Atresia Duodenum
Pembimbing :
dr. Rochmawati Istutiningrum, Sp. Rad
Disusun Oleh:
Imarta Retri Putri 1910221013
Seftian Aditiya 1910221037
SMF RADIOLOGI
RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAKARTA
PURWOKERTO
2020
HALAMAN PENGESAHAN
Disusun Oleh:
Imarta Retri Putri 1910221013
Seftian Aditiya 1910221037
A. Latar Belakang
Duodenum merupakan salah satu bagian dari sistem pencernaan yang paling
sering mengalami obstruksi. Obstruksi duodenum kongenital secara etiologi
diklasifikasikan menjadi 2 tipe, yaitu obstruksi intrinsik duodenum kongenital dan
obstruksi ekstrinsik duodenum kongenital. Obstruksi intrinsik duodenum
kongenital termasuk diantaranya atresia duodenum, web duodenum, dan stenosis
duodenum. Annular pankreas sering kebetulan didapatkan pada kasus atresia dan
stenosis duodenum (Niramis et al., 2010). Atresia duodenum merupakan
penyempitan komplit yang dapat menyebabkan muntah bilious dan nonbilious
saat 24 sampai 38 jam setelah bayi lahir, diikuti dengan pemberian nutrisi oral
(Gosmann et al., 2019)
Tahun 1733, kasus atresia duodenum pertama kalinya dilaporkan oleh
Calder. Tahun 1901, Cordes menjelaskan temuan klinis berhubungan dengan defek
kongenital. Vidal dari Prancis dan Ernst dari Belanda berhasil melakukan operasi
pada atresia duodenum untuk pertama kalinya (Applebaum, 2012).
Atresia intestinal merupakan obstruksi yang sering terjadi pada neonatus
yang baru lahir. Atresia intestinal dapat terjadi pada 1 dari 5000 sampai 10.000
kelahiran dan dapat terjadi pada berbagai tempat pada usus halus (Gosmann et al.,
2019). 50% kasus atresia intestinal terjadi pada duodenum dengan persentase 57%
perempuan dan 43% pada laki-laki. 46% kasus terjadi pada jejunoileal dengan
61% laki-laki dan 39% perempuan (Free et al., 2004).
Atresia duodenum dikaitkan dengan abnormalitas lain, yaitu trisomi 21
(Sindrom Down) dan malformasi jantung. Anak dengan atresia duodenum yang
memiliki kelainan berupa sindrom down mencapai 30% (Gosmann et al., 2019).
Beberapa penelitian juga menyebutkan insiden dari duodenal atresia mencapai 1
dari 2000 kelahiran sampai 1 dari 40.000 kelahiran (Free et al., 2004). Sepertiga
neonatus yang lahir dengan duodenal atresia disertai dengan down sindrom (Alan
et al., 2001). Penyakit lain yang dapat menyertai yaitu penyakit jantung (Free et
al., 2004).
1
B. Tujuan
1. Bagaimana prevalensi atresia duodenum?
2. Bagaimana patofisiologi atresia duodenum?
3. Bagaimana langkah mendiagnosis atresia duodenum?
4. Bagaimana penatalaksanaan atresia duodenum?
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
proliferasi sel di dindingnya. Akan tetapi, lumen ini akan mengalami
rekanalisasi sesudah bulan kedua. Usus depan akan disuplai oleh pembuluh
darah yang berasal dari arteri sefalika dan usus tengah oleh arteri
mesenterika superior, sehingga duodenum akan disuplai oleh kedua
pembuluh darah tersebut (TW Sadler, 2013).
B. Anatomi
Duodenum atau juga disebut dengan usus duabelas jari merupakan
usus yang berbentuk seperti huruf C yang menghubungkan antara gaster
dengan jejunum. Duodenum melengkung di sekitar caput pancreas.
