Anda di halaman 1dari 26

Case Report Session

BRONKIOLITIS

Oleh:
Aulia Rahmi
1740312106

Preseptor:
dr. Finny Fitry Yani, Sp.A (K)

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK

RSUP DR. M. DJAMIL PADANG

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS ANDALAS

2018
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Bronkiolitis akut adalah penyakit saluran pernapasan yang lazim terjadi

pada bayi akibat obstruksi saluran pernapasan kecil. Penyakit ini biasanya terjadi

pada 2 tahun pertama kehidupan dengan insiden puncak yaitu sekitar usia 6

bulan.1

Berdasarkan jenis kelamin, bronkiolitis lebih sering terjadi pada bayi laki-

laki berusia 3 sampai 6 bulan yang tidak mendapatkan ASI, dan hidup di

lingkungan padat penduduk.2 Insidens dari bronkiolitis meningkat seiring

bertambahnya tahun di seluruh dunia. Penyakit ini akan menjadi lebih berat pada

bayi-bayi muda.3 Angka morbiditas dan mortalitas lebih tinggi pada negara-negara

berkembang dibandingkan dengan negara maju. Hal ini mungkin disebabkan oleh

rendahnya status gizi dan ekonomi, kurangnya tinjauan medis, serta kepadatan

penduduk di negara berkembang.

Bronkiolitis akut terutama disebabkan oleh virus yaitu virus sinsisium

respiratorik (VSR). VSR merupakan agen penyebab bronkiolitis lebih dari 50%

kasus.1 Keadaan yang paling sering menyerupai bronkiolitis akut adalah asma

sehingga bronkiolitis harus dapat dibedakan dengan asma terutama pada anak usia

di bawah 2 tahun karena penatalaksanaan yang akan diberikan juga berbeda,

sehingga dalam penegakan diagnosis dibutuhkan anamnesis dan pemeriksaan fisik

yang cermat, serta memperhatikan epidemiologi dan rentang usia terjadinya

kasus.1,4

Tatalaksana bronkiolitis meliputi tatalaksana suportif karena sebagian

besar penyebab penyakit ini adalah infeksi virus yaitu virus sinsisium respiratorik

1
(VSR) yang biasanya bersifat self limiting disease.5 Oleh karena itu, penting untuk

diketahui bagaimana gejala dan manajemen terkait dengan penyakit bronkiolitis.

1.2 Batasan Penulisan

Penulisan case report ini dibatasi mengenai bronkiolitis pada anak.

1.3 Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan case report ini adalah menambah pengetahuan mengenai

bronkiolitis pada anak.

1.4 Metode Penulisan

Metode penulisan case report ini adalah berdasarkan laporan kasus dan

tinjauan kepustakaan dari berbagai literatur.

2
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Bronkiolitis akut adalah penyakit saluran pernapasan yang lazim terjadi

pada bayi akibat obstruksi saluran pernapasan kecil. Penyakit ini biasanya terjadi

pada 2 tahun pertama kehidupan dengan insiden puncak yaitu sekitar usia 6

bulan.1

Episode pertama serangan, yang biasanya paling berat, terjadi paling sering

pada bayi usia 2 sampai 6 bulan. Kejadian bronkiolitis dapat terjadi pada bulan

pertama kehidupan dan episode berulang akan terjadi di tahun kedua kehidupan

oleh virus yang sama. 5

2.2 Epidemiologi

Bronkiolitis merupakan penyakit infeksi pernapasan tersering pada bayi.

Kejadian tersering terjadi pada usia 2 sampai 24 bulan, dengan puncak 2 sampai 8

bulan. 95% kasus di antaranya terjadi pada anak berusia di bawah 2 tahun, dengan

75% di antaranya terjadi pada usia di bawah 1 tahun. Berdasarkan jenis kelamin,

bronkiolitis lebih sering terjadi pada bayi laki-laki berusia 3 sampai 6 bulan yang

