Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Salah satu masalah gangguan kesehatan yang menonjol pada usia
lanjut adalah gangguan muskoloskeletal, terutama osteoartritis dan
osteoporosis. Menghadapi problem ini tanpa adanya persiapa yang baik, di
khawatirkan akan menjadikan beban yang akan di tanggung pemerintah,
masyarakat, dan warga usia lanjut dengan keluarga akan menjadi sangat
besar dan akan menghambat perkembangan ekonomi serta memperburuk
kualitas hidup manusia secara utuh (isbagio H dalam Daniel, 2007).
Osteoporosis adalah suatu problem klimakterium yang serius. Di
amerika serikat dijumpai satu kasus osteoporosis di antara dua sampai tiga
wanita pascamonopause. Massa tulang pada manusia mencapai maksimum
pada usia sekita 35 tahun, kemudian terjadi penurunan massa tulang secara
eksponensial. Penurunan massa tulang ini berkisar antara 3-5% setiap decade,
sesuai dengan kehilangan massa otot dan hal ini di alami baik pada pria dan
wanita. Pada masa klimakterium, penurunan massa tulang pada wanita lebih
mencolok dan dapat mencapai 2-3% setahun secara eksponensial. Pada usia
70 tahun kehilangan massa tulang pada wanita ini baru mencapai
25% (Gonta,P.1996).
Kecepatan resorpsi tulang lebih besar dari kecepatan pembentukan
tulang, sehingga dapat menurunkan massa tulang total. Osteoporosis adalah
penyakit yang mempunyai sifat-sifat khas berupa massa tulang
yang rendah, disertai mikroarsitektur tulang dan penurunan
kualitas jaringan tulang yang dapat menimbulkan kerapuhan tulang. Tulang
secara progresif menjadi rapuh dan mudah patah. Tulang menjadi mudah
patah dengan stres, yang pada tulang normal tidak menimbulkan pengaruh.
Sherwood (2001), mengatakan selama dua decade pertama kehidupan, saat

1
terjadi pertumbuhan, pengendapan tulang melebihi resorpsi tulang dibawah
pengaru hormone pertumbuhan. Sebaiknya pada usia 50-6- tahun, resorpsi
tulang melebihi pembentukan tulang. Kalsitonin yang menghambat resorpsi
tulang dan merangsang pembentukan tulang mengalami penurunan. Hormone
paratiroid meningkat bersama bertambahnya dan meningkatkan resorpsi
tulang. Hormone estrogen yang menghambat pemecahan tulang, juga
berkurang bersama bertambahnya usia.
Menurut Ganong (2003), perempuan dewasa memiliki massa tulang
yang lebih sedikit daripada pria dewasa, dan setelah menopause mereka mulai
kehilangan tulang lebih cepat daripada pria. Akibatnya perempuan lebih
rentang menderita ospteoporosis serius. Penyebab utama berkurangnya tulang
setelah menopause adalah defesiensi hormone estrogen. Pada osteoporosis,
matriks dan mineral tulang hilang, hingga massa dan kekuatan tulang, dengan
peningkatan fraktur.
Osteoporosis sering menimbulkan fraktur kompresi pada
vertebra torakalis. Terdapat penyempitan diskus vertebra, apabila
penyebaran berlanjut keseluruh korpus vertebra akan menimbulkan kompresi
vertebra dan terjadi gibus. Fraktur kolum femur sering terjadi pada usia di
atas 60 tahun dan lebih sering pada perempuan, yang disebabkan oleh penuaan
dan osteoporosis pascamenopause.
Kolaps bertahap tulang vertebra mungkin tidak menimbulkan gejala,
namun terlihat sebagai kifosis progresif. Kifosis dapat mengakibatkan
pengurangan tinggi badan. Pada beberapa perempuan dapat kehilangan tinggi
badan sekitar 2,5-15 cm, akibat kolaps vertebra.

2
B. Tujuan Penulisan
a) Tujuan Umum
Untuk mengetahui konsep dasar terkait penyakit osteoporosis dan
pengaplikasian dalam asuhan keperawatan.
b) Tujuan Khusus
- Untuk mengetahui pengetian terkait osteoporosis
- Untuk mengetahui etiologi dan klasifikasi terkait osteoporosis
- Untuk mengetahui tanda dan gejala terkait osteoporosis
- Untuk mengetahui penatalaksanaan dan pemeriksaan
penunjang terkait osteoporosis
- Untuk mengetahui konsep asuhan keperawatan yang akan
diberikan pada klien dengan osteoporosis