Duodenum merupakan bagian terminal atau muara dari sistem apparatus
biliaris dari hepar maupun dari pancreas. Selain itu duodenum juga
merupakan batas akhir dari saluran cerna atas. Dimana saluran cerna
dipisahkan menjadi saluran cerna atas dan bawah oleh adanya ligamentum
Treitz (m. suspensorium duodeni) yang terletak pada flexura
duodenojejunales yang merupakan batas antara duodenum dan jejunum. Di
dalam lumen duodenum terdapat lekukan-lekukan kecil yang disebut dengan
plica sircularis. Duodenum terletak di cavum abdomen pada regio epigastrium
dan umbilikalis (Snell, 2006). Duodenum memiliki penggantung yang disebut
dengan mesoduodenum.
4
Gambar 2. Bagian-bagian duodenum
Gambar 2. Duodenum
5
a. Anterior : Fundus vesica felea, colon transersum,
lobus hepatis dextra
b. Posterior : Ureter dextra, hilus renalis dextra
c. Medial : Caput pankreas
d. Lateral : Colon ascendens, fleksura coli dextra,
lobus hepatis dextra
3. Duodenum pars horizontal
Merupakan bagian dari duodenum yang berjalan horizontal
ke sinistra mengikuti pinggir bawah caput pancreas dan
memiliki skeletopi setinggi vertebrae lumbal II. Duodenum
bagian ini memiliki sintopi :
a. Anterior : Mesenterium usus halus, vasa mesenterica
superior, lekukan jejunum
b. Posterior : Ureter dextra, m. psoas dextra, aorta
c. Superior : Caput pancreas
d. Inferior : Lekukan jejunum
6
Vaskularisasi duodenum baik arteri maupun vena nya terbagi
menjadi 2. Untuk duodenum pars superior hingga duodenum pars
descendens diatas papilla duodeni major (muara ductus pancreticus major),
divaskularisasi oleh R. superior a. pancrearicoduodenalis cabang dari a.
gastroduodenalis, cabang dari a. hepatica communis, cabang dari triple
hallery yang dicabangkan dari aorta setinggi Vertebae Thoracal XII –
Vertebrae Lumbal I. dan aliran vena nya langsung bermuara ke system
portae. Sedangkan dibawah papilla duodeni major, duodenum
divaskularisasi oleh R. duodenalis a. mesenterica superior yang
dicabangkan dr aorta setinggi Vertebrae Lumbal I. Sedangkan aliran vena
nya bermuara ke v. mesenterica superior (Snell, 2006).
C. Histologi
7
Gambar 3. Histologi Duodenum (Junqueira's Basic Histology Text and
Atlas, Ed 13)
8
muskularis terdiri atas lapisan luar yang sirkular dan lapisan dalam yang
longitudinal. Lapisan terluar dari duodenum adalah lapisan serosa tipis yang
disertai dengan mesotel (Tarigan, 2009).
D. Fisiologi
Duodenum melanjutkan proses pencernaan makanan yang telah
dilakukan oleh organ traktus digestivus sebelumnya. Proses pencernaan
selanjutnya oleh duodenum seperti pencernaan karbohidrat, lemak dan protein
menjadi zat yang lebih sederhana oleh bantuan enzim-enzim dari pankreas.
Pencernaan lemak juga membutuhkan garam empedu untuk mengemusilnya,
prosesnya terjadi ketika lemak yang bersentuhan mukosa duodenum
menyebabkan kontraksi kandung empedu yang diperantarai oleh kerja
kolesistokinin yang merupakan hasil sekresi dari mukosa duodenum. Di
epitel usus halus juga terdapat enzim penting untuk memecah disakarida
maupun polimer glukosa kecil menjadi monosakarida yaitu laktase, sukrase,
maltase dan alfa dekstrinase (Sherwood,2013).
Proses selanjutnya yaitu absorbsi zat-zat penting dari makanan yang
telah dicerna sebelumnya. Absorbsi gula, asam amino dan lemak sebagian
besar terjadi di duodenum dan jejunum, begitu pula absorbsi besi dan kalsium
yang membutuhkan vitamin D. Vitamin larut lemak (A, D, E, K) di absorbsi
di duodenum dan dibutuhkan garam-garam empedu dalam prosesnya
(Sherwood, 2013).
