Anda di halaman 1dari 5

2.

2 Kelainan Kongenital

2.2.1 Pengertian Kelainan Kongenital

Kelainan kongenital merupakan penyebab utama penyakit kronis,


kecacatan, serta kematian bayi dan anak-anak. Menurut WHO, kelainan kongenital
merupakan penyebab 2,68 juta kematian bayi di dunia pada tahun 2015.

Kelainan kongenital merupakan kelainan struktural atau fungsional,


termasuk gangguan metabolik, yang dapat ditemukan sejak sebelum kelahiran, saat
lahir, dan/atau pada saat bayi (seperti tuli).

Kelainan kongenital dapat diklasifikasikan menjadi kelainan kongenital


yang terjadi pada sistem saraf; organ mata, telinga, wajah, dan leher; sistem
peredaran darah; sistem pernapasan; celah bibir dan celah langit -langit; sistem
pencernaan; organ reproduksi; saluran kemih; sistem otot dan rangka; ke lainan
bawaan lainnya; dan kelainan yang disebabkan oleh kromosom yang abnormal.

Beberapa contoh kelainan kongenital, misalnya bibir sumbing, cerebral


palsy, sindrom down, spina bifida, cystic fibrosis, kelainan jantung, thalasemia,
dan masih banyak lagi.

2.2.2 Gejala

Terdapat berbagai jenis kelainan kongenital tergantung kelompok organ


yang terjangkit dan penyebabnya. Setiap kelainan kongenital memiliki gejala
masing-masing. Misalnya, kelainan jantung kongenital memiliki gejala, seperti
detak jantung cepat, kesulitan bernapas, masalah pencernaan, pembengkakan pada
kaki, perut, serta mata, dan kulit pucat kebiruan.

Untuk kelainan bawaan pada kaki seperti clubfoot (pergelangan kaki


terputar ke dalam), biasanya tidak menimbulkan nyeri hingga bayi mulai berlatih
berdiri dan berjalan. Bayi dengan bibir sumbing memiliki lekukan d i bibir atas dan
biasanya hingga hidung.

Penderita anemia sel sabit memiliki gejala lesu dan biasanya merusak organ
vital lain. Sementara, anak dengan sindrom down biasanya memili ki mata sipit,
telinga kecil, mulut kecil, leher pendek, dan jari-jari pendek.

2.2.3 Penyebab

Penyebab kelainan kongenital masih belum diketahui. Namun, beberapa


kelainan kongenital dapat disebabkan beberapa faktor, seperti:
1. Faktor genetik: misalnya mutasi (perubahan gen) berperan dalam terjadinya
kelainan kongenital. Perkawinan antar saudara sedarah (konsanguinitas) juga
meningkatkan risiko kelainan kongenital.
2. Faktor sosioekonomi: kemiskinan merupakan faktor yang dapat meningkatkan
risiko kelainan kongenital. Ibu hamil dengan pendapatan rendah cenderung
tidak mendapatkan nutrisi yang baik bagi kehamilannya. Selain itu, usia ibu
hamil yang terlalu tua juga dapat meningkatkan risiko kelainan kongenital
akibat gangguan kromosom, seperti sindrom down.
3. Infeksi: infeksi kehamilan, seperti sifilis dan rubella, dapat menyebabkan
kelainan kongenital. Contohnya, virus Zika dapat menginfeksi bayi sehingga
bayi bisa lahir dalam kondisi mikrosefali (ukuran kepala di bawah normal).
4. Status gizi ibu hamil: nutrisi yang dibutuhkan bayi saat di dalam kandungan
sangat memengaruhi pertumbuhan bayi. Kondisi seperti kekurangan iodium,
kekurangan asam folat, obesitas, diabetes melitus (kencing manis), dan
konsumsi vitamin A dosis tinggi saat hamil muda dapat m enyebabkan kelainan
kongenital.
5. Faktor lingkungan: paparan pestisida, obat, tembakau, rokok pada masa
kehamilan akan memengaruhi pertumbuhan janin. Ibu hamil yang tinggal di
lingkungan pabrik, limbah, dan tambang memiliki risiko yang lebih tinggi
untuk terkena kelainan kongenital.