tidak mendapatkan ASI, dan hidup di lingkungan padat penduduk. Bronkiolitis

yang terjadi pada anak laki-laki sekitar 1,25 sampai 1,6 kali lebih banyak

dibandingkan anak perempuan. Ditemukan juga bahwa 63% kasus bronkiolitis

terjadi pada anak laki-laki.2

Insidens dari bronkiolitis meningkat seiring bertambahnya tahun di seluruh

dunia. Lama perawatan yang dibutuhkan berkisar 2 sampai 4 tahun, kecuali pada

bayi prematur dan yang memiliki penyakit jantung bawaan. Penyakit ini akan

3
menjadi lebih berat pada bayi-bayi muda. Hal ini ditunjukkan dengan lebih

rendahnya saturasi O2 pada bayi yang terpapar asap rokok paskanatal. Terdapat

beberapa prediktor lain untuk menentukan beratnya bronkiolitis atau yang akan

menimbulkan komplikasi, yaitu masa gestasi <34 minggu, usia <3 bulan, sianosis,

saturasi oksigen <90%, laju pernapasan >70 kali per menit, adanya rhonki, dan

riwayat displasia bronkopulmoner.3

Angka morbiditas dan mortalitas lebih tinggi pada negara-negara

berkembang dibandingkan dengan negara maju. Hal ini mungkin disebabkan oleh

rendahnya status gizi dan ekonomi, kurangnya tinjauan medis, serta kepadatan

penduduk di negara berkembang. Angka mortalitas di negara berkembang pada

anak-anak yang dirawat adalah 1-3%.3

2.3 Etiologi

Bronkiolitis akut terutama disebabkan oleh virus yaitu virus sinsisium

respiratorik (VSR). VSR merupakan agen penyebab bronkiolitis lebih dari 50%

kasus, sedangkan penyebab lain diantaranya adalah virus parainfluenza,

mikoplasma, beberapa adenovirus, dan virus-virus lain sebagai penyebab kasus

sisanya. Tidak ada bukti kuat bahwa bakteri sebagai penyebab dari bronkiolitis.1

Sekitar 75.000 – 125.000 anak di bawah 1 tahun dirawat di Amerika Serikat

akibat infeksi RSV setiap tahun. Infeksi saluran napas bawah disebabkan oleh

RSV pada 22 dari 100 anak terjadi pada tahun pertama kehidupan. Dari semua

infeksi RSV pada anak di bawah 12 bulan, sepertiga kasus diikuti penyakit

saluran napas bawah. Meskipun tingkat serangan RSV menurun seiring dengan

bertambahnya usia, frekuensi infeksi saluran napas bawah pada anak terinfeksi

RSV tidak berkurang hingga usia 4 tahun. 5

4
Tabel 1.1 Agen penyebab infeksi virus di saluran napas pada anak5

2.4 Patogenesis

Infeksi virus pada epitel bersilia bronkiolus akan memicu respon inflamasi

akut, yang ditandai dengan obstruksi bronkiolus akibat edema, sekresi mukus,

timbunan debris selular/sel-sel mati yang terkelupas, kemudian diikuti dengan

infiltrasi limfoit peribronkial dan edema submukosa. Karena tahanan aliran udara

berbanding terbalik dengan diameter penampang saluran respiratori, maka sedikit

saja penebalan mukosa akan memberikan hambatan aliran udara yang besar,

terutama pada bayi yang memiliki penampang saluran respiratori kecil. Resistensi

pada bronkiolus meningkat selama fase inspirasi dan ekspirasi, tetapi karena

radius saluran respiratori lebih kecil selama ekspirasi, maka terjadi air trapping

dan hiperinflasi. Atelektasis dapat terjadi pada saat terjadi obstruksi total dan

udara yang terjebak diabsorbsi.2,3

Proses patologis ini akan mengganggu pertukaran gas normal di paru.

Penurunan kerja ventilasi paru akan menyebabkan ketidakseimbangan ventilasi-

perfusi (ventilation-perfusion mismatching), yang berikutnya akan menyebabkan

terjadinya hipoksemia dan kemudian terjadi hipoksia jaringan. Retensi

karbondioksida (hiperkapnea) tidak selalu terjadi, kecuali pada beberapa pasien.

Semakin tinggi laju respiratori, maka semakin rendah tekanan oksigen arteri.

5
Hiperkapnea baru terjadi jika respirasi mencapai 60 kali per menit. Pemulihan sel

epitel paru tampak setelah 3-4 hari, tetapi silia akan diganti setelah dua minggu.

Jaringan mati (debris) akan dibersihkan oleh makrofag.2,3,6

2.5 Diagnosis

Sebagian besar bayi yang menderita bronkiolitis mempunyai riwayat

terpajan dengan anak yang lebih tua atau orang dewasa yang menderita penyakit

pernapasan ringan pada minggu sebelum mulainya penyakit. Mula-mula bayi

menderita infeksi saluran pernapasan atas yang ringan bisa disertai dengan ingus

yang serous dan bersin. Gejala ini biasanya berakhir dalam beberapa hari dan

dapat disertai dengan penurunan nafsu makan dan demam 38,5o-39oC.

Perkembangan kegawatan pernapasan secara bertahap ditandai dengan batuk

mengi paroksismal, dispnea, dan iritabilitas. Anak sulit menyusu dengan ibu

maupun dengan botol karena frekuensi pernapasan yang cepat sehingga tidak

memberikan kesempatan untuk menghisap atau menelan. Pada kasus ringan,

gejala menghilang 1-3 hari. Pada penyakit yang lebih berat, gejala-gejala dapat

berkembang dalam beberapa jam dan perjalanan penyakit berlarut-larut.

