Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Zaman sekarang masih kita temukan anak dengan gangguan mental,

sedangkan faktor penyebab gangguan mental sendiri masih belum banyak

diketahui oleh masyarakat. Penyakit gangguan mental pada anak salah satunya

adalah down syndrome. Faktor penyebab yang sering ditemukan antara lain

faktor genetik, infeksi, radasi, umur ayah dan ibu (Soetjiningsih, 2016).

Down syndrome bukan suatu penyakit, tetapi suatu kelainan genetik

yang dapat terjadi pada pria dan wanita. Kelainan ini merupakan kelainan

kromosom, kelainan kromosom yang sering ditemukan adalah kelebihan

kromosom 21 sehingga dinamakan trisomi 21 (Sudiono, 2009).

Menurut hasil Riset kesehatan dasar (2013), anak umur 24-50 bulan

yang mengalami kecacatan (tuna netra, tuna wicara, tuna daksa, tuna rungu,

bibir sumbing, dan down syndrome) di Provinsi Jawa Tengah mencapai 0,13

%.

Menurut Fadli (2010) ciri khas penderita down sydrom antara lain :

memiliki wajah yang khas dengan mata sipit yang membujur ke atas, jarak

kedua mata yang saling berjauhan dengan hidung yang rata dan kecil, mulut

1
2

kecil namun lidah besar sehingga penderita cenderung menjulurkan lidahnya

dan letak telinga rendah. Ciri khas lainnya telapak tangannya pendek dan

mempunyai garis tangan yang melintang lurus horizontal (tidak membentuk

huruf M).

Menurut penelitian tentang komunikasi instruksional guru dengan anak

down syndrome di sekolah inklusi yang dilakukan oleh Rizkie (2012) anak

dengan down syndrome berada satu kelas dengan anak normal dan ada

perbedaan dalam penyampaian materi oleh guru. Anak dengan down

syndrome sering tidak fokus sehingga guru menggunakan metode belajar dari

pengalaman nyata dan pendekatan psikologis agar mereka lebih mudah

belajar. Anak dengan down syndrome juga memiliki kelemahan dalam

berpikir sehingga guru mengajarkan secara berulang, berbeda dengan

mengajar anak normal yang hanya dengan sekali atau dua kali penjelasan bisa

mengerti. Hambatan lain dalam mengajar anak down syndrome adalah emosi

yang masih labil dari setiap anak. Terkadang mereka benar-benar tidak mau

belajar, sehingga guru harus mencari cara lain agar anak down syndrome mau

mulai belajar berbeda dengan anak normal yang sudah mengetahui kewajiban

mereka sebagai pelajar adalah belajar.

Kontrol emosi labil menurut NANDA (2015) merupakan ledakan

emosi tidak tekontrol yang tidak disadari dan berlebihan. Anak dengan down

syndrome memiliki kesulitan dalam hal belajar, aktivitas sehari-hari,

kepribadian dan juga kontrol emosi. Berdasarkan wawancara yang dilakukan

penulis kepada kepala sekolah luar biasa (SLB) C Yakut Purwokerto dari 41
3

anak dengan down syndrome, terdapat 11 anak yang orang tuanya mengeluh

tentang emosi anak yang belum stabil, sering menangis dan mengamuk.

Dampak dari terlambat atau tidak ditanganinya kontrol emosi labil pada anak

down syndrome dapat menyebabkan perilaku anak yang tidak terkontrol, anak

dengan down syndrome akan kesulitan menyesuaikan diri dengan lingkungan

sekitar, lebih sulit diatur dan bisa mencederai diri dan orang lain.

Berdasarkan permasalahan diatas, penulis tertarik mengangkat kasus

mengenai “Asuhan keperawatan pada anak down syndrome dengan fokus

studi kontrol emosi labil”.

B. Batasan Masalah

Masalah pada studi kasus ini dibatasi pada asuhan keperawatan pada

anak down syndrome dengan fokus studi kontrol emosi labil di SLB C Yakut

Purwokerto.

C. Rumusan Masalah
Bagaimanakah asuhan keperawatan pada anak down syndrome dengan

fokus studi kontrol emosi labil di SLB C Yakut Purwokerto?

D. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Menggambarkan asuhan keperawatan kontrol emosi labil pada anak

dengan down syndrome di SLB C Yakut Purwokerto.


4

2. Tujuan Khusus

a. Melakukan pengkajian keperawatan pada klien yang mengalami down

syndrome dengan kontrol emosi labil.

b. Menetapkan diagnosa keperawatan pada klien yang mengalami down

syndrome dengan kontrol emosi labil.

c. Menyusun perencanaan keperawatan pada klien yang mengalami down

syndrome dengan kontrol emosi labil.

d. Melaksanakan tidakan keperawatan pada klien yang mengalami down

syndrome dengan kontrol emosi labil.

e. Melakukan evaluasi dan membandingkan 2 kasus down syndrome pada

klien dengan kontrol emosi labil setelah dilakukan tindakan berupa

terapi bermain.

E. Manfaat Penulisan

1. Manfaat Teoritis

Hasil proposal laporan kasus ini diharapkan dapat memberikan

manfaat praktis dalam keperawatan yaitu sebagai panduan perawat dalam

pengelolaan keperawatan penanganan kontrol emosi labil pada anak down

syndrome, juga diharapkan mejadi informasi bagi tenaga kesehatan lain

terutama dalam pengelolaan kasus yang bersangkutan.


5

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Perawat

Sebagai kontribusi atau masukan pengembangan praktik

keperawatan untuk meningkatkan pelayanan atau tindakan asuhan

keperawatan kontrol emosi labil pada anak dengan down syndrome.

b. Bagi Institusi Pendidikan

Memberikan masukkan dan informasi bagi perkembangan ilmu

pengetahuan dalam penanganan kontrol emosi labil pada down

syndrome.

c. Bagi Masyarakat atau Keluarga

Menambah pengetahuan sehingga dapat merubah perlakuan

pada anak dengan down syndrome.

d. Bagi Penulis

Penulis dapat mengaplikasikan ilmu yang telah didapatkan di

bangku kuliah dan dapat menambah wawasan tentang keterampilan

tentang karya tulis ilmiah khususnya kontrol emosi pada anak down

syndrome.
6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Down Syndrom

1. Pengertian Down Syndrom

Down syndrome merupakan suatu kondisi keterbelakangan fisik

dan mental yang diakibatkan adanya abnormalitas perkembangan

kromosom yang gagal memisahkan diri saat terjadi pembelahan (Wiyani,

2014). Down syndrom adalah kelainan genetik yang disebabkan oleh

klelebihan materi genetik terutama kelebihan kromosom 21

(Soedjatmiko, 2012).

2. Etiologi Down Syndrom

Menurut Soetjiningsih (2016) down syndrome pada anak terjadi

karena kelainan kromosom. Kelainan kromosom kemungkinan disebabkan

oleh :

a. Faktor Genetik

Keluarga yang mempunyai anak dengan down syndrome

memiliki kemungkinan lebih besar keturunan berikutnya mengalami

down syndrome dibandingkan dengan keluarga yang tidak memiliki

anak dengan down syndrome.

b. Usia Ibu Hamil

Usia ibu hamil yang diatas 35 tahun kemungkinan melahirkan

anak dengan down syndrome semakin besar karena berhubungan

6
7

dengan perubahan endokrin terutama hormon seks antara lain

peningkatan sekresi androgen, peningkatan kadar LH (Luteinizing

Hormone) dan peningkatan kadar FSH (Follicular Stimulating

Hormone).

c. Radiasi

Ibu hamil yang terkena atau pernah terkena paparan radiasi

terutama diarea sekitar perut memiliki kemungkinan melahirkan anak

dengan down syndrome.

d. Autoimun

Autoimun tiroid pada ibu yang melahirkan anak down

syndrome berbeda dengan ibu yang melahirkan anak normal.

e. Umur Ayah

Kasus kelebihan kromosom 21 sekitar 20-30 % bersumber dari

ayahnya.

