penentuan posisi
dengan GPS dapat dikelompokkan atas beberapa metode yaitu: absolute,
differential, static, rapid static, pseudo-kinematic, dan stop-and-go (Abidin,
2006). Berdasarkan aplikasinya, metode – metode penentuan posisi dengan GPS
dapat dibagi atas dua kategori utama, yaitu survei dan navigasi.
Dalam konteks posisi, GPS dapat memberikan spektrum relatif luas
keakurasian posisi dari tingkat yang sangat akurat (milimeter) dan untuk tingkat
biasa (meter). Untuk pemantauan penurunan tanah, dalam rangka untuk
memantau penurunan besarnya bahkan sangat kecil, akurasi posisi yang ideal
yang harus dicapai adalah di tingkat milimeter (mm). Dalam rangka untuk
mencapai tingkat akurasi survei GPS maka metode statis didasarkan pada data
fase harus dilaksanakan dengan pengukuran ketat dan pengolahan data strategi
(Leick, 1995; Abidin et al, 2002). Mengingat akurasi dan presisi diperoleh GPS
yang menjadi lebih tinggi dan lebih tinggi, dapat diharapkan bahwa peran GPS
untuk pemantauan penurunan tanah akan menjadi lebih dan lebih penting dalam
waktu dekat.
2.7.3.4 Penentuan Posisi Dengan GPS
Pada dasarnya konsep dasar penentuan posisi dengan GPS adalah reseksi
( pengikatan ke belakang ) dengan jarak, yaitu dengan pengukuran jarak secara simultan ke
beberapa satelit GPS yang koordinatnya telah diketahui. Secara vektor, prinsip dasar
penentuan posisi dengan GPS dapat diperlihatkan pada gambar dibawah ini.
12
2.7.3.5 Metode Penentuan Posisi Dengan GPS
Pada dasarnya, tergantung pada mekanisme pengaplikasiannya, metode penentuan
posisi dengan GPS dapat dikelompokkan atas beberapa metode yaitu : absolute, differential,
static, rapic static, pseudo-kinematic, dan stop-and-go ( Abidin, 2006 ). Berdasarkan
aplikasinya, metode – metode penentuan posisi dengan GPS dapat dibagi atas dua kategori
utama, yaitu survei dan navigasi, seperti yang diilustrasikan pada gambar dibawah ini.
13
14
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Zainal. ( n.d). Teori Sipat Datar (Levelling). Modul Kuliah Ilmu Ukur Tanah.
Diperoleh dari http://download.spmabanjarbaru.sch.id/files/Alat%20Penyipat%20Datar.pdf
Hastari, Rahmi. (2014). Penurunan Tanah DKI Jakarta. Diperoleh dari
http://jakartapedia.bpadjakarta.net/index.php/Penurunan_Tanah_DKI_Jakarta
Anonim. (n.d). Dampak Penurunan Tanah. DIperoleh dari
https://sites.google.com/site/jakartadampak/dampak-penurunan-tanah
15