Anda di halaman 1dari 28

REFERAT

Atresia Duodenum

Pembimbing :
dr. Rochmawati Istutiningrum, Sp. Rad

Disusun Oleh:
Imarta Retri Putri 1910221013
Seftian Aditiya 1910221037

SMF RADIOLOGI
RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAKARTA
PURWOKERTO
2020
HALAMAN PENGESAHAN

Telah dipresentasikan serta disetujui referat dengan judul :


Atresia Duodenum

Diajukan untuk memenuhi salah satu ujian


kepanitraan klinik dokter muda SMF Radiologi
RSUD. Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto

Disusun Oleh:
Imarta Retri Putri 1910221013
Seftian Aditiya 1910221037

Purwokerto, Januari 2020


Mengetahui,
Dokter Pembimbing,

dr. Rochmawati Istutiningrum, Sp. Rad


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Duodenum merupakan salah satu bagian dari sistem pencernaan yang paling
sering mengalami obstruksi. Obstruksi duodenum kongenital secara etiologi
diklasifikasikan menjadi 2 tipe, yaitu obstruksi intrinsik duodenum kongenital dan
obstruksi ekstrinsik duodenum kongenital. Obstruksi intrinsik duodenum
kongenital termasuk diantaranya atresia duodenum, web duodenum, dan stenosis
duodenum. Annular pankreas sering kebetulan didapatkan pada kasus atresia dan
stenosis duodenum (Niramis et al., 2010). Atresia duodenum merupakan
penyempitan komplit yang dapat menyebabkan muntah bilious dan nonbilious
saat 24 sampai 38 jam setelah bayi lahir, diikuti dengan pemberian nutrisi oral
(Gosmann et al., 2019)
Tahun 1733, kasus atresia duodenum pertama kalinya dilaporkan oleh
Calder. Tahun 1901, Cordes menjelaskan temuan klinis berhubungan dengan defek
kongenital. Vidal dari Prancis dan Ernst dari Belanda berhasil melakukan operasi
pada atresia duodenum untuk pertama kalinya (Applebaum, 2012).
Atresia intestinal merupakan obstruksi yang sering terjadi pada neonatus
yang baru lahir. Atresia intestinal dapat terjadi pada 1 dari 5000 sampai 10.000
kelahiran dan dapat terjadi pada berbagai tempat pada usus halus (Gosmann et al.,
2019). 50% kasus atresia intestinal terjadi pada duodenum dengan persentase 57%
perempuan dan 43% pada laki-laki. 46% kasus terjadi pada jejunoileal dengan
61% laki-laki dan 39% perempuan (Free et al., 2004).
Atresia duodenum dikaitkan dengan abnormalitas lain, yaitu trisomi 21
(Sindrom Down) dan malformasi jantung. Anak dengan atresia duodenum yang
memiliki kelainan berupa sindrom down mencapai 30% (Gosmann et al., 2019).
Beberapa penelitian juga menyebutkan insiden dari duodenal atresia mencapai 1
dari 2000 kelahiran sampai 1 dari 40.000 kelahiran (Free et al., 2004). Sepertiga
neonatus yang lahir dengan duodenal atresia disertai dengan down sindrom (Alan
et al., 2001). Penyakit lain yang dapat menyertai yaitu penyakit jantung (Free et
al., 2004).

1
B. Tujuan
1. Bagaimana prevalensi atresia duodenum?
2. Bagaimana patofisiologi atresia duodenum?
3. Bagaimana langkah mendiagnosis atresia duodenum?
4. Bagaimana penatalaksanaan atresia duodenum?

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. Basic Science Duodenum


A. Embriogenesis

Secara embriologi, saluran pencernaan berasal dari foregut,


midenganut dan hindenganut. Foregut akan membentuk faring, sistem
pernafasan bagian bawah, esofagus, lambung sebagian duodenum, hati dan
sistem bilier serta pankreas. Midenganut membentuk usus halus, sebagian
duodenum, sekum, appendik, kolon asenden sampai pertengahan kolon
transversum. Hindenganut meluas dari midenganut hingga ke membrana
kloaka, membrana ini tersusun dari endoderm kloaka, dan ektoderm dari
protoderm atau analpit. Usus terbentuk mulai minggu keempat disebut
sebagai primitif gut. Kegagalan perkembangan yang lengkap dari septum
urorektalis menghasilkan anomali letak tinggi atau supra levator.
Sedangkan anomali letak rendah atau infra levator berasal dari defek
perkembangan proktoderm dan lipatan genital. Pada anomali letak tinggi,
otot levator ani perkembangannya tidak normal. Sedangkan otot sfingter
eksternus dan internus dapat tidak ada atau rudimenter (TW Sadler, 2013).
Deodenum dibentuk dari bagian akhir usus depan dan bagian sefalik
dari usus tengah. Titik pertemuan kedua bagian ini terletak tepat di sebelah
distal pangkal tunas hati. Ketika lambung berputar, duodenum mengambil
bentuk melengkung seperti huruf C dan memutar ke kanan. Perputaran ini
bersama-sama dengan tumbuhnya kaput pankreas, menyebabkan duodenum
membelok dari posisi tengahnya yang semula ke arah sisi kiri rongga
abdomen. Deodenum dan kaput pankreas ditekan ke dinding dorsal badan,
dan permukaan kanan mesoduodenum dorsal menyatu dengan peritonium
yang ada didekatnya. Kedua lapisan tersebut selanjutnya menghilang dan
duodenum serta kaput pankreas menjadi terfikasasi di posisi retroperitonial.
Mesoduodenum dorsal menghilang sama sekali kecuali di daerah pilorus
lambung, dengan sebagian kecil duodenum ( tutup duodenum) yang tetap
intraperitonial. Selama bulan ke dua, lumen duodenum tersumbat oleh