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. KONSEP MEDIS
1. Defenisi Osteoporosis
Osteoporosis adalah suatu kondisi berkurangnya massa tulang secara
nyata yang berakibat pada rendahnya kepadatan tulang, sehingga tulang
menjadi keropos dan rapuh. “Osto” berarti tulang, sedangkan “porosis” berarti
keropos. Tulang yang mudah patah akibat Osteoporosis adalah tulang
belakang, tulang paha, dan tulang pergelangan tangan (Endang Purwoastuti :
2009) .
Osteoporosis yang dikenal dengan keropos tulang menurut WHO
adalah penyakit skeletal sistemik dengan karakteristik massa tulang yang
rendah dan perubahan mikroarsitektur dari jaringan tulang dengan akibat
meningkatnya fragilitas tulang dan meningkatnya kerentanan terhadap tulang
patah. Osteoporosis adalah kelainan dimana terjadi penurunan massa tulang
total (Lukman, Nurma Ningsih : 2009).
Osteoporosis adalah kelainan di mana terjadi penurunan massa tulang
total. Terdapat perubahan pergantian tulang homeostasis normal, kecepatan
resorpsi tulang lebih besar dari kecepatan pembentukan tulang, pengakibatkan
penurunan masa tulang total. Tulang secara progresif menjadi porus, rapuh
dan mudah patah; tulang menjadi mudah fraktur dengan stres yang tidak akan
menimbulkan pengaruh pada tulang normal (Brunner&Suddarth, 2000).

2. Klasifikasi Osteoporosis
Klasifikasi osteoporosis dibagi ke dalam dua kelompok yaitu
osteoporosis primer dan osteoporosis sekunder. Osteoporosis primer terdapat
pada wanita postmenopause (postmenopause osteoporosis) dan pada laki-laki

4
lanjut usia (senile osteoporosis). Penyebab osteoporosis belum diketahui
dengan pasti. Sedangkan osteoporosis sekunder disebabkan oleh penyakit
yang berhubungan dengan Kelainan endokrin misalnya Chusing’s disease,
hipertiriodisme, hiperparatiriodisme, hipogonadisme, kelainan hepar, gagal
ginjal kronis, kurang gerak, kebiasaan minum alcohol, pemakaian obat-
obatan/kortikosteroid, kelebihan kafein, dan merokok (Lukman, Nurma
Ningsih : 2009).
Djuwantoro (1996), membagi osteoporosis menjadi osteoporosis
postmenopause (Tipe I), Osteoporosis involutional (Tipe II), osteoporosis
idiopatik, osteoporosis juvenil dan osteoporosis sekunder.
1) Osteoporosis Postmenopause (Tipe I)
Merupakan bentuk yang paling sering ditemukan pada wanita kulit
putih dan Asia. Bentuk osteoporosis ini disebabkan oleh percepatan
resopsi tulang yang berlebihan dan lama setelah penurunan sekresi
hormon estrogen pada masa menopause.
2) Osteoporosis involutional (Tipe II)
Terjadi pada usia diatas 75 tahun pada perempuan maupun laki-
laki. Tipe ini diakibatkan oleh ketidakseimbangan yang samar dan lama
antara kecepatan resorpsi tulang dengan kecepatan pembentukan tulang.
3) Osteoporosis idiopatik
Adalah tipe osteoporosis primer yang jarang terjadi pada wanita
premenopouse dan pada laki-laki yang berusi di bawah 75 tahun. Tipe ini
tidak berkaitan dengan penyebab sekunder atau faktor resiko yang
mempermudah timbulnya penurunan densitas tulang.
4) Osteoporosis juvenil
Merupakan bentuk yang paling jarang terjadi dan bentuk
osteoporosis yang terjadi pada anak-anak prepubertas.
5) Osteoporosis sekunder.

5
Penurunan densitas tulang yang cukup berat untuk menyebabkan
fraktur atraumatik akibat faktor ekstrinsik seperti kelebihan kortikosteroid,
atraumatik reumatoid, kelainan hati/ ginjal kronis, sindrom malabsorbsi,
mastisitosis sistemik, hipertiriodisme , varian status hipogonade dan lain-
lain.

3. Etiologi Osteoporosis
Osteoporosis postmenopouse terjadi karena kekurangan estrogen
(hormon utama pada wanita), yang membantu mengatur pengangkutan
kalsium ke dalam tulang pada wanita. Biasanya gejala timbul pada wanita
yang berusia diantara 51-75 tahun, tetapi bisa mulai muncul lebih cepat
ataupun lebih lambat. Tidak semua wanita memiliki resiko yang sama untuk
menderita osteoporosis postmenopouse, pada wanita kulit putih dan daerah
timur lebih mudah menderita penyakit ini daripada wanita kulit hitam
(Lukman, Nurma Ningsih : 2009).
Osteoporosis senilis kemungkinan merupakan akibat dari kekurangan
kasium yang berhubungan dengan usia dan ketidakseimbangan diantara
kecepatan hancurnya tulang dan pembentukan tulang yang baru. Senilis yaitu
keadaan penurunan masa tulang yang hanya terjadi pada usia lanjut. Penyakit
ini biasanya terjadi pada usia diatas 70 tahun dan dua kali lebih sering
menyerang wanita. Wanita sering kali menderita osteoporosis senilis dan
postmenopouse (Lukman, Nurma Ningsih : 2009).
Kurang dari lima persen penderita osteoporosis juga mengalami
osteoporosis sekunder, yang disebabkan oleh keadaan medis lainnya atau oleh
obet-obatan. Penyakit ini bisa disebabkan oleh gagal ginjal kronis dan
kelainan hormonal (terutama tiroid, paratiroid, dan adrenal) dan obat- obatan
(misalnya kortikosteroid, barbiturat, anti-kejang, hormon tiroid yang
berlebihan). Pemakaian alkohol yang berlebihan dan kebiasaan merokok bisa
memperburuk keadaan ini (Lukman, Nurma Ningsih : 2009).