Manifestasi sistemik lainnya, seperti muntah dan diare tidak ada.1

Bayi yang takipnea memiliki pernapasan berkisar antara 60-80x/menit,

dapat terjadi sianosis, napas cuping hidung dan penggunaan otot-otot asesoris

pernapasan sehingga menimbulkan retraksi interkostal dan subkostal yang

dangkal karena paru-paru terus-menerus terdistensi oleh udara yang terperangkap.

Depresi hati dan limpa akibat overinflasi paru dapat mengakibatkan teraba di

bawah tepi kosta. Fase ekspirasi memanjang dan dapat terdengar bunyi mengi.

Pada sebagian kasus berat suara pernapasan hampir tidak dapat di dengar bila

6
obstruksi bronkiolus hampir total.1

Penegakkan diagnosis bronkiolitis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan

fisik, dan laboratorium. Dari ketiga komponen ini, perlu dipikirkan juga

kemungkinan diagnosis banding yang lain, seperti asma, bronkitis, gagal jantung

kongestif, dan edema paru yang memiliki gambaran klinis dan pemeriksaan

penunjang yang menyerupai bronkiolitis pada anak. Penting untuk memperhatikan

epidemiologi, rentang usia terjadinya kasus, dan musim-musim tertentu dalam

satu tahun.2,6,7

2. 5.1 Anamnesis

Pada anak usia di bawah 2 tahun, dari anamnesis didapatkan adanya gejala

infeksi saluran napas atas ringan akibat virus, seperti pilek ringan disertai rinorea,

batuk, dan demam. Demam biasanya tidak ada, namun jika ada, biasanya berkisar

antara 38,5oC sampai 39oC atau subfebris. Satu hingga dua hari kemudian timbul

batuk yang disertai dengan sesak napas yang makin hebat, yaitu bernapas dangkal

dan cepat. Kemudian dapat ditemukan wheezing, sianosis, merintih (grunting),

napas berbunyi, muntah setelah batuk, rewel, dan sulit makan karena terganggu

oleh takipnea yang dialami oleh pasien.2,6,7

2. 5.2 Pemeriksaan fisik

Dari pemeriksaan fisik didapatkan adanya dispnea dengan expiratory effort,

takipnea, takikardia, dan peningkatan suhu di atas 38,5oC. Usaha-usaha

pernapasan yang dilakukan anak untuk mengatasi obstruksi akan menimbulkan

napas cuping hidung dan retraksi interkostal. Menangis dan makan dapat

memperberat tanda ini. Dapat ditemukan juga konjungtivitis ringan dan faringitis.

7
Adanya obstruksi pada saluran napas bawah akibat respon inflamasi akut akan

menimbulkan gejala ekpirasi memanjang hingga wheezing.2,6,7

Wheezing lebih dominan, namun tidak terdengarnya wheezing bukan berarti

tidak ada obstruksi. Wheezing dan crackles dapat atau tidak dapat muncul,

bergantung pada derajat obstruksi saluran napas. Pada bayi dengan obstruksi

saluran napas berat, wheezing berkurang seiring dengan berkurangnya aliran

udara. Biasanya fase kritis dari penyakit ini terjadi pada 48 sampai 72 jam. Jika

obstruksi hebat, suara napas nyaris tidak terdengar. Selain itu, dapat juga

ditemukan rhonki pada auskultasi paru, yaitu rhonki basah halus nyaring pada

akhir atau awal ekspirasi. Sianosis sekitar hidung dan mulut dapat terjadi, dan

apabila gejala memberat, dapat terjadi apnea, terutama pada bayi berusia <6

minggu.2,6,7

2. 5.3 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan darah tidak khas karena jumlah leukosit biasanya normal,

