Anda di halaman 1dari 11

KOLESISTITIS

3.1. Definisi

Kolesistitis merupakan radang pada kandung empedu. Terdapat faktor yang

mempengaruhi timbulnya serangan kolesistitis adalah stasis cairan empedu, infeksi

kuman dan iskemia dinding kandung empedu. Penyebab utama kolesistitis akut adalah

90% batu empedu. Yang terletak di duktus sistikus yang menyebabkan stasis cairan

empedu, sedangkan sebagian kecil kasus timbul tanpa adanya batu empedu (kolesistitis

akut akalkulus). Diperkirakan banyak faktor yang berpengaruh,seperti kepekatan cairan

empedu, kolesterol, lisolesitin dan prostaglandin yang merusak lapisan mukosa dinding

kandung mepedu diikuti oleh reaksi inflamasi dan supurasi (Lesmana, 2000).

3.2. Etiologi

Etiologi, faktor risiko dan patogenesis untuk kolesistitis umumnya akan


berbeda-beda menurut jenis batu empedu (batu kolesterol dan batu pigmen).

kolesistitis kakulosa

 Jenis kelamin wanita,

 Obesitas atau penurunan berat badan yang cepat

 Obat-obatan (terutama terapi hormonal pada wanita),

 Kehamilan dan usia

kolesistitis akalkulosa

Berhubungan dengan penyakit yang berhubungan dengan stasis cairan empedu,


seperti penyakit kritis, operasi besar atau trauma/luka bakar berat, sepsis, pemberian
nutrisi parenteral total (TPN) jangka panjang, puasa jangka panjang, penyakit jantung
(termasuk infark miokardium), penyakit sel sabit, infeksi Salmonella, diabetes mellitus,
pasien AIDS yang terinfeksi cytomegalovirus, cryptosporidiosis, atau microsporidiosis.
Pasien dengan imunodefisiensi juga menunjukkan peningkatan risiko kolesistitis akibat
berbagai sumber infeksi lain. Dapat dijumpai sejumlah kasus kolesistitis idiopatik
(Sjamsuhidayat, 2015)

3.3. Epidemiologi

Dari mereka yang dirawat di rumah sakit karena penyakit traktus bilier, 20%
mengalami kolesistitis akut. Dan jumlah kolesistektomi secara perlahan meningkat,
terutama pada lansia. Distribusi jenis kelamin untuk batu empedu adalah 2-3 kali lebih
sering pada wanita dibandingkan pada pria, sehingga insiden kolesistitis kalkulus juga
lebih tinggi pada wanita. Kadar progesteron yang tinggi selama kehamilan dapat
menyebabkan empedu stasis, sehingga insiden penyakit kandung empedu pada wanita
hamil juga tinggi. Kolesistitis kalkulus dijumpai lebih sering pada pria usia lanjut
(Sudoyo et al., 2009).

Insidensi kolesistitis meningkat seiring dengan usia. Penerangan secara fisiologi


untuk meningkatnya kasus penyakit batu empedu dalam populasi orang yang lebih tua
kurang difahami. Meningkatnya kadar insidensi untuk laki-laki yang lebih berusia telah
dikaitkan dengan rasio perubahan androgen kepada estrogen (Sudoyo et al., 2009).

3.4. Patogenesis Kolesistitis

Faktor yang mempengaruhi timbulnya serangan kolesistitis akut adalah stasis


cairan empedu, infeksi kuman dan iskemia dinding kandung empedu. Penyebab utama
kolesistitis akut adalah batu kandung empedu (90%) sedangkan sebagian kecil kasus
(10%) timbul tanpa adanya batu empedu (kolesistitis akut akalkulus (Jacobson et al.,
2015).