Efisiensi fungsi absorpsi duodenum ditingkatkan oleh sejumlah
struktur yang meningkatkan permukaan total dari lapisan mukosa. Struktur
ini disebut plika sirkularis (valvula koniventes). Plika sirkularis meningkatkan
daerah permukaan absorbsi mukosa menjadi tiga kali lipat. Pada duodenum
juga terdapat kelenjar duodenum (brunner) yang letaknya di submukosa.
Kelenjar brunner menghasilkan mukus yang alkalis untuk melindungi dinding
duodenum dari getah lambung yang sangat asam. Kelenjar ini juga
menghasilkan hormon sekretin yang akan menghambat sekresi HCL gaster dan
akan meningkatkan proliferasi epitel dalam usus halus (Guyton dan Hall,
2014).
9
2. Atresia Duodenum
A. Definisi Atresia Duodenum
Atresia duodenum merupakan penyempitan komplit yang dapat
menyebabkan muntah bilious dan nonbilious saat 24 sampai 38 jam setelah bayi
lahir, diikuti dengan pemberian nutrisi oral (Gosmann et al., 2019)
Atresia duodenum adalah kondisi dimana duodenum tidak berkembang baik.
Pada kondisi ini duodenum bisa mengalami penyempitan secara komplit sehingga
menghalangi jalannya makanan dari lambung menuju usus untuk mengalami proses
absorbsi. Apabila penyempitan usus terjadi secara parsial, maka kondisi ini disebut
dengan doudenal stenosis (Hayden et al., 2003).
10
C. Klasifikasi
Atresia duodenum dapat diklasifikasikan ke dalam 3 morfologi, yaitu :
a) Tipe 1
Atresia duodenum yang ditandai oleh adanya webs atau membrane pada
lumen duodenum.
b) Tipe 2
Atresia duodenum dengan segmen proksimal dan distal dihubungkan
dengan fibrous cord.
c) Tipe 3
Atresia dengan diskontinuitas komplit antar segmen proksimal dan distal.
D. Patogenesis
Ada faktor ekstrinsik serta instrinsik yang diduga menyebabkan terjadinya
atresia duodenal. Faktor intrinsik yang diduga menyebabkan terjadinya anomali ini
karena kegagalan rekanalisasi lumen usus. Duodenum dibentuk dari bagian akhir
foregut dan bagian sefalik midgut. Selama minggu ke 5-6 lumen tersumbat oleh
proliferasi sel dindingnya dan segera mengalami rekanalisasi pada minggu ke 8-10.
Kegagalan rekanalisasi ini disebut dengan atresia duodenum. Perkembangan
duodenum terjadi karena proses proliferasi endoderm yang tidak adekuat (elongasi
saluran cerna melebihi proliferasinya atau disebabkan kegagalan rekanalisasi
epitelial (kegagalan proses vakuolisasi)) (Alan et al, 2001).
Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa epitel duodenum berproliferasi
dalam usia kehamilan 30-60 hari atau pada kehamilan minggu ke 5 atau minggu
11
ke 6, kemudian akan menyumbat lumen duodenum secara sempurna. Kemudian
akan terjadi proses vakuolisasi. Pada proses ini sel akan mengalami proses
apoptosis yang timbul pada lumen duodenum. Apoptosis akan menyebabkan
terjadinya degenerasi sel epitel, kejadian ini terjadi pada minggu ke 11 kehamilan.
Proses ini mengakibatkan terjadinya rekanalisasi pada lumen duodenum. Apabila
proses ini mengalami kegagalan, maka lumen duodenum akan mengalami
penyempitan. Pada beberapa kondisi, atresia duodenum dapat disebabkan karena
faktor ekstrinsik. Kondisi ini disebabkan karena gangguan perkembangan struktur
organ sekitarnya, seperti pankreas. Atresia duodenum berkaitan dengan pankreas
anular. Pankreas anular merupakan jaringan pankreatik yang mengelilingi
sekeliling duodenum, terutama deodenum bagian desenden. Kondisi ini akan
mengakibatkan gangguan perkembangan duodenum (Free et al, 2004).