demikian pula pada elektrolit. Analisis gas darah diperlukan untuk anak dengan

sakit berat, khususnya yang menggunakan ventilator mekanik. Pada analisis gas

darah dapat memberikan gambaran adanya hiperkarbia sebagai tanda air trapping,

asidosis metabolik atau respiratorik.2,7

Pada foto rontgen diperoleh gambaran hiperinflasi paru (emfisema) dengan

diameter anteroposterior yang membesar, dan infiltrat/bercak konsolidasi yang

tersebar (patchy infiltrate). Namun, gambaran ini tidak spesifik dan dapat

ditemukan pada asma, pneumonia viral atau atipikal, dan aspirasi. Gambaran lain

yang dapat ditemukan adalah gambaran normal, atelektasis, dan kolaps

segmental.1,2,7,9

8
Untuk menemukan RSV dilakukan kultur virus, rapid antigen detection

tests (direct immunofluoresence assay dan enzyme-linked immunosorbent assays,

ELISA) atau Polymerase Chain Reaction (PCR), dan pengukuran titer antibodi

pada fase akut dan konvalesens.2,3

2.6 Diagnosis Banding

Keadaan yang paling sering menyerupai bronkiolitis akut adalah asma. Satu

atau lebih dari hal berikut yang mendukung diagnosis asma adalah riwayat

keluarga asma, episode berulang pada bayi yang sama, mulainya mendadak tanpa

infeksi yang mendahului, ekspirasi sangat memanjang, eosinofilia dan respon

perbaikan segera pada pemberian satu dosis albuterol aerosol.1

Bronkiolitis harus dibedakan dengan asma pada anak usia di bawah 2 tahun.

Kecurigaan bronkiolitis apabila kejadian sesak merupakan pertama kali sedangkan

pada asma selain tanpa disertai demam kejadian seperti ini merupakan kejadian

yang berulang.4

Penyakit lain yang merancukan dengan bronkiolitis akut adalah gagal

jantung kongestif, benda asing di dalam trakea, pertusis, keracunan organofosfat,

dan bronkopneumonia bakteri.1

2.7 Penatalaksanaan

Tatalaksana bronkiolitis masih kontroversial. Sebagian besar tatalaksana

bronkiolitis bersifat suportif, yaitu pemberian oksigen, minimal handling pada

bayi, cairan intravena, kecukupan cairan, penyesuaian suhu lingkungan agar

konsumsi oksigen minimal, dan nutrisi. Setelah itu, baru digunakan bronkodilator,

anti-inflamasi seperti kortikosteroid, antiviral seperti ribavirin, dan pencegahan

9
dengan vaksin RSV, RSV immunoglobuline (polyclonal), atau humanized RSV

monoclonal antibody (Palivizumab).2,7,8,9

Berikut tatalaksana yang dapat diberikan pada pasien bronkiolitis:

1. Oksigen 1-2 liter per menit dengan nasal kanul.

2. Pemberian cairan sangat penting untuk koreksi asidosis metabolik dan

respiratorik yang mungkin timbul dan mencegah dehidrasi akibat keluarnya

cairan melalui mekanisme penguapan tubuh (evaporasi) karena pola

pernapasan cepat dan kesulitan minum. Jika tidak terjadi dehidrasi, dapat

diberikan cairan rumatan, bisa melalui intravena maupun nasogastrik.

Pemberian cairan melalui lambung dapat menyebabkan aspirasi, dapat

memperberat sesak, akibat tekanan diafragma ke paru oleh lambung yang terisi

cairan. Pemberian cairan melalui jalur nasogastrik atau intravena perlu pada

anak bronkiolitis yang tidak dapat dihidrasi oral.

3. Antibiotik

Anti-bakterial tidak perlu karena sebagian besar kasus disebabkan oleh

virus, kecuali jika dicurigai ada infeksi tambahan. Pemberian antibiotik dapat

dipertimbangkan untuk anak dengan bronkiolitis yang membutuhkan intubasi

dan ventilasi mekanik untuk mencegah gagal napas. Antibiotik yang dipakai

biasanya adalah antibiotic spektrum luas.2 Antibakterial harus diberikan pada

anak-anak dengan bronkiolitis yang memiliki indikasi spesifik seperti

terinfeksi oleh bakteri. Anak-anak yang mengalami bronkiolitis sering diberi

obat antibiotik karena demam, umur yang kecil, atau infeksi sekunder oleh

bakteri.9

4. Bronkodilator dan Kortikosteroid

10
Pemberian bronkodilator masih kontroversial. Beberapa literatur

menunjukkan bahwa terdapat perbaikan klinis pada jangka pendek, namun

tidak terdapat perbaikan pada oksigenasi atau angka perawatan di rumah sakit.

Hingga saat ini bronkodilator masih digunakan secara luas untuk bayi-bayi

dengan bronkiolitis. 5

Albuterol dan epinefrin, serta kortikosteroid sistemik tidak harus diberikan.