6
Osteoporosis juvenil idiopatik merupakan jenis osteoporosis yang
penyebabnya tidak diketahui. Hal ini terjadi pada anak-anak dan dewasa yang
normal dan tidak memiliki penyebab yang jelas dari rapuhnya tulang
(Lukman, Nurma Ningsih : 2009).
Faktor genetik juga berpengaruh terhadap timbulnya osteoporosis.
Pada seseorang dengan tulang yang kecil akan lebih mudah mendapat risiko
fraktur daripada seseorang dengan tulang yang besar. Sampai saat ini tidak
ada ukuran universal yang dapat dipakai sebagai ukuran tulang normal. Setiap
individu memiliki ketentuan normal sesuai dengan sifat genetiknya beban
mekanis dan besar badannya. Apabila individu dengan tulang besar, kemudian
terjadi proses penurunan massa tulang (osteoporosis) sehubungan dengan
lanjutnya usia, maka individu tersebut relatif masih mempunyai tulang lebih
banyak daripada individu yang mempunyai tulang kecil pada usia yang sama
(Lukman, Nurma Ningsih : 2009).

4. Patofisiologi Osteoporosis
Genetik, nutrisi, gaya hidup (misal merokok, konsumsi kafein, dan
alkohol), dan aktivitas mempengaruhi puncak massa tulang. Kehilangan masa
tulang mulai terjadi setelah tercaipainya puncak massa tulang. Pada pria
massa tulang lebih besar dan tidak mengalami perubahan hormonal
mendadak. Sedangkan pada perempuan, hilangnya estrogen pada saat
menopouse dan pada ooforektomi mengakibatkan percepatan resorpsi tulang
dan berlangsung terus selama tahun-tahun pasca menopouse (Lukman, Nurma
Ningsih : 2009).
Diet kalsium dan vitamin D yang sesuai harus mencukupi untuk
mempertahankan remodelling tulang selama bertahun-tahun mengakibatkan
pengurangan massa tulang dan fungsi tubuh. Asupan kasium dan vitamin D
yang tidak mencukupi selama bertahun-tahun mengakibatkan pengurangan
massa tulang dan pertumbuhan osteoporosis. Asupan harian kalsium yang

7
dianjurkan (RDA : recommended daily allowance) meningkat pada usia 11 –
24 tahun (adolsen dan dewasa muda) hingga 1200 mg per hari, untuk
memaksimalakan puncak massa tulang. RDA untuk orang dewasa tetap 800
mg, tetapi pada perempuan pasca menoupose 1000-1500 mg per hari.
Sedangkan pada lansia dianjurkan mengkonsumsi kalsium dalam jumlah tidak
terbatas. Karena penyerapan kalsium kurang efisisien dan cepat diekskresikan
melalui ginjal (Smeltzer, 2002).
Demikian pula, bahan katabolik endogen (diproduksi oleh tubuh) dan
eksogen dapat menyebabkan osteoporosis. Penggunaan kortikosteroid yang
lama, sindron Cushing, hipertiriodisme dan hiperparatiriodisme menyebabkan
kehilangan massa tulang. Obat- obatan seperti isoniazid, heparin tetrasiklin,
antasida yang mengandung alumunium, furosemid, antikonvulsan,
kortikosteroid dan suplemen tiroid mempengaruhi penggunaan tubuh dan
metabolisme kalsium.
Imobilitas juga mempengaruhi terjadinya osteoporosis. Ketika
diimobilisasi dengan gips, paralisis atau inaktivitas umum, tulang akan
diresorpsi lebih cepat dari pembentukannya sehingga terjadi osteoporosis.
5. Manifestasi Klinis Osteoporosis
Kepadatan tulang berkurang secara perlahan, sehingga pada awalnya
osteoporosis tidak menimbulkan gejala pada beberapa penderita. Jika
kepadatan tulang sangat berkurang yang menyebabkan tulang menjadi kolaps
atau hancur, maka akan timbul nyeri tulang dan kelainan bentuk. Tulang-
tulang yang terutama terpengaruh pada osteoporosis adalah radius distal,
korpus vertebra terutama mengenai T8-L4, dan kollum femoris (Lukman,
Nurma Ningsih : 2009).
Kolaps tulang belakang menyebabkan nyeri punggung menahun.
Tulang belakang yang rapuh bisa mengalami kolaps secara spontan atau
karena cedera ringan. Biasanya nyeri timbul secara tiba-tiba dan dirasakan di
daerah tertentu dari pungung yang akan bertambah nyeri jika penderita berdiri

8
atau berjalan. Jika disentuh, daerah tersebut akan terasa sakit, tetapi biasanya
rasa sakit ini akan menghilang secara bertahap setelah beberapa minggu atau
beberapa bulan. Jika beberapa tulang belakang hancur, maka akan terbentuk
kelengkungan yang abnormal dari tulang belakang (punuk), yang
menyebabkan terjadinya ketegangan otot dan rasa sakit (Lukman, Nurma
Ningsih : 2009).
Tulang lainnya bisa patah, yang sering kali disebabkan oleh tekanan
yang ringan atau karena jatuh. Salah satu patah tulang yang paling serius
adalah patah tulang panggul. Selain itu , yang juga sering terjadi adalah patah
tulang lengan (radius) di daerah persambungannya dengan pergelangan
tangan, yang disebut fraktur Colles. Pada penderita osteoporosis, patah tulang
cenderung mengalami penyembuhan secara perlahan (Lukman, Nurma
Ningsih : 2009).