Batu biasanya menyumbat duktus sistikus yang menyebabkan stasis cairan


empedu dan terjadi distensi kandung empedu. Distensi kandung empedu menyebabkan
aliran darah dan limfe menjadi terganggu sehingga terjadi iskemia dan nekrosis dinding
kandung empedu. Meskipun begitu, mekanisme pasti bagaimana stasis di duktus
sistikus dapat menyebabkan kolesistitis akut, sampai saat ini masih belum jelas.
Diperkirakan banyak faktor yang dapat mencetuskan respon peradangan pada
kolesistitis, seperti kepekatan cairan empedu, kolesterol, lisolesitin dan prostaglandin
yang merusak lapisan mukosa dinding kandung empedu yang diikuti oleh reaksi
inflamasi dan supurasi (Doherty et al., 2010)

Peradangan yang disebabkan oleh bakteri mungkin berperan pada 50 sampai 85


persen pasien kolesistitis akut. Organisme yang paling sering dibiak dari kandung
empedu para pasien ini adalah E. Coli, spesies Klebsiella, Streptococcus grup D, spesies
Staphylococcus dan spesies Clostridium. Endotoxin yang dihasilkan oleh organisme –
organisme tersebut dapat menyebabkan hilangnya lapisan mukosa, perdarahan,
perlekatan fibrin, yang akhirnya menyebabkan iskemia dan selanjutnya nekrosis dinding
kandung empedu (Poupon et al., 2013)

Gambar 3. Patofisiologi kolesistitis akut.(15)


Kolesistitis akut akalkulus terdapat pada 10 % kasus. Peningkatan resiko
terhadap perkembangan kolesistitis akalkulus terutama berhubungan dengan trauma
atau luka bakar yang serius, dengan periode pascapersalinan yang menyertai persalinan
yang memanjang dan dengan operasi pembedahan besar nonbiliaris lainnya dalam
periode pascaoperatif. Faktor lain yang mempercepat termasuk vaskulitis,
adenokarsinoma kandung empedu yang mengobstruksi, diabetes mellitus, torsi kandung
empedu, infeksi bakteri kandung empedu (misalnya Leptospira, Streptococcus,
Salmonella atau Vibrio cholera) dan infeksi parasit kandung empedu. Kolesistitis
akalkulus mungkin juga tampak bersama dengan berbagai penyakit sistemik lainnya
(sarkoidosis, penyakit kardiovaskuler, sifilis, tuberkulosis, aktinomises) (Sarr et al.,
2016)

Selain itu, dapat timbul juga pada pasien yang dirawat cukup lama yang
mendapat nutrisi secara parenteral. Hal ini dapat terjadi karena kandung empedu tidak
mendapatkan stimulus dari kolesistokinin (CCK) yang berfungsi untuk mengosongkan
kantong empedu, sehingga terjadi kondisi statis dari cairan empedu (Sarr et al., 2016).

3.5. Manifestasi Kolesistitis

Keluhan yang agak khas untuk serangan kolesistitis akut adalah kolik perut di
sebelah kanan atas epigastrium dan nyeri tekan, takikardia serta kenaikan suhu tubuh.
Keluhan tersebut dapat memburuk secara progresif. Kadang – kadang rasa sakit
menjalar ke pundak atau skapula kanan dan dapat berlangsung sampai 60 menit tanpa
reda. Berat ringannya keluhan sangat bervariasi tergantung dari adanya kelainan
inflamasi yang ringan sampai dengan gangren atau perforasi kandung empedu. Sekitar
60 – 70% pasien melaporkan adanya riwayat serangan yang sembuh spontan (Garden et
al., 2017)

Tanda peradangan peritoneum seperti peningkatan nyeri dengan penggetaran


atau pada pernapasan dalam dapat ditemukan. Pasien mengalami anoreksia dan sering
mual. Muntah relatif sering terjadi dan dapat menimbulkan gejala dan tanda deplesi
volume vaskuler dan ekstraseluler. Pada pemeriksaan fisis, kuadran kanan atas abdomen
hampir selalu nyeri bila dipalpasi. Pada seperempat sampai separuh pasien dapat diraba
kandung empedu yang tegang dan membesar. Inspirasi dalam atau batuk sewaktu
palpasi subkosta kudaran kanan atas biasanya menambah nyeri dan menyebabkan
inspirasi terhenti (tanda Murphy) (Bateson, 2011).