Beberapa penelitian meta-analisis dan systematic reviews di Amerika

menemukan bahwa bronkodilator dapat meredakan gejala klinis, namun tidak

mempengaruhi penyembuhan penyakit, kebutuhan rawat inap, ataupun lama

perawatan, sehingga dapat disimpulkan tidak ada keuntungannya, sedangkan

efek samping takikardia dan tremor dapat lebih merugikan.5

Sebuah penelitian randomized controlled trial di Eropa pada tahun 2009

menunjukkan bahwa nebulisasi, epinefrin dan deksametason oral pada anak

dengan bronkiolitis dapat mengurangi kebutuhan rawat inap, lama perawatan di

rumah sakit, dan durasi penyakit. Nebulisasi hypertonic saline dapat diberikan

pada anak yang dirawat.2 Nebulisasi ini bermanfaat meningkatkan kerja

mukosilia saluran napas untuk membersihkan lendir dan debris-debris seluler

yang terdapat pada saluran pernapasan.5

5. Antivirus

Ribavirin adalah obat antivirus bersifat virus statik. Penggunaannya masih

kontroversial baik efektivitas maupun keamanannya. The American Academy

of Pediatrics merekomendasikan penggunaan ribavirin pada keadaan yang

diperkirakan akan menjadi lebih berat seperti pada penderita bronkiolitis

dengan kelainan jantung, fibrosis kistik, penyakit paru kronik, imunodefisiensi,

11
dan pada bayi-bayi prematur. Ribavirin dapat menurunkan angka morbiditas

dan mortalitas penderita bronkiolitis dengan penyakit jantung jika diberikan

sejak awal.Penggunaan ribavirin biasanya dengan cara nebulizer aerosol

dengan dosis 20 mg/mL diberikan dalam 12-18 jam per hari selama 3-7 hari.5

2.9 Prognosis

Angka fatalitas kasus di bawah 1%, kematian dapat disebabkan karena

serangan apnea yang lama, asidosis respiratorik berat yang tak terkompensasi atau

dehidrasi berat akibat penguapan air dan takipnea serta ketidakmampuan anak

untuk minum. Angka mortalitas dan morbiditas meningkat pada bayi yang

memiliki keadaan-keadaan seperti penyakit jantung kongenital, displasia

bronkopulmonal, dan penyakit imunodefisiensi.1

12
BAB 3

LAPORAN KASUS

ANAMNESIS

Identitas pasien

Nama (inisial) : AN

Umur : 1 tahun 5 bulan

Tanggal lahir : 15 September 2016

Jenis kelamin : Perempuan

Suku : Minang

Alamat : Komplek belakang Sungai Balang Bandar Buat, Lubuk

Kilangan, Padang

Alloanamnesis (diberikan oleh ibu dan ayah kandung)

Seorang pasien perempuan usia 1 tahun 5 bulan datang ke IGD RSUP Dr.

M. Djamil Padang pada tanggal 17 Februari 2018 dengan :

Keluhan utama : Sesak napas yang meningkat sejak tiga hari sebelum masuk

rumah sakit.

Riwayat penyakit sekarang :

- Demam sejak 6 hari sebelum masuk rumah sakit, demam dirasakan terus

menerus, tidak terlalu tinggi, tidak menggigil dan tidak berkeringat banyak.

Pasien dibawa berobat ke bidan dan mendapat obat sirup, demam hilang

selama ± 2 jam setelah minum obat kemudian muncul lagi.

- Penurunan nafsu makan sejak 6 hari sebelum masuk rumah sakit. Pasien

hanya minum ASI dan susu formula dengan frekuensi dan jumlah lebih

sedikit dari sebelumnya (± 60 cc/hari). Pasien biasanya minum ASI, susu

13
formula 3 kali/hari dengan satu kali pemberian 2 sendok susu dilarutkan

dalam 50 cc air dan makan nasi tim 3 kali/hari sebanyak 1 porsi.

- Batuk yang meningkat sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit. Batuk

berdahak, tidak berdarah, dahak sulit dikeluarkan dan disertai pilek. Batuk

sebenarnya sudah dirasakan sejak usia 10 bulan, hilang timbul dengan

riwayat pengobatan dibawa ke IGD RS Ibnu Sina Padang ± 3 kali dan

mendapat obat yang di asap.

- Sesak napas sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit. Sesak tidak

dipengaruhi cuaca, makanan, posisi ataupun aktivitas. Sesak dirasakan

seiring dengan batuk yang meningkat, terdengar seperti suara menciut, tidak

disertai pucat atau kebiruan. Riwayat sesak napas sebelumnya ada

bersamaan dengan batuk sejak usia 10 bulan ± 3 kali, namun pasien tidak

pernah dirawat. Sesak napas sekarang merupakan serangan keempat kalinya

pada pasien.

- Muntah sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit, berisi apa yang dimakan

(susu) bercampur warna kuning, tidak hijau, tidak berdarah, frekuensi ± 2

kali/hari, jumlah ± 10 cc setiap muntah.

- Riwayat tersedak tidak ada.

- Riwayat bersin-bersin berulang pagi hari disertai mata gatal dan berair tidak

ada.