6. Penatalaksanaan Osteoporosis
Pengobatan osteoporosis yang telah lama digunakan yaitu terapi medis
yang lebih menekankan pada pengurangan atau meredakan rasa sakit akibat
patah tualng. Selain itu, juga dilakukan terapi hormone pengganti (THP) atau
hormone replacement therapy (HRT) yaitu menggunakan estrogen dan
progresteron. Terapi lainnya yaitu terapi non hormonal antara lain suplemen
kalsium dan vitamin D.
1) Terapi medis.
Sebenarnya belum ada terapi yang secara khusus dapat
mengembalikan efek dari osteoporosis. Hal yang dapat dilakukan adalah
upaya-upaya untuk menekan atau memperlambat menurunnya massa
tulang serta mengurangi rasa sakit.
a) Obat pereda sakit
Pada tahap awal setelah terjadinya patah tulang, biasanya
diperlukan obat pereda sakit yang kuat, seperti turunan morfin.

9
Namun, obat tersebut memberikan efek samping seperti mengantuk,
sembelit dan linglung. Bagi yang mengalami rasa sakit yang sangat
dan tidak dapat diredakan dengan obat pereda sakit, dapat diberikan
suntikan hormone kalsitonin.
Bila rasa sakit mulai mereda, tablet pereda rasa sakit seperti
paracetamol atau codein ataupun kombinasi keduanya seperti co-
dydramol, co- codramol, atau co-proxamol bagi banyak pasien cukup
memadai untuk menghilangkan rasa sakit sehingga pasien dapat
melakukan aktivitas sehari-hari.
2) Terapi hormone pada wanita
Osteoporosis memang tidak dapat disembuhkan, semua upaya
pengobatan hanya dimaksudkan untuk mencegah kehilangan massa tulang
yang lebih besar. Namun, demikian, pengobatan masih perlu dilakukan
pada kasus osteoporosis berat untuk mencegah terjadinya patah tulang.
Obat-obat untuk mencegah penurunan massa tulang biasanya bekerja
lambat dan efeknya kurang terasa sehingga banyak pasien penderita
osteoporosis merasa putus asa dan menghentikan pengobatan. Hal tersebut
sangat tidak baik karena pengobatan jangka panjang diperlukan untuk
dapat secara maksimal menekan laju penurunan massa tulang dan patah
tulang.

Terapi hormone pada wanita diberikan pada masa pramenopause.


Lamanya pemberian terapi hormone sulit ditentukan. Yang jelas jika ingin
terhindar dari osteoporosis, terapi hormone dapat terus dilakukan.
Sebagian dokter menganjurkan untuk dilakukan terapi hormone seumur
hidup semenjak menopause pada wanita yang mengalami osteoporosis.
Namun, sebagian juga berpendapat bahwa penggunaan terapi hormone
sebaiknya dihentikan setelah penggunaan selama 5-10 tahun untuk
menghindari kemungkinan terjadinya kanker.

10
a) Hormone Replacement Theraphy (HRT)
Hormone Replacement Theraphy (HRT) atau terapi hormone
pengganti (THP) menggunakan hormone estrogen atau kombinasi
estrogen dan progesterone. Hormone-hormon tersebut sebenarnya
secara alamiah diproduksi oleh indung telur, tetapi produksinya
semakin menurun selama menopause sehingga perlu dilakukan HRT.
Penggunaan estrogen memang efektif dalam upaya
pengobatan dan pencegahan osteoporosis. Namun, tidak terlepas dari
kemungkinan terjadinya efek samping berupa munculnya kanker
endometrium (dinding rahim). Dengan adanya hormone tersebut akan
merangsang pertumbuhan sel-sel di dinding rahim yang apabila
pertumbuhannya terlalu pesat dapat berkembang menjadi kanker
ganas. Oleh karena itu, penggunaan estrogen biasanya di
kombinasikan dengan progesterone untuk mengurangi resiko tersebut.
Efek lain yang juga dapat timbul dalam pemberian terapi
hormone, diantaranya adalah pembesaran payudara, kembung, retensi
cairan, mual, muntah, sakit kepala, gangguan pencernaan, dan
gangguan emosi. Namun, demikian, efek tersebut biasanya hanya
terjadi pada awal terapi dan kondisi berangsur membaik dengan
sendirinya. Dapat juga dilakukan pemberian hormone estrogen dan
progesterone secara bertahap, dosis kecil diberikan pada awal terapi
dilihat dulu reaksinya terhadap tubuh. Bila dosis dapat diterima tubuh,
dosis kemudian dinaikkan secara bertahap.
b) Kalsitonin.
Selain hormone estrogen dan progesterone, hormone lain yang
biasa digunakan dalam pencegahan dan pengobatan osteoporosis
adalah kalsitonin. Kalsitonin turut menjaga kestabilan struktur tulang
dengan mengaktifkan kerja sel osteoblast dan menekan kinerja sel
osteoclast.