3. Patofisiologi Down Syndrom

Menurut Soetjiningsih (2016) down syndrome disebabkan oleh

kelainan pada perkembangan kromosom. Kromosom merupakan serat

khusus yang terdapat pada setiap sel tubuh manusia dan mengandung

bahan genetik yang menentukan sifat seseorang. Pada bayi normal terdapat

46 kromosom (23 pasang) di mana kromosom nomor 21 berjumlah 2 buah

(sepasang). Bayi dengan down syndrome memiliki 47 kromosom karena

kromosom 21 berjumlah 3 buah. Akibat dari ekstrakromosom muncul

fenotip dengan kode (21q22.3) yang bertanggung jawab atas gambaran


8

wajah khas, kelainan pada tangan dan retardasi mental. Anak dengan down

syndrome lahir semua perbedaan sudah terlihat dan karena memiliki sel

otak yang lebih sedikit maka anak dengan down syndrome lebih lambat

dalam perkembangan kognitifnya.

4. Pathway

Kelainan perkembangan kromosom

Terdapat ekstrakromosom 21

Melambatnya pembelahan sel

Sel otak tidak berkembang secara sempurna

Perkembangan kognitif terhambat

Kesulitan mengontrol emosi

5. Manifestasi Klinis

Menurut Fadli (2010) anak dengan down syndrome memiliki ciri

khas seperti memiliki wajah yang khas dengan mata sipit yang membujur

ke atas, jarak kedua mata yang berjauhan, jembatan hidung yang rata

dengan ukuran hidung kecil, mulut kecil dengan lidah yang besar sehingga

cenderung dijulurkan dan letak telinga rendah. Telapak tangan pendek dan
9

biasanya garis tangan melintang lurus horizontal (tidak membentuk huruf

M) dan bercak brushfield pada mata (bintik mata pada iris dan bulu mata

tipis)

6. Penatalaksanaan

Menurut Soedjatmiko (2012) penatalaksanaan anak dengan down

syndrome dilakukan mulai dari sebelum dan sesudah lahir. Periode

sebelum lahir dilakukan skrinning yang meliputi pemeriksaan percutaneus

blood sampling, periode sesudah lahir dilakukan analisis kromosom.

Penanganan anak down syndrome selanjutnya melalui pemeriksaan

kesehatan yang meliputi imunisasi, pemeriksaan kesehatan secara rutin,

melakukan kerja sama dengan ahli gizi untuk menentukan diit, dan

melakukan pembedahan sebagai upaya mengoreksi anomali congenital

dan kemungkinan cacat fisik.

Penanganan anak down syndrome juga melalui pendidikan yang

dapat merangsang tumbuh kembang dan kematangan emosi anak.

Pendidikan anak down syndrome meliputi program pendidikan khusus dan

program intervensi dini. Penyuluhan pada keluarga tentang anak down

syndrome juga perlu dilakukan. Penyuluhan pada keluarga bertujuan agar

keluarga mampu beradaptasi dengan kehadiran anak down syndrome dan

mendukung keberhasilan perkembangan kognitif anak.


10

Penatalaksanaan Down syndrome dilakukan dengan pemberian

medikamentosa dan pembedahan untuk penyakit komorbid, serta terapi

suportif. Tata laksana ini bertujuan untuk mencegah mortalitas serta

meningkatkan kualitas hidup pasien. Pemeriksaan dan skrining berkala

untuk deteksi dini kelainan seperti gangguan saluran pernapasan dan

gangguan pendengaran juga perlu dilakukan sebagai bagian dari

penatalaksanaan Down syndrome.

Medikamentosa

Terapi medikamentosa spesifik diberikan untuk menangani penyakit

komorbid yang ditemukan pada pasien Down syndrome, misalnya

pemberian hormon tiroid pada pasien Down syndrome dengan

hipotiroidisme. Pengawasan terhadap respons terapi obat dan efek samping

obat harus dilakukan karena terdapat perbedaan farmakoterapi pada pasien

Down syndrome dengan orang normal. Contohnya adalah pengawasan

terhadap risiko toksisitas yang lebih besar pada pasien Down syndrome

yang mendapat methotrexate untuk pengobatan leukemia.