3
proliferasi sel di dindingnya. Akan tetapi, lumen ini akan mengalami
rekanalisasi sesudah bulan kedua. Usus depan akan disuplai oleh pembuluh
darah yang berasal dari arteri sefalika dan usus tengah oleh arteri
mesenterika superior, sehingga duodenum akan disuplai oleh kedua
pembuluh darah tersebut (TW Sadler, 2013).

B. Anatomi
Duodenum atau juga disebut dengan usus duabelas jari merupakan
usus yang berbentuk seperti huruf C yang menghubungkan antara gaster
dengan jejunum. Duodenum melengkung di sekitar caput pancreas.
Duodenum merupakan bagian terminal atau muara dari sistem apparatus
biliaris dari hepar maupun dari pancreas. Selain itu duodenum juga
merupakan batas akhir dari saluran cerna atas. Dimana saluran cerna
dipisahkan menjadi saluran cerna atas dan bawah oleh adanya ligamentum
Treitz (m. suspensorium duodeni) yang terletak pada flexura
duodenojejunales yang merupakan batas antara duodenum dan jejunum. Di
dalam lumen duodenum terdapat lekukan-lekukan kecil yang disebut dengan
plica sircularis. Duodenum terletak di cavum abdomen pada regio epigastrium
dan umbilikalis (Snell, 2006). Duodenum memiliki penggantung yang disebut
dengan mesoduodenum.

Gambar 1. Bagian – bagian usus

4
Gambar 2. Bagian-bagian duodenum

Gambar 2. Duodenum

Duodenum terdiri atas beberapa bagian:


1. Duodenum pars superior
Bagian ini bermula dari pylorus dan berjalan ke sisi kanan
vertebrae lumbal I dan terletak di linea transpylorica. Bagian ini
terletak setinggi vertebrae lumbal I dan memiliki sintopi:
a. Anterior : Lobus quadrates hepatis, vesica velea
b. Posterior : Bursa omentalis, a. gastroduodenalis,
ductus choledocus, v. portae hepatis, dan v. cava inferior
c. Superior : Foramen epiploica winslow
d. Inferior : Caput pankreas
2. Duodenum pars decendens
Bagian dari duodenum yang berjalan turun setinggi
vertebrae lumbal II-III. Pada duodenum bagian ini terdapat
papilla duodeni major dan minor yang merupakan muara dari
ductus pancreaticus major dan ductus choledocus serta ductus
pancreaticus minor yang merupakan organ apparatus billiaris
dan termasuk organ dari system enterohepatic.
Duodenum bagian ini memiliki sintopi :

5
a. Anterior : Fundus vesica felea, colon transersum,
lobus hepatis dextra
b. Posterior : Ureter dextra, hilus renalis dextra
c. Medial : Caput pankreas
d. Lateral : Colon ascendens, fleksura coli dextra,
lobus hepatis dextra
3. Duodenum pars horizontal
Merupakan bagian dari duodenum yang berjalan horizontal
ke sinistra mengikuti pinggir bawah caput pancreas dan
memiliki skeletopi setinggi vertebrae lumbal II. Duodenum
bagian ini memiliki sintopi :
a. Anterior : Mesenterium usus halus, vasa mesenterica
superior, lekukan jejunum
b. Posterior : Ureter dextra, m. psoas dextra, aorta
c. Superior : Caput pancreas
d. Inferior : Lekukan jejunum

4. Duodenum pars ascendens


Merupakan bagian terakhir dari duodenum yang bergerak
naik hingga pada flexura duodenujejunales yang merupakan
batas antara duodenum dan jejunum. Pada flexura
duodenojejunales ini terdapat ligamentum yang menggantung
yang merupakan lipatan peritoneum yang disebut dengan
ligamentum Treitz (m. suspensorium duodeni) yang dimana
ligamentum ini juga merupakan batas yang membagi saluran
cerna menjadi saluran cerna atas dan saluran cerna bawah.
Duodenum bagian ini memiliki skeletopi setinggi Vertebrae
Lumbal I atau II. Duodenum bagian ini memiliki sintopi :
a. Anterior : Mesenterium, lekukan jejunum
b. Posterior : Pinggir kiri aorta, pinggir medial m. psoas
sinistra
(Snell, 2006)

6
Vaskularisasi duodenum baik arteri maupun vena nya terbagi
menjadi 2. Untuk duodenum pars superior hingga duodenum pars
descendens diatas papilla duodeni major (muara ductus pancreticus major),
divaskularisasi oleh R. superior a. pancrearicoduodenalis cabang dari a.
gastroduodenalis, cabang dari a. hepatica communis, cabang dari triple
hallery yang dicabangkan dari aorta setinggi Vertebae Thoracal XII –
Vertebrae Lumbal I. dan aliran vena nya langsung bermuara ke system
portae. Sedangkan dibawah papilla duodeni major, duodenum
divaskularisasi oleh R. duodenalis a. mesenterica superior yang
dicabangkan dr aorta setinggi Vertebrae Lumbal I. Sedangkan aliran vena
nya bermuara ke v. mesenterica superior (Snell, 2006).