- Riwayat bengkak-bengkak/ biduran ketika cuaca dingin, atau karena

makanan tidak ada.

- Riwayat penurunan berat badan tidak ada.

14
- Bercak – bercak merah pada tubuh tidak ada, mimisan tidak ada, gusi

berdarah tidak ada.

- Riwayat keluar cairan dari telinga tidak ada.

- Riwayat trauma kepala tidak ada.

- Riwayat kontak dengan penderita batuk-batuk lama tidak ada.

- Riwayat kontak dengan unggas mati mendadak tidak ada.

- BAB warna kuning, konsistensi padat.

- BAK warna kuning jernih, jumlah normal.

Riwayat penyakit dahulu

Tidak pernah menderita penyakit lain yang berhubungan dengan penyakit

sekarang sebelumnya.

Riwayat penyakit keluarga :

- Tidak ada anggota keluarga atau orang sekitar tempat tinggal pasien yang

menderita demam atau batuk.

- Riwayat batuk dengan pengobatan tuberkulosis pada anggota keluarga dan

tetangga tidak ada.

- Tidak ada orang tua pasien yang mengalami bersin-bersin berulang disertai

mata gatal dan berair saat pagi hari serta bengkak-bengkak pada tubuh

ketika dingin atau karena makanan.

- Riwayat keganasan di keluarga tidak ada.

Riwayat kehamilan ibu :

Selama hamil ibu tidak pernah menderita penyakit berat, kontrol teratur ke

bidan, dan mendapat suntikan TT 2x, lama hamil 35-36 minggu (kurang bulan).

15
Riwayat persalinan :

Pasien anak pertama dan tunggal, lahir spontan ditolong oleh bidan, saat

lahir menangis kuat, berat badan lahir 2800 gr, panjang badan 46 cm.

Riwayat makanan dan minuman :

- ASI : dari lahir sampai sekarang

- Susu Formula : dari umur 6 bulan

- Buah biskuit : umur 6 bulan

- Bubur susu : umur 6 bulan

- Nasi tim : umur 7 bulan

Kesan : kualitas makanan dan minuman cukup

Riwayat imunisasi :
- BCG : 1 bulan scar (+)

- DPT-HB-Hib : umur 2,3,4 bulan

- Polio : umur 2,3,4 bulan

- Campak : umur 9 bulan

Kesan : imunisasi dasar lengkap menurut umur

Riwayat Perkembangan

Riwayat Riwayat ganguan


Perkembangan Umur perkembangan mental Umur
Ketawa 2 bulan Isap jempol
Miring 3 bulan Gigit kuku
Tengkurap 3 bulan Sering mimpi
Duduk 5 bulan Mengompol
Merangkak 6 bulan Aktif sekali
Berdiri 12 bulan Apatik Tidak ada
Lari 13 bulan Membangkang
Gigi pertama 7 bulan Ketakutan
bubulabula
Bicara 13 bulan Pergaulan jelek
Membaca n- Kesukaran belajar
Prestasi -
Kesan : Perkembangan normal
disekolah

16
Riwayat Keluarga
Ayah Ibu
Nama Roni Hamdani Welda Fitri
Umur 27 tahun 24 tahun
Pendidikan SMA SMP
Pekerjaan Honorer Ibu rumah tangga
Perkawinan I I
Penyakit yang pernah diderita Tidak ada Tidak ada
Penghasilan 2.300.000 -

Riwayat Perumahan dan Lingkungan

Rumah tempat tinggal : permanen

Sumber air minum : air galon

Buang air besar : WC di dalam rumah

Pekarangan : sempit

Sampah : dibuang di TPS

Kesan : higiene dan sanitasi lingkungan cukup baik

PEMERIKSAAN FISIK

Vital Sign

Keadaan umum : Sedang

Kesadaran : Sadar

Frekuensi nadi : 130x/menit

Frekuensi nafas : 60x/ menit

Suhu : 37,1oC

Pemeriksaan Umum

Edema : tidak ada

Ikterus : tidak ada

17
Anemia : tidak ada

Sianosis : tidak ada

Kulit : Teraba hangat, turgor kembali cepat

BB : 9,3 kg

TB : 72 cm

BB/U : -2 < SD < -3

TB/U : 0 < SD < -2

BB/TB : 0 < SD < 1

Status gizi : Gizi baik

Status Internus

- KGB : tidak teraba pembesaran kelenjar getah bening

leher, supraclavicula dan inguinal

- Kepala : bulat, simetris, normocephal (menurut Nellhaus)