Ketokan ringan pada daerah subkosta kanan dapat menyebabkan peningkatan


nyeri secara mencolok. Nyeri lepas lokal di kuadran kanan atas sering ditemukan, juga
distensi abdomen dan penurunan bising usus akibat ileus paralitik, tetapi tanda
rangsangan peritoneum generalisata dan rigiditas abdomen biasanya tidak ditemukan,
asalkan tidak ada perforasi. Ikterus dijumpai pada 20% kasus, umumnya derajat ringan
(bilirubin < 4,0 mg/dl). Apabila konsentrasi bilirubin tinggi, perlu dipikirkan adanya
batu di saluran empedu ekstra hepatik. Pada pasien – pasien yang sudah tua dan dengan
diabetes mellitus, tanda dan gejala yang ada tidak terlalu spesifik dan kadang hanya
berupa mual saja (Bateson, 2011).

Walaupun manifestasi klinis kolesistitis akalkulus tidak dapat dibedakan dengan


kolesistitis kalkulus, biasanya kolesistitis akalkulus terjadi pada pasien dengan keadaan
inflamasi kandung empedu akut yang sudah parah walaupun sebelumnya tidak terdapat
tanda – tanda kolik kandung empedu. Biasanya pasien sudah jatuh ke dalam kondisi
sepsis tanpa terdapat tanda – tanda kolesistitis akut yang jelas sebelumnya (Poupon et
al., 2013).

3.6. Diagnosis Kolesistitis

Diagnosis kolesistitis akut biasanya dibuat beradasarkan riwayat yang khas dan
pemeriksaan fisis. Trias yang terdiri dari nyeri akut kuadran kanan atas, demam dan
leukositosis sangat sugestif. Biasanya terjadi leukositosis yang berkisar antara 10.000
sampai dengan 15.000 sel per mikroliter dengan pergeseran ke kiri pada hitung jenis.
Bilirubin serum sedikit meningkat [kurang dari 85,5 μmol/L (5mg/dl)] pada 45 %
pasien, sementara 25 % pasien mengalami peningkatan aminotransferase serum
(biasanya kurang dari lima kali lipat). Pemeriksaan alkali phospatase biasanya
meningkat pada 25 % pasien dengan kolesistitis. Pemeriksaan enzim amilase dan lipase
diperlukan untuk menyingkirkan kemungkinan pankreatitis, namun amilase dapat
meningkat pada kolesistitis. Urinalisis diperlukan untuk menyingkirkan kemungkinan
pielonefritis. Apabila keluhan bertambah berat disertai suhu tinggi dan menggigil serta
leukositosis berat, kemungkinan terjadi empiema dan perforasi kandung empedu
dipertimbangkan (Poupon et al., 2013).

Pemindaian saluran empedu dengan radionuklida (mis. HDA) dapat


memberikan konfirmasi bila pada pemeriksaan pencitraan hanya tampak duktus
kandung empedu tanpa visualisasi kandung empedu.15 Foto polos abdomen tidak dapat
memperlihatkan gambaran kolesistitis akut. Hanya pada 15 % pasien kemungkinan
dapat terlihat batu tidak tembus pandang (radiopak) oleh karena mengandung kalsium
cukup banyak. Kolesistografi oral tidak dapat memperlihatkan gambaran kandung
empedu bila ada obstruksi sehingga pemeriksaan ini tidak bermanfaat untuk kolesistitis
akut. Gambaran adanya kalsifikasi diffus dari kandung empedu (empedu porselain)
menunjukkan adanya keganasan pada kandung empedu (Heuman et al., 2013).

Pada pemeriksaan ultrasonografi (USG) sebaiknya dikerjakan secara rutin dan


sangat bermanfaat untuk memprlihatkan besar, bentuk, penebalan dinding kandung
empedu, batu dan saluran empedu ekstra hepatik. Nilai kepekaan dan ketepatan USG
mencapai 90 – 95%. Adapun gambaran di USG yang pada kolesistitis akut diantaranya
adalah cairan perikolestik, penebalan dinding kandung empedu lebih dari 4 mm dan
tanda sonographic Murphy. Adanya batu empedu membantu penegakkan diagnosis
(Heuman et al., 2013).