Duodenum di innervasi oleh persarafan simpatis oleh truncus


sympaticus segmen thoracal VI-XII, sedangkan persarafan parasimpatis
nya oleh n. vagus (n. X) (Snell, 2006).

C. Histologi

Secara histologi, struktur duodenum dengan bagian usus halus


yang lain, yakni jejunum dan ileum memiliki karakteristik yang mirip. Struktur
mukosa dan submukosanya membentuk kerutan–kerutan yang disebut plicae
circulares, dan pada mukosanya sendiri terdapat penonjolan–penonjolan
berbentuk seperti daun yang disebut vili. Vili–vili ini tersusun atas sel
absorbtif atau enterosit, dan sel goblet, yang keseluruhannya tersusun secara
kolumnar (Inamoto et al, 2008). Sel absorbtif memiliki fungsi menyerap
molekul nutrisi yang berasal dari proses pencernaan, sedangkan sel goblet
berfungsi untuk menghasilkan musin glikoprotein yang akan melumasi
dan melindungi lapisan usus. Sel goblet ini jarang dijumpai dalam duodenum
dan lebih banyak dijumpai pada bagian usus halus lainnya (Meschel, 2012).

7
Gambar 3. Histologi Duodenum (Junqueira's Basic Histology Text and
Atlas, Ed 13)

Dinding duodenum terdiri atas empat lapisan konsentris : 1) Lapisan


paling luar yang dilapisi peritoneum, disebut serosa. 2) Lapisan muskuler
disebut juga tunika muskularis yang tersusun atas serabut otot longitudinal
(luar) dan sirkuler (dalam). 3) Lapisan selanjutnya yaitu submukosa yang
hampir keseluruhan ditempati oleh kelenjar duodenal tubuler yang sangat
bercabang. 4) Mukosa, yang merupakan lapisan dinding yang paling dalam.
Vili–vili pada usus halus, diantaranya terdapat suatu muara yang berasal
dari kelenjar tubular, yang disebut kriptus Lieberkuhn. Pada epitel dari
kriptus ini, selain terdiri dari sel absorptif dan sel goblet, juga dijumpai sel
Panneth yang berperan dalam imunitas alami, sel enteroendokrin yang
menghasilkan berbagai peptida yang memiliki berbagai fungsi, dan sel punca
(Meschel, 2013).
Di bawah lapisan epitel duodenum terdapat lamina propria yang
terdiri atas jaringan ikat longgar. Lapisan muscularis mucosae berfungsi
dalam menimbulkan pergerakan–pergerakan pada vili maupun plicae
circulares guna proses pencernaan. Pada lapisan submukosa duodenum
terdapat kelenjar Brunner yang menghasilkan produk basa yang dapat
menetralkan kimus yang baru saja masuk dari dalam lambung. Lapisan

8
muskularis terdiri atas lapisan luar yang sirkular dan lapisan dalam yang
longitudinal. Lapisan terluar dari duodenum adalah lapisan serosa tipis yang
disertai dengan mesotel (Tarigan, 2009).

D. Fisiologi
Duodenum melanjutkan proses pencernaan makanan yang telah
dilakukan oleh organ traktus digestivus sebelumnya. Proses pencernaan
selanjutnya oleh duodenum seperti pencernaan karbohidrat, lemak dan protein
menjadi zat yang lebih sederhana oleh bantuan enzim-enzim dari pankreas.
Pencernaan lemak juga membutuhkan garam empedu untuk mengemusilnya,
prosesnya terjadi ketika lemak yang bersentuhan mukosa duodenum
menyebabkan kontraksi kandung empedu yang diperantarai oleh kerja
kolesistokinin yang merupakan hasil sekresi dari mukosa duodenum. Di
epitel usus halus juga terdapat enzim penting untuk memecah disakarida
maupun polimer glukosa kecil menjadi monosakarida yaitu laktase, sukrase,
maltase dan alfa dekstrinase (Sherwood,2013).
Proses selanjutnya yaitu absorbsi zat-zat penting dari makanan yang
telah dicerna sebelumnya. Absorbsi gula, asam amino dan lemak sebagian
besar terjadi di duodenum dan jejunum, begitu pula absorbsi besi dan kalsium
yang membutuhkan vitamin D. Vitamin larut lemak (A, D, E, K) di absorbsi
di duodenum dan dibutuhkan garam-garam empedu dalam prosesnya
(Sherwood, 2013).
Efisiensi fungsi absorpsi duodenum ditingkatkan oleh sejumlah
struktur yang meningkatkan permukaan total dari lapisan mukosa. Struktur
ini disebut plika sirkularis (valvula koniventes). Plika sirkularis meningkatkan
daerah permukaan absorbsi mukosa menjadi tiga kali lipat. Pada duodenum
juga terdapat kelenjar duodenum (brunner) yang letaknya di submukosa.
Kelenjar brunner menghasilkan mukus yang alkalis untuk melindungi dinding
duodenum dari getah lambung yang sangat asam. Kelenjar ini juga
menghasilkan hormon sekretin yang akan menghambat sekresi HCL gaster dan
akan meningkatkan proliferasi epitel dalam usus halus (Guyton dan Hall,
2014).