2.2.4 Diagnosis

Kelainan kongenital perlu diidentifikasi lebih awal untuk menentukan


perawatan dan konseling genetik. Meskipun tidak semua kelainan kongenital dapat
didiagnosis atau terdeteksi dini, namun terdapat beberapa pemeriksaan yang bisa
dilakukan untuk mendiagnosis kelainan kongenital, misalnya:

1. Tes kelainan bawaan

Dapat dilakukan mulai usia kehamilan 10 minggu. Tes skrining dirancang


untuk mengidentifikasi bayi yang tidak memiliki kelainan kongenital. Jika tes
skrining tidak mendeteksi adanya kelainan, selanjutnya dapat melakukan tes
diagnostik, seperti ultrasonografi (USG), tes darah, atau tes urine, untuk
mendeteksi adanya kelainan pada janin.

2. Chorionic villus sampling (CVS)


Chorionic villus sampling (CVS) merupakan tes yang biasanya dilakukan
pada 10 hingga 13 minggu kehamilan ketika tes skrining menunjukkan bahwa
bayi mungkin memiliki kelainan kongenital.
CVS dapat digunakan untuk mendiagnosis bayi dengan sindrom Down atau
kondisi genetik lainnya. Pemeriksaan ini dilakukan dengan mengambil sedikit
sampel sel dari plasenta untuk diuji di laboratorium.
3. Amniosentesis
Amniosentesis dilakukan setelah 15 minggu kehamilan. Tes ini dapat
memastikan apakah bayi menderita sindrom Down atau kelainan bawaan
lainnya setelah melalui tes CVS.

Pemeriksaan ini dimulai dengan mengambil cairan amnion yang berada di


sekitar janin dan diuji di laboratorium. Namun, terdapat risiko kecil keguguran
pada tes amniosentesis dan CVS.

Setelah bayi lahir, dokter atau bidan akan memeriksa kondisi anatomi
tubuh, pendengaran, kondisi jantung, dan darah, metabolisme dan gangguan
hormon untuk mendeteksi dini terhadap masalah-masalah kelainan kongenital.

Hal ini dapat mencegah menjadi kecacatan fisik, intelektual, visual, atau
pendengaran yang lebih serius.

2.2.5 Pengobatan

Beberapa kelainan kongenital tidak dapat diobati dan bersifat permanen.


Namun, ada penyakit yang dapat mendapatkan pengobatan, seperti:
1. Pengobatan medis, seperti obat hidrokortison, fludrokortison untuk (untuk
penyakit hiperplasia adrenal kongenital), levotiroksin (untuk penyakit
hipotiroid kongenital), transfusi darah, dan kelasi besi (untuk thalasemia).
2. Melakukan diet khusus, untuk defisiensi G6PD dan galaktosemia.
3. Koreksi bedah, untuk displasia tulang, bibir sumbing, palatum, atau
kelainan jantung.

2.2.6 Pencegahan

Kelainan kongenital pada bayi dapat dicegah dengan:

1. Mengonsumsi makanan sehat dengan vitamin dan mineral yang memadai,


serta menjaga berat badan.
2. Jika memiliki riwayat kelainan kongenital pada keluarga, Anda perlu
melakukan tes genetik dan berkonsultasi dengan dokter sebelum hamil.
3. Mengonsumsi tablet asam folat khususnya pada trimester pertama
kehamilan.
4. Menghindari alkohol, merokok, dan obat-obatan lain yang dapat
membahayakan janin.
5. Mengontrol diabetes dan diabetes gestasional dengan konseling, mengatur
pola makan, dan penggunaan insulin jika dibutuhkan.
6. Menghindari paparan bahan kimia lingkungan, seperti pestisida, timbal,
merkuri.
7. Melakukan vaksin rubella.
8. Melakukan skrining infeksi rubella, varicella, dan sifilis.
9. Meningkatkan pengetahuan ibu hamil, dan keluarga mengenai pencegahan
kelainan kongenital.
10. Menjaga kesehatan reproduksi.
Referensi

Kementerian Kesehatan RI.


http://www.depkes.go.id/download.php?file=download/pusdatin/infodatin/infodatin%20kelainan%2
0bawaan.pdf
Diakses pada Maret 2019

Anda mungkin juga menyukai