11
Kalsitonin juga berperan dalam mengurangi rasa sakit yang
mungkin timbul pada keadaan patah tulang. Hormone ini secara
normal dihasilkan oleh kelenjar tiroid yang memiliki sifat meredakan
rasa sakit yang cukup ampuh. Kalsitonin biasanya diberikan dalam
bentuk suntikan yang diberikan setiap hari atau dua hari sekali selama
dua atau tiga minggu. Hormone ini juga dapat menimbulkan efek
samping berupa rasa mual dan muka merah, mungkin pula terjadi
muntah dan diare serta rasa sakit pada bekas suntikan.
c) Testosterone
Testosterone adalah hormone yang biasa dihasilkan oleh tubuh
pria. Penggunaan hormone testosterone pada wanita dengan
osteoporosis pasca menopause mampu menghambat kehilangan massa
tulang. Namun, dapat muncul efek maskulinasi seperti penambahan
rambut secara berlebihan di dada, kaki, tangan, timbulnya jerawat
dimuka dan pembesaran suara seperti yang biasa terjadi pada pria.
3) Terapi non-hormonal
Terapi hormone selama ini memang dianggap sebagai jalan yang
paling baik untuk mengobati osteoporosis. Namun, karena banyaknya efek
samping yang dapat ditimbulkan dan tidak dapat diterapkan pada semua
pasien osteoporosis, maka sekarang mulai dikembangkan terapi non-
hormonal.
a) Bisfosfonat
Bisfosfonat merupakan golongan obat sintetis yang saat ini
sangat dikenal dalam pengobatan osteoporosis non-hormonal. Efek
utama dari obat ini adalah menonaktifkan sel-sel penghancur tulang
(osteoclast) sehingga penurunan massa tulang dapat dihindari. Obat-
obat yang termasuk golongan bisfosfonat adalah etidronat dan
alendronat.

12
b) Etidronat.
Etidronat adalah obat golongan bisfosfonat pertama yang biasa
digunakan dalam pengobatan osteoporosis. Obat ini diberikan dalam
bentuk tablet dengan dosis satu kali sehari selama dua minggu.
Penggunaan obat ini harus dikombinasikan dengan konsumsi
suplemen kalsium. Namun, perlu diperhatikan agar konsumsi
suplemen kalsium harus dihindari dalam waktu dua jam sebelum dan
sesudah mengkonsumsi etidronat karena dapat mengganggu
penyerapannya. Kadang kala konsumsi etidronat memberikan efek
samping,tetapi relative kecil. Misalnya timbul mual, diare, ruam kulit
dan lain-lain.
c) Alendronat
Alendornat mempunyai fungsi dan peran yang serupa dengan
etidronat, perbedaannya adalah pada penggunaannya tidak perlu
dikombinasikan dengan konsumsi suplemen kalsium, tetapi bila
asupan kalsium masih rendah, pemberian kalsium tetap dianjurkan.
Efek samping yang mungkin ditimbulkan pada konsumsi alendronat
adalah timbulnya diare, rasa sakit dan kembung pada perut, serta
gangguan pada tenggorokan.
4) Terapi alamiah
Terapi alamiah adalah terapi yang diterapkan untuk mengobati
osteoporosis tanpa menggunakan obat-obatan atau hormone. Terapi ini
berhubungan dengan gaya hidup dan pola konsumsi. Beberapa
pencegahan yang dapat diberikan yaitu dengan berolahraga secara teratur,
hindari merokok, hindari minuman beralkohol dan menjaga pola makan
yang baik.

13
7. Pemeriksaan Diagnostik
Sebenarnya langkah terbaik dalam penanganan osteoporosis adalah
pencegahan karena bila sudah terkena susah, bahkan tidak dapat dipulihkan.
Seyogyanya, sedini mungkin dilakukan diagnosis untuk mendeteksi keadaan
massa tulang sebelum terjadi akibat yang lebih fatal seperti terjadinya patah
tulang . penilaian langsung tulang untuk mengetahui ada tidaknya
osteoporosis dapat dilakukan dengan berbagai cara , yaitu sebagai berikut :
 Pemeriksaan radiologic
 Pemeriksaan radioisotope
 Pemeriksaan Quantitative
 Magnetic resonance imaging (MRI)
 Quantitative Ultra Sound (QUS)
 Densitometer (X-ray absorptiometry)
 Tes darah dan urine

B. KONSEP KEPERAWATAN
a. Fokus Pengkajian
Pengumpulan data yang akurat dan sistematis akan membantu dalam
menentukan status kesehatan dan pola pertahanan penderita, mengidentifikasikan,
kekuatan dan kebutuhan penderita yang dapat diperoleh melalui anamnese,
pemeriksaan fisik dan riwayat psikososial.
1. Anamnese
a) Identitas
a. Identitas klien
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, suku/bangsa, agama, pendidikan, pekerjaan,
tanggal masuk, tanggal pengkajian, nomor register, diagnosa medik, alamat, semua
data mengenai identitaas klien tersebut untuk menentukan tindakan selanjutnya.
b. Identitas penanggung jawab