Sensitifitas dan spesifisitas pemeriksaan CT scan abdomen dan MRI dilaporkan


lebih besar dari 95%. Pada kolesistitis akut dapat ditemukan cairan perikolestik,
penebalan dinding kandung empedu lebih dari 4 mm, edema subserosa tanpa adanya
ascites, gas intramural dan lapisan mukosa yang terlepas. Pemeriksaan dengan CT –
scan dapat memperlihatkan adanya abses perikolesistik yang masih kecil yang mungkin
tidak terlihat pada pemeriksaan USG (Portincasa, 2016).
Gambar 6. CT Scan abdomen pada pasien kolesistitis akut menunjukkan adanya batu
empedu dan penebalan dinding kandung empedu.

Skintigrafi saluran empedu mempergunakan zat radioaktif HIDA atau 96n Tc6
Iminodiacetic acid mempunyai nilai sedikit lebih rendah dari USG tapi teknik ini tidak
mudah. Normalnya gambaran kandung empedu, duktus biliaris komunis dan duodenum
terlihat dalam 30-45 menit setelah penyuntikan zat warna. Terlihatnya gambaran duktus
koledokus tanpa adanya gambaran kandung empedu pada pemeriksaan kolesistografi
oral atau scintigrafi sangat menyokong kolesistitis akut (Sudoyo et al., 2009).

Gambar 7. Kiri: Scintigrafi normal, HIDA mengisi kandung empedu setelah 45 menit;
Kanan: pada pasien kolesistitis, HIDA tidak mengisi kandung empedu setelah 1 jam 30
menit
Endoscopic Retrogard Cholangiopancreatography (ERCP) dapat digunakan
untuk melihat struktur anatomi bila terdapat kecurigaan terdapat batu empedu di duktus
biliaris komunis pada pasien yang beresiko tinggi menjalani laparaskopi kolesistektomi
(Townsend et al., 2014).

Pada pemeriksaan histologi, terdapat edema dan tanda – tanda kongesti pada
jaringan. Gambaran kolesistitis akut biasanya serupa dengan gambaran kolesistitis
kronik dimana terdapat fibrosis, pendataran mukosa dan sel – sel inflamasi seperti
neutrofil. Terdapat gambaran herniasi dari lapisan mukosa yang disebut dengan sinus
Rokitansky-Aschoff. Pada kasus – kasus lanjut dapat ditemukan gangren dan perforasi
(Townsend et al., 2014).

2.8 Penatalaksanaan

Pengobatan umum termasuk istirahat total, perbaiki status hidrasi pasien,

pemberian nutrisi parenteral, diet ringan, koreksi elektrolit, obat penghilang rasa nyeri

seperti petidin dan antispasmodik. Pemberian antibiotik pada fase awal sangat penting

untuk mencegah komplikasi seperti peritonitis, kolangitis dan septisemia. Golongan

ampisilin, sefalosporin dan metronidazol cukup memadai untuk mematikan kuman –

kuman yang umum terdapat pada kolesistitis akut seperti E. Coli, Strep. faecalis dan

Klebsiela, namun pada pasien diabetes dan pada pasien yang memperlihatkan tanda

sepsis gram negatif, lebih dianjurkan pemberian antibiotik kombinasi ( Isselbacher et

al., 2000).

Saat kapan dilaksanakan tindakan kolesistektomi masih diperdebatkan, apakah

sebaiknya dilakukan secepatnya (3 hari) atau ditunggu 6 – 8 minggu setelah terapi

konservatif dan keadaaan umum pasien lebih baik. Sebanyak 50 % kasus akan membaik

tanpa tindakan bedah. Ahli bedah yang pro operasi dini menyatakan, timbul gangren

dan komplikasi kegagalan terapi konservatif dapat dihindarkan dan lama perawatan di
rumah sakit menjadi lebih singkat dan biaya daat ditekan. Sementara yang tidak setuju

menyatakan, operasi dini akan menyebabkan penyebaran infeksi ke rongga peritoneum

dan teknik operasi lebih sulit karena proses infalamasi akut di sekitar duktus akan

mengaburkan anatomi (Sudoyo et al., 2009).