11

B. Konsep Tumbuh Kembang Anak

1. Definisi

Tumbuh kembang merupakan manifestasi dari perubahan yang

terjadi sejak konsepsi sampai dewasa. Pertumbuhan (growth) adalah

perubahan yang bersifat kuantitatif. Anak tidak hanya bertambah besar

secara fisik namun juga ukuran organ dan otak. Pertumbuhan otak anak

berpengaruh pada kapasitas lebih besar untuk belajar, mengingat, dan

menggunakan akalnya sehingga anak tumbuh baik secara fisik maupun

mental. Pertumbuhan fisik dapat dinilai dengan ukuran berat (gram,

pound, kilogram), ukuran panjang (cm, meter). Perkembangan

(development) adalah bertambahnya kemampuan struktur dan fungsi tubuh

sebagai hasil dari proses pematangan. Perkembangan menyangkut proses

jaringan tubuh, organ dan sistem organ yang berkembang dan memenuhi

fungsinya termasuk perkembangan kognitif, bahasa, motorik dan emosi.

Perkembangan merupakan perubahan yang bersifat terarah dan progresif.

(Soetjiningsih, 2016).

2. Perkembangan Anak Down Syndrome

Tingkat kesehatan jasmani anak memiliki mental age (MA) 2

sampai 12 tahun dalam kategori “kurang sekali” sedangkan tingkat

kesehatan jasmani anak normal pada umur yang sama berada dalam

kategori “kurang”, dengan demikian tingkat kesegaran jasmani anak down

syndrome berada setingkat lebih rendah daripada anak normal pada umur

yang sama.
12

Tabel 2.1 Perkembangan anak normal dan down syndrome

Down Syndrome Normal


Usia rata- Kisaran usia Usia rata- Kisaran usia
rata rata

1. Monitori umum
a. Duduk sendiri 11 bulan 6-30 bulan 6 bulan 5-9 bulan
b. Merangkak 15 bulan 8-22 bulan 9 bulan 6-12 bulan
c. Berdiri 20 bulan 1-3 ,5 tahun 11 bulan 8-19 bulan
d. Berjalan sendiri 26 bulan 1-4 tahun 14 bulan 9-18 bulan
2. Bahasa
a. Kata pertama 23 bulan 1-4 tahun 12 bulan 8-23 bulan
b. Ungkapan 3 tahun 2-7,5 tahun 2 tahun 15-23 bulan
kalimat
3. Pribadi/sosial
a. Senyum responsif 3 bulan 1,5-5 bulan 1,5 bulan 1-3 bulan
b. Makan dari jari 18 bulan 10-24 bulan 10 bulan 7-14 bulan
c. Minum dari 23 bulan 12-32 bulan 13 bulan 9-17 bulan
cangkir (tanpa
dibantu)
d. Menggunakan 29 bulan 13-39 bulan 14 bulan 12-20 bulan
sendok
e. Mengontrol 3-4 tahun 2-7 tahun 22 bulan 16-42 bulan
buang air besar
f. Berpakaian 7-8 tahun 3,5-8,5 tahun 4 tahun 3,5-5 tahun
sendiri (tanpa
mengancing)

Anak dengan down syndrome selalu berkembang namun dalam

kecepatan yang lebih lambat daipada anak normal. Pada anak normal

maupun anak dengan down syndrome tujuan akhir dari perkembangan

adalah pencapaian kemandirian dalam melakukan aktivitas dan dalam

perkembangan mengontrol emosi. Menurut Mangunsong dalam Mariana

(2013) perkembangan kognitif anak down syndrome kesulitan dalam

mengingat suatu informasi, kesulitan memusatkan perhatian dan sulit

mengekspresikan emosi mereka dengan tepat. Anak down syndrome


13

memerlukan waktu lebih lama untuk beradaptasi dengan lingkungan

sekitar dan dirinya sendiri sehingga perlu bimbingan dan pengawasan.

C. Konsep Kontrol Emosi Labil pada Anak Down Syndrom

Menurut NANDA (2015) kontrol emosi labil merupakan ledakan emosi

tidak terkontrol yang tidak disadari dan berlebihan. Anak dengan down

syndrome memiliki kesulitan dalam hal belajar, aktivitas sehari-hari,

kepribadian dan juga kontrol emosi. Kontrol emosi labil memiliki batasan

karakteristik diantaranya meliputi ekspresi emosi tidak sesuai dengan faktor

pencetus, menangis tidak terkontrol, menarik diri dari situasi sosial, tidak ada

kontak mata dan kesulitan penggunaan ekspresi wajah (NANDA, 2015).