14
Identitas penanggung jawab ini sangat perlu untuk memudahkan dan jadi
penanggung jawab klien selama perawatan, data yang terkumpul meliputi nama,
umur, pendidikan, pekerjaan, hubungan dengan klien dan alamat.
b) Riwayat Kesehatan
Dalam pengkajian riwayat kesehatan, perawat perlu mengidentifikasi adanya :
a. Rasa nyeri atau sakit tulang punggung (bagian bawah), leher,dan pinggang
b. Berat badan menurun
c. Biasanya diatas 45 tahun
d. Jenis kelamin sering pada wanita
e. Pola latihan dan aktivitas
c) Pola aktivitas sehari-hari
Pola aktivitas dan latihan biasanya berhubungan dengan olahraga, pengisian
waktu luang dan rekreasi, berpakaian, makan, mandi, dan toilet. Olahraga dapat
membentuk pribadi yang baik dan individu akan merasa lebih baik. Selain itu,
olahraga dapat mempertahankan tonus otot dan gerakan sendi. Lansia memerlukan
aktifitas yang adekuat untuk mempertahankan fungsi tubuh. Aktifitas tubuh
memerlukan interaksi yang kompleks antara saraf dan muskuloskeletal.
Beberapa perubahan yang terjadi sehubungan dengan menurunnya gerak
persendian adalah agility ( kemampuan gerak cepat dan lancar ) menurun, dan
stamina menurun.
2. Pemeriksaan Fisik
a. B1 (Breathing)
Inspeksi : Ditemukan ketidaksimetrisan rongga dada dan tulang belakang
Palpasi : Taktil fremitus seimbang kanan dan kiri
Perkusi : Cuaca resonan pada seluruh lapang paru
Auskultasi : Pada kasus lanjut usia, biasanya didapatkan suara ronki
b. B2 ( Blood)

15
Pengisian kapiler kurang dari 1 detik, sering terjadi keringat dingin dan pusing.
Adanya pulsus perifer memberi makna terjadi gangguan pembuluh darah atau edema
yang berkaitan dengan efek obat.

c. B3 ( Brain)
Kesadaran biasanya kompos mentis. Pada kasus yang lebih parah, klien dapat
mengeluh pusing dan gelisah.
a) Kepala dan wajah : ada sianosis
b) Mata : Sklera biasanya tidak ikterik, konjungtiva tidak
anemis
c) Leher : Biasanya JVP dalam normal
Nyeri punggung yang disertai pembatasan pergerakan spinal yang disadari dan
halus merupakan indikasi adanya satu fraktur atau lebih, fraktur kompresi vertebra
d. B4 (Bladder)
Produksi urine biasanya dalam batas normal dan tidak ada keluhan pada sistem
perkemihan.
e. B5 ( Bowel)
Untuk kasus osteoporosis, tidak ada gangguan eliminasi namun perlu di kaji
frekuensi, konsistensi, warna, serta bau feses.
f. B6 ( Bone)
Pada inspeksi dan palpasi daerah kolumna vertebralis. Klien osteoporosis sering
menunjukan kifosis atau gibbus (dowager’s hump) dan penurunan tinggi badan dan
berat badan. Ada perubahan gaya berjalan, deformitas tulang, leg-length inequality
dan nyeri spinal. Lokasi fraktur yang sering terjadi adalah antara vertebra torakalis 8
dan lumbalis 3.
3. Pemeriksaan penunjang
a) Radiologi
Gejala radiologi yang khas adalah densitas atau massa tulang yang menurun yang
dapat dilihat pada vertebra spinalis. Dinding dekat korpus vertebra biasanya

16
merupakan lokasi yang paling berat. Penipisan korteks dan hilangnya trabekula
transversal merupakan kelainan yang sering ditemukan. Lemahnya korpus vertebrae
menyebabkan penonjolan yang menggelembung dari nucleus pulposus kedalam ruang
intervertebral dan menyebabkan deformitas bikonkaf.
b) CT-Scan
Dapat mengukur densitas tulang secara kuantitatif yang mempunyai nilai penting
dalam diagnostik dan terapi follow up. Mineral vertebra diatas 110 mg/cm3 biasanya
tidak menimbulkan fraktur vertebra atau penonjolan, sedangkan mineral vertebra
dibawah 65 mg/cm3 ada pada hampir semua klien yang mengalami fraktur.

b. Diagnosa keperawatan yang sering muncul


1. Nyeri berhubungan dengan dampak sekunder dari fraktur vertebra spasme
otot, deformitas tulang.
2. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan disfungsi sekunder akibat
perubahan skeletal (kifosis), nyeri sekunder atau fraktur baru.
3. Risiko cedera berhubungan dengan dampak sekunder perubahan skeletal dan
ketidakseimbangan tubuh.
4. Kurang pengetahuan mengenai proses osteoporosis dan program terapi yang
berhubungan dengan kurang informasi, salah persepsi.