9
2. Atresia Duodenum
A. Definisi Atresia Duodenum
Atresia duodenum merupakan penyempitan komplit yang dapat
menyebabkan muntah bilious dan nonbilious saat 24 sampai 38 jam setelah bayi
lahir, diikuti dengan pemberian nutrisi oral (Gosmann et al., 2019)
Atresia duodenum adalah kondisi dimana duodenum tidak berkembang baik.
Pada kondisi ini duodenum bisa mengalami penyempitan secara komplit sehingga
menghalangi jalannya makanan dari lambung menuju usus untuk mengalami proses
absorbsi. Apabila penyempitan usus terjadi secara parsial, maka kondisi ini disebut
dengan doudenal stenosis (Hayden et al., 2003).

B. Etiologi Atresia Duodenum


Penyebab yang mendasari terjadinya atresia duodenal sampai saat ini belum
diketahui. Atresia duodenal sering ditemukan bersamaan dengan malformasi pada
neonatus lainnya, yang menunjukkan kemungkinan bahwa anomali ini disebabkan
karena gangguan yang dialami pada awal kehamilan (Hayden et al., 2003; Kessel
et al., 2011; Richard et al., 2001). Pada beberapa penelitian, anomali ini diduga
karena karena gangguan pembuluh darah masenterika. Gangguan ini bisa
disebabkan karena volvulus, malrotasi, gastrokisis maupun penyebab yang lainnya.
Pada atresia duodenum, juga diduga disebabkan karena kegagalan proses
rekanalisasi. Faktor risiko maternal sampai saat ini tidak ditemukan sebagai
penyebab signifikan terjadinya anomali ini (Richard et al., 2001).
Atresia duodenum dikaitkan dengan abnormalitas lain, yaitu trisomi 21
(Sindrom Down) dan malformasi jantung. Anak dengan atresia duodenum yang
memiliki kelainan berupa sindrom down mencapai 30% (Gosmann et al., 2019).
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa 12-13% kasus atresis duodenal
disebabkan karena polihidramnion (Richard et al., 2001; Hayden et al., 2003;
Alan et al., 2001). Disamping itu, beberapa penelitian menyebutkan bahwa
annular pankreas berhubungan dengan terjadinya atresia duodenal (Tamer et al.,
2011)

10
C. Klasifikasi
Atresia duodenum dapat diklasifikasikan ke dalam 3 morfologi, yaitu :
a) Tipe 1
Atresia duodenum yang ditandai oleh adanya webs atau membrane pada
lumen duodenum.
b) Tipe 2
Atresia duodenum dengan segmen proksimal dan distal dihubungkan
dengan fibrous cord.
c) Tipe 3
Atresia dengan diskontinuitas komplit antar segmen proksimal dan distal.

Gambar 4. Tipe atresia duodenum

D. Patogenesis
Ada faktor ekstrinsik serta instrinsik yang diduga menyebabkan terjadinya
atresia duodenal. Faktor intrinsik yang diduga menyebabkan terjadinya anomali ini
karena kegagalan rekanalisasi lumen usus. Duodenum dibentuk dari bagian akhir
foregut dan bagian sefalik midgut. Selama minggu ke 5-6 lumen tersumbat oleh
proliferasi sel dindingnya dan segera mengalami rekanalisasi pada minggu ke 8-10.
Kegagalan rekanalisasi ini disebut dengan atresia duodenum. Perkembangan
duodenum terjadi karena proses proliferasi endoderm yang tidak adekuat (elongasi
saluran cerna melebihi proliferasinya atau disebabkan kegagalan rekanalisasi
epitelial (kegagalan proses vakuolisasi)) (Alan et al, 2001).
Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa epitel duodenum berproliferasi
dalam usia kehamilan 30-60 hari atau pada kehamilan minggu ke 5 atau minggu
11
ke 6, kemudian akan menyumbat lumen duodenum secara sempurna. Kemudian
akan terjadi proses vakuolisasi. Pada proses ini sel akan mengalami proses
apoptosis yang timbul pada lumen duodenum. Apoptosis akan menyebabkan
terjadinya degenerasi sel epitel, kejadian ini terjadi pada minggu ke 11 kehamilan.
Proses ini mengakibatkan terjadinya rekanalisasi pada lumen duodenum. Apabila
proses ini mengalami kegagalan, maka lumen duodenum akan mengalami
penyempitan. Pada beberapa kondisi, atresia duodenum dapat disebabkan karena
faktor ekstrinsik. Kondisi ini disebabkan karena gangguan perkembangan struktur
organ sekitarnya, seperti pankreas. Atresia duodenum berkaitan dengan pankreas
anular. Pankreas anular merupakan jaringan pankreatik yang mengelilingi
sekeliling duodenum, terutama deodenum bagian desenden. Kondisi ini akan
mengakibatkan gangguan perkembangan duodenum (Free et al, 2004).