Faktor yang berhubungan dengan kontrol emosi labil salah satunya adalah

gangguan emosi stressor dan gangguan otak.

Jadi penulis menyimpulkan bahwa kontrol emosi labil merupakan

kemampuan seseorang dalam mengendalikan emosi yang tidak terkontrol

yang dapat berkaitan dengan keterlambatan perkembangan dan banyaknya

stressor.

D. Pengelolaan Kontrol Emosi Labil pada Anak dengan Down syndrome

Kontrol emosi labil pada anak down syndrome dapat diatasi dengan

tindakan antara lain : melakukan pendekatan dan membangun rasa percaya

pada anak, membantu anak dan keluarga dalam mengidentifikasi penyebab

marah, memberikan contoh cara mengatasi marah seperti menghitung satu

sampai sepuluh sambil menarik napas perlahan atau mengarahkan kegiatan


14

lain supaya emosinya berkurang, memberikan rasa percaya diri pada anak

dengan memotivasi bahwa anak bisa mengontrol emosinya, membantu

keluarga memahami perasaan anak dengan mendengarkan perassan anak.

Anak dengan down syndrome terkadang sulit menyesuaikan diri dengan

lingkungan karena rendahnya tingkat kognitif. Keterlambatan penyesuaian diri

anak down syndrome usia sekolah dapat diatasi sesuai aspek

perkembangannya, karena itu keluarga juga perlu terlibat dalam mengatasi

keadaan anak agar kemampuan kognitif dan pengaturan emosi anak berjalan

maksimal

E. Konsep Asuhan Keperawatan Kontrol Emosi Labil pada Anak dengan

Down Syndrom

1. Pengkajian

Menurut Kyle (2015), pengkajian pada anak dengan down

syndrome yang mengalami kontrol emosi labil adalah sebagai berikut :

a. Mengkaji identitas dan keadaan umum anak

Pengkajian terdiri dari pemeriksaan umum seperti identitas

anak, identitas penanggung jawab khususnya orangtua atau pengasuh,

pemeriksaan status kesadaran dan status gizi.

b. Keluhan utama

Pengkajian ini dilakukan dengan wawancara pada orang tua

tentang apa yang dikeluhkan saat ini yang terjadi pada anaknya.
15

c. Riwayat kesehatan dahulu

Riwayat kesehatan dahulu didapatkan dari riwayat prenatal

(masalah saat kehamilan), riwayat perinatal (masalah saat persalinan),

postnatal (masalah pasca persalinan), riwayat penyakit yang pernah

diderita anak, alergi anak, dan riwayat imunisasi.

d. Riwayat kesehatan keluarga

Riwayat kesehatan keluarga dilakukan dengan menanyakan

riwayat kesehatan pada tiga generasi (penyakit menular dan

keturunan).

e. Riwayat perkembangan

Riwayat perkembangan pada anak meliputi perkembangan fisik,

perkembangan emosional atau perilaku, perkembangan keterampilan

kognitif, perkembangan bahasa, perkembangan motorik kasar dan

halus.

f. Riwayat fungsional

Riwayat fungsional didapatkan dari wawancara pada orangtua

yang berisi tentang rutinitas harian anak.

g. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik pada anak meliputi pengukuran berat badan

dan tinggi badan, melakukan inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi

untuk mendapatkan manifestasi kinis sindrom down serta kelainan lain

yang menambah masalah kesehatan anak.


16

2. Diagnosa Keperawatan

Berdasarkan NANDA (2015), perumusan masalah pada asuhan

keperawatan yang akan dilakukan adalah kontrol emosi labil berhubungan

dengan gangguan emosi atau mood pada anak down syndrome

3. Rencana Keperawatan

Rencana keperawatan kontrol emosi berhubungan dengan

gangguan emosi anak down syndrome berdasarkan kriteria hasil Nursing

Outcomes Classification (NOC) dan intervensi Nursing Intervention

Classification (NIC).

Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses

keperawatan diharapkan anak dapat mengontrol emosinya dengan lebih

baik.

NOC : a. Keseimbangan alam perasaan

Kriteria hasil dari diagnosa kontrol emosi labil dapat dilihat dalam tabel

2.2 di bawah ini.