17
BAB III
TINJAUAN KASUS

A. Penkajian
1. Identitas Klien
Nama : Tn. I
Umur : 75 tahun
Agama : islam
Pendidikan : SD
Pekerjaan : Wirausaha
Status Pernikahan : Nikah
Alamat : Jl. Seberang Padang
Tanggal Masuk RS : 23-09-2017
Diagnosa Medis : Osteoporosis
2. Keluhan Utama
Klien mengatakan bahwa merasakan nyeri pada punggung nya sehingga
klien Riwayat Kesehatan
a. Riwayat Kesehatan Sekarang
Saat di lakukan pengkajian pada tanggal 7 Agustus 2017 klien
mengatakan bahwa nyeri pada punggungnya, klien mengatakan sakit
hebat dan terlokalisasi pada vertebra yg terserang. Pasien mengatakan
nyeri berkurang pada saat istirahat di tempat tidur. Klien tampak
meringis dan gelisah menahan nyeri tersebut. Selain itu klien juga
mengatakan bahwa ia mengalami kesulitan untuk beraktivitas, klien
mengeluh kesakitan tiap kali bergerak, klien juga mengatakan bahwa
ia membutuhkan bantuan orang lain untuk bergerak. Klien tampak
lemas, dan klien tampak terbaring di tempat tidur.
Adapun hasil pemeriksaan TTV klien yaitu :
TD : 110/70mmHg S : 36.5°C

18
N : 76x/i RR : 20x/i

Sedangkan hasil dari pengkajian nyeri yaitu :


P : Adanya pergerakan fragmen tulang dan spasme otot
Q : Tumpul
R : Punggung
S:7
T : Hilang timbul

b. Riwayat Penyakit Dahulu


Klien mengatakan bahwa seiring bertambahnya usia klien
sering mengalami nyeri pada punggungnya. Saat nyeri klien hanya beli
obat di apotek, minum jamu/herbal. Namun seiring berjalannya waktu,
rasa nyeri yang dialaminya semakin parah itulah mengapa pada 7
Agustus 2017 klien datang ke RS untuk berobat.

c. Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada keluarga yang menderita penyakit yang sama dengan klien

Genogram

19
3. Pemeriksaan Head To Toe
a. Tanda-tanda vital meliputi : TD : 110/70 N : 76 x/i
S : 36,5 C RR : 20 x/i
b. Pemeriksaan Kepala
Inspeksi kepala : Bentuk : simetris
Karakteristik rambut : gelombang
Kebersihan : bersih
Palpasi kepala : Tidak ada benjolan/lesi
c. Pemeriksaan mata
Inspeksi : Sklera : ikterik
Conjungtiva : anemis
Kornea : Normal
Iris : Normal
Tanda-tanda radang : tidak ada
Edema palpebrae : tidak ada nyeri tekan
Rasa sakit : tidak ada rasa nyeri
d. Telinga
Inspeksi : Daun telinga : Simetris, tidak ada massa
Liang telinga : Bersih
Membran tympani : tidak ada kelainan
Pendarahan : tidak ada
e. Hidung
Simetris/ tidak : cuping hidung simetris kiri dan kanan
Membran mukosa : tidak ada secret
Test penciuman / ketajaman membedakan bau : tidak ada kelainan
Alergi terhadap sesuatu : tidak ada alergi
f. Mulut dan tenggorokan
Inspeksi : Mulut : lembab
Mukosa mulut : bersih

20
Lidah : merah muda, tidak ada bintik-bintik
putih
Kesulitan menelan : tidak kesulitan dalam
menelan
g. Leher
Inspeksi leher : Normal
Kelenjar tyroid : tidak ada pembesaran
Palpasi : Normal
Arteri carotis : tidak ada kelainan
Vena jugularis : tidak ada kelainan
Kelenjar tyroid : tidak ada pembesaran
Nodus limfa : tidak ada kelainan
Pembesaran kelenjar : tidak ada pembesaran
kalenjar
h. Thorak/paru
Inspeksi : Bentuk thorak : Normal
Warna kulit : Kuning langsat
Pola nafas : efektif
Palpasi : Vocal remitus : Normal ada getaran
Perkusi : Batas paru kanan : Normal
Batas paru kiri : Normal
Auskultasi : Suara nafas : Normal
i. Kardiovaskuler
Inspeksi : Iictus cordis : tidak ada kelainan
Palpasi : Ictus cordis : Normal
Heart rate : Normal
Perkusi : Batas jantung : normal
Auskultasi : Bunyi jantung I&II : Normal
j. Abdomen

21
Inspeksi : Kuadran regio : -
Umbilikus : ada
Distensi : tidak mengalami distensi
k. Pola nutrisi
1. Berat badan : 45kg tinggi badan :150 cm sakit: bb 42 kg
2. Frekuensi makan : 3 kali sehari setelah sakit : 3 kali sehari

1. Pola tidur dan istirahat


- Waktu tidur : 21.00-05.00 wib setelah sakit : 21.00-
04.00 wib
- Lama tidur : 8jam/hari setelah sakit : 7jam/hari
- Kesulitan dalam hal tidur: sulit tidur karena nyeri pada sendi lutut

2. Pola aktivitas & latihan


Kemampuan perawatan 0 1 2 3 4
diri
Makan/ minum 
Toileting 
Berpakaian 
Mobilitas di tempat tidur 
Berpindah 
Ambulasi/ROM 