- Rambut : rambut hitam dan tidak mudah dicabut

- Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik,

pupil isokor, diameter 2 mm/ 2 mm, refleks cahaya

+/+

- Telinga : tidak ada kelainan

- Hidung : napas cuping hidung tidak ada, sekret tidak ada

- Gigi dan mulut : mukosa mulut dan bibir basah

- Tenggorok : tonsil dan faring tidak hiperemis, tonsil T1-T1

- Leher : tidak ada kelainan

18
- Torak

Paru

Inspeksi : normochest, simetris kiri dan kanan (statis dan

dinamis), retraksi epigastrium (+)

Palpasi : sulit dinilai

Perkusi : sonor di kedua lapangan paru

Auskultasi :suara nafas bronkovesikuler, ronkhi +/+ di seluruh

lapangan paru, wheezing +/+ .

Jantung

Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat

Palpasi : Iktus kordis teraba 1 jari medial LMCS RIC V

Perkusi : tidak dilakukan

Auskultasi : bunyi jantung reguler, bising tidak ada

- Abdomen

Inspeksi : tidak tampak membuncit

Palpasi : supel, hepar teraba 1/4-1/4, dan lien tidak teraba

Perkusi : timpani

Auskultasi : bising usus (+) normal

- Punggung : tidak ada kelainan

- Genitalia : A1M1P1

- Anggota gerak : akral hangat, CRT < 2 detik, perfusi baik

PEMERIKSAAN LABORATORIUM

DARAH

- Hb : 10,7 gr/dl

19
- Leukosit : 9. 500/mm3

- Trombosit : 364.000/mm3

- Hematokrit : 34%

- Hitung Jenis : 0/0/5/49/39/7

Kesan : netrofilia relatif

Diagnosa Kerja : Bronkiolitis

Pemeriksaan Anjuran : Rontgen Thoraks

Penatalaksanaan

- O2 1 liter/menit via nasal kanul

- IVFD Ka-EN 1B 105cc/kgBB/hari = 950 cc/hari, 13 tpm makro

- Ampisilin 4x200 mg IV

- Gentamisin 2x24 mg IV

- Dexametason 3x1,5 mg IV

Hasil Rontgen Thoraks

Jantung kesan tidak membesar. Aorta dan mediastinum superior tidak melebar.

Kedua hilus tidak melebar. Tampak infiltrat di parakardial kanan. Diafragma kiri

dan kanan licin. Sinus kostofrenikus kanan dan kiri lancip. Tulang-tulang intak.

20
Kesimpulan: Bronkiolitis dd/ Bronkopneumonia.

Prognosis

Quo ad vitam : bonam

Quo ad sanam : bonam

Quo ad functionam : bonam

FOLLOW UP

Tanggal Hasil Pemeriksaan Terapi


18 Januari S/ P/
2018 - Sesak napas (+) berkurang - O2 1 liter/ menit
- Demam tidak ada
via nasal kanul
- Batuk (+) berkurang, berdahak
- IVFD Ka-EN 1B
- Muntah tidak ada
- BAK warna kuning muda, jumlah normal 950 cc/hari, 13 tpm
- BAB warna kuning dan konsistensi lunak
makro
O/
- Ampisilin 4x200
KU____ Kes. Nadi RR T
Sakit sedang CMC 110x/i 28x/i 36,3 mg IV

Kulit : turgor baik - Gentamisin 2x24


Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
mg IV
Hidung : Nafas cuping hidung (-)
- Dexametason
Paru : retraksi dinding epigastrium (-), suara nafas
bronkovesikuler, ronkhi +/+ dan wheezing +/+ 3x1,5 mg IV
Jantung : Bunyi jantung reguler, bising tidak ada
Abdomen : distensi (-), bising usus (+) normal
Ekstremitas : akral hangat, udem (-), CRT< 2 detik
A/
Bronkiolitis

21
BAB 4

DISKUSI

Seorang pasien perempuan, usia 1 tahun 5 bulan datang ke IGD RSUP DR.

M. Djamil Padang tanggal 17 Januari 2018 dengan diagnosis bronkiolitis.

Diagnosis tersebut ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan

pemeriksaan penunjang.

Berdasarkan anamnesis didapatkan pasien sesak napas sejak 3 hari sebelum

masuk rumah sakit, sesak tidak disertai bunyi menciut, sesak tidak dipengaruhi

oleh cuaca dingin, tidak dipengaruhi oleh makanan dan aktivitas, maupun posisi

tubuh. Penyebab sesak napas sangat bervariasi, pada anak bisa karena proses

infeksi, alergi pada saluran napas termasuk asma, tersedak benda asing, dan

kelainan bawaan pada saluran napas. Pada pasien ini sesak napas diduga terjadi

karena penyakit bronkiolitis. Menurut data epidemiologi, bronkiolitis sering

terjadi pada usia kurang dari 2 tahun. Sesak yang terjadi pada pasien bronkiolitis

disebabkan karena obstruksi bronkiolus akibat edema, sekresi mukus, timbunan

debris seluler/ sel-sel mati yang terkelupas.