E. Penegakkan diagnosis
a) Manifestasi klinis
Pasien dengan atresia duodenal memiliki gejala obstruksi usus. Gejala
akan nampak dalam 24 jam setelah kelahiran. Pada beberapa pasien dapat timbul
gejala dalam beberapa jam hingga beberapa hari setelah kelahiran. Muntah yang
terus menerus merupakan gejala yang paling sering terjadi pada neonatus dengan
atresia duodenal. Muntah yang terus-menerus ditemukan pada 85% pasien.
Muntah akan berwarna kehijauan karena muntah mengandung cairan empedu
(biliosa). Akan tetapi pada 15% kasus, muntah yang timbul yaitu non- biliosa
apabila atresia terjadi pada proksimal dari ampula vater. Muntah neonatus akan
semakin sering dan progresif setelah neonates mendapat ASI. Karakteristik dari
muntah tergantung pada lokasi obstruksi. Jika atresia diatas papila, maka jarang
terjadi. Apabila obstruksi pada bagian usus yang tinggi, maka muntah akan
berwarna kuning atau seperti susu yang mengental. Apabila pada usus yang
lebih distal, maka muntah akan berbau dan nampak adanya fekal. Apabila anak
terus menerus muntah pada hari pertama kelahiran ketika diberikan susu dalam
jumlah yang cukup sebaiknya dikonfirmasi dengan pemeriksaan penunjang lain
seperti roentgen dan harus dicurigai mengalami obstruksi usus. Ukuran feses
juga dapat digunakan sebagai gejala penting untuk menegakkan diagnosis.
Pada anak dengan atresia, biasanya akan memiliki mekonium yang jumlahnya
lebih sedikit, konsistensinya lebih kering, dan berwarna lebih abu-
12
abu dibandingkan mekonium yang normal. Pada beberapa kasus, anak
memiliki mekonium yang nampak seperti normal (Kessel et al, 2011).
Pengeluaran mekonium dalam 24 jam pertama biasanya tidak terganggu.
Akan tetapi, pada beberapa kasus dapat terjadi gangguan. Apabila kondisi anak
tidak ditangani dengan cepat, maka anak akan mengalami dehidrasi, penurunan
berat badan, gangguan keseimbangan elektrolit. Jika dehidrasi tidak ditangani,
dapat terjadi alkalosis metabolik hipokalemia atau hipokloremia. Pemasangan
tuba orogastrik akan mengalirkan cairan berwarna empedu (biliosa) dalam
jumlah bermakna. Anak dengan atresi duodenum juga akan mengalami aspirasi
gastrik dengan ukuran lebih dari 30 ml. Pada neonatus sehat, biasanya aspirasi
gastrik berukuran kurang dari 5 ml. Aspirasi gastrik ini dapat mengakibatkan
terjadinya gangguan pada jalan nafas anak. Pada beberapa anak, mengalami
demam. Kondisi ini disebabkan karena pasien mengalami dehidrasi. Apabila
temperatur diatas 103º F maka kemungkinan pasien mengalami ruptur intestinal
atau peritonitis (Kessel et al, 2011).
b) Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik ditemukan distensi abdomen. Akan tetapi distensi
ini tidak selalu ada, tergantung pada level atresia dan lamaya pasien tidak
dirawat. Jika obstruksi pada duodenum, distensi terbatas pada epigastrium.
Distensi dapat tidak terlihat jika pasien terus menerus muntah. Pada beberapa
neonatus, distensi bisa sangat besar setelah hari ke tiga sampai hari ke empat,
kondisi ini terjadi karena ruptur lambung atau usus sehingga cairan berpindah ke
kavum peritoneal. Neonatus dengan atresia duodenum memiliki gejala khas
perut yang berbentuk skafoid (Kessel et al, 2011).
Saat auskultasi, terdengar gelombang peristaltik gastrik yang melewati
epigastrium dari kiri ke kanan atau gelombang peristaltik duodenum pada
kuadran kanan atas. Apabila obstruksi pada jejunum, ileum maupun kolon, maka
gelombang peristaltik akan terdapat pada semua bagian dinding perut (Kessel et
al, 2011).
c) Pemeriksaan penunjang
 Pre natal ( Ultrasonografi)

13
Secara general, atresia duodenum sulit untuk didiagnosis selama
kehamilan. Diagnosis prenatal selalu berdasarkan tanda non-spesifik
pada fetal ultrasound seperti

- Dilatasi lambung

- Echoless stomach

- Peningkatan cairan dalam sakus amnion (karena cairan


amnion ditelan dan dicerna secara normal oleh fetus, namun
terdapat gangguan karena adanya sumbatan)

- Adanya polihidramnion dengan melihat adanya struktur yang


terisi dua cairan dengan gambaran double bubble pada 44%
kasus (anechoic). Sebagian besar kasus atresia duodenum
dideteksi antara bulan ke 7 dan 8 kehamilan (Felicitas et al.,
2010)

Gambar 5. Gambaran USG prenatal pada atresia duodenal

14
Gambar 6. Gambaran CT scan perut seorang wanita hamil dilakukan untuk
menyingkirkan appendisitis. Atresia duodenum secara tidak sengaja dicatat pada
janin.