Ket : 0 :mandiri 1: dengan alat bantu 2 : dibantu orang lain 3: dibantu


orang lain dan alat 4: tergantung totl oksigenisasi

22
3. Analisa Data
Nama Klien : Tn.I No. Register : .....
Umur : 75 tahun Diagnosa Medis :
OSTEOPOROSIS
Ruang Rawat : R IV Interne Alamat : Jl
Seberang padang
No. Data Etiologi Masalah
1. Ds : Adanya Nyeri akut
• Klien mengatakan pergerakan
nyeri pada fragmen tulang
punggungnya dan spasme otot
• Nyeri berkurang saat
klien beristirahat di
tempat tidur
Do :
• Klien tampak
meringis menahan
nyeri
• Klien tampak gelisah

2. Ds : Disfungsi sekunder Hambatan


• Klien mengatakan akibat perubahan mobilitas fisik
tidak bisa bergerak skeletal (kifosis)
dan beraktivitas
• Klien mengatakan
tidak bisa beranjak
dari tempat tidur
Do :

23
• Klien tampak lemah
• Klien tampak
terbaring di tempat
tidur

B. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut b.d fragmen tulang dan spasme otot
2. Hambatan mobilitas fisik b.d disfungsi sekunder skeletal

C. Intervensi
No. Dx. Keperawatan NOC NIC
1. Nyeri akut b.d perubahan  Pain level Pain mangement
patologis oleh atritis rematik  Pain control  Lakukan
 Comfort level pengkajian
Kriteria hasil : nyeri secara
 Mampu komprehens
mengontrol nyeri if termasuk
(tahu penyebab lokasi,
nyeri, mampu karakteristik
menggunakan , durasi,
tehnik frekuensi,
nonfarmakologi kualitas dan
untuk faktor
mengurangi presipitasi
nyeri, mencari  Observasi
bantuan) reaksi
 Melaporkan nonverbal

24
bahwa nyeri dari
berkurang ketidaknya
dengan manan
menggunakan  Gunakan
manajemen nyeri teknik
 Mampu komunikasi
mengenali nyeri terapeutik
(skala, intensitas, untuk
frekuensi dan mengetahui
tanda nyeri) pengalaman
nyeri pasien
2. Hambatan mobilitas fisik b.d  join movement : Execise therapy :
kerusakan integritas struktur active ambulation
tulang, kekakuan sendi  mobility Level  monitoring
 transfer vital sign
perfomance sebelum/ses
kriteria Hasil : udah latihan
 klien meningkat dan lihat
dalam aktivitas respon
fisik pasien saat
 mengerti tujuan latihan
dari peningkatan  konsultasika
mobilitas n dengan
 memverbalisasik terapi fisik
an perasaan tentang
dalam rencana
meningkatkan ambulasi
kekuatan dan sesuai

25
kemampuan dengan
berpindah kebutuhan
 bantu klien
untuk
menggunaka
n tongkat
saat berjalan
dan cegah
terhadap
cedera
 ajarkan
pasien atau
tenaga
kesehatan
lain tentang
teknik
ambulasi
 kaji
kemampuan
pasien
dalam
mobilisasi

26
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Osteoporosis merupakan kondisi terjadinya penurunan densitas/
matriks/massa tulang, peningkatan prositas tulang, dan penurunan proses
mineralisasi deisertai dengan kerusakakn arsitektur mikro jaringan tulang
yang mengakibatkan penurunan kekokohan tulang sehingga tulang menjadi
mudah patah.
Beberapa faktor resiko Osteoporosis antara lain yaitu : usia, genetik,
defisiensi kalsium, aktivitas fisik kurang, obat-obatan (kortikosteroid, anti
konvulsan, heparin, siklosporin), merokok, alcohol serta sifat fisik tulang
(densitas atau massa tulang) dan lain sebagainya.
Osteoporosis sering mengakibatkan fraktur kompresi. Fraktur
kompresi ganda vertebra mengakibatkan deformitas skelet.

B. Saran
Mahasiswa harus lebih memahami tentang asuhan keperaawatan pada
gangguan system musculoskeletal “osteoporosis” sehingga mampu
menerapkannya di lahan praktik demi memberi pelayanan kesehatan yang
baik bagi klien.

27
DAFTAR PUSTAKA

Huda Amin Nurarif dan Hardhi Kusuma. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan
Berdasarkan Diagnosa Medis NANDA & NIC NOC. Jogjakarta :
Mediaction.
Heather T. Herdman & Shigemi Kamitsuru. 2015. Diagnosis Keperawatan :
Definis & Klasifikasi 2015-2017 Edisi 10 Terjemahan Indonesia. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC
M. Gloria Bulechek, dkk. 2016. Nursing Intervention Classification (NIC).
Singapore : El Sevier.
Moorhead Sue, dkk. 2016. Nursing Outcomes Classification (NOC). Singapore :
El Sevier.
Lukman, Ningsih Nurma. 2012. ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN
DENGAN GANGGUAN SISTEM MUSKULOSKELETAL. Jakarta : Salemba
Medika

28

Anda mungkin juga menyukai