Selain itu, pasien demam sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit,

tidak tinggi dan tidak menggigil. Demam merupakan salah satu tanda adanya

infeksi. Pasien ini juga ditemukan batuk sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit,

batuk berdahak, dahak sulit dikeluarkan karena masih bayi dan tidak disertai pilek

sehingga menguatkan dugaan adanya infeksi, baik oleh virus atau bakteri.

Bronkiolitis akut terutama disebabkan oleh virus yaitu virus sinsisium respiratorik

(VSR). Berdasarkan data epidemiologi, VSR merupakan agen penyebab

22
bronkiolitis lebih dari 50% kasus.

Riwayat sesak sebelumnya ada, riwayat tersedak sebelumnya tidak ada,

dan riwayat penyakit keluarga tidak ada anggota keluarga yang pernah menderita

sesak seperti pasien atau mempunyai riwayat atopi seperti rinitis alergi dan

dermatitis atopi. Dari anamnesis tersebut semakin menguatkan dugaan bahwa

penyebab sesak napas pada pasien bukanlah karena asma, aspirasi pneumonia

ataupun bronkopneumonia.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan nadi 130x/menit dan napas 60x/menit,

retraksi di epigastrium, suara napas bronkovesikuler, dan rhonki di seluruh

lapangan paru pada auskultasi paru. Hal ini merupakan tanda dari adanya gejala

sesak napas dan bentuk kompensasi tubuh karena kurangnya suplai oksigen pada

pasien ini yang timbul akibat obstruksi bronkiolus karena edema, sekresi mukus,

timbunan debris selular/sel-sel mati yang terkelupas, kemudian diikuti dengan

infiltrasi limfosit peribronkial dan edema submukosa.

Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan adanya netrofilia relative,

sedangkan hasil pemeriksaan rontgen thoraks tampak infiltrat di parakardial

kanan. Gambaran ini memang dapat ditemukan pada bronkiolitis tapi tidak

spesifik dan dapat ditemukan pada penyakit lain seperti asma, pneumonia, dan

aspirasi. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang

tersebut dapat menguatkan diagnosis bronkiolitis.

Pada pasien diberikan terapi O2 1 liter/menit via nasal kanul, dan IVFD

Ka-EN 1B 105cc/kgBB/hari sesuai dengan rumus Darrow untuk kebutuhan cairan

maintenance pada anak dengan berat badan 3-10 kg. O2 diberikan untuk

meningkatkan suplai oksigen pada pasien ini akibat sesaknya. Selain itu juga

23
diberikan obat golongan kortikosteroid yaitu dexamethasone yang menurut hasil

meta-analisis efektif untuk menurunkan gejala klinis dan mempersingkat lama

perawatan di rumah sakit serta obat antibiotik.

24
DAFTAR PUSTAKA

1. Nelson, Behrman, Kliegman, dkk. Ilmu kesehatan anak nelson edisi 15 vol 2.
Jakarta: EGC, 2000. P 1484-6.
2. Porth CM, Matfin G. Pathophysiology concepts of altered health states. Eight
edition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2009. p.695-7.
3. Zain MS. Bronkiolitis. Dalam: Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB. Buku
Ajar Respirologi Anak. Edisi pertama. Jakarta: Badan Penerbit IDAI, 2012.
h.333-47.
4. Supriyatno B. Infeksi Respiratorik Bawah Akut pada Anak. Sari Pedatri, 2006;
8(2):100-6.
5. Junawanto I. Diagnosis dan penanganan terkini bronkiolitis padaanak. CDK-
241, 2016; 43(6): 427-30.
6. Sastroasmoro S. Bronkiolitis. Dalam: Sastroasmoro S. Panduan pelayanan
medis departemen ilmu penyakit anak. Jakarta: RSCM, 2007. h.424-5.
7. Watts KD, Goodman DM. Wheezing, bronchiolitis, and bronchitis. In:
Kliegman RM, Stanton BF, Schor NF, Geme JW, Behrman RE. Nelson
textbook of pediatrics. 19thed. Philadelphia: Elsevier, 2011. p.1456-9.
8. Leung AKC, Kellner JD, Davies HD. Respiratory synctial virus bronchiolitis.
Journal of National Medical Association; 2005; 97(12): 1708-12.
9. AAP. Diagnosis and management of bronchiolitis. Pediatrics; 2006; 118:
1774-88

25

Anda mungkin juga menyukai