 Post natal (Foto Polos, Foto dengan kontras, CT Scan)


Pemeriksaan yang dilakukan pada neonatus yang baru lahir dengan
kecurigaan atresia duodenum, yakni pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan
radiografi. Pemeriksaan laboratorium yang diperiksa yakni pemeriksaan serum,
darah lengkap, serta fungsi ginjal pasien. Pasien bisanya muntah yang semakin
progresive sehingga pasien akan mengalami gangguan elektrolit. Biasanya
mutah yang lama akan menyebabkan terjadinya metabolik alkalosis dengan
hipokalemia atau hipokloremia dengan paradoksikal aciduria. Oleh karena itu,
gangguan elektrolit harus lebih dulu dikoreksi sebelum melakukan operasi.
Disamping itu, dilakukan pemeriksaan darah lengkap untuk mengetahui apakah
pasien mengalami demam karena peritonitis dan kondisi pasien secara umum
(Hayden et al, 2003).
- Foto Polos Abdomen
Pemeriksaan roentgen yang pertama kali dilakukan yakni plain
abdominal x-ray. X-ray akan menujukkan:
 Gambaran double-bubble sign tanpa gas pada segmen
distal usus.
 Distensi duodenum pada bagian proksimal
 Pada sisi kiri proksimal dari usus nampak gambaran
gambaran lambung yang terisi cairan, udara dan
terdapat dilatasi dari duodenum proksimal pada garis
15
tengah agak ke kanan.
 Apabila pada x-ray terdapat gas distal, kondisi tersebut
tidak mengekslusi atresia duodenum. Pada neonatus
yang mengalami dekompresi misalnya karena muntah,
maka udara akan berangsur-angsur masuk ke dalam
lambung dan juga akan menyebabkan gambaran
double-bubble (Richard et al, 2001).
 Terdapat gas pada segmen distal terdapat anomai
anatomi duktus biliaris.
- Foto Polos Abdomen dengan kontras
Kontras barium diberikan melalui orograstric tube atau
nasogastric tube dengan bantuan fluoroskopi untuk
mengevaluasi esofagus, lambung, dan duodenum. Cairan
kontras akan dikeluarkan dengan OGT atau NGT untuk
mencegah terjadinya refluks dan potensi terjadinya aspirasi.
Gambaran yang didapatkan adalah:
 Obstruksi pada area yang mengalami atresia
 Dilatasi pada duodenum segmen proksimal
 Untuk membedakan dengan midgut volvulus yang
memiliki gambaran double bubble sign (kasus
emergency)

16
Gambar 6. Gambaran double bubble pada atresia duodenum dengan Foto

Abdomen (Polos dan menggunakan kontras barium)

- CT Scan

CT Scan pediatri tidak terlalu signifikan berperan untuk diagnosis dan

evaluasi atresia duodenum. CT Scan pada neonatus membutuhkan sedasi,

dan pemberian kontras lewat jalur intravena. CT Scan melibatkan radiasi

ionik dan mungkin lebih sulit untuk diinterpretasi karena kurangnya lemak

di perut yang memisahkan organ viseral jika dibandingkan dengan pasien

dewasa (Gosmann et al., 2019).

17
F. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan secara umum yaitu :
a) Pemasangan tube orogastrik untuk mendekompresi lambung
b) Memberikan cairan elektrolit melalui intravena (mengoreksi
dehidrasi dan ketidakseimbangan elektrolit).

c) Pembedahan untuk mengkoreksi kebuntuan duodenum perlu dilakukan


namun tidak darurat. Pembedahan ini tergantung pada sifat
abnormalitas. Prosedur operatif standar saat ini berupa
duodenoduodenostomi.
Pre operasi
Penatalaksanaan terdiri dari dekompresi nasogastrik dan
menyediakan penggantian cairan dan elektrolik. Banyak penderita
merupakan prematur dan umur kelahirannya rendah, maka harus
menjaga tubuh dari panas dan menghindari hipoglikemia terutama pada
kasus berat bayi lahir rendah, penyakit jantung kongenital, sindroma
distres respirasi (Millar, 2005).
Setelah diagnosis ditegakkan, maka resusitasi yang tepat
diperlukan dengan melakukan koreksi terhadap keseimbangan cairan
dan abnormalitas elektrolit serta melakukan kompresi pada gastrik.
Dilakukan pemasangan orogastrik tube dan menjaga hidrasi IV.

Manajemen preoperatif ini dilakukan mulai dari pasien lahir. Sebagian


besar pasien dengan duodenal atresia merupakan pasien premature dan
kecil, sehingga perawatan khusus diperlukan untuk menjaga panas
tubuh bayi dan mencegah terjadinya hipoglikemia, terutama pada kasus
berat badan lahir yang sangat rendah, CHD, dan penyakit pada respirasi.
Sebaiknya pesien dirawat dalam incubator (Tamer et al, 2011).
Intraoperasi
Tindakan ini memerlukan anestesi general dengan intubasi
endotrakeal. Yang sering banyak digunakan dengan insisi pemotongan
otot, transversal, insisi kuadran kanan atas. Namun, beberapa
menggunakan motode laparoskopi untuk memperbaiki (Blanco-
Rodríguez, 2008).
Sisi ke sisi duodenoduodenostomi merupakan standar perbaikan