Tabel 2.2

Kriteria hasil dan skala dalam perencanaan kontrol emosi labil pada anak
down syndrome.

Skala
Indikator
Awal Tujuan
Menunjukkan afek yang sesuai dengan - 5
situasi.
Menunjukkan alam perasaan yang stabil. - 5
Menunjukkan konsentrasi.
Mempertahankan perawatan dan kebersihan - 5
diri.
Menunjukkan minat terhadap sekeliling. - 5
Menunjukkan tingkat energi yang stabil. - 5
Menyelesaikan tugas sehari-hari. - 5
17

Keterangan skala :

1. Tidak pernah menunjukkan

2. Jarang menunjukkan

3. Kadang menunjukkan

4. Sering menunjukkan

5. Secara konsisten menunjukkan

NIC : a. Bantuan kontrol marah

Intervensi :

a. Bangun rasa percaya dan hubungan yang dekat dengan anak.

b. Batasi akses terhadap situasi yang membuat frustasi sampai pasien

dapat mengekspresikan (kemarahan) dengan cara yang adaptif.

c. Cegah anak menyakiti diri sendiri atau orang lain jika marah.

d. Dorong penurunan aktivitas yang sangat kuat (mis. memukul tas,

mondar-mandir).

e. Berikan metode penanganan emosi (misalnya arahkan terapi bermain).

f. Bantu anak dan keluarga dalam mengidentifikasi penyebab marah

anak.

g. Berikan reinforcement positif pada anak saat anak berhasil mengontrol

emosinya.

h. Bantu pasien terkait dengan strategi perencanaan untuk mencegah

ekspresi kemarahan yang tidak tepat.

i. Instruksikan penggunaan cara untuk membuat pasien lebih tenang

(misalnya waktu jeda dan nafas dalam).


18

j. Libatkan keluarga yang memberikan perawatan dalam merencanakan

dan meningkatkan program latihan.

k. Ciptakan lingkungan yang aman.

l. Diskusikan dengan psien atau keluarga mengenai pengalaman

emosinya.

m. Eksplorasi apa yang memicu emosi pasien.

n. Bantu pasien untuk mengekspresikan perasaan cemas, marah dan

sedih.

4. Implementasi

Implementasi merupakan pelaksanaan dari rencana intervensi untuk

mencapai tujuan spesifik. Penulis melakukan implementasi berdasarkan

semua tindakan yang sudah direncanakan pada intervensi. Rencana

tindakan keperawatan pada kontrol emosi labil pada anak down syndrome

diantaranya membantu anak untuk mengalihkan emosinya ke arah lebih

baik, membantu anak untuk meningkatkan penilaian terhadap personalnya,

memantau pernyataan anak tentang emosinya, menjadi penghubung antara

anak dan keluarga, mendorong anak untuk mengevaluasi perilakunya

sendiri, mendorong anak untuk mengungkapkan secara verbal konsekuensi

dari ketidakmampuan anak dalam mengontrol emosi, dan melakukan

perbaikan koping terhadap resiko mencederai diri.

Perlu kita ingat bahwa anak dengan down syndrome adalah anak

berkebutuhan khusus, sehingga perlu penanganan khusus. Kita tidak bisa

memaksakan anak untuk melakukan sesuatu sesuai kehendak kita,


19

sehingga dalam melakukan implementasi perlu adanya metode komunikasi

yang menarik agar anak dengan down syndrome tertarik dan bersedia

melakukan perawatan.

5. Evaluasi
Evaluasi yang diharapkan berdasarkan intervensi keperawatan pada
diagnose kontrol emosi labil pada anak dengan down syndrome tertera
pada tabel 2.3 di bawah ini.
Tabel 2.3

Kriteria hasil dan skala dalam evaluasi kontrol emosi labil pada anak

down syndrome.