E. Penegakkan diagnosis
a) Manifestasi klinis
Pasien dengan atresia duodenal memiliki gejala obstruksi usus. Gejala
akan nampak dalam 24 jam setelah kelahiran. Pada beberapa pasien dapat timbul
gejala dalam beberapa jam hingga beberapa hari setelah kelahiran. Muntah yang
terus menerus merupakan gejala yang paling sering terjadi pada neonatus dengan
atresia duodenal. Muntah yang terus-menerus ditemukan pada 85% pasien.
Muntah akan berwarna kehijauan karena muntah mengandung cairan empedu
(biliosa). Akan tetapi pada 15% kasus, muntah yang timbul yaitu non- biliosa
apabila atresia terjadi pada proksimal dari ampula vater. Muntah neonatus akan
semakin sering dan progresif setelah neonates mendapat ASI. Karakteristik dari
muntah tergantung pada lokasi obstruksi. Jika atresia diatas papila, maka jarang
terjadi. Apabila obstruksi pada bagian usus yang tinggi, maka muntah akan
berwarna kuning atau seperti susu yang mengental. Apabila pada usus yang
lebih distal, maka muntah akan berbau dan nampak adanya fekal. Apabila anak
terus menerus muntah pada hari pertama kelahiran ketika diberikan susu dalam
jumlah yang cukup sebaiknya dikonfirmasi dengan pemeriksaan penunjang lain
seperti roentgen dan harus dicurigai mengalami obstruksi usus. Ukuran feses
juga dapat digunakan sebagai gejala penting untuk menegakkan diagnosis.
Pada anak dengan atresia, biasanya akan memiliki mekonium yang jumlahnya
lebih sedikit, konsistensinya lebih kering, dan berwarna lebih abu-
12
abu dibandingkan mekonium yang normal. Pada beberapa kasus, anak
memiliki mekonium yang nampak seperti normal (Kessel et al, 2011).
Pengeluaran mekonium dalam 24 jam pertama biasanya tidak terganggu.
Akan tetapi, pada beberapa kasus dapat terjadi gangguan. Apabila kondisi anak
tidak ditangani dengan cepat, maka anak akan mengalami dehidrasi, penurunan
berat badan, gangguan keseimbangan elektrolit. Jika dehidrasi tidak ditangani,
dapat terjadi alkalosis metabolik hipokalemia atau hipokloremia. Pemasangan
tuba orogastrik akan mengalirkan cairan berwarna empedu (biliosa) dalam
jumlah bermakna. Anak dengan atresi duodenum juga akan mengalami aspirasi
gastrik dengan ukuran lebih dari 30 ml. Pada neonatus sehat, biasanya aspirasi
gastrik berukuran kurang dari 5 ml. Aspirasi gastrik ini dapat mengakibatkan
terjadinya gangguan pada jalan nafas anak. Pada beberapa anak, mengalami
demam. Kondisi ini disebabkan karena pasien mengalami dehidrasi. Apabila
temperatur diatas 103º F maka kemungkinan pasien mengalami ruptur intestinal
atau peritonitis (Kessel et al, 2011).
b) Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik ditemukan distensi abdomen. Akan tetapi distensi
ini tidak selalu ada, tergantung pada level atresia dan lamaya pasien tidak
dirawat. Jika obstruksi pada duodenum, distensi terbatas pada epigastrium.
Distensi dapat tidak terlihat jika pasien terus menerus muntah. Pada beberapa
neonatus, distensi bisa sangat besar setelah hari ke tiga sampai hari ke empat,
kondisi ini terjadi karena ruptur lambung atau usus sehingga cairan berpindah ke
kavum peritoneal. Neonatus dengan atresia duodenum memiliki gejala khas
perut yang berbentuk skafoid (Kessel et al, 2011).
Saat auskultasi, terdengar gelombang peristaltik gastrik yang melewati
epigastrium dari kiri ke kanan atau gelombang peristaltik duodenum pada
kuadran kanan atas. Apabila obstruksi pada jejunum, ileum maupun kolon, maka
gelombang peristaltik akan terdapat pada semua bagian dinding perut (Kessel et
al, 2011).
c) Pemeriksaan penunjang
Pre natal ( Ultrasonografi)
13
Secara general, atresia duodenum sulit untuk didiagnosis selama
kehamilan. Diagnosis prenatal selalu berdasarkan tanda non-spesifik
pada fetal ultrasound seperti
- Dilatasi lambung
- Echoless stomach
14
Gambar 6. Gambaran CT scan perut seorang wanita hamil dilakukan untuk
menyingkirkan appendisitis. Atresia duodenum secara tidak sengaja dicatat pada
janin.