18
untuk stenosis duodenal, atresia atau obstruksi yang disebabkan vena
porta preduodenal. Ketika pankreas annular dihubungkan dengan
obstruksi duodenal bertemu, pilihan penyembuhan dengan
duodenoduodenostomi antara segmen duodenum yang diatas dan
dibawah pada area cincin pankreas (Blanco-Rodríguez, 2008).
Menurut Felicitas et al (2010), teknik pembedahan pada atresia
duodenum :
1) Side to side anastomosis
Dimulai dari bagian dorsal dari anastomosis, sebuah
duodenostomi melintang dibuat di segmen proksimal. Bagian ujung
dari lambung dan duodenum dilakukan duodenotomi. Insisi pararel
dibuat pada distal duodenum kemudian lapisan posterior anastomosis
dijahitkan.
2) For diamond shape duodenostomi
Diperlukan mobilisasi untuk menempatkan dinding duodenum
proksimal terlihat dengan jelas. Kemudian dibuat sayatan melintang di
proksimal membujur ke duodenum bagian distal.
3) For a duodenal web
Untuk web duodenum, membrane biasanya terletak di kedua
bagian duodenum, Lokasi membrane dapat dibantu oleh pemasangan
NGT ke dalam duodenum.
4) For membrane resection
Untuk reseksi membrane, sayatan dibuat memanjang. Kemudian
mengidentifikasi ampula vater. Eksisi dimulai dengan insisi radial di
pusat ostium. Sebelum menutup duodenum secara melintang, patensi
duodenum bagian distal diuji terlebih dahulu dengan menggunakan
kateter silicon kecil.
Selain itu, tindakan bedah dapat dilakukan sesuai dengan tipe dari
atresia duodenum.
1) Tipe 1
Atresia duodenum yang ditandai oleh adanya webs atau
membrane pada lumen duodenum. Tindakan bedah yang dilakukan
adalah menginsisi dinding duodenum kemudian mengeksisi membrane
bagian dalamnya, kemudian dijahit.
19
Gambar 8. Tindakan bedah pada atresia duodenum tipe 1
2) Tipe 2
Atresia duodenum dengan segmen proksimal dan distal
dihubungkan dengan fibrous cord. Tindakan pembedahan yang
dilakukan adalah dudenoduodenostomi. Bagian yang mengalami
atresia dihilangkan, kemudian kedua ujung tersebut digabungkan.
3) Tipe 3
Atresia dengan diskontinuitas komplit antar segmen proksimal
dan distal. Tindakan bedah yang dilakukan adalah gastrojejunum,
yaitu

menggabungkan antara utung jejunum langsung ke lambung.

Gambar . Tindakan operasi pada atresia duodenum tipe 2


(atas) dan atresia duodenum tipe 3 (bawah)
20
Post operasi
Penggunaan selang transanastomik berada dalam di jejunum,
pemberian makan dapat diberikan setelah 48 jam paska operasi. Nutrisi
parenteral via sentral atau perifer dimasukan kateter dapat sangat efektif
untuk menjaga nutrisi waktu yang lama jika transanastomik enteral tidak
cukup atau tidak dapat ditolenrasi oleh tubuh pasien (Millar, 2005).

G. Differential Diagnosis
Pertimbangan primer untuk kasus muntah bilious pada neonatus adalah:
- Atresia Duodenum,
- Stenosis Duodenum,
- Annular Pankear,
- Hyperthropic Pyloric Stenosis (Foto polos: single bubble sign, minimal
gas distal, pada gambaran USG ditemukan target sign, nipple sign, cervix
sign)
- Malrotasi Intestinal yang disebabkan oleh midgut volvulus
- Fetal choledechal cyst (USG, double-bubble sign)
- Fetal omental cyst (USG, double-bubble sign)
- Fetal enteric duplication cyst (USG, double-bubble sign)
-
H. Komplikasi
a) Komplikasi yang dapat ditemukan ialah kelainan congenital lainnya.
b) Mudah terjadi dehidrasi
Komplikasi post operasi dilaporkan pada 14-18% pasien, dan beberapa
pasien memerlukan operasi kembali. Beberapa kondisi yang sering terjadi
dan menyebabkan pasien perlu dioperasi kembali yaitu :

a) Kebocoran anostomosis
b) Obstruksi fungsional duodenum
c) Adhesi
d) Bengkak pada bagian pertama usus halus (megaduodenum)
e) Permasalahan pergerakan usus
f) Refluks gastroesofageal
g) Sepsis intraabdomen

21
(Richard et al, 2001)

I. Prognosis
Angka harapan hidup untuk bayi dengan atresia duodenum adalah 90 - 95%.
Mortalitas yang tinggi disebabkan karena prematuritas serta abnormalitas
congenital yang menyertainya. Morbiditas dan mortalitas telah membaik secara
bermakna selama 50 tahun terakhir. Adanya kemajuan dibidang anestesi pediatric,
neonatologi, dan teknik pembedahan, angka kesembuhannya telah meningkat
hingga 90%. Menurut Milar (2005), walaupun prognosis atresia duodenal secara
general bagus namun angka kematian sebesar 7%. Hubungan kelainan kongenital
diindentifikasikan sebagai faktor risiko independent. Berat lahir rendah dan
permasalah prematur lebih jauh meningkatkan resiko kematian (Richard et al.,
2001).