Skala
Indikator
Awal Tujuan Akhir
Menunjukkan afek yang sesuai - 5 -
dengan situasi.
Menunjukkan alam perasaan yang - 5 -
stabil.
Menunjukkan konsentrasi. - 5 -
Mempertahankan perawatan dan - 5 -
kebersihan diri.
Menunjukkan minat terhadap - 5 -
sekeliling.
Menunjukkan tingkat energi yang - 5 -
stabil.
Menyelesaikan tugas sehari-hari. - 5 -

Keterangan skala :

1. Tidak pernah menunjukkan.

2. Jarang menunjukkan.

3. Kadang menunjukkan.

4. Sering menunjukkan.

5. Secara konsisten menunjukkan.


19

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Desain yang akan digunakan dalam penyusunan proposal laporan kasus

ini adalah metode deskriptif dimana metode deskriptif adalah metode yang

menggambarkan masalah penting dalam kasus yang dipilih disertai dengan

analisa sederhana Arwani (2016).

B. Batasan Istilah

Menurut Wiyani (2014) down syndrome merupakan suatu kondisi

keterbelakangan fisik dan mental yang diakibatkan adanya abnormalitas

perkembangan kromosom yang gagal memisahkan diri saat terjadi

pembelahan. Menurut NANDA (2015) Kontrol emosi labil merupakan

ledakan emosi tidak tekontrol yang tidak disadari dan berlebihan. Anak

dengan down syndrome memiliki kesulitan dalam hal belajar, aktivitas sehari-

hari, kepribadian dan juga kontrol emosi.

C. Partisipan

Dalam penelitian ini, peneliti melakukan asuhan keperawatan pada

anak down yndrome dengan fokus studi kontrol emosi labil di SLB C Yakut

Purwokerto dengan fokus keperawatan terhadap dua klien (dua kasus) dengan

masalah keperawatan dan diagnosis medis yang sama.

19
20

D. Lokasi dan Waktu Penelitian

1. Tempat Penelitian

Studi kasus asuhan keperawatan pada pasien down syndrome dengan

kontrol emosi labil dilakukan di SLB C Yakut Purwokerto.

2. Waktu Penelitian

Penulis akan melaksanakan studi kasus pada pasien down syndrom

dengan focus study labil dari bulan September pada saat penyusunan

proposal sampai dengan bulan Maret pada saat menyelesaikan

pengambilan kasus

E. Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan pada studi kasus ini adalah:

1. Wawancara (hasil anamnesis berisi identitas, keluhan utama, riwayat

penyakit sekarang-dahulu-keluarga). Sumber informasi didapat secara

langsung dari responden (Hidayat, 2011).

2. Observasi : melakukan observasi secara langsung kepada responden untuk

mencari hal yang akan diteliti (Hidayat, 2011).

3. Dokumentasi : pengumpulan data yang diperoleh dari dokumen pribadi,

arsip, jurnal, buku, internet dan foto yang masih berhubungan dengan

peneliti.

F. Uji Keabsahan Data

Data yang diperoleh dapat dilakukan dengan menambah waktu

kunjungan dan melakukan wawancara dengan pasien, anggota keluarga

pasien, atau tenaga pengajar di SLB yang berkaitan dengan masalah pasien.
21

G. Analisa Data

Proses analisa data dimulai dari tinjauan pustaka mengenai down

syndrome dan kontrol emosi labil pada anak down syndrome. Dilanjutkan

dengan menelaah seluruh data yang diperoleh dari hasil wawancara dan

observasi pada orang tua anak down syndrome dan anak yang mengalami

down syndrome. Analisa data dibuat dengan menggunakan kata-kata

sederhana sebagai jawaban terhadap masalah.

H. Etik Penelitian

Etika penelitian yang mendasari penyusunan studi kasus ini menurut

Hidayat (2011) yang terdiri dari :

1. Informed consent (persetujuan menjadi klien)

Peneliti memberikan lembar persetujuan penelitian kepada

responden yang berisi informasi mengenai tujuan asuhan keperawatan

yang akan dilakukan dan informasi terkait dengan hak dan kewajiban

responden. Peneliti memberikan kesempatan kepada responden (orangtua)

untuk mengambil keputusan apakah bersedia atau menolak.

2. Anonimity (tanpa nama)

Peneliti menjamin akan menjaga kerahasiaan responden dan cara

mencantumkan nama pasien pada laporan kasus.

3. Confidentiality (kerahasiaan)

Peneliti menjamin kerahasiaan dari laporan kasus, baik itu

informasi maupun masalah lainnya seperti data terkait informasi

responden. Data yang ditampilkan bersifat umum.


22

Anda mungkin juga menyukai