Namun, kolesistostomi atau kolesistektomi darurat mungkin perlu dilakukan

pada pasien yang dicurigai atau terbukti mengalami komplikasi kolesistitis akut,

misalnya empiema, kolesistitis emfisematosa atau perforasi. Pada kasus kolesistitis akut

nonkomplikata, hampir 30 % pasien tidak berespons terhadap terapi medis dan

perkembangan penyakit atau ancaman komplikasi menyebabkan operasi perlu lebih dini

dilakukan (dalam 24 sampai 72 jam). Komplikasi teknis pembedahan tidak meningkat

pada pasien yang menjalani kolesistektomi dini dibanding kolesistektomi yang tertunda.

Penundaan intervensi bedah mungkin sebaiknya dicadangkan untuk (1) pasien yang

kondisi medis keseluruhannya memiliki resiko besar bila dilakukan operasi segera dan

(2) pasien yang diagnosis kolesistitis akutnya masih meragukan ( Isselbacher et al.,

2000).

Sejak diperkenalkan tindakan bedah kolesistektomi laparoskopik di Indonesia

ada awal 1991, hingga saat ini sudah sering dilakukan di pusat – pusat bedah digestif.

Di luar negeri tindakan ini hampir mencapai angka 90% dari seluruh kolesitektomi.

Konversi ke tindakan kolesistektomi konvensional menurut Ibrahim A. dkk, sebesar

1,9% kasus, terbanyak oleh karena sukar dalam mengenali duktus sistikus yang

diakibatkan perlengketan luas (27%), perdarahan dan keganasan kandung empedu.

Komplikasi yang sering dijumpai pada tindakan ini yaitu trauma saluran empedu (7%),

perdarahan, kebocoran empedu. Menurut kebanyakan ahli bedah tindakan


kolesistektomi laparoskopik ini sekalipun invasif mempunyai kelebihan seperti

mengurangi rasa nyeri pasca operasi. Menurunkan angka kematian, secara kosmetik

lebih baik, memperpendek lama perawatan di rumah sakit dan mempercepat aktivitas

pasien. (Sudoyo et al., 2009)

DAFTAR PUSTAKA

Bateson M. Batu Empedu dan Penyakit Hati. Jakarta: Arcan, 2011. 35-41.
Garden Jet et al. Gallstone dalam: Principle and Practice of Surgery. China: Elseiver,
2017. 23.
Doherty GM. Biliary Tract. In : Current Diagnosis & Treatment Surgery 13th edition.
2010. US : McGraw-Hill Companies,p544-55.
Heuman DM, Katz J. Cholelithiasis. Diunduh tanggal : 25 Juli 2013. Dari [online]
http://emedicine.medscape.com/article/175667-overview
Isselbacher, Kurt.dkk, 2000. Harrison’s Principles of internal Medicines edisi 13

vol.4. Penyakit Kandung Empedu Dan Duktus Bilaris. Hal 1688-1699. Jakarta:

EGC.MC-Graw Hill.

Jacobson I.M. Gallstones, dari Current Diagnosis and Treatment in Gastro-


enterology, Editor Grendell J.H., McQuaid K.R., Friedman S.L., hal. 668-678,
Appleton & Lange , 2016
Lesmana L. Batu Empedu dalam Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid 1. Edisi 3. Jakarta:
Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2000.380- 4.
Poupon R, Rosmorduc O, Boëlle PY, Chrétien Y, Corpechot C, Chazouillères O, et
al. Genotype- phenotype relationships in the low-phospholipid associated
cholelithiasis syndrome. A study of 156 consecutive patients. Hepatology.2013
Portincasa P, Moschetta A, Palasciano G. Cholesterol gallstone disease. Lancet. Jul
15 2016;368(9531):230-9.
Sarr MG, Cameron JL. Sistem empedu dalam : Buku Ajar Bedah. Esentials of
Surgery, edisis ke-2. Jakarta: EGC, 2016. 121-123
Sjamsuhidayat R, de Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC. 2015. 570-9.
Sudoyo W. Aru, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Perhimpunan Dokter
Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I
Edisi IV. EGC. Jakarta. 2009.
Townsend CM, Beauchamp RD, Evers BM, Mattox KL. Biliary Tract. In : Sabiston
Textbook of Surgery 17th edition. 2014. Pennsylvania : Elsevier.

Anda mungkin juga menyukai