16
Gambar 6. Gambaran double bubble pada atresia duodenum dengan Foto
- CT Scan
ionik dan mungkin lebih sulit untuk diinterpretasi karena kurangnya lemak
17
F. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan secara umum yaitu :
a) Pemasangan tube orogastrik untuk mendekompresi lambung
b) Memberikan cairan elektrolit melalui intravena (mengoreksi
dehidrasi dan ketidakseimbangan elektrolit).
18
untuk stenosis duodenal, atresia atau obstruksi yang disebabkan vena
porta preduodenal. Ketika pankreas annular dihubungkan dengan
obstruksi duodenal bertemu, pilihan penyembuhan dengan
duodenoduodenostomi antara segmen duodenum yang diatas dan
dibawah pada area cincin pankreas (Blanco-Rodríguez, 2008).
Menurut Felicitas et al (2010), teknik pembedahan pada atresia
duodenum :
1) Side to side anastomosis
Dimulai dari bagian dorsal dari anastomosis, sebuah
duodenostomi melintang dibuat di segmen proksimal. Bagian ujung
dari lambung dan duodenum dilakukan duodenotomi. Insisi pararel
dibuat pada distal duodenum kemudian lapisan posterior anastomosis
dijahitkan.
2) For diamond shape duodenostomi
Diperlukan mobilisasi untuk menempatkan dinding duodenum
proksimal terlihat dengan jelas. Kemudian dibuat sayatan melintang di
proksimal membujur ke duodenum bagian distal.
3) For a duodenal web
Untuk web duodenum, membrane biasanya terletak di kedua
bagian duodenum, Lokasi membrane dapat dibantu oleh pemasangan
NGT ke dalam duodenum.
4) For membrane resection
Untuk reseksi membrane, sayatan dibuat memanjang. Kemudian
mengidentifikasi ampula vater. Eksisi dimulai dengan insisi radial di
pusat ostium. Sebelum menutup duodenum secara melintang, patensi
duodenum bagian distal diuji terlebih dahulu dengan menggunakan
kateter silicon kecil.
Selain itu, tindakan bedah dapat dilakukan sesuai dengan tipe dari
atresia duodenum.
1) Tipe 1
Atresia duodenum yang ditandai oleh adanya webs atau
membrane pada lumen duodenum. Tindakan bedah yang dilakukan
adalah menginsisi dinding duodenum kemudian mengeksisi membrane
bagian dalamnya, kemudian dijahit.
19
Gambar 8. Tindakan bedah pada atresia duodenum tipe 1
2) Tipe 2
Atresia duodenum dengan segmen proksimal dan distal
dihubungkan dengan fibrous cord. Tindakan pembedahan yang
dilakukan adalah dudenoduodenostomi. Bagian yang mengalami
atresia dihilangkan, kemudian kedua ujung tersebut digabungkan.
3) Tipe 3
Atresia dengan diskontinuitas komplit antar segmen proksimal
dan distal. Tindakan bedah yang dilakukan adalah gastrojejunum,
yaitu
G. Differential Diagnosis
Pertimbangan primer untuk kasus muntah bilious pada neonatus adalah:
- Atresia Duodenum,
- Stenosis Duodenum,
- Annular Pankear,
- Hyperthropic Pyloric Stenosis (Foto polos: single bubble sign, minimal
gas distal, pada gambaran USG ditemukan target sign, nipple sign, cervix
sign)
- Malrotasi Intestinal yang disebabkan oleh midgut volvulus
- Fetal choledechal cyst (USG, double-bubble sign)
- Fetal omental cyst (USG, double-bubble sign)
- Fetal enteric duplication cyst (USG, double-bubble sign)
-
H. Komplikasi
a) Komplikasi yang dapat ditemukan ialah kelainan congenital lainnya.
b) Mudah terjadi dehidrasi
Komplikasi post operasi dilaporkan pada 14-18% pasien, dan beberapa
pasien memerlukan operasi kembali. Beberapa kondisi yang sering terjadi
dan menyebabkan pasien perlu dioperasi kembali yaitu :
a) Kebocoran anostomosis
b) Obstruksi fungsional duodenum
c) Adhesi
d) Bengkak pada bagian pertama usus halus (megaduodenum)
e) Permasalahan pergerakan usus
f) Refluks gastroesofageal
g) Sepsis intraabdomen
21
(Richard et al, 2001)
I. Prognosis
Angka harapan hidup untuk bayi dengan atresia duodenum adalah 90 - 95%.
Mortalitas yang tinggi disebabkan karena prematuritas serta abnormalitas
congenital yang menyertainya. Morbiditas dan mortalitas telah membaik secara
bermakna selama 50 tahun terakhir. Adanya kemajuan dibidang anestesi pediatric,
neonatologi, dan teknik pembedahan, angka kesembuhannya telah meningkat
hingga 90%. Menurut Milar (2005), walaupun prognosis atresia duodenal secara
general bagus namun angka kematian sebesar 7%. Hubungan kelainan kongenital
diindentifikasikan sebagai faktor risiko independent. Berat lahir rendah dan
permasalah prematur lebih jauh meningkatkan resiko kematian (Richard et al.,
2001).
22
BAB III
KESIMPULAN
23
DAFTAR PUSTAKA
Elsevier, Singapore.
Hayden, CK, Marshall, ZS, Michael, D, Leonard, ES, 2003, ‘Combine
Esophageal and Duodenal Atresia: Sonograpic Findings’, Arch Surg, 140:225-230.
doi:10.2214/ajr.140.2.225
Inamoto, T, Namba, M, Qi, W.-M, Yamamoto, K, Yokoo, Y, Miyata,
H.Kitagawa, H, 2008, An Immunohistochemical Detection of Actin and Myosin in
the Indigenous Bacteria-Adhering Sites of Microvillous Columnar Epithelial Cells
in Peyer’s Patches and Intestinal Villi in the Rat Jejunoileum. The Journal of
veterinary medical science / the Japanese Society of Veterinary Science, 70, 1153–
1158. https://doi.org/10.1292/jvms.70.1153
Kessel, D, Bruyn, D, Drake, F, 2011, ‘Case report: Ultrasound Diagnosis
Of Duodenal Atresia Combined With Isolated Oesophageal Atresia’, The British
Journal of Radiology, 66: 86-88, doi: 10.1259/0007-1285-66-781-86
Meschel, A. L. 2013. Histologi Dasar Junqueira Teks & Atlas. EGC :
Jakarta
24
Millar AJW, Gosche JR, Lakhoo, K, 2003, Intestinal Atresia and Stenosis,
Paediatric Surgery: A Comprehensive Text for Africa Chapter 63. p.385-388.
25
Diakses pada 28 Desember 2019: https://global-
help.org/products/paediatric_surgery_a_comprehensive_text_for_africa/
Niramis, R, et al, 2010, ‘Influence of down’s syndrome on management and
outcome of patients with congenital intrinsic duodenal obstruction’, Journal of
pediatric surgery. 45:1467-1472. doi: 10.1016/j.jpedsurg.2010.02.049.
Richard, FL, Benneth, AL, Norman, GB, Anthony, JB, Brian, RJ, 2001,
‘Sonographic Appearance of Duodenal Atresia in Utero’, Am J Roentgenol.
131:701-702. doi: 10.1016/j.jpedsurg.2010.02.049.
Snell, Richard S. 2006. Anatomi Klinik untuk mahasiswa kedokteran.
Jakarta : EGC
Tamer, S, Mustafa, K, Ulas, A, Ali, SK, ‘Duodenal Atresia and Hirchsprung
Disease in a Patient with Down Syndrome. Eur J Gen Med.2011;8(2):157- 9. doi:
https://doi.org/10.29333/ejgm/82721
TW Sadler. 2013. Embriologi Kedokteran Langman Edisi 7. EGC:Jakarta.
Sherwood, L. 2013. Human Anatomy and Physiology from Cell to System.
26