22
BAB III
KESIMPULAN

1. Atresia duodenum merupakan kondisi dimana duodenum tidak berkembang


dengan baik. Atresia duodenum terjadi pada 1 dari 1000 kelahiran. Beberapa
penelitian juga menyebutkan insiden dari duodenal atresia mencapai 1 dari 2000
kelahiran sampai 1 dari 40.000 kelahiran
2. Penyebab terjadinya atresia duodenum sampai saat ini belum diketahui, namun
sering ditemukan bersamaan dengan malformasi pada neonates lainnya seperti
sindrom down, maupun penyakit jantung. Patofisiologi dari atresia duodenum
didasari oleh kegagalan rekanalisasi epitelial.
3. Penegakkan diagnosis yaitu dengan anamnesis didapatkan pasien memiliki
gejala obstruktif usus, yaitu muntah terus menerus. Pada pemeriksaan fisik
ditemukan distensi abdomen. Pada pemeriksaan penunjang ditemukan double
bublle.
4. Tindakan bedah yang dilakukan ialah sesuai dengan tipe atresi duodenum.

23
DAFTAR PUSTAKA

Alan ,PL, James, AM, 2001, ‘Congenital Duodenal Abnormalies in a


Adult’, Arch Surgery, 136:578-561. doi:10.1001/archsurg.136.5.576
Applebaum, H, Sydorah, R, 2012, Duodenal atresia and stenosis pediatric
surgery editor Coran A.G, vol 1. Elsevier. Philadelphia. USA.
Blanco-Rodríguez, G, Penchyna-Grub, J, Porras-Hernández, JD, Trujillo-
Ponce, A, 2008, ‘Transluminal Endoscopic Electrosurgical Incision of Fenestrated
Duodenal Membranes’, Pediatric Surgery Int, Epub :711–714. doi:
10.1007/s00383-008-2142-8
Felicitas, E, Afua, AJ, Sanjay, K, 2010, Duodenal Atreasia and Stenosis.
Paediatric Surgery: A Comprehensive Text for Africa Chapter 62
Free, FA, Barry, G, 2004, ‘Duodenal Obstruction in the Newborn Due To
Annular Pancreas’, Surg,103:321-325
Gossman W, Eovaldi BJ, Cohen HL. Duodenal Atresia And Stenosis.
[Updated 2019 May 19]. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls
Publishing; 2019 Jan-.
Guyton and Hall, 2014. Guyton dan Hall Buku Ajar Fisiologi Kedokteran.

Elsevier, Singapore.
Hayden, CK, Marshall, ZS, Michael, D, Leonard, ES, 2003, ‘Combine
Esophageal and Duodenal Atresia: Sonograpic Findings’, Arch Surg, 140:225-230.
doi:10.2214/ajr.140.2.225
Inamoto, T, Namba, M, Qi, W.-M, Yamamoto, K, Yokoo, Y, Miyata,
H.Kitagawa, H, 2008, An Immunohistochemical Detection of Actin and Myosin in
the Indigenous Bacteria-Adhering Sites of Microvillous Columnar Epithelial Cells
in Peyer’s Patches and Intestinal Villi in the Rat Jejunoileum. The Journal of
veterinary medical science / the Japanese Society of Veterinary Science, 70, 1153–
1158. https://doi.org/10.1292/jvms.70.1153
Kessel, D, Bruyn, D, Drake, F, 2011, ‘Case report: Ultrasound Diagnosis
Of Duodenal Atresia Combined With Isolated Oesophageal Atresia’, The British
Journal of Radiology, 66: 86-88, doi: 10.1259/0007-1285-66-781-86
Meschel, A. L. 2013. Histologi Dasar Junqueira Teks & Atlas. EGC :
Jakarta

24
Millar AJW, Gosche JR, Lakhoo, K, 2003, Intestinal Atresia and Stenosis,
Paediatric Surgery: A Comprehensive Text for Africa Chapter 63. p.385-388.

25
Diakses pada 28 Desember 2019: https://global-
help.org/products/paediatric_surgery_a_comprehensive_text_for_africa/
Niramis, R, et al, 2010, ‘Influence of down’s syndrome on management and
outcome of patients with congenital intrinsic duodenal obstruction’, Journal of
pediatric surgery. 45:1467-1472. doi: 10.1016/j.jpedsurg.2010.02.049.
Richard, FL, Benneth, AL, Norman, GB, Anthony, JB, Brian, RJ, 2001,
‘Sonographic Appearance of Duodenal Atresia in Utero’, Am J Roentgenol.
131:701-702. doi: 10.1016/j.jpedsurg.2010.02.049.
Snell, Richard S. 2006. Anatomi Klinik untuk mahasiswa kedokteran.
Jakarta : EGC
Tamer, S, Mustafa, K, Ulas, A, Ali, SK, ‘Duodenal Atresia and Hirchsprung
Disease in a Patient with Down Syndrome. Eur J Gen Med.2011;8(2):157- 9. doi:
https://doi.org/10.29333/ejgm/82721
TW Sadler. 2013. Embriologi Kedokteran Langman Edisi 7. EGC:Jakarta.
Sherwood, L. 2013. Human Anatomy and Physiology from Cell to System.

26

Anda mungkin